Korupsi adalah permasalahan laten yang seolah menjadi hal biasa di negeri ini. Berbagai kasus
korupsi satu per satu terbongkar. Para koruptor sejatinya tak hanya berasal dari golongan politisi
saja. Beberapa diantaranya adapula yang merupakan seorang pengusaha, petinggi negara,
penegak hukum, polisi, pegiat media, bahkan para pelaku seni (artis). Meskipun mereka tidak
secara langsung berperan sebagai eksekutor korupsi, akan tetapi mereka turut mengambil
peranan penting dalam memuluskan aksi kejahatan yang satu ini. Rasa-rasanya tidak perlu untuk
menyebutkan secara langsung siapa saja yang pernah terlibat dalam kasus korupsi dalam ranah
profesi yang telah dijabarkan di atas. Masyarakat pun saat ini telah mengetahui secara terang
benderang melalui berbagai informasi yang dengan mudahnya di akses di era digital seperti
sekarang ini.
Perilaku korupsi sejatinya tidaklah mampu dilakukan secara seorang diri. Ada oknum tertentu
yang turut membantu dalam prosesi perilaku kriminal jenis ini. Oleh karenanya, dalam satu
kasus korupsi seringkali kita temukan lebih dari satu orang yang terjerat hukum atas kasus
tersebut. hal ini cukup membuktikan bahwa korupsi sesungguhnya tak dapat dilakukan seorang
diri. Misalnya saja dalam kasus korupsi impor gula. Dalam ranah ini setidaknya melibatkan
beberapa lembaga atau perseorangan yang „bermain‟ di dalamnya. Beberapa diantaranya adalah
kementrian terkait, anggota dewan, pengusaha, dan beberapa otoritas lainnya. Kementrian dalam
hal ini adalah pihak yang mengajukan instruksi secara formil atas permintaan korporasi
pengusaha. Sedangkan wewenang legislasi berada pada anggota DPR dalam hal perizinan dan
lain sebagainya. Adapula otoritas lain yang turut „bermain‟ di dalamnya dalam lingkup kecil.
Melihat contoh kasus di atas tentu dapat dikatakan bahwa korupsi merupakan suatu kejahatan
penyalahgunaan wewenang publik yang dilakukan secara kolektif dan terencana. Agar dapat
meminimalisasikan tindak kejahatan ini rasanya dibutuhkan sistem serta formulasi yang khusus.
Beberapa diantaranya adalah dengan memberlakukan beberapa point dalam sistem perundang-
undangan untuk memperkuat hukum serta menutup peluang terjadinya praktek kejahatan
tersebut. Namun hal ini juga nampaknya akan sulit dilakukan karena legislasi berada di bawah
naungan anggota legislatif yang diusung oleh partai politik. Sedangkan peran partai politik saat
ini tak lebih dari sebuah EO (Event Organizer) bagi penyelenggaraan calon kepala daerah dan
calon legislator untuk maju ke ranah panggung politik. Tak jarang partai politik juga
mengharuskan kadernya yang ingin mencalonkan diri untuk menjadi kepala daerah atau
legislator untuk membayar mahar dalam jumlah tertentu yang terbilang cukup besar. Pada
initinya, dewasa ini partai politik belum mampu menjadi sebuah mesin pengkaderan yang
mampu mencetak para pemimpin jujur, adil, piawai, ulet, bertanggungjawab, dan lain
sebagainya.
Sekelumit masalah yang merupakan asal muasal perilaku korupsi juga terjadi pada saat
menjelang pemilihan kepala daerah. Seringkali dalam event yang penyelenggaraannya memakan
dana APBN yang cukup besar ini turut pula melibatkan para „cukong‟ dari pihak swasta. Para
„cukong‟ ini secara teknis mendanai calon kepala daerah tertentu dengan sebab perjanjian
tertentu pula. Sehingga kepala daerah yang menjabat tak lain adalah boneka dari para „cukong‟
tersebut. Seringkali di beberapa negara di belahan dunia ini ditemukan fakta bahwa penguasa
sesungguhnya dalam suatu negeri adalah para pengusaha asing. Dengan adanya korelasi antara
korporasi dengan pejabat negara tentu hal tersebut sangat rentan terjadi praktek-praktek korupsi
dalam jumlah yang begitu besar.
Solusi memberantas korupsi yaitu:
Perilaku korupsi di Indonesia sangat terkait erat dengan dimensi penyuapan, pengadaan barang
dan jasa, serta penyalahgunaan anggaran yang umumnya dilakukan oleh pihak swasta dan
pegawai pemerintahan. Oleh karena itu, upaya pencegahan korupsi sangat diperlukan.
Pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan hanya dengan komitmen semata. Komitmen
tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk strategi yang komprehensif untuk meminimalisasi
tindak korupsi. Upaya pencegahan korupsi dapat dlakukan secara preventif, detektif, dan
represif.
Upaya pencegahan preventif dan represif agar tindak korupsi tidak lagi terjadi adalah
meminimalisasi faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi dan mempercepat proses
penindakan terhadap pelaku tindak korupsi.
Strategi Preventif
Upaya preventif adalah usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk meminimalisasi
penyebab dan peluang seseorang melakukan tindak korupsi.
Upaya detektif adalah usaha yang diarahkan untuk mendeteksi terjadinya kasus-kasus korupsi
dengan cepat, tepat, dan biaya murah. Sehingga dapat segera ditindaklanjuti.
Strategi Represif
Upaya represif adalah usaha yang diarahkan agar setiap perbuatan korupsi yang telah
diidentifikasi dapat diproses dengan cepat, tepat, dan dengan biaya murah. Sehingga para
pelakunya dapat segera diberikan sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku.