Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

Perbandingan Kelemahan dan Kelebihan Pemberantasan Korupsi antara


Indonesia dengan Singapura
Disusun untuk memenuhi tugas mata Pendidikan Anti Korupsi
dosen pengampu :
Iwan Ridwan Paturochman., S.H., M.H.

oleh :

David Ikhwani 223401159


Gyan Adriawan 223401277
Memmy Maulida Azhar 223401143
Mutiara Zaskia Kirani 223401134
Rifki Putra Nugraha 223401142

Program Studi Ekonomi Pembangunan


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Siliwangi
Kota Tasikmalaya
2023
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Pendidikan Anti
Korupsi. Shalawat serta salam terlimpah curahkan kepada baginda alam Nabi Muhammad
saw. Semoga kita semua mendapat syafaat Beliau di Yaumil Mahsyar kelak aamiin ya rabbal
alamin.

Kami sangat berharap makalah dengan judul “Perbandingan Kelemahan dan


Kelebihan Pemberantasan Korupsi antara Indonesia dengan Singapura ”
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap
lebihjauh supaya makalah ini dapat dipraktikan oleh pembaca dalam kehidupan sehari-hari
Terima kasih kepada Bapak Iwan Ridwan Paturochman., S.H., M.H. sebagai dosen
pengampu mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi yang telah memberikan pemahaman
mengenai materi yang diajarkan dan telah memberi arahan untuk menyelesaikan makalah ini.
Terima kasih kepada tim penyusun yang telah membantu menyelesaikan makalah ini dari
awal sampai akhir dengan tepat waktu.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi seluruh masyarakat.

Tasikmalata, Maret 2023

Tim penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pemberantasan korupsi ?
2. Faktor-faktor apa saja yang membedakan tingkat korupsi di Indonesia dan
Singapura?
3. Bagaimana mekanisme penyelesaian masalah korupsi di Singapura ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari pemberantasan korupsi
2. Memahami dan mengetahui faktor-faktor yang membedakan tingkat korupsi di
Indonesia dan Singapura
3. Mengerahui cara negara Singapura dalam menangani permasalahan korupsi

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pemberantasa Korupsi


B. Faktor Penyebab Tingginya Korupsi di Indonesia
Indonesia menempati rangking 96 dengan skor CPI sebesar 38 dari skala 100 dalam
Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Semakin kecil skor CPI-nya maka tingkat korupsi di suatu
negara itu tinggi. Di Indonesia sendiri tingkat korupsinya masih bisa dibilang tinggi, para
pelaku korupsi adalah mereka yang sudah menempati kedudukan yang cukup tinggi misalnya
saja para pegawai atau pejabat pemerintah yang sudah pasti kehidupan mereka terbilang
cukup bahkan mungkin lebih dari cukup. Lantas mengapa mereka masih saja korupsi.
Pengaruh lingkungan, sikap masyarakat, hukum, hingga organisasi individu bisa menjadi
penyebab korupsi. Hal tersebut pun berlaku sebagai penyebab korupsi di Indonesia yang sulit
terelakkan, terutama berkaitan dengan sikap masyarakat yang seolah tidak merasa dirugikan.
Padahal dampak korupsi di Indonesia, masyarakatlah yang sebenarnya dirugikan dan bukan
negara. Misalnya saja, hak-hak warga negara untuk menikmati fasilitas umum yang nyaman
malah terganti dengan fasilitas yang tidak layak seperti halte dan jalan yang rusak.
PENYEBAB KORUPSI DI INDONESIA DITINJAU DARI SEGI TEORI :
1. Menurut Jack Bologne (Teori GONE)
Alasan seseorang melakukan korupsi bisa beragam, namun dalam teori ini secacra
singkat dikenal dengan teori GONE yang menjelaskan tentang factor penyebab korupsi. Teori
GONE dikemukakan oleh Jack Bologna adalah singkatan dari Greedy (keserakahan),
Opportunity (kesemoatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan). Teori GONE
mengungkapkan bahwa seseorang yang korupsi pada dasarnya serakah dan tidak pernah puas.
Tidak pernah ada kata cukup dalam diri koruptor yang serakah. Keserakahan
ditimpali/dibarengi dengan kesempatan, maka akan menjadi katalisator terjadinya tindak
pidana korupsi. Setelah serakah dan adanya kesempatan, seseorang berisiko melakukan
korupsi jika ada gaya hidup yang berlebihan serta pengungkapan atau penindakan atas pelaku
yang tidak mampu menimbulkan efek jera.
2. MENURUT ROBERT KITGAARD
 Teori CDMA : Corruption = Directionary + Monopolu – Accountability
Korupsi terjadi karena adanya factor kekuasaan dan monopoli yang tidak
dibarengi dengan akuntabilitas.
 Teori Means-Ends (Robert Merton) : menyatakan bahwa korupsi merupakan
suatu perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial sehingga
menyebabkan pelnggaran norma-norma.
 Teori Solidaritas Sosial ( Emile Durkheim 1858-1917 ) : teori ini memandang
bahwa watak manusia sebenarnya bersifat pasif dan dikedalikan oleh
masyarakatnya.
3. Teori Fraud Triangle (TFT) Donald R Cressey
Dalam teori ini, ada tiga tahapan penting yang mempengaruhi seseorang untuk
melakukan korupsi, yaitu pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), dan rationalization
(rasionalisasi). Seseorang memiliki motivasi untuk korupsi karena tekanan, misalnya motif
ekonomi yang menjaadi pelatuknya. Namun menurut Cressey tekanan ini terkadang tidak
benar-benar ada. Seseorang cukup berpikir bahwa dia tertekan atau tergoda pada bayangan
insentif, maka pelatuk pertama ini telah terpenuhi.Kedua adalah kesempatan. Contoh yang
paling mudah ditemui adalah lemahnya system pengawasan sehingga memunculkan
kesempatan untuk korupsi. Menurut Cressey, jika dia tidak melihat adanya kesempatan maka
korupsi tidak bisa dilakukan.Ketiga adalah rasionalisasi. Cressey menemukan bahwa para
pelaku selalu memiliki rasionalisasi atau pembenaran untuk melakukan korupsi. Rasionalisasi
ini setidaknya menipiskan rasa bersalah pelaku, contohnya “saya korupsi karena tidak digaji
dengan layak” atau “keuntungan perusahaan sangat besar dan tidak dibagi dengan adil”.
PENYEBAB KORUPSI DARI FAKTOR INTERNAL

1. Sifat serakah/tamak/rakus manusia

Keserakahan dan tamak adalah sifat yang membuat seseorang selalu tidak merasa cukup atas
apa yang dimilikinya, selalu ingin lebih. Dengan sifat tamak membuat seseorang menjadi berlebihan
dalam mencintai harta. Padahal bisa jadi hartanya sudah banyak dan jabatannya sudah tinggi.
Dominannya sifat tamak membuat seseorang tidak lagi memperhitungkan halal dan haram dalam
mencari rezeki. Sifat ini menjadikan korupsi adalah kejahatan yang dilakukan para professional,
pejabat tinggi, dan hidup berkecukupan.

2. Gaya hidup konsumtif

Sifat serakah ditambah gaya hidup yang konsumtif menjadi factor pendorong internal korupsi.
Korupsi bisa terjadi jika seseorang melakukan gaya hidup konsumtif namun tidak diimbangi dengan
pendapatan yang memadai. Ketika perilaku konsumtif dan system politik yang masih bertujuan pada
materi, maka hal tersebut dapat meningkatkan terjadinya permainan uang dan meruupakan penyebab
korupsi. Korupsi tidak akan pernah putus apabila tidak ada perubahan dalam memandang kekayaan.

3. Moral yang lemah


Seseorang dengan moral yang lemah mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Aspek lemah
moral misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, atau rasa malu melakukan tindakan korupsi. Jika
moral seseorang lemah, maka godaan korupsi yang datang akan sulit ditepis. Godaan korupsi bisa
berasal dari atasan, teman setingkat, bahawan, atau pihak lain yang memberi kesempatan untuk
melakakukannya.

PENYEBAB KORUPSI DARI FAKTOR EKSTERNAL

1. Aspek Sosial

Kehidupan sosial seseorang berpengaruh dalam mendorong terjadinya korupsi, terutama


keluarga. Aspek sosial lainnya adalah nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung korupsi.
Dalam means-ends scheme yang diperkenalkan Robert Merton, korupsi merupakan perilaku manusia
yang diakibatkan oleh tekanan sosial, sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma. Menurut
teori Merton, kondisi sosial di suatu tempat terlalu menekan sukses ekonomi tapi membatasi
kesempatan-kesempatan untuk mencapainya, menyebabkan tingkat korupsi yang tinggi.

Teori korupsi akibat factor sosial lainnya disampaikan oleh Edward Banfeld. Melalui teori
partikularisme, Banfeld mengaitkan korupsi dengan tekanan keluarga. Sikap partikularisme
merupakan perasaan kewajiban untuk membantu dan membagi sumber pendapatan kepada pribadi
yang dekat dengan seseorang, seperti keluarga, shabat, kerabat atau kelompoknya. Akhirnya terjadilah
nepotisme yang bisa berujung pada korupsi.

2. Aspek Politik

Monopoli kekuasaan merupakan penyebab korupsi di Indonesia, karena tidak adanya control
oleh Lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat. Factor yang sangat dekat dengan terjadinya
korupsi adalah budaya penyalahgunaan wewenang yang berlebih dalam hal ini terjadinya KKN.
Keyakinan bahwa politik untuk memperoleh keuntungan yang besar menjadi factor eksternal
penyebab korupsi. Tujuan politik untuk memperkaya diri pada akhirnya menciptakan money politics.
Dengan money politics, seseorang bisa memenangkan kontestasi dengan membeli suara atau
menyogok para pemilih atau anggota-anggota partai politiknya.

Pejabat yang berkuasa dengan politik uang hanya ingin mendapatkan harta, mengurus
kewajiban utamanya yaitu mengabdi kepada rakyat. Melalui perhitungan untung-rugi, pemimpin hasil
money politics tidak akan peduli nasib rakyat yang memilihnya, yang tepenting untuknya adalah
bagaimana ongkos politiknya bisa Kembali dan berlipat ganda. Balas jasa politik seperti nual beli
suara di DPR atau dukungan partai politik juga mendorong pejabat untuk korupsi. Dukungan partai
politik yang mengharuskan imbalan jasa akhirnya memunculkan upeti politik. Secara rutin, pejabat
yang terpilih harus membayar upeti ke partai dalam jumlah besar, sehingga memaksa melakukan
korupsi.

3. Aspek Hukum

Hukum sebagai factor penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi, sisi perundang-undangan
dan lemahnya penegakan hukum. Koruptor akan mencari celah di peundang-undangan untuk bisa
melakukan aksinya. Selain itu, penegakan hukum yang tidak bisa menimbulkan efek jera akan
membuat koruptor semakin berani dan korupsi terus terjadi. System hukum di Indonesia untuk
memberantas korupsi masih sangat lemah. Penyebab korupsi di Indonesia ini meliputi hukum yang
tidak dijalankan sesuai prosedur yang benar, apparat mudah disogok sehingga pelanggaran sangat
mudah dilakukan oleh masyarakat.
Hukum menjadi factor penyebab korupsi jika banyak produk hukum yang tidak jelas
aturannya, pasal-pasalnya multitfsir, dan ada kecenderungan hukum dibuat untuk menguntungkan
pihak-pihak tertentu. Sanksi yang tidak sebanding terhadap pelaku korupsi, terlalu ringan atau tidak
tepat sasaran, juga membuat para pelaku korupsi tidak segan-segan menilap uang negara.

4. Aspek Ekonomi

Factor ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utuama korupsi. Di antaranya pendapatan
atau gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Fakta juga menunjukkan bahwa korupsi tidak
dilakukan olehmereka yang gajinya pas-pasan. Korupsi dalam jumlah besar justru dilakukan oleh
orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi.

Di negara dengan system ekonomi monopolistic, kekuasaan negara dirangkai sedemikian rupa
agar menciptakan kesempatan-kesempatan ekonomi bagi pegawai pemerintah untuk meningkatkan
kepentingan mereka dan sekutunya. Kebijakan ekonomi dikembangkan dengan cara yang tidak
partisipasif, tidak transparan dan tidak akuntabel.

5. Aspek Organisasi

Factor eksternal penyebab korupsi lainnya adalah organisasi tempat koruptor berada.
Biasanya, organisasi memberi andil terjadinya korupsi, karena membuka peluang atau kesempatan.
Misalnya tidak adanya teladan integritas dari pemimpin, kultul yang tidak benar, kurang memadainya
system akuntabilitas, atau lemahnya system pengendalian manajemen.

Mengutip buku Pendidikan Antikorupsi oleh Eko Handoyo, organisasi bisa mendapatkan
keuntungan dari korupsi para anggotanya yang menjadi birokrat dan bermain di antara celah-celah
peraturan. Partai politik misalnya, menggunakan car aini untuk membiayai organisasi mereka.
Pencalonan pejabat daerah juga menjadi sarana bagi partai politik untuk mencari dana bagi kelancaran
roda organisasi, pada akhirnya terjadi money politics dan lingkarang korupsi kembali terjadi.

C. Factor Penyebab Rendahnya Korupsi di Singapura


Penanganan Korupsi Oleh CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau)
Menurut Transparency International tahun 2013 tentang CPI, Singapura menempati
peringkat ke 5 dengan nilai 86. Hal tersebut telah membuktikan bahwa memang benar
Singapura menjadi salah satu negara anti korupsi. Keberhasilan yang dicapai oleh
Singapura tidak terlepas dari peran serta penguasa pemerintah dan Lembaga yang
berwenang dalam menangani kasus korupsi yaitu CPIB (Corrupt Practices Investigation
Bureau).Dalam menangani mengenai tindak pidana korupsi Singapura memiliki dua
regulasi yaitu Prevention of Corruption Act rumusan delik khusus dikalangan bisnis
berupa penyuapan antara swasta dengan swasta, dan untuk pegawai negeri delik suap
diambil dari KUHP Singapura, hal ini dikarenakan latar belakang negara Singapura adalah
sebuah negara bisnis atau dagang. Dalam Prevention of Corruption Act, terdapat 2 (dua)
pasal, pada Pasal 5 dan Pasal 6 Prevention of Corruption Act yaitu dengan ancaman
pidana maksimal 5 (lima) tahun ditambah dengan klausula yang memperberat pidana
menjadi 7 (tujuh) tahun.
Jika korupsi maupun suap berkaitan dengan kontrak yang diadakan antara pihak
swasta dengan pemerintah maupun lembaga / badan publik, maka sesuai dalam Pasal 5
dan Pasal 6 Prevention of Corruption Act, ancaman pidana ditingkatkan menjadi $
100,000 atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan berlaku kumulatif. Pada Pasal
10 sampai dengan Pasal 12 Prevention of Corruption Act mengatur mengenai penyuapan
dalam hal tender pekerjaan, pelayanan, melakukan atau pemasokan sesuatu, material atau
benda, yang merupakan kontrak dengan Pemerintah atau departemen atau badan
publik.Dengan demikian, jika menyangkut penyuapan yang berkaitan dengan kontrak
dengan
pemerintah, sanksi pidananya ditingkatkan.
CPIB sangat berperan dalam pencegahan terhadap tindak pidana korupsi dengan cara
preventif yaitu melakukan peninjauan kinerja departemen pemerintahan dan entitas publik
yang dinilai cenderung korup. CPIB juga berhak memeriksa segala catatan yang
berhubungan dengan kekayaan dan aset masyarakatnya. Hal tersebut bertujuan untuk
menemukan kejanggalan atau kelemahan dalam sistem administrasi yang dimungkinkan
adanya celah korupsi atau penyelewengan prosedur (malpraktik). Selain itu juga
memberikan masukan berupa perbaikan terutama dalam standarisasi tindakan pencegahan
korupsi terhadap departemen yang bersangkutan. CPIB juga aktif dalam
menyelenggarakan sosialisasi kepada publik mengenai tindakan pencegahan terhadap
korupsi.
Selain upaya preventif, CPIB menggunakan upaya represif antara lain melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap setiap bank, saham, pembelian, rekening
pengeluaran, deposito dan menuntut orang (individu maupun lembaga). Dalam penindakan
tersebut biasanya individu maupun lembaga tersebut di tuntut untuk memberitahukan atau
menunjuk dokumen yang diminta sebagai bukti bahawa tindakan tersebut tidak ada
indikasi korupsi. Hal inilah sangatlah berperan dalam meminimalisasi upaya-upaya yang
mengarah ke tindakan korup.
Anti-korupsi ditandai dengan (John S.T. Quah: 95):
1) Commitment by the political leaders, especially Prime Minister Lee Kuan
Yew, towards the Elimination of corruption both within and outside the
public bureaucracy;
2) Adoption of comprehensive anti-corruption measures designed to reduce both
the opportunities and need for corruption; and
3) Creation and maintenance of an incorrupt anti-corruption agency which has
honest and competent personnel to investigate corruption cases and to enforce
the anti-corruption laws.
Dalam sejarahnya, kegiatan pemberantasan korupsi di Singapura, CPIB di tunjang dengan
adanya kerangka hukum yang kuat, mendapatkan dukungan keuangan yang cukup besar,
jumlah tenaga ahli juga penegak hukum baik dalam kuantitas maupun kualitas sangat baik,
dan yang terpenting konsistensi dukungan pemerintah yang terus-menerus.

Anda mungkin juga menyukai