Anda di halaman 1dari 276

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut WHO, definisi sehat adalah kondisi atau keadaan


yang baik secara fisik, mental, sosial, dan spiritual yang diadopsi dari
definisi Ayurveda dari India. Kondisi kesehatan, perkembangan serta
pencegahan penyakit dipengaruhi oleh berbagai faktor yakni
keturunan, pola makan, lingkungan, spiritualitas, aktivitas fisik dan
gaya hidup. Telah lama diketahui bahwa makanan memegang peranan
penting di dalam menentukan kesehatan manusia. Setiap orang
membutuhkan kombinasi dan bahan makanan pada waktu yang tepat
dan dengan jumlah yang tepat untuk memelihara kondisi kesehatan
yang baik. Makanan yang mengandung gizi cukup dan seimbang
diartikan sebagai makanan yang menyediakan semua zat gizi dan kalori
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan manusia dan
perkembangbiakannya. Makanan bergizi optimal adalah makanan
dengan komposisi kimia tertentu sehingga dapat berperan sebagai sumber
zat gizi sekaligus juga potensial untuk meningkatkan kesehatan dan
harapan hidup, serta mengurangi resiko penyakit kronis yang berkaitan
dengan pola makan.
Komposisi dan kecukupan zat gizi dalam makanan pada dasarnya
sudah diketahui dan dipahami, tetapi komposisi dan pola makan yang
optimal belum diketahui karena faktor keturunan atau gen juga terlibat di
dalamnya. Oleh karena itu, penelitian di bidang gizi telah dan sedang
bergeser dari fungsi makanan sebagai sumber zat gizi ke arah peran
makanan pada regulasi metabolisme dan pencegahan penyakit yang
disebabkan ketidakseimbangan metabolisme tersebut, seperti
obesitas, kardiovaskular, osteoporosis, diabetes tipe-2, dan lain-lain.
Secara tradisional juga telah diketahui bahwa ada makanan tertentu
yang bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan, bahkan dapat
mencegah dan mengobati berbagai penyakit. Maka sekitar 2500 tahun
yang lalu, Hippocrates menyatakan ”let your food be your medicine,
and your medicine be your food” yang menekankan tentang fungsi
tambahan dari makanan dalam pencegahan dan penyenbuhan penyakit
selain menjadi sumber zat gizi yang diperlukan.
Minat tentang peranan makanan terhadap kesehatan terus
meningkat. Hal ini terjadi karena perkembangan ilmu pengetahuan di
bidang ilmu gizi dan terutama karena ditemukan bahwa ternyata

1
banyak senyawa di dalam makanan yang dapat meningkatkan fungsi
fisiologis tubuh sehingga kondisi kesehatan akan menjadi optimal.
Perkembangan ilmu di bidang ini tidak hanya menghasilkan literatur
dan publikasi yang banyak, tetapi juga menjadi bahan informasi dan
konsultasi diet sehari-hari bagi professi kesehatan dan masyarakat
yang sangat peduli dengan kesehatan. Hal ini juga didorong terutama
oleh beberapa kecenderungan yang terjadi pada kehidupan modern.
Harapan hidup terus meningkat sehingga jumlah penduduk lansia
makin bertambah di dunia. Obesitas sekarang dikenal sebagai suatu
issu global karena terus meningkat di semua Negara di seluruh dunia.
Di Amerika terdapat lebih dari 60% adalah obesitas dan lebih
setengah orang dewasa mengalami obesitas. Pada umumnya obesitas
merupakan indikasi awal terjadinya perkembangan kondisi yang tidak
normal seperti hipertensi dan resistensi insulin yang berakhir dengan
diabetes dan kemudian menyebabkan komplikasi seperti penyakit
kardiovaskular. Penyakit jantung koroner (PJK) tetap menjadi
penyakit penyebab utama kematian, dan kanker sangat prevalen. Pola
makan yang baik dan komponen bioaktif (non-gizi) di dalam makanan
ternyata dapat mengurangi resiko dan mencegah penyakit kronis
seperti penyakit jantung koroner, kanker, obesitas, diabetes tipe 2 dan
penyakit Alzheimer.
Tumbuhan merupakan sumber utama dari obat-obatan dalam
sejarah manusia. Tumbuhan juga merupakan sumber utama makanan
dan sumber energi bagi ekosistim. Hasil penelitian tentang manfaat
berbagai komponen bioaktif di dalam makanan menjadi petunjuk
bahwa senyawa kimia alamiah di dalam herbal bermanfaat untuk
mencegah dan mengobati berbagai penyakit kronis seperti kanker dan
PJK. Belakangan ini menunjukkan bahwa komponen bioaktif dalam
makanan meningkatkan kesehatan dengan berbagai cara melebihi
fungsi makanan sebagai sebagai sumber zat gizi yang dibutuhkan.
Maka, ilmu pangan dan gizi telah beralih dari sekedar identifikasi dan
mengoreksi kekurangan zat gizi menuju ke fungsi makanan yang
mengoptimalkan kondisi kesehatan dan mengurangi resiko penyakit.
Sekarang ilmu pengetahuan yang modern digunakan untuk
memperbaiki makanan.
Eksplorasi tentang sifat preventif dan kuratif dari makanan atau
komponen di dalam makanan dan herbal telah banyak diketahui dan
terus dikembangkan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa orang

2
yang mengonsumsi banyak sayur-sayuran dan buah-buahan,
misalnya vegetarian, ternyata lebih sehat dan memiliki resiko penyakit
degeneratif lebih rendah dibandingkan dengan orang yang sedikit
mengonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan sampai saat ini muncullah istilah
”makanan fungsional dan nutraseutikal” yakni istilah yang berkaitan
dengan potensi makanan dan komponen makanan untuk mencegah
dan menyembuhkan penyakit. Banyak istilah lain yang digunakan
untuk menjelaskan peranan makanan yang demikian yakni vitafoods,
supplemen makanan, designer foods,medical foods, pharma foods;
fitokemikal, dan yang lebih tradisional adalah supplemen makanan,
dan makanan yang difortifikasi. Akan tetapi istilah makanan
fungsional menjadi istilah yang paling dominan walaupun beberapa
lembaga telah berusaha untuk membedakan kategori makanan yang
muncul dengan berbagai istilah di atas.
Makanan yang mengandung komponen bioaktif disebut sebagai
makanan fungsional. Makanan fungsional adalah produk yang
dikonsumsi dalam bentuk makanan dan bukan dalam bentuk sediaan
lain. Jadi makanan fungsional adalah makanan yang berperan sebagai
sumber zat gizi dasar yang mengandung komponen bioaktif sehingga
memberikan manfaat kesehatan melebihi peran zat gizi dasar.
Makanan fungsional dapat diolah secara khusus atau diperkaya
dengan komponen yang berfungsi untuk meningkatkan kesehatan
seperti supplemen vitamin dan mineral, herbal, fitokemikal, dan
probiotik. Nutraseutikal (komponen biokatif) kadang-kadang disebut
juga makanan fungsional sehingga menimbulkan perdebatan karena
istilah ini dapat mengaburkan pengertian antara makanan dan obat.
Jika makanan fungsional mempunyai fungsi untuk mencegah dan
mengobati penyakit yang bukan penyakit defisiensi zat gizi seperti
anemia, maka makanan yang demikian disebut nutraseutikal.
Nutraseutikal di dalam makanan fungsional terdapat secara alami
yang berasal dari makanan nabati atau hewani seperti minyak ikan, produk
susu dan mikroba di dalam yogurt, terutama yang terdapat dalam sayur-
sayuran dan buah-buahan. Komponen bioaktif yang terdapat dalam sayur-
sayuran dan buah-buahan yang bukan zat gizi disebut phytochemicals
(senyawa bioaktif pangan nabati). Kebanyakan dari kelompok
phytochemicals berperan sebagai antioksidan alami.
Fitokemikal adalah senyawa kimia yang meliputi polifenol,

3
karotenoida, senyawa sulfur organik di dalam bawang putih disebut
sebagai nutraseutikal. Walaupun tidak semua komponen bioaktif ini
diserap, nutraseutikal yang ada di dalam makanan berkontak dengan
lapisan sel dinding saluran cerna tempat utama dari respon sistim
kekebalan dan awal dari ketidak normalan dapat terjadi akan
diproteksi dan berarti melindungi sel-sel internal tubuh. Beberapa
senyawa ini bukan zat gizi tetapi efektif untuk mencegah dan melawan
penyakit. Lebih dari 900 fitokemikal telah teridentifikasi sebagai
komponen tanaman yang merupakan makanan. Khasiat dari
komponen ini telah diteliti secara intensif tetapi penelitian lebih lanjut
perlu diteruskan untuk memperoleh manfaat dari senyawa yang belum
diteliti secara cermat termasuk komponen yang belum diketahui dari
tanaman lain yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia.
Nutraseutikal juga dapat berupa produk kesehatan yang mengandung
komponen bioaktif dari makanan yang dapat dibuat dalam bentuk
sediaan farmasi (kapsul, tablet, sirup dll).
Dari kelompok karbohidrat, protein dan lemak atau komponen
penyusunnya ada juga yang merupakan komponen bioaktif. Serat pangan
dan oligosakarida adalah karbohidrat yang berperan sebagai prebiotik yakni
untuk mendukung pertumbuhan bakteri yang bermanfaat (probiotik) di
dalam usus. Beberapa senyawa peptida dari protein aktif secara fisologis
diluar fungsinya sebagai zat gizi. Minyak yang termasuk lemak rantai
sedang seperti minyak kelapa dan omega-3 di dalam minyak ikan dapat
mencegah dan mengurangi resiko penyakit kardiovaskular.
Efek fisiologis dari makanan di dalam tubuh disebabkan oleh suatu
senyawa, interaksi dari berbagai senyawa bioaktif, dan interaksi
antara senyawa bioaktif dengan zat gizi lain di dalam diet secara
keseluruhan. Faktor lain yang turut menentukan efek biologis zat
bioaktif tersebut adalah adanya interaksi antara zat gizi dan non gizi
dengan keadaan fisiologis, perilaku, dan latar belakang gengetik dari
konsumen. Istilah nutritional genomik meliputi nutrigenomik dan
nutrigenetik. Nutrigenomik mempelajari interaksi antara komponen
makanan dengan genom yang menyebabkan perobahan pada metabolit
protein dan metabolit lainnya. Nutrigenetik berkaitan dengan perbedaan
respon dari gene terhadap komponen makanan dan nutraseutikal
berdasarkan susunan genetik seseorang yang menjurus pada nutrisi
individual.
Makin jelaslah bahwa makanan yang dikonsumsi bukan hanya

4
berfungsi sebagai sumber zat gizi, melainkan juga mampu mempengaruhi
penampilan serta mencegah dan mengurangi resiko penyakit. Oleh karena
itu, keberadaan komponen bioaktif di dalam makanan sangat penting
artinya dalam ilmu gizi. Produk pangan hewani maupun nabati dalam
bentuk utuh dan segar ataupun berupa hasil olahan yang mengandung
senyawa bioaktif (nutraseutikal) yang menguntungkan bagi kesehatan
dapat dikategorikan sebagai makanan fungsional. Sebagian besar
nutraseutikal berasal dari makanan nabati dan herbal yang diisolasi
kemudian dimasukkan didalam makanan sebagai pembawa atau diproduksi
dalam bentuk sediaan farmasi berupa kapsul, tablet, sirup dll.

5
BAB II
MAKANAN FUNGSIONAL DAN NUTRASEUTIKAL

Makanan berfungsi untuk memenuhi zat gizi cukup dan


seimbang (zat gizi dasar) yang diperlukan agar dapat hidup dengan
sehat. Fungsi makanan yang maksimal dapat dicapai dengan
menerapkan pola makan yang baik dengan mengonsumsi makanan
yang beragam (variety) dan seimbang (balance) dalam jumlah yang
sedang (moderate) dari setiap jenis makanan. Makanan tertentu dapat
meningkatkan kesehatan menjadi optimal melebihi fungsi makanan
biasa karena mengandung komponen bioaktif yang dikenal sebagai
makanan fungsional. Penelitian menunjukkan bahwa peranan
komponen bioaktif yang bukan zat gizi di dalam makanan ternyata
sebagian memberikan manfaat bukan hanya berfungsi meningkatkan
kesehatan tetapi juga memberikan dampak medis yakni mencegah dan
mengobati penyakit. Komponen bioaktif yang demikian disebut
nutraseutikal. Nutraseutikal dapat dimasukkan di dalam makanan
sehingga menjadi makanan fungsional, atau diisolasi kemudian dibuat
di dalam bentuk sediaan farmasi berupa kapsul, tablet dll. Informasi
tentang manfaat makanan fungsional dan nutraseutikal telah banyak diteliti
dan dipublikasikan di dalam majalah ilmiah dan media populer. Maka
akhir-akhir ini masyarakat makin menyadari pentingnya peranan pola
makan dengan kesehatan melalui proses pencegahan penyakit. Makin
banyak permintaan terhadap komponen bioaktif karena konsumen makin
sangat sadar akan peran dan kaitan makanan dengan kesehatan terutama
peranan penting pola makan dengan perkembangan penyakit degeneratif
seperti jantung koroner, diabetes tipe 2, kanker, alzheimer’s disease dll.
Berikut ini diuraikan tentang definsisi, klasifikasi dan pengembangan
makanan fungsional dan nutraseutikal.

Definisi
Sampai saat ini, belum ada definisi yang baku mengenai makanan
fungsional dan nutraseutikal karena perbedaan dalam hal jenis
makanan, pendapat dari organisasi profesi kesehatan, manfaat dan
keamanan makanan, serta peraturan yang berlaku di berbagai negara.
Makanan fungsional meliputi produk yang segar atau utuh sampai produk
pangan hasil olahan, fortifikasi zat gizi dalam makanan, dan suplemen

6
makanan.
Konsep makanan fungsional dikembangkan di Jepang pada
thuan 1980-an melalui suatu penelitian tentang manfaat fungsional
dari berbagai makanan. Kemudian pada tahun 1991 ditetapkan sistim
Food for Specified Health Uses (FOSHU), yang dirancang untuk
memperkenalkan regulasi dari makanan yang potensial bermanfaat
bagi kesehatan sebagai suatu upaya meringankan biaya pemeliharaan
kesehatan masyarakat. Makanan yang telah dibuktikan memiliki
potensi tertentu untuk kesehatan, maka secara legal diizinkan
mencantumkan manfaatnya pada label produk makanan tersebut.
FOSHU harus dalam bentuk makanan, tidak boleh dalam bentuk
sediaan farmasi. Sejak tahun 1991 sampai sekarang telah tersedia
lebih dari 600 produk FOSHU yang beredar di Jepang.
Jepang adalah negara pertama yang mendefinisikan makanan
fungsional, yaitu makanan olahan bergizi yang juga mengandung bahan
atau unsur yang berperan untuk membantu fungsi tubuh tertentu.
Dewan informasi makanan internasional (The International Food
Information Council) dan The International Life Sciences Institute
(ILSI) mendefinisikan makanan fungsional sebagai makanan yang
menguntungkan bagi kesehatan, selain fungsinya sebagai sumber zat gizi
dasar. Asosiasi Ahli Gizi Amerika The American Dietetic Association
(ADA) mendefinisikan makanan fungsional yang meliputi produk segar
dan utuh maupun produk olahan, yang diperkaya dan ditingkatkan mutunya
sehingga bermanfaat dan meningkatkan kesehatan serta mengurangi
resiko penyakit pada konsumen.
Istilah nutraseutikal diusulkan oleh Stephen L Defelice tahun
1989, yang diturunkan dari gabungan kata nutrition dan
pharmaceutical, (nutra=makanan; ceutical=ciri produk dalam
pengobatan) dan merujuk pada makanan, sari makanan atau
supplemen makanan yang berfungsi untuk meningkatkan kesehatan,
mencegah dan menyembuhkan penyakit melebihi fungsi makanan.
Nutraseutikal adalah daerah abu-abu yang berada di antara makanan
dan obat. Selanjutnya istilah ini mengimplikasikan bahwa sari atau
makanan memperbaiki fungsi fisiologis atau bersifat protektif
terhadap penyakit kronis. Kemudian di definisikan pada tahun 1994
menjadi ”setiap zat yang dianggap makanan atau bagian dari makanan
dan memberikan dampak medis dan meningkatkan kondisi kesehatan,
termasuk untuk mencegah dan mengobati penyakit”. Jika zat di dalam

7
makanan berperan hanya untuk mempertahankan kondisi kesehatan
jaringan dan organ, maka dianggap sebagai komponen makanan.
Tetapi jika zat itu mampu memberikan effek modifikasi pada satu
fungsi proses fisiologis tubuh atau lebih, berarti dapat dianggap
sebagai zat berkhasiat. Nutraseutikal adalah komponen alamiah atau
turunannya yang berkhasiat untuk kesehatan. Jika nutraseutikal
dimasukkan di dalam makanan sebagai pembawa disebut sebagai
makanan fungsional.
Nutraseutikal dan makanan fungsional lebih sebagai konsep
pemasaran daripada kategori dalam regulasi, dan di Amerika tidak ada
definisi khusus yang membedakannya dari makanan lainnya. Sehingga
meramalkan tingkat pasar nutraseutikal sangat sulit karena tidak ada
definisi yang universal dari nutraseutikal. Produk ini juga meliputi zat
gizi hasil isolasi, supplemen makanan, makanan transgenik yang
dirancang khusus, produk herbal, diet yang diproses khusus, seperti
sereale, soup, jus, dan minuman. Jadi nutraseutikal adalah istilah yang
digunakan dalam marketing untuk menyatakan supplement makanan
(nutritional supplement) yang dijual untuk tujuan pencegahan dan
pengobatan penyakit dan tidak ada definisi legal. Pendekatan dari
aspek regulasi dan pemasaran dari nutraseutikal sangat bervariasi di
seluruh dunia dan tidak mudah untuk menggolongkan produk baru ini.
Maka belum ada regulasi dan tidak ada proses regulasi untuk
mendefinisikan secara explisit dari nutraseutikal. Di kebanyakan
negara, produk ini di masukkan dibawah kategori sebagai obat dan
sebagai makanan. Misalnya, di USA, nutraseutikal berada dibawah
regulasi supplemen makanan (dietary supllement), suatu produk
khusus dibawah payung makanan, sedangkan di Kanada berada
dibawah produk kesehatan alami.
Pada tahun 1990-an, di Amerika, telah terjadi perobahan yang
drastis akan kecenderungan pasar untuk nutraseutikal. Peranan media
dalam dua abad terakhir juga berperan di dalam menyampaikan
perkembangan iptek berkaitan dengan hubungan zat gizi dengan
kesehatan, dan hal ini menguntungkan untuk pemasaran nutraseutikal
yang meningkat secara signifikan. Makin banyak konsumen
memperoleh dan memahami informasi mengenai fakta ilmiah tentang
manfaat nutraseutikal. Masyarakat mulai menggunakan makanan
fungsional dan nutrseutikal dan suplemen makanan untuk mencegah
penyakit sekali gus untuk memenuhi kebutuhan gizi dasar. Tambahan

8
lagi bahwa masyarakat cenderung menyukai sediaan alamiah daripada
senyawa sintetis dan memilih komponen bioaktif dalam makanan.
Ada beberapa kelompok masyarakat yang tertarik untuk
memanfaatkan nutraseutikal dengan beberapa alasan berikut ini.
1. Masyarakat makin menyadari bahwa pencegahan lebih baik
daripada pengobatan. Hal ini terutama karena berkaitan dengan
beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan keturunan
sehingga diusahakan untuk mengurangi resiko atau untuk
mencegahnya, misalnya diabetes, kanker payudara, hipertensi
dll. Sedangkan obat sintetis sekarang ditujukan untuk
mengobati, dan jarang suatu obat tertentu yang digunakan untuk
upaya pencegahan.
2. Masyarakat penderita penyakit kronis tidak menemukan obat
sintetis yang ampuh. Kelompok ini menemukan bahwa
nutraseutikal dapat membantu. Banyak pasien penderita
diabetes, artritis, kanker, dll yang merasa tidak dapat diobati
dengan obat sintetis dan merasa bahwa nutraseutikal
bermanfaat. Bahkan ada dokter yang mencoba memberikan
nutraseutikal pada pasien seperti ini
3. Pediatrik dan geriatrik adalah juga kelompok yang
memanfaatkan nutraseutikal untuk meningkatkan kesehatan
anak mereka dan orang tua karena menganggap bahwa
nutrasetikal menyebabkan effek samping yang rendah.
4. Disamping itu banyak kosumen yang mempertimbangkan akan
biaya obat-obatan yang harus dikeluarkan dan ketidakpuasan
pada sediaan farmasi untuk meningkatkan kesehatan menjadi
salah satu alasan untuk beralih ke nutraseutikal yang
bermanfaat untuk meningkatkan kondisi kesehatan dan
mencegah penyakit kronis.
5. Biasanya penyakit-penyakit yang sering dikaitkan dengan
makanan fungsional adalah penyakit kardiovaskular (penyakit
jantung koroner = PJK), saluran cerna, oksidatif stress,
pengendalian berat badan, diabetes, kesehatan mental,
kesehatan persendian dan tulang.
Sejauh ini Jepang adalah satu-satunya Negara yang pertama
memiliki suatu peraturan khusus tentang makanan fungsional, yang
jika disetujui melalui suatu prosedur yang ditetapkan dan memenuhi
peraturan untuk dikonsumsi publik maka produk tersebut dapat

9
mencantumkan pernyataan “Foods for Specified Health Use
(FOSHU)” dari Departemen Kesehatan Jepang, jadi mereka tidak
menggunakan istilah makanan fungsional. FOSHU mengacu pada
makanan yang diolah yang mengandung komponnen bioaktif yang
meningkatkan fungsi tubuh tertentu, melebihi kemampuan fungsi
makanan yang bergizi baik. Makanan yang terbukti mempengaruhi
satu atau lebih sasaran dari fungsi tubuh, melebihi peranan makanan,
sehingga berperan untuk meningkatkan kondisi kesehatan dan
mengurangi resiko penyakit. Makanan fungsional sama tampilannya
dengan atau merupakan makanan konvensional yang dikonsumsi
sebagai makanan khusus dan memperlihatkan efek fisiologis yang
bermanfaat atau dapat mengurangi resiko penyakit kronis.
Maka, makanan fungsional adalah produk makanan yang secara
legal dapat mencantumkan manfaatnya terhadap kesehatan setelah
terbukti secara ilmiah. Pernyataan akan manfaat terhadap kesehatan
(health claims) pada produk pertama kali adalaah Jepang. Ada dua
tipe health claim yang diusulkan pada label makanan fungsional yakni
meningkatkan fungsi fisiologis (tipe A), dan mengurangi resiko
penyakit (tipe B). Pernyataan manfaat kesehatan dari beberapa produk
makanan misalnya ”serat pangan mempertahankan kesehatan
pencernaan”, protein kedele dapat membantu menurunkan LDL
kolesterol. Makanan fungsional adalah untuk orang sehat dan orang
yang berada pada batas diantara kondisi sehat dan sakit. Di USA tahun
1993 telah memberikan izin untuk beberapa produk makanan setelah
memperoleh persetujuan dari para ahli. Di Eropah sedang di proses
untuk memberikan pernyataan manfaat produk makanan terhadap
kesehatan.
Di Kanada, makanan fungsional di definisikan sebagai makanan
yang penampilannya mirip seperti makanan biasa, dikonsumsi secara
teratur sebagai bagian dari diet, sedangkan nutraseutikal didefinisikan
sebagai suatu produk yang dibuat dari makanan tetapi dalam bentuk
sediaan farmasi yakni pill, tablet, kapsul dan bentuk medis lainnya
tidak dikaitkan dengan makanan. Di Inggris, makanan fungsional
adalah suatu makanan yang mengandung komponen bioaktif secara
alami atau melalui penambahan suatu komponen sehingga
memberikan effek medis tertentu atau meningkatkan fungsi fisiologis.
Di Amerika, tidak mengenal istilah makanan fungsional, tetapi
mengenal istilah supllemen makanan atau makanan medis (medical

10
food) dibawah U.S. Dietary Supllemen Health and Education Act.
FDA mengharapkan bahwa nutraseutikal perlu di proses dengan
current Good Manufacturing Pratices (cGMPs), secara bertahap FDA
bergerak ke arah peraturan yang lebih ketat untuk nutraseutikal.
American Dietetic Association (ADA) mendefinisikan makanan
fungsional sebagai makanan yang potensial untuk meningkatkan
kesehatan oleh komponen bioaktif makanan yang bermanfaat bagi
kesehatan melebihi makanan tradisional yang sehat. Juga
memeberikan beberapa catatan berikut: makanan fungsional dapat
berupa makanan utuh, fortifikasi, atau makanan yang ditingkatkan
kadarnya; semua makanan adalah fungsional pada beberapa tingkat
fisiologis; makanan fungsional harus dikonsumsi sebagai bagian dari
diet yang divariasikan secara teratur dan dikonsumsi pada kadar yang
effektif. Definisi kerja dari makanan fungsional oleh Functional
Foods Science in Europe (FUFOSU) adalah suatu makanan yang
memiliki effek menguntungkan pada satu sasaran fungsi fisiologis
atau lebih dalam tubuh melebihi makanan yang cukup gizinya yang
potensial mempengaruhi kesehatan dan penampilan dan atau
mengurangi resiko penyakit. International Food Information Council
(IFIC,1998) mendefinisikan makanan fungsional sebagai makanan
yang bermanfaat bagi kesehatan melebihi makanan yang bergizi baik.
Di Korea, makanan fungsional biasanya dianggap sebagai
makanan yang ditujukan sebagai bagian dari makanan biasa dan
mengandung komponen bioaktif yang potensial meningkatkan
kesehatan atau mengurangi resiko penyakit. Jadi makanan fungsional
adalah makanan yang mengandung mineral, vitmin, asam lemak, serat
pangan, makanan yang ditambahkan komponen bioaktif seperti
fitokemikal atau antioksidan dan probiotik yang memberikan efek
bermanfaat bagi kesehatan dan kehidupan. Menurut definisi ini,
makanan yang utuh seperti buah dan sayuran dapat dianggap sebagai
bentuk makanan fungsional yang paling sederhana. Misalnya brokoli,
wortel, tomat adalah makanan fungsional karena mengandung
komponen bioaktif seperti beta-karoten, likopen, dll. Juga makanan
yang dimodifikasi, termasuk yang telah difortifikasi dengan zat gizi
atau diperkaya dengan fitokemikal atau herbal termasuk bagian dari
makanan fungsional. Peraturan yang demikian juga diberlakukan di
beberapa Negara seperti Kanada. Penggolongan produk dan proses
penentuan yang mengarah ke suatu prosedur standardisasi

11
Internasional diberlakukan di beberapa Negara. Di Amerika, produk
alami /natural diatur sebagai supplemen makanan (dietary
supplements). Di Australia, produk yang demikian dikategorikan
sebagai pengobatan komplementer (Complementary medicines). Di
Eropah (European Union) produk kesehatan alamiah digolongkan
sebagai obat. Maka ada beberapa definisi yang dibuat oleh beberapa
lembaga untuk produk makanan fungsional; (1) makanan karena
kandungan komponen bioaktif, memberikan effek yang bermanfaat
bagi kesehatan melebihi dari makanan biasa (ILSI), (2) setiap
makanan atau komponen makanan yang memberikan manfaat pada
kondisi kesehatan melebihi fungsi makanan dengan zat gizi yang
dikandungnya, (3) suatu makanan, alamiah atau diformulasi, yang
akan meningkatkan penampilan fisiologis, mencegah atau mengobati
penyakit dan gangguan kesehatan. Beberapa contoh makanan
fungsional dan effek fisiologisnya ada pada Tabel 1.

Tabel 1. Beberapa Makanan Fungsional


Makanan Komponen bioaktif Effek Fisiologis
Fungsional (nutraseutikal)
Buah jeruk Flavonone, hesperidin, Antioksidan, antikanker
xanthohumol, limonoida
Minyak ikan Asam lemak Omega-3 Mengurangi resiko PJK,
memperbaiki fungsi
mental dan fungsi
penglihatan,
antiimflamasi
Teh hijau Epicatechin(EC), Mencegah kanker
Epicathecin gallat
(EGCG)
Buah anggur Flavonol, quercetin, Antikanker dan
rutin antioksidan
Daun sup Flavone: apigenin Menetralkan radikal
bebas, menurunkan
resiko kanker
Oat Serat pangan tak larut Mencegah kanker kolon
dan serat larut di dalam dan payudara;
air menurunkan kolesterol

12
Kedele Isoflavone: daidzein, Dapat mencegah kanker
genistein, glycitein and dan, menurunkan kadar
glikosidanya kolesterol
Soyasaponin A dan B Mengendalikan kadar
kolesterol, triglisedia,
dan gula darah

Bayam Flavonoida, lutein Mencegah proses


penuaan

Tomat Likopen Antikanker prostat


antioksidan

Brokoli Glukosinolat Antikanker, antioksidan


Anggur Flavonoida, resveratrol Mencegah oksidasi
Saponin kolesterol
Mengikat dan mencegah
absorbsi kolesterol
Wortel, buah Karotenoida Menetralkan radikal
bebas
Fitosterol Minyak jagung, kedele, Menurunkan kolesterol
darah dengan menegah
penyerapan kolesterol
Keju, daging Conyugated Linoleic Mencegah kanker
Acid (CLA) tertentu
Bawang Sulfur organik; Allicin Mengurangi resiko PJK
putih dan derivatnya dan beberapa kanker,
menurunkan kolesterol
Yogurt Lactobacillus Probiotik, kesehatan
acidophilus saluran cerna.
Probiotik mencegah
penyakit karena bakteri
Bifidobacterium sp pathogen.
Produksi asam asetat
dan asam lakatat

13
sehingga pH menurun
Streptococcus salivarius Menghamabat produksi
fenol, ammonia, amina,
dan metabolit steroida
Probiotik, memelihara
kondisi eksistim pada
saluran cerna

Bentuk lain dari makanan fungsional adalah makanan yang secara


khusus dirancang untuk memenuhi kebutuhan sekelompok masyarakat
dan seseorang yang menderita penyakit tertentu atau pada kondisi
tertentu. Berbeda dengan makanan fungsional, makanan khusus
dikenal secara legal, dan ditawarkan langsung kepada professi
kesehatan, sedangkan makanan fungsional di tawarkan kepada
masyarakat konsumen. Contoh makan khusus adalah (1) makanan
untuk bayi dan balita, termasuk formula bayi, makanan bayi, (2)
makanan yang dutujukan untuk mengurangi berat badan, (3) makanan
untuk atlet, (4) makanan untuk tujuan di dalam proses pengobatan
(enteral, makan dari selang pada pasien terntentu. Supplemen
makanan (dietary supplement) adalah produk yang ditujukan untuk
menambah/melengkapi diet (makanan) yang mengandung satu atau
lebih zat gizi berikut: (1) vitamin, (2) mineral, (3) herbal, (4) asam
amino, (5) zat gizi untuk melengkapi makanan dengan menambah
total asupan zat gizi,(6) konsentrate metabolit atau kombinasi di atas.
Nutraseutikal merupakan istilah yang cakupannya luas termasuk
semua makanan yang memiliki effek medis/penyembuhan jika
digunakan dalam waktu yang lama. Potensi nutraseutikal dan
makanan fungsional dikaitkan dengan memelihara dan meningkatkan
kondisi kesehatan dan berbeda dengan fungsi obat, walaupun
pernyataan tentang manfaatnya untuk kesehatan (certain health claim)
dapat dicantumkan pada label makanan fungsional dan nutraseutikal
seperti yang diatur oleh U.S Food and Drug Administration (USFDA).
Jika makanan fungsional berperan dalam mencegah dan mengobati
penyakit dan atau gangguan kesehatan selain dari anemia, disebut
nutraseutikal. Jadi makanan fungsional untuk seseorang dapat menjadi
nutraseutikal untuk orang lain. Nutraseutikal diberikan sebagai
makanan biasa atau bentuk lain. Dr.Lockwood mengajukan bahwa
”Nutraseutikal adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan suatu

14
komponen yang bersifat nutrisi dan medis yang meliputi sejenis
makanan, tanaman, atau bahan alami yang telah dimurnikan atau
dipekatkan dan digunakan dan dimanfaatkan untuk meningkatkan
kondisi kesehatan melalui pencegahan dan mengobati penyakit. Pada
saat ini ada lebih dari 470 produk makanan fungsional dan
nutrtaseutikal yang tersedia dengan informasinya tentang manfaatnya
terhadap kesehatan.
Definisi lain menyatakan bahwa nutraseutikal adalah suatu
supplemen pangan yang mengandung komponen bioaktif dengan
kadar yang ditingkatkan (terkonsentrasi) berasal dari satu jenis
makanan, disajikan dalam bentuk matriks non-pangan dan digunakan
untuk meningkatkan kesehatan dengan dosis yang lebih tinggi dari
makanan biasa. Jadi di beberapa negara mengadopsi istilan
nutraseutikal secara berbeda-beda dan mendefinisikan dengan cara
berbeda. Banyak negara sedang mencoba untuk menetapkan
peraturan/undang-undang untuk produk ini. Menariknya lagi, revolusi
nutraseutikal berkembang menjadi bagian dari jalur utama dalam
proses innovasi dalam pengobatan.
Pada tahun 1999, makanan telah dibedakan dari komponen
bioaktif alamiah yang berasal dari makanan dengan menggunakan
makanan fungsional untuk makanan kesehatan dan nutraseutikal untuk
komponen bioaktif. Dengan definisi baru ini, nutraseutikal adalah
komponen bioaktif yang berasal dari makanan dan diformulasikan
sebagai sediaan farmasi seperti serbuk, tablet, dll, dan tidak dianggap
sebagai makanan. Akan tetapi definisi ini tidak mengesampingkan
kemungkinan bahwa nutraseutikal dapat diekstraksi dari makanan
konvensional (misal, minyak ikan) dan kemudian dimasukkan
kedalam produk makanan lain untuk menghasilkan makanan yang
juga disebut makanan fungsional. Dalam hal seperti ini, makanan
yang dihasilkan makanan fungsional dan komponen bioaktif disebut
nutraseutikal. Tidak satupun istilah ini digunakan di dalam
peraturan /undang-undang. Misalnya, istilah nutraseutikal tidak
dikenal dalam FDA atau European Scientific Commitee on Food. Di
beberapa negara nutraseutikal dipasarkan untuk ditambahkan kedalam
makanan, sedangkan negara lain zat ini dijual sebagai obat yang
diresepkan. Walaupun sudah banyak definisi tentang makanan
fungsional, tetapi tidak gampang didefinisikan karena bukan tunggal,
sehingga makanan fungsional lebih relevan jika difahami sebagai

15
suatu konsep daripada sebagai definisi.
Selanjutnya konsep makanan fungsional dikembangkan di USA
dan Eropah. Berdasarkan konsensus di Eropah yang dikenal dengan
Functional Food Science in Europe (FUFOSU), suatu makanan
dianggap ”fungsional” jika makanan tersebut berpotensi
meningkatkan kesehatan melalui satu atau lebih sasaran fungsi
fisiologis di dalam tubuh, melebihi pola makan yang sehat. Dalam hal
ini makanan fungsional meningkatkan kondisi kesehatan, mengurangi
resiko penyakit. Sasaran fungsi meliputi fungsi genomik, biokimia,
fisiologis atau fungsi perilaku. Menurut konsensus ini keunikan
makanan fungsional adalah sebagai berikut; (1) merupakan makanan
konvensional atau makanan sehari-hari, (2) dikonsumsi sebagai bagian
dari makanan sehari-hari, (3) merupakan komponen makanan secara
alamiah, kadang-kadang melebihi dari jumlah normal, (4)
memberikan effek positif pada target fungsi memelibihi peran zat gizi,
(5) meningkatkan kondisi kesehatan secara utuh meliputi baik secara
fisik, psikologis dan perilaku, dan mengurangi resiko penyakit, dan (6)
telah memperoleh izin untuk mencantumkan manfaat nya secara
legal . Pathak (2010) membuat dan merangkum semua definisi dan
memodifikasi dan mengatakan bahwa nutraseutikal adalah produk
yang dibuat baik dari makanan atau zat gizi atau herbal tradisional
atau mineral atau derivat sintesis yang dibuat dalam bentuk sediaan
farmasi melalui proses cGMPs.

Pengembangan Makanan Fungsional dan Nutraseutikal


Pengembangan makanan fungsional menuntut suatu
pemahaman yang baik akan fungsi dasar tubuh dan identifikasi satu
atau lebih komponen makanan yang mampu menyasar suatu fungsi
(misalnya; genomik, biokimia, fisiologis, perilaku) untuk
memperbaiki atau mempertahankan kesehatan atau mengurangi
resiko penyakit. Interaksi antara komponen dan fungsi yang disasar
harus diketahui. Biomarker yang relevan perlu diidentifikasi dan
divalidasi. Hal ini mungkin meliputi metabolit, protein khusus,
hormon, atau enzim, parameter fisiologis (mis; tekanan darah, denyut
jantung, dll), atau perubahan pada penampilan fisik dan perilaku
dengan menggunakan parameter yang objektif. Fungsi yang
ditemukan kemudian perlu diteliti secara cermat termasuk untuk
menentukan dosis yang effektif dan aman. Akirnya studi klinis perlu

16
dilakukan.
Makanan yang termasuk makanan fungsional adalah:
1. Makanan yang ke dalamnya ditambahkan komponen yang
bermanfaat selama proses pengolahan. Komponen ini termasuk
zat gizi misalnya asam folat untuk mencegah bayi lahir dengan
gangguan saluran syaraf atau kalsium untuk kesehatan tulang,
sedangkan yang tidak termasuk zat gizi misalnya serat pangan,
fitosterol, probiotik, herbal misalnya ginseng, Ginkgo biloba.
2. Makanan yang dari dalamnya suatu komponen telah
dikeluarkan sehingga tidak menimbulkan effek negatif seperti
mengeluarkan asam lemak trans, mengurangi kandungan asam
lemak jenuh atau mengurangi jumlah total lemak.
3. Makanan alamiah yang telah ditingkatkan kadar suatu
komponen yang bermanfaat melalui kondisi pertumbuhan yang
khusus atau/dan modifikasi genetik (transgenik).
4. Makanan yang ditambahkan komponen tertentu melalui kondisi
pertumbuhan khusus. Misalnya memasukkan gen dari algae ke
suatu tanaman (rapeseed plants) sehingga mampu mensintesa
dan menimbun asam lemak omega-3 EPA dan DHA.
5. Makanan yang didalamnya bioavailabilitas dan stabilitasnya
dari satu atau beberapa komponen ditingkatkan sehingga
menunjukkan manfaat yang lebih baik. Pengembangan
prebiotik yang effektif untuk pertumbuhan probiotik.
6. Makanan yang didalamnya sifat salah satu atau lebih komponen
secara kimia dimodifikasi unuk memperbaiki kesehatan
misalnya, hidrolisis protein di dalam formula bayi untuk
menghindari allergis.

Saat ini kebanyakan nutraseutikal tersedia di Toko grosir dan


toko makanan. Akan tetapi mengingat bahwa nutraseutikal memiliki
nilai-nilai pengobatan maka sebaiknya nutraseuitikal harus berada di
Apotik atau toko obat. Untuk ini perlu pemasaran nutrseutikal harus
mendefinisikan secara lebih rinci tentang perbedaannya dengan
makanan fungsional. Begitu produk ini dipisahkan, maka secara
bertahap akan lebih dikategorikan sebagai produk yang cenderung
berada di pihak obat daripada ke bagian kelompok makanan. Pada saat

17
ini belum diwajibkan untuk meresepkan nutraseutikal. Sesuai dengan
definisi yang dikemukakan diatas maka nutraseutikal pasti lebih tepat
ditangani oleh seorang farmasis yang mampu melihat interaksi dengan
obat-obat sintetik lainnya. Dengan demikian manfaat dari
nutraseutikal akan lebih optimal penggunaannya. Salah satu masalah
adalah kandungan zat berkhasiat dan keseragaman kadar di dalam
sediaan karena utraseutikal adalah merupakan kumpulan/kombinasi
dari berberapa komponen sehingga sulit untuk menetapkannya di
dalam sediaan. Akan tetapi karena ada senyawa yang paling berperan
maka komponen ini dapat ditentukan sebagai acuan. Disamping itu
harus juga ditetapkan kontaminan yang mungkin terdapat di dalam
sediaan yang berbahaya bagi konsumen. Hal yang penting juga adalah
reprodusibilitas dari sediaan yang diproduksi.
Identifikasi senyawa serta percobaan klinis untuk menguji
khasiatnya dalam pengobatan penyakit penting dilakukan. Maka
penelitian selanjutnya perlu dilakukan meliputi (1) identifikasi dan
kuantifikasi komponen bioaktif di dalam makanan fungsional (2)
standradisasi komponen bioaktif, (3) penelitian klinis untuk
mengetahui effek makanan fungsional dan nutraseutikal pada
manusia, (4) mengembangkan metode standard untuk meningkatkan
dan meyakinkan kadar fitokemikal dan komponen bioaktf lainnya di
dalam bahan baku dan produk yang diproses, (5) menentukan dosis
tepat cara pemberiannya,(6) investigasi ketersediaan biologisnya dan
metabolisme dari makanan fungsonal dan nutraseutikal, (7)
mempelajari teknis dan issu keamanan yang berkenaan dengan
peraturan Depkes serta pernyataan khasiatnya (8) memeriksa issu
peraturan (9) penelitian tentang effek pengolahan pada produk
makanan fungsional dan nutraseutikal, (10) stabilitas produk, (11)
interaksi dari makanan fungsional dan nutraseutikal dengan obat-
obatan yang diresepkan atau OTC dan dengan makanan fungsional
dan nutraseutikal yang lainnya.
Disamping itu, produksi nutraseutikal juga harus dibedakan
atau dipisahkan dari cara produksi makanan. Proses formulasi dari
nutraseutikal harus mengikuti norma-norma formulasi sediaan
farmasi. Beberapa uji sederhana perlu diterapkan oleh farmasis untuk
mengevaluasi bentuk sediaan yang cocok, konsistensi dari produk,
reprodusibilitas produksi, dan uji invitro dan invivo untuk produk.
Parameter mutu nutraseutikal yang perlu ditentukan jika tidak

18
menggunakan bahan makanan sebagai pembawa lihat Tabel 2.

Tabel 2. Parameter Mutu Nutraseutikal


Bentuk sediaan Parameter
Tablet Warna, keseragaman bobot, Ketebalan,
keserangaman kadar, desintegrasi in
vitro, dissolusi in vitro, stabalitas pada
suhu kamar, pada kelembaban, pada
suhu yang tinggi

Kapsul Warna dan bau, keseragaman bobot,


keserangaman kadar desintegrasi in
vitro, dissolusi in vitro, stabalitas pada
suhu kamar, pada kelembaban, pada
sushu yang tinggi
Larutan: larutan dalam Warna dan bau, berat jenis, viskositas,
air, syrup, larutan dalam keserangaman kadar, stabalitas pada
alcohol, jus dan suhu kamar, pada kelembaban, uji
minuman mikrobiologis
Emulsi Keseragaman partikel, warna dan bau,
zeta potensial, viskositas, tegangan
permukaan, keserangaman kadar,
stabalitas pada suhu kamar tinggi, pada
kelembaban, uji mikrobiologis
Suspensi Keseragaman partikel, warna dan bau,
zeta potensial, viskositas, tegangan
permukaan, keserangaman kadar,
stabalitas pada suhu kamar tinggi, pada
kelembaban, uji mikrobiologis

Salap Keseragman partikel, warna dan bau,


zeta potensial, viskositas, tegangan
permukaan, keserangaman kadar,
stabalitas pada suhu kamar tinggi, pada
kelembaban, uji mikrobiologis
Pill dan serbuk Warna dan bau, keseragaman bobot,

19
ketebalan, keserangaman kadar,
desintegrasi in vitro, dissolusi in vitro,
stabalitas pada suhu kamar, pada
kelembaban, pada suhu yang tinggi

Nutraseutikal bukan saingan atau pengganti obat sintetis, tetapi


merupakan komplemen. Akan tetapi nutraseutikal ternyata ada yang
dapat mengobati penyakit. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
yang lebih cermat sehingga sediaan nutraseutikal dapat dimanfaatkan
untuk kemaslahatan masyarakat banyak.

Klasifikasi
Karena makin banyak jenis dari zat nutraseutikal dan makaan
fungsional maka sistim pengelompokan perlu dilakukan supaya lebih
mudah mempelajarinya dan applikasinya. Klassifikasi ini dapat
beragam sesuai dengan minat dan mekanisme karja dan aktivitas
fisiologisnya. Sebaliknya bagi ahli nutraseutikal yang bekerja untuk
mengembangkan produk nutraseutikal dari makanan tidak hanya
memasukkan sifat aktivitas fisiologisnya saja tetapi juga stabilitasnya
dan karakteristiknya. Klasifikasi yang lebih umum adalah menurut
sumbernya yakni tumbuhan, hewani, dan mikrobadan berdasarkan
secara kimia. Secara kimia nutraseutikal dapat digolongkan sebagai
turunan isoprenoida, senyawa fenol, turunan karbohidrat (asam
askorbat, oligosakarida, polisakarida yang bukan pati), asam lemak,
dan lipida terstruktur (omega-3, CLA, MUFA, spingolipid, lecithin),
turunan asam amino (asam amino, senyawa sulfur-allil, isothiosianat,
indol, folat, cholin), mikroba (probiotik) dan mineral (Ca, Zn, K, Se).

Makanan Fungsional dan Nutraseutikal dari Nabati


Makanan nabati terutama buah dan sayur adalah sumber dari
berbagai zat gizi minor yang penting seperti vitamin, fitokemikal
dan serat pangan. Komponen ini terdiri dari senyawa dengan
struktur dan fungsional yang beragam memberikan berbagai efek
yang bermanfaat melebihi zat gizi biasa dan meningkatkan kondisi
kesehatan. Biasanya buah dan sayur mengandung kalori yang
rendah karena banyak mengandung polimer karbohidrat yang tidak
dicerna seperti sellulosa, pektin dan rendah protein dan lemak.
Maka buah dan sayur melengkapi makanan berkalori tinggi dan

20
menyeimbangkan transportasi makanan melalui saluran cerna, serta
membantu pencernaan dan kemudian mempertahankan populasi
bakteri yang bermanfaat (probiotik). Berikut diuraikan beberapa
contoh tanaman yang dapat berperan sebagai makanan fungsional dan
nutraseutikal.

1. Oat
Produk oat (sejenis gandum) telah banyak diteliti dan diketahui
sebagai sumber serat pangan terlarut yang dapat menurunkan kadar
kolesterol, yakni β-glukan. Telah dibuktikan secara ilmiah bahwa
mengonsumsi produk ini akan menurunkan total kolesterol dan Low
Density Lipoprotein (LDL) kolesterol, dan itu berarti mengurangi resiko
penyakit jantung koroner (PJK). Efek ini telah resmi diakui oleh Food
and Drug Administration (PDA) pada tahun 1997, sehingga β-glukan dari
oat dan barley dapat mencatumkan pernyataan sebagai penurunan
resiko CVD.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Quaker Oat
Company melalui uji intervensi klinis pada 37 orang selama tahun 1980-
1995, terbukti bahwa mengonsumsi sekitar 3 g β-glukan setiap hari,
yang terdapat dalam 60 g produk oat (oat meal) kering, dapat
menurunkan kadar kolesterol sebanyak 5 %. Anak-anak berumur
kurang dari 18 tahun yang mengonsumsi oat secara teratur
mengalami penurunan obesitas 50 % lebih besar dibandingkan dengan
anak yang tidak mengonsumsi oat.
Disamping itu β-glukan juga mengontrol kadar gula sesudah
makan (postprandial) dan memperbaiki respon insulin pada manusia
dan hewan. Berdasarkan penelitian epidemiologis pola makan yang
kaya serat dari serealia seperti gandum dan oat berkorelasi dengan
rendahnya resiko diabetes tipe 2, obesitas dan mortalitas dan insiden
PJK dan stroke, melalui effek penurunan kolesterol, lipida darah,
meningkatkan sensitivtas insulin dan perbaikan kendali gula darah.

2. Kedelai
Kedelai mendapat banyak perhatian selama tahun 1990-an.
Komoditas ini tidak hanya mengandung protein berkualitas tinggi, tetapi
juga dianggap berperan dalam mencegah dan mengobati PJK, kanker,
dan osteoporosis, serta meredakan keluhan setelah masa menopause
(menopausal symptoms). Berdasarkan penelitian, ternyata bahwa

21
mengonsumsi kedelai akan menurunkan total kolesterol, LDL kolesterol
(kolesterol jahat), dan trigliserida secara nyata, serta sedikit
meningkatkan High Density Lipoprotein (HDL) (kolesterol baik).
Asupan kedelai yang efektif minimal 25 g/hari.
Disamping protein, isoflavon dan fitosterol yang terdapat dalam
kedelai turut berperan aktif untuk menurunkan kadar kolesterol,
namun mekanisme kerja kedua komponen ini belum diketahui
sepenuhnya. Kedelai juga mengandung zat antikanker, antara lain
protease inhibitor, fitosterol, saponin, asam fenolat, asam fitat, dan
isoflavon. Diantara senyawa-senyawa ini, golongan isoflavon, yaitu
genistein dan daidzein, merupakan senyawa yang penting. Karena
merupakan estrogen lemah, isoflavon dapat berfungsi sebagai
antiestrogen. Senyawa ini berkompetisi dengan estrogen alami yang
lebih potensial untuk berikatan dengan reseptor estrogen. Dalam
makanan sehari-hari, kedelai merupakan sumber utama senyawa
tersebut. Kedelai juga berperan positif terhadap kondisi tulang.
Konsumsi 40 g isolat protein kedelai per hari (mengandung 90 mg total
isoflavon) akan meningkatkan kandungan mineral tulang secara nyata.
Mengonsumsi protein hewani dalam jumlah banyak akan
meningkatkan hilangnya kalsium dari tulang. Hal ini menyebabkan ginjal
bekerja lebih keras daripada biasanya sehingga resiko penyakit diabetes tipe 2
akan meningkat. Metabolisme asam amino yang mengandung sulfur
(belerang) akan menghasilkan asam, dan untuk itu diperlukan pendapar
atau penyangga pH (buffer). Asam yang terbentuk menyebabkan
pengeroposan tulang. Sebaliknya, konsumsi kedelai menurunkan
hilangnya kalsium dari tulang karena protein kedelai mengandung
lebih sedikit asam amino sulfur dibandingkan dengan protein hewani.

3. Biji Rami
Minyak biji rami adalah minyak yang paling banyak mengandung
asam lemak tak jenuh omega-3 dan asam β-linolenat. Akan tetapi, akhir-
akhir ini yang banyak diperhatikan ialah senyawa yang berkaitan dengan
serat, yang dikenal sebagai lignan. Biji rami merupakan sumber lignan,
yakni prekursor mammalian lignan. Zat terakhir ini akan
mempengaruhi metabolisme estrogen dan testosteron.
Lignan akan menghambat perkembangan testosteron, yang
berperan dalam perkembangan kanker prostat. Ada dua lignan utama
pada mamalia, yakni enterodiol dan enterolakton. Kedua lignan tersebut

22
mempunyai struktur yang mirip dengan estrogen, memiliki aktivitas
antiesterogenik, dan kemungkinan berperan dalam pencegahan kanker
yang berkaitan dengan estrogen. Konsumsi biji rami ternyata juga
dapat menurunkan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan agregasi
platelet.

4. Tomat
Pada tahun 1997, telah diketahui bahwa karotenoid yang utama
di dalam tomat adalah likopen, yang mempunyai efek menurunkan resiko
kanker. Menurut penelitian Porrini dan Riso (2000), likopen yang
dikonsumsi dari produk tomat dapat meningkatkan kadar karotenoid
dalam darah dan mencegah kerusakan Deoxyribo Nucleic Acid
(DNA) limfosit dengan meningkatkan resistensi terhadap tekanan
oksidatif, dan ini berarti mengurangi resiko kanker. Likopen adalah
karotenoid yang paling banyak ditemukan dalam kelenjar prostat.
Kanker lain seperti kanker payudara, saluran pencernaan, serviks, kantung
kemih, dan kulit berbanding terbalik dengan kadar likopen dalam serum
dan jaringan. Mekanisme likopen untuk mencegah resiko kanker
diduga berdasarkan sifat antioksidan dari likopen.
Selain mengurangi kanker prostat, likopen juga potensial untuk
meningkatkan kesuburan pada laki-laki. Walaupun perlu pembuktian
yang lebih teliti, sebuah penelitian di India menunjukkan bahwa
pemberian 2 g likopen per hari selama 3 bulan akan memulihkan laki-
laki dari oligoasthenospermia (jumlah sperma rendah). Konsentrasi sel
sperma ditingkatkan, demikian juga morfologi dan motilitas sperma
diperbaiki.
Likopen merupakan penetral oksigen singlet yang paling reaktif
dalam sistem biologis. Sifat antioksidan ini juga dapat mencegah
oksidasi LDL kolesterol menjadi bentuk aterogenik, yang berarti
mengurangi resiko PJK. Produk tomat yang diolah dengan pemanasan
seperti saus tomat ternyata menyumbangkan likopen enam kali lipat
dibandingkan dengan tomat yang utuh dan segar. Selain tomat, likopen
juga ditemukan dalam semangka, pepaya, dan anggur merah.

5. Bawang Putih
Khasiat bawang putih (Allium sativum) atau garlic dalam dunia
ketabiban cina telah lama dikenal. Bawang putih memiliki efek
farmakologis yang beragam, yakni mencegah kanker, antibiotik,

23
antihipertensif, dan mampu menurunkan kolesterol. Bau spesifik bawang
putih disebabkan oleh banyaknya kadar senyawa sulfur organik yang
larut dalam minyak dan air, yang juga merupakan zat aktif dari
tanaman ini. Bawang putih yang masih utuh hanya mengandung
sedikit komponen yang aktif. Bawang putih mentah mengandung 1-2 %
asam amino, alliin [S-allyl cysteine sulfoxide; CH2 = CH-CH2-S (O)-
CH2-CH (NH2) COOH], dan peptida γ-glutamil dari S-allyl cysteine.
Senyawa-senyawa tersebut tidak berbau. Akan tetapi, bila bawang putih
dihancurkan atau diiris-iris, alliin akan dapat kontak dengan enzim
allinase yang terdapat dalam sel bawang putih. Enzim ini mengubah
alliin menjadi allicin, suatu senyawa yang berbau khas.
Allicin bersifat tidak stabil, mudah terurai menjadi berbagai
senyawa sulfur organik yang sebagian merupakan zat aktif. Karena
ketidakstabilan allicin ini dan variasi dari bawang putih yang digunakan,
banyak peneliti bawang putih mengambil kesimpulan yang berkesan tidak
konsisten. Larutan encer allicin dalam air lebih stabil.
Senyawa berkhasiat dalam bawang putih olahan bervariasi
jumlahnya sehingga tidak semua sediaan bawang putih sama khasiatnya
pada binatang percobaan, dan kemungkinan juga pada manusia. Perlu
diperhatikan juga cara pengolahan dan pengaruhnya techadap kandungan
senyawa sulfur organik aktif didalamnya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa komponen aktif dalam bawang putih tidak spesifik terhadap
suatu jenis kanker, tetapi berlaku secara umum.
Beberapa di antara senyawa hasil peruraian allicin berperan
mencegah kanker melalui inhibisi sintesis nitrit dan nitrosamin
(karsinogen). Efek ini terjadi diduga karena kuatnya daya ikat antara
senyawa sulfur organik dengan nitrit sehingga mencegah terbentuknya
nitrosamin dari reaksi antara nitrit dengan senyawa amin.
Bawang putih dapat mencegah PJK kemungkinan melalui sifat
antihipertensif dan menurunkan kolesterol. Ajoene, suatu senyawa
thioallyl teroksigenasi dari bawang putih (tidak ditemukan dalam
bawang putih mentah) bersifat antikoagulan pada hewan percobaan,
dan mampu menginhibisi lipase lambung sehingga mengurangi
absorpsi lemak.

6. Brokoli

24
Brokoli dan sayur-sayuran dari famili Cruciferae lainnya, seperti
kembang kol (cauliflower) dan kol (cabbage), bersifat antikanker.
Khasiat antikanker ini dikaitkan dengan kandungan senyawa
glukosinolat yang tinggi. Enzim myrosinase yang terdapat dalam sel
sayur-sayuran akan menghidrolisis glukosinolat menjadi berbagai
senyawa, antara lain isothiosianate dan indole yang diduga aktif sebagai
antikanker.

7. Buah Jeruk
Penelitian epidemiologi memperlihatkan bahwa beberapa jenis
buah jeruk dapat mencegah berbagai kanker pada manusia. Jeruk kaya
akan senyawa phytochemicals yang dikenal sebagai limonoida, yang
terdiri atas limonin dan nomilin. Limonoida, yang menyebabkan rasa
pahit pada buah jeruk, memiliki aktivitas biologis meningkatkan
aktivitas Glutathione S-Transferase (GST). GST adalah sistem enzim
detoksifikasi yang mengatalisis konjugasi gluthatione dengan
elektrofil, termasuk karsinogen aktif. Konjugasi yang terbentuk bersifat
kurang reaktif dan lebih mudah larut dalam air sehingga mudah
dikeluarkan dari dalam tubuh. Meningkatkan aktivitas enzim GST berarti
meningkatkan perlindungan terhadap efek berbahaya dari zat asing,
termasuk karsinogen. Banyak zat yang meningkatkan aktivitas GST
menunjukkan hambatan terhadap karsinogenesis yang disebabkan
karsinogen kimia.
Flavonoida yang terdapat dalam jeruk seperti nobiletin,
tangeretin, dan polifenol lainnya memperlihatkan sifat antikanker melalui
berbagai mekanisme. Beberapa zat lain yang bermanfaat dalam jeruk
ialah β-karoten, vitamin C, dan asam folat. β-Karoten aktif sebagai
antioksidan, yakni peredam radikal bebas terutama peroksil, hidroksil,
dan oksigen singlet.
Radikal bebas mudah bereaksi dengan banyak ikatan rangkap dalam
lipida dan membran yang mengelilingi sel-sel serta yang ada di dalam
sel. Oksigen singlet adalah bentuk oksigen yang sangat reaktif dan
berperan dalam reaksi-reaksi yang dapat mengubah atau menghancurkan
komponen seluler yang penting seperti membran, enzim, dan asam-asam
nukleat (misalnya DNA).
β-karoten bersinergi dengan vitamin C dan vitamin E. Oleh
karena itu, β-karoten dapat melindungi tubuh dan mencegah
berbagai penyakit, yakni menghambat pertumbuhan sel kanker,

25
mencegah serangan jantung, mencegah katarak, meningkatkan sistem
kekebalan tubuh, dan mencegah serta mengobati penyakit kulit. β-
karoten juga dapat melindungi lipida membran dari serangan
radikal bebas, terutama dalam lingkungan tekanan partial oksigen
yang rendah.
Vitamin C berfungsi sebagai antiskorbut dan antioksidan
sehingga berperan dalam pemeliharaan pertahanan antioksidan, dan
dengan demikian meredam efek radikal bebas. Sementara, asam folat
berperan dalam metabolisme, yakni sebagai koenzim yang mentransfer
fragmen karbon tunggal dari satu senyawa ke senyawa yang lain dalam
metabolisme asam amino dan sintesis asam nukleat.
Buah jeruk juga merupakan sumber pektin yang penting. Serat
pangan yang larut, misalnya pektin, sangat bermanfaat untuk
menurunkan kolesterol darah. Mekanisme kerja senyawa ini diyakini
dengan mengikat asam empedu dan kolesterol sehingga membantu
pengeluaran kolesterol dari dalam tubuh, dan itu berarti mengurangi
resiko PJK. Hubungan antara konsumsi pektin dengan kanker belum
diketahui secara pasti karena hasil penelitian memberikan
kesimpulan yang tidak konsisten.

8. Teh
Komponen aktif dalam teh, terutama teh hijau, adalah golongan
polifenol yang kadarnya mencapai 30 % dari berat kering daun teh.
Katekin merupakan polifenol yang dominan dalam teh. Dalam teh hijau
terdapat empat katekin utama, yakni epigallokatekin-3-gallat,
epigallokatekin, epikatekin-3-gallat, dan epikatekin.
Khasiat polifenol dalam teh belum diketahui secara pasti. Akan
tetapi, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa mengonsumsi
teh dapat mengurangi resiko PJK karena polifenol yang terdapat dalam
teh dapat mengurangi agregasi platelet sehingga mencegah trombosis
koroner dan PJK. Disamping itu, olifenol juga bersifat antioksidan dan
melindungi kerusakan makromolekul dari proses oksidatif.

9. Anggur dan Buah Anggur


Telah ditemukan bahwa ada hubungan antara rendahnya resiko PJK
di Francis dengan konsumsi anggur merah. Mula-mula, rendahnya resiko
PJK itu diduga karena pengaruh konsumsi alkohol dalam jumlah yang
sedang setiap hari, tetapi kemudian ditemukan karena adanya kandungan

26
flavonoida dalam anggur merah. Anggur merah mengandung flavonoida
20-50 kali lebih banyak dibandingkan dengan anggur putih karena
dalam proses pembuatannya dimasukkan juga kulit buah anggur. Anggur
merah juga mengandung trans-resveratrol, yakni suatu fitoaleksin yang
berasal dari kulit buah anggur, yang dapat mengurangi resiko kanker. Sari
buah anggur efektif menghambat oksidasi LDL kolesterol yang diisolasi
dari manusia sehingga diyakini dapat mengurangi PJK.

Makanan Fungsional dan Nutraseutikal dari Hewani


Senyawa bioaktif dalam makanan fungsional yang berasal dari
produk hewani disebut zoonutrient. Beberapa di antaranya adalah
taurin, laktoferin, asam lemak tak jenuh ganda yang tergolong omega-3
berantai panjang (long poly unsaturated omega-3) yang terdapat dalam
ikan, serta asam lemak linoleat terkonjugasi yang terdapat dalam susu dan
daging sapi.

1. Ikan
Minyak atau lemak (trigliserida) adalah sumber asam lemak
esensial linoleat (omega-6) dan linolenat (omega-3). Pengelompokan
asam lemak menjadi omega-3 dan omega-6 didasarkan pada posisi ikatan
rangkap pada atom karbon dalam molekul asam lemak. Omega-3 berarti
ikatan rangkap berada pada atom C yang ketiga, dihitung dari atom
karbon paling akhir (omega) dalam molekul asam lemak, sedangkan
omega-6 berarti ikatan rangkap terdapat pada atom C keenam.
Asam lemak omega-3 adalah komponen penting dari minyak ikan.
Ada dua asam lemak omega-3 yang diyakini berperan dalam kesehatan dan
mencegah penyakit, yakni Eicosa Pentaenoic Acid (EPA; 20: sn-3) dan
Docosa Hexaenoic Acid (DHA; 22: 6-n-3). Kedua asam lemak ini telah
terbukti berperan dalam menanggulangi kanker dan PJK serta berperan
penting dalam proses perkembangan awal manusia.
Berdasarkan penelitian, EPA dan DHA memiliki berbagai
aktivitas biologis, antara lain menurunkan konsentrasi fibrinogen,
menurunkan tekanan darah, mengurangi produksi mediator
proinflamasi, menurunkan produksi tromboksan yang menciutkan
pembuluh darah (vasoconstrictor), dan menurunkan platelet - activating
factor. Walaupun asam lemak omega-3 dapat menurunkan trigliserida
plasma sebanyak 25-30 %, tetapi tidak menurunkan kadar kolesterol
LDL. Bahkan, hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa

27
omega-3 justru meningkatkan kolesterol LDL.
Peran positif PUFA, terutama EPA dan DHA, dijelaskan melalui
metabolisme eikosanoida. EPA dan asam arakhidonat (AA; 20:4-n-6;
omega-6) merupakan bahan dasar pembentukan zat-zat yang dikenal
sebagai eikosanoida, yakni prostanoida (prostaglandin dan protasilin)
dan leukotrien. Eikosanoid yang berasal dari EPA adalah prostanoid
seri-3 dan leukotrien seri-5, sedangkan yang berasal dari AA adalah
prostanoid seri-2 dan leukotrien seri-4. Metabolit dari EPA dan AA
bersifat kompetitif.
Asupan EPA dan DHA dari ikan dan minyak ikan akan
menggantikan AA dari membran fosfolipida sel-sel. Maka, konsumsi
EPA dan DHA akan mengarah ke keadaan fisiologis dimana terjadi
produksi prostanoid dan leukotrien yang bersifat aktif sebagai
antitrombotik, antikemotaktik, antivasokontriktif, hipotensif,
antiateromatik, dan antiinflamatori. Berdasarkan hasil penelitian
Albert dkk. (1998), ternyata bahwa konsumsi ikan paling tidak sekali
dalam seminggu dapat mengurangi resiko kematian karena penyakit
jantung.

2. Produk Susu
Sebagai makanan fungsional, produk susu merupakan sumber
kalsium yang terbaik. Kalsium dapat mencegah osteoporosis dan
kemungkinan kanker kolon. Akan tetapi, akhir-akhir ini di samping
sebagai sumber kalsium, hasil penelitian telah menunjukkan bahwa produk
susu, terutama susu terfermentasi seperti yoghurt, dikenal sebagai
probiotik.
Probiotik diartikan sebagai makanan suplemen yang mengandung
mikroba hidup yang memberi manfaat terhadap kesehatan, dengan cara
memperbaiki keseimbangan mikroba intestinal. Diperkirakan bahwa
terdapat lebih dari 400 spesies bakteri di dalam usus manusia. Bakteri-
bakteri tersebut digolongkan dalam dua kelompok, yakni bakteri yang
menguntungkan, misalnya Bifidobacterium dan Lactobacillus, dan bakteri
yang merugikan, misalnya Enterobacteriaceae dan Clostridium spp. Dari
kelompok bakteri yang menguntungkan, bakteri asam laktat telah banyak
diteliti. Probiotik diduga dapat berperan sebagai hipokolesterolemik,
antikanker, berperan untuk memperbaiki sistem kekebalan, dan bersifat
antagonistik terhadap bakteri patogen yang terdapat di dalam usus.
Berbagai peptida dalam susu dapat mempengaruhi tekanan

28
darah, aktivitas neurologis, fungsi kekebalan, fungsi pencernaan, dan
kalsifikasi gigi. Fragmen laktoferin hasil hidrolisis oleh enzim proteolitik
dari laktoferin dalam susu bersifat bakterisidal, antiviral,
antiinflamasi, dan meningkatkan aktivitas probiotik.

3. Daging Sapi
Daging sapi panggang mengandung asam asam linoleat
terkonjugasi (Conjugated Linoleic Acid; CLA) yang bersifat
antikarsinogenik. CLA merupakan suatu campuran isomer dari asam
linoleat (18:2-n-6) yang, di luar kelaziman, ikatan rangkap terkonjugasi
diantarai oleh metilen. CLA banyak ditemukan dalam binatang
ruminansia (daging sapi, susu, dan domba). Lemak sapi mengandung CLA
sebanyak 3,1-8,5 mg/g, dan CLA itu meningkat dalam makanan yang
diolah atau dimasak. Hal ini penting karena pada kenyataannya dalam
daging yang telah dimasak terdapat juga mutagen dan karsinogen.
Berdasarkan hasil penelitian pada binatang, konsentrasi 0,1-1 % CLA
dalam diet dapat berperan sebagai antikanker.

Nutraseutikal Secara Kimia

1. Turunan Isoprenoida
Isoprenoida dan terpenoida adalah istilah yang digunakan untuk
kelompok kimia yang sama. Senyawa ini merupakan metabolit
sekunder yng paling banyak pada tanaman. Dalam kelompok ini ada
banyak terdapat senyawa (terpenoida, karotenoida, saponin,
tokotrienol, tokoferol, terpen), karotenoida, tokoferol, tokotrienol, dan
saponin. Kelompok ini juga disebut sebagai kelompok derivat
isoprenoida karena inti penyususn senyawa ini adalah isoprene.
Isoprene sendiri adalah yang disintesa dari asetil-CoA melalui jalur
asam mevalonat yang dilanjutkan dengan pemebentukan struktur
terpen yang meliputi monoterpen, sesquiterpen, dan triterpen. Pada
umumnya essential oil mengandung campuran dari monoterpen
volatile dan sesquiterpen. Beberapa triterpen memiliki sifat
nutrseseutikal seperti plant sterol. Salah satu triterpen yang dikenal
adalah limonoida yang terdapat di dalam jeruk dengan rasa pahit.
Karotenoida merupakan kelompok zat warna yang paling banyak dari
kelompok isoprenoida.[1,8].
2. Senyawa Fenolat

29
Seperti terpenoida, senyawa fenolat juga adalah metabolit
sekunder pada tanaman. Dasar dari senyawa ini adalah struktur fenol
yakni cincin benzene yang mengandung gugus hidroksil. Turunan
senyawa ini termasuk anthocyanin. Coumarin, fenilpropamida
falvonoida, tannin, dan lignin. Senyawa fenolat mempunyai berbagai
fungsi pada tumbuhan yaitu pertahanan terhadap serengan herbivora
dan patogen, menyerap sinar, menarik pollinator, mengurangi tanaman
pesaing dan meningkatkan hubungan simbiose dengan bakteri
pengikat nitrogen. Senyawa yang termasuk fenolat meliputi koumarin,
tannin, antosianin, isoflavon, falvonon, flavonoida.
Flavonoida adalah kelompok senyawa yang terbesar dalam
tumbuhan. Pada umumnya flavonoida alamiah terdapat sebagai
glikosida karena berikatan dengan molekul gula sehingga sifat
hidrofiliknya meningkat, sedangkan jika melekat dengan metil ester
akan meningkatkan sifat hidrofobiknya. Anthocyanin dan
anthocyanidin dihasilkan oleh tanaman terutama untuk berfungsi
sebagai pewarna. Pada dasarnya anthocyainin adalah anthocyanidin
yang berikatan dengan gula. Molekul ini berfungsi untuk menarik
hewan untuk polloinasi dan penyerbaran biji. Hanya 16 anthocyanidin
yang teridentifikasi pada tanaman dan termasuk pelargonidin,
cyainidin, delphinidin, peonidin, malvidin, dan petunidin. Flavonol
dan flavon mempunyai struktur yang mirip dengan anthocyanin, tidak
berwarna, akan tetapi dapat dideteksi oleh serangga dan membantu
untuk pollinasi. Juga berfungsi sebagai perlindungan pada tanaman.
Absorbsi polifenol sangat rendah berkisar 0,1 sampai 1% tetapi
masih berperan sebagai antioksidan dan memodulasi ekspressi gen.
Polifenol membunuh sel kanker secara selektif tanpa mempengaruhi
pertumbuhan dan proliferasi sel-sel normal pada kadar 1-2 μM bersifat
antioksidan dan modulasi jalur biokimia.

3. Karbohidrat dan Derivatif


Derivat glukosa asam askorbat adalah nutraseutikal yang
penting yang berfungsi sebagai antioksidan. Berbagai golongan
polisakarida bukan merupakan sumber kalori karena resisten di dalam
pencernaan. Polisakarida ini bersama dengan senyawa polimer fenolat
lignin membentuk nutraseutikal serat misalnya sellulosa,
hemisellulosa dan merupakan polisakarida struktural pada tanaman.
Polisakarida yang tidak dapat dicerna dapat digolongkan sebagai non-

30
starch polisaccharide (NSP) biasanya memiliki ikatan β(1-4)
glikosidik sehingga sering disebut kelompok polisakarida β-glukan
dan termasuk serat pangan (dietary fiber). Polisakarida β-glukan
meliputi sellulosa, hemisellulosa, pektin. Kelompok polisakarida ini
mampu merangsang secara khusus pertumbuhan bakteri yang
bermanfaat seperti bifidobakteri dan laktobasillus sementara menekan
perkembangan bakteri patogen di dalam kolon. Ada dua kelompok
serat pangan yakni serat pangan larut (soluble dietary fiber) dan tak
dapat larut (insoluble dietary fiber). Soluble dietary fiber larut di
dalam air terdapat di dalam buah-buahan dan oat membantu
menurunkan lipida darah dan mengontrol gula darah. Insoluble dietary
fiber, tak larut di dalam air sehingga lolos dalam sistim saluran cerna.
Makanan yang kaya serat memerlukan waktu yang lebih lama untuk
dicerna sehingga dapat mengontrol gula dan berat badan. Kitin dan
kitosan adalah β-glukan yang terdapat di dalam hewan seperti kulit
udang dan kepiting. Kitin merupakan polimer dari N-asetil-
glukosamin dan kitosan adalah polimer dari glukosamin. Kitin sebagai
nutraseutikal berfungsi untuk mengurangi berat badan.
Kelompok lain yang termasuk β-glukan adalah
glikosaminoglikan (GAG) yang terdapat di dalam jaringan ikat pada
hewan dan potensial sebagai komponen makanan fungsional. Pada
saat ini GAG dan kondroitin sulfat merupakan supplemen yang
digunakan untuk menyembuhkan penderita gangguan dan imflamasi
persendian. GAG sering disebut sebagai mukopolisakarida. β-glukan
ini mengandung gugus amino dan asam uronat yang terdapat di dalam
berkombinasi protein dalam sekresi dan merupakan komponen
ekstraselluler bentuk amorf mengelilingi kollagen dan serat elastin,
dan jaringan pengikat termasuk cairan synovial persendian. GAG ini
berupa zat bentuk gel yang tersusun dari ulangan disakarida dari asam
β-glukoronat dan N-asetilglukosamin. Asam hialuronat mengandung
beribu-ribu residu disakarida yang tidak berinteraksi dengan protein
membentuk proteoglikan. Kondroiton sulfat tersusun dari asam β-
glukoronat dan N-asetilglukosamin sulfat. Molekul ini bersifat kental
(viskous) dan mampu mengikat air. Merupakan senyawa organik
utama dari zat kartilago dan tulang. Kedua polisakarida ini memiliki
ikatan β (1-3) glikosidik diantara asam uronat dan gula amino yang
terasetilasi tetapi dihubungkan dengan β (1-4) glikosidik dengan
polisakarida lain. Tidak seperti asam hialuronat, kondroiton sulfat

31
akan berikatan dengan protein membentuk proteoglikan.

4. Asam Lemak dan Lemak


Pada saat ini ada beberapa asam lemak dan turunannya yang
memiliki potensial sebagai nutraseutikal yaitu omega-3 yang terdapat
di dalam minyak nabati dan conjugated linolenic acid (CLA) yang
dihasilkan oleh bakteri di dalam rumen hewan seperti sapi.
Pembentukan CLA mungkin mengendalikan vitalitas populasi bakteri
yang dilepaskan di dalam rumen, sedangkan tamanan dan ikan
menggunakan omega-3 untuk membrane. Beberapa tumbuhan
memakai omega-3 dalam satu sistim mesenger kedua membentuk
asam jasmoat ketika jaringan tumbuhan dalam ancaman oleh
serangga. Prekursor CLA, asam linoleat dan omega-3 banyak
diproduksi oleh tanaman. Hewan pemakan rumput memakan linoleat
dan mengubahnya menjadi CLA oleh bakteri rumen. Ikan herbivor
pemakan tanaman mendapatkan asam linoleat, linolenat, oleat waktu
makan algae, rumput laut dan pitoplankton. Ikan karnivor
mendapatkan asam lemak tak jenuh dari ikan mangsanya. Ikan
selanjutnya mengubah asam lemak ini menjadi PUFA yang lebih
panjang lagi seperti DHA dan EPA dan asam lemak tak jenuh panjang
ini lebih cocok untuk daerah yang dingin. Walaupun mekanisme
omega-3 untuk melindungi jantung belum sepenuhnya diketahui
dengan pasti, EPA dan DHA mengurangi arithmia yang fatal salah
satunya dengan mengubah komposisi asam lemak membrane
myocyte. Dosis yang lebih besar dari EPA dan DHA dapat
mengurangi trigliserida serum dan menurunkan agregasi platelet.
Lipida terstruktur adalah triasilgliserol yang dibuat dengan cara
interesterifikasi lemak nabati dengan lemak rantai sedang atau asam
lemak rantai pendek untuk memperoleh triasilgliserol yang
mengandung asam lemak yang pendek sehingga lemak mengandung
kalori yang lebih rendah.

Lemak rantai sedang (medium chain triglyceride;MCT) adalah


lemak yang mengandung asam lemak rantai sedang,asam laurat (C:12)
sebagai komponen utama (50%). Lemak yang termasuk kelompok ini
adalah minyak kelapa dan minyak inti sawit sehingga disebut sebagai
minyak laurat. MCT melindungi jantung karena menaikkan kadar
HDL (kolesterol baik). MCT meningkatkan mutu dari air susu ibu

32
(ASI), mengurangi berat badan, dll.

5. Asam Amino, Peptida dan Protein


Kelompok ini meliputi protein utuh seperti protein kedele,
polipeptida, asam amino dan turunan asam amino nitrogen dan asama
amino yang mengandung sulfur. Asam amino, peptida dan protein
memiliki aktivitas biologis selain berfungsi sebagai zat gizi. Pertama,
dengan berperan sebagai zat tak dicerna dalam saluran cerna dengan
menjerat dan mengeluarkan (dalam feses) racun dan cairan empedu,
sehingga mengurangi re-absorbsi kolesterol dalam usus. Contohnya
protein kedele mengandung protein yang tidak tercerna dalam jumlah
besar dan dalam jumlah banyak akan mempertahankan lambung sehat
dan bersih. Kedua, dalam pencernaan protein dihidrolisis menjadi
asam amino, peptida bioaktif kemudian diserap ke dalam sistim
sirkulasi darah. Beberapa peptida bioaktif terutama dari protein kedele
menurunkan sintesa kolesterol di dalam hati dan berarti menurunkan
kolesterol di dalam darah.
Secara teoritis, semua asam amino mudah teroksidasi, tetapi
yang mudah teroksidasi adalah rantai cabang nukleofilik seperti sistein
dan metionin, atau rantai cabang aromatis seperti triptopan, tirosin,
dan fenilalanin. Asam amino, peptida, dan protein di dalam tubuh
pada konsentrasi yang tinggi, dan dapat bersifat sebagai antioksidan
dan menetralkan aktivitas Reactive Oxygen Species (ROS).
Ada beberapa asam amino yang diketahui memiliki potensi
nutraseutkal antara lain arginin, ornithin, taurin. Arginin diduga
memiliki potensi untuk melindungi jatung karena menjadi prekursor
dari zat vasodolator gas NO. Juga arginin dapat mereduksi
aterogensis. Asam amino yang bukan pembentuk protein, taurin
diduga bersifat menurunkan takanan darah dan sebagai antiokasidan.
Asam folat adalah turunan asam amino yang diyakini berperan
melindungi jatung karena dapat mengurangi kadar homosistein.
Glutathion suatu tripeptida adalah antioksidan dan bersifat antikanker.
Orang yang gemuk memiliki kadar leptin, suatu hormon utama
di dalam tubuh untuk pembakaran lemak, yang tinggi, tetapi tubuh
mereka resisten terhadap hormon ini (leptin resistance). Protein susu
(whey protein) dapat menurunkan berat badan dengan dua cara; (1)
dengan mereduksi resisten leptin, membuat tubuh menjadi lebih
sensitif terhadap hormon ini, (2) memblokir pelepasan ghrelin, suatu

33
hormon yang merangsang selera makan.
.
6. Mikroba
Kelompok bakteri ini adalah bakteri yang dapat bertahan pada
suasana/kondisi asam lambung, empedu, dan enzim pencernaan;
mampu hidup dalam pencernaan manusia; aman untuk manusia, dan
secara ilmiah terbukti khasiatnya. Bakteri ini antara lain Lactobacillus
acidophylus, L. Plantarum, L. Casei, Bifidobacterium bifidum, B,
infantis dan Streptococcus salvarius subspecies thermophilus.
Kelompok bakteri ini disebut probiotik.

7. Mineral
Ada mineral utama dan minor yang termasuk nutraseutikal.
Kalsium berperan dalam kesehatan tulang, kanker kolon. Magnesium
berperan penting dalam berbagai proses biokimia dan fisiologis;
diperlukan untuk memelihara tonus vaskular yang normal dan
sensitivitas insulin. Magnesium merupakan kofaktor untuk lebih dari
350 reaksi enzimatis, dan sebagian besar terlibat di dalam
metabolisme energi. Magnesium berikatan dengan ATP membentuk
ATP aktif. Juga berperan di dalam sintesa protein, asam nukleat (DNA
dan RNA) dan metabolisme kalsium. Kalsium dan magnesium
berperan dalam etiologi osteoporesis dan penyakit kardiovaskular.
Kalium menurunkan tekanan darah dan berarti kesehatan jantung.
Beberapa mineral minor dapat sebagai nutraseutikal seperti selenium,
mangan, dan seng. Tembaga (Cu), seng, dan mangan (Mn) merupakan
komponen enzim superoxide dismutase (SOD), sedangkan selenium
merupakan komponen glutathion peroxidase.

E. Rangkuman
Makanan berfungsi sebagai sumber zat gizi yang dibutuhkan oleh
tubuh untuk bertumbuh dan memelihara kesehatan. Kualitas makanan
dipengaruhi banyak faktor, seperti proporsi komponen mayor (lemak,
protein, dan karbohidrat) dan kandungan komponen minor yang meliputi
vitamin dan mineral.
Makanan, disamping zat gizi, juga mengandung zat bukan gizi
yang aktif secara fisiologis di dalam tubuh. Berbagai zat bioaktif di dalam
makanan, terutama sayur-sayuran dan buah-buahan, dapat memodifikasi
beberapa proses fisiologis dan berperan meningkatkan kesehatan,

34
mencegah berbagai penyakit, dan bahkan mengobati beberapa
penyakit tertentu. Zat bioaktif yang berasal dari sayur-sayuran dan
buah-buahan disebut fitokemikal atau nutraseutikal dari tumbuhan.
Makanan yang dapat meningkatkan kesehatan dan mengurangi resiko
penyakit memelibihi dari peran makanan biasa disebut makanan
fungsional. Makanan dan komponen bioaktif dalam makanan yang
mampu mencegah penyakit dan menyembuhkan disebut nutraseutikal.
Beberapa contoh makanan fungsional dalam bentuk utuh adalah jeruk,
bawang putih, teh, dan sebagainya. Sementara, suplemen makanan
kesehatan dan nutraseutikal dapat dimasukkan ke dalam makanan atau
dibuat dalam bentuk tablet, kapsul, bubuk, dan cairan yang
mengandung zat berkhasiat hasil isolasi dari makanan alami.
Peran positif nutraseutikal dalam makanan sangat dipengaruhi
oleh berbagai faktor, misalnya jumlahnya dalam makanan. Faktor lain
yang turut berpengaruh ialah adanya komponen lain serta interaksi yang
mungkin terjadi baik di antara zat bioaktif atau metabolitnya dengan zat
gizi, faktor genetik, serta pengaruh pengolahan yang diterapkan.
Mekanisme kerja zat bioaktif ini dan interaksi berbagai faktor yang
berpengaruh masih memerlukan penelitian.

F. Pelatihan
1. Apakah yang dimaksud dengan makanan fungsional, dan apa
perbedaannya dengan makanan biasa?
2. Sebutkan dan jelaskan perbedaan antara makanan fungsional dan
nutraseutikal!
3. Jelaskan perbedaan antara istilah phytochemicals dan
nutraseutikal!
4. Sebutkan beberapa contoh makanan fungsional, zat yang
dikandungnya, dan khasiatnya!
5. Apa sebabnya masyarakat modern makin tertarik dengan makanan
fungsional dan nutraseutikal!

BAB III

35
RADIKAL BEBAS DAN ANTIOKSIDAN PADA PENYAKIT
DEGENERATIF

Bab ini menguraikan sumber oksidan dan radikal bebas di dalam


tubuh, pengaruh radikal bebas terhadap modifikasi biomolekul, dan
penyakit yang mungkin terjadi akibat modifikasi biomolekul. Kemudian,
akan diuraikan juga mekanisme antioksidan alami dalam makanan dan
antioksidan yang terbentuk di dalam tubuh dalam menghambat pengaruh
negatif radikal bebas terhadap biomolekul.

A. Oksidasi dan Reduksi


Reaksi oksidasi adalah peristiwa pelepasan elektron oleh suatu
spesies kimia berupa unsur atau molekul, sedangkan reduksi adalah
sebaliknya, yakni penerimaan elektron. Reaksi oksidasi dan reduksi selalu
terjadi serentak sehingga disebut reaksi redoks. Jadi, reaksi redoks
adalah reaksi di mana terjadi serah terima elektron. Pada reaksi
senyawa anorganik, serah terima atau perpindahan elektron dapat dilihat
dengan jelas. Oksidator adalah penerima elektron (akseptor elektron),
sedangkan reduktor adalah pemberi elektron (donor elektron). Contoh
reaksi redoks adalah sebagai berikut.

Fe + 2 HCl → FeCl2 + H2

Dalam reaksi tersebut Fe teroksidasi menjadi Fe2+ (pertambahan


bilangan oksidasi dari 0 menjadi 2+), sedangkan ion hidrogen dari HCl
tereduksi dari 2H+ menjadi H2 (bilangan oksidasi berkurang dari 1+
menjadi 0). Contoh lain adalah besi di dalam haemoglobin yang
mentranspor oksigen ke sel-sel tubuh, yang mengalami oksidasi dari Fe2+
menjadi Fe3+ dan reduksi dari Fe3+ menjadi Fe2+.
Berbeda dengan senyawa anorganik seperti contoh di atas, reaksi
redoks yang melibatkan senyawa-senyawa karbon agak sulit digambarkan
aliran elektronnya. Dalam hal ini, suatu aturan yang sederhana telah
dikembangkan untuk menentukan reaksi redoks. Jika suatu senyawa
organik mengikat oksigen atau kehilangan hidrogen, zat tersebut
dinyatakan teroksidasi. Sebaliknya, jika kehilangan oksigen atau
mengikat hidrogen, senyawa itu dinyatakan tereduksi. Contoh reaksi
adalah sebagai berikut.

36
CH3 – CH3 CH3 – CH2 –
OH

CH3 – CO – COOH CH3 – HCOH –


COOH
(asam piruvat) (asam laktat)

Oksidasi adalah suatu proses normal di dalam tubuh sehingga panas


dan energi bebas dilepaskan untuk mempertahankan temperatur tubuh,
membentuk dan memperbaiki sel-sel jaringan, menguraikan dan
mengeluarkan zat-zat yang tidak diperlukan, untuk proses metabolisme
yang lain. Akan tetapi, pada kondisi tertentu yang tidak normal -
misalnya infeksi, inflamasi, paparan biota asing yang berlebihan
(xenobiotics), pemutusan ikatan oleh cahaya-oksidasi yang destruktif
sering terjadi, dan menyebabkan kerusakan sel-sel dan jaringan.
Bahkan, melalui proses oksidasi yang normal pun kerusakan sel-sel
juga dapat terjadi.
Oksigen adalah teman yang berbahaya. Sebagai oksidator yang
diperlukan untuk kelangsungan hidup, oksigen ibarat pedang bermata dua.
Selama hidup diperlukan oksigen yang merupakan akseptor elektron
paling penting dalam biosfer. Namun, oksigen juga merupakan sumber
radikal bebas. Toksisitas oksigen berpangkal dari pembentukan
senyawa oksigen yang reaktif (reactive oxygen species; ROS) pada
kondisi fisiologis yang kebanyakan adalah radikal bebas.
Mitokondria menghasilkan radikal bebas oksigen, dan sekitar 2 %
dari semua oksigen yang digunakan oleh sel-sel mamalia membentuk
senyawa oksigen yang reaktif (ROS). Radikal bebas ini menyebabkan
kerusakan berbagai unsur seluler seperti lipida, protein, dan asam
nukleat. Kerusakan pada membran lipida akan mengubah permeabilitas
membran sel, yang juga akan mempengaruhi fungsi protein.
ROS terbentuk pada metabolisme oksidatif reguler dan meningkat
selama inflammasi. Selama metabolisme oksidatif, elektron yang lepas
dari rantai transport elektron bergabung dengan oksigen membentuk

37
anion superoksida (O2.-). Faktor lingkungan seperti rokok, radiasi UV,
olahraga berlebihan dan asupan alkohol dan makanan tertentu akan
membentuk radikal ROS.
Radikal bebas adalah spesies kimia berupa atom, ion atau molekul
yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan
sehingga tidak stabil. Radikal bebas bersifat oksidatif karena berusaha
untuk mencari atau menarik elektron dari luar supaya elektronnya
berpasangan untuk membentuk senyawa yang stabil. Untuk mencapai
keadaan stabil ini radikal bebas bereaksi dengan protein, lipida, dan DNA
yang akhirnya menyebabkan kerusakan dan selanjutnya inaktivasi
komponen selluler seperti enzim, dan DNA. Radikal bebas sangat reaktif
dan dengan mudah menjurus ke reaksi yang tidak terkontrol,
menghasilkan ikatan silang (cross-link) pada DNA, protein, lipida, atau
kerusakan oksidatif pada gugus fungsional yang penting pada
biomolekul ini. Perubahan ini akan menyebabkan proses penuaan.
Radikal bebas juga terlibat dan berperan dalam patologi dari berbagai
penyakit degeneratif, yakni kanker, aterosklerosis, rematik, jantung
koroner, katarak dan penyakit degenerasi saraf seperti parkinson. Jika
sistim pemulihan DNA tidak mampu bekerja untuk memperbaiki DNA
yang rusak, akan terjadi mutasi akibat dari pasangan basa yang salah
(erroneous base pairing) selama replikasi dan mutasi yang demikian
berkaitan erat dengan kanker. Oksidasi lipida oleh radikal bebas merusak
membrane, sedangkan reaksi oksidasi residu asam amino pada protein
menyebabkan kerusakan seperti modifikasi protein sehingga enzim
menjadi kurang aktif sampai ke denaturasi protein sehingga tidak
berfungsi lagi. Pengaruh radikal bebas, antioksidan dan penyakit
degeneratif lihat Gambar 1.

38
Gambar 1. Pengaruh Radikal bebas dan antioksidan pada penyakit
regeneratif (Niki, et al, 1996).

Asupan antioksidan dan makanan yang mempengaruhi


mekanisme pertahanan antioksidan dalam tubuh berperan penting untuk
pembentukan ROS dan dengan demikian akan memulihkan
kesetimbangan redoks yang stabil. Tubuh memiliki mekanisme
pertahanan antioksidan (antioxidant defense) dalam bentuk enzim
antioksidan dan zat antioksidan untuk menetraliser radikal bebas.
Akan tetapi, karena perkembangan industri yang pesat, manusia
berkontak dengan berbagai sumber radikal bebas yang berasal dari
lingkungan dan dari kegiatan fisik yang tinggi sehingga sistem
pertahanan antioksidan dalam tubuh tidak memadai. Sistem
pertahanan antioksidan melawan oksidatif stres dapat dilihat Gambar
2.

39
Gambar 2. Sistem pertahanan antioksidan melawan oksidatif stres
(Niki, et. al, 1996)

Ketidakseimbangan (imbalance) antara pengaruh degeneratif


dari ROS yang lebih kuat dibandingkan dengan pertahanan
antioksidan disebut tekanan oksidatif (oxidative stress). Oksidatif
stress adalah kondisi biologis yang terjadi apabila kapasitas
antioksidan sel terkuras oleh ROS yang menyebabkan
ketidakseimbangan redoks. Maka, dibutuhkan tambahan antioksidan
yang cukup karena tekanan oksidatif yang tinggi dapat menyebabkan
kerusakan sel dan bahkan kematian.

B. Radikal Bebas dalam Tubuh


Pembentukan radikal bebas dan reaksi oksidasi pada
biomolekul akan berlangsung sepanjang hidup. Akumulasi dari senyawa
karbonil protein akibat dari reaksi oksidasi diyakini menjadi penyebab
utama dari proses penuaan dan berbagai penyakit degeneratif. Radikal
bebas yang penting dalam makhluk hidup dan yang sangat berbahaya
adalah radikal bebas oksigen (RBO), yaitu hidroksil (OH•), ion

40
superoksida (O2•‾), nitrogen monooksida (NO•), dan peroksil (RO2•).
Peroksinitrit (ONOO‾), asam hipoklorit (HOC1), hidrogen peroksida
(H2O2), oksigen singlet (1O2), dan ozon (O3) bukanlah radikal, tetapi
dengan mudah dapat menjurus ke reaksi-reaksi radikal bebas. Istilah
ROS biasanya bukan hanya digunakan untuk radikal bebas oksigen,
melainkan juga termasuk yang bukan radikal tersebut (HOC1, 1O2
ONOO‾, O3, dan H2O2).

1. Ozon
Ozon (O3) adalah gas yang berwarna biru, tidak dibentuk secara
in vivo, dan berfungsi sebagai perisai bumi terhadap radiasi matahari. Jika
berada di dekat permukaan bumi, ozon merupakan polutan udara
(oksidan) yang paling toksis, terutama terhadap jaringan paru-paru.
Ozon dapat terbentuk dalam laboratorium yang memiliki alat dengan
lampu yang menghasilkan sinar ultraviolet intensitas tinggi. Ozon juga
dapat terbentuk di udara daerah perkotaan sebagai akibat reaksi
fotokimia polutan.

2. Nitrogen Monooksida
Nitrogen monooksida (NO•) adalah suatu radikal bebas yang dapat
terjadi dalam tubuh, terutama terbentuk melalui reaksi oksidasi arginin oleh
NOsynthase (NOS). Sebenarnya, di dalam tubuh radikal ini mempunyai
berbagai peran yang menguntungkan, misalnya dalam pengaturan
fungsi sel dan viabilitas jaringan. Toksisitasnya berkaitan dengan
reaksinya dengan O2‾ membentuk ONOO‾ yang merangsang oksidasi
lipida, metionin, dan gugus residu -SH (sulfhidril atau thiol) dalam
protein sehingga menghabiskan aktivitas antioksidan dalam tubuh.

3. Radikal Peroksil (RO2•)


Kelompok radikal ini merupakan senyawa antara yang terbentuk
dalam rangkaian reaksi oksidasi lipida, misalnya oksidasi lemak tak
jenuh ganda. Oksidasi lipida dapat dipicu oleh spesies kimia yang cukup
reaktif mengabstraksi (menarik) atom hidrogen dari asam lemak tak jenuh
ganda (poly unsaturated fatty acids). Oksidasi seperti ini juga terjadi pada
oksidasi LDL.

4. Asam Hipoklorit
Asam hipoklorit (HOCl) diproduksi oleh enzim myolepoxidase di

41
lokasi inflamasi, melalui oksidasi ion klorida dengan adanya H2O2.
HOCl bukanlah radikal bebas, melainkan pengklorinasi dan oksidator
yang potensial, yang dapat menyerang berbagai biomolekul. HOCl
menyerang gugus amina primer dan sulfhidril dalam protein dan
mengklorinasi basa purin dalam DNA. Senyawa fenolik dapat bereaksi
efektif dengan HOCl sehingga dapat melindungi target yang sensitif
terhadap oksidasi.

5. Radikal Superoksida
Radikal superoksida (O2•‾) ini memiliki reaktivitas yang selektif;
dibentuk oleh sejumlah sistem enzim melalui reaksi-reaksi autooksidasi dan
oleh elektron transfer enzimatik. Superoksida mengoksidasi asam
askorbat dalam larutan berair. Oksigen singlet ( 1O2) dapat terbentuk dari
reaksi kimia antara H2O2 dan oksidator kuat, serta karena pengaruh cahaya
pada sistem pangan dengan adanya porpirin, klorofil, senyawa heme,
flavin, dan zat warna sintetis. Oksigen singlet mudah bereaksi dengan
asam lemak tak jenuh.

6. Hidrogen Peroksida
Senyawa ini dapat melewati membran dan secara perlahan akan
mengoksidasi sejumlah senyawa jika kadarnya cukup tinggi, tetapi kurang
reaktif pada kadar yang rendah. Hidrogen peroksida dapat terbentuk
secara in vivo oleh enzim oksidase. Hidrogen peroksida juga
membentuk radikal hidroksil OH• dengan adanya ion metal transisi. O2
mengkatalisis reaksi pembentukan ini.

7. Radikal Hidroksil
Radikal hidroksil (OH•) terjadi karena radiolisis air dalam sistem
biologis. Radikal ini sangat reaktif. Keistimewaan dari radikal ini ialah
kemampuannya untuk menurunkan radikal yang lain dengan reaktivitas
yang lebih rendah, bila bereaksi dengan suatu molekul. Radikal hidroksil
menyerang semua protein, DNA, PUFA dalam membran, dan hampir
semua molekul yang disentuhnya. Neutrofil dan monosit manusia dapat
memproduksi OH• melalui suatu mekanisme yang tergantung pada
myeloperoksidase.

42
C. Radikal Bebas dari Luar Tubuh
Paparan pada radiasi ultra violet (UV), olahraga berlebihan, asap
rokok, zat antitumor, logam berat, pestisida organik meningkatkan
beban ROS pada tubuh. Oxidatif stres terjadi pada bagian tubuh yang
terpapar seperti kulit, paru-paru, saluran cerna dan organ-organ yang
berperan khusus detoksifikasi seperti hati dan ginjal. Senyawa yang
terdapat di dalam makanan akan dapat meningkatkan oksidatif stress.
Senyawa yang ada dalam makanan seperti ion logam transisi, daging
merah, isoprostane, maha tambahan pangan,hasil oksidasi lemak, akan
mempengaruhi saluran cerna pada usus halus, usus besar, dan
lambung. khususnya hasil peroksida lipida dari asam lemak tak jenuh
ganda (PUFA).

D. Radikal Bebas dan Penyakit Degeneratif


Setiap hari, sel-sel di dalam tubuh mengalami kerusakan
oksidatif. Diperkirakan bahwa DNA di dalam setiap sel mengalami 10.000
benturan yang bersifat oksidatif per hari. Biomolekul lain seperti protein
dan lipida juga rentan terhadap kerusakan oksidatif. Sebagian besar dari
kerusakan ini diperbaiki, tetapi kerusakan yang tidak dipulihkan tertimbun
selama hidup dan mengarah pada proses penuaan serta menimbulkan
penyakit degeneratif.
Banyak enzim yang penting dirusak oleh superoksida. Akan
tetapi, kebanyakan kerusakan oksidatif ini disebabkan oleh
mobilisasi besi dari bentuk ferritin dan keterlibatan secara aktif besi
yang bebas ini di dalam reaksi redoks. Ion ferro yang terbentuk dapat
bereaksi dengan peroksida lipida dan memicu reaksi berantai oksidasi
membran fosfolipida.

O2• ‾ + Ferritin – Fe3+ → O2 + Ferritin + Fe2+

Proses oksidasi berperan dalam perkembangan aterosklerosis dan


penyakit jantung koroner (PJK) serta stroke. Hubungan antara oksidasi
dengan PJK adalah melalui oksidasi Low Density Lipoprotein (LDL).
Lipoprotein ini merupakan alat pengangkut utama kolesterol dari hati
ke seluruh sel jaringan dalam tubuh yang membutuhkannya. Bentuk LDL
yang teroksidasi tidak dapat lagi dikenali oleh reseptornya, tetapi lebih
mudah diikat oleh makrofag, dan kemudian merangsang pembentukan
aterosklerosis dan PJK (Carr & Frei, 1999). Fakta ini disebut hipotesis

43
oksidatif dari aterosklerosis, yang makin diyakini sebagai cara
terjadinya PJK.
LDL yang mengandung asam lemak tak jenuh ganda (PUFA)
terdapat dalam jumlah besar di dalam lapisan fosfolipida sehingga peka
terhadap peroksidasi radikal bebas. Oksidasi LDL menyehabkan
hilangnya PUFA dan meningkatnya produk toksis seperti PUFA
hidroperoksida (PUFA : OOH) dan aldehid. Oksidasi seperti ini akan
mengubah sifat fisiko-kimia LDL menjadi lebih aterogenik.
Produk hasil oksidasi LDL bersifat bioaktif dan akan merangsang
endotelium dan sekresi sitokin, growth factors, serta berbagai molekul
perekat. Dua zat yang disebut terakhir ini akan menangkap monosit dan
limposit T, kemudian memasukkannya ke intima (lapisan dalam
pembuluh darah). Di tempat tersebut monosit diubah menjadi
makrofag, yakni prekursor dari sel-sel berupa busa (foam cells).
Karena adanya growth factors dan sitokin, akan terjadi pertumbuhan
sel-sel otot polos pada intima, dan hal ini akan menyebabkan
penyempitan lumen pembuluh darah.
LDL yang teroksidasi dapat juga menghambat produksi prostasiklin
dan nitrogen monooksida yang bersifat vasodilator dan inhibitor
agregasi platelet. Data dari penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa
antioksidan dalam makanan dapat menurunkan insiden PJK.
Radikal bebas dan proses oksidatif berperan baik pada inisiasi
maupun stimulasi karsinogenesis. Hipotesis oksidatif karsinogenesis
menyatakan bahwa banyak karsinogen dapat menghasilkan radikal bebas
yang akan merusak sel-sel. DNA mengandung gugus reaktif yang sensitif
terhadap serangan radikal bebas, dan kerusakan oksidatif dapat
menjurus ke mutasi yang merusak. Kebanyakan dari kerusakan
oksidatif ini diperbaiki oleh DNA glycosylase tertentu, tetapi
pemulihan ini tidak seratus persen efisien dan jumlah kerusakan
terakumulasi seiring dengan usia. Jika sel-sel tersebut membelah,
kerusakan ini melekat dan mutasi dan kanker akan terjadi. Antioksidan,
dengan menetralkan radikal bebas dan oksidator (oksidan), dapat
mencegah perusakan sel, dan ini berarti mencegah perkembangan
kanker. Walaupun fakta tentang hubungan langsung antara oksidasi
DNA dengan kanker masih belum tuntas diketahui, tetapi berdasarkan
penelitian epidemiologi terlihat bahwa pasokan antioksidan vitamin
dalam makanan, terutama dari sayur-sayuran dan buah-buahan, dapat
melindungi manusia dari berbagai kanker.

44
Katarak adalah keadaan tidak berfungsinya lensa mata karena
kekeruhan yang menghalangi transmisi cahaya. Sekitar 98 % massa
padat dari lensa adalah protein yang didominasi oleh bentuk kristal.
Protein ini berumur panjang, dan hanya mengalami sedikit perubahan.
Maka, terjadinya katarakberkaitan dengan usia lanjut. Oksidasi pada
protein lensa sebagai akibat dari paparan cahaya ultraviolet yang kronis
dan oksigen ikut berperan dalam proses ini. Merokok, yang diketahui
menghasilkan tekanan oksidatif, juga berkaitan dengan peningkatan
resiko katarak. Bukti dari oksidasi protein lensa meliputi hilangnya gugus
sulfhidril dan residu triptofan pada usia lanjut, dan juga pembentukan
disulfida dan ikatan kovalen silang lainnya. Deaminasi dan asidifikasi dapat
juga terjadi, dan juga hasil akhir dari glikasi, terutama pada orang yang
menderita diabetes. Protein yang teroksidasi terakumulasi, beragregasi,
kemudian mengendap, dan akhirnya menjurus pada terjadinya katarak.
Lensa mengandung sejumlah pertahanan antioksidan, seperti kadar
vitamin C yang tinggi, glutation, dan enzim antioksidan. Akan tetapi,
dalam proses penuaan, konsentrasi antioksidan dalam lensa akan
menurun dan antioksidan enzim mudah terinaktivasi. Dengan demikian,
oksidasi protein pada usia lanjut akan meningkat. Maka, suplementasi
dengan antioksidan seperti vitamin C dapat mengurangi resiko katarak.
Manusia memiliki sistem kekebalan yang melindungi tubuh dari
unsur-unsur patogen, seperti bakteri, virus, jamur, protozoa, parasit, dan
berbagai radikal bebas. Khusus untuk melindungi pengaruh radikal
bebas, tubuh mempunyai sistem pertahanan yang meliputi enzim dan
zat tertentu. Enzim katalase dan glutation peroksidase berperan untuk
mengeluarkan H2O2. Super oksida dismutase (SOD) mengeluarkan
O2‾ dengan mengubahnya menjadi H2O2. Daya punah penangkap radikal
bebas (free radical scavengers) ini diperkuat oleh antioksidan biologis lain,
terutama vitamin antioksidan, yakni vitamin C, vitamin E, dan β-karoten.

E. Antioksidan dan Penyakit Degeneratif


Antioksidan atau reduktor berfungsi untuk mencegah terjadinya
oksidasi atau menetralkan senyawa yang telah teroksidasi, dengan cara
menyumbangkan hidrogen dan atau elektron. Antioksidan dalam tubuh
dibedakan atas tiga kelompok, yaitu (1) antioksidan primer yang bekerja
dengan cara mencegah terbentuknya radikal bebas yang baru dan mengubah
radikal bebas menjadi molekul yang tidak merugikan, misalnya glutation
peroksidase; (2) antioksidan sekunder yang berfungsi untuk menangkap

45
radikal bebas dan menghalangi terjadinya reaksi berantai, misalnya
vitamin C, vitamin E, dan β-karoten; dan (3) antioksidan tertier yang
bermanfaat untuk memperbaiki kerusakan biomolekuler yang
disebabkan oleh radikal bebas, misalnya DNA repair enzyme.
Antioksidan di bentuk di dalam tubuh dan berasal dari luar tubuh
yakni dari makanan. Ada beberapa antioksidan yang dibentuk di dalam tubuh
yaitu asam urat, bilirubin yang terikat dengan albumin, albumin, glutathion
(GSH) dan tioredoksin. Glutathion adalah tripeptida γ-
glutamylcysteinglycine yang terdapat di dalam setiap sel. GSH langsung
menangkap radikal bebas atau dapat menjadi prekursor untuk glutathion
peroxidase dan glutathion sulfur tranferase (GST) selama detoksifikasi H2O2,
lipid hidroperoksida dan senyawa elektrofilik. Konsentrasi normal GSH
dipertahankan melalui sintesa de novo dari asam amino cystein dan
methionie, regenerasi glutathion disulfida (GSSG). GSH dan GSSG dapat di
lihat pada Gambar 3. Sintesa GSH di dikataliser oleh γ-
glutamylcysteinsynthase (γ-GCS) dan GSH synthase. Availabilitas cystein
dan konsentrasi GSH akan membatasi aktivitas γ-GCS. Selama kondisi
oksidatif stress, GSH dioksidasi menjadi bentuk disulfida (GSSG). GSSG
biasanya kadarnya kurang dari 1% dari total GSH, tetapi kadar ini dapat
meningkat pada keadaan oksidatif stress yang tinggi. Jika ratio GSH:GSSG
tidak seimbang, elemen oksidan respon akan teraktivasi yang menyebabkan
meningkatkan γ-GCS dan gen stress antioksidatif. GSH yang terdapat di
dalam makanan dan yang disekresikan dalam kelenjar empedu dapat
menambah konsentrasi GSH di dalam lumen saluran cerna. Di dalam lumen
usus halus, GSH di transportasikan dalam keadaan utuh ke sel-sel mukosa.
GSH juga dapat diubah menjadi komponen asam amino oleh γ-
glutamyltranspeptidase dan dipeptidase dan diserap dan selanjutnya diubah
kembali menjadi GSH setelah sampai di dalam sel.

46
Gambar 3. Struktur Glutathion (GSH) dan GSSG

Mekanisme kerja GSH sebagai antioksidan adalah dengan


menyumbangkan elektron dalam bentuk atom hidrogen ke pada radikal
bebas sebagai berikut:

GSH + R* → GS* + RH
GS* + GS* → GSSG

Setelah melepaskan atom hidrogen dan menyumbangkannya ke


radikal bebas terbentuk radikal bebas (R*) sehingga berubah menjadi RH
yang tidak radikal, sedangkan GSH berubah menjadi radikal bebas baru GS*
yang dapat bergabung dengan GS* yang lainnya menjadi GSSG yang tidak
bersifat radikal.
Tioredoksin berperan sebagai pereduksi untuk ribonukleotida
reduktase dan metionin sulfoksida reduktase yang memulihkan kerusakan
oksidatif pada reidu metonin dalam protein. Tioreduksin tereduksi
mengandung dua gugus tiol yang membentuk tioredoksin teroksidasi. Sama
seperti glutation reduktase (GR) dan GSSG, tioredoksin reduktase mereduksi
tioredoksin teroksidasi dengan NADPH sebagai elektron donor.
Antioksidan pangan adalah suatu zat dalam makanan yang

47
menghambat akibat buruk dari efek senyawa oksigen yang reaktif (ROS),
senyawa nitrogen yang reaktif (SNR), atau keduanya, dalam fungsi
fisiologis normal pada manusia. Antioksidan dalam makanan dapat
berperan dalam pencegahan berbagai penyakit, meliputi penyakit
kardiovaskular, serebrovaskular, sebagian kanker, dan penyakit yang
berkaitan dengan proses penuaan.
Oksidan biologis yang terbentuk melalui metabolism ataupun
radikal bebas yang berasal dari luar seperti merokok, ozon, sinar
ultraviolet, dan bentuk radiasi lain adalah zat-zat berbahaya. Radikal
bebas dapat merusak biomolekul dan mengubah fungsinya sehingga zat-
zat ini dapat terlibat dalam penyakit akut dan kronis.
Mekanisme pertahanan antioksidan berada baik dalam air
maupun lipida. Antioksidan lipida yang utama adalah vitamin E,
ubiquinol (coenzyme Q10), dan berbagai karotenoid yang berasal dari
makanan. Antioksidan utama yang larut dalam air adalah vitamin C
dan glutation.
Kerja dari kebanyakan antioksidan, termasuk vitamin C dan
vitamin E serta thiol dan ubiquinon, didasarkan atas prinsip reaksi redoks.
Akan tetapi, karotenoid tidak berdasarkan prinsip reaksi redoks.
Tumbuhan mengandung berbagai jenis antioksidan, namun yang
paling penting adalah vitamin C, vitamin E, senyawa fenol, dan thiol
(serta prekursornya). Senyawa fenol meliputi flavonoid (turunan inti
flavan), cincin kroman (tokoferol), dan lignan.
Data epidemiologi mendukung keterkaitan antara tingginya
asupan sayur-sayuran dan buah-buahan dengan rendahnya penyakit
kronis. Hal ini dikarenakan sayur-sayuran dan buah-buahan kaya akan
zat gizi (vitamin, mineral, dan serat pangan) serta berbagai kelompok
zat bioaktif lain yang disebut zat fitokimia. Zat bioaktif ini bekerja secara
sinergis, meliputi mekanisme enzim detoksifikasi, peningkatan sistem
kekebalan, pengurangan agregasi platelet, pengaturan sintesis kolesterol
dan metabolisme hormon, penurunan tekanan darah, sebagai antioksidan,
antibakteri, serta efek antivirus.
Khasiat antioksidan untuk mencegah berbagai penyakit akibat
pengaruh oksidatif akan lebih efektif jika kita mengonsumsi, sayur-sayuran
dan buah-buahan yang kaya akan antioksidan dari berbagai jenis daripada
menggunakan antioksidan tunggal. Efek antioksidan dari sayur-sayuran
dan buah-buahan lebih efektif daripada suplemen antioksidan yang
diisolasi. Hal ini mungkin dikarenakan oleh adanya komponen lain dan

48
interaksinya dalam sayur-sayuran dan buah-buahan yang berperan secara
positif.

1. Vitamin E
Istilah vitamin E sering digunakan untuk menyatakan setiap
campuran dari tokoferol (Yunani: tokos = kelahiran; pheros =
membawa) yang aktif secara biologis. Tokoferol adalah inhibitor yang
potensial terhadap lipida peroksidasi. Ada delapan jenis tokoferol alam
yang mempunyai aktivitas sebagai vitamin E. Di antara delapan jenis
tokoferol tersebut, α-tokoferol adalah tokoferol yang paling aktif secara
biologis.
Dari struktur molekul (lihat Gambar 1 dan 2) terlihat bahwa
tokoferol adalah suatu antioksidan yang sangat efektif, yang dengan
mudah menyumbangkan atom hidrogen pada gugus hidroksil (OH)
dari struktur cincin ke radikal bebas sehingga radikal bebas menjadi
tidak reaktif. Dengan menyumbangkan hidrogen, vitamin E sendiri
menjadi suatu radikal, tetapi lebih stabil karena elektron yang tidak
berpasangan pada atom oksigen mengalami delokalisasi ke dalam struktur
cincin aromatik.
Vitamin E dapat mencegah serangan jantung, penyumbatan
pembuluh darah perifer, dan stroke. Selain menghambat oksidasi
kolesterol LDL, vitamin E juga memperlambat agregasi alamiah. Sebagai
antikanker, vitamin E akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan
menghambat pertumbuhan kanker, serta menghambat reaksi nitrosasi
endogen, yang menunjukkan sifat antikanker. Khasiat lain adalah
menunda terjadinya katarak, memperlambat kemunduran fungsi otak, dan
berkhasiat pada kesuburan. Vitamin E juga berperan secara khusus untuk
mengatasi gangguan fungsi sistem saraf akibat tekanan oksidatif pada usia
tua. Oleh karena itu, vitamin E dosis tinggi telah digunakan untuk
mengobati penyakit saraf seperti parkinson, alzheimer, dan diskinesia.
Jumlah vitamin E yang dianjurkan setiap hari (recommended
daily allowance; RDA) adalah 8-10 mg. Dosis yang lebih tinggi (36-
100 mg/hari) dianjurkan untuk mencegah PJK dan kanker. Sumber
vitamin E yang utama adalah minyak nabati dan margarin yang dibuat
dari minyak nabati. Vitamin E alamiah dua kali lebih efektif
dibandingkan dengan vitamin E sintetis.

49
Tokoferol

Tokotrienol

Posisi gugus metil Tokoferol Tokotrienol


5,6,7 – trimetil α α
5,8 – dimetil β β
7,8 – dimetil γ γ
8 – monometil δ δ

Gambar 4. Struktur vitamin E.

Fenol Radikal bebas Radikal bebas yang tidak reaktif

Gambar 5. Mekanisme kerja antioksidan dari turunan fenol, seperti


flavonoiddan vitamin E.

50
2. Vitamin C
Vitamin C (L-asam askorbat) merapakan suatu antioksidan
penting yang larut dalam air. Reaksi reversibel dari oksidasi askorbat
(vitamin C) ditunjukkan dalam Gambar 3. Vitamin C secara efektif
menangkap radikal-radikal O2•‾, OH•, peroksil, dan oksigen singlet, dan
juga berperan dalam regenerasi vitamin E. Dengan mengikat radikal
peroksil dalam fase berair dari plasma atau sitosol, vitamin C dapat
melindungi membran biologis dan LDL dari kerusakan peroksidatif.

Gambar 6. Reaksi reversibel dari oksidasi askorbat (vitamin C).

Konsentrasi vitamin C yang tinggi dalam plasma akan menurunkan


kadar LDL, menurunkan kadar trigliserida, dan mengurangi agregasi
platelet, serta meningkatkan high density lipoprotein (HDL). Hal ini
berarti mencegah PJK.
Vitamin C dapat mencegah kanker melalui beberapa mekanisme, selain
melalui inhibisi oksidasi DNA. Suatu mekanisme yang potensial sebagai
antikanker ialah kemoproteksi terhadap senyawa mutagenik seperti
nitrosamin. Senyawa N-nitroso terbentuk melalui reaksi antara nitrit
atau nitrat (biasanya digunakan sebagai pengawet dan terdapat juga
dalam asap rokok) dengan amina dan amida.

HNO2 + H+ H2O2+
(asam nitrit)

H2NO2 + NO2‾ N2O3 + H2O

(R)2NH + N2O3 → (R)2–N–N=O + HNO2


(dialkil amina) (nitrosamin)

Jika ada vitamin C (asam askorbat) maka akan terjadi reaksi


berikut.

N2O3 + asam askorbat → asam dehidroaskorbat + 2NO + H2O

51
Vitamin C juga dapat mencegah kanker dengan meningkatkan sistem
kekebalan tubuh terhadap infeksi dan virus. Sebenarnya, ada radikal
bebas dan produk oksidatif yang dikeluarkan oleh sel-sel sistem kekebalan
yang dapat menguraikan sel-sel tumor, tetapi fungsinya sering kali
menyimpang. Maka, aktivitas sistem kekebalan yang optimum memerlukan
suatu keseimbangan antara pembentukan radikal bebas dan proteksi
antioksidan.
Vitamin C dapat juga bekerja sebagai suatu koantioksidan
dengan membentuk kembali (regenerasi) α-tokoferol dari bentuk radikal
α-tokoferol, melalui pengikatan radikal-radikal yang larut dalam lipida.
Fungsi ini sangat penting karena pada percobaan in vitro diketahui bahwa
α-tokoferol dapat bekerja sebagai prooksidan jika tidak ada
koantioksidan seperti vitamin C.
Ada dua sifat yang penting dari vitamin C sebagai antioksidan.
Pertama, karena mempunyai potensial reduksi yang rendah, askorbat
dan radikal askorbil mampu bereaksi dengan radikal biologis dan
mereduksi oksidan-oksidan. Kedua, stabilitas dan reaktivitas yang
rendah dari radikal askorbil, yang terbentuk ketika askorbat menangkap
SOR dan senyawa nitrogen yang reaktif.
Di Amerika, vitamin C diterima sebagai salah satu dari empat
antioksidan diet, yakni vitamin E, (β-karoten, dan selenium. Untuk
mencegah berbagai penyakit dan untuk meningkatkan daya tahan tubuh,
konsumsi vitamin C yang banyak dianjurkan. Bahkan, kebutuhan
minimal vitamin C yang dipakai selama ini (60 mg/hari) perlu
ditingkatkan menjadi dua kali lipat.

3. β-Karoten
Alfa-karoten (α-Karoten) dan β-karoten menyusun 90% dari
karotenoid. Struktur α-karoten dan β-karoten ditunjukkan dalam Gambar
4. Dari 600 karotenoid yang telah diketahui, hanya 50 yang dapat
bertindak sebagai provitamin A. Menurut penelitian Brown et al. (1999),
di antara karotenoid, lutein dan zeaxanthin paling efektif mengurangi
katarak pada usia lanjut. Porrini & Riso (2000) menemukan bahwa
konsentrasi likopen dan daya tahan limposit terhadap kerusakan
oksidatif pada wanita meningkat sesudah mengkonsumsi tomat.

52
α-karoten

β-karoten

Gambar 7. Struktur α-karoten dan β-karoten

Banyak karotenoid bekerja sebagai antioksidan, yakni


penangkap radikal bebas, terutama radikal peroksil dan hidroksil
maupun oksigen singlet. Sebagai antioksidan, β-karoten memperlambat
fase inisiasi, tetapi tidak propogasi dari autooksidasi minyak goreng. β-
karoten lebih efektif sebagai antioksidan biologis terutama pada bagian
yang memiliki tekanan partial oksigen yang rendah. β-karoten bekerja
sinergis dengan vitamin C dan vitamin E. Dengan sifat-sifat seperti di
atas, β-karoten dapat melindungi tubuh dan mencegah berbagai
penyakit, yakni menghambat pertumbuhan sel kanker, mencegah
serangan jantung, mencegah katarak, meningkatkan fungsi sistem
kekebalan tubuh, mencegah dan mengobati penyakit kulit, dan lain-lain.
Pemberian vitamin A dalam dosis tinggi dapat bersifat toksis. Akan
tetapi, β-karoten dalam jumlah banyak mampu memenuhi kebutuhan
vitamin A, dan selebihnya tetap sebagai β-karoten yang berfungsi sebagai
antioksidan.
Penggunaan alkohol dan obat-obatan dalam jangka waktu yang
lama tidak hanya akan menurunkan absorbsi retinoid dan karotenoid,
tetapi juga merangsang peruraian retinol secara enzimatis. Bahkan,
kombinasi β-karoten dengan etanol bersifat hepatoksik. Perokok yang
mengonsumsi campuran β-karoten dan etanol akan meningkatkan kanker
paru-paru dan mungkin juga komplikasi kardiovaskular.
4. Flavonoid

53
Flavonoid terdiri atas struktur dasar 2-fenil-benzo-δ-piran atau
inti flavan di mana dua cincin benzen dihubungkan oleh cincin piran
yang mengandung oksigen. Flavonoid dibagi atas flavonol, flavon,
flavan, dan isoflavon (lihat Gambar 5). Beberapa contoh yang terdapat
dalam pangan adalah mirisetin, quersetin, luteolin, apigenin, genistein,
dan krisin (lihat Tabel 2).

Struktur dasar flavonoid Flavonoid


Flavon

Flavan–3–ol
Isoflavon

Gambar 8. Struktur flavonoid dan turunannya.

54
Tabel 2. Struktur Beberapa Senyawa Flavonoid
Senyawa
Posisi Hidroksil Fenolik
No.
pada Struktur Dasar Flavon Flavonol Isoflavon
1 5,7 Krisin -
2 5,7,4' Apigenin -
3 5,7,3',4' Luteloin Quersetin Genistein
4 5,7,3',4',5' Trisetin Mirisetin

Polifenol termasuk flavonoid memiliki sifat antioksidan yang


dikaitkan dengan kemampuan untuk (1) memperlambat atau
mencegah autooksidasi pada konsentrasi rendah dibandingkan
dengan zat yang mudah teroksidasi (2) membentuk radikal bebas
yang relative stabil terhadap oksidasi berikutnya, dan (3)
mengindukasi antioksidan lainnya baik pada tingkat transkripsional
dan translasional. Disamping itu, effek antioksidan karena induksi
enzim antioksidan misalnya meningkatkan aktivitas gluthation
peroxsidase (GPx) dan glutahtion reductase (GR).
Senyawa ini berperan sebagai penangkap radikal bebas karena
mengandung gugus hidroksil. Karena bersifat sebagai reduktor,
flavonoid dapat bertindak sebagai donor hidrogen terhadap radikal
bebas. Flavonoid dapat membentuk kompleks (kelat) dengan ion
logam transisi, misalnya besi, sehingga tidak lagi bertindak sebagai
prooksidan. Dengan demikian, oksidasi vitamin C dapat dicegah.
Senyawa flavonoid seperti quersetin, morin, mirisetin, kaempferol,
asam tanat, dan asam elagat merupakan antioksidan kuat yang dapat
melindungi makanan dari kerusakan oksidatif. Senyawa polifenol,
termasuk flavonoid yang terdapat dalam sari buah anggur (grape
juice), ternyata dapat menghambat atau mengurangi agregasi
platelet sehingga mencegah trombosis koroner dan PJK.
Flavonoid banyak terdapat di dalam tumbuhan, terutama daun
teh, bawang, apel, dan anggur merah. Konsumsi banyak sayur-
sayuran dan buah-buahan yang kaya akan flavonoid akan
menurunkan resiko kanker dan PJK. Potensi antioksidan polifenol
yang terdapat dalam daun teh hijau menunjukkan efek terapi yang
efektif pada berbagai jenis proses inflamasi. Efek proteksi terhadap

55
kerusakan oksidatif diyakini karena epigalokatekin galat yang
terdapat sebanyak 670 g/kg dalam teh hijau.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa flavonoida menginhibisi
karsinogenesis secara invitro dan in vivo. Flavonoida dapat
menghambat karsinogenesis dengan mempengaruhi tahapan proses
inisiasi, promosi dan progressi. Beberapa flavonoida dapat bersifat
antikanker melalui inhibisi dan progressi tumor. Flavonoida
umumnya menginhibisi proliferasi dari berbagai jenis kultur sel
kanker manusia.

5. Protein dan Peptida


Dalam dua dekade terakhir ini makin banyak fakta yang
menunjukkan bahwa sejumlah protein dan peptide memiliki
aktivitas biologis yang spesifik disamping peranannya sebagai zat
gizi. Peptida hasil hidrolisis dari berbagai protein jauh lebih efektif
sebagai antioksidan dibandingkan dengan protein aslinya. Peptida
dari protein kedelai bersifat antioksidan lima kali lipat dari pada
protein aslinya. Pada proses pencernaan protein akan mengalami
hidrolisis baik secara kimia dan enzimatis serta oleh bakteri yang
akan menghasilkan bioaktif asam amino dan peptida. Asam amino,
peptide, dan protein turut serta berkontribusi pada kapasitas
antioksidan dalam sel, sehingga menjaga kesehatan jaringan
biologis. Beberapa contoh antioksidan endogen asam amino adalah
histidin, sistein, metionin dan tirosin, dan peptide yakni glutation,
karnosin, anserine. Walaupun beberapa protein menunjukkan sifat
antioksidan, effikasinya pada umumnya rendah karena residu asam
amino reaktif dan segmen peptide terikat di dalam struktur molekul
protein sehingga tertutup bagi ROS. Berbeda dengan antioksidan
non-protein, antioksidan peptide adalah senyawa multifungsi.
Peptide juga komponen bioaktif sebagai antihipertensi, antikanker,
antimikroba dan immunomodulator. Campuran peptide hasil
hidrolisa protein nabati dan hewani bersifat antioksidan di dalam
sistim makanan.
Banyak protein pangan memiliki urutan peptide yang bersifat
antioksidan dan fragmen aktif dilepaskan sesudah mengalami
hidrolisa enzim pencernaan. Beberapa protein hidrolisat dan
campuran peptide memiliki aktivitas antikoksidan. Hidrolisat protein
kasein, kedele, kentang dan kuning telor mencegah oksidasi lipida di
dalam makanan daging. Pada umumnya, antikosidan peptida

56
berperan sebagai penangkap radikal bebas (free radical scavenger),
donor elektron, dan pengkelat ion metal. Peptida antioksidan
umumnya merupakan peptida pendek (2-10 residu asam amino), dan
urutan asam amino merupakan faktor penting.

E. Rangkuman
Kesetimbangan yang sehat antara radikal bebas dan antioksidan
terdapat di dalam tubuh, tetapi cara penentuan yang teliti belum ada. Bila
aktivitas dari radikal bebas lebih tinggi daripada kemampuan
antioksidan, kondisi ini dikenal sebagai tekanan oksidatif (oxidative
stress). Keadaan tekanan oksidatif ini akan berdampak negatif, yakni
akan merusak sel-sel normal dan biomolekul. Pemberian antioksidan
menunjukkan adanya pengaruh yang positif dan mengurangi resiko
penyakit degeneratif.
Vitamin E merupakan antioksidan, terutama menghalangi
oksidasi lipida dan mengurangi resiko penyakit jantung koroner.
Vitamin C ternyata mampu mengurangi resiko kanker, juga akan
membantu regenerasi vitamin E dari bentuk teroksidasi. β-karoten
terutama potensial sebagai penangkap superoksida pada tekanan oksigen
yang rendah dan oleh karena itu mengurangi resiko kanker. Akan tetapi,
β-karoten dapat meningkatkan resiko penyakit kanker pada perokok dan
peminum berat. Kombinasi dari ketiga vitamin antioksidan dengan
antioksidan phytochemicals dari sayur-sayuran dan buah-buahan
menunjukkan sifat sinergisme, tetapi proporsi dan dosis yang ideal
dari kombinasinya serta faktor-faktor yang mempengaruhi agar
diperoleh hasil optimal perlu diteliti lebih mendalam.

F. Pelatihan
1. Apa perbedaan oksidasi dan reduksi pada senyawa anorganik dan pada
senyawa organik? Jelaskan!

2. Jelaskan bagaimana radikal bebas dan oksidan memicu terjadinya


penyakit degeneratif dan penuaan!
3. Jelaskan pengertian oksidative stress dan antioxidant defense!
4. Sebutkan beberapa antioksidan alami pangan dan jelaskan

57
peranannya dalam mengurangi resiko penyakit degeneratif!
5. Apa sebabnya oksigen disebut teman yang berbahaya atau pedang
bermata dua?
6. Jelaskan bagaimana mekanisme kerja senyawa flavonoida dan senyawa
polifenol dapat bersifat antioksidan.

58
BAB IV
DIET DAN MAKANAN FUNGSIONAL PADA DIABETES

Diabetes adalah penyakit yang disebabkan oleh gangguan


fungsi insulin dan glukagon yang berperan di dalam metabolisme
glukosa sehingga kadar glukosa diatas kadar yang normal
(hiperglisemia). Hiperglisemia yang kronis dapat menimbulkan
penyakit komplikasi seperti kardiovaskular, buta, stroke, gagal ginjal,
gangguan syaraf dan bahkan kematian. Berbagai faktor resiko terlibat
di dalam patofisiologi diabetes. Pencegahan dan penanganan diabetes
meliputi pengobatan, diet yang sehat dan terukur, aktivitas fisik, dan
menghindari obesitas. Regulasi kadar gula darah, faktor resiko,
komplikasi diabetes dan diet untuk pencegahannya akan diuraikan di
dalam bab ini.

Pendahuluan
Karbohidrat, lemak, dan protein dari makanan adalah zat gizi
yang berfungsi untuk menghasilkan energi (kalori), tetapi karbohidrat
dan lemak masing-masing dalam bentuk glukosa dan asam lemak
merupakan sumber kalori utama untuk setiap sel dalam tubuh supaya
dapat melakukan aktivitas. Asam amino dari protein hanya digunakan
sebagai sumber energi pada saat puasa yang lama jika glukosa dan
asam lemak sudah digunakan. Pengaturan metabolisme energi dalam
tubuh merupakan kerja simbiotik antara otak, otot, hati, pankreas.
Cadangan energi di dalam tubuh terdapat sebagai karbohidrat yakni
glikogen disimpan dalam hati dan otot, dan sebagai lemak di dalam
jaringan adiposa. Pengaturan metabolisme ini dipengaruhi oleh
aktivitas tubuh seperti waktu makan, aktivitas fisik, puasa, dan
keadaan lapar.
Perbedaan metabolisme energi terjadi dari interaksi yang
berbeda antara hati, otot dan jaringan adiposa selama istirahat, latihan
fisik dan asupan karbohidrat. Ada dua jenis metabolisme yaitu bersifat
aerobik dan anaerobik. Otot memakai glukosa dan asam lemak
sebagai sumber kalori. Pada saat istirahat otot memakai lemak sebagai
sumber energi (80%) dan sisanya dari karbohidrat. Hati biasanya
memakai lemak sebagai sumber kalori utama tetapi hanya sedikit
menggunakan glukosa; sedangkan otak hanya membakar glukosa dan
tidak memanfaatkan asam lemak sebagai sumber kalori. Selama

59
kegiatan fisik yang intensif, glukosa merupakan sumber kalori yang
lebih disukai. Asam lemak adalah sumber energi utama pada saat
istirahat maupun saat kegiatan fisik yang lama. Kadar glukosa dalam
darah merefleksikan keseimbangan antara asupan karbohidrat yang
diserap sebagai glukosa di dalam pencernaan, pemakaian oleh otot,
dan pembentukan glukosa di dalam tubuh.
Dalam pencernaan, karbohidrat dalam makanan sehari-hari
berupa pati yang mengandung dua jenis polisakarida yaitu amilosa,
amilopektin dipecah menjadi glukosa. Setelah glukosa diserap masuk
ke dalam aliran darah disebut sebagai gula darah. Gula darah
meningkat sesudah makan kemudian menurun dan dipertahankan pada
jumlah tertentu untuk digunakan sebagai sumber kalori. Gula normal
puasa berkisar antara 70 mg sampai 100 mg/100 ml dalam darah yang
dipertahankan beberapa jam sesudah makan. Jika gula puasa berada
diatas 125 dan apalagi sampai 170 mg/100 ml disebut hiperglisemia,
glukosa akan masuk ke urin dan dibuang sehingga dikenal dengan
diabetes mellitus atau kencing manis (diabetes = banyak kencing)
(mellitus = manis). Gula darah yang rendah dibawah 50 mg/100 ml
(hipoglisemia), akan menyebabkan gelisah (nervous), mudah
tersinggung dan sakit kepala karena otak kekurangan glukosa sebagai
sumber energi. Hiperglisemia yang kronis menyebabkan berbagai
penyakit komplikasi yang serius yakni panyakit jantung koroner,
stroke, gagal ginjal, gangguan syaraf, kebuataan dll. Mekanisme
pengaturan kadar glukosa darah ini dikendalikan oleh hormon insulin
dan glukagon yang diproduksi oleh pankreas.

Pengaturan Kadar Gula Darah


Sumber kalori utama di dalam tubuh adalah glukosa. Untuk
memenuhi kebutuhan glukosa semua organ setiap saat terutama otak,
bahan sumber kalori disimpan sebagai cadangan. Karbohidrat
disimpan sebagai glikogen dan asam lemak sebagai lemak. Jumah
glikogen tersedia dalam hati 75 gram dan dalam otot 400 gram.
Glikogen di dalam hati cukup untuk persediaan selama 16 jam. Asam
amino biasanya berperan sebagai bahan untuk membentuk protein
tubuh, tetapi saat puasa yang lama dapat digunakan menjadi sumber
kalori setelah diubah menjadi glukosa melalui proses
glukoneogenesis.
Hati dan pankreas adalah dua organ penting yang berfungsi

60
mengatur kadar gula di dalam darah dengan bantuan beberapa hormon
terutama insulin, glukagon dan adrenalin. Hati merupakan organ
penting untuk mengendalikan kadar gula dalam aliran darah dengan
memantau gula yang diserap dari saluran cerna dan mengendalikan
jumlah gula yang memasuki aliran darah sesudah makan. Pankreas
merupakan organ eksokrin dan sekaligus sebagai endokrin. Sel-sel
eksokrin menyusun 80% dari volume pankreas yang berfungsi
menghasilkan sejumlah enzim-enzim pencerna. Se-sel endokrin terdiri
dari hanya 2% dari seluruh volume pankreas. Sel-sel endokrin terdidri
dari sel-sel- α berfungsi membentuk dan mensekresikan hormon
glukagon dan sel-sel-β memproduksi dan mensekresikan insulin.
Peranan insulin dan glukagon pada pengaturan kadar glukosa di dalam
darah dapat di lihat pada gambar di bawah ini.
Glukosa
ditransportasikan
ke dalam sel Pankreas
Glukosa
melepaskan
darah tinggi
Perubahan insulin
glukosa menjadi
glikogen 1

99 mg/dl

Rentang
Normal
GLUKOSA DARAH 70 mg/dl

Pemecahan
glikogen menjadi
Pankreas
glukosa Glukosa
melepaskan
darah
glukagon
Peningkatan rendah
sintesis glukosa

Gambar 9. Regulasi Kadar Glukosa dalam Darah

Pada saat mulai makan, glukosa meningkat dalam darah,


merangsang sekresi insulin tetapi menghambat sekresi glukagon dari
pankreas. Zat gizi lain seperti asam amino dan asam lemak,
polipeptida juga merangsang sekresi insulin tetapi tidak sekuat

61
glukosa. Insulin berfungsi untuk; (a) mengubah sebagian glukosa
(gula) menjadi glikogen (glikogenesis) sebagai cadangan karbohidrat
dalam hati dan otot; (b) memasukkan glukosa ke dalam sel-sel
jaringan, sel adiposa, dan sel-sel lainnya untuk selanjutnya mengalami
glikolisis.
Dalam hati, insulin meningkatkan glikogenesis dan glikolisis.
Glukosa memasuki sel-sel hati (hepatocyte) dengan bantuan
pengangkut glukosa (glucose transporter 2 (GLUT2). Glukosa
difosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat (G6P), yang merangsang
sintesis glikogen dalam hati. Sebagian glukosa-6-fosfat akan
memasuki proses glikolisis (penguraian glukosa) di dalam sel-sel
menjadi asam piruvat pada keadaan anaerobik. Di dalam mitokondria
asam piruvat diubah menjadi acetyl Coenzyme A (Asetil-CoA), dan
kemudian memasuki Siklus Krebs yang akan menghasilkan NADH
dan FADH2 yang selanjutnya melalui transport elektron dan oksidasi
fosforilasi membentuk ATP sebagai cadangan energi. Peningkatan
insulin dan menurunnya glukagon merangsang piruvat dehidrogenase
yang akan mengubah asam piruvat menjadi acetyl Coenzyme A
(Asetil-CoA), yang dibutuhkan untuk sintesa asam lemak rantai
panjang. Pada saat pasokan glukosa yang banyak di hati, jika asupan
karbohidrat berlebihan, sekresi insulin tidak cukup, dan atau insulin
resisten, akan terjadi sintesa asam lemak, lemak (trigliserida),
lipoprotein berat jenis sangat rendah (very low density
lipoprotein;VLDL), dan kolesterol penyebab penyimpangan kadar
lipida (dislipidemia). Melalui kedua mekanisme ini insulin akan
menurunkan gula dalam darah, dan kembali ke kondisi gula puasa.
Disamping itu insulin menghambat glukoneogenesis di dalam hati.
Beberapa jam sesudah makan kadar glukosa menurun dibawah
kadar normal dan merangsang sekresi glukagon. Glukagon
meningkatkan glukosa darah melalui glikogenolisis (kebalikan dari
glikogenesis) dan glukoneogenesis. Glukoneogenesis mengubah asam
laktat, pyruvat, gliserol, malat, asam oksaloasetat, dan senyawa
sejenisnya menjadi glukosa. Glukoneogenesis terutama terjadi di hati
untuk mempertahankan kadar glukosa selama puasa. Juga dapat
terjadi di ginjal tetapi sedikit. Kerangka karbon berasal dari laktat,
gliserol, atau asam amino. Asam amino dari otot dikirim ke hati dan
diubah menjadi glukosa. Sehingga tidak mengherankan jika protein
otot dipecah menjadi asam amino selama olahraga untuk

62
mempertahankan kadar glukosa darah. Lemak berperan baik sebagai
sumber kebutuhan energi setelah diubah menjadi asam lemak dan
gliserol, dan gliserol menjadi bahan dasar untuk proses
glukoneogenesis. Dengan cara demikian hormon glukagon menaikkan
kadar glukosa ke kondisi normal. Sekresi glukagon juga dirangsang
oleh hiperinsulinemia, katekolamin dan olahraga.
Selama puasa, hati mengendalikan metabolisme karbohidrat
dengan mengubah cadangan glikogen menjadi glukosa. Hal ini sangat
penting untuk menghasilkan glukosa sebanyak 180 g/hari pada saat
puasa agar sususan syaraf pusat (SSP) dapat berfungsi dengan baik.
Jika glukosa tidak cukup maka SSP akan menggunakan keton bodies
sebagai sumber kalori. Sebaliknya, dengan insulin yang rendah,
penguraian glikogen (glikogenolisis) terus berlansung walaupun
dalam keadaan hiperglisemia.
Dalam keadaan darurat adrenalin dan nor-adrenalin dikeluarkan
oleh kelenjar adrenal dan ujung syaraf. Hormon ini memicu
glikogenolisis di dalam hati menjadi glukosa dan memasuki aliran
darah. Adrenalin dan glukagon dengan cepat memicu glikogenolisis di
hati sebagai respon terhadap keadaan hipoglisemik untuk
menyediakan glukosa ke dalam aliran darah. Pada saat glukosa normal
pun adrenalin meningkatkan glukosa pada saat seseorang untuk siap
siaga/keadaan darurat/mempertahankan diri dari suatu ancaman tiba-
tiba, misalnya kenderaan sedang akan bertabrakan. Otot tidak
memiliki reseptor glukagon, maka glikogenolisis terjadi oleh
adrenalin. Disamping fungsi insulin untuk mengatur asupan glukosa
oleh sel, insulin juga menimbun protein dalam otot dan lemak dalam
jaringan adiposa. Melalui interaksi dengan leptin juga mengatur selera
makan. Keseimbangan peran insulin dan hormon lainnya yang
demikian akan mengendalikan kadar gula darah yang normal.
Gangguan pada produksi, sekresi dan fungsi insulin akan
menyebabkan hiperglisemia dan penyakit diabetes mellitus.

Diabetes Mellitus
Diabetes adalah salah satu masalah utama kesehatan dunia.
Insiden diabetes meningkat cepat dari hampir tidak ada satu abad yang
lalu sampai menjadi penyakit utama pada saat ini dan merupakan
penyebab kematian terbesar pada urutan ke-6 di Amerika. Organisasi
kesehatan dunia (WHO) meramalkan bahwa penderita diabetes akan

63
mencapai 5% dari penduduk dunia pada tahun 2025 yakni sekitar 300
juta orang. Di Indonesia penderita diabetes sekitar 8,4 juta pada tahun
2004 dan diproyeksikan meningkat menjadi 21,3 juta pada tahun
2030. Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar di dunia. India berada
pada urutan pertama (31,7 juta), diikuti oleh Cina (20,8 juta orang)
dan urutan ke-3 adalah Amerika (17,7 juta). Diabetes bukan saja dapat
menyebabkan kematian, tetapi juga dapat menimbulkan komplikasi
seperti penyakit ginjal (nephropathy), penyakit jantung koroner (PJK),
tekanan darah tinggi (hipertensi), stroke, kerusakan saraf
(neuropathy), kehilangan pendengaran, katarak, kebutaan
(retinopathy), dan bahkan dapat berujung pada amputasi. Diabetes
sulit disembuhkan jika sudah kena, oleh karena itu pencegahan sangat
penting dilakukan.
Diabetes mellitus adalah suatu gangguan metabolisme
(metabolic syndrome) yang ditandai dengan hiperglisemia yang kronis
karena sekresi insulin yang kurang atau sangat sedikit dan penurunan
sensitivitas insulin pada jaringan. Beberapa tanda atau gejala diabetes
dialami oleh sebagian orang, atau tidak sama sekali sampai terjadi
masalah yang serius. Gejala awal diabetes meliputi rasa lelah dan
lemah, sering kencing, rasa haus, makin kurus atau gemuk,
penglihatan kabur, sering infeksi dan penyembuhan luka yang lambat.
Diabetes dapat dideteksi dengan meningkatnya kadar gula darah
dalam plasma dan urin. Apabila kadar gula darah puasa 126/100 ml,
atau lebih paling tidak dalam waktu yang berbeda; atau jika kadar gula
darah sembarangan/sesaat mencapai 200 mg/100 ml, menandakan
seseorang sudah menderita penyakit diabetes. Diagnosa yang sensitif
diabetes dilakukan melalui uji toleransi glukosa oral (oral glucose
tolerance test; OGTT) yaitu kemampuan tubuh untuk mengendalikan
peningkatan gula darah. Pasien diberikan larutan yang mengandung
75 gram glukosa, sampel darah diambil sebelum dan sesudah
pemberian glukosa. Kadar glukosa darah diukur selama 2 jam. Jika
kadar gula masih 200 mg/100 ml atau lebih, berarti diabetes
dipastikan positif. Jika kadar glukosa berkisar 140-199 mg/100 ml,
pasien mengalami gangguan toleransi gula (impaired glucose
tolerance; IGT). Ada sejumlah orang dengan kadar gula berada di atas
normal tetapi belum mencapai kriteria diabetes. Kelompok ini disebut
sebagai individu yang mengalami gangguan gula puasa (impaired
fasting glucose; IFG) dengan kadar gula darah (fasting plasma

64
glucose; FPG) antara 100 mg/100 ml sampai 125 mg/100 ml. Kondisi
ini disebut pre-diabetes (pre-diabetic) dan berisiko berkembang
menjadi diabetes.
Ada tiga jenis diabetes yaitu tipe 1 (biasanya disebut diabetes
yang tergantung pada insulin), dan tipe 2 tidak tergantung pada insulin
(non-insulin dependent atau adult–onset). Diabetes yang ketiga adalah
diabetes gestational yang terjadi pada wanita hamil. Diabetes tipe
yang ketiga ini diatasi dengan insulin dan diet, biasanya akan hilang
sesudah melahirkan. Akan tetapi, wanita yang mengalami diabetes
tipe ini rentan menderita diabetes di kemudian hari.

Diabetes Mellitus tipe 1


Diabetes tipe 1 adalah penyakit autoimmun yang dipengaruhi
oleh faktor lingkungan. Autoimmunitas sel islet kelenjar pankreas
dapat terjadi sejak awal kehidupan yang dapat dipicu oleh faktor diet.
Penyakit ini erat kaitannya dengan faktor keturunan, yang dipengaruhi
oleh faktor lingkungan tertentu dapat memicu invasi pankreas oleh sel
mononukleus dan produksi antibodi oleh sel islet pada pankreas yang
menghancurkan sel-sel β penghasil insulin. Pemicu juga berkenaan
dengan terjadinya interaksi antara gen dan zat gizi. Pemicu yang lain
adalah infeksi. Secara khusus, pemberian air susu ibu (ASI) yang
singkat atau pemberian susu formula yang biasanya terbuat dari susu
sapi pada bayi kemungkinan dapat meningkatkan resiko diabetes
dengan memicu respon immunitas yang akan menghancurkan sel-sel β
pankres. Pemberian awal gluten (protein gandum) pada bayi diduga
memicu proses autoimmun yang kemudian dapat merusak sel-β
pankreas dan meningkatkan resiko diabetes. Ada beberapa bahan
kimia dan obat yang dapat mengganggu sekresi insulin. Vocar, sejenis
racun tikus dan pemberian intravena pentamidin, walaupun jarang
terjadi, dapat merusak sel-sel-β secara permanen.
Tipe-1 berawal dari penurunan produksi insulin oleh pankreas,
diikuti oleh peningkatan kadar gula darah, terutama sesudah makan.
Pada umumnya kasus diabetes tipe 1 dijumpai pada orang yang
mengalami gangguan pada sistim kekebalan tubuh karena terjadi
kerusakan sel-sel-β pada pankreas sehingga tidak mampu
menghasilkan insulin yang cukup. Insulin yang rendah menyebabkan
kadar gula di dalam darah meningkat (hiperglisemia) terutama
sesudah makan, dan kalau melewati kemampuan ginjal maka gula

65
akan dikeluarkan dari urin (kencing manis). Pada tipe 1, hanya sedikit
insulin yang tersedia dalam plasma, disertai dengan peningkatan kadar
glukagon. Insulin yang rendah menyebabkan ketidakmampuan
glukosa memasuki jaringan adipose, dan otot. Juga menyebabkan
glukagon tinggi sehingga menghambat glikolisis dan lipogenesis,
tetapi justru merangsang glikogenolisis (pemecahan glikogen menjadi
glukosa), lipolysis, ketogenesis, dan glukoneogenesis. Peningkatan
glukoneogenesis bersamaan dengan gangguan transport glukosa akan
menjurus ke hiperglisemia puasa, menaikkan ketosis dan berakhir
dengan asidosis. Diabetes tipe 1 adalah diabetes yang paling dramatis
dari semua diabetes. Dapat terjadi pada setiap saat sesudah lahir,
terutama pada umur 4 tahun. Tipe 1 sering muncul sejak umur 8-12
tahun.
Ketidakseimbangan hormon yang terjadi pada tipe 1 tanpa
pengobatan akan memobilisasi lemak tubuh diangkut ke sel-sel hati.
Kemudian akan terjadi ketosis karena lemak diubah menjadi keton
bodies. Jika keton bodies meningkat dalam darah, akhirnya akan
memaksa keton bodies ke urin kemudian menarik ion natrium dan
kalium ke dalam urin. Gejala yang akut dari tipe 1 yang paling serius
adalah ketoasidosis. Meningkatnya keton dalam darah (ketosis) dan
menurunnya pH bersamaan dengan hiperglisemia menyebabkan
kehilangan air yang berlebihan. Selanjutnya, reaksi berantai terjadi
akhirnya menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan ion, koma, dan
bahkan kematian.
Syaraf juga dapat mengalami kerusakan yang berujung pada
berbagai gangguan pada stimulasi syaraf. Jika ini terjadi pada syaraf
saluran pencernaan, maka konstipasi dan diarrhe dapat terjadi. Karena
gangguan syaraf terjadi pada tangan, kaki banyak penderita diabetes
akan mengalami mati rasa perasaan sakit pada sekitar luka dan infeksi.
Karena tidak merasa sakit, sering mengabaikannya tanpa diobati.
Keadaan demikian dengan tanpa pengobatan yang memadai disertai
dengan kondisi yang baik untuk pertumbuhan bakteri (ketersediaan
glukosa) pada daerah luka dari darah, menyebabkan kerusakan
jaringan yang buruk sampai kadang-kadang memerlukan amputasi
kaki.
Tipe 1 diobati dengan suntikan insulin dua sampai enam kali
sehari. Dianjurkan supaya sering makan supaya suntikan insulin tidak
menyebabkan kadar gula terlalu rendah, karena insulin tetap aktif pada

66
kadar glukosa normal. Pengobatannya perlu disertai dengan insulin
dan cairan serta natrium, kalium dan klorida. Tetapi harus dibawah
pengawasan dokter karena tingkat aktivitas fisik mempengaruhi
penurunan gula harus diperhatikan. Pengobatan diabetes bisa juga
berisiko menjadi rendah gula (hipoglisemia). Olahraga yang teratur
juga harus dilakukan, karena olahraga dapat meningkatkan pemakaian
glukosa oleh sel tanpa bantuan insulin. Sehingga penanganan yang
serius dan didampingi oleh dokter perlu dilaksanakan supaya resiko
komplikasi dapat dikurangi.

Diabetes Mellitus tipe 2


Diabetes tipe 2 disebabkan oleh berbagai faktor yakni mulai
dari kombinasi berbagai mutasi genetik dan lingkungan. Pada diabetes
tipe 2, biasanya terjadi di atas umur 40 tahun dan juga ada kaitannya
dengan faktor keturunan. Diawali dengan kadar insulin yang
meningkat. Hiperglisemia terjadi karena insulin tidak berfungsi atau
resisten. Dalam waktu yang lama sel-beta pankreas gagal yang diikuti
dengan penurunan insulin. Pada tipe 2, bisa terjadi hiperglisemia yang
cukup menimbulkan perobahan fungsi jaringan dan patologis dan
berlangsung lama sebelum menunjukkan gejala-gejala klinis yang
dapat dideteksi. Beberapa obat dan hormon dapat mengganggu
aktivitas insulin seperti asam nikotinat dan glukokortikoid. Faktor
resiko terjadinya diabetes tipe 2 meliputi penuaan, kelebihan berat
badan/obesitas, hipertensi, HDL yang rendah (< 40 mg/100 ml),
peningkatan lemak (trigliserida darah) diatas 250 mg/100 ml, diabetes
gestanional atau melahirkan bayi dengan berat diatas 4 kg dan gaya
hidup yang kurang pergerakan. Kasus diabetes tipe 2 mencapai 90 %
dari semua penyakit diabetes.
Mutasi genetik dapat terjadi sampai pada tingkat gen reseptor
insulin. Mekanisme lain terjadinya tipe 2 adalah gangguan pada
sekresi insulin; yaitu perobahan dari kepekaan pankreas terhadap
glukosa yang mengubah respon terhadap keadaan hiperglisemia.
Respon yang tidak cukup terhadap kadar glukosa dapat memicu
rangsangan yang tidak memadai untuk sekresi glukagon dan
peningkatan produksi glukosa dalam hati yang akhirnya meningkatkan
kadar glukosa darah. Tambahan lagi, pada pasien diabetes tipe 2
hiperglisemia terjadi akibat pembentukan glukosa dari non-
karbohidrat (glukoneogenesis) oleh glukagon, dan sedikit

67
glikogenolisis.
Jadi diabetes tipe 2 tidak disebabkan oleh kerusakan sel-sel beta
pada pankreas tetapi terutama karena kepekaan reseptor insulin
menurun (resistensi insulin) pada sel-sel permukaan dari jaringan
tubuh tertentu terutama jaringan otot sehingga glukosa tidak dapat
masuk ke dalam sel maka glukosa tetap berada dalam darah. Maka
biasanya tipe 2 tidak diobati dengan insulin. Resistensi insulin (Insulin
resistence syndrome; IRS) diikuti dengan adanya hipertensi,
dyslipidemia (rendah HDL dan hipertrigliseridemia), hiperglisemia
dan obesitas.
Penurunan aktivitas insulin bisa disebabkan berbagai faktor
yang meliputi menurunnya produksi insulin, dan reseptor pengikatan
insulin. Kondisi ini dapat terjadi sendirian atau kombinasi dan juga
ditemukan berkaitan dengan keadaan inflammasi. Istilah resisten
insulin campuran (mixed insulin resistance) adalah suatu keadaan
dimana terjadi inhibisi glukoneogenesis (hiperglisemia) tetapi bukan
oksidasi asam lemak (hepatic accumulation). Oleh karena itu,
resistensi insulin, dengan atau tanpa hiperglisemia, adalah suatu faktor
resiko untuk penyakit jantung koroner (coronary artery disease; CAD)
karena peningkatan fibrinogen, disfungsi endothelium dan
meningkatnya proinflammatory C-reactive protein (CRP). Kondisi
yang demikian mendorong kearah imflamasi dan aterogenik.
Resistensi insulin juga berkaitan dengan disfungsi endothelial dan
penyakit vaskular.
Banyak kasus diabetes tipe 2 disebabkan obesitas, tetapi
hiperglisemia tidak berkaitan langsung dengan obesitas. Sebab
diabetes tipe 2 juga dapat terjadi pada orang dengan berat badan
normal. Obesitas dikaitkan dengan membesarnya sel-sel lemak
sehingga meningkatkan resistensi insulin yang akan menambah resiko
diabetes tipe 2. Akhir-akhir ini terjadi peningkatan kasus diabetes tipe
2 pada usia muda/anak-anak, terutama karena obesitas disertai dengan
aktivitas fisik yang menurun. Diabetes tipe 2 yang disebabkan oleh
obesitas biasanya akan sembuh jika kelebihan berat badan dikurangi,
sel-sel adipose semakin kecil maka insulin makin sensitif dan
menproduksi lebih banyak hormon yang menguntungkan yakni
adiponectin. Hormon ini membantu regulasi kadar gula darah dengan
mengaktifkan insulin. Olahraga yang teratur dapat meningkatkan
asupan glukosa oleh otot tanpa bantuan insulin dan mengurangi resiko

68
diabetes. Waktu makan yang teratur diperlukan dengan
memperhatikan kalori merupakan salah satu terapi yang effektif
mengendalikan tipe 2. Kacang-kacangan dan asupan alkohol serta
kopi dalam jumlah sedang juga dianjurkan untuk mengurangi resiko
perkembangan diabetes. Kadang-kadang diperlukan pemberian insulin
pada tipe 2.
Hiperglisemia meningkatkan tekanan osmosis plasma (plasma
osmolarity) yang memicu sekresi arginin-vasopressin (AVP) di dalam
SSP. Konsentrasi AVP yang tinggi kronis menyebabkan kegagalan
ginjal pada diabetes. Hiperglisemia menyebabkan effek ganda
terhadap semua jaringan di dalam tubuh karena glukosa dalam aliran
darah menaikkan glukosuria yang berakhir pada diuresis osmotik
(polyuria) dengan kehilangan air dan elektrolit. Dehidrasi yang terjadi
menyebabkan gangguan fungsi ginjal, penglihatan kabur,
hipernatremia, dan disfungsi nalar. Jika pengendalian glukosa tidak
dilakukan bersamaan dengan gangguan fungsi ginjal, infraksi
myocardial atau infeksi, akan terjadi keadaan metabolik yang disebut
hyperosmolar hyperglycemic non-ketosis (HHNK) dan lebih
berbahaya daripada ketoasidosis yang sering terjadi pada tipe 1.
Diabetes tipe 2 juga meningkatkan resiko malignansi kanker,
khususnya kolon, pankreas, payu dara.

Diabetes Gestational
Diabetes gestational (Gestational Diabetes Mellitus; GDM)
adalah keadaan intoleransi glukosa pada saat awal kehamilan. Faktor-
faktor yang dapat meningkatkan resiko GDM adalah sejarah diabetes
keluarga, obesitas sebelum hamil, umur diatas 25 tahun, metabolisme
glukosa abnormal. Kehamilan adalah suatu keadaan diabetogenik
yang ditandai dengan hiperinsulinemia dan resistensi insulin. Keadaan
ini terjadi karena upaya dari tubuh untuk memenuhi kebutuhan zat gizi
bagi janin yang sedang bertumbuh. Pada awal kehamilan terjadi
kenaikan sekresi insulin disertai oleh peningkatan penggunaan
periferal dan akhirnya menurunkan gula darah. Selanjutnya selama
kehamilan hormon kortisol dan estrogen meningkat yang
menyebabkan resistensi insulin. Sampai tingkat tertentu terjadi
resistensi insulin pada semua kehamilan karena peningkatan asupan
kalori, kurang olahraga, peningkatan jaringan adiposa. Diabetes
gestational biasanya muncul pada semester ketiga kehamilan, tetapi

69
bisa saja muncul kapan saja selama kehamilan. Pengobatan dengan
insulin merupakan pilihan terbaik untuk GDM, jika diet dan olahraga
gagal. Obat penurun gula tidak dianjurkan karena mungkin
mempengaruhi janin.

Komplikasi diabetes
Diabetes adalah penyakit serius yang dapat menyebabkan
komplikasi kesehatan yang berbahaya dan kematian dini pada
penderitanya. Satu dari setiap 20 kematian adalah karena diabetes dan
komplikasinya. Tetapi data ini melebihi dari yang sebenarnya karena
kematian akibat diabetes bias karena penyakit jantung koroner (PJK)
dan komplikasi kerusakan ginjal sehingga penyebabnya dianggap
bukan karena diabetes.
Inflammasi sistematik dan stress oksidatif sangat berperan
penting dalam pathogenesis diabetes mellitus dan metabolic syndrome
serta komplikasi vaskular. Oksidatif stress sebagai akibat dari
meningkatnya produksi ROS terlibat di dalam disfungsi sel-β-
pankreas dan resistensi insulin merupakan tanda dari tipe 2.
Hiperglisemia menyebabkan autooksidasi glukosa, glikasi protein, dan
aktivasi metabolism poliol. Semua perobahan ini akan meningkatkan
ROS menyebabkan terjadinya oksidasi lipida, DNA, dan protein di
dalam berbagai jaringan. Dan oksidatif stress ini memicu
perkembangan komplikasi seperti katarak, nepropati dan neuropati.
Komplikasi pada diabetes tipe 1 juga terjadi pada tipe 2, kecuali
ketosis tidak ada pada tipe 2. Diabetes tipe 2 adalah suatu gangguan
metabolisme yang kompleks karena resistensi insulin dan gangguan
sel-sel β, kadar gula dan metabolisme lipida abnormal, peningkatan
tekanan oksidatif stress. Semua gangguan metabolisme ini akan
menimbulkan kondisi patogenik yang berkepanjangan dan
menyebabkan komplikasi mikro-vaskular yaitu neuropati, retinopati,
nepropati, dan dan makro-vaskular yakni kardiovaskular, hipertensi,
dislipidemia, infarksi miokardial dan stroke yang akhirnya
mengakibatkan kesehatan memburuk dan kematian. Sebanyak 50 %
penderita diabetes mengalami komplikasi neuropati akibat kerusakan
syaraf dan saluran atau pembuluh mikro yang mensuplai jaringan
syaraf. Gejalanya adalah perasaan geli, sakit, mati rasa, lelah pada
tangan dan kaki. Disertai dengan aliran darah yang sedikit, neuropati

70
pada kaki akan menimbulkan luka di kaki dan akhirnya harus
diamputasi.
Sepertiga dari pasien diabetes dapat menderita gagal ginjal
(nefropati). Pasien yang menderita tipe 2 akan berisiko 2-4 kali
mengalami penyakit jantung koroner dibandingkan dengan tanpa
diabetes. Penyebab utama kematian pada penderita diabetes adalah
penyakit jantung koroner (PJK), akibat penumpukan lemak pada
dinding pembuluh darah, maka biasanya dianjurkan makan aspirin
setiap hari. Obat-obat untuk menurunkan kolesterol diperlukan pada
penderita diabetes. Komplikasi lain adalah penyakit ginjal, kebutaan.
Tipe 2 biasanya dikendalikan dengan diet dan olahraga, hanya pada
keadaan tertentu atau kondisi parah digunakan suntikan insulin.
Hiperglisemia yang kronis mengubah metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein menjadi penyebab penyakit komplikasi. Sifat
hidrofilik dari glukosa menyebabkan perobahan osmolaritas serum.
Peningkatan osmolaritas ini merangsang sekresi vasopressin, disfungsi
vaskular secara umum, glikosilasi protein yang permanen
(irreversibel) menyebabkan disfungsi dari protein, lipoprotein dan
DNA. Glukosa dalam darah berada dalam bentuk setimbang antara
bentuk alifatis (rantai terbuka) dan siklis. Bentuk rantai terbuka
(alifatis) memiliki gugus aldehide yang mudah bereaksi dengan gugus
amino seperti yang terdapat pada protein yang membentuk kondensasi
yang disebut basa schiff. Jika hal ini terjadi pada LDL pada penderita
diabetes akan lebih cepat ditangkap oleh makrofag dalam dinding
arteri sehingga diduga berperan menjadi pemicu terjadinya
aterosklerosis.
Hiperglisemik akan merangsang reaksi glikosilasi protein yakni
reaksi antara gugus karbonil dalam gugus aldehide (-CH=O) pada
glukosa dengan gugus amino (-NH2) dari protein membentuk basa
Schiff melalui proses Amadori. Produk Amadori selanjutnya
mengalami autooksidasi lebih lanjut menjadi advanced glycosylation
endproduct (AGE). Reaksi silang pada protein (protein crosslinking)
menjurus ke akumulasi AGE dalam matriks ekstraselluler yang
menyebabkan penebalan membran kapiler. Perubahan struktur ini
mempengaruhi fungsi vaskular, muatan listrik, dan sifat filtrasi dari
membran kapiler. AGE juga akan memakai NO yang menjurus ke
gangguan vasodilatasi. Pada pasien diabetes, eritrosit dipengaruhi oleh
AGE mengandung hemoglobin terglikosilasi. Eritrosit ini melekat

71
pada reseptor AGE endotelium dan meningkatkan permeabilitas
vaskular dan disfungsi endotelium. Dalam ginjal, AGE menjerat
protein plasma dan menyebabkan penebalan membrane dan
mengurangi filtrasi. AGE menurunkan fungsi syaraf dan aliran darah
dalam syaraf perifer. AGE juga dapat berasal dari rokok dan makanan
berprotein yang dibakar seperti ikan bakar, ayam panggang, roti
panggang dll. Secara keseluruhan, kandungan AGE total dalam tubuh
mungkin akan menyebabkan keadaan oksidatif stress, inflammasi, dan
komplikasi diabetes lainnya.

Pencegahan Diabetes
Diantara banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan dan
insiden diabetes tipe 2, diet merupakan faktor pengendali utama.
Pencegahan dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu pencegahan primer,
sekunder dan tertier. Pada diabetes tipe 2 faktor resiko utama adalah
obesitas sehingga pencegahan primer ialah dengan mencegah
pertambahan berat badan termasuk pencegahan primer. Pencegahan
sekunder adalah pengurangan berat badan, gaya hidup sehat dan
deteksi dini dari diabetes. Pencegahan tertier adalah mencegah
terjadinya komplikasi pada penderita diabetes yang meliputi
pengobatan disertai dengan pemberian diet untuk mencegah
komplikasi. Ada beberapa zat gizi yang perlu diperhatikan untuk
mengurangi resiko diabetes tipe 1 pada orang yang rentan karena
keturunan yaitu menghindari susu sapi dan makanan serealia yang
mengandung gluten (roti dari gandum) untuk bayi. Kekurangan
vitamin D dan E pada bayi dapat meningkatkan resiko, sedangkan
asupan nitrit dan nitrat akan menaikkan resiko diabetes pada bayi.
Faktor resiko yang paling penting dalam perkembangan tipe 2
adalah obesitas terutama tumpukan lemak pada bagian perut. Sekitar
80% dari tipe 2 disertai dengan obesitas atau kelebihan berat badan.
Resiko terjadinya diabetes 3-7 kali lipat pada orang obesitas
dibandingkan denga berat badan normal. Aktivitas fisik merupakan
faktor yang berperan untuk mengurangi resiko terjadinya tipe 2,
karena mengurangi berat badan akan memperbaiki sensitivitas otot
terhadap insulin.
Pengendalian asupan makanan yang mengandung kalori harus
dibatasi untuk mempertahankan berat badan yang normal untuk
mencegah tipe 2. Komposisi diet utama khususnya jenis karbohidrat

72
dan lemak berkaitan dengan sensitivitas insulin. Asupan karbohidrat
yang berlebih (diatas 60% kalori yang dibutuhkan) akan mengarah ke
overstimulasi kronis terhadap sel-sel-β yang dapat menyebabkan
hipertropi (pembengkakan), kerusakan sel-β dan akhirnya berkembang
diabetes tipe 2. Akan tetapi asupan yang tinggi karbohidrat berupa
serat pangan mengurangi resiko tipe 2. Asupan sayur dan buah,
kacang dan produknya juga menurunkan resiko, tetapi daging merah
meningkatkan resiko. Kopi dan alkohol dalam jumlah yang sedang
dapat mengurangi resiko tipe 2.
Tujuan yang umum dari aspek nutrisi dalam penanganan
diabetes yaitu untuk; a) mencapai dan mempertahankan kondisi
metabolik yang optimal, b) mengubah asupan gizi dan gaya hidup
untuk mencegah dan mengobati obesitas, dislipidemia, penyakit
kardiovaskular, hipertensi dan nefropaty; c) meningkatkan kondisi
kesehatan melalui pola makan yang baik dan olahraga. Latihan fisik
merupakan gaya hidup yang penting dalam pencegahan diabetes pada
masyarakat secara umum. Dalam penanganan diabetes, ada saling
mempengaruhi yang kompleks antara olahraga, pola makan, intervensi
farmakologis dan genomik.
Diet yang effektif jangka pendek pada tipe 2 adalah diet sangat
rendah kalori (very low caloric diets; VLCD), yakni 800 kalori per
hari. VLCD memperbaiki pengendalian gula darah. Diet rendah
kalori yang disertai dengan olahraga selama 150 menit per minggu
akan mengurangi berat badan sebanyak 5-7 % dan bebas dari diabetes
58%. Aktifitas fisik yang lama diperlukan untuk mengurangi dan
mempertahankan berat badan sehingga akan memperbaiki sensitifitas
insulin dan menurunkan tekanan darah.
Pembatasan kalori sekitar 25 % dibawah kebutuhan normal
jangka panjang secara drastis akan mengurangi resiko perkembangan
diabetes dan aterosklerosis. Jumlah asupan karbohidrat lebih penting
daripada jenis karbohidrat di dalam diet. Serat pangan baik yang larut
dalam air dan yang tak larut di dalam air sangat dianjurkan sebanyak
14 gram per 1000 kalori yang diasup. Asupan serat yang tinggi akan
memperbaiki pengendalian gula darah, menurunkan kolesterol serum,
LDL, dan juga dapat menurunkan kadar trigliserida darah. Serat
pangan juga akan menurunkan resiko PJK dan mencegah pertambahan
berat badan. Daging merah dibatasi, karena besi di dalamnya diduga
berkaitan dengan perkembangan diabetes tipe 2. Istirahat yang cukup

73
dan teratur juga dianjurkan.
Diet tinggi lemak akan menaikkan asupan kalori sehingga akan
menaikkan berat badan, resistensi insulin meningkat dan
memperburuk pengendalian gula darah. Disamping itu, karena pada
penderita diabetes resiko PJK meningkat, jenis lemak yang diasup
akan menentukan tingkat resiko. Lemak jenuh di dalam diet dapat
meningkatkan LDL dan kolesterol dalam darah. Lemak jenuh (berasal
dari daging dan susu) dan asupan asam lemak trans yang terdapat
dalam minyak nabati hasil hidrogenasi partial untuk menghasilkan
lemak margarin sebaiknya dibatasi dalam diet. Lemak jenuh tidak
boleh lebih dari 10% karena meningkatkan LDL. Asam lemak trans
tidak lebih dari 3% karena dapat menaikkan LDL dan menurunkan
HDL. Asam lemak tak jenuh tunggal (mono unsaturated fatty acids;
MUFA) dianjurkan untuk penderita diabetes. Asam lemak omega-3
menurunkan sifat aterogenik dari LDL kolesterol.
Secara epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang kaya akan
fitokemikal (nutaseutikal nabati), potensi antioksidan tinggi dari
polifenol berkorelasi dengan resiko diabetes yang rendah. Polifenol
adalah senyawa fitokemikal alamiah di dalam makanan nabati seperti
buah, sayur, teh, kopi, anggur dan coklat. Sebanyak 8000 polifenol
terdapat di dalam makanan nabati. Berdasarkan pemahaman tentang
patofisiologi resistensi insulin dan tipe 2 diabetes, telah dikembangkan
intervensi farmakologis dan non-farmakologis untuk memperbaiki dan
mengendalikan gula darah serta komplikasinya. Maka pemanfaatan
makanan fungsional dan nutraseutikal menjadi pendekatan yang
ditempuh untuk mencegah dan mengendalikan diabetes dan
komplikasinya.
Aktivitas fisik akan menaikkan sensitivitas insulin dan toleransi
glukosa. Pegambilan glukosa yang dimediasi oleh insulin terutama
terjadi dalam jarinan otot. Maka dengan memanfaatkan otot ini
melalui aktivitas fisik dapat menurunkan gula darah dan memperbaiki
toleransi glukosa terutama pada obesitas. Pengambilan glukosa
berbanding lurus dengan massa otot dan berbanding terbalik dengan
jaringan adiposa. Kontraksi otot juga akan merangsang transportasi
glukosa tanpa bantuan insulin. Peranan dan pengaruh aktivitas fisik
terhadap resik diabetes tidak berkaitan dengan atau terlepas dari
peranan diet namun masih perlu diteliti. [Novakofski, 2008].
Makanan Fungsional dan Nutraseutikal untuk Diabetes

74
1. Polifenol di Dalam Makanan
Di antara komponen bioakif dan fitokemikal yang telah
diketahui, polifenol sangat populer karena memiliki efek anti-
hiperglisemik, aman dan tak ada effek samping. Effek hipoglisemik
dari polifenol terutama adalah karena mengurangi absorbsi
karbohidrat, modulasi enzim yang terlibat dalam metabolisme
karbohidrat, memperbaiki fungsi sel-sel-β dan kerja insulin,
merangsang sekresi insulin, sifat antioksidan dan antiiflamasi dari
senyawa ini. Salah satu sifat yang utama dari polifenol khususnya
kelompok flavonoida, asam fenolat dan tannin pada metabolisme
karbohidrat adalah menginhibisi α-glukosidase dan α-amilase, yang
merupakan enzim kunci untuk pencernaan karbohidrat menjadi
glukosa. Beberapa polifenol seperti katekin dan epikatekin teh hijau,
asam klorogenat, ferulat, dan tannat, kuersetin dan naringenin,
berinteraksi dengan absorbsi glukosa dari usus melalui inhibisi Na-
dependent glucose transporters (SGLT1 dan SGLT2). Beberapa
polifenol memepengaruhi jalur kunci metabolisme karbohidrat dan
homeostasis di hati meliputi glikolisis, glikogenesis dan
glukoneogeneisis yang biasanya terganggu pada diabetes. Asam
ferulat, derivat asam hidroksisinnamat secara effektif menekan gula
darah dengan meningkatkan aktivitas glukokinase dan produksi
glikogen di dalam hati serta meningkatkan kadar insulin plasma pada
tikus percobaan. Pemberian hesperidin, dan neringin, dua
bioflavonoida jeruk pada hewan percobaan meningkatakn aktivitas
glikokinase dan kandungan glikogen dalam hati, menurunkan
glukoneogensis dengan menurunkan aktivitas glukosa-6-pospatase
dan pospoenolpiruvat karboksilase, sehingga memperbaiki
pengendalian gula darah.
Polifenol teh hijau, terutama katekin, dan epikatekin
menurunkan glukosa hati dan out put glukosa hati. Polifenol juga
merangsang pengikatan glukosa baik oleh jaringan yang sensitif dan
yang tak sensitif terhadap insulin sebanding dengan pengaruh obat
antidiabetes metformin dan tiazolodiendione. Jadi polifenol nabati
dapat berperan positif pada diabetes melalui perbaikan metabolisme
karbohidrat, glukosa homeostasis, sekresi insulin dan aktivitas insulin.

Polifenol bersifat protektif terhadap patogenesis kardiovaskular


akibat diabetes. Mekanimsenya ialah dengan regulasi metabolsime

75
lipida, mengurangi kerusakan oksidatif, menangkap radikal bebas,
perbaikan fungsi endotelial dan tegangan vaskular, meningkakan
produksi faktor vasofilator seperti NO dan inhibisi sintesa
vasokonstriktor seperti endotelin 1 dalam sel-sel endotelium.
Polifenol menurunkan faktor resiko PJK pada diabetes,
mengubah metabolisme lipida dan dislipidemia, memperbaiki fungsi
vaskular, mengurangi kerusakan oksidatif dan menurunkan tekanan
darah.
Disfungsi adiposit sangat berkaitan dengan perkembangan
resistensi insulin, gangguan sel-β dan diabetes tipe 2. Beberapa
polifenol seperti katekin menaikkan beta-oksidasi di dalam adiposit,
menurunkan enzin dan gen yang terlibat di dalam lipogenesis
termasuk lipoprateinlipase, kompleks fatty acid synthase, fatty acid
binding rotein. Sebagain polifenol meningkatkan jalur lipolisis dengan
induksi hormon sensitive lipase, lipase jaringan adiposa.
Flavonol potensial untuk memperbaiki gangguan kognitif dan
disfungsi kolinergik karena diabetes dan perubahan sekunder pada
pada sistim syaraf akibat hiperglisemia dan oksidatif stress pada
diabetes. Pemberian kuersetin pada pada hewan percobaan
memperbaiki fugsi mental dan memori memalui inhibisi astilkolin
esterase dan mengurangi kerusan oksidatif pada sistim syaraf.
Pada saatini penggunaan supplemen makanan, nutraseutikal dan
makanan fungsional makin populer di bidang pengobatan yang
dimotivasi oleh (1) keinginan mengobati sendiri dan menghindari
obat-obatan, (2) pemasaran supplemen makanan dan sejenisnya yang
sangat gencar di masyarakat, (3) mengejar keuntungan dan (4) sifat
permissif dan bahkan anjuran dari pemerintah untuk pemakaian
supplemen makanan dan makanan fungsional oleh masyarakat. Oleh
karena itu perlu diketahui oleh dokter sehingga dapat berbagi
informasi yang akurat dengan pasien diabetes yang menggunakannya.
Beberapa makanan fungsional untuk diabetes lihat Tabel 3.

Tabel 3. Beberapa Makanan Fungsional Untuk Diabetes


Jenis Makanan Fungsi dan khasiat
Oats (gandum) Menurunkan LDL dan resiko PJK
Kedelai Menurunkan resiko PJK
Tomat Mengandung likopen dan

76
Kunyit Menurunkan LDL, antioksidan
Bawang putih Antihipertensi, menurunkan kolesterol dan
resiko diabetes
Teh hijau Menurunkan PJK
Anggur Menurtnkan resiko diabetes dan PJK
Sayur pare Menurunkan gula darah setelah 15menit
Ikan Mengandung omega-3, menurunkan
mortalitas PJK
Daging sapi Mengandung CLA, antiobesitas

Sejumlah produk berupa bumbu masak dan sediaan dari


tumbuhan (herbal) memnjadi komponen fungsional di dalam
makanan. Produk ini berperan memperbaiki pengendalian kadar gula
darah, mempertahankan berat badan, menurunkan lipida darah,
mengurangi resiko dan mengobati komplikasi diabetes. Beberapa
herbal menunjukkan efek hipoglisemik seperti ginseng, buah pala,
bawang putih, teh hijau, teh olong (olong tea), bawang merah, kunyit,
jahe dll. Beberapa bumbu masak juga dapat mengurangi resiko
diabetes dan komplikasinya. Bawang merah dan bawang putih
termasuk makanan fungsional yang mempunyai effek hipoglisemik
karena kandungan sulfur organik. Diet vegetarian, dengan pangan
nabati, akan mengurangi resiko penyakit kardiovaskular yang
merupakan komplikasi pada diabetes, sangat bermanfaat dalam
penanganan penyakit diabetes. Bawang putih sebagai bumbu masak
juga dapat menurunkan tekanan darah. Mekanisme lain ialah melalui
sifat antioksidan yang dapat mengurangi pembentukan AGE dan efek
vaskular pada pasien diabetes. Effek ini dapat dicapai dengan dosis
400 mg kapsul bawang merah dan 4 gram bawang putih sehari. Effek
menurunkan gula darah (antidiabetes) adalah karena senyawa sulfur
organik seperti allisin dan turunannya yang terdapat dalam bawang
putih dapat melindungi inaktifasi insulin oleh sistein, glutathion dan
albumin dengan cara menghambat gugus–SH. Penggunaan bawang
putih, ginseng dan jahe tidak boleh digunakan secara bersamaan
dengan warfarin (antikoagulan) karena dapat memperpanjang
perdarahan. Jahe bersifat antidiabetik tetapi tidak pada orang normal.
Asupan coklat sebanyak 100 mg per hari dapat memperbaiki
sensitifitas insulin, menurunkan tekanan darah dan kadar LDL. Effek
ini berkaitan dengan kandungan flavonoida dalam coklat. Disamping

77
itu coklat kaya akan mineral Mg yang dapat mengendalikan kadar
gula darah dan sistim kardiovaskular. Akan tetapi coklat berpotensi
menyebabkan karies gigi, obesitas, oksaluria. Kopi dan teh
memperbaiki gula puasa pada pasien diabetes tipe 2 dan mengurangi
resiko terjadinya tipe 2.

2. Kulit Kayu manis


Kulit kayu manis (cinnamon) mengandung zat yang dapat
meningkatkan potensi insulin dan juga mungkin terlibat dalam
pencegahan kardiovaskular akibat komplikasi diabetes karena
resistensi insulin. Ekstrak air dari kayu manis menaikkan aktivitas
insulin sampai 20 kali lipat, lebih tinggi dari senyawa lain yang diuji
dengan pengenceran yang sesuai. Senyawa kayu manis yang larut di
dalam air juga merangsang reseptor autoposforilasi dari insulin.
Komponen yang terdapat di dalam kulit kayu manis adalah minyak
kayu manis (cinnamon oil) yang mengandung asam sinnamat,
sinnamaldehide, sinnamat alkohol. Sinnamaldehide merupakan
senyawa yang paling banyak dengan konsentrasi berkisar 6000 -
30.000 ppm. Komponen ini bersifat sebagai anestetik, antibakteri,
anti-inflammasi, antiulser, antivirus, inhibitor COX-2, hipotesis,
tranquilazer dll. Sinnamaldehide juga dapat menurunkan gula dan
lipida darah pada tikus yang diinduksi diabetes, menaikkan sirkulasi
insulin, menurunkan HbA1c, dan memperbaiki aktivitas enzim plasma
termasuk aspartate amino-transferase, lactate dehydrogenase, alanine
aminotransferase, dan alkaline dan asam phosphatase.
Asam sinnamat dan derifatnya menunjukkan berbagai efek
farmakologis seperti antioksidan, efek antihiperlisemik. Turunan asam
sinnamat juga bersifat menurunkan kolesterol dan trigliserida pada
hewan percobaan. Senyawa ini berperan seperti obat-obat glitazone
yang digunakan dalam pengobatan diabetes. Jadi komponen yang
terdapat di didalam kayu manis tidak hanya memperbaiki fungsi
insulin tetapi juga bersifat sebagai antioksidan dan mungkin juga
sebagai anti-inflammasi. Hal ini sangat penting karena fungsi insulin,
status antioksidan, dan respons inflammasi sangat berkaitan; dengan
menurunannya sensitivitas insulin akan disertai dengan penurunan
aktivitas antioksidan.
3. Serat Pangan
Fungsi fisiologis dari serat pangan berkaitan dengan sifat

78
fisikokimia dari polisakarida yang tidak dicerna didalam usus halus
yakni daya ikat terhadap air, sifat mengembang (swelling), viskositas
dan daya ikat. Serat larut dalam air meningkatkan waktu trabsit usus,
menurunkan waktu pengosongan lambung, dan mengurangi
penyerapan gula, twtapi serat pangan taklarut tidak menurunkan gula
darah dan kolesterol. Maka serat larut dari oat dan barley lebih efektif
untuk menurunkan kagar gula dan kolesterol dibandingkan dengan
serat tak larut dalam air dari terigu. Serat larut dalam air juga
menurunkan gula darah dengan mengurangi pencernaan amilum oleh
α-amylase.[Lazaridou et al, 2007]. Aktivitas serat pangan berperan
melalui beberapa mekanisme antara lain melalui waktu pengosongan
lambung (gastric emptying time). Serat pangan larut air bersifat kental
(viscous) dan terfermentasikan akan memperlambat pengosongan
makanan dalam lambung sehingga akan memperlambat penyerapan
glukosa dan rendah glisemik serta respons insulin. Akan tetapi efek
terhadap pengosagan lambung ini tidak sama untuk semua jenis serat
dan perlu diteliti lebih lanjut. Disamping itu serat pangan juga akan
memberi rasa kenyang sehingga dapat mencegah obesitas.

4. Minyak Kelapa
Pada penderita diabetes, asupan lemak jenuh rantai panjang
seperti asam palmitat dan stearat harus dibatasi, tetapi asam lemak tak
jenuh ganda (poly unsaturated fatty acid; PUFA) omega-6 dan omega-
3 dianjurkan untuk mencegah gangguan syaraf periferal. Minyak
kelapa, walaupun termasuk lemak jenuh, tetapi tersusun dari asam
lemak rantai pendek dan sedang terutama asam laurat (C:12:0)
sehingga minyak kelapa (juga minyak inti sawit) dikelompokkan
sebagai lemak rantai sedang (medium chain triglyceride; MCT).
Minyak dan lemak lainnya adalah lemak rantai panjang (long chain
triglyceride; LCT).
MCT tidak meningkatkan resiko diabetes, tetapi minyak kelapa
malah membantu mengatur gula darah, sehingga mengurangi resiko
diabetes dan komplikasinya. Asam lemak rantai sedang dari minyak
kelapa dengan cepat sampai di hati melalui vena porta (LCT melalui
kelenjar limpa) dan masuk ke dalam sel tanpa bantuan insulin,
kemudian diproses menjadi energi. Asam lemak dari minyak kelapa
tidak akan meningkatkan kadar trigliserida di dalam darah dan dapat
mengurangi resiko PJK. Asam lemak dari minyak kelapa

79
meningkatkan metabolisme, dan mengikutkan sebagian lemak dari
tubuh untuk dioksidasi menjadi energi sehingga laju metabolisme
dipercepat dan mengurangi deposit lemak tubuh, menurunkan berat
badan. Minyak kelapa juga akan meningkatkan produksi dan
sensitifitas insulin yang mengurangi kadar gula darah. Dengan
demikian minyak kelapa dapat mencegah diabetes tipe 1 dengan
merangsang produksi insulin dan mengendalikan tipe 2 dengan
menurunkan resistensi atau menaikkan kepekaan insulin. Ada dua
minyak kelapa yakni minyak kelapa goreng untuk menggoreng, dan
minyak kelapa murni (virgin coconut oil=VCO) dapat digunakan
langsung dengan cara meminumnya. Santan kelapa di dalam makanan
juga tentu saja dapat dimanfaatkan.

5. Protein, Hidrolisat Protein dan Peptida


Makin banyak fakta yang menunjukkan bahwa protein,
hidrolisa protein dan peptida bioaktif dan/atau asam amino merupakan
strategi nutrisi yang efektif untuk memperbaiki pengaturan gula darah
posparandial pada pasien tipe 2 diabetes. Asupan secara bersamaan
dari hidrolisat protein dan peptida berperan aktif secara bersamaan
dan bersifat sinergis dalam mengatur glukosa darah baik secara
langsung atau tidak langsung. Beberapa mekanisme yang mungkin
terjadi adalah dengan meningkatkan produksi insulin, merangsang
incretins, meningkatkan massa otot dan regulasi selera makanan.

6. Anggur dan minuman beralkohol


Pada diabetes selalu terjadi pada kondisi oksidatif stress,
sehingga antioksidan dalam makanan selalu berdampak positif.
Anggur mengandung senyawa antioksidan sehingga ada dokter yang
menganjurkan pada pasien diabetes. Alcohol dehydrogenase (ADH)
mengoksidasi etanol menjadi asetaldehide dan menghasilkan NADH.
Kelebihan NADH akan berperan melalui tiga jalur berikut; a)
menghalangi pembentukan asam piruvat menjadi asam laktat
sehingga proses glukoneogenesis tidak berlangsung dan
menjurus ke hipoglisemia, b) mensintesa gliserol dan asam lemak
(lipogenesis) dan menaikkan sel-sel adiposa, c) memasuki rantai
elektron transport dalam mitikondria untuk membentuk ATP, tetapi
hal ini akan mengurangi oksidasi asam lemak, sehingga menaikkan
ketosis, akumulasi lemak hati, dan hiperlipidemia. Asetaldehide juga

80
akan mengganggu fungsi mitokondria hati yang menjurus ke hepatitis,
dan cirrosis serta mempengaruhi fisiologi neurotransmitter sentral
yang menjurus ke addiksi. Pembentukan asetat yang berlebihan akan
mengganggu oksidasi dan mobilisasi asam lemak dari jaringan
adiposa dan menimbulkan obesitas.
Manfaat asupan anggur (anggur merah) ialah mengurangi resiko
penyakit jantung koroner. Alkohol dan terutama kandungan
fitokemikal yang bersifat antioksidan seperti nonflavonoid
hidroksibenzoat dan asam hidroksisinnamat, flavonol (quersetin,
mirisetin, kamempferol, rutin) bersifat protektif. Kandungan
antioksidan fenolik dalam satu gelas anggur merah setara dengan 12
gelas anggur putih, dua gelas teh, 7 gelas jus jeruk, 20 gela jus applel
atau 5 buah appel. Asupan alkohol yang ringan bermanfaat bagi yang
sehat karena dapat menaikkan sensitifitas insulin dan menurunkan
resiko diabetes tipe 2, PJK dan stroke. Alkohol juga menaikkan HDL
dan berarti dapat mencegah PJK pada penderita diabetes.

Rangkuman
Diabetes adalah penyakit yang disebabkan disfungsi
metabolisme terutama karbohidrat yang melibatkan dua hormon
insulin dan glukagon. Diabetes disebabkan terutama oleh fungsi
insulin yang terganggu baik karena insulin yang tidak cukup atau
terjadi resistensi insulin atau kombinasinyasehingga terjadi
hiperglisemia kronis. Diabetes tipe 1 terjadi karena produksi insulin
yang tidak cukup oleh pankres sedangkan tipe 2 (90% dari semua
kasus diabetes) karena diawali dengan insulin yang tidak sensitif atau
resisten akibat dari obesitas dan kurang aktivitas fisik. Hiperglisemia
yang kronis jika tidak ditangani dengan baik menyebabkan berbagai
penyakit komplikasi seperti aterosklerosis, buta, stroke, gangguan
pada syaraf, dan disfungsi ginjal dan bahkan kematian. Komplikasi ini
terjadi terutama karena pembentukan advanced glycosylation
endproducts (AGE) hasil reaksi antara glukosa dan gugus amino dari
proteinsehingga fungsi fisiologis biomolekul (protein, LDL, HDL,
haemoglobin, enzim) bisa terganggu.
Diabetes tipe 1 biasanya diobati dengan penyuntikan insulin
disertai dengan asupan gizi yang sehat tetapi harus terukur jumlahnya.
Tipe 2 diatasi dengan obat-obat diabetes untuk meningkatkan
sensitivitas insulin, disertai dengan diet yang sehat, terukur dan

81
mempertahan-kan berat badan yang ideal melalui olahraga yang teratu
r.
Adakecenderungan peningkatan komplikasi diabetes yang
menandakan bahwa pengobatan yang biasa saat ini diterapakn kurang
effektif, dan penggunaan makanan fungsional dan nutraseutikal
bermanfaat untuk mengendalikan dan pencegahan komplikasi
diabetes. Berdasarkan penelitian, polifenol di dalam buah, sayur dan
herbal bersifat protektif pada pengendalian diabetes dan
komplikasinya.

Pelatihan
1. Jelaskan kenapa penyakit diabetes mellitus juga disebut
kencing manis
2. Sebutkan dan jelaskan perbedaan penyakit diabetes tipe 1 dan
tipe 2.
3. Hormon apa saja yang berperan dalam metabolisme glukosa
di dalam tubuh dan jelaskan peranan masing-masing
4. Jelaskan reaksi yang yang terjadi yang menjadi penyebab
utama dari penyakit komplikasi pada diabetes
5. Jelaskan peranan diet, makanan fungsional dan nutrseutikal
dalam mengurangi resiko diabetes dan komplikasinya.
6. Jelaskan peranan polifenol di dalam mencegah kompliksi
diabetes.
7. Bagaimana minyak kelapa dapat berperan untuk mencegah
diabetes

BAB V

82
ZAT BERSIFAT ANTIKANKER DALAM MAKANAN

Makanan dan pola makan mempengaruhi resiko atau pencegahan


terjadinya berbagai jenis kanker. Hal ini berarti bahwa jenis makanan dan
minuman atau pola makan, metode produksi, pengolahan, pengawetan
berpengaruh terhadap perkembangan kanker. Selanjutnya, aktivitas fisik,
dan komposisi/susunan tubuh juga berkaitan dengan resiko berbagai
kanker. Di dalam makanan terdapat berbagai senyawa yang mampu
mencegah terjadinya kanker atau zat bersifat antikanker, antara lain
flavonoida, serat pangan, dan antioksidan vitamin. Tahapan terjadinya
kanker serta pemicunya, uraian, dan mekanisme kerja zat yang
bersifat antikanker tersebut disajikan di dalam bab ini.

A. Terjadinya Kanker
Kanker adalah satu golongan penyakit yang terdiri lebih dari
100 penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak
terkendali sebagai akibat dari perlahan dalam informasi genetik sel.
Sel dan jaringan merupakan sistim yang kompleks dengan tahapan
kritis dan checkpoints (titik kendali) untuk menjamin pertumbuhan
yang normal, perkembangan, dan fungsi. Pada keadaan normal
pembelahan, diferensiasi dan kematin sel berada dalam keadaan
terkendali. Semua kanker dimulai dari satu sel dimana pertumbuhan
normal dan proses replikasi terjadi secara terkendali. Sekitar 5-10%
kanker disebabkan oleh gen yang diturunkan (faktor keturunan), tetapi
pada umumnya disebabkan oleh terjadinya perubahan atau akumulasi
kerusakan pada materi genetik dalam sel dalam waktu yang lama.
Makanan dan pola makanserta aktivitas fisik merupakan faktor
utama/penting pada perkembangan kanker. Kanker juga dapat
dipandang sebagai kelompok penyakit yang mempengaruhi berbagai
jaringan dan jenis sel. Sekitar 85% kanker pada orang dewasa terjadi
pada sel epitel dari lapisan luar dan dalam pada tubuh yang disebut
karsinoma. Kanker pada jaringan kelenjar seperti kanker payudara
adrenokarsinoma, kanker tulang dan otot yang berasal dari sel-sel
mesoderm (sel embrionik yang tumbuh membentuk otot, darah,
tulang,, dan jaringan ikat) disebut sarkoma.Penyebaran sel kanker
dari lokasi awal ke lokasi lain pada tubuh disebut metastasis.Tumor
(jinak) tidak menyebar, sedangkan kanker (tumor ganas) akan
menyebar ke organ lain.

83
Pada dasarnya, kanker adalah pembelahan sel yang tidak normal
dan tidak terkendali. Umumnya kanker berbentuk tumor, walaupun tidak
semua tumor adalah kanker. Tumor adalah pertumbuhan spontan
jaringan baru yang tidak mempunyai fungsi fisiologis, malah dapat
menimbulkan gangguan dan bahkan bersifat patologis.Tumor dapat
bersifat benign (benigna), artinya tidak berkembang menjadi kanker,
misalnya kutil yang tidak menyebar. Akan tetapi, tumor juga dapat
bersifat malignant (maligna), yangberarti dapat menyebar, seperti
kanker paru-paru yang dapat menyebar ke jaringan atau organ-organ
sekitarnya.
Kanker berawal dari kerusakan materi genetik (DNA) sel. Satu saja
sel yang mengalami kerusakan genetik sudah cukup untuk
menghasilkan jaringan kanker atau neoplasma, sehingga kanker disebut
juga penyakit seluler. Kerusakan atau mutasi genetika yang menyebabkan
kanker dapat terjadi karena faktor dalam (endogen), yaitu melalui
kesalahan replikasi pada saat sel-sel yang telah aus digantikan oleh sel
baru, atau kesalahan genetika yang diturunkan oleh orang tua.
Kemungkinan terjadinya kanker karena faktor dalam ini sebesar 10-
15%. Kanker juga dapat disebabkan oleh faktor luar atau eksternal
(sekitar 85%) melalui perubahan struktur DNA akibat virus, infeksi
berkelanjutan, polusi udara, radiasi, dan bahan-bahan kimia lainnya yang
tidak diperlukan oleh tubuh. Secara kimia, mutasi gen atau DNA dapat
terjadi karena DNA berikatan dengan karsinogen seperti
benz[a]pyren dan melalui oksidasi oleh oksidan seperti radikal bebas.
Komponen genetik berperan dalam perkembangan berbagai
kanker. Umumnya, sel-sel berada dalam suatu keadaan homeostasis
(perubahan-perubahan dalam batas-batas tertentu yang normal).
Terdapat suatu keseimbangan antara pembelahan sel dan kerusakan sel.
Pengaturan siklus sel tersedia di dalam produk gen yang merangsang
pembelahan sel dan yang menghalangi pembelahan sel. Gen penghasil
produk yang merangsang sebuah sel yang sedang beristirahat untuk
membelah disebut protoonkogen, sedangkan gen yang menghalangi sel-
sel untuk membelah dikenal sebagai gen penekan tumor.
Gen kanker atau onkogen adalah protoonkogen yang tumbuh tak
terkendali. Kanker sering berawal dari keadaan kurangnya gen penekan
atau terlampau kuatnya aktivitas protoonkogen. Gen penekan tumor adalah
suatu mekanisme perlambatan di dalam sel, yang menghalangi
pertumbuhan onkogen yang tidak terkendali. Ketika ada sesuatu yang

84
salah dengan gen penekan tumor, onkogen bebas untuk memicu
pertumbuhan sel yang cepat. Tahapan dan perkembangan terjadinya
kanker dapat di lihat pada gambar di bawah ini.

Progresi
Promosi
Inisiasi

Angiogenesis
Kerusakan Perbaikan

Apoptosis Kaskade Metastatik

Gambar 10. Skema Sederhana Tahap Proses Timbulnya Kanker

Onkogen dan gen penekan tumor (tumor suppresor gen; TSG)


terdapat di dalam setiap sel yang berperan untuk regulasi pembelahan
dan kematin sel. Pada sel kanker kedua gen ini sering mengalami mutasi,
dan perubahan ini akan mengarah pada terjadinya kanker
(karsingeneisis). Pengaruh kombinasi dari aktivasi onkogen dan
inaktivasi TSG merupakan pemicu terjadinya kanker.Onkogen
mempercepat transformsi dari sel normal ke sel kanker. Fungsi
onkogen berobah karena mutasi sehingga protein yang dihasilkan
lebih abnyak atau lebih aktif. Bentuk normal yang tidak mengalami
mutasi dari onkogen disebut proto-onkogen. TSG mencegah
terjadinya pertumbuhan sel yang berlebihan , baik dengan ara
mengendalikan proliferasi sel dan perbaikan DNA serta stabilitas
genomik.TSG termasuk p53 dan gen retinoblastoma (Rb)TSG yang
pertama didentifikasi/dikenal adalah p53 dan dianggap menjadi
pelindung untuk genome. Pada kondisi normal, p53 terlibat dalam
berbagai proses seperti proliferasi sel, perbaikan DNA, apoptosis, dan
angiogenesis. P53 diaktivasi oleh stress seluler yang mungkin dapat
memicu perkembangan tumor seperti hypoxia, kurangnya nukleotida
khususnya pada kerusakan DNA.

85
Ada tiga tahap pertumbuhan sel yang abnormal yang mengubah
sel normal menjadi jaringan kanker. Pertama adalah inisiasi, yaitu
perubahan genetik pada DNA yang bersifat permanen (irreversible)di
dalam sel normal, oleh suatu karsinogen yang menyebabkan sel mampu
membelah secara tak terkendali. Proses ini terjadi dalam waktu singkat,
hanya dalam hitungan menit atau hari.
Inisiasi dimulai dengan paparan satu sel atau jaringan dengan satu agen
yang menybabkan mutasi pertama genetik . mutasi ini boleh saja yang telah
diwariskan atau mutasi oleh faktor eksogen atau endogen (akibat dari
metabolisme oksidatif). Bahkan, walaupun bukan karena oksidatif stres
eksogen, ratusan lokasi kerusakan pada DNA mengalami kerusakan setiap
hari tetapi dipulihkan secara normal atau dikeluarkan. Paparan terhadap
karsinogen menginsiasi kerusakan DNA, biasanya melalui terbentuknya
adduct DNA. Jika tidak dipulihkan maka adductini ditransfer ke sel turunan
pada saat pemeblahan sel yang berpotensi menjadi pertumbuhan jaringan
neoplasik. Inisiasi saja tidak cukup untuk sel kanker berkembang. Inisiasi saja
tidak cukup untuk berkembangnya kanker. Sel yang sudah mengalami inisiasi
harus melalui suatu proses dari ekspansi koronal selama promosi menjdi
neoplstik; makin banyak sel yang terinisiasi makin besar resiko
berkembangnya kanker.
Kedua, tahap promosi. Pada tahap ini, sel yang tak normal
dirangsang untuk tumbuh dan menghasilkan kanker. Proses ini dapat
berlangsung lama, dalam hitungan bulan atautahun. Selama periode ini,
kerusakan melekat dalam materi genetik di dalam sel-sel. Senyawa-
senyawa yang merangsang pembelahan sel disebut promotor atau
epigenetik karsinogen. Zat-zat ini diduga memicu kanker baik melalui
pengurangan waktu yang tersedia untuk enzim pengoreksi, ataupun
merangsang sel yang telah mengalami perubahan DNA untuk berkembang
dan tumbuh.

Tahap ketiga adalah metastasis (progres). Pada tahap ini, sel-sel


tumor menyerang jaringan yang sehat dan menyebar ke seluruh tubuh.
Tahap akhir dari karsinogenesis ini dimulai dengan munculnya sel-sel
yang tumbuh secara tak terkendali. Selama tahapan ini, sel-sel maligna
berkembang biak, menyerbu jaringan sekitar, dan menyebar ke tempat lain.
Jika tidak ada yang menghalangi pertumbuhan sel-sel kanker, tumor-
tumor berikutnya akan terbentuk dalam jumlah yang cukup besar untuk
mempengaruhi fungsi tubuh, dan gejala-gejala kanker muncul.

86
Sel normal memerlukan sigma eksternal dari faktor pertumbuhan
yang merngsangnya untuk membelah. Proliferasi sel normal tergantung
sebagian pada keberadaannya di dalam lingkungan sellular baik signal
promosi maupun inhibisi pertumbuhan, dan keseimbangan di antara
keduanya. Pada umumnya sel pada orang dewasa tidak tidak aktif dalam
proses pembelahan, tetapi tidak aktif atau keadaan quiescentyang disebut G.
Untuk memasuki kembali siklus sel, sel harus dirangsang denganfaktor
pertumbuhan dan memiliki ruang yang cukup dan nutrisi untuk membelah.
Pada fase G1ukuran sel bertambah dan sintesis RNA dan protein. Pada akhir
fase G1, sel harus melalui check poin G1, yang akan menghentikan siklus sel
jika ada terdeteksi DNA yang rusak, untuk memncegah nya replikasi.
Selama fase S, DNA direplikasi. Fase S berakhir jika kandungan DNA dari
inti /nukleus menjadi dua dan kromosom telah direplikasi.Sesudah sintesis
DNA selesai, sel memasuki fase G2, dimana ukuran sel bertambah dan
menghasilkan protein baru. Checkpoint G2 akan menangkap (arrest) siklus
sel jika ada kerusakan DNA atau DNA yang tidakmengalami replikasi;
sebaliknya sel akan membelah menjadi dua sel anakan selama fase M
(mitosis), dan checkpoint M memastikan bahwa sel anakan telah mnerima
DNA benar. Siklus sel dikendalikan oleh satu golongan protein yang disebut
cyclin dan cyclin–dependen kinases (CDKs). Gabungan ini membentuk
kompleks cyclin–CDK, yang akan akan mengkativasi faktor transkripsi.
Selanjutnya jmengaktivasi transkripsi gen yang diperlukan untuk tahap siklus
sel berikutnya, termasuk gen cyclin. Zat nutrisi yang berperan sebagai
sumber energy dan mengatur produksi dan fungsi protein yang dibutuhan
meningkatkan sel melalui siklus replikasi. Vitamin A, vitamin B12, asam
folat, vitamin D, besi, seng, dan glukosa berperan untuk mengendalikan
perkembangan siklus sel.
Tidak seperti sel normal, sel kanker tidad tergantung pada factor
pertumbuhan sel eksternal untuk merangsang pembelahannay. Tetapi dapat
menghasilkan signal sendiri atau merespon signal eksternal yang lebih
rendah konsentrasinya. Sel normal dapat membelah sebanyak 60 kali yang
disebut senescence dan hal ini dianggap sebagai mekanisme untuk
membatasi pembelahan yang dikendalikan oleh telomeres. Telomeres adalah
segmen dari DNA pada ujung kromosom yang makin pendek pada setiap
kali replikasi DNA. Akhirnya, pada saat telomeres terlalu pendek, sel tidak
dapat lagi membelah dan mengalami apoptosis. Sebaliknya sel kanker
memiliki kemampuan untuk mempertahankan panjang dari telomeresnya
sehingga dapat membelah tanpa batas.

87
Kaitan kanker dan makanan sangat kompleks, karena ribuan
komponen di dalam makanan dikonsumsi setiap hari; pola makan tertentu
mengandung lebih dari 2500 komponen bioaktif. Sususnan komponen di
dalam makanan mempengaruhi baik sel normal dan kanker. Respons kanker
terhadap komponen makanan juga kompleks, karenasatu komponen bioaktif
dapat mengubah berbagai tahapan karsiogenesis. Demikian juga tahapan
proses ini dipengaruhi oleh beberapa komponen makanan. Sel normal dan
sel kanker juga memberi respons yang berbeda terhadap komponen bioaktif
makanan dalam hal dosis, waktu, dan durasi paparan yang diperlukan yang
memberikan effek.

B. Pemicu Kanker
Berbagai jenis faktor eksogen (lingkungan) dapat menyebabkan
kanker. Dalam hal ini meliputi aspek makanan dan gizi yang telah ditetapkan
sebagai karsinogen oleh International Agency for Researh on Cancer,
walaupun tidak mudah mengestimasi proporsi kaitan secara langsung terhadap
kanker. Penyebab kanker yang telah dikenal antara lain merokok, infeksi,
pengobatan, radiasi, dan bahan kimia dari industri, dan juga beberapa faktor
kandungan karsinogen padamakanan dan minuman.

B.1. Penyebab endogen


Sekitar 5-10% kanker disebabkan oleh satu sel yang diwariskan. Akan
tetapi kanker adalah penyakit dari perlahan ekspresi gen yang diawali dengan
perlahan pada DNA, pembawa informasi genetik. Kebanyakan kanker
berkembang ke tingkat tertentu yang dapat dideteksi secara klinis setelah
betahun-tahun atau dekade setelah dimulainya kerusakan awal pada DNA.
Seseorang dengan sel yang termutasi belum tentu memicu kanker akan tetapi
berpotensi untuk terjadinya kanker dibandingkan dengan masyarakat umum
yang normal. Sering kali mutasi pada TSG meningkatkan kemungkinan
perkembangan kanker pada usia mudayang meliputi (kanker mata yang
jarang terjadi), kanker ginjal pada penyakit VonHippel-Lindau. Mutasi dalam
gene BRC1 dan BRCA2 (kanker payudara) meni,nbulkan 5-10% dari semua
kanker payudara. Kanker lain yang terkait dengan warisan adalah kanker
kandungan, prostat, pankreas mungkin juga karena diwariskan walaupun
dengan persenatase yang rendah.

B.2. Oksidatif Stress


Reactive oxygen species (ROS) terbentuk melalui metabolisme

88
oksidatif normal yang berpotensi menimbulkan kerusakan oksidatif pada
DNA. Selama perbaikan, senyawa basa, dan kerusakan akan diekskresikan
melalui urin. Kadar dari 8-hydroxy-2-deoxygunosine suatu adduct kerusakan
oksidatif DNA dapat digunakan sebagai indikator kerusakan oksidatif DNA
pada manusia. [World Cancer Research Fund, 2007]. Antioksidan seperti
vitamin C dan E mampu menyumbangkan elektron kepada radikal bebas
sehingga radikal bebas tidak lagi memiliki daya merusak. Polifenol juga akan
meningkatkan respon elemen antioksidan dan meningkatkan ekspresi enzim
detoksifikasi.

B.3. Inflammasi
Inflammasi adalah respons fisiologis terhadap infeksi, zat asing, trauma,
atau bahan kimia atau iritasi lainnya, dan pada fase akut akan bermanfaat.
Akan tetapi inflammasi kronis, dapat menyebabkan kerusakan pada DNA dan
memicu kanker. Jaringan yang mengalami inflammasi kronis diinfiltrasi
dengan berbagai sel inflammatori yang akan menghasilkan berbagai bahan
kimia seperti sytokin, growth factor, spesies oksigen dan nitrogen reaktif,
cyclooxygenase dan produk lipoxygenase. Lingkungan inflammasi kronis
dapat meningkatkan proliferasi dan diferensiasi, inhibsi apoptosis, dan induksi
angiogenesis.

Kanker yang terjadi akibat dari inflammasi menjadi peka terhadap


pengaruh makanan. Maka, komponen zat gizi bisa terlibat dalam pembentukan
ROS, bisa juga mempengaruhi pertahanan antioksidan, atau mungkin
menekan proses inflammasi. Status kekerapan dan inflammasi kronis dapat
menerangkan pola kanker di negara yang berkembang di berbagai negara.
Kanker yang disebabkan disebabakan agen penyebab infeksi, seperti kanker
hati dan cervix sering trjadi di negara yang berpenghasilan rendah. Dimana
karang gizi akan menurunkan respons sistim immunitas. Kekuranagn zat gizi
seperti vitamin A, riboflavin, vitamin B12, asam flat, vitamin C, selenium,
seng, besi menekan sangat fungsi kekebalan dan menybabkan kegagalan
fungsi untuk mengendalikan inflammasi kronis. Sebaliknya, kanker karena
hormonal seperti kanker payuara dan prostat lebih sering terjadi di negara-
negara maju.

Hormon
Paparan estrogen yang sering meningkat oleh menarche dini, monopause

89
yang terlambat, tidak melahirkan anak, dan hamil pertama yang telambatakan
meningkatkan resiko kanker seperti kanker payudara, kanker ovari, dan kanker
endometrial pada wanita. Sebaliknya, menurunnya paparan estrogen karena
monachea yang terlambat, monpause yang lebih awal, punya anak, kehamilan
yang cepat, dapatmenurunkan resiko kanker hormonal. Kombinasi obat
kontraseptif bentuk pil (estrogen dan progesteron) di duga .mengurangi resiko
kanker ovary, jika dimakan lima tahun atau lebih. Effek rotektif ini bias
berlansung sampai 15 tahun setelah berhenti menggunakan kontraseptif ini.
[World Cancer Research Fund, 2007].

B.5. Eksogen

B.5.1. Rokok
Rokok menyebabkan sekitar 20 % kematian kanker. Perokok telah
menaikan resiko berbagai jenis kanker. Rokok mengandung paling sedikit 80
karsinogen, termasuk aren, cadmium, amonia, formaldehide, benzopiran,
masing-masing dengan mekanisme yang berbeda. Misalnya, setelah
mengalami bioaktivasi dari bnzopiran menjadi benzo(a)pirenediol epoksida,
membentuk adduct DNA pada sel-sel epitelial paru-paru. Rokok adalah
karsinogen kuat dan juga sumber dari oksidatif stres.

B.5.2. Penyebab infeksi


Penyebab infeksi seperti virus, bakteri, parasit, dapat menginduksi
kerusakan DNA dan meningkatkan perkembabangan kanker. Hepatitis virus,
bakteri Helicobaccter pylori (H pylori), dan parasit, juga merangsang kanker
dengan melalui cara menyebabkan inflammasi kronis. DNA virus encode viral
protein yang memblokir TSG , sedangkan RNA virus atau retro virus encode
encogen. H pylori berkaitan dengan kanker lambung. Pada umumnya infeksi
itu sendiri tidak langsung memicu kanker tetapi mendukung atau faktor ini
terlibat dalam proses karsinogenesis. Banyak faktor yang mempengaruhi
kenapa kanker terjadi hanya pada beberapa kasus saja. Pada keadaan kurang
gizi atau gizi buruk dapat memicu terjadinya defisiensi imunitas sehingga peka
terhadap terjadinya infeksi.

B.5.3. Radiasi
Radiasi pengion dan radiasi UV merusak DNA dan bersifat karsinogen

90
termasuk radiasi yang digunakan dalam radiasi sinar-x dan di dalam
pengobatan kanker. Radiasi pengion merusak DNA secara langsung memecah
rantai DNA atau tidak langsung dengan berinteraksi dengan molekul air dan
menghasilkan ROS yang akan merusak DNA. Walaupun sinar matahari
merusak DNA, tetapi sinar matahari juga menginduksi produksi vitamin D.
Salah satu metabolit vitamin D adalah 1-25-hydroxy-vitamin D memiliki efek
antiproliferatif dan pro-diffrensiasi dalam beberapa sel yang dimediasi melalui
reseptor vitamin D.

B.5.3. Pollusi Industri


Karsinogen dapat diartikan sebagai zat penyebab yang dapat
merangsang pembentukan kanker. Berikut adalah beberapa karsinogen
yang diduga dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker.
1. Senyawa kimia, misalnya nitrosamin, aflatoksin B1 dan G1, asap
rokok, benzen, benz[a]pyren, dan senyawa lain yang mungkin
terdapat di dalam makanan.
2. Faktor fisika, yang utama adalah radiasi sinar ultraviolet dari
matahari.
3. Beberapa jenis virus, yakni virus yang berhubungan erat dengan
perubahan sel normal menjadi sel kanker, misalnya virus hepatitis
B dan C yang menyebabkan kanker hati.
4. Hormon tertentu, seperti diethyl stilbesterol yang dapat
menimbulkan kanker rahim, payudara, dan alat reproduksi.

Secarahistoris, sebagian kanker disebabkan oleh paparan zat kimia


tertentu dalam pekerjaan sehari-hari. Misalnya, pembersih cerobong asap
menderita kanker karena selalu kontak dengan karsinogen
benz[a]pyren. Paparan zat asing dari lingkungan tidak mungkin dihindari
secara sempurna karena berbagai alasan, termasuk keberadaan
beberapa karsinogen dalam makanan. Sebagian zat asing ini beracun
atau toksik sesudah diaktivasi, atau memberikan efek karsinogenik dalam
jangka waktu yang lama.
Polychlorinated biphenyls (PCBs) satu senyawa organik digunakan
di dalam plastik, perekat, cat, tidak mudah terurai. Senyawa ini lebih larut
di dalam lemak daripada di dalam air dan terakumulasi di dalam ikan
karnivora seperti salmon, dan dap diabsorbsi oleh orang yang memakan
jenis ikan ini. Dapat juga terjadi akumulasi di dalam ASI sehingga diisap
oleh bayi selama pemberian ASI. Arsen bersifat genotoksikyang

91
menyebabkan mutasi gen dan karsinogenik pada manusia; arsen di dalam
air minum terserap melalui saluran cerna. Selenium mengikat logam berat
sehingga mengubah absorbsinya.
Berbagai pengobatan mempengaruhi resiko beberapa kanker.
Sinar-x bersifat karsinogenik pada saat digunakan untuk mengobati
kanker. Dietilstilboesterol, jika diberikan pada saat hamil menyebabkan
kanker vagina dan servis, sehingga sekarang tidak dignakan lagi.
Walaupun keberadaan karsinogen dalam makanan merupakan
suatu faktor, asupan dari komponen tertentu dalam makanan dapat
mengubah metabolisme dan pengeluaran dari karsinogen, serta
mempengaruhi perkembangan sel-sel normal dan kanker dalam tubuh.
Misalnya, salah satu zat penyebab kanker (karsinogen) adalah kelompok
nitrosamin yang dapat terbentuk dalam tubuh dari prekursornya di
bawah pengaruh berbagai faktor. Pembentukan in-vivonitrosamin
dipercepat oleh keberadaan bakteri dalam pencernaan manusia dan
saluran kemih. Pola makan dapat mempengaruhi jumlah dan jenis bakteri
tersebut dan dengan demikian mempengaruhi pembentukan nitrosamin.
Vitamin C dalam diet dan senyawa sulfur yang terdapat dalam bawang putih
mepengaruhi pembentukan nitrosamin. Sebaliknya, beberapa senyawa
lain dapat meningkatkan resiko kanker dengan meningkatkan
pembentukan nitrosamindalam tubuh. Oleh karena itu, perubahan pola
makan dan gaya hidup seseorang maupun latar belakang faktor genetik
turut mempengaruhi resiko timbulnya kanker.
Pada proses metabolisme normal oleh oksigen dalam tubuh, di
dalam sel juga akan terbentuk radikal bebas dari senyawa oksigen,
misalnya superoksida dan oksigen singlet yang merugikan. Oleh karena
itu pulalah, oksigen dianggap sebagai teman yang berbahaya. Tanpa
oksigen kita tak dapat hidup, tetapi proses oksidasi juga menghasilkan
radikal bebas yang biasanya bersifat oksidatif dan akan memicu
pembentukan kanker melalui mutasi gen, serta merangsang pembelahan
sel.
Zat pengoksidasi (oksidan) atau radikal bebas lain juga dapat
berasal dari luar tubuh, misalnya makanan, asap rokok, asap mobil,
polutan, dan sebagainya. Jika potensi zat oksidan lebih tinggi daripada
antioksidan di dalam tubuh, seperti enzim-enzim, vitamin C, β-karoten,
vitamin E, dan GSH, keadaan ini disebut oxidative stress (stres
oksidatif). Stres oksidatif merusak atau mengoksidasi biomolekul di
dalam tubuh, termasuk DNA, dan berarti karsinogenik.

92
Asupan energi yang melebihi kebutuhan selalu berakhir dengan
obesitas (kegemukan). Makin tinggi kelebihan berat badan berkorelasi
positif dengan resiko beberapa jenis kanker, antara lain rahim, payudara,
buah pinggang, dan mungkin kanker prostat, kolon, dan empedu,
walaupun tidak demikian dengan jenis kanker lainnya. Pada umumnya,
resiko kanker paling rendah terdapat pada individu yang memiliki berat
badan sekitar 10 %di bawah normal dan 20 % di atasnya. Penelitian pada
hewan menunjukkan bahwa pembatasan energi selama masa pertumbuhan
yang cepat bersifat protektif terhadap kanker. Dalam hal ini,
pembatasan kalori berperan pada tahap promosi, bukan pada tahap
inisiasi dari karsinogenesis. Kelebihan lemak tubuh dapat mempengaruhi
produksi hormon kelamin, yang akan menaikkan resiko kanker, atau
sel-sel kanker mungkin tumbuh lebih mudah jika energi berlimpah.
Hingga saat ini memang belum ditemukan kaitan antara rendah lemak
dengan perkembangan berbagai kanker, namun kelebihan berat badan
menaikkan resiko kanker.
Proses penuaan juga meningkatkan resiko kanker melalui
berbagai mekanisme. Sekumpulan penyakit degeneratif, termasuk kanker,
akan terjadi karena proses degenerasi sel-sel tubuh. Pada masa anak-anak
proses regenerasi berlangsung cepat, sedangkan pada usia lanjut proses
regenerasi berlangsung sangat lambat. Sistem kekebalan niencapai
maksimum pada orang dewasa, tetapi sesudah umur 50 tahun akan
menurun sehingga tidak mampu lagi mengenali zat-zat asing dari luar,
seperti virus yang masuk ke dalam tubuh. Dengan bertambahnya umur,
kemampuan sistem kekebalan untuk mendeteksi dan menghancurkan sel-
sel kanker yang berkembang menurun, dan membiarkan kanker terus
berkembang. Kekurangan zat gizi, terutama protein, vitamin E,
vitamin B6, dan seng, menghambat sistem kekebalan sehingga
memperburuk masalah pada orang tua.
Asupan minuman beralkohol akan menghasilkan karsinogen
asetaldehid dalam tubuh. Jika asupan alkohol melebihi kemampuan hati
untuk menawarkan asetaldehid yang terbentuk, resiko kanker akan
meningkat. Maka, orang yang secara genetik menghasilkan enzim
asetaldehid dehidrogenase dalam jumlah yang tidak cukup akan rentan
terhadap resiko kanker. Jenis kanker karena asupan alkohol meliputi
kanker pencernaan seperti kanker mulut, hati, kerongkongan, usus
besar, dan rektum. Kanker payudara pada wanita meningkat karena
asupan alkohol sebanyak satu sampai dua gelas sehari, terutama pada

93
mereka yang kekurangan asupan asam folat.
Metabolisme karsinogen biasanya dikataliser oleh phase I(satu)
enzim cytochrome P450 memlalui proses oksidasi, yang biasanya
mengubah molekul menjadi lebih mudah larut di dalam air. Sebagaian
hasil antara (intermediates) yang terbentuk pada proses ini ada
menjadi karsinogen dan berikatan dengan DNA membentuk adduts
DNA yang selanjtnya merusak struktur DNA dan replikasinya
sehingga berpotensi menyebabkan mistranslasi. Adducts DNA juga
dapat merusak strand DNA dan alhirnya menyebabkan mutasi atau
menghilangkan materi genetik. Sebaliknya, proses detoksifikasi
dikataliser oleh kelompok enzim phase II (dua) mengkataliser reaksi
konjugasi membentuk molekul yang yang dapat diekskresikan ke
dalam empedu dan urin. Enzim kelompok ini termasuk
asetiltransferase, glutation–S-transferase (GST), UDP-
glucoronyltransferase, quinone oxidoreductase, dan sulphotransferase.
Induksi enzim phase II dimediasi oleh respon elemen antioksidan.
Masing-masing enzim ini menjadi target dari komponen
bioaktif di dalam makanan untuk mempengaruhikarsinogenesis.
Misalnya, respons spesifik terhadap isotthiocyanates dari sayuran
crusiferous dengan menginduksi detoksifikasi enzim ekspresi phase II
tanpa mempengaruhi ekspressienzim phase I.
Sifat-sifat karsinogen dari polisiklik polikarbon, amin aromatis,
senyawa N-nitroso dan aflatoksin berasal dari hasil samin
metabolisme metabolisme komponen ini. Aktivitas enzim phase I dan
II berbeda pada setiap orang hingga resiko kanker berbeda untuk
setiaporang.

C. Penangkal Kanker
Suatu mekanisme yang dapat mencegah prakarsa kanker adalah
sitokrom P450 di dalam hati dan sel-sel saluran pencernaan. Sitokrom
P450 adalah suatu senyawa yang mengandung besi, yang turut serta
dalam suatu proses yang mengubah berbagai senyawa endogen dan toksin
dari luar tubuh menjadi metabolit yang tak berbahaya dan mudah larut
dalam air, dan akhirnya dikeluarkan dari tubuh. Hal inilah yang
membuat sitokrom P450 menjadi pertahanan garis depan untuk melawan
karsinogen jika sampai di dinding pencernaan.
Di samping itu, senyawa karsinogen juga dapat dimodifikasi
melalui konjugasi dengan suatu gula (asam glukoronat), sulfat, gugus

94
metil, atau glutation (GSH). Beberapa enzim glutathion-S-transferase
(GST) berperan untuk mentransfer GSH ke berbagai karsinogen
membentuk senyawa konjugasinya dengan GSH yang netral, mudah larut
dalam air sehingga dapat dikeluarkan dari tubuh. Contoh senyawa
karsinogenik yang dapat dinetralkan oleh GSH adalah benz[a]pyren dan
aflatoksin. GSH juga dapat menetralkan radikal bebas (pemicu kanker)
seperti superoksida.
Gen P53, yang sudah diidentifikasi sebagai suatu gen penekan tumor,
adalah cara lain untuk mencegah pertumbuhan kanker, yakni dengan
menunda pembelahan sel sehingga sel memiliki kesempatan untuk
mereparasi kerusakan. Enzim-enzim berpindah ke atas dan ke bawah
pada struktur DNA (DNA double helix),untuk mereparasi komponen yang
rusak. Sekitar 99 % dari seluruh waktu, enzim yang memperbaiki berhasil
menemukan kerusakan dan mereparasinya, sebelum sel membelah lagi
dan dengan demikian mengalami mutasi.

D. Zat Bersifat Antikanker


Ada hubungan yang erat antara makanan dan perkembangan
berbagai penyakit degeneratif, termasuk kanker. Diperkirakan paling
sedikit sepertiga dari penyakit kanker disebabkan oleh faktor
makanan. Orang-orang yang mengonsumsi banyak sayur-sayuran dan
buah-buahan biasanya jauh lebih sehat dengan resiko penyakit
degeneratif yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang
kurang mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan. Sifat protektif
ini dikaitkan dengan kandungan berbagai zat antioksidan alami seperti
vitamin C, vitamin E, karotenoid, polifenol, dan antioksidan lain yang
terdapat di dalam sayur-sayuran dan buah-buahan.
Berdasarkan fakta ini, telah dilakukan penelitian untuk
mengetahui khasiat zat-zat aktif tersebut sebagai zat tunggal yang telah
diisolasi dari sayur-sayuran dan buah-buahan, tetapi ternyata hasilnya
tidak konsisten. Di sisi lain, mengonsumsi banyak sayur-sayuran dan
buah-buahan yang kaya akan zat berkhasiat itu selalu memberi hasil
yang positif. Oleh karena itu, diduga ada interaksi antara mikronutrien
dengan zat lain yang belum diketahui, yang dengan bekerja secara
sinergistik turut berperan secara positif. Beberapa komponen makanan
yang dipercaya mencegah kanker antara lain asam folat, vitamin D, dan
kalsium.

95
Sebaliknya, beberapa faktor yang berhubungan dengan makanan
dapat memicu perkembangan kanker, antara lain kegemukan, terlampau
kurus, alkohol, zat-zat karsinogen yang terdapat di dalam makanan
seperti nitrosamin, mikotoksin, benz[a]pyren, dan sebagainya.
Dalam upaya pencegahan kanker, diperlukan pengetahuan
tentang terdapatnya zat-zat karsinogen dan potensi kemoterapi dari
mikronutrien dan/atau non nutrien di dalam makanan. Berbagai zat gizi
dan non gizi seperti phytochemicals dalam makanan bersifat antikanker,
walaupun hanya efektif jika dikonsumsi secara, bersamaan (kombinasi) di
dalam makanan sehari-hari.

1. Vitamin dan Mineral


Sebagimana telah diuraikan sebelumnya bahwa karsinogenesis
(proses terjadinya kanker) dapat dipicu oleh radikal bebas, karsinogen,
dan penurunan kekebalan tubuh. Radikal bebas yang sangat rakus
terhadap elektron akan berperan sebagai oksidator dan akan
mengoksidasi biomolekul dengan cara menarik elektron yang terikat lemah
pada biomolekul, seperti DNA, RNA, dan lipoprotein. Jika hal ini terjadi
berarti biomolekul tersebut berubah sifat (termodifikasi) sehingga dapat
memicu berbagai penyakit, termasuk kanker. Maka itu, vitamin dan
mineral yang berperan sebagai antioksidan, yang menghalangi reaksi
pembentukan karsinogen, dan yang dapat meningkatkan sistem imunitas
akan berperan sebagai antikanker. Vitamin dan mineral yang bersifat
antioksidan itu adalah vitamin C, vitamin E, dan provitamin A yakni
karotenoid, khususnya β-karoten dan mineral selenium.
Vitamin C merupakan antioksidan kuat dan pengikat radikal bebas.
Vitamin C juga dapat mencegah kerusakan biomolekul seperti DNA, lipida,
dan protein, akibat oksidasi radikal bebas anion superoksida, hidrogen
peroksida, dan radikal hidroksil. Vitamin C meningkatkan kerja sistem
imunitas sehingga mampu menghancurkan sel kanker. Vitamin C sangat
dibutuhkan untuk memproduksi kolagen yang pada gilirannya dapat
menghalangi pertumbuhan dan perkembangan sel kanker. Biasanya,
konsentrasi vitamin C pada penderita kanker rendah sehingga keadaan
stres oksidatif meningkat dan kekebalan tubuh menurun.
Komponen yang aktif sebagai vitamin E terdiri atas 8 tokoterol
alami, tetapi α-tokoferol adalah komponen yang paling aktif. Sebagai
antioksidan yang larut dalam lemak, vitamin E menangkap radikal
bebas dan menghalangi reaksi berantai peroksidasi lipida. Vitamin C dan

96
vitamin E mencegah pembentukan karsinogen nitrosamin melalui reaksi
antara nitrit dan alkilamin di dalam tubuh atau di luar tubuh.
Garam nitrit atau nitrat (diubah oleh mikroba menjadi nitrit dalam
pencernaan) yang terdapat di dalam makanan berasal dari pemakaian
nitrit sebagai pengawet sekaligus pemberi warna cerah pada daging
olahan (bacon)dan daging kaleng. Nitrat banyak terdapat pada sayuran,
terutama bayam, dan juga berasal dari air minum (kadar nitrat dalam air
minum menurut DepKes tidak boleh melebihi 45 mg/liter). Alkilamin
biasanya terdapat di dalam ikan, khususnya cumi-cumi atau daging.
Reaksi pembentukan nitrosamin dapat terjadi selama proses
pengolahan makanan, seperti pengasinan, pengasapan, dan
pemanggangan daging.
Reaksi antara nitrit dan alkilamin, terutama dimetilamin, terjadi
dalam suasana asam seperti yang ada di lambung. Oleh karena itu,
dianjurkan untuk menambahkan vitamin C atau vitamin E pada proses
pengolahan makanan yang menggunakan nitrit sebagai pengawet. Di
Amerika Serikat, dianjurkan penambahan vitamin C sebanyak 550 mg
vitamin C per kg daging olahan (bacon)untuk menghindari pembentukan
nitrosamin.
β-Karoten yang merupakan komponen utama dari kelompok
senyawa karotenoid bersifat sebagai antikanker dengan berbagai
mekanisme. Sifat antikanker dari β-karoten ditunjukkan berdasarkan sifat
antioksidannya dan sifatnya sebagai penangkap radikal bebas. Sebagai
antioksidan, β-karoten masih efektif pada membran dengan tekanan
oksigen yang rendah (vitamin C dan E tidak efektif), misalnya pada mata
sehingga β-karoten mampu mencegah terjadinya katarak. β-Karotenjuga
bersifat antikanker dengan meningkatkan komunikasi antarsel yang akan
mengoptimalkan sistem kekebalan tubuh untuk mencegah perkembangan
kanker.
Asam folat dan vitamin B-12 berperan dalam sintesis DNA.
Bentuk aktif dari folat adalah asam tetrahidrofolat (tetrahydro folic acid;
THFA). Asam folat terbukti mencegah terjadinya kanker kolon dan kanker
payudara, terutama pada peminum alkohol. Defisiensi folat akan
meningkatkan resiko kanker dengan berbagai mekanisme biologis.
Karena asam folat diperlukan pada sintesis DNA, defisiensi folat akan
terjadi selama kemoterapi kanker. Pada pasien yang diberi obat kanker,
misalnya methotrexate (salah satu obat kanker), sintesis DNA sel kanker
akan ditekan dengan mengganggu metabolisme folat. Akan tetapi,

97
pertumbuhan sel normal, terutama sel-sel pencernaan dan sel-sel darah
merah, juga terganggu. Maka, pemberian obat kanker seperti methotrexate
harus diimbangi dengan diet yang kaya folat. Suplemen dosis tinggi asam
folat tidak akan mengurangi aktivitas obat antikanker methotrexate. Peranan
penting selenium yang diketahui saat ini adalah sebagai suatu kofaktor
pada enzim glutation peroksidase. Glutation peroksidase berperan pada
proses metabolisme peroksida menjadi turunan alkohol yang kurang toksis
dan air. Selenium dan vitamin E bekerja sama untuk melindungi tubuh dari
kerusakan oleh radikal bebas. Selenium berperan secara enzimatik untuk
mencegah pembentukan radikal bebas, sedangkan vitamin E dapat
menghentikan serangan radikal bebas terhadap sel-sel membran. Dengan
cara yang sama kedua komponen ini juga dapat melindungi DNA dari
kerusakan akibat oksidasi, dan dengan demikian mencegah terjadinya
kanker.
Ikan, daging, telur, susu, dan seafood merupakan sumber yang
baik dari selenium. Keracunan selenium dapat terjadi jika asupan
melebihi 400 μg/hari bagi orang dewasa.Kalsium dapat mengurangi resiko
kanker kolon dengan mengikat asam lemak bebas dan asam lemak empedu di
dalam usus besar.

2. Serat Pangan
Serat pangan atau dietary fiber adalah karbohidrat (polisakarida)
dan lignin yang tidak dapat dihidrolisis (dicerna) olehenzim pencernaan
manusia, dan akan sampai di usus besar (kolon) dalam keadaan utuh. Oleh
karena itu, kebanyakan serat pangan akan menjadi substrat bagi
fermentasi bakteri yang hidup di kolon.
Serat pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur
molekul dan kelarutannya. Serat pangan yang larut dalam air sangat
mudah difermentasikan dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat
dan lipida. Sementara, serat pangan yang tidak larut, seperti selulosa
(bahan dasar dalam kapas), berperan untuk memperbesar volume feses
dan mengurangi waktu transitnya di dalam kolon (bersifat laksatif lemah).
Serat pangan terlarut, seperti agar-agar dan pektin dalam jeruk dan buah-
buahan lain, mudah terfermentasi (teragikan) dalam kolon dan
berhubungan dengan metabolisme lipida dan karbohidrat.
Serat pangan terbukti dapat mengurangi resiko kanker, misalnya
kanker kolon, dan penyakit jantung koroner. Serat pangan berperan

98
melalui berbagai mekanisme kerja yang meliputi pengenceran isi kolon,
absorbsi asam empedu dan karsinogen lainnya, penurunan waktu
penahanan feses atau bersifat laksatif ringan, dan pengubahan
metabolisme asam empedu.
Selain itu, akibat adanya proses fermentasi oleh Bifidobacteria
yang menguntungkan, yakni produksi asam lemak rantai pendek, serat
pangan berpengaruh menaikkan keasaman. Dengan demikian, bakteri
merugikan yang tidak suka suasana asam, yakni Escherichia coli dan
Streptococcus faecalis, tidak dapat tumbuh (terhambat
pertumbuhannya). Kedua bakteri yang merugikan tersebut akan
memfermentasikan protein dan asam amino yang lolos sampai ke kolon.
Hasil fermentasi ini adalah zat-zat toksis, yakni fenol, kresol, indol, amina,
dan amonia, yang dapat meningkatkan resiko kanker kolon dan kelenjar
empedu. Serat pangan, melalui proses fisika dan biokimia yang telah
diuraikan di atas, dapat mengurangi resiko kanker.

3. Oligosakarida
Oligosakarida termasuk karbohidrat sederhana, yang banyak
dikonsumsi dalam bentuk minuman ringan, biskuit, gula-gula/permen,
dan produk susu. Oligosakarida fungsional adalah polisakarida pendek
dengan struktur kimia yang unik sehingga tidak dapat dicerna oleh
enzim-enzim pencernaan manusia. Dengan demikian, senyawa ini
merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri Bifidobacteria yang
menguntungkan di dalam usus besar (kolon). Itulah sebabnya
Oligosakarida disebut sebagai prebiotik.
Jadi, Oligosakarida memiliki manfaat yang sama seperti serat
pangan terlarut, yakni meningkatkan populasi Bifidobacteria dalam kolon,
dan dengan demikian menekan pertumbuhan bakteri pembusuk yang
merugikan, yakni Escherichia coli dan Streptococcus faecalis. Bakteri asam
laktat dan sejenisnya relatif tahan terhadap asam lambung sehingga dapat
sampai di kolon, dan selanjutnya akan menekan pertumbuhan bakteri
yang merugikan.
Beberapa makanan secara alamiah mengandung oligosakarida.
Misalnya, frukto oligosakarida (FOS) yang dapat ditemukan dalam bawang
merah, bawang putih, dan asparagus. Kedelai juga mengandung soybean
oligosakarida. Akan tetapi, makanan yang dikonsumsi setiap hari tidak
mungkin, dapat memenuhi jumlah oligosakarida yang dianggap berkhasiat
untuk mencegah penyakit seperti diuraikan di atas. Oleh karena itu,

99
diperlukan konsumsi tambahan. Misalnya, frukto oligosakarida (FOS)
ditambahkan ke dalam susu bubuk untuk balita sebagai prebiotik.
Prebiotik juga dapat diperoleh dari yogurt dan produk sayur asinan.

4. Phytochemicals
Phytochemicals adalah kelompok senyawa yang terdapat di
makanan nabati yang memiliki aktivitas fisiologis untukmeningkatkan
kesehatan dan mencegah penyakit, terutama kanker. Misalnya, senyawa
sulfida yang terdapat di dalam bawang, terutama bawang putih.
Bawang putih yang masih utuh hanya mengandung sedikit
komponen yang aktif. Bawang putih mentah mengandung 1-2 % asam
amino yang tak berbau, alliin (S-allyl cysteine sulfoxide, CH2 = CH-CH2-
S(O)-CH2-CH (NH2) COOH), dan peptida γ-glutamyl dari S-allyl cysteine. Bila
bawang diremukkan atau diiris-iris, alliin akan berkontak dengan enzim
allinase yang ada dalam sel bawang putih tersebut dan akan berubah
menjadi allicin, suatu senyawa yang berbau khas. Allicin bersifat tidak
stabil, mudah terurai menjadi berbagai senyawa sulfur organik yang
sebagian merupakan zat aktif.
Bawang putih bersifat antikanker melalui peran senyawa sulfur
untuk menghambat pembentukan nitrosamin (zat pembentuk kanker) di
dalam tubuh. Nitrat terdapat di dalam sayur-sayuran, misalnya bayam. Di
dalam tubuh, oleh bakteri nitrat akan diubah menjadi nitrit, yang kemudian
dapat bereaksi dengan senyawa amin dari pangan hewani, terutama ikan,
khususnya cumi-cumi.
Senyawa bersulfur dalam bawang juga dapat meningkatkan aktivitas
glutation dan glutation-S-transferase (GST) yang kemudian akan menetralkan
dan mengeluarkan karsinogen dari dalam tubuh. Pemakaian bawang putih
pada kulit juga mampu mencegah kanker kulit.
Limonoida memberi rasa pahit pada buah jeruk, namun memiliki
aktivitas biologis yang dapat bermanfaat sebagai pencegah kanker dengan
meningkatkan aktivitas GST. GST adalah sistem enzim detoksifikasi yang
mengatalisis konjugasi antara glutation dengan elektrofil, termasuk
karsinogen aktif. Konjugasi yang terbentuk bersifat kurang reaktif dan
lebih mudah larut dalam air sehingga mudah dikeluarkan dari dalam tubuh.
Peningkatan aktivitas enzim GST meningkatkan perlindungan terhadap efek
berbahaya dari zat asing, termasuk karsinogen.
Polifenol teh hijau jauh lebih berkhasiat untuk mencegah riadinya
kanker dibandingkan dengan polifenol teh hitam. Berdasarkan penelitian yang

100
dilakukan terhadap binatang percobaan, polifenol teh terutama mencegah
terjadinya kanker yang disebabkan zat-zat kimia (karsinogen) dan kanker kulit
yang disebabkan oleh radiasi sinar ultraviolet.
Penyakit kanker karena zat-zat kimia yang dapat dicegah dengan
mengonsumsi teh meliputi kanker paru-paru, lambung, kerongkongan, usus
dua belas jari, pankreas, hati, payudara, usus besar, dan kulit. Relevansi
informasi hasil percobaan pada hewan ini terhadap kesehatan manusia
dapat dikonfirmasi melalui observasi epidemiologis, terutama pada
penduduk yang memiliki resiko tinggi terserang kanker.
Umumnya, sifat protektif terhadap kanker oleh teh hijau diperankan
oleh polifenol utama di dalam teh hijau, yakni EGKG (Epigallokatekhin
Gallat). Secara umum, polifenol bersifat meredam radikal bebas dan
antioksidan, baik melalui delokalisasi elektron dan pembentukan ikatan
hidrogen intramolekuler maupun melalui penataan kembali struktur
molekulnya. Polifenol juga akan membentuk kelat dengan tembaga dan
besi bebas yang mengkatalisis pembentukan senyawa oksigen yang reaktif
(Reactive Oxygen Species; ROS). ROS selanjutnya dapat memicu pemben-
tukan radikal bebas. Di Amerika Serikat, ekstrak teh hijau sudah ada yang
dimasukkan ke dalam berbagai produk seperti sampo, minuman, kosmetik,
es krim, dan lain-lain yang tersedia di grosir dan apotek-apotek.
Flavonoida adalah sekelompok senyawa polifenol yang
terdistribusi luas dalam tanaman. Konsumsi flavonoida dalam makanan
berkisar antara 50-80 mg/hari. Flavonoida dalam akanan antara lain
quercetin, kaemferol, luteolin, morin, asam tanat, dan lain-lain.
Kemampuan flavonoida mencegah kanker diduga melalui sifat sebagai
antioksidan, penangkap radikal bebas, dan kemampuannya menonaktifkan
kation polivalen yang dapat memicu proses oksidasi dengan membentuk
kelat dengan kation tersebut.
Walaupun pada umumnya asam lemak trans mempunyai
dampak negatif terhadap kesehatan, tetapi asam lemak vasenat bentuk
trans adalah asam linoleat terkonjugasi (Conjugated Linoleic Acid;
CLA) yang memiliki sifat antikanker. Perbedaan CLA dengan asam
linoleat adalah bahwa asam linoleat mempunyai ikatan rangkap pada posisi
atom karbon 9 dan atom karbon 12, dan keduanya dalam bentuk cis,
sedangkan CLA mempunyai ikatan rangkap pada atom karbon 9 dalam
bentuk cis dan atom karbon 11 dalam bentuk trans. Daging sapi panggang
mengandung asam CLA yang bersifat antikarsinogenik. Banyak CLA
ditemukan dalam ruminansia (daging sapi, susu, dan daging domba).

101
Lemak sapi mengandung 3,1-8,5 mg CLA/g. Kandungan CLA meningkat
jika makanan diolah atau dimasak. Hal ini penting karena pada
kenyataannya dalam daging yang telah dimasak terdapat juga mutagen
dan karsinogen. Berdasarkan hasil penelitian pada binatang, konsentrasi
0,1-1 % CLA dalam diet dapat berperan sebagai antikanker.

E. Gaya Hidup dan Diet


Berdasarkan peran makanan untuk mempertahankan
kesehatan dan mencegah penyakit degeneratif terutama kanker, di
Amerika telah dibuat suatu pola makan sebagai pedoman.
1. Pilihlah makanan terutama yang berasal dari nabati: berbagai jenis
buah, sayur, dan serealia.
2. Kurangi asupan makanan berlemak tinggi, terutama dari hewani.
3. Lakukan latihan fisik; usahakan dan pertahankan berat badan yang sehat
4. Hindari atau batasi minuman beralkohol.
Pedoman tersebut dibuat dan disosialisasikan melalui program
Five a Day for Better Health, yakni dengan mendorong orang untuk
mengonsumsi lima porsi atau lebih buah-buahan dan sayur-sayuran setiap
hari.
Berdasarkan fakta yang telah diuraikan, perlu kiranya dilakukan
penyempurnaan terhadap Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS)
Departemen Kesehatan PJ pada tahun 1995, yang berisi 13 pesan.
Penyempurnaan ini bukan hanya dari segi kualitatif, tetapi harus
sampai kepada proporsi dari komponen makanan yang seimbang,
kemudian disosialisasikan untuk dipedomani olehmasyarakat luas.

Tubuh kita memang memiliki sistem kekebalan yang potensial


yang dapat membasmi segala macam zat asing dan mikroorganisme,
termasuk virus. Akan tetapi, diperlukan hampir semua zat gizi dalam
jumlah yang cukup agar sistem kekebalan tersebut berfungsi optimal. Di
samping itu, perlu dihindari masuknya karsinogen dari luar tubuh.
Faktor psikologis seperti kestabilan emosi, kedamaian hati, membuang
rasa benci, atau mudah memaafkan merupakan faktor emosional yang
tidak kalah penting untuk mencegah timbulnya kanker.

F. Rangkuman
Zat yang bersifat antikanker dalam makanan meliputi serat

102
pangan dan oligosakarida, vitamin antioksidan, dan phytochemicals. Sifat
antikanker terjadi melalui proses biokimia, mekanik, antioksidasi, dan
enzimatis.
Serat pangan dan oligosakarida dapat mencegah kanker dengan
mencegah pembentukan karsinogen oleh bakteri patogen serta
mempercepat pengeluarannya dari kolon. Vitamin antioksidan seperti
vitamin C, vitamin E dan β-karoten (prekursor vitamin A) mencegah
kanker dengan merendam radikal bebas dan mencegah kerusakan
oksidatif terhadap biomolekul DNA, lipida dan protein.
Phytochemicals seperti polifenol berfungsi sebagai antioksidan,
sedangkan limonoida (dalam jeruk) dan senyawa sulfur (dalam
bawang putih) dapat meningkatkan aktifitas (GST) untuk
mengeluarkan karsinogen dari dalam tubuh. Efek fisiologis dari
phytochemicals tersebut diketahui dari hasil penelitian pada hewan
percobaan. Sifat protektif pada manusia umumnya diketahui dari data
penelitian epidemiologis. Hasil penelitian pada hewan belum tentu
sama dengan hasil penelitian pada hewan belum tentu sama dengan
hasil penelitian pada manusia. Diyakini bahwa efek fisiologis pada
manusia tergantung pada banyak faktor, diantaranya interaksi antara
komponen utama dari makanan.
Perlu dilanjutkan penelitian epidemiologi tentang pola penyakit
berkaitan dengan komponen antikanker dan pola makan dan
selanjutnya dilakukan penelitian eksperimental untuk mengetahui
sebab akibat. Hasil-hasil penelitian yang diperoleh menjadi informasi
kepada masyarakat luas sehingga dapat digunakan sebagai
pertimbangan untuk memilih makanan oleh konsumen. Masih banyak
lagi komponen antikanker yang belum diidentifikasi dalam makanan.
Maka, penelitian tentang komponen antikanker dalam makanan khas
Indonesia, terutama bahan-bahan yang digunakan sebagai bumbu
masak, baik dari segi komposisi dan sifat antikankernya akan sangat
bermanfaat.

G. Pelatihan
1. Jelaskan dengan singkat tahapan terjadinya kanker!
2. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor yang dapat memicu kanker!
3. Jelaskan mekanisme kerja serat dan oligosakarida sebagai
antikanker!

103
4. Sebutkan minimal tiga phytochemicals yang bersifat antikanker,
sumber makanan dan cara kerjanya!
5. Bagaimana diet dan gaya hidup dapat mencegah terjadinya
kanker?

104
BAB VI
DIET DAN ATEROSKLEROSIS

Bab ini menguraikan terjadinya aterosklerosis, penyakit kronis


yang dapat ditimbulkannya, dan komponen bioaktif di dalam makanan
yang mampu mempengaruhi perkembangan aterosklerosis.

A. Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan salah satu bentuk dari
arteriosklerosis. Arteriosklerosis adalah suatu keadaan yang ditandai
dengan hilangnya elastisitas (pengerasan) dari arteri karena penebalan
dinding pembuluh nadi yang menyebabkan penyakit jantung koroner,
stroke, dan penyakit arteri lainnya. Arteriosklerosis mempunyai korelasi
yang positif (85 %) dengan kematian karena penyakit jantung
(kardiovaskular). Walaupun di negara Barat ada kecenderungan
menurunnya kematian karena penyakit kardiovaskular, tetapi indikasi
peningkatannya terjadi di negara-negara yang sedangberkembang. Hal ini
mungkin disebabkan oleh perubahan pola makan yang terjadi di negara-
negara sedang berkembang.
Penyakit jantung koroner adalah penyakit salah satu penyakit
kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama di dunia. Di
Indonesia, penyakit kardiovaskular menyebabkan kematian tertinggi
yakni 31,9%, yang meliputi stroke (15,4%), hipertensi (6,8%),
penyakit jantung iskemik (5,1%), serta penyakit jantung lainnya
(4,6%).
Aterosklerosis disebabkan oleh penebalan zat-zat lemak di dalam
dan di bawah lapisan intima dinding pembuluh nadi, yang juga terjadi
pada arteri koroner (pembuluh nadi jantung). Athere (bhs. Yunani)
berarti "bubur encer" sedangkan skleros berarti "pengerasan". Jadi,
aterosklerosis adalah penumpukan endapan jaringan lemak
(atheroma)dalam nadi. Pengendapan lemak seperti ini disebut plaque
(plak), terutama terdiri atas kolesterol dan esternya, dan cenderung
terjadi di titik-titik percabangan nadi (bifurcation) sehingga mengganggu
aliran darah di tempat-tempat yang memiliki aliran darah tidak begitu
deras. Zat-zat yang merangsang terbentuknya ateroma atau
aterosklerosis disebut aterogenik.

Nadi-nadi tertentu rentan terhadap plak, termasuk nadi-nadi

105
koroner yang memasok darah ke otot-otot jantung (yang begitu halus
sehingga mudah tersumbat), nadi-nadi yang memasok darah ke otak, dan
nadi-nadi pada kaki. Apabila keadaan ini berlangsung sesuai usia akan
terjadi penyempitan lumen pembuluh darah sehingga membatasi aliran
darah, merangsang terbentuknya bekuan darah, dan kemudian aliran
darah terganggu. Jika keadaan ini terjadi di jantung atau otak maka akan
terjadi serangan jantung atau stroke yang dapat berakibat fatal.
Sejumlah karakteristik pribadi, sosial, dan perilaku dapat
meningkatkan resiko aterosklerosis dan penyakit jantung koroner.
Karakteristik-karakteristik ini disebut faktor-faktor resiko, yang dapat
dibagi atas (1) faktor resiko besar (major risk factor),yakni usia, jenis
kelamin, tekanan darah tinggi, kadar kolesterol yang tinggi dalam
darah, dan merokok; (2) faktor resiko kecil (minor risk factor),yaitu
diet, obesitas, kurang olahraga, dan diabetes. Bab ini bertujuan untuk
meninjau dan menyampaikan informasi tentang peran diet untuk
mencegah aterosklerosis dan penyakit jantung koroner (PJK).

B. Lipida dan Aterosklerosis


Dari hasil penelitian telah diketahui kaitan yang erat antara
komponen dalam makanan, yakni kolesterol, lemak, asam lemak,
karbohidrat, dan protein dengan aterosklerosis dan PJK. Komponen lipida,
terutama kolesterol dan trigliserida, mendapat perhatian yang paling
banyak.
Kolesterol adalah lipida struktural (pembentuk struktur sel) yang
tidak diperlukan di dalam diet karena banyak disintesis di dalam tubuh.
Lipida ini merupakan komponen yang dibutuhkan dalam kebanyakan sel
tubuh. Kolesterol digunakan oleh banyak organisme sebagai unsur
struktural dalam membran dan sebagai bahan baku untuk mensintesis
garam empedu dan hormon-hormon steroida seperti aldosteron, estrogen,
testosteron, dan vitamin D. Karena ada kaitan yang erat antara kolesterol
darah dengan aterosklerosis dan PJK, ada anggapan bahwa kolesterol
adalah zat yang harus dihindari atau berbahaya. Padahal, tanpa kolesterol
manusia akan mati.
Tumbuhan tidak mengandung kolesterol, tetapi mensintesis
senyawa yang mirip kolesterol, seperti sitosterol, ergosterol, dan digitalis.
Sejumlah kecil kolesterol diperoleh dari makanan. Kolesterol dalam
diet diserap dengan baik (60-80%), tetapi sterol nabati hanya sedikit

106
diserap (< 5 %).
Kadar kolesterol dalam darah tidak banyak dipengaruhi oleh
perubahan jumlah kolesterol dalam diet. Pada keadaan normal, kadar
kolesterol dalam darah sekitar 200 mg per 100 ml. Diet dengan kadar
kolesterol yang lebih rendah dari normal tidak akan mempengaruhi jumlah
kolesterol dalam darah, mengingat tubuh dapat mesintesis kolesterol.
Bahkan, tidak adanya kolesterol dalam makanan akan merangsang
biosintesis di dalam tubuh. Sebaliknya, jumlah kolesterol yang tinggi
dalam makanan mungkin tidak akan meningkatkan absorpsinya (jumlah
maksimum dapat diserap adalah 1 g/hari). Tambahan lagi, kandungan
kolesterol yang tinggi dalam diet akan menghambat aktivitas enzim
hydroxymethylglutaryl CoA reductase (HMG-CoA reductase)untuk
mesintesis kolesterol dalam hati dan usus.
Lemak adalah trigliserida, yakni ester tiga asam lemak (asam
monokarboksilat rantai lurus yang mengandung atom karbon genap mulai
dari C-4, tetapi yang terbanyak adalah C-16 dan C-18) dengan gliserol
(triasilgliserol). Asam lemak yang terdapat dalam lemak dibedakan atas
asam lemak rantai pendek (short chain fatty acids; SCFA), rantai sedang
(medium chain fatty acids; MCFA), dan rantai panjang (LCFA). Asam lemak
juga dibedakan atas asam lemak jenuh (saturated fatty acid; SFA), asam
lemak tidakjenuh tunggal (monounsaturated fatty acid; MUFA), dan asam
lemak tak jenuh ganda (poly unsaturated fatty acid; PUFA).
Berdasarkan kandungan asam lemaknya maka lemak juga
dibedakan atas lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Berdasarkan panjang
rantai penyusun lemak, lemak dibedakan atas lemak rantai sedang
(medium chain triglyceride;MCT) dan kandungan asam lemaknya
didominasi asam lemak rantai panjang disebut lemak rantai panjang (long
chain triglyceride; LCT).Komposisi asam lemak suatu lemak dan
distribusi/posisi asam lemak di dalam molekul triasilgliserol (posisi sn-1, 2,
dan 3) akan menentukan sifat fisika, kimia, biokimia dan nilai gizi dari suatu
lemak. Jumlah dan sifat lemak yang terdapat dalam diet akan
mempengaruhi kadar kolesterol dalam darah.
Lemak jenuh cenderung merangsang hati untuk memproduksi kolesterol
sehingga kadarnya di dalam darah meningkat. Akibatnya, darah cenderung
menggumpal. Diet yang banyak mengandung lemak jenuh akan
meningkatkan produksi kolesterol tersebut, yang kelebihannya akan
disimpan pada dinding nadi dalam bentuk ateroma. Sebaliknya, lemak tidak
jenuh ganda cenderung menurunkan kadar kolesterol dalam darah, bahkan

107
mengurangi tingkat kelengketan keping-keping darah. Sementara, lemak tidak
jenuh tunggal tidak meningkatkan kolesterol, namun juga tidak
mengurangi kolesterol yang sudah ada dalam tubuh. Jadi, meningkatkan
konsumsi PUFA dan mengurangi asam lemak jenuh dalam diet akan
menurunkan resiko aterosklerosis dan PJK.
Lipida seperti kolesterol tidak larut dalam air sehingga sulit diangkut
oleh darah (media berair). Oleh karena itu, lipida diangkut dalam bentuk
kompleks dengan protein yang larut atau dapat berinteraksi dengan media
berair. Kompleks ini disebut lipoprotein. Lipoprotein berbentuk bola, terdiri
atas kompleks molekul-molekul lipida dan molekul-molekul protein
(apolipoprotein = komponen protein dari lipoprotein).
Lipoprotein dibentuk dalam dua organ, yaitu usus halus dan hati.
Senyawa ini biasanya dibedakan menjadi empat golongan berdasarkan berat
jenisnya, yaitu chylomicron (dibentuk di usus), Very Low Density Lipoprotein
(VLDL; terutama dibentuk di hati); Low Density Lipoprotein (LDL), dan
HighDensity Lipoprotein (HDL; dibentuk di hati). Berat jenis keempat
jenis lipoprotein tersebut berturut-turut < 0,94; 0,94-1,006; 1,006-1,063;
dan 1,063-1,21. Berat jenis lipoprotein ditentukan oleh kandungan relatif
protein dan lipida. Chylomicron mengandung lipida sampai 97 %, VLDL
mengandung 90 % lipida, LDL mengandung 80 % lipida, dan HDL hanya
mengandung 50 % lipida (lihat Tabel 4).

Tabel 4. Komposisi (%) dan berat jenis dari Lipoprotein


Berat Jenis
Komponen Lemak Protein Pospolipida Kolesterol
(g/ml)
Kilomikro 80-90 1-2 3-6 2-7 <0,94
n
VLDL 55-65 5-10 15-20 10-15 0,94-1,006
LDL 10 25 22 45 1,006-
1,063
HDL 5 45-50 30 20 1,063=1,21

(Sumber: Wardlaw & Hampl, 2007)

Kilomikron berfungsi untuk mengangkut lipida dari usus halus


melalui sistim limpa ke hati. VLDL mengangkut lipida dari hati ke jaringan,
LDL mengangkut kolesterol dari hati ke sel jaringan dan HDL mengangkut
kolesterol dari sel ke hati (lihat Gambar 11).

108
Gambar 11. Transportasi lipida di dalam tubuh

Ada dua lipoprotein yang penting dalam distribusi kolesterol, yakni


HDL yang mengandung 20 % kolesterol dan LDL yang mengandung
kolesterol sekitar 45 % b/b. HDL mengangkut kolesterol ke hati untuk
dimetabolisme dan juga ke LDL. Selanjutnya, LDL membawa kolesterol
ke sel-sel yang memiliki molekul reseptor untuk LDL, dan dengan bantuan
reseptor ini LDL dapat memasuki sel untuk dimanfaatkan oleh sel tersebut.
Dalam keadaan reseptor LDL tidak mencukupi (karena faktor
keturunan) atau kurang berfungsi, akan terjadi peningkatan kadar kolesterol
dalam darah yang dapat menimbulkan aterosklerosis. Maka, kadar LDL
yang tinggi berarti kadar kolesterol dalam darah tinggi karena LDL tidak
dapat masuk ke dalam sel untuk dimetabolisme. Dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kadar LDL dan penurunan kadar HDL dalam darah
merupakan gejala-gejala gangguan transportasi kolesterol, yang berarti
meningkatkan aterosklerosis dan PJK. Sebaliknya, LDL yang rendah dan
HDL yang tinggi akan mencegah aterosklerosis dan PJK.

109
Pada keadaan normal, jumlah kolesterol yang terikat dalam LDL 2-3
kali lipat kolesterol yang terikat dalam bentuk HDL. Maka, kadar LDL
dalam darah menjadi fokus perhatian dan merupakan indikator yang lebih
baik bagi resiko PJK dibandingkan dengan kadar total kolesterol dalam
darah. Kadar normal lipoprotein di dalam darah adalah; LDL sekitar 120
mg; HDL sekitar 40 mg, total kolesterol sekitar 200 mg; trigliserida sekitar
150 mg masing-masing di dalam 100 ml darah. Penyimpangan kadar
lipoprotein dari yang normal disebut kondisi dislipidemia akan
meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular terutama HDL dan LDL.
Jika total kolesterol berada diatas 240 mg/100ml disertai dengan LDL
diatas 160 adalah indikasi beresiko tinggi. Apabila LDL mencapai 160 mg
dan sebaliknya HDL menurun dibawah 40 mg/100 ml, keadaan menjadi
faktor resiko.Sehingga indikator yang lebih akurat adalah rasio antara LDL
dan HDL. Jika LDL/HDL diatas 4 adalah merupakan indikasi resiko PJK,
dan makin tinggirasio LDL/HDL maka resiko makin besar.Wanita
memiliki HDL yang lebih tinggi daripada pria. Kadar diatas 60 mg/100 ml
bersifat protektif.
Obesitas, terutama timbunan lemak disekitar pinggang berisiko
karena meningkatkan LDL kolesterol dengan bertambhanya usia. Obesitas
menyebabkan resistensi insulin pada banyak oranglam tubuh mengarah
pada diabetes. Obesitas juga menimbulkan inflammasi di dalam tubuh dan
mengurangi produksi hormon adiponektinoleh sel adiposa sehingga akan
menambah resiko serangan jantung. Olahraga yang teratur memperbaiki
aktivitas insulin dan mencegah dan mengontrol gula darah diabetes.
Merokok sangat berisiko dengan cara meningkatkan ekspressi gen
seseorang yang berkaitan dengan resiko penyakit kardiovaskular dan
bahkan meningkat walaupun rendah kadar kolesterol. Wanita yang
merokok mengurangi kelebihan wanita dibanding pria terhadap resiko,
apalagi dikombinasi dengan kontraseptik oral. Merokok menyebabkan
kematian sebanyak 20% dari penderita penyakit kardiovaskular. Diabetes
juga mengurangi kelebihan wanita dibanding pria. Insulin menaikkan
sintesa kolesterol di dalam hati sehingga LDL meningkat di dalam darah.
Faktor resiko bukan berarti penyebab penyakit, tetapi makin banyak
faktor resiko pada seseorang, makin besar kemungkinan terjadinya
penyakit kardiovaskular. Misalnya, orang yang mengalami sindroma
metabolik akan menjadi obesitas abdominal, trigliserid yang tinggi, rendah
HDL, hipertensi dan resistensi insulin, meningkat pembekuan darah.
Keadaan seperti meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular secara

110
signifikan.
Usaha untuk mencegah ataupun terapi aterosklerosis dan PJK
terutama didasarkan pada penurunan kadar LDL dan peningkatan kadar
HDL dalam darah. Penurunan LDL diharapkan akan mengurangi
pengikatan (uptake)kolesterol oleh sel-sel pada goresan lemak, dan
peningkatan HDL merupakan indikasi laju pengambilan/pembuangan
kolesterol yang berlebih dari dinding arteri. Maka, LDL disebut
kolesterol jahat dan HDL disebut kolesterol baik. Walaupun pencegahan
dapat dilakukan secara efektif dengan pengobatan, namun cara yang baik
adalah dengan mengubah komposisi makanan dalam diet.
Jumlah dan komposisi lemak yang dianjurkan di dalam diet untuk
mengurangi resiko penyakit jantung koroner adalah sebagai berikut; (a)
asupan lemak tidak melebihi 30% dari total kalori (b) asam lemak jenuh
tidak lebih dari 10%, (c) asam lemak essensial (asam linoleat dan
linolenat) tidak lebih dari 10%, (d) asam lemak takjenuh tunggal 10 %,
(e) asm lemak trans tidak lebih dari 1% dari total kalori setiap hari.

C. Aterogenik dan Antiaterogenik dalam Makanan

1. Lemak Pangan
Lemak merupakan salah satu komponen lipida. Pada umumnya,
konsumsi lemak di negara-negara barat sekitar 40 % dari kebutuhan total
energi. Angka ini berada di atas jumlah yang dianjurkan, yaitu 30 %.
Separuh dari energi lemak terdapat sebagai asam lemak jenuh (SFA),
seperempatnya dalam bentuk asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA),
dan seperempatnya lagi dalam bentuk asam lemak tak jenuh ganda
(PUFA).
Pengurangan konsumsi total lemak dari 40 % pasokan energi
menjadi 30 % dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Akan tetapi,
penggantian lemak jenuh, lemak bentuk trans, dengan lemak tak jenuh
tunggal dan ganda lebih efektif untuk mencegah PJK daripada
mengurangi asupan total lemak. Diet dengan kandungan lemak jenuh
rantai panjang yang tinggi akan meningkatkan kolesterol darah. Kandungan
asam lemak jenuh rantai panjang (>C:14:0) cenderung menaikkan LDL
tetapi asam lemak rantai sedang (<C:14:0) di dalam minyak kelapa
menaikkan HDL (kolesterol baik).
Pada tahun 1950-an minyak kelapa dianggap bermasalah karena
termasuk lemak jenuh akan memicu aterosklerosis (bersifat aterogenik)

111
yang menyebabkan penyakit jantung koroner (PJK). Akan tetapi
kemudian diketahui bahwa minyak kelapa bukan saja tidak memicu
penyakit kardiovaskular, sebaliknya ternyata minyak kelapa justru
mengurangi resiko dan mencegah penyakit kardiovaskular, serta
berpotensi mencegah berbagai penyakit seperti kanker, diabetes, AIDS,
infeksi, obesitas dll. Minyak kelapa berbeda dengan lemak pada
umumnya; minyak kelapa termasuk lemak rantai sedang (medium chain
triglyceride;MCT) sedangkan lemak lainnya adalah lemak rantai panjang
(long chain triglyceride LCT) sehingga metabolismenya berbeda.
Mekanisme kerja ini dijelaskan dalam bab MCT.
Asam palmitat (16:0) merupakan komponen utama asam lemak
jenuh dalam makanan. Asam lemak dalam lemak sapi dan babi
mengandung sekitar 25 % asam palmitat, tetapi dalam minyak nabati hanya
6-10 %. Asam palmitat akan menaikkan kadar kolesterol LDL.Asam
lemak miristat (14:0) juga dapat meningkatkan kadar kolesterol LDL,
tetapi asam lemak ini merupakan komponen minor dalam makanan. Asam
lemak ini banyak terdapat dalam minyak inti sawit dan minyak kelapa.
Asam stearat (18:0) juga merupakan komponen utama dari
banyak lemak. Lemak babi dan sapi mengandung 15-20 % asam stearat,
tetapi dalam minyak nabati hanya sedikit (4-5 %). Asam stearat tidak
akan menaikkan kadar kolesterol LDL karena asam lemak ini cepat
diubah menjadi asam lemak tak jenuh tunggal asam oleat (18:1).Hanya
sedikit asam palmitat dalam tubuh diubah menjadi asam palmitoleat
(16:1). Walaupun asam lemak ini juga dapat diubah menjadi asam oleat,
tetapi perubahan tersebut jauh lebih lambat. Oleh karena itu, asam
palmitat mempunyai efek menaikkan kolesterol LDL.
Biasanya, lemak hewani lebih banyak mengandung asam lemak
jenuh rantai panjang kecuali minyak ikan, dan lemak hewani
mengandung kolesterol. Sedangkan minyak nabati mengandung banyak
asam lemak tak jenuh, kecuali minyak kelapa (lemak yang paling jenuh)
dan tidak mengandung kolesterol. Walaupun kandungan kolesterol dalam
diet tidak banyak berpengaruh terhadap kolesterol dalam darah, tetapi
harus diingat bahwa ada individu yang peka terhadap kolesterol.
Asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) menurunkan kadar kolesterol-
LDL. PUFA, misalnya asam oleat (18:2:9,12; omega-6), banyak terdapat
dalam minyak nabati seperti minyak kacang tanah (25 %), minyak kacang
kedelai (56 %), dan minyak biji bunga matahari (63 %). Sementara,
kadarnya dalam lemak sapi dan babi hanya 5-10 %, dan dalam minyak

112
tropis hanya 3 %.
Peranan asam lemak tak jenuh ganda tiga atau lebih
(polyunsaturated) terhadap kesehatan, termasuk peranannya dalam
pencegahan PJK, akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian dari
peneliti. Asam lemak yang tergolong dalam kelompok ini disebut
omega-3 (PUFA-n-3). Contoh asam lemak omega-3 ialah asam lemak
linolenat (18:3), asam lemak eikosapentaenoat (eicosapentaenoic acid;
EPA) (20:5-n-3), dan asam lemak dokosaheksaenoat (docosahexaenoic
acid; DHA) (22:6-n-3) yang relatif banyak ditemukan dalam minyak
ikan, terutama EPA dan DHA.
EPA (20:5-n-3) dan asam lemak arakhidonat (20:4-n-6)
(arachidonic acid; AA) dimetabolisme menjadi eikosanoida yang meliputi
prostanoida (prostaglandin dan prostacilin) dan leukotrien. Eikosanoida
dari EPA adalah prostanoida dari seri-3 dan leukotrien seri-5 yang bersifat
menurunkan viskositas darah (antitrombotik), sedangkan yang diturunkan
dari AA adalah prostanoida seri-2 dan leukotrien seri-4 yang bersifat
trombotik (menaikkan viskositas darah).
Hasil metabolit EPA dan AA mempunyai sifat fisiologis yang
berlawanan. EPA yang dikonsumsi (dari minyak ikan) akan menggantikan
posisi AA dari membran semua sel, dan akan menyebabkan keadaan
fisiologis yang cenderung menghasilkan eikosanoida yang memiliki sifat-
sifat antitrombotik, antikemotaktik, antivasokontriktif, dan antiinflamasi.
Eikosanoida dari AA memiliki sifat yang sebaliknya. Berdasarkan sifat
ini, resiko aterosklerosis dan PJK dapat dicegah oleh omega-3.
Rendahnya kematian karena PJK pada orang-orang Eskimo
ternyata karena konsumsi ikan dalam makanan sehari-hari mereka
sehingga pasokan EPA dan DHA relatif tinggi. Kedua asam ini diduga
memiliki efek sinergisme dalam pencegahan PJK. DHA menghambat
aritmia, sedangkan EPA aktif sebagai antitrombotik, antiagregasi,
hipotensif, dan antiatorema.
Lembaga Kesehatan dan Gizi di Inggris dan Kanada menganjurkan
konsumsi sekitar 1-2 g EPA dan DHA per hari. Kadar EPA dan DHA
dalam ikan berkisar antara 1-3 %. Charnock (1999) melaporkan bahwa
konsumsi 5,5 g PUFA omega-3 (DHA dan EPA) per minggu
menurunkan 50 % resiko gagal jantung (cardiac arrest),dan bahkan
konsumsi ikan paling tidak sekali dalam seminggu dapat mengurangi
angka kematian mendadak akibat penyakit jantung. EPA dan DHA
juga merupakan asam lemak esensial pada masa pertumbuhan janin dan

113
balita, terutama untuk perkembangan jaringan otak dan penglihatan.
2. Protein Pangan
Pengaruh protein terhadap kadar kolesterol darah masih belum
diketahui secara jelas. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa
protein hewani dapat meningkatkan kolesterol darah, sedangkan protein
nabati, terutama protein kedelai, akan menurunkan kolesterol darah.
Namun, penelitian yang lain ternyata tidak mendukung hal tersebut.
Aktivitas protein kedelai yang sebelumnya dilaporkan dapat menurunkan
kadar kolesterol ternyata bertentangan dengan hasil suatu penelitian di
Rumah Sakit Wake Forest University Baptist Medical Center, North
Carolina, pada tahun 1998. Penelitian yang terakhir ini menunjukkan
bahwa yang berperan menurunkan kadar kolesterol darah bukanlah
protein, melainkan isoflavon yang terkandung di dalam makanan protein
kedelai tersebut. Konsumsi protein yang tinggi tidak akan meningkatkan
resiko PJK. Bahkan, penggantian sebagian karbohidrat dengan protein
akan menurunkan resiko PJK pada wanita.

3. Serat Pangan
Kecuali lignin, semua serat pangan adalah polisakarida yang bukan
pati. Serat pangan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu serat pangan yang
larut (soluble fiber)dan serat pangan yang tidak larut (insoluble fiber).Serat
yang larut adalah serat yang terfermentasikan (fermentable) oleh
mikroflora dalam usus besar (kolon) dan berperan dalam metabolisme
karbohidrat dan lipida, sedangkan serat yang tidak larut berperan
membentuk kepadatan feses dan memperlambat pengeluarannya
(transit time).
Ukuran partikel, kemampuan mengikat air, viskositas, sifat
penukar kation (cation exchange capability),dan potensi pengikatan
spesifik untuk setiap serat. Sifat-sifat tersebut ditentukan oleh
strukturnya. Misalnya, selulosa merupakan rantai polisakarida yang terikat
kuat satu dengan yang lain dan tidak larut dalam air. Sebaliknya, pektin
membentuk larutan kental dalam air dan memiliki kemampuan yang
tinggi untuk mengikat ion.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa serat yang larut dapat
menurunkan kadar kolesterol darah, sedangkan serat yang tidak larut
hanya sedikit berpengaruh. Hal ini diduga karena serat yang larut
mengikat asam dan garam empedu sehingga reabsorpsinya dapat

114
dicegah. Dengan demikian, garam empedu dibuang dari sirkulasi usus-
hati (entero-hepatic circulation) dan hanya sedikit yang tersedia untuk
absorpsi lipida di usus.
Produk fermentasi serat pangan oleh mikroflora di dalam kolon
(Bifidobacteria),yang juga disebut probiotik, mungkin juga berpengaruh
terhadap metabolisme lipida. Asam rantai pendek (SCFA) hasil
fermentasi serat oleh bakteri dalam usus besar cepat diabsorpsi melalui
vena (hepatic portal vein).Asam propionat, salah satu dari SCFA hasil
fermentasi tersebut, memiliki kemampuan menghambat sintesis
kolesterol dalam hati. Serat dapat menurunkan LDL-kolesterol dan
meningkatkan HDL-kolesterol. Namun demikian, mekanisme serat dalam
mempengaruhi kolesterol darah masih memerlukan penelitian lebih
mendalam.

4. Flavonoida
Flavonoida adalah sekelompok senyawa polifenol dengan berat
molekul yang rendah yang terdistribusi luas dalam tanaman. Konsumsi
flavonoida dalam makanan berkisar antara 50-80 mg/hari. Flavonoida
pangan di dalam diet berupa senyawa quercetin, kaempferol, myricetin,
luteolin, morin, rutin, asam tanat, asam ellagat, dan apigenin. Teh,
bawang, dan apel merupakan sumber flavonoida utama. Anggur merah
juga kaya akan flavanoida (± 23 mg/l) sehingga insiden PJK di antara
orang Francis, yang banyak minum anggur merah, relatif rendah.
Peranan flavonoida dalam pencegahan PJK berdasarkan efek
proses biologis yang meliputi proses inhibisi peroksidasi lipida dan
agregasi platelet. Flavonoida diyakini menurunkan aterosklerosis
dengan menghambat oksidasi LDL, mungkin dengan cara menghambat
pembentukan radikal bebas dan melindungi α-tokoferol dalam LDL dari
oksidasi.
Sama seperti vitamin C, polifenol berperan untuk mereduksi
(regenerasi) bentuk radikal nya menjadi vitamin E yang aktif. Hal ini
sangat penting dalam oksidasi LDL, karena vitainE adalah garis depan
untuk melindungi lipida terhadap oksidasi. Jika vitaminE habis, maka
LDL tidak terlindungi jika vitamin E tidak di regenerasi oleh
polifenol. Jadi polifenol dapat melindungi vitamin E dengan cara
menggantikan peran fungsi vitamin E dalam oksidasi lipida.

115
5. Fitosterol
Sterol utama dalam pangan hewani adalah kolesterol, yang jika
banyak dikonsumsi dapat menaikkan kolesterol darah. Sebaliknya,
sterol nabati (fitosterol) hanya sedikit diabsorpsi (5 %) dan akan
menurunkan kadar kolesterol darah. Konsumsi fitosterol per hari adalah
150-140 mg. Fitosterol utama dalam diet adalah β-sitosterol,
kampesterol, dan stigmasterol.Fitosterol menghambat absorpsi kolesterol
dari usus, meningkatkan ekskresi garam-garam empedu, atau
menghindarkan esterifikasi kolesterol dalam mukosa intestinal.
Fitosterol juga dapat menghambat sintesis kolesterol dengan
memodifikasi aktivitas enzim hepatic acetyl-CoA carboxylase dan
cholesterol 7- hydroxylase.
Salah satu turunan sitosterol yang jenuh, sitostanol, sangat efektif
untuk menurunkan kadar LDL-kolesterol dan lipida. Karena
efektivitasnya sama dengan obat penurun kolesterol maka sitostanol
(suatu fitosterol yang tidak diabsorbsi) dianjurkan sebagai drug of
choice dalam pengobatan pada masa kanak-kanak, tetapi pada orang
dewasa tidak seefektif pada kanak-kanak. Dari hasil penelitian yang
dilakukan ternyata bahwa fitosterol-ester dari kedelai (sitosterol,
kampesterol, dan stigmasterol) efektif untuk menurunkan kolesterol.
Memasukkan senyawa-senyawa tersebut dalam mentega merupakan
cara yang baik untuk mencegah PJK diantara masyarakat luas.

6. Antioksidan
LDL adalah suatu fraksi kolesterol yang mengandung PUFA dalam
jumlah besar di dalam lapisan fosfolipida sehingga peka terhadap
peroksidasi radikal bebas. Oksidasi LDL menyebabkan hilangnya PUFA
dan meningkatnya produk toksis seperti PUFA hidroperoksida
(PUFA:OOH), aldehid, dan lysolecithin. Oksidasi seperti ini akan
mengubah sifat fisikokimia LDL menjadi lebih aterogenik.
Konsekuensi dari perubahan oksidatif ini meliputi (1) LDL yang
teroksidasi akan lebih dikenal dan lebih mudah ditangkap oleh reseptor
fagosit, (2) peningkatan respons kemotaktik dengan monosit/fagosit yang
lain menjurus ke penimbunan fagosit pada lokasi spesifik, (3)
menambah kecenderungan agregasi platelet, dan (4) meningkatkan
pelepasan molekul adhesif oleh sel-sel endotelium. Oleh karena itu,

116
selama proses aterogenesis, PUFA:OH dapat menyebabkan luka awal
pada dinding arteri yang kemudian akan menjadi tempat pembentukan
plak. Pengikatan LDL teroksidasi oleh monosit yang terikat pada luka
awal akan mengikat monosit lebih banyak lagi.
Pada transformasi monosit menjadi fagosit, LDL yang
teroksidasi akan memperlambat mobilitas fagosit dan menurunkan
kemampuan untuk migrasi dari dinding arteri, dan keadaan ini akan
mempercepat terjadinya ateroma hingga akhirnya akan terbentuk plak.
Pertambahan konsentrasi PUFA : OH juga dapat meningkatkan
agregasi platelet sehingga akan mengarah ke pembentukan trombus.

Gambar 11. Perjalanan Lemak dengan oksidasi LDL


R• = Radikal bebas; ox-LDL = kolesterol LDL yang
dioksidasi

Dengan menghambat mekanisme terjadinya proses oksidasi LDL


maka proses pembentukan ateroma dapat dihalangi. Antioksidan yang
terdapat dalam diet dapat mengurangi resiko aterosklerosis dan PJK.
Beberapa antioksidan esensial terdapat dalam diet, yaitu (1) vitamin E,
antioksidan utama yang larut dalam lemak, yang menghalangi
pembentukan lipida peroksida dari PUFA oleh radikal bebas; (2) β-

117
karoten dan karotenoida lainnya yang memiliki fungsi yang sama,
terutama dalam jaringan yang memiliki tekanan oksigen rendah; dan (3)
vitamin C, yang akan menangkap radikal bebas di dalam media air dan juga
dapat mengembalikan (regenerasi) vitamin E dari bentuk radikalnya
(radikal β-tokoferoksil) sehingga vitamin E terlindungi. Di samping
sebagai antioksidan, vitamin C juga dapat menaikkan kadar HDL dan
menurunkan LDL, serta menurunkan faktor koagulasi darah.

D. Rangkuman
Peranan diet dalam pencegahan aterosklerosis dan penyakit
jantung koroner sangat besar. Pencegahan dapat dicapai dengan
Perubahan komposisi diet, yakni (1) pengurangan konsumsi lemak sampai
30 % dari kebutuhan energi total, (2) penggantian lemak Jenuh dengan
sebagian lemak tak jenuh yang lebih efektif daripada mengurangi total
lemak, (3) mengonsumsi lemak yang mengandung asam lemak PUFA-
omega-3 yang banyak terdapat dalani ikan, dan (4) mengonsumsi buah-
buahan dan sayur-sayuran yang merupakan sumber fitosterol, serat
pangan, dan antioksidan alami seperti vitamin C, vitamin E, β-karoten, dan
flavonoida. Perubahan diet ini pada umumnya berperan melalui berbagai
mekanisme, yakni menurunkan kadar kolesterol total dan LDL-
kolesterol, menaikkan kadar HDL-kolesterol, melindung LDL dari
oksidasi, menghalangi reabsorpsi garam empedu, menurunkan sifat
trombotik darah, dan melalui efek vasodilatasi arteri.

E. Pelatihan
1. Sebutkanlah definisi lipida, dan jelaskan perbedaannya dengan
lemak!
2. Apa fungsi kolesterol di dalam tubuh, dan dari mana saja sumber
kolesterol tersebut?
3. Jelaskan proses terjadinya aterosklerosis!
4. Sebutkan empat lipoprotein dan jelaskan fungsinya masing-masing!
5. Sebutkan beberapa zat dalam makanan yang dapat menurunkan
kolesterol dan mekanisme kerja masing-masing zat!

118
BAB VII
PROBIOTIK DAN PREBIOTIK DALAM MAKANAN

Manfaat dari mikroba di dalam makanan, terutama bakteri asam


laktat telah diketahui sejak ribuan tahun. Misalnya, pada tahun 76 SM,
sejarawan Roma Plinius menganjurkan minum susu hasil fermentasi
untuk mengobati infeksi saluran pencernaan. Pada awal 1900-an, Elie
Metchnikoff, seorang ahli zoologi Rusia, telah mencatat manfaat dari
bakteri yang bersahabat atau probiotik. Dia pemenang hadiah Nobel
untuk publikasi artikel dengan judul” The Prolongetion of Life” yang
berisi hipotesis bahwa kehidupan dan kesehatan serta panjang umur
dari petani bangsa Bulgaria adalah karena memakan susu
terfermentasi terutama Yogurt. [ Brannon, 2009]. Pengertian probiotik
dan prebiotik dalam makanan dan peranannya untuk meningkatkan
kesehatan akan dibicarakan dalam bab ini.

A. Uraian Umum
Saluran pencernaan manusia adalah tempat bermukim untuk
berbagai jenis mikroorganisme terutama bakteri. Luas permukaan total
mukosa saluran cerna orang dewasa mencapai 300 m 2, sehinga
merupakan daerah yang paling luas dari tubuh manusia yang
brinterraksi dengan lingkungan. Luas permukaan yang besar ini
memiliki kapsitas yang besar dan efektif untuk penyerapan, dan
pertahanan untuk menghindari infeksi, racun dan zat alergis dari
bagian internal tubuh [Bielecka, 2007]. Kolon merupakan tempat yang
paling banyak mengandung bakteri. Kolon meerupakan lingkungan
yang anerobik sehingga bakteri yang hidup adalah bersifat anaerobik
yang teridri dari lebih dari 500 spesies. Sistim yang komplek ini
dimungkinkan oleh zat gizi yang sampai di kolon yang berasal dari
usus halus dan kolon merupkan organ yang sangat aktif secara
metabolik; dan dipercaya bahwa kolon adalah organ yang paling aktif
secara metabolik. Maka tidak mengherankan bahwa mikrobiota kolon
mempengaruhi kesehatan manusia. Status dari mikrobiota kolon
berpengaruh penting terhadap baik gangguan kesehatan akut dan
kronis. Kebanyakn bakteri yang hidup di sistim perncernaan dan kolon
adalah bakteri laktobasillus dan bifidobakteri, menghasilkan zat-zat
antimikroba yang akan membuat kolon menjadi temmpat yang tidak

119
nyaman untuk bakteri patogen sehingga menhindari infekasi.
Keadaan ini dsertai dengan kompetisi akan zat gizi dan sel-sel tempat
reseptor dengan bakteri patogen, akan memjadi rintangan terjadinya
infeksi akut. Beberapa bakteri normal pencernaan adalah clostridium
dificile dapat menyeabakan effek patologis, tetapi biasanya jumlahnya
sedikit sehingga tidak masalah. Jika keseimbangan ekosistim
mikroflora normal terganggu misalnya pemakaian antibiotik yang
lama maka clostridium dificile akan berkembang dan menyebabkan
diarre (antibiotic-associated diarrhe, AAD).
Aktivitas fermentatif dari mikroflora saluran cerna
memungkinkan pemanfaatan dari substrat yang tidak tercerna oleh
enzim-enzim pencerna di dalam lambung dan usus halus. Pelepasan
zat gizi di dalam usus besar(kolon) berperan mempertahnakan
integritas saluran cerna dan penyerapan beberapa zat gizi seperti
vitamin B dan K. Fermentasi dari karbohidrta yang tak tercerna
melepaskan aa lemak pendek yang bermanfaat untuk proliferasi
epitelium dan bersifat antibakteri terhadap bakteri patogen.
Diperkirakan ada 500 sampai 1000 spesies bakteri hidup pada
tubuh manusia. Sel-sel bakteri jauh lebih kecil dari sel manusia, dan
paling tidak ada 10 x lipat jumlah bakteri dari jumlah sel manusia,
sekitar 1014 bakteri dibandingkan dengan 1013 jumlah sel manusia.
Walaupun sel bakteri atau mikroflora normal ada di seluruh tubuh
manusia tetapi yang paling banyak terdapat di dalam kolon. Istilah
mikroflora atau mikrobiota usus halus merujuk pada ekosistem
mikrobia yang hidup di dalam saluran pencernaan. Sekitar 95 % dari
bakteri yang diisolasi dari feses manusia tidak akan tumbuh dengan
adanya oksigen. Sekitar 60 % feses kering adalah bakteri. Maka, feses
adalah bahan yang ideal untuk diuji tentang flora usus. Pada lambung
hanya sedikit bakteri (103-105/gram atau ml) karena suasana asam atau
pH rendah, dan karena aliran yang cepat di daerah ini. Bakteri
Laktobasillus dan Streptokokkus yang tahan asam dominan di daerah
bagian atas usus halus. Usus besar (kolon) adalah lokasi utama
kolonisasi bakteri (1010-1011) potensial redoks yang rendah, asam
lemak rantai pendek yang tinggi, karena perobahan/proses yang
lambat di lokasi ini. Proses perkembangan bakteri di dalam kolon
kompleks yang meliputi suksesi bakteri dan interaksi mikroba dengan
host yang berujung pada akumulasi bakteri di lokasi tertentu di dalam
kolon.

120
Bayi memperoleh bakteri laktobasillus dan bifidobakteri yang
ada di vagina pada saat proses kelahiran. Escherichia coli berasal dari
kontaminasi feses ibu yang sedang melahirkan secara normal dan
kemudian juga pada bayi. Bakteri yang berasal dari serviks dan vagina
masuk ke dalam saluran pencernaan bayi. Pada kelahiran sesar bayi
mendapatkan bakteri langsung dari atmosfer dan alat-alat bedah yang
digunakan. Selanjutnya jenis dan jumlah bakteri akan dipengaruhi
pengasuhan bayi dan dari keluarga. Sesudah terekpose dengan air susu
ibu (ASI), saluran pencernaan akan mengalami proses yang terus
menerus menerima mikroba yang baru. Staphylococci, streptokokkus,
laktobasillus, mikrokokkus dan bifidobakteri berasal dari puting
payudara ibu, kulit sekitar payudara, dan saluran air susu. Pada bayi
yang diberi ASI akan didominasi oleh bifidobakteri. Pada bayi yang
diberi susu formula, bakteri berasal dari susu kering, alat-alat yang
digunakan, dan tidak didominasi oleh bifidobakteri. Antibiotik sangat
mempengaruhi mikroflora pada bayi. Diet adalah faktor yang sangat
berpengaruh terhadap mikroflora saluran pencernaan seperti
oligosakarida akan mempengaruhi fermentasi pada kolon. ASI
mengandung zat yang bersifat antibakteri yang merangsang
perkembangan dan pematangan mukosa. Komposisi ASI terdiri dari
kompnen yang dapat membantu perkembangan probiotik (lihat Tabel
5)

Tabel 5. Komponen di dalam air susu ibu yang membantu


perkembangan probiotik
Komponen Effek
Oligosakarida Faktor pertumbuhan
N-asetilglukosamin, glukosa, galaktosa, spesifik
glikoprotin
Kandungan protien yang rendah yang Mengurangi kapasitas
membantu pertumbuhan bifido bakteri buffer
Laktoferrin, lipida lain Menghambat mikroba
Molekul Immunoglobulin A dari bakteri, Merangsang
khususnya secretory IgA immunoblobulin
Sumber: Brannon, 2009

Kolonisasi bakteri terjadi sejak awal pada bayi di negara


berkembang karena kontak dengan banyak mikroba, sedangkan di

121
negara majudengan kondisi yang higienis dan sanitasi di rumah sakit
memperlambat perkembangan mikroba intestinal dan bakteri tertentu
tidak ada di dalam usus. Dalam lima sampai enam minggu sejak lahir,
bayi yang diberi ASI memperoleh bifidobabakteri dibandingkan
dengan bayi yang diberi susu formula dan memiliki bakteri yang lebih
kompleks terdiri dari bifidobakteri, bakteri patogen clostridium, dan
streptokokkus. Jumlah bakteri yang tinggi pada bayi yang diberi ASI,
diperkirakan bahwa 95 % adalah bifidobakteri dan hal ini
menunjukkan bahwa ASI memberi manfaat yang penting. ASI juga
mengandung komponen antimikroba dan faktor pertumbuhan yang
akan merangsang perkembangan pematangan dan stabilisasi dari
mukosa intestinal yang akan memperbaiki fungsi usus.
Prebiotics, probiotics, dan sinbiotik telah terbukti bermanfaat di
dalam kolon dengan meningkatkan populasi bifidobateri dan
laktobasillus dan meningkatkan immunoprotein pada manusia.
Faktor ini juga mampu menghalangi kolonisasi oleh bakteri patogen.
Oleh karena itu strategi pre-, pro-, dan sinbiotik telah digunakan jika
mikroflora pencernaan tidak matang, misalnya pada bayi dan orang
lansia, dan juga pada apsien yang mengalami operasi abdominal,
kemoterapi atau antibioterapi.Strategi pre-dan probiotik bermanfaat di
negara yang masyarakatnya prevalensi terhadap infeksi, sedangkan
pada orang sehat manfaaatnya agak samar. Efek profilaksis dapat
terjadi dari bakteri probiotik yang spesifik seperti L. Rhamnossu, dan
L. Fermentum di dalam vagina sehingga dimungkinkan untuk
memeperluas definisi probiotik untuk digunakan diluar saluran cerna.
Ada indikasi bahwa hanya strain tertentu saja yang dapat digolongan
sebagai prebiotik jika terbukti bermanfaat secara in vivo. Hal ini
menunjukkan bahwa sifat-sifat spesifik untuk strain tertentu tidak
berlaku untuk semua probiotik. Saat ini umumnya bakteri yang
swesuai denga definisi sebagai probiotik lihat Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Bakteri Probiotik yang mempunyai efek klinis


Laktobasillus Bifidobakteri
Laktobacillus acidophilus NCFM Bifidobacterium bifidum
Laktobacillus casei immunitass Bifidobacterium breve
DN 114001
Laktobacillus casei Shirota (YIT Bifidobacterium lactis
0918)

122
Laktobacillus gassei Bifidobacterium longum
Laktobacillus johnsonii
Laktobacillus LA-1
Laktobacillus LB
Laktobacillus reuteri
Laktobacillus rhamnosus GG
(ATCC 53103)
Sumber: Rouzaud, 2007

Fungsi dan Kompoisi Mikroflora Intestinal


Apabila terjadi simbiose mikroflora intestinal memiliki
berbagai fungsi penting. Simbiose yakni terjadi hubungan yang
harmonis dan seimbang antara mikroflora intestinal dan host. Fungsi
ini termasuk metabolisme hormon, karsinogen dan xenobiotik, sintesa
vitamin K, B5 (asam pantotenat), B6, dan biotin, sintesa asam lemak
pendek, berkompetisi dengan bakteri patogen dan merangsang sistim
kekebalan. Mikroflora intestinal membantu mempertahankan
integritas dari lapisan mukosa usus halus dan besar dan menjadi
lapisan pelindung terhadap bakteri patogen.
Banyak faktor yang mempengaruhi komposisi dan fungsi dari
mikroflora intestinal dan faktor ini meliputi; umur, status
immunologis/kerentanan terhadap infeksi, status gizi, stress,
kompoisis diet (kandungan karbohidrat yang terfermentasikan di
dalam penernaan, asupan alkohol, interaksi antara komponwen
mikroflora, derjat keasaman (pH) saluran pencernaan, penggunaan
antibiotik. Pola makan merupakan faktor yang paling berpengaruh.
Karbohidrat yang terfermentasikan seperti serat pangan, oligosakarida,
pati yang resisten, dan gula lain yang tidak diserap merupakan
komponen substrat untuk merangsang perkembangan dan aktivitas
probiotik, maka komponen ini disebut sebagai prebiotik. Prebiotik
berperan seperti pupuk, akan meransang pertumbuhan probiotik.
Sebaliknya, pola makan yang kaya akan daging, lemak, gula dan
rendah serat akan merangsang perkembangan bakteri patogen.
Kondisi keasaman kolon dengan pH rendah (cenderung asam)
akan membantu pertumbuhan bakteri probiotik sedangkan bakteri
patogen tidak mampu bertahan hidup. Faktor yang mengubah pH
kolon meningkat seperti asupan daging dan lemak yang banyak,
alkohol, stress, keasaman lambung yang rendah (mempegaruhi

123
keasaman tubuh) dan pemberian obat seperti antibiotik dan obat-obat
KB, akan menyuburkan pertumbuhan bakteri patogen dan
melemahkan probiotik.

Mikroflora Intestinal dan Perkembangan Penyakit


Perlu dicatat bahwa semua mikroba yang hidup di dalam
saluran pencernaan pada kondisi tertentu berpotensi menjadi patogen.
Ada dua faktor yang mempengaruhi patogenisitas dari suatu mikroba.
Pertama, adalah vilurensi yakni kemampuan mikroba bertumbuh
secara berlebihan dan menghasilkan toksin. Kedua adalah kemampuan
host untuk bertahan dan bertempur dengan aktivitas atau effek dari
mikroba patogen. Faktor-faktor yang melemahkan immunitas adalah;
umur, diet kaya protein hewani dan lemak, stress,kondisi inflamaasi,
pemakaian antibiotik, gizi kurang, status kekebalan, masalah
percernaan dan paparan terhadap xenobiotik.
Apabila manusia dalam keadaan meningkatkan aktivitas fisik,
emosional, stress intelektual, perubahan-perubahan sering terjadi di
dalam lingkungan saluran pencernaan. Misalnya, menurunkan respon
sekresi, meningkatkan pembentukan reactive oxygen species,
memperpanjang waktu transit feses, meningkatkan gangguan sel-sel
mukosa, dan mengubah jaringan epithelium. Perobahan ini sering
menyebabkan gas, konstipasi dan dapat mengganggu fungsi probiotik.
Keberhasilan semua probiotik tergantung pada kemampuan dari
mikroba untuk mencapai kolon dalam keadaan hidup dan menempel
pada dinding usus. Hanya dengan cara demikian perkembangan dapat
berhasil. Peneliti telah menemukan bahwa kombinasi dari probiotik
menjadi probiotik spektrum luas mampu berfungsi walaupun ada
perubahan-perubahan lingkungan pada saluran pencernaan. Sampai
saat ini kombinasi probiotik dari L. acidophilus, L. rhamnosus, B.
bifidum, B. breve, B. longum dan B. lactis memberikan effek yang
menjanjikan untuk mendukung pemeliharaan kolon sehat,
menyediakan dukungan yang penuh pada saluran cerna, dan
membantu respon tubuh selama aktivitas fisik, emosional, tekanan
mental.
Jenis dan jumlah bakteri yang dapat hidup di dalam usus
manusia tidak gampang di tentukan karena banyak faktor yang dapat
mempengaruhinya. Ada konsensus bahwa selama proses kelahiran
bayi sampai menjadi dewasa akan memperoleh bakteri. Bayi baru
lahir akan memperoleh bakteri pada saat proses kelahiran yang berasal

124
dari vagina, ditelan sewaktu dilahirkan seperti bakteri Bifidobakterium
dan Laktobacillus serta dari ASI dan bakteri Bacteriodes.sp dan E.
Coli dari susu formula. Bifidokteria adalah bakteri yang
menguntungkan sehingga sering di tambahkan prebiotik di dalam susu
formula untuk merangsang perkembangannya. Pada orang dewasa ada
sebanyak 400 jenis bakteri, tetapi hanya bakteri yang dominan di
identifikasi akibat keterbatasan teknologi. Koloni bakteri terdapat
mulai dari mulut sampai saluran cerna. Lambung dihuni seanyak 10 5
CFU/ml, ileum 107 dan di kolon 1011-1012. Perbandingan bakteri
anaerobik berkisar 1000 kali lipat dari bakteri aerobik. Bakteri ini ada
yang menguntungkan dan ada yang merugikan. Mikroflora dalam usus
dapat memproduksi SCFA, protein, berperan pada pencernaan dan
penyerapan zat gizi, pembentukan bakteriosin yang protektif, dan
merangsang sistim kekebalan adalah effek positif. Pada saat yang
sama, bakteri intestinal menghasilkan senyawa dan mutagen dari hasil
metabolismenya dan juga enzim yang mengubah sisa pencernaan
(digesta content) menjadi karsinogen dan mutagen. Produk fermentasi
meliputi ammonia, amin, dan fenol dapat berbahaya dan terjadi infeksi
oleh bakteri yang patogen.
Dalam usus besar atau kolon terdapat sekitar 400 spesies bakteri
yang disebut mikroflora. Sebanyak 50-60 % dari berat feses kering
adalah mikroflora. Berdasarkan aspek kesehatan dan sifatnya, bakteri
dalam kolon dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bakteri yang
menguntungkan dan bakteri yang merugikan. Kondisi dan media bagi
perkembangan kedua golongan mikroba ini berbeda. Untuk mendukung
kesehatan yang baik, populasi mikroba yang menguntungkan harus
dominan.
Ada dua pendekatan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan
populasi mikroba yang menguntungkan dan menurunkan jumlah
mikroba yang merugikan. Berikut akan diuraikan fungsi dan khasiat
oligosakarida (prebiotik) dan bakteri asam laktat (probiotik) sebagai
komponen dalam makanan fungsional. Probiotik adalah mikroba yang
hidup (aktif) dalam makanan, yang menguntungkan bagi kesehatan.
Sementara, prebiotik didefinisikan sebagai komponen makanan yang
menguntungkan bagi kesehatan konsumen karena merangsang
pertumbuhan atau aktivitas kelompok mikroba tertentu di dalam kolon.
Konsep prebiotik berasal dari dua hasil pengamatan bahwa (1)
bakteri, seperti mahluk hidup lainnya membutuhkan zat gizi tertentu,

125
kadang-kadang spesifik, (2) beberapa zat gizi mampu lolos tanpa
dicerna sampai di kolon dan kemudian dimanfaatkan oleh bakteri
mikroflora yang hidup di kolon. Prebiotik adalah komponen pangan
yang tidak tercerna yang selektif dapat meningkatkan pertumbuhan
bakteri probiotik di dalam kolon. Dari pada memasukkan bakteri
hidup (probiotik), maka konsep prebiotik ialah meningkatkan jumlah
bakteri tertentu yang sudah ada di kolon. Ada dua kelompok bakteri
yang menjadi target untuk dikembangkan yaitu Laktobasillus dan
Bifidobakteria. Beberapa prebiotik lihat Tabel 6 tujuan dari
pertumbuhan bakteri selektif dengan memberikan prebiotik adalah
produksi asam lemak rantai pendek, karena asam ini berdampak pada
lingkungan saluran cerna bagian bawah, metabolisme dan pencegahan
penyakit. SCFA cepat diserap dan menjadi sumber energibagi host,
terutama di antara waktu makan. Hal ini akan mempengaruhi pH feses
dan mempengaruhi fungsi kolon dan resiko kanker.
Prebiotik menyebabkan komposisi mikroflora dalam kolon akan
berubah. Populasi mikroba yang menguntungkan, terutama Lactobacillus
dan Bifidobacterium akan meningkat, dan sebaliknya, pertumbuhan
bakteri yang merugikan, terutama Escherichia coli dan Clostridium
dihambat. Jika prebiotik di dalam makanan tidak cukup maka jumlah
bakteri patogen akan dominan sehingga zat-zat beracun akan terbentuk.
Mekanisme kerja serta pangan dapat di lihat pada gambar di bawah ini.

126
B. Zat Hasil Fermentasi Dalam Kolon
Metabolit-metabolit toksis hasil fermentasi protein yang lolos
sampai di kolon meliputi amonia dan senyawa amina (toksis
terhadap hati), nitrosamin (karsinogenik), fenol dan kresol (pemicu
kanker), indol dan skatol (karsinogen), asam-asam empedu sekunder
(karsinogen pada kolon), estrogen (karsinogen pada payudara), dan lain-
lain. Pada dasarnya, senyawa-senyawa ini bersifat basa. Karena 40-50%
padatan feses adalah bakteri, jumlah metabolit toksis hasil fermentasi ini
tidak boleh diabaikan. Di dalam setiap 300 g feses basah terdapat 186 mg
amonia, 1,4 mg fenol, 12,2 mg parakresol, 8,5 mg indol, dan 3,3 mg
skatole. Selain itu, juga terbentuk N-dimetilnitrosamin, sekitar 0,067-0,67
mg per hari per 75 kg berat badan. Jumlah ini hanya 10-100 kali lebih
kecil daripada dosis karsinogenik pada tikus.
Bakteri-bakteri yang terlibat dalam pembentukan zat-zat toksis ini
adalah Escherichia coli, Clostridium, Streptococcus faecalis, dan Proteus.
Selain menghasilkan zat-zat toksik tersebut, E. coli dan Clostridium juga
menghasilkan enzim yang berbahaya karenametabolit hasil detoksifikasi
oleh hati yang diekskresikan ke dalamusus diubah menjadi zat toksis
kembali. Dengan demikian, jelasbahwa menekan perkembangan bakteri
ini melalui probiotik danprebiotik akan sangat bermanfaat.

127
C. Probiotik
Probiotik berarti “untuk hidup” pertama kali digunakan oleh lily
dan Stillwell tahun9165 untuk menjelaskan “zat yang dikeluarkan oleh
satu mikroba yang merangnsang pertumbuhan yang lain” dan oleh
karena itu bertentangan dengan antibiotic. Kemudian dimodifikasi
menjadi “ Suatusediaan atau produkyang menagndung mikriba tertentu
yang hidup dalm julah cukup, yang akan memngobah mikroflora
(dengan implantasi atau kolonisasi) dibagaian rongga pada subjek
sehingga akan member manfaat kesehatan”. Dengan definisi ini
mencakup keberadaan mikroflora di rongga mulut, saluran usus, vagina,
dan kulit. Probiotik makanan, manafat kesetatan biasanya berperan
mengobah mikroflora di saluran cerna, sehingga tergantung pada
lolosnya bakteri yang hidup selama transit dalam saluran
cerna.Mikroflora dapat dibagi menjadi 3 kategori; bakteri yang
menguntungkan (laktobasillus, bifidobakteri) berbahaya (pseudomonas
aeruginosa, Staphylococcus, Clostridium), danoppotunistic
(Enterobacteriaceae, Eubacterium, bacteriodes). Pada orang yang sehat,
bakteri ini seimbang, dan bakteri yang menguntungkan lebih dominan.
Bakteri yang menguntungkan bermanfaat di dalam nutrisi dan mencegah
penyakit. Probiotik menghasilkan zat gizi seerti vitamin dan asam
organik yang akan diserap dan digunakan oleh hati. Asam organic juga
akan menghambat pertumbuhan bakteri yang merugikan. Jika bakteri
berbahaya dominan maka akan mambentuk zat yang menimbukan
penyakit dan kanker. Keseimbangan bakteri yang normal dan sehat dapat
diperbaiki dan dipertahankan dengan pola makan yang baik dan atau
pemberian bakteri atau bakterioterapi. Bakterioterapi oral
memnggunakan laktobasillus starin usus.
Probiotik berasal dari kata “pro = untuk” dan “bios=hidup” yang
berarti untuk kehidupandan berlawanan dengan istilah antibiotik. Jadi
istilah probiotik digunakan untuk menjelaskan supllemen makanan atau
produk lain yang mengandung bakteri yang hidup dan menguntungkan
bagi kehidupan bakteri. Sebaliknya antibiotik bersifat menghambat dan
membunuhbakteri. Menurut organisasi ahli probiotik Amerika, probiotik
adalah mikroba hidup yang diberikan dalam jumlah cukup untuk
memberikan effek positif pada keseimbangan mikroflora usus individu
(host). Namun demikian defenisi probiotik yang benar masih belum
disepakati. Ada yang mengusulkan defenisi probiotik sebagai “Suatu
sediaan atau produk yang mengandung mikroba tertentu yang hidup

128
dalam jumlah yang cukup untuk mengubah mikroflora pada seseorang
sehingga berdampak posotif terhadap kesehatan. Diperkirakan bahwa
jumlah bakteri yang bermanfaat sebanyak satu juta sampai satu milliar
koloni (colony froming unit=cfu) diperlukan untuk memberikan dampak
positif.
Probiotik walaupun tak selamanya, biasanya dipilih dari bakteri
yang secara normal hidup di dalam usus seperti Lactobacillus
acidophilus (LA) dan Bifidobacteria longum merupakan bakteri yang
paling bermanfaat secara klinis Berdasarkan hasil penelitian telah
terbukti bahwa kedua strain ini bermanfaat untuk meningkatkan
kesehatan secara umum dan merespon perubahan-perobahan kecil setiap
hari. Probiotik adalah makanan yang dihasilkan oleh atau mengandung
mikroba hidup dan bermanfaat bagi kesehatan. Kriteria yang dianjurkan
untuk probiotik adalah; (a) mikroba yang berasal dari manusia, (b)
resistant terhadap kondisi asam lambung, empedu, dan enzim percerna
yang ada di dalam pencernaan manusia, (c) mampu hidup dalam
pencernaan manusia, (d) aman untuk manusia, (e) telah terbukti manjur
secara ilmiah.
Pendekatan probiotik adalah mengonsumsi sel bakteri, terutama
penghasil asam laktat, yakni Lactobacillus dan Bifidobacterium di dalam
makanan atau dalam bentuk suplemen makanan. Asam laktat yang
dihasilkan bakteri ini akan menghambat perkembangan bakteri yang
tidak tahan terhadap suasana asam seperti Escherichia coli dan genus
Clostridium. E. coli dan Clostridium ini dianggap merugikan, dan bahkan
berbahaya.
Cara meningkatkan aktivitas probiotik adalah dengan mengatur
kondisi sedemikian rupa sehingga mikroba yang bermanfaat mampu
bertahan hidup selama melewati saluran pencernaan. Tempat yang
paling sulit dilalui adalah lambung karena derajat keasaman yang tinggi,
adanya asam empedu, dan kompetisi dengan mikroba dalam kolon. Maka,
perlu dipilih mikroba yang paling toleran terhadap asam dan memiliki
kemampuan untuk membentuk koloni dalam saluran pencernaan.
Saat ini, makanan yang mengandung bakteri asam laktat atau
makanan sumber probiotik adalah hasil fermentasi susu, yaitu yoghurt
serta asinan sayur-sayuran dan buah-buahan. Yoghurt mempunyai
beberapa keunggulan sebagai sumber probiotik karena mengandung asam
amino pendek yang mampu menurunkan tekanan darah, komponen
yang dapat meningkatkan kekebalan, dan zat yang mampu

129
menghambat kerja enzim pembentuk kolesterol sehingga menurunkan
kolesterol dalam tubuh.
Bakteri probiotik biasanya digunakan sebagai dalam bahan
aktif di dalam makanan fungsional dan paling banyak sebagai yogurt
dan bahan pembawa atau produk keehatan lainnya. Probiotik
bermanfaat dalam aspek gizi dan terapi.

Seleksi probiotik
Tidak semua probiotik yang tersedia di pasarkan baik untuk
dignuakan. Ada beberapa syarat untuk menentukan probiotik yang
baik.
- berasal dari manusia (kontroverssial)
- tidak bersifat pathogen
- mampu bertahan dalam proses pengolahan dan hidup dalam
sediaan

Tahan terhadap asamlambung


- melekat pada jarinag epitel saluran cerna
- mampu bertahan dalamsaluran cerna
- memiliki aktivitas antimikroba
- meningkatkan immunitas

Dalam pengembangan produk probiotik, biasanya yang


digunakan pada umumnya adalah laktobsillus dan bifidobakteri. Hal
ini terutama karena persepsi bahwa bakteri ini merupakan bakteri
mikroflora usus yang diinginkan dan salah satu strain yang telah
berkolonisasi pada usus bayi baru lahir. Juga telah digunakan dalam
fermentasi produk susu dan dikenal sebagai bahan yang status aman.
GRAS). Sayarat bahwa harus berasal dari strain yang hidup pada
manusia karena straini yang seperti yng mampu berkolonisasi dan
adhesive pada saluran ceran manusia yang merupakan lankah prtama
untuk resistensi kolonisasi bakteri pathogen. Maka sebebnarnya tidak
semua probiotik yang digunakan dalam fermentasi produk susu
memenuhi syarat digunakan pada manusia. Strain bifidobakteri yang
diperoleh dari yogurt adalah B. animalis. Straion ini dapat bertahan
pada pH rendah dan cairan emepdu, dan dapat melekat dengan baik
pada epithelium kolon manusia dan tikus bik yang diisolasi dari
yogurt atau manusia dewasa yang mengonsumsi yogurt.Suatu kriteria
penting seleksi probiotik adalah harus dapatditolenransi oeh sistim

130
immune dan tdak boleh merangsanag pemebtukan antibody untuk
probiotik.

Manfaat dri probiotik adalah;


- menaikkan nilai gizi memperbaiki daya cerna, meningkatkan
absorbs vitamin dan mineral);
- menurunkan intolensansi laktosa
- memperbaiki flora saluran cerna
- mencegah infeksi saluran cerna
- mempebaiki sistim immunitas
- mengurangi rekasi inflammatory
- mencegah kanker
- meregulasi gerakan saluran cerna
- menuunkan kolesterol serum
- mencegah osteoporosis
- memerbaiki kebugaran

D. Prebiotik
Pendekatan kedua adalah dengan menyediakan bahan dalam
makanan yang dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri asam laktat.
Biasanya, oligosakarida merupakan media pertumbuhan yang baik.
Oligosakarida adalah karbohidrat sederhana yang banyak dikonsumsi
dalam bentuk minuman ringan, biskuit, gula-gula/permen, dan produk
susu.
Prebiotik adalah makanan untuk probiotik atau mikroba yang
bermanfaat. Prebiotik akan mengubah keseimbangan mikroflora usus
dengan merangsang perkembangan dan aktivitas bakteri yang bermanfaat
seperti Laktobasillus dan Bifidobakteri. Prebiotik tidak tergantung pada
masalah kondisi kehidupan biologis seperti probiotik sehingga dapat
dimasukkan kedalam berbagai produk makanan seperti yogurt, susu,
formula bayi.
Prebiotik adalah karbohidrat dalam makanan yang tidak dicerna di
dalam usus dan dapat difermentasikan oleh bakteri tertentu di dalam kolon
seperti Bifidobakteri, Lactobacillus yang bermanfaat bagi kesehatan
manusia. Kriteria untuk prebiotik adalah (1) dapat bertahan pada proses
pencernaan, absorpsi dan proses absorbsi (2) difermentasikan oleh
mikroflora yang hidup di dalam sistim pencernaan, (3) secara selektif
merangsang pertumbuhan dan/atau aktivitas bakteri tertentu di dalam
sistim pencernaan.

131
Galaktooligosakarida
n: 1 – 4

Fruktooligosakarida
n: 1 – 3

132
Kacang kedelai oligosakarida
n: 1 (raffinose)
n: 2 (stachyose)

Gambar 12. Struktur kimia beberapa oligosakarida.

Oligosakarida fungsional adalah polisakarida pendek dengan


struktur kimia yang unik sehingga tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim
pada pencernaan manusia. Jadi, seperti serat pangan, oligosakarida
akhirnya akan sampai ke usus besar. Dengan demikian, senyawa ini
merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri Bifidobacteria di
dalam usus besar (kolon) sehingga oligosakarida disebut sebagai
prebiotik. Konsumsi oligosakarida dapat meningkatkan populasi
Bifidobacteria dalam kolon, dan peningkatan jumlah bakteri ini
menekan pertumbuhan bakteri pembusuk yang merugikan, yakni
Escherichia coli dan Streptococcus faecalis.
Di antara beberapa prebiotik, fruktooligosakarida (FOS) adalah
yang paling populer. Secara kimia, oligosakarida adalah karbohidrat
sederhana yang terdiri atas glukosa dan fruktosa melalui ikatan beta
sehingga tidak dapat dicerna dalam usus halus. Karena struktur kimia yang
demikian, oligosakarida akan sampai di kolon. Struktur kimia dari
beberapa oligosakarida ditunjukkan dalam Gambar 6. Penelitian
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah Bifidobacteria
sesudah mengonsumsi oligosakarida, dan selain itu terjadi
penurunan populasi bakteri yang merugikan seperti disebut di atas.
Bifidobacteria juga akan mencegah pertumbuhan bakteri patogen
yang masuk dari luar tubuh dan bakteri saluran pencernaan yang merugikan.

133
Hal ini dikarenakan konsumsi oligosakarida akan memproduksi asam lemak
rantai pendek (terutama asam asetat dan asam laktat dengan perbandingan
3:2) dan mampu menghasilkan zat yang bersifat sebagai antibiotik. Hampir
semua zat yang diproduksi oleh bakteri ini bersifat asam sebagai hasil
fermentasi karbohidrat oligosakarida. Dengan terbentuknya zat-zat
antibakteri dan asam maka pertumbuhan bakteri patogen seperti
Salmonella dan E. coli akan dihambat. Bifidin, yakni suatu antibiotik yang
dihasilkan oleh Bifidobacterium bifidum sangat efektif melawan Shigella
dysenteria, Salmonella typhosa, Staphylococcus aureus, E. coli, dan bakteri
lainnya. Bifidobacteria juga memproduksi vitamin Bi, B2, B6, Bl2, asam
nikotinat, dan asam folat, tetapi tidak mampu membentuk vitamin K.
Oligosakarida akan mengurangi metabolit toksis dan enzim-enzim
yang merugikan. Konsumsi 3-6 g oligosakarida per hari akan mengurangi
senyawa-senyawa toksis yang ada dalam usus dan enzim-enzim yang
merugikan sebanyak 44,6 % dan 40,9 %, masing-masing selama tiga
minggu.
Konsumsi oligosakarida atau produk makanan yang mengandung
Bifidobacteria dapat mencegah bakteri patogen dengan cara yang sama seperti
yang telah diuraikan di atas, yakni dengan membentuk asam lemak rantai
pendek sehingga pH turun (derajat keasaman meningkat), dan selanjutnya
menyebabkan populasi bakteri patogen menurun. Melalui pembentukan
asam lemak rantai pendek dalam jumlah yang tinggi, Bifidobacteria juga men-
cegah konstipasi dengan merangsang peristaltik usus dan dengan menambah
kandungan air feses karena adanya tekanan osmosis. Penurunan metabolit
toksis oleh oligosakarida atau konsumsi Bifidobacteria (probiotik) akan
meringankan beban hati. Oligosakarida juga dapat menurunkan tekanan
darah dan mempunyai efek antikanker.
Penurunan kadar kolesterol diduga karena perubahan mikroflora usus.
Bakteri Lactobacillus (bakteri laktat) diketahui akan menurunkan kolesterol
darah karena dapat mencegah absorbsi kolesterol dari usus. Bifidobacteria
juga mampu menghasilkan niasin yang juga memberi kontribusi terhadap
penurunan kolesterol ini.
Oligosakarida sama dengan serat pangan, tidak dicerna dalam usus
halus sehingga lolos sampai di kolon dan keduanya hampir sama manfaatnya.
Perbedaan antara serat pangan dengan oligosakarida ialah berat molekul.
Oligosakarida mempunyai berat molekul rendah sehingga mudah larut di
dalam air. Serat pangan memiliki efek fisik dengan meningkatkan viskositas,
bersifat laksatif ringan karena meningkatkan volume feses dengan mengikat

134
air sehingga mencegah konstipasi. Oligosakarida tidak aktif secara fisik,
tetapi memiliki efekbiologis, yaitu memudahkan fermentasi oleh mikroba
yang menguntungkan dalam kolon. Oligosakarida meningkatkan
absorpsi mineral kalsium, seng, dan magnesium, sebaliknya serat pangan
justru menghambat.
Telah diketahui bahwa komunitas bakteri yang hidup di saluran
pencernaan memberikan effek besar terhadap fungsi dan kesehatan.
Terdiri dari 104 sel bakteri dari 400 spesies yang berbeda. Walaupun
bakteri tersebar luas dalam pencernaan, jumlah dan jenis spesies bergam
di tempat yang berbeda. Di lambung dan usus halus terdapat <103 dan
104 – 106, usus besar tau kolon adalah mengandung bakteri yangpaling
banyak yaitu 1012 sel bakteri per gram basis kering. Mayoritas bakteri di
dalam lambung adalah anaerobik yang dikelompkkan atas bakteri yang
bermanfaat dan yang patogen. Bakteri yang merugikan adalah
clostridium, staphylococcus, proteus, dan kadang-kadang enterococcus,
escherichia dan streptococcus. Bakteri menghaslkan zat-zat yang
berbaghaya seperti toksin, karsinogen yang menimbulkan diarre,
infeksi, gangguan hati, karsinogensis, dan pembusukan. Bakteri yang
bermanfaat yaitu laktobsillus, bifidobakterium dan kadang-kadang
streptocoocus, enterococcus, dan bakteroides berperan dalam nutrisi dan
mencegah penyakit. Oleh krena itu peningkatan jumlah bakteri ini akan
menguntungkan.

Efek prebiotik terhadap metabolisme bakteri


Prebiotik bersamaan dengan karbohidrat serta protein dari asupan
dan protein endogen yang lolos dari pencernaan bagaian atas,
difermentasikan di dalam kolon oleh enzim dari bakteri kolon. Untuk
fermentasi prebiotik di dalam kolon, bakteri mengeluarkan enzim
glikolitik yang menghidrolisis menjadi monosakarida atau disakarida
sehingga dapat dimasukkan ke dalam sel dan selanjutnya dimetaboliser
menjadi asam lemak rantai pendek. SFA ini meliputi asam asetat,
propionat,dan butira sehingga membuat suasana kolonmenjadi lebih
asam. Keadaan ini menguntungkan untuk perkembangan bakteri
laktobasillus dan bifidobajteri tetapi menghambat perkembangan bakteri
patogen. Diduga asam lemak ini berdampak terhadap metabolisme
tubuh. Asam asetat dan propionat mempengaruhi produksi kolesterol,
propionat mengurangi glukoneogenesis hati dan mengurangi ureagenesis
di hati. Butirat disamping sebagai sumber energi juga menjadi regulator

135
pertumbuhn dan difrensiasi untuk sel-sel epitelium.

Mencegah Infeksi
Mikroflora pencernaan menjadi rintangan terhadap infeksi oleh
akteri patogen bawaan makanan dengan cara resistensi kolonisasi
dengan berbagai mekanisme. Asam yang dihasilkan oleh laktobasillus
dan bifidobakteri melalui ferentasi karbohidrat menurunkan pH kolon
menghambat perkembamgam baketri patogen. Mereka juga bersaing
untuk zat gizi dan reseptor sel-sel permukaan saluran cerna.
Karena mikrobiota vagina normal didominasi oleh (108-109
cfu/ml cairan vagina) oleh laktobasillus dan perubahan terhadap
kolonisasi normal ini dikaitkan dengan infeksi, probiotik laktobasilli
telah diteliti untuk emncegah dan mengobati infeksi saluran kemih pada
wanita.

Implikasi prebiotik terhadap kesehatan


Gejala utma dari konstipasi adalah rasa tegang pda saat buang air
besar dan pengosongan rektal yang tidak tuntas. Salah satu untuk
mengatasinya adalah dengan pola makan. Prebiotik seperti laktulosa,
fruktooligosakarida dan gula alkohol seperti laktitol dapat menambah
massa bakteri dan produksi gas swehingga menambah voluime kolon.
Keadaan ini akan merangsang pengeluaran klon dan mempercepat
transsit dan mengurangi reabsorbsi air. Dengan cara ini akan mengtasi
konstipiasi.

Meningkatkan absorbsi mineral


Serat pangan mengikat minral dan mencegah penyerapannya
di usus halus. Akan tetapi selama fermentasi di kolon, mineral yang
terikat terlepas sehingga tersedia untuk diserap. Tambahan lagi
konsentrasi yang tinggi dari asam lemak rantai pendek hasil
fermentasi prebiotik di kolon menurunkan pH sehingga
meningkatkan kelarutan dan bioavailabilitas mineral terutama
kalsuim dan magnesium. Disamping itu juga prebiotik menaikkan
kadar air di kolon dan menaikkan kelarutan beberapa mineral.
Asam lemak rantai pendek terutama butirat merangsang proliferasi
sel-sel epitelium kolon sehingga memperbaiki kemampuan
menyerap dari epitelium.
Regulasi metabolisme lipida

136
Prebiotik menurunkan kolesterol dan lipida serum diduga melalui
tiga mekanisme. Pertma dengan modifikasi kadar glukosa dan insulin.
Prebiotik menurunkan puncak gula darah sesudah makan. Oleh karena
itu, gluosa dan insulin tidak dapat menginduksi enzim lipogenik. Kedua,
adalah produksi asam lemak pendek di kolon. Propionat menghambat
kolestero- dan lipogenesis edangkan asetat merangsangnya. Maka,
perbandingan anatara kedua asam ini berperan untuk sifat
lipogenesisinya. Ketiga, adalahmelalui mekanisme prebiotk
menghambat absorpsi kolesterol dan pengendapannya sehingga
dikeluarkan dari usus, pada hal kolesterol dierlukan oleh hati kolesterol
diperlukan untuk mensintesa asam empedu. Maka prebiotik berpotensi
untuk mengurangi resiko PJK. Prebiotik tidak mempengaruhi kadar
lipida pada kedaan normal.

Mengurangi resiko kanker kolon


Diet adalah faktor berpengaruh pada prevalensi konlon kanker.
Makanan yang mengandung kadar tinggi protein hewani dan lemak
tetapi rendah serat pangan menaikkan resiko kanker kolon. Prebiotik
meningkatkan populasi probiotik dan asam lemak rantai pendek selama
fermentasi di kolon. Bakteri priobtiotik menghamabat pertumbuhan
bakteri patogen sehingga menekan produksi zat karsinogen dan enzim
yang berperan dalam karsinogenesisi kolon. Pada asat yang sama,
prebiotik akan memperlancar defekasi dan mempersingkat kontak zat
karsinogen pada kolon. Asam butirat menaikkan proliferasi sel-sel
epitelium dan menekan sel-sel kanker. Butirat menaikkan proses
apoptosis pada sel yang menglamai mutasi tetapi memperlambat pada
sel-sel normal.

Effek pada glisemia /insulinemia


Prebiotik dapat memperlambat pengosongan lambung dan
atau mempersingkat waktu transit di susu halus sehingga akan
mencegah terjadinya puncak kadar gula darah sesudah makan.
Prebiotik. Asam lemak pendek, khususnya propionat mengurangi
glukoneogensisi oleh ahti dan mempercepat glikolisis hati.

Sinbiotik
Konsep sinbiotik adalah pendekatan melalui kombinasi dari

137
baik probiotik dan prebiotik. Sinbiotik bertujuan untuk merangsang
pertumbuhan atau aktivitas dari bifidobkateri dan laktobasillus
endogen dengan suaatu karbohidart yang sesuai dengan strain
probotik. Prebiotik membantu dan melindungi serta memperthankan
strain probiotik selama perjalanannya sampai ke usus besar/kolon.
Sinbiotik adalah perkawinan antara konsep probiotik dan
prebiotik. Singiotik terdiri dari gabungan dari bakteri hidup dengan
prebiotik oligosakarida. Keuntungan sinbiotik adalah kommersial
probiotik yang telah diketahui manfaatnya dapat dignuakan dan
prebiotik akan membantu pertumbuhan pembentukan mikroba di
dalam kolon dengan lingkungan yang kompleks. Dengan cara
demikian maka fleksibilitas untuk memilih probiotik dan prebiotik
dalam kombinasi yang paling baik untuk tujuan/outcome spesifik
yang diharapkan.

E. Prebiotik dan Probiotik dalam Makanan


Beberapa makanan secara alamiah mengandung oligosakarida.
Misalnya frukto oligosakarida dapat ditemukan dalam bawang, bawang
putih, dan asparagus. Kedelai mengandung soybean oligosaccharide.
Akan tetapi, makanan yang dikonsumsi setiap hari tidak mungkin dapat
memenuhi jumlah oligosakarida yang dianggap berkhasiat untuk
mencegah penyakit seperti diuraikan di atas. Maka, diperlukan
konsumsi tambahan untuk meningkatkan kesehatan. Misalnya, frukto
oligosakarida (FOS) ditambahkan dalam susu bubuk untuk balita
sebagai prebiotik.
Probiotik dapat diperoleh dari yoghurt, asinan, acar, dan
kemungkinan juga dekke naniura. Dekke naniura adalah salah satu
makanan khas Batak, berupa ikan mas yang diberi bumbu dan asam,
kemudian dibiarkan selama sekitar 20 jam sehingga menjadi lunak tanpa
dimasak. Proses yang demikian memungkinkan bakteri asam laktat
berkembang.
Kombinasi probiotik dan prebiotik diyakini akan bersifat
sinergistik yang positif. Prebiotik akan membantu probiotik melewati
saluran pencernaan bagian atas, khususnya kondisi asam kuat pada
lambung. Dengan demikian, dengan cepat probiotik akan meningkatkan
populasi mikroba yang menguntungkan di dalam kolon.
F. Probiotik dalam Klinis
Selain dari makanan, probiotik dapat diperoleh dalam bentuk

138
sediaan farmasi. Bakteri harus hidup dalam bentuk tablet dan kapsul.
Probiotik harus dilindungi dari pengaruh lingkungan seperti sinar
mataharia, cahaya lampu, kelembaban dan cairan saluran pencernaan
dan enzim lambung. Sebanyak 90% probiotik supplemen rusak oleh
cairan lambung 50% rusak selama penyimpanan. Maka probiotik lebih
baik dalam sediaan tablet bersalut (enteric coated tablet) dan kapsul
untuk menghindari pelepasan dan kontak dengan cairan lambung di
lambung sehingga sampai di usus dengan baik tanpa mengalami
kerusakan yang berarti. Tetapi yang paling baik adalah cara tehnik
encapsulasi khusus, suatu prosedur patent yang dikenal dengan Tru
Delivery Technology yang menghasilkan produk yang stabil pada
suhu kamar selama 18 bulan. Cara lain adalah dengan mencampurkan
serat yang bersifat buffer dengan probiotik sehingga mengurangi effek
asam lambung. Faktor penting berkaitan dengan stabilitas probiotik
adalah; (1) stabil sampai di saat digunakan, (2) melindungi probiotik
dari asam lambung, (3) mengandung bakteri probiotik yang effektif
dan mampu membentuk koloni pada saluran cerna. Hasil penelitian
tentang beberapa penggunaan umum dari probiotik dalam klinis dapat
di lihat pada tabel di bawah ini

Tabel 7. Manfaat penggunaan Probiotik pada beberapa penyakit


Penyakit Probiotik Hasil penelitian
Kanker Laktobacillus Setelah 12 minggu pemberian
kolon rhamnosus dan probiotik menurunkan
Bifidobacterium kerusakan DNA pada dinding
longum kolon dan reproduksi sel kolon
dibandingkan dengan plasebo
Diarrhe Laktobasillus Hanya 12 % pasien yang
karena acidophilus mengalami diarrhe
antibiotik dibandingkan 34% dengan
plasebo
Diarhe Laktobasilus Pasien yang memakai
karena rhamnosus probiotik jauh lebih rendah
kemoterapi dibandingkan dengan yang
tidak menggunakannya
Diarrhe Laktobasillus Mencegah diarrhe karena
perjalanan acidophilus dan infeksi bakteri yang biasanya

139
Bifidobacterium berasal dari makanan yang
bifidum terkontaminasi oleh E.coli,
Campylobacter, Shigella atau
salmonella
Rasa nyeri Laktobasillus Nyeri jauh lebih rendah pada
pada perut acidophilus ana-anak yang menerima
anak-anak probiotik dibandingkan dengan
plasebo.
Sumber : Pathak, et al, 2010

Laktobasillus dan Bifidobacteria adalah bakeri Gram positif


pembentuk asam laktat merupakan mikroflora utama di dalam usus
manusia dan hewan mammalia. Pemberian antimikroba seperti
antibiotik menyebabkan gangguan kesetimbangan ekologis dari
mikroflora saluran cerna disertai dengan kondisi yang tidak diinginkan
seperti kolonisasi oleh bakteri patogen. Untuk mempertahankan atau
mengembalikan kesetimbangan flora usus biasanya diberikan
supllemen bakteri khususnya Laktobasillus dan Bifodbacteria yang
disebut probiotik. Kedua bakteri ini berperan untuk (1) melindungi
sel-sel epitel saluran cerna dari pengaruh infeksi oleh E. coli (2)
memecah laktosa yang tak diserap di dalam pencernaan menjadi asam
laktat sehingga mengurangi effek gangguan metabolisme laktosa yang
dapat menimbulkan gas, (3) meningkatkan sistim immunitas (4)
mencegah konstipasi (5) membantu proses pencernaan di kolon (6)
membantu pemanfaatan dan bioavaillitas zat gizi.
Probiotik adalah mikroba hidup dalam makanan yang
bermanfaat bagi kesehatan. Prasyarat untuk probiotik adalah dapat
hidup dan melekat pada tempat tertentu di dalam saluran pencernaan
dan mengurangi bakteri pathogen. Probiotk harus memiliki sifat-sifat
berikut: (1) GRAS, (2) resisten terhadap asam HCl dan cairan
pankreas, (3) memproduksi antimikroba, (4) mampu berkompetisi
dengan bakteri pathogen pada dinding saluran pencernaan, (5) mampu
berkompetisi terhadap nutrisi dan merangsang immunitas, (6)
mengubah keseimbangan mikroflora saluran cerna, menghambat
pertumbuhan bakteri pathogen, memperbaiki pencernaan, merangsang
fungsi immunitas dan meningkatkan resistensi terhadap infeksi.
G. Rangkuman
Mikroba yang hidup di dalam kolon berfungsi untuk mencerna

140
bagian makanan yang tidak dicerna dalam usus halus. Pada umumnya,
mikroba ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu mikroba yang
menguntungkan dan mikroba yang merugikan. Mikroba yang
menguntungkan yakni mikroba penghasil asam laktat, misalnya
Lactobacillus dan Bifidobacteria. Mikroba yang merugikan yaitu
Escherichia coli dan Streptococcus faecalis.
Kondisi yang sehat terwujud jika populasi mikroba yang
menguntungkan lebih tinggi daripada populasi mikroba yang
merugikan. Keadaan ini dapat dicapai dengan dua cara. Cara pertama,
dengan mengonsumsi prebiotik, yakni oligosakarida dalam makanan.
Oligosakarida berperan sebagai media pertumbuhan mikroba yang
menguntungkan. Fermentasi oligosakarida dalam kolon akan
menghasilkan asam laktat dan asam organik pendek lainnya. Asam
tersebut akan menghambat perkembangan mikroba yang merugikan,
mengingat mikroba tersebut tidak tahan suasana asam.
Cara kedua adalah dengan mengonsumsi mikroba Lactobacillus
dan Bifidobacteria hidup yang disebut probiotik. Mikroba ini toleran
terhadap asam dan akan dapat bertahan hidup melalui lambung yang
bersuasana sangat asam, dan akhirnya sampai di kolon. Manfaat
prebiotik antara lain meningkatkan populasi bakteri menguntungkan di
kolon, menurunkan aktivitas enzim yang toksis di kolon, meningkatkan
absorpsi kalsium di dalam pencernaan, menurunkan lipida darah, dan
mengurangi resiko kanker.
Sumber oligosakarida adalah bawang putih, bawang merah,
asparagus, dan kacang kedelai. Yoghurt merupakan sumber probiotik
yang baik. Kombinasi prebiotik dan probiotik diyakini akan bersifat
sinergistik, namun hal ini masih memerlukan penelitian yang lebih
terperinci.

H. Pelatihan
1. Mengapa yoghurt termasuk probiotik?
2. Sebutkan dan jelaskan struktur kimia beberapa prebiotik!
3. Sebutkan dan jelaskan mekanisme kerja dan manfaat prebiotik!
4. Apa perbedaan dan persamaan prebiotik dengan serat pangan?
5. Kapan dan bagaimana mikroba yang merugikan dapat
berkembang, dan mengapa merugikan kesehatan?

141
BAB VIII
KOMPONEN BIOAKTIF DALAM BUAH JERUK

Jeruk mengandung beragam zat gizi dan nongizi yang bernanfaat


dalam mencegah kanker dan meningkatkan kesehatan. Zat-zat gizi dan
berbagai phytochemical tersebut serta mekanisme kerjanya akan dijelaskan
dalam bab ini.
Data epidemiologis dan data hasil penelitian menunjukkan bahwa
konsumsi buah jeruk bersifat protektif terhadap penyakit degeneratif,
terutama kanker. Hal ini diduga karena kandungan vitamin C di dalamnya.
Akan tetapi, dugaan ini tidak sesuai dengan hasil percobaan yang
menunjukkan bahwa pemberian hanya vitamin C dalam jumlah yang
tinggi tidak memberikan efek yang signifikan untuk mencegah penyakit
degeneratif dan kanker.
Maka, diduga ada pengaruh dari zat lain yang terdapat dalam jeruk dan
interaksi di antara zat-zat yang terdapat dalam buah jeruk tersebut. Jeruk manis,
jeruk nipis, dan sejenisnya yang merupakan sumber yang baik dari vitamin
C, asam folat, dan serat pangan (dietary fiber),diduga juga mengandung zat
lain yang aktif untuk mencegah kanker.
Buah jeruk banyak mengandung phytochemicals yang dikenal
sebagailimonoida. Maka, zat-zat bioaktif di dalam buah jeruk yang diduga
berkhasiat untuk mencegah penyakit degeneratif dan kanker meliputi
vitamin C, asam folat, karotenoid (terutama β-karoten), flavonoida,
limonoida, dan serat pangan dan penyakitdegeneratif. Enam belas di antara
karotenoid yang aktif sebagai sumber vitamin A terdapat di dalam buah
jeruk.

A. Limonoida
Limonoida (limonoids) dalam jeruk bertanggung jawab terhadap
rasa pahit dari jeruk. Limonoida yang terdapat dalam jeruk terutama
limonin dan nomilin. Secara kimia, limonoida merupakan turunan dari furan
tersubstitusi. Konsentrasi limonin dan nomilin dalam buah jeruk sebenarnya
tidak tinggi. Akan tetapi, bentuk glikosida dari limonoida banyak terdapat
dalam sari buah jeruk. Hasil percobaan dengan hewan menunjukkan bahwa
limonoida glukosida juga aktif mencegah berbagai jenis kanker. Struktur
limonoida dan turunannya ditunjukkan dalam Gambar 7.
GST merupakan enzim utama dalam sistem detoksifikasi yang
mengatalisis konjugasi glutation dengan elektrofil yang bersifat lebih mudah

142
larut dalam air sehingga lebih cepat terekskresikan. Limonoida diketahui
mempunyai aktivitas untuk mencegah kanker dengan mempengaruhi aktivitas
enzim GST dalam tubuh. Peningkatan aktivitas GST ini akan menghambat
proses terjadinya kanker. Hasil percobaan pada binatang menunjukkan bahwa
khasiat limonin dan nomilin, sesuai dengan kemampuan masing-masing zat,
adalah meningkatkan aktivitas GST. Dalam hal ini, nomilin lebih kuat
mengaktifkan GST sehingga sifat antikanker juga lebih tinggi.
Ada beberapa kendala dalam pemanfaatan limonoida sebagai suatu zat
antikanker pada manusia. Pertama, rasa pahit yang kuat; kedua, kelarutan
limonoida yang rendah; dan ketiga, konsentrasi limonin dan nomolin
dalam sari jeruk yang rendah sehingga asupan kedua zat ini sedikit.
Ketiga masalah ini membatasi produk makanan yang dapat diperkaya
dengan limonin sebagai bahan tambahan pangan (food additive)atau
sebagai suplemen makanan.
Akan tetapi, turunan limonin sebagai glukosida telah diisolasi dari
jeruk. Glukosida ini tidak pahit dan lebih larut dalam air, dan
konsentrasinya di dalam sari buah jeruk cukup tinggi. Di samping itu,
turunan glukosida terdapat dalam jumlah yang lebih tinggi (sekitar
200-300 ppm) di dalam sari buah jeruk yang diperdagangkan di pasar.

Limonin Nomilin

143
Limonin-17-β-d-glukopiranosida

Nomilin-17-β-d-glukopiranosida

Keterangan: R : CH2OH

Gambar 12. Struktur kimia limonin, nomilin, dan derivat glukosida.

B. Flavonoida
Flavonoida adalah sekelompok senyawa polifenol dengan berat
molekul rendah yang terdistribusi luas dalam tanaman. Konsumsi
flavonoida dalam makanan berkisar antara 50-80 mg/hari. Flavonoida
dalam pangan adalah quercetin, kaemferol, luteolin, myricetin, morin, rutin,
asam tanat, asam elagat, dan epigenin. Peranan flavonoida dalam
pencegahan penyakit kardiovaskular berdasarkan efek proses biologis,
meliputi proses peroksidasi lipida dan agregasi platelet. Flavonoida
diyakini menurunkan aterosklerosis dengan menghambat oksidasi LDL,
mungkin dengan cara menghambat pembentukan radikal bebas dan
melindungi vitamin E dalam LDL dari proses oksidasi. Beberapa

144
flavonoida tertentu dapat bersifat antiinflamasi dan antialergis.
Kemampuan flavonoida untuk mencegah kanker diduga melalui
sifatnya sebagai antioksidan, perangkap radikal bebas, dan kemampuan
membentuk kelat dengan kation polivalen yang dapat mengatalisis proses
oksidasi. Flavonoida dalam buah jeruk seperti nobiletin, tangretin, dan lain-
lain dapat berperan mencegah kanker melalui berbagai mekanisme.
Aktivitas ini meliputi kemampuannya untuk meningkatkan enzim dalam
hati yang mempengaruhimetabolisme karsinogen seperti benzopyrene,
mencegah terjadinya proses oksidasi, menangkap radikal bebas, dan
sebagainya.

C. β-karoten
β-karoten merupakan salah satu karotenoid yang paling penting
diantara lebih dari 40 karotenoid dalam tanaman, mengingat senyawa ini
mempunyai aktivitas vitamin Ayang tinggi. Secara teoretis, satu molekul
β-karoten dapat dipecah menjadi dua molekul retinaldehid (bentuk
vitamin A aktif). Akan tetapi, pada kenyataannya perubahan seperti ini
tidak terjadi karena persaingan pengaruh reaksi enzimatis yang juga
dapat mengubah β-karoten secara tidak simetris.
Salah satu yang menarik dari β-karoten ialah adanya mekanisme
umpan balik dengan jumlah vitamin A di dalam tubuh. Selama proses
absorbsi berlangsung, jika jumlah vitamin A dalam tubuh cukup,
perubahan β-karoten menjadi vitamin A tidak akan terjadi lagi. β-
karoten selanjutnya akan diabsorbsi secara utuh. Dengan demikian,
tidak akan terjadi overdosis vitamin A yang toksis.
Peran β-karoten lain yang menguntungkan tercapai melalui
berbagai mekanisme kerja, antara lain kemampuannya menangkap
oksigen singlet (singlet oxygen)dan melindungi dari proses oksidasi.
Oksigen singlet adalah bentuk oksigen yang sangat reaktif yang dapat
merusak dan mengoksidasi berbagai biomolekul dalam tubuh, seperti
DNA, membran sel, enzim, dan sistem kekebalan. β-karoten merupakan
antioksidan yang spesifik karena dapat mencegah proses oksidasi dalam
sistem yang memiliki tekanan oksigen rendah. β-karoten terbukti
efektif mencegah oksidasi biomolekul dan membran lipida, terutama
pada tekanan oksigen yang rendah. Kemampuan β-karoten sebagai
antioksidan pada tekanan partial oksigen yang rendah ini ternyata
sangat penting di dalam sistem biologis sebab biasanya sistem antioksidan
efektif pada tekanan oksigen yang relatif tinggi, padahal sifat antioksidan

145
juga diperlukan di tempat tertentu yang jauh dari sumber oksigen. Oleh
karena itu, β-karoten dapat merupakan komplemen terhadap antioksidan
lain, seperti vitamin C dan vitamin E yang efektif pada tekanan oksigen
yang normal.

D. Asam Askorbat
Kebutuhan vitamin C sehari-hari yang dianjurkan adalah 60
mg/hari. Dosis ini dianggap aman untuk mencegah munculnya
penyakit skorbut setelah kira-kira satu bulan kekurangan vitamin C dalam
makanan. Vitamin C adalah kofaktor bagi berbagai jenis enzim yang
berperan dalam biosintesis kolagen dan karnitin. Defisiensi vitamin C
dapat menyebabkan melemahnya struktur kolagen sehingga terjadi gusi
berdarah dan rasa sakit pada persendian, kerusakan jaringan penyakit, dan
lamanya proses penyembuhan luka, yang semuanya itu adalah gejala
skorbut.
Dalam sistem biologis, vitamin C merupakan antioksidan yang
larut dalam air. Vitamin C dengan mudah dapat menangkap spesies
oksigen dan nitrogen reaktif, seperti superoksida, radikal hidroperoksil,
radikal nitrogen dioksida, dan asam hipoklorit. Dengan demikian,
vitamin C berperan untuk mencegah reaksi kerusakan oksidatif
terhadap biomolekul.
Vitamin C juga merupakan suatu koantioksidan karena aktif dalam
proses regenerasi vitamin E dari bentuk radikal α-tokoperoksil hasil
oksidasi oleh radikal yang larut dalam minyak. Vitamin C dapat mencegah
terjadinya kanker melalui berbagai mekanisme, termasuk inhibisi
terhadap kerusakan oksidatif dari DNA dan mencegah pembentukan
karsinogen nitrosamin akibat reaksi antara nitrit dan nitrat (biasanya
terdapat dalam makanan dan asap rokok) dengan amina, baik di luar
tubuh maupun dalam saluran pencernaan. Secara in vivo, vitamin C
menghalangi reaksi nitrosasi dengan menangkap nitrit sehingga
pembentukan nitrosamin tidak terjadi. Vitamin C juga menurunkan
konsentrasi mutagen dalam usus besar hasil fermentasi sehingga
kasus kanker kolon berkurang.
Jadi, pada dasarnya khasiat vitamin C untuk mengurangi penyakit
disebabkan oleh sifat antioksidan yang dimilikinya, dan mungkin masih
ada mekanisme lain. Oleh karena itu, berdasarkan data penelitian, Carr and
Frei (1999) mengusulkan bahwa jika khasiat vitamin C untuk mencegah
penyakit degeneratif - disamping sebagai antiskorbut - dapat diterima,

146
kebutuhan vitamin C sehari-hari harus dinaikkan minimal dua kali lipat
untuk menghindari penyakit degeneratif tersebut. Dengan demikian,
konsumsi vitamin C yang dianjurkan menjadi 120 mg/hari.

E. Asam Folat
Asam folat dan derivatnya disebut sebagai folat atau folacin. Istilah
asam folat (folic acid)berasal dari bahasa Latin, folium yang berarti daun
hijau. Asam folat biasanya terdapat dalam daun yang berwarna hijau.
Folat merupakan vitamin yang larut dalam air. Senyawa ini berperan
penting dalam metabolisme asam amino dan sintesis asam nukleat
sehingga sangat penting dalam masa pertumbuhan. Karena alasan inilah
maka wanita hamil dan menyusui membutuhkan folat lebih banyak. Data
ilmiah telah menunjukkan korelasi antara pasokan asam folat dan
pencegahan kerusakan saluran saraf (neural tube defects)pada bayi. Buah
jeruk dan sari buah jeruk serta sayuran hijau seperti bayam dan brokoli
merupakan sumber asam folat yang penting.

F. Pektin dan Selulosa


Biasanya, serat pangan dibedakan atas serat larut (soluble dietary
fiber; SDF) dan tidak larut (insoluble dietary fiber; IDF). SDF adalah serat
yang mudah terfermentasi dalam kolon dan berhubungan dengan metabolisme
lipida dan karbohidrat, sedangkan IDF berperan dalam menambah volume
feses dan mengurangi waktu retensinya.
Komponen yang dominan yang terdapat dalam serat buah-buahan
meliputi pektin, selulosa, dan hemiselulosa dengan sedikit lignin. Buah jeruk
mengandung SDF berupa pektin, yang terdapat pada bagian yang dapat
dimakan dan yang tidak dapat dimakan seperti kulit buah. Konsumsi buah
jeruk akan menyumbangkan cukup banyak pektin ke dalam diet.
Serat pangan telah terbukti dapat mencegah berbagai penyakit seperti
kanker kolon dan penyakit kardiovaskular. Dalam hal ini, serat pangan
berperan melalui berbagai mekanisme kerja. Pektin mengubah metabolisme
asam empedu, sementara proses fermentasi di kolon memproduksi asam
lemak rantai pendek (short chain fatty acids; SCFA) sehingga menurunkan
pH, dan dengan demikian merangsang pertumbuhan bakteri yang
menguntungkan serta menghambat perkembangan bakteri yang
merugikan. Bakteri yang merugikan, seperti Escherichia coli dan Streptococ-
cus faecalis, akan memfermentasi protein dan asam amino yang lolos
sampai ke kolon. Hasil fermentasi ini adalah zat-zat toksis, yakni fenol,

147
kresol, indole, amina, dan amonia, yang semuanya itu dapat meningkatkan
resiko kanker kolon dan kelenjar empedu. Peningkatan volume feses oleh
serat pangan akan menghindari terjadinya konstipasi (susah buang air besar)
dan mengencerkan zat-zat yang beracun (termasuk karsinogenik) dalam
kolon, dan dengan demikian akan mengurangi resiko kanker kolon. Serat
pangan yang tidak larut, seperti selulosa, diperkirakan akan berperan
mengabsorbsi zat karsinogenik dalam pencernaan yang kemudian akan
terbuang dari dalam tubuh bersama feses.

G. Rangkuman
Masyarakat yang mengkonsumsi buah jeruk dalam jumlah relatif
banyak dalam makanan sehari-hari memiliki resiko penyakit degeneratif
yang rendah. Komponen bioaktif yang berkhasiat dalam nuah jeruk
adalah vitamin C, β-karoten, flavonoid, limonoida, asam folat dan serat
pangan (dietary fiber). Komponen-komponen tersebut bekerja melalui
mekanisme kerja sebagai antioksidan, meningkatkan aktivitas GST,
metabolisme asam amino, fermentasi dalam kolon, dan mempercepat
ekskresi zat toksis dari kolon.
Vitamin C, flavonoida, dan β-karoten berperan terutama sebagai
antioksidan untuk mencegah proses oksidasi biomolekul seperti DNA,
protein, dan lipida membran sehingga mencegah terjadinya kanker.
Limonoida dapat mengaktivasi GST untuk menetralkan radikal bebas
dan karsinogenik lainnya. Asam folat berperan dalam metabolisme
asam amino dan protein, yang sangat dibutuhkan selama pertumbuhan.
Serat pangan akan terfermentasi dalam kolon menjadi asam lemak
rantai pendek sehingga pembentukan zat toksis akan menurun. Serat
pangan juga akan memperlancar pengeluaran feses, yang sekaligus akan
membawa keluar zat toksis dari dalam kolon. Akan tetapi, suplementasi
zat bioaktif yang telah diisolasi dari tanaman menuhjukkan khasiat yang
tidak efektif dan tidak konsisten, sedangkan konsumsi buah jeruk selalu
menghasilkan efek protektif. Diduga bahwa ada interaksi diantara
komponen bioaktif dan zat lain, namun hal ini masih perlu diteliti.

H. Pelatihan
1. Sebutkan phytochemical yang terdapat dalam buah jeruk, dan jelaskan
mekanisme kerjanya sebagai antikanker!

148
2. Sebutkan komponen serat dalam jeruk dan jelaskan sifat
antikanker yang dimilikinya!
3. Jelaskan mekanisme vitamin C sebagai antikanker!

149
BAB IX
BAWANG PUTIH SEBAGAI MAKANAN FUNGSIONAL

1. Pendahuluan
Genus Allium (berbagai jenis bawang) pada awalnya
digolongkan dalam famili Liliaceae, tetapi kemudian direvisi dan
dimasukkan di dalam famili Alliaceae. Dari sekitar 700 spesies
Allium, hanya beberapa diantaranya yang biasa digunakan dalam
makanan yakni bawang bombay (onion) (A. cepa, L), bawang putih
(A.sativum, L), lokio (A. schoenoprasum L), bawang perai (A. porrum,
L). Di antara jenis ini bawang putihadalah tanaman yang paling
pertama dibudidayakan di Timur Tengah yaitu sejak lebih dari 5000
tahun yang lalu. Bawang putih dipercaya berasal dari Asia lebih dari
6000 tahun lalu kemudian menyebar ke China, Eropah, Mesir dan
Meksiko, akhirnya ke seluruh dunia. Bawang putih telah digunakan
sebagai bumbu masak di seluruh dunia karena dapat memberi aroma
dan cita rasa. Walaupun ada perbedaan beberapa hasil penelitian yang
berbeda, bawang putih merupakan makanan yang paling berpotensi
untuk mencegah penyakit melalui berbagai effek farmakologis.
Disamping sebagai makanan bawang putih juga telah digunakan
dalam pengobatan.
Di India, Charak, (bapak ahli pengobatan Ayurvedic) sekitar
6000 tahun lalu, menyatakan bahwa bawang putih memelihara
viskositas darah yang baik dan menyehatkan jantung [10,28]. Dalam
dokumen di Mesir yang berumur lebih dari 3500 tahun (Egyptian
Codex Ebers) telah tercatat, bahwa bawang putih digunakan untuk
mengobati gangguan jantung, tumor, sengatan, dan penyakit lainnya
seperti hemorrhoid, rematik, antidiabetes, dermatitis, batuk dan
sebagai antiseptik dalam bentuk lotion (cairan) pencuci luka dan
borok karena sifat antibakterinya. Zaman Romawi dan Junani kuno
bawang putih digunakan untuk menambah tenaga pada serdadu dan
nelayan. Di Cina dan Jepang sekitar 2000 tahun sebelum masehi
bawang putih digunakan sebagai pengawet, penambah tenaga.Bawang
putih digunakan dalam bentuk teh untuk demam, sakit kepala, kolera,
dysentri dan untuk awet muda. Bawang putih pernah digunakan
sebagai antibakteri selama perang dunia ke II pada saat penicillin dan
obat-obat sulfa tidak tersedia.
Bawang putih adalah tanaman obat yang paling banyak diteliti.

150
Selama 1960-2007, lebih dari 3000 artikel penelitian telah di
publikasikan. Penelitian ini berfokus pada effek terhadap
kardiovaskular, anti mikroba dan antikanker. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bawang putih memperlihatkan aktivitas
farmakologis seperti sifat anti-fungi, anti bakteri, antitumor, anti-
nflammasi, antithrombotik, antioksidan hepatoprotektif, meningkatkan
sistim kekebalan tubuh dan hipokolesterolemik. Aktivitas kemoterapi
dari bawang putih dengan menggunakan berbagai bentuk sediaan dari
bawang putih berupa ekstrak segar, bawang putih yang diperam,
minyak bawang putih (garlic oil), dan berbagai senyawa sulfur
organik dan turunannya dari bawang putih. Sampai sekarang bawang
putih masih digunakan sebagai obat tradisional di seluruh dunia untuk
mengobati berbagai penyakit seperti penyakit jantung koroner, kanker,
dan infeksi.

2. Senyawa Aktif dalam Bawang putih


Bawang putih segar mengandung air dan zat gizi seperti
karbohidrat (24 %), protein (4,3%), asam amino, lemak, serat,
vitamin dan mineral makro dan mikro yang penting (kalium,
magnesium, kalsium, natrium dan selenium). Akan tetapi yang paling
banyak berperan secara farmakologis/fisiologis dari bawang putih
adalah karena kandungan yang tinggi dari senyawa sulfur organikyang
aktif secara sinergisme dengan senyawa lain seperti senyawa selenium
organik. Bawang putih mengandung sulfur 1% dari berat kering,
tetapi nilai gizi bawang putih rendah. Kandungan zat gizi di dalam
bawang putih (lihat Tabel 8)

Tabel 8. Kandungan zat gizi di dalam bawang putih setiap 100 gram
Komponen Kadar (gr) Mineral Kadar(mg) Vitamin Kadar (mg)
Air 70,00 Kalium 446 Vitamin B1 0,16
Protein 4,30 Fosfor 134 Vitamin B2 0,02
Karbohidrat 24,30 Magnesium 24,1 Vitamin B3 1,02
Serat 1,20 Natrium 19 Vitamin B6 0,32
Lemak 0,23 Kalsium 17,8 Asam Folat 0,0048
Abu 2,30 Besi 1,2 Vitamin C 14
Seng 1,1 Beta-karoten 0,005
Selenium 0,01

Bawang putih segar mempunyai bau dan rasa keras sehingga

151
sebagian orang kurang menyukainya. Tetapi, bawang putih tidak harus
dalam bentuk segar untuk memberikan khasiat dan juga bau bawang
putih tidak dibutuhkan untuk pengobatan. Sediaan bawang putih
banyak yang sudah beredar, dan salah satu adalah ekstrak bawang
putih hasil peraman (aged garlic extract; AGE). Ekstrak ini tidak
berbau dan lebih kaya akan antioksidan dibandingkan dengan bentuk
segarnya. Secara klinis AGE telah dibuktikan mempunyai dampak
positif terhadap kesehatan manusia dan aman. Bawang putih
mengandung 33 senyawa sulfur organik yang paling banyak
dibandingkan dengan jenis bawang lainnya. Kandungan selenium dan
flavonoida berperan serta terhadap khasiat bawang putih sebagai
antikanker. Komponen sulfur organik yang terdapat di dalam bawang
putih lihat Tabel 9.

Tabel 9. Kandungan sulfur organik utama di dalam bawang putih


Komponen Struktur kimia Singkatan Kadar
(μg/g)
γ- Glutamylcystein COOH-C(NH2)-(CH2)2-CO- - -
NH-CH(COOH)-CH2-SH
S-allylcystein CH2=CH-CH2-S-CH2- SAC 10
CH(NH2)COOH
Alliin (S- CH2=CH-CH2-S(O)-CH2- - 5000-
Allylcystein CH(NH2)COOH 10000
sulfoxida)
Allicin (Alltyl 2- CH2=CH-CH2-S(O)-S-CH2- - 1500-
propene CH=CH2 27000
thiosulfinat)
Ajoene CH2=CH-CH2-S(O)-CH2- - -
CH=CH-S-S-CH2-CH=CH2
Diallyl sulfide CH2=CH-CH2-S-CH2- DAS 30-100
CH=CH2
Diallyldisulfida CH2=CH-CH2-S-S-CH2- DADS 530-610
CH=CH2
Diallyl trisulfida CH2=CH-CH2-S-S-S-CH2- DATS 900-
CH=CH2 1,100
Allylmethilsulfida CH2=CH-CH2-S-CH3 AMS 3,8-4,6
Allylmethyldisulfid CH2=CH-CH2-S-S-CH3 AMDS ~100
a
Allylmethyltrisulfid CH2=CH-CH2-S-S-S-CH3 AMTS 250-270
a
Propilmetildisulfida CH3-CH2-CH2-S-S-CH3 PMDS 0.7-0,8
S- CH2=CH-CH2-S-S-CH2- SAMC 2
allylmercaptocystei CH(NH2)COOH

152
ne
Dimetiltrisulfida CH3-S-S-S-CH3 DMTS 15-19
Dimetildisulfida CH3-S-S-CH3 DMDS 0,6-2,5
Allyl mercaptan CH2=CH-CH2-SH AM -

Umbi bawang putih segar mengandung hanya beberapa


senyawa aktif. Komponen utama senyawa sulfur organik di dalam
bawang putih utuh segar adalah senyawa-senyawa S-alk(en)yl-L-
cysteine sulfoxida (1,8%) dan peptida γ-glutamyl-S-alk(en)yl-L-
Cysteine (0,9%), kedua senyawa ini tidak menguap sehingga tidak
menimbulkan bau. Diperkirakan S-allyl-L-cysteinesulfoxida (alliin)
dan S-methyl-L-cysteine sulfoxida (methiin) merupakan senyawa
utama sulfur organik dalam bawang putih, bersamaan dengan S-(2-
carboxypropyl)glutation, γ-glutamyl-S-allyl-cystein, γ-glutamyl-S-
(trans-1-propenyl)cystein dan γ-glutamyl-S-allyl-mercapto-L-cystein,
mencapai 82 % dari seluruh kandungan sulfur di dalam bawang putih
utuh. Peptida γ-glutamylcystein adalah senyawa antara untuk
membentuk senyawa sulfur organik turunannya.
Penyimpanan yang lama atau selama perkecambahan dimulai
dari senyawa antara γ-glutamilcystein oleh enzim γ-
glutamyltranspeptidase diubah menjadi senyawa tiosulfinat seperti S-
allylcystein (SAC) yang juga terdapat di dalam bawang putih segar
yang berperan penting untuk kesehatan dalam beberapa sediaan
bawang putih. SAC yang aktif secara biologis merupakan komponen
utama yang berasal dari γ-glutamilcystein. Senyawa lain yang juga
berasal dari γ-glutamilcystein melalui reaksi hidrolisis dan oksidasi
adalah alliin dan methiin (lihat Gambar 13).
Alliin adalah prekursor stabil untuk pembentukan allicin dan
tersimpan di dalam kompartemens di dalam tanaman yang
memisahkannya dari enzim alliinase (alliin lyase). Jika bawang putih
diremukkan alliinase bercampur dengan alliin dan mengubahnya
menjadi allicin dengan bantuan enzim ini. Mula-mula alliinase
mengubah alliin menjadi asam 2-propenilsulfenik (R-SOH) sebagai
senyawa antara yang reaktif berkondensasi membentuk senyawa alkyl
alkan-tiosulfinat terutama menjadi allyl-2-propen thiosulfinat (allicin)
(80%) (lihat Gambar 13). Allicin sangat mudah menguap, tidak
bercampur baik dengan air dan memberikan bau bawang putih yang
diremukkan.

153
Gambar 13. Perubahan senyawa kimia bawang putih (Amagase, et
al., 2001)

154
Gambar 14. Reaksi perubahan senyawa sulfur organik (Majewski,
2014)

155
Gambar 15. Skematik metabolisme aliin
Allicin dan senyawa sulfinat lain seperti allyl methana
tiosulfinat, yang sangat tidak stabil, berubah menjadi diallyl sulfide
(DAS), diallyl disulfids (DADS), diallyltrisulfida, allyl methyl
trisulfida, dithiin dan ajoene. Reaksi ini dipengaruhi oleh kondisi
proses pengolahan seperti pH, suhu, polaritas pelarut. Disamping itu
juga terdapat senyawa fenol yang juga memiliki effek biologis,
bersifat stabil dan tidak berbau. Sehingga komponen sulfur di dalam

156
sediaan bawang putih kommersial bervariasi tergantung dari cara
proses pembuatannya. Dengan demikian produk dan sediaan bawang
putih berbeda kandungannya dan kahsiatnya tergantung pada cara
pengolahan dan varietas bawang putih yang digunakan. Enzim
alliinase rusak pada pemanasan diatas 60 oC maka ekstrak air dari
bawang putih yang diperoleh dengan pemanasan hanya akan
mengandung alliin. Karena serbuk bawang putih diperoleh dengan
mengeringkan dan menghaluskan umbi bawang putih sehingga
kandungan kimianya hampir sama dengan bawang putih segar.

3. Supplemen Bawang Putih


Beberapa jenis produk dari bawang putih telah banyak beredar
dalam perdagangan internasional, dan makin populer dalam dekade
terakhir ini terutama karena peranannya untuk meningkatkan
kesehatan. Supplemen bawang putih dapat dibagi menjadi empat
golongan; minyak essensial bawang putih (garlic essential oil), bubuk
bawang putih (garlic powder), maserat minyak bawang putih, dan
ekstrak bawang putih. Bentuk sediaan yang ada secara kommersial,
lihat Tabel 2.

Tabel 10. Beberapa Produk Supplemen Bawang putih


Supplemen Bentuk Komponen Mutu Produk Keamanan
Bawang sediaan bioaktif
Putih
Ekstrak Ekstrak Larut di dalam Diukur/ Aman
Bawang kental dan air:SAC, SAMC standardisasi
putih (Aged Serbuk dan sedikit dengan
Garlic senyawa sulfur kandungan
Extract; yang larut dalam SAC
AGE) minyak

Serbuk Dalam Alliin dan sedikit Tidak


Bawang bentuk sulfur organik mengandung
putih kapsul yang larut dalam allicin
(Garlic dan air
Powder) tablet

157
Minyak Dalam 1% sulfur organik Tidak Tidak
Essensial bentuk yang larut di mengandung terstandar
Bawang minyak dalam minyak allicin dengan
Putih dalam nabati baik
(Garlic kapsul
Essential
Oil)

Maserat Dalam Sulfur organik Tidak Tidak


Minyak bentuk larut dalam mengandung terstandar
Bawang kapsul minyak (dithiin, allicin dengan
putih lunak ajonene,  baik
(Garlic Oil DAS, DADS,
Macerate) DATS) dan alliin

Penelitian secara klinis juga menunjukkan bahwa serbuk


bawang putih kommersial menurunkan kadar lipida, trigliserida darah,
menurunkan tekanan darah, menaikkan aktivitas fibrinolitik dan
menginhibisi agregasi platelet. Tetapi effek farmakologis dari sediaan
kommersial bawang putih kadang-kadang tidak konsisten, mungkin
karena proses pembuatan dan dosis yang digunakan. Hal ini mungkin
karena i) kadar zat berkhasiat dalam sediaan ii) perbedaan proses yang
digunakan iii) komponen bioaktif dalam sediaan belum semua
terstandarisasi. Maka effek biologis dari ekstrak bawang putih
dipengaruhi oleh proses pembuatannya. Ekstrak yang dibuat pada
suhu kamar mengandung terutama allicin yang berbau. Ekstrak air
yang dibuat dengan pemanasan mengandung alliin yang tak berbau.
Ekstrak bawang putih dibuat dengan merendam bawang putih
yang telah diiris di dalam air dan alkohol encer selama waktu yang
bervariasi. Ekstrak yang diperoleh kemudian di pekatkan dan
digunakan. Senyawa yang merangsang dan mengoksidasi dalam
bawang putih mentah dapat dihilangkan dan di ubah melalui ekstraksi.
Ekstrak bawang putih khususnya Aged garlic extract (AGE) dibuat
dengan merendam irisan bawang putih di dalam alkohol 15-20 %
selama 20 bulan. Proses ini menyebabkan kehilangan allicin dan
menambah aktivitas senyawa baru seperti SAC, S-
allylmerkaptocystein (SAMC), allixin dan selenium yang relative
stabil, bioavailibiltas tinggi dan bersifat sebagai antioksidan. Sesudah
pemisahan larutan, biasanya ekstrak di pekatkan dan digunakan. Bisa
juga dijadikan bentuk serbuk. Ekstrak terutama ekstrak hasil

158
perendaman, mengandung terutama komponen yang larut di dalam air
dan sejumlah kecil yang larut di dalam minyak. Ciri dari ekstrak
adalah kandungan komponen yang larut di dalam air yakni SAC, dan
S-allyl mercaptocysteine (SAMC). SAC dapat digunakan sebagai alat
standardisasi karena SAC ini bioavailable dan dapat dideteksi dalam
plasma, hati dan ginjal sesudah dikonsumsi peroral. Selama
pemeraman, komponen yang berbau dan yang merangsang, dari
bawang putih diubah secara alamiah menjadi senyawa sulfur alami
yang stabil dan aman. Salah satu produk ekstrak dengan nama yang
terkenal adalah KYOLIC.
Minyak essensial bawang putih dibuat dengan cara
menghaluskan umbi di dalam air kemudian dilakukan steam destilasi
atau diekstraksi dengan heksan untuk memperoleh fraksi minyak.
Hasilnya dilarutkan di dalam minyak nabati, kemudian di buat dalam
bentuk kapsul [53]. Minyak bawang putih mengandung mono- sampai
heksa sulfida dari diallyl (57%), allylmetil (37%), dimetil (6%).
Sediaan minyak bawang putih yang diperdaganggkan mengandung
diallyldisulfida (DADS) (26%), diallyltrisulfida (DATS, 19%), allyl
metil trisulfida (AMTS, 15%), allilmetil disulfide (AMDS, 13%),
dialliltetrasulfida ( DATTS, 8%), allilmetil tetra sulfide (6%), dimetil
trisulfida (DMTS, 3%), penta sulfide (4%), dan heksa sulfide (1%).
Minyak bawang putih hasil maserasi di dalam minyak mengandung
9x lebih banyak vinyl-dithiin (5,7 mg/g) dan allilsulfida (1,4 mg/g)
dan 4x lebih banyak ajoene (0,4mg/g).
Minyak essensial bawang putih (MEBP) mengandung beberapa
senyawa sulfida seperti DAS, DADS, dan DATS . Selama proses
steam destilasi allicin akan tereliminasi dari minyak. Tersedia secara
kommersial kapsul minyak bawang putih mengandung minyak nabati
dan sedikit minyak essensial bawang putih karena aroma yang keras.
Maka supplemen yang tersedia meliputi serbuk bawang putih kering,
maserat minyak bawang putih, dan AGE. [3;20;35]. Minyak bawang
putih biasanya banyak digunakan sebagai bumbu masak seperti salad
dan sosis. Konsumsi yang teratur minyak bawang putih dapat
menurunkan tekanan darah, mencegah penyakit jantung termasuk
aterosklerosis, menurunkan kolesterol dan antikaner. Minyak bawang
putih adalah bersifat antibiotik, antivirus, antifungi. Juga dapat
digunakan sebagai antimual, diarrhe, dan batuk ringan serta
menaikkan kekebalan tubuh.

159
Bubuk bawang putih banyak diproduksi untuk digunakan
sebagai bumbu masak. Bawang putih diiris atau diremukkan,
dikeringkan dan kemudian dibuat menjadi serbuk. Bubuk bawang
putih masih mengandung komponen seperti dalam bawang putih segar
yang diremukkan, terutama alliin; akan tetapi jumlahnya sangat
bervariasi.[3,53]. Bawang putih yang dikeringkan mengandung alliin
dan alliinase harus dibuat dalam bentuk tablet salut agar effektif
karena asam lambung menginhibisi allinase. Karena allinase juga di
inaktivasi oleh panas, bawang putih yang dimasak kurang effektif
sebagai obat. [17]. Minyak maserat dibuat untuk digunakan sebagai
bumbu. Ada dua jenis minyak maserat bawang putih, dan keduanya
dibuat di dalam soft kapsul gel. Satu dibuat dengan mencampurkan
serbuk bawang putih dengan bubuk bawang putih, dan yang lainnya
dibuat dengan menggiling bawang putih segar dengan minyak nabati.
Produk ini mengandung alliin dan hasil peruraian allicin seperti
dithiins, ajoene, dan disulfida sehingga memberikan bau bawang putih
khas yang kuat.

4. Manfaat dan Khasiat Bawang Putih dan Produknya


Bawang putih telah digunakan berabad-abad sebagai obat.
Penggunaan dalam pengobatan meningkat akhir-akhir ini karena
banyak penelitian yang menunjukkan banwa bawang putih berpotensi
untuk mengurangi resiko penyakit jantung dan kanker. Komponen
dalam bawang putih bersifat antioksidan, memperbaiki immunitas,
merangsang sistim immunitas, meningkatkan sistim detoksifikasi zat
xenobiotik, protektif terhadap hati, bersifat antimikroba dan mungkin
juga dapat mencegah gangguan kesehatan mental. Bawang putih
merupakan produk herbal yang paling banyak digunakan di Amerika
dan diduga akan terus meningkat.
Allicin yang semula dianggap zat berkhasiat secara invivo,
dapat berubah menjadi senyawa lain dan menghilang selama proses
pengolahan dan juga di dalam tubuh. Allicin diserap sebanyak 95%
pada manusia tetapi cepat menghilang dalam darah dan tidak
terdeteksi di dalam darah atau urin setelah mengonsumsi bawang
putih. Allicin tak terdeteksi dalam darah sesudah mengonsumsi
bawang putih mentah atau allicin murni dalam 24 jam sesudah
mengonsumsi bawang putih segar 25 gram (90 mg allicin). Dalam hati

160
cepat berubah menjadi sulfur yang lebih sederhana seperti diallil
disulfida (DADS) dan allil merkaptan (AM). DADS juga dapat
berubah menjadi AM, allilmetilsulfida, allilmetilsulfoksida dan
allilmetilsulfone.
DADS dapat diserap sampai ke organ-organ. Akhirnya
diketahui bahwa allicin ini hanya merupakan senyawa antara yang
cepat akan berubah menjadi senyawa lain. Berarti allicin tidak aktif
secara invivo. Walaupun supplemen bawang putih tidak mengandung
allicin karena ketidakstabilan dan sifat reaktifnya, sebagian serbuk
bawang putih mengandung sejumlah tertentu alliin dan enzim
alliinase, sehingga akan menghasilkan juga allicin. Maka, allicin
bukan merupakan faktor utama untuk menentukan mutu dari produk
supplemen bawang putih. Bawang putih berkhasiat menurunkan
lipida, antiplatelet dan bersifat antiaterogenik sehingga berperan
mencegah penyakit jantung koroner.Bawang putih bersifat antibakteri,
dapat mencegah demam dan flu melalui peningkatan
kekebalan,bersifat antikanker, dan kemopreventif. Disamping itu,
ekstrak bawang putih (AGE) bersifat protektif terhadap hati, syaraf,
dan bersifat antioksidan.

4.1. Mencegah Penyakit Jantung Koroner


Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit gangguan
fungsi jantung karena aliran darah ke otot jantung melalui pembuluh
darah koroner tidak lancar bahkan dapat berhenti karena terjadi
aterosklerosis. Aterosklerosis adalah suatu penyakit dari arteri kecil
dan besar yang ditandai dengan disfungsi endothelium, inflamasi
vaskular, penumpukan lemak, kolesterol, kalsium, dan puing seluler di
dalam intima dinding pembuluh darah yang disebut plag. Proses
terjadinya aterosklerosis dipengaruhi banyak faktor resiko antara lain
kadar kolesterol dan trigliserida, peningkatan aktivitas platelet yang
menyebabkan pembentukan plag aterosklerotik, kadar homocystein
yang tinggi, perubahan metabolisme glukosa, tekanan darah tinggi dan
obesitas. Faktor resiko ini meliputi penyebab yang tidak dapat
dikendalikan (keturunan, jenis kelamin dan umur) dan penyebab yang
dapat dikendalikan seperti diet dan gaya hidup dan kebiasaan
merokok. Maka salah satu pendekatan yang mudah ditempuh adalah
melalui diet. Beberapa zat gizi di dalam makanan mempengaruhi
proses aterosklerosis tetapi yang paling dominan adalah lipida

161
khususnya lemak terutama kolesterol. Komponen bioaktif di dalam
makanan nabati seperti bawang putih dapat mengurangi resiko
perkembangan PJK. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor
penyebab yang tidak dapat kendalikan dapat diubah dengan
mengaktifkan gen yang menguntungkan dan menekan yang
merugikan.
Salah satu peranan yang penting dari kolesterol adalah sebagai
komponen dalam struktur membran. Sintesis dan penggunaan
kolesterol harus diatur secara ketat untuk menghindari akumulasi yang
berlebih dan deposit di dalam tubuh. Sirkulasi kolesterol di dalam
darah diregulasi oleh LDL yang berperan mengangkut kolesterol ke
jaringan sedangkan high density lipoprotein (HDL) untuk mengurangi
kolesterol dalam darah. Untuk mencegah aterosklerosis di upayakan
agar total kolesterol dan LDL tetap normal (120 mg/100 ml serum),
melindungi LDL terhadap oksidasi, sedangkan kadar HDL perlu
dipertahankan diatas normal (40 mg/100 ml serum). Jadi peningkatan
rasio HDL/LDL akan bersifat preventif terhaap PJK. Deposit
kolesterol yang tak normal sering terjadi pada arteri koroner menjadi
salah satu penyebab aterosklerosis melalui interaksi yang kompleks
antara kolesterol serum dengan komponen selluler pada dinding arteri.
Maka kadar total kolesterol serum merupakan faktor penting pada
perkembangan aterosklerosis. Normalisasi lipida dan lipoprotein yang
abnormal, mengendalikan tekanan darah yang normal, menurunkan
agregasi platelet dan menaikkan status antioksian dipercaya dapat
mengurangi resiko PJK.
Bawang putih mencegah PJK melalui berbagai mekanisme
antara lain menetralkan/menangkap radikal bebas dan oksidator,
meningkatkan kadar antioksidan dalam tubuh seperti superoxide
dismutase, catalase, gluthation peroksidase, glutahtion dan juga
dengan cara menghambat peroksidasi lipida dan prostaglandin
inflammasi. Bawang putih juga menghambat sintesa kolesterol,
mencegah oksidasi low density lipoprotein (LDL), menurunkan LDL
dan total koletserol tetapi menaikkan HDL, menghambat agregasi
platelet, menurunkan viskositas plasma dan tekanan darah, dan
memperbaiki sirkulasi mikro (microcirculation).
Pada awalnya dianggap allicin adalah komponen yang
berperan. Tetapi kemudian diketahui bahwa yang berperan adalah
SAC yang terdapat di dalam AGE dan DADS dalam minyak. SAC

162
telah diketahui dapat menurunkan kolesterol dengan cara menghambat
sintesa kolesterol melalui deaktifasi 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA
sebanyak 41%. Effikasi ekstrak bawang putih (AGE) bersifat additif
dengan statin dalam hal menurunkan kolesterol. Bawang putih
menurunkan kadar total kolesterol, LDL, VLDL tetapi menaikkan
kadar HDL. Supllemen bawang putih dan kunyit menurunkan sifat
aterogenik kolesterol dan mempertahankan fungsi endotelium yang
dimediasi oleh NO. Effek prtotektif dari bawang putih terhadap PJK
adalah melalui kapasitasnya menurunkan kadar lipida pada dinding
arteri. Bawang putih juga menaikkan eksresi kolesterol, dan melindugi
LDL terhadap oksidasi.
Bawang putih yang digoreng atau segar mengaktifkan aktivitas
fibrinolitik sehingga akan menaikkan effek antitrombotik. Disamping
itu bawang putihmencegah agregasi platelet dan mengurangi sintesa
tromboxane. Ajoene sangat kuat menginhibisi metabolisme asam
arahidonat melalui jalur cyclooxygenase dan lipoxygenase, sehingga
akan mereduksi sintesa tromboxane A2. Diantara senyawa yang larut
dalam air, SAC, S-ethylcystein (SEC), dan S-propilcystein (SPC)
menginhibisi sintesa koletserol sampai 60% dibandingkan dengan
30% oleh γ-glutamil-S-allylcystein (GSAC). Senyawa sulfur yang
larut di dalam minyak (DAS, DADS, DATS) menghambat adhesi
LDL yang teroksidasi oleh leukosit pada sel endotelium melalui jalur
protein kinase A (PKA) dan B (PKB). Pada konsentrasi rendah
menurunkan sedikit sintesa kolesterol tetapi pada konsentrasi tinggi (4
mol/liter) bersifat sitotoksik Semua zat yang larut dalam air, kecuali
S-allilmercaptocystein, tidak bersifat sitotoksik. Bawang putih
menginhibisi proliferasi sel-sel aterosklerotik dan juga sintesa
kollagen dan akumulasinya pada aorta sehingga merupakan effek
langsung terhadap proses aterosklerosis. Ekstrak bawang putih
menurunkan kadar kolesterol dengan cara menginhibisi enzim yang
terlibat dalam pembentukan ester kolesterol, komponen utama dari
akumulasi lemak berlebih oleh sel. Sebaliknya, ekstrak bawang putih
merangsang hydralase ester kolesterol yang menguraikan ester
kolesterol dalam sel-sel aterosklerotik. Bawang putih memperlihatkan
effek antiaterosklerotik (terapetik) dan antiaterogenik pada penelitian
aterosklerosis.
Platelet (thrombocytes) adalah sel yang beredar di dalam aliran
darah yang berperan untuk mempertahankan integritas homeostasis

163
dari pembuluh darah dan menghentikan perdarahan pada luka melalui
aksi vasokonstriksi, dan koagulasi darah. Akan tetapi jika kadar
platelet tinggi dapat menaikkan resiko trombosis; pembentukan suatu
clot atau trombus ke pembuluh darah yang akan mengganggu aliran
darah melalui sistim aliran darah. Maka, sirkulasi platelet sangat
terkait dengan penyakit jatung koroner.
Platelet dalam sirkulasi darah dapat melekat pada dinding arteri
membentuk plag yang kemudian menyebabkan penebalan dinding
arteri dan mempersempit lumen pembuluh darah. Plag ini beragregasi,
menggabungkan kolesterol, lipida, dan lipoprotein, sehingga
menyumbat pembuluh darah yang disebut aterosklerosis. Disamping
itu keping plag dapat terlepas dan menyumbat di mana saja dalam
aliran darah. Penyumbatan pada arteri koroner dapat menyebabkan
serangan jantung. Maka, mempertahankan tekanan darah yang normal,
dan menghindari gangguan metabolisme lipida dan lipoprotein
khususnya kolesterol akan mengurangi resiko PJK. Maka faktor resiko
penyakit jantung koroner adalah faktor atau kondisi yang memicu
terjadinya aterosklerosis dibawah pengaruh zat-zat aterogenik (pemicu
aterosklerosis) yaitu imflammasi, kolesterol tinggi, homocystein
tinggi, tekanan darah tinggi, oksidatif stress (aktivitas radikal bebas
atau oksidator lebih tinggi daripada kapasitas antioksidan), diabetes
dan dementia.
Beberapa komponen biokimia seperti adenosine diphosphate
(ADP), collagen, epinefrin, arahidonat dan terutama tromboxane-A
meningkatkan agregasi platelet. Ternyata bawang putih menghambat
agregasi platelet yang diinduksi oleh ADP, epinefrin dan collagen.
Adenosine adalah komponen di dalam bawang putih yang berperan
penting sebagai antiagregasi platelet. Adenosine bersama dengan
allicin, ajoene bersifat antiagregasi platelet tanpa mempengaruhi
metabolisme arahidonat di dalam platelet. [11,28]. Untuk
hiperlipidemia, dianjurkan bawang putih yang mentah atau yang
direbus tidak lebih dari 20 menit sebelum dimakan, dan lebih effektif
jika dikonsumsi dengan minyak ikan bersama bahan makanan yang
mengandung antioksidan. Natrium alkenyl thiosulfate 2-propenyl
thiosulfate (2PTS) yang ada di dalam bawang putih yang direbus
memiliki potensi untuk mencegah PJK dengan menginhibisi agregasi
platelet. Karena zat ini tidak mudah menguap, zat ini adalah
komponen antiplatelet yang relatif stabil terhadap panas, namun tidak

164
semua penelitian memperlihatkan efek yang sama sebagai anti
platelet.

Antihipertensi
Hipertensi adalah salah satu faktor resiko aterosklerosis. Effek
hipotensif dari bawang putih telah diketahui sejak 1921. Berabad abad
bawang putih telah digunakan sebagai obat antihipertensi di China dan
bahkan di Jepang dikenal sebagai antihipertensi. Sampai 1950-an,
para dokter di Amerika masih memakai bawang putih sebagai obat
antihipertensi. Walaupun telah banyak antihipertensi modern saat ini,
tetapi herbalist masih sering menganjurkan bawang putih sebagai
antihipertensi.
Effek antihipertensi diyakini karena bawang putih dan
sediaannya dapat secara temporer meningkatkan produksi NO sampai
30-40%, suatu faktor protektif terhadap serangan jantung dan
dementia sesudah stroke. NO endogen yang dihasilkan oleh sel-sel
endotelial melalui síntesis NO merupakan faktor penting dalam
relaksasi pembuluh darah yang akhirnya akan menurunkan tekanan
darah. Meningkatkan produksi H2S dan menginhibisi angiotensin II
dan menginhibisi proses kalsifikasi arteri koroner sehingga
mengurangi resiko miokardial infark.
Hasil reaksi antara kaptopril dengan allicin menghasilkan
allylmercaptocaptopril yang dicobakan pada hewan percobaan
ternyata lebih effektif sebagai antihipertnesi; karena captopril dapat
menginhibisi angiotensin-converting enzyme (ACE) dan allicin dapat
mengurangi kadar kolesterol dan trigliserida. Dengan mereaksikan
captopril dengan allicin terbentuk allylmercaptocaptopril, senyawa
yang lebih stabil, menurunkan tekanan darah dan trigliserida dan tak
berdampak terhadap kadar insulin darah. Senyawa yang stabil ini
merupakan obat takanan darah yang berpotensi obat darah tinggi dan
menurunkan trigliserida darah. Namum demikian hasil penelitian
tentang effek hipotensif dari bawang putih masih bervariasi dan
inkonsisten.

165
Effek Terhadap Hyperhomocysteinemia
Homocystein (HCy) adalah suatu senyawa asam amino sulfur
hasil metabolisme asam amino esensial methionin. HCy terdapat di
dalam plasma dalam beberapa bentuk. Sekitar 70% berikatan dengan
protein plasma, terutama albumin, melalui ikatan disulfida. Selebihnya
berada sebagai bentuk bebas, tereduksi atau bergabung melalui
oksidasi dengan thiol yang lainnya seperti cystein membentuk
senyawa disulfida, atau molekul homocystein lain menjadi dimer
HCy. Kadar total HCy di dalam plasma menjadi hal penting karena
kalau kadar meningkat (hyperhomocystenemia) merupakan faktor
resiko untuk perkembangan kardiovaskular. Hyperhomocysteinemia
disebabkan berbagai faktor antara lain faktor keturunan, tetapi
peningkatan Hcy biasanya disebabkan oleh defisiensi asam folat,
vitamin B6 dan/atau vitamin B12, dan penggunaan obat-obatan akan
mengganggu metabolisme vitamin.[3]. Peningkatan homocystein
merusak sel-sel endothelial yang melapisi pembuluh darah dan
menginduksi thrombosis yang dapat mengarah ke serangan jantung
dan stroke. Homcystein menyebabkan kerusakan pada DNA dan

166
menginduksi apoptosis, suatu penyebab utama pada kematian syaraf
(neuronal death) pada dementia. Peningkatan homocystein juga
menyebabkan hilangnya kemampuan berpikir (cognitive) dan
peningkatan dementia termasuk alzhemier’s disease (AD).
Disfungsi endothelium akibat penurunan kadar NO yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan oksidator berperan penting pada
patologi vaskular hyperhomocysteinemia. Diduga bahwa HCy dapat
mengganggu produksi faktor yang berkaitan dengan relaksasi
endotelium, merangsang proliferasi sel-sel halus (smooth cells),
menurunkan aktivitas NO, menginduksi vibrosis kardiovaskular [3].
Disamping itu, HCy adalah suatu faktor resiko untuk penyakit jantung
ischemik pada pasien diabetik. Bawang putih, karena mengandung
vitamin B6 dan B12 dan banyak senyawa aminothiol seperti SAMC,
DAS, dietil disluphide (DEDS) dan diprophyl disulfida (DPDS),
sehingga asupan bawang putih effektif untuk menurunkan kadar HCy
plasma[3]. AGE effektif untuk menurunkan kadar Hcy dan inhibisi
kalsifiksi arteri koroner sehingga memperlambat aterosklerosis. Effek
hipohomocystenmik dari AGE diyakini melalui menghambat
pembentukan Hcy, pengubahan Hcy menjadi metionin dan cystation.
AGE menurunkan stress oksidatif intraselluler dan merangsang
produksi NO dalam sel-sel endothelial.

4.2. Sifat Antikanker


Kanker adalah penyakit selluler yang meliputi lebih dari 100
jenis penyakit yang dicirikan oleh pertumbuhan sel yang tak
terkendali sebagai akibat dari perobahan-perobahan informasi genetik
sel. Pada keadaan normal pembelahan, differensiasi, dan kematian sel
(apoptosis) pada siklus sel diatur secara ketat dan terkendali. Semua
kanker dimulai dari satu sel yang telah kehilangan kontrol pengendali
terhadap pertumbuhan dan replikasinya. Kerusakan genetik sel pada
DNA dapat terjadi oleh zat karsinogen seperti nitrosamin, amina
heterosiklis, hidrokarbon poliaromatik, radikal bebas, keadaan
oksidatif stress, inflammasi kronis, virus dll.
Bawang putih adalah sejenis bumbu yang paling tua memiliki
sifat antikanker dan telah digunakan sejak sekitar 1550 sebelum
masehi. Bawang putih memiliki efek untuk mencegah dan melawan
kanker melalui berbagai mekanisme. Aktivitas kemopreventif melalui
kemampuan bawang putih untuk memodulasi aktivitas enzim-enzim

167
metabolisme yang mengaktivasi atau detoksifikasi karsinogen,
antioksidan, mencegah pembentukan adduct DNA dalam jaringan
target dan memperbaiki sistim immunitas. Bawang putih juga
merangsang sel-sel yang mempengaruhi sistim kekebalan seperti T-
cells dan jumlah serta aktivitas natural killer cells. Bawang putih
effektif memulihkan kembali sistim imunitas yang telah dirusak oleh
obat kemoterapi, irradiasi UV, dan stress fisiologis. Akan tetapi
pemanfaatan bawang putih sebagai antikanker pada zaman modern
dimulai tahun 1950 setelah diteliti oleh Weisberger dan Pensky tahun
1958.
Komponen bawang putih dapat mengubah metabolisme
karsinogen dengan menaikkan aktivitas sistim enzim detoksifikasi
yang menaikkan polaritas karsinogen sehingga memperlancar
ekskresinya dari tubuh, dan dengan menginhibisi aktivasi
prokarsinogen oleh cytochrom P450. Glutathion-S-transferase (GST)
dikenal sebagai enzim detoksifikasi dalam metabolisme fase II dari
obat-obat yang mengeluarkan elektrofil yang berbahaya dengan
membentuk konyugasi dengan glutathion (GSH). Maka GST dapat
berperan dalam metabolisme karsinogen yang bersifat elektrofil.
Misalnya, kanker yang diinduksi dengan benzopyran pada tumor
lambung dapat dicegah. Komponen bioaktif dalam bawang putih
seperti AMD, DATS dan DADS meningkatakan aktivitas GST.
N-nitroso methtyl benzylamine (NMBA) dan 1,2-
dimethlyhydrazine (DMH) adalah pro-carcinogen, yang dimetaboliser
di dalam hati menjadi karsinogen dan kemudian melekat ke inti sel
yang menyebabkan mutasi pada inti. Proses ini dapat dicegah dengan
pemberian diallylsulfida yang terdapat dalam bawang putih. Hal ini
membuktikan bahwa diallylsufida ini dapat mencegah perubahan
procarcinogen menjadi karsinogen dan yang merupakan salah satu
awal dari terjadinya kanker. Ekstrak air bawang putih menginhibisi
kanker pada tikus yang diinduksi dengan karsinogen
dimetilbenz(a)anthrance (DMBA) dengan cara memodulasi kadar
peroksidasi lipida dan glutiation (GSH), GST dan
glutathionperoksidase (GPx). Bawang putih pada diet dapat menekan
produksi adduct DNA oleh DMBA dan mencegah pembentukan
senyawa karsinogen nitrosamin. Nitrosamin dapat terbentuk dari
reaksi antara nitrit dan alkil amin yang dapat terjadi di dalam makanan
atau di dalam lambung dan usus. Diduga bahwa bawang putih

168
mencegah reduksi nitrat menjadi nitrit oleh bakteri, sehingga kadar
nitrit yang rendah di dalam lambung sebagai prekursor nitrosamin
akan mengurangi resiko kanker lambung. Bubuk bawang putih
meningkatkan kadar glutation dan aktivitas GST pada hati tikus dan
jaringan payudara. Pemberian oral bawang putih meningkatkan secara
signifikan kadar berbagai enzim detoksifikasi yakni GST, cytochrome
P450 pada hati murine. Pemberian sari bawang putih segar
menginduksi apoptosis dan menginhibisi proliferasi pada
perkembangan kanker kolon dan menekan pembentukan adduct dari
DMBA-DNA pada kelenjar payudara in vivo.
Sifat antikanker terutama ditemukan dari AGE, serbuk bawang
putih, suspensi bawang putih, dan SAC, DADS, DAS, DATS. Jumlah
minimum yang memberikan respon dari DATS, DADS, SAC, dan
DAS masing-masing 6, 100,125 dan 1000 mg/kg bb setiap hari pada
hewan (29;34). DATS dapat mencegah perkembangan kanker melalui
berbagai mekanisme (jalur), potensiasi detoksifikasi karsinogen,
menghambat siklus sel cell cycle arrest), induksi apoptosis, menekan
signaling onkogenik, inhibisi angiogenesis.
Ekstrak dalam dari bawang putih segar, DAS, dan SAC dapat
mereduksi pembentukan adduct benzopyrane-DNA pada limposit
darah perifer manusia yang diinduksi dengan benzopyrane secara in
vitro. DAS dan DADS dilaporkan telah menginhibisi pembentukan
adduct DNA dengan N-acetyl-2-aminofluorene pada sel tumor
kandung kemih manusia. Suatu hal yang menarik adalah bahwa
pembentukan heterosiklik aromaik amin (HAA) dikurangi secara
bermakna selama memasak ikan dan daging pada suhu tinggi dengan
cara mengasinkan dengan saus kunyit dan bawang putih sebelum
dimasak.
Telah dibuktikan bahwa diallylsulfida (DAS), diallyltrisulfida
(DAT), allylmethyldisulfida (AMD) dan allylmethyltrisulfida (AMT)
menginhibisi gastric malignancy pada tikus yang diinduksi dengan
Benz(a)pyrane. DAS dan turunan disulfide (DADS), AMT dan S-
allylycystein (SAC) dapat mengurangi tumor lambung yang diinduksi
dengan senyawa nitrosamin pada tikus. Beberapa senyawa sulfur
organik pada bawang putih seperti DAS mengurangi resiko kanker
kolon dan ginjal pada tikus yang diinduksi dengan diethylnitrosamin
(DEN). Di antara senyawa sulur bawang putih, SAC adalah yang
paling efektif untuk menghambat pembentukan nitrosamin. SAC dapat

169
menekan prolipferasi dan potensi metastatik dari hepatocelluler
carcinoma dengan cara memodulasi regulator yang penting dalam
proliferasi, invasi, apoptosis, siklus sel dan angiogenesis, sehingga
SAC berpotensi untuk mengobati kanker (hepatocelluler carcinoma).
Turunan allylsulfida dapat mengurangi effek samping dari obat
antikanker doxorubicin, dan juga dapat meningkatkan effikasi dari
doxorubicin jika dikombinasi dengan DADS yang akan menginhibisi
lipid peroksidasi mikrosomonal hati. Juga dapat mengurangi toksik
effek dari obat antikanker 5-fluorouracil. Phytochemical di dalam
bawang (dan makanan lain) dengan sifat antikosidan akan mengurangi
tingkat kerusakan DNA dengan menetralkan radikal bebas dan dengan
cara ini phytochemical bawang putih dapat mencegah kanker. Cara
lain kemungkinan mekanisme kerja antioksidan ialah menginhibisi
enzim–enzim yang penting dalam proses karsinogenesis. Terutama
enzim pro-inflammatory lipoxygenase karena enzim ini berperan
sebagai regulator dalam perkembangan karsinogenesis manusia,
karena dengan menginhibisi lipoxygenase ini akan memicu apoptosis
sel tumor, mereduksi mobilitas sel tumor, atau mengurangi
pembentukan angiogenesis dan pertumbuhan. Ajoene bersifat
antikanker in vivo terhadap hepatokarsinoma dan sarkoma melalui
pemblokiran siklus sel dan apoptosis. Disamping itu, ajoene bersifat
toksik secara selektif terhadap sel kanker tetapi tidak untuk sel
normal. DAS menunjukkan effek mekanisme untuk memperbaiki
DNA, melindungi DNA terhadap mutagen yang berarti mencegah
inisiasi karsinogenesis.
Allicin dengan mudah berdiffusi melalui membrane sel dan
menunjukkan effek biologisnya melalui reaksi dengan senyawa thiol
di dalam sel. Dalam sel hidup, glutathion (GSH) adalah senyawa thiol
bebas yang utama yang berperan dalam reaksi redoks. Oleh karena itu,
GSH merupakan target utama dari reaksi allicin dengan reaksi :

2GSH + CH2 = CH-CH2-(SO)-S-CH2-CH=CH2 (allicin) 2GS-


S-CH2-CH=CH2 S-allilmerkaptoglutathion (GSSA) + H2O.

Baik allicin maupun hasil reaksinya dengan GSH, S-


allylmercaptoglutathion (GSSA), dapat mencegah terbentuknya
radikal bebas. GSSA sama aktivitasnya dengan GSH tetapi lebih
rendah dibandingkan dengan aktivitas antioksidan dari allicin.

170
Selain dari senyawa sulfur organik, eruboside-B, suatu saponin
steroida yang diisolasi dari bawang putih, dan allixin (phytoalexin),
berperan penting dalam aktivitas antikanker dari bawang putih. Alixin
sebagai senyawa fenol adalah suatu inhibitor yang effektif dari
metabolisme phospolipida yang di stimulasi secara in vitro oleh
penyebab tumor. Bawang putih juga kaya akan flavonol, khususnya
kaempferol yang memiliki effek antineoplastik dengan membantu
detoksifikasi senyawa karsinogenik dengan menginduski apoptosis
melalui inhibisi enzim bioaktivasi (bioactivating enzymes) dan juga
karena bersifat antikosidan dan antiimflamasi.
Bawang putih adalah sumber penting dari selenium (Se) dan
germanium (Ge) yang berpotensi dalam pengobatan kanker. Maka
bawang putih yang diperkaya kandungan Se lebih berpotensi dalam
penyembuhan kanker dibandingkan dengan bawang putih biasa.
Peningkatan efek antikanker tersebut paling tidak karena sebagian
substiusi S (sulfur) oleh Se (selenium). Senyawa turunan dari Se lebih
superior dibandingkan dengan senyawa sulfur dari senyawa yang
sama. Misalnya, diallyl selenida lebih effektif 300 kali daripada DAS
dalam hal mereduksi tumor kanker payudara. Se methyl
selenocysteine adalah selenium organik dalam bawang putih dan
bersamaan dengan γ-glutamyl-Se-methyl selenocysteine, adalah
merupakan kandungan senyawa Se utama yang memiliki sifat
antikanker.
Tanaman mampu mensintesa asam amino sulfur dan derivatnya
dari sulfit dan sulfat dari dalam tanah. Demikian juga tanaman mampu
mensintesa asam amino yang mengandung selenium (mis.
Selenomethionine, selenocystein, dan Se-ethylselenocystein) dari
selenit dan selenat. Senyawa utama selenium didalam bawang putih
yang diperkaya dengan selenium adalah Se-methylselenocystein. Sifat
kimia dan fisika dari Se dan sulfur sangat mirip. Bilangan oksidasi
adalah -2,0,+2,+4,+6. Selenium metal inert secara biologis, sedangkan
selenit (+4) dan selenat (+6) bentuk aktif secara biologis. Dua
perbedaan antara sulfur dan selenium secara biologis adalah;
a)senyawa selenium dimetaboliser menjadi selenium yang tereduksi
sedangkan sulfur diubah menjadi lebih teroksidasi; b) senyawa
hidrogen dari Se (H2Se) lebih asam daripada senyawa hydrogen dari
H2S; misalnya selenium adalah donor ion hidrogen yang baik dan
terionisasi sempurna pada pH darah normal.

171
Pemakaian minyak bawang putih secara topikal dapat
menurunkan insiden dan pembelahan sel dan resiko kanker kulit yang
diinduksi dengan benzo(a)pyrene. Ekstrak air bawang putih effektif
mereduksi kanker mulut yang diinduksi dengan
dimethylbenz(a)anthracene (DMBA) pada hewan percobaan dengan
memodulasi kadar lipida peroksidasi dan glutathione, glutathion-S-
transferase (GST) dan glutathione peroksidase (GPx).[2]. Minyak
bawang putih aktif untuk mencegah kanker kulit yang diinduksi
dengan karsinogen pada tikus. Secara klinis DATS juga telah
diketahui effektif untuk mencegah kanker dan DATS aman dalam
dosis yang besar pada manusia [21]. DATS sebagai antikanker karena
zat ini mengubah enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme
karsinogen, siklus sel (cell cycle arrest), induksi apoptosis, menekan
jalur transduksi onkogenik[21]. Menginhibisi pembentukan pipa
saluran (angiogenesis) atau antiangiogenik. [21]. Jadi DATS sebagai
antikanker dapat melalui banyak target yang meliputi potensiasi
detoksifikasi karsinogen, cell cycle arrest, induksi apoptosis, inhibisi
angiogenesis.
Respon tubuh terhadap antikanker dari komponen makanan
tergantung pada latar belakang dari genetik dari konsumen (effek
nutrigenetik), metilasi DNA, dan regulasi histon (effek nutrisi
epigenomik), kemampuna untuk menginduksi atau menekan pola
ekspressi gen (effek transkriptomik), keberadaan dan aktivitas protein
spesifik (effek nutriproteomik), dan/atau perubahan temporal dari
senyawa-senyawa berat molekul rendah selluler (effek metabolomik).
Pengetahuan ini perlu dipahami untuk meramalkan secara tepat dari
seseorang terhadap bawang putih atau makanan lainnya.
Kemungkinan berbagai mekanisme antikanker terjadi secara
serentak, dan juga merupakan suatu kenyataan bahwa senyawa sulfur
organik bawang putih tidak terlepas dari pengaruh komponen yangada
di dalam diet. Maka tidak mengherankan jika hasil penelitian yang
tidak konsisten tentang benar tidaknya bawang putih sebagai faktor
yang yang berperan pada proses terjadinya kanker[37,43]. Di antara
beberapa faktor komponen diet yang turut mempengaruhi khasiat
bawang putih sebagai antikanker adalah total lemak, selenium,
methionine, dan vitamin A. Dilaporkan bahwa selenium, baik sebagai
bagian dari komponen bawang putih atau sebagai komponen diet akan
meningkatkan sifat antikanker bawang putih. Effek kombinasi dari

172
bawang putih dan tomat menngkatkan sifat antikanker dengan cara
menurunka aktivitas enzim fase I dan menaikkan aktivitas enzim fase
II pada hewan percobaan. [1,30,43]. Cara lain adalah dengan
meningkatkan kepekaan sistim immuntas dan pada saat ini effek ini
diangap yang paling berperan langsung sebagai antikanker (direct
anticarcinogen action of garlic). Dapat disimpulkan bahwa effek
antikanker dari bawang putih dapat terjadi melalui tiga mekanisme
yaitu (a) menghambat secara langsung metabolisme sel tumor (b)
menghambat inisiasi dan/atau tahap promosi karsinogenesis dan (c)
modulasi respon tubuh dengan meningkatkan fungsi makrofag dan
limfosit-T.

4.3. Sifat Antimikroba

Aktivitas Antibakteri
Bawang putih telah lama digunakan di berbagai kelompok
masyarakat di dalam mengobati penyakit infeksi. Louis pasteur (1858)
dan Lehman (1930) membuktikan secara ilmiah tentang penggunaan
ekstrak bawang putih dalam pengobatan dan sifat antibakeri. Pada saat
Perang Dunia I dan II bawang putih telah digunakan untuk mengobati
luka dan disentri. Di India bawang putih digunakan untuk mencegah
luka dan pengawet makanan [3,17,28,56]. Allicin merupakan senyawa
aktif dalam bawang putih. Bawang putih bersifat sebagai antibiotik
spektrum luas aktif terhadap berbagai spesies bakteri, virus, protozoa
dan jamur. Bawang putih aktif terhadap shigella dysentriae,
staphylococcus aureus, pseudomonas aureginosa, escherichia coli,
salmonella spp, dan proteus mirabilis. Juga aktif terhadap virus,
herpes simplex, HIV dan influenza. Aktif terhadap bakteri yang telah
resisten terhadap antibiotik. Bawang putih bubuk dan komponen lain
aktif terhadap helicobacter pylori.
Bakteri yang biasanya penyebab keracunan makanan meliputi
streptococcus (S. Viridans dan S. Haemotyticus) Vibrio cholera,
Pseudomonas, Portues vulgaris, Klebsiella enteriditis, Clostridium dan
Micrococcus dihambat oleh bawang putih segar, serbuk bawang putih
yang dikeringkan secara vakum, dan minyak bawang putih. Bawang
putih juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri penghasil toksin
seperti Bacillus sp (B. Typhosus, B. Dysentriae, B. Subtilis, B.

173
Megaterium, B. Pumitus, B. Mycoides, dan B. Thurigiensis),
Escherichia coli.
Sifat antibakteri dari bawang putih terutama adalah karena
allicin. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa jika ekstrak bawang
putih disimpan pada suhu kamar maka aktivitas antibakteri sangat
berkurang. Penurunan ini sangat sedikit jika ekstrak disimpan pada
suhu 0-4o C, menunjukkan bahwa ketidakstabilan komponen aktif
pada suhu yang tinggi. Pemanasan dan paparan sinar UV pada ekstrak
segar bawang putih akan menurunkan sifat antibakteri terhadap
bakteri patogen. Perubahan allicin menjadi diallil disulfida
menurunkan sifat antibakterinya. Karena ketidakstabilan dan
reaktifitasnya yang tinggi, allicin tidak bersifat antibakteri secara in
vivo.Senyawa sulfur organik yang merupakan hasil penguraian dari
allicin juga bersifat antibakteri yang menyebabkan bawang putih
bersifat antibakteri. Effek antibkateri dari bawang putih melalui
beberapa mekanisme terutama inhibisi sintesa RNA dan tetapi juga
DNA. Terjadi reaksi pertukaran dari thiol-disulfida antara senyawa
sulfur dalam bawang putih dan gugus thiol dalam enzim bakteri
seperti alkohol dehidrogenase, thioredoxin reduktase, trypsin, protese
lain dan DNA dan polymerase DNA (diperlukan untuk replikasi
kromosom bakteri). Kerusakan seperti ini dapat mempengaruhi
metabolisme sel dan oleh karena itu pertumbuhan dan virulensi
bakteri terganggu. Perbedaan struktur dari strain bakteri dapat
mempengaruhi kepekaan bakteri. Pencegahan infeksi dan penyakit
lainnya dapat terjadi oleh bawang putih dengan cara memperbaiki dan
meningkatkan fungsi sistim immunitas tubuh.
Bawang putih effektif terhadap strain bakteri yang sudah
resisten terhadap antibiotik. Juga telah diteliti potansi bawang putih
sebagai antibiotik dan ternyata bawang putih lebih effektif daripada
beberapa antibiotik seperti penicillin, ampicillin, doxycycline,
sterptomycin dan cephalexin terhadap Staphylococcus, Escherichia,
Proteus, Pseudomonas dan Klebsiella. Tambahan lagi, DAS, DADS
telah menunjukkan potensinya untuk terapi pengobatan infeksi oleh S.
aureus yang resisten terhadap methicillin, dan allicin memperlihatkan
efek bakteriostatis terhadap enterococi yang resisten terhadap
vancomycin. Effek sinergisme diperoleh jika dikombinasi dengan
vancomyxin. Diduga bahwa allicin dapat memodifikasi gugus-gugus
sulfhydril pada enzim-enzim dari transposon TN 1546 yang berkaitan

174
dengan resistensi vancomycin sehingga meningkatkan kepekaanya
terhadap vancomycin.
Bawang putih dapat menghambat pertumbuhan dari bakteri
penyebab borok atau kanker lambung yaitu Helicobacterpylori.
Konsentrasi ekstrak yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan
bakteri ini sampai 90% adalah 5mg/ml, dan bahkan lebih effektif dari
pada antibiotik kommersial untuk bakteri ini. Tetapi aktivitas terhadap
bakteri H. pylori masih memerlukan penelitian lanjutan untuk
memastikannya. Berbagai sediaan dari bawang putih memperlihatkan
sifat antibaktei spektrum luas terhadap Gram (+) dan Gram (-).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa sifat antibakteri bawang
putih berbeda terhadap bakteri patogen dan bakteri yang
menguntungkan probiotik. Pertumbuhan bakteri patogen seperti E.coli
dihambat 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan terhadap probiotik
Lactobacillus casei. Perbedaan ini belum diketahui, mungkin karena
perbedaan komposisi membrane sel yang menyebabkan perbedaan
permeabilitas terhadap allicin.

Aktivitas Antifungi
Bawang putih effektif sebagai antifungi spektrum luas terhadap
ragi dan fungi antara lain Epidermophyton dan Trichophyton dua dari
tiga dermatophyte, Candida, Torulopsis, Cryptococcus, Rhodotorula
dan Trichosporon. Ekstrak air dari bawang putih telah digunakan
untuk mengobati meningitis cryptococcal karena jamur Cryptococcus
neoformans. Ekstrak pekat dari bawang putih dapat bersifat fungisida
dan fungistatik yang effektif terhadap C. Neoformans dan juga
memperlihatkan effek sinergis dengan amphotericin B. Bawang putih
lebih effektif daripada nystatin untuk menghambat pertumbuhan fungi
termasuk aspergillus dan penicillium. Sifat antifungi dari ekstrak
bawang putih ini tergantung pada konsentrasi dari allicin dan senyawa
hasil peruraiannya seperti DAS, DADS, DATS dan ajoene. Percobaan
aktivitas terhadap candida dan aspergillus menunjukkan bahwa
aktivitasnya ditemukan adalah: DATS>DADS>DAS [3]. Dengan
reaksi yang sama DATS dan SAC yang merupakan hasil peruraian
allicin sebagai antijamur dengan mempengaruhi enzim squalene
monooxygnase suatu enzim yang penting pada pembentukan sel
jamur. Diduga, bahwa perubahan status tiol oleh senyawa sulfur
adalah satu mekanisme allicin sebagai antiprofilasi sel tumor.
Inhibisi pertumbuhan dari Candida albicans oleh ekstrak

175
bawang putih adalah karena inhibisi terhadap sintesa protein, lipida
dan asam nukleat. Senyawa aktif dari bawang putih yang
menghancurkan sel fungi adalah dengan menginhibisi succinate
dehydrogenase sehingga akan mengurangi daya ikat terhadap oksigen
(oxygen uptake ) menghalangi pertumbuhan, mengubah profil lipida
pada membrane sel, dan menginhibisi sintesis dinding sel fungi oleh
alilamine. Senyawa ini menginhibisi squalene monoxygenase, enzim
yang terlibat dalam pembentukan dinding sel fungi disamping
essensial untuk sintesa kolesterol. Oleh karena itu, bawang putih dan
turunannya kemungkinan dapat memenuhi syarat untuk dimanfaatkan
sebagai antifungi karena, disamping aktif terhadap spektrum luas dari
fungi dan ragi, serta murah dan aman.
Kultur bakteri yang sudah resisten terhadap kloramfenikol
ternyata sensitif terhadap bawang putih. Hasil pemecahan dari allicin
yang merupakan komponen utama sebagai antifungi di dalam bawang
putih memiliki cara yang sama sebagai antibakteri, antikanker, dan
antikolesterol. Sebagian hasil peruraian allicin dapat merembes
melalui membran sel dan berikatan dengan senyawa yang
mengandung gugus dengan atom sulfur di dalam asam amino dan
protein, dengan demikian, akan mengganggu metabolisme sel. Sel-sel
manusia tidak akan dirusak oleh turunan allicin karena mengandung
glutahtion, suatu asam amino yang mengandung sulfur yang
bergabung dengan derivatif allicin sehingga mencegah terjadinya
krusakan sel. Effek antibakteri bawang putih yang dikombinasi
dengan omeprazole menunjukkan efek sinergistik terhadap
Helicobacter pylori.
Ekstrak bawang putih effektif melawan virus, dan pada
konsentrasi tinggi (1 mg/ml) kemampuan untuk menginfeksi dari virus
direduksi. Allicin, ajoene, DATS, allyl methyl tiosulfinat dan methyl
allyl tiosulfinat menunjukkan aktivitas antivirus, dan ajoene adalah
komponen yang paling aktif.Diallyl trisulfida dalam bawang putih
aktif terhadap human cytomegalovirus (HCM-V).

4.4. Effek Antidiabetes


Insulin berfungsi sebagai kunci untuk membuka pintu sel agar
glukosa dapat masuk ke dalam sel untuk digunakan sebagai energi.
Jika fungsi insulin terganggu maka glukosa tidak dapat dimanfaatkan
oleh sel, dan glukosa tetap berada di dalam darah. Diabetes mellitus

176
ditandai dengan tingginya kadar gula (hiperglisemia), sebagai akibat
dari gangguan sekresi dan aktivitas insulin atau keduanya. Sebagai
akibat dari hiperglisemia adalah meningkatnya glikasi protein dan
pembentukan senyawa akhir hasil glikasi lanjutan. (advanced
glycation endproducts; AGEs). Upaya pengendalian kadar gula darah
pada diabetes sangat penting untuk mencegah/mengurangi terjadinya
komplikasi [29,33,58]. Akumulasi dari AGEs ini akan mengubah
struktur dan fungsi dari biomolekul terutama protein yang disertai
dengan meningkatnya oksidatif stress, memicu terjadinya dislipidemia
yang menyebabkan komplikasi diabetes mellitus. Effek diabetes
mellitus adalah kerusakan jangka lama yang mengarah pada gangguan
dan kegagalan dari berbagai organ. Salah satu yang dapat ditempuh
dalam penanganan diabetes adalah pemberian obat yang bersifat
hypoglisemik agar pembentukan AGEs dapat ditekan. Berarti inhibisi
pembentukan AGEs dianggap berperan penting dalam patogenesis
komplikasi diabetes. Maka komponen anti-glikasi dengan sifat
antioksidan dapat berpotensi dalam terapi komplikasi ini.
Hiperglisemia pada diabetes yang tidak terkendali menurunkan daya
tahan terhadap infeksi; dapat meningkatkan glukosa dalam air ludah
dan mendukung pertumbuhan bakteri pada gusi sehingga gigi mudah
lepas.
Belakangan ini ada kecenderungan pemakaian obat herbal
untuk menangani diabetes terutama bawang putih. Beberapa obat juga
diperoleh dari tanaman obat seperti metformin berasal dari tanaman
Galya officinale, yang sebelumnya digunakan sebagai obat diabetes.
Berdasarkan laporan dari WHO, bawang puith dapat membantu
pengobatan diabetes. Bawang putih memiliki potensi antidiabetes.
Alliin menunjukkan aktivitas hipoglisemik yang hampir sama dengan
obat antidiabetes glibenklamid. Belum jelas mekanisme bagaimana
komponen bawang putih mempengaruhi hiperglisemia. Komponen
bioaktif antidiabetik dalam bawang putih yang mempunyai effek
antidiabetik ádalah methiin dan S-allyl cystein sulphoxida (SACS)
dengan tiga mekanisme; merangsang produksi insulin, dan sekresinya
oleh pánkreas, mengurangi penyerapan glukosa, dan menghemat
insulin. Mekanisme yang lain mungkin dengan menghemat insulin
karena gugus sulhidril (-SH) dapat bereaksi dengan senyawa seperti
cystein sehingga meningkatkan insulin dalam serum. Sifat antioksidan
dari bawang putih juga bermanfaat pada diabetes untuk mencegah

177
oksidasi LDL. Bawang putih mempunyai effek hipoglisemik,
hipolipidemik, dan hipokolesterolemik, menginhibisi pembentukan
AGEs (antiglikasi) oleh karena itu bawang putih dapat mengurangi
resiko terjadinya komplikasi pada penderita diabetes. Kombinasi
bawang putih dengan obat antidiabetes memperbaiki effek mengontrol
gula darah disamping juga memperlihatkan effek pada hiperlipidemik
dengan menurunkan LDL tetapi menaikkan HDL.

5. Manfaat lainnya
Bawang putih memberikan effek protektif terhadap hati, syaraf,
bersifat antidiabetes, Penyakit hati karena alkohol disebabkan oleh
radikal bebas dan oksidatif stress merupakan patogenesis hati dari
alkohol pada manusia dan pada hewan percobaan. Pada dasarnya
alkohol dimetaboliser menjadi asetaldehide yang bersifat sitoksik oleh
alkohol dehydrogenase dalam hati dan asetaldehide diokdidasi
menjadi asetat oleh aldehide oksidase memebentuk spesies oksigen
reaktif (ROS) melalui Cytp 450. sehingga asupan berlebih alkohol
menimbulkan produksi radikal oksigen yang mengarah ke penurunan
mekanisme pertahanan tubuh yang normal sehingga mengubah
aktivitas enzim, menurunkan pemulihan/reperasi DNA dan
menganggu penggunaan oksigen, peroksidasi lipida dan oksidasi
protein. Asupan oral bawang putih berperan sebagai antioksidan
diyakini merupakan obat yang potensial untuk penyakit karena asupan
alkohol berlebih.
Effek protektif terhadap penyakit jantung dari AGE juga
bersifat protektif terhadap otak, membantu mengurangi resiko
dementia, termasuk dementia vaskular dan alzheimer’s dissease (AD).
AGE berpotensi untuk melindungi otak dari kondisi degenerasi
(neurodegenerative conditions). Mekanisme ini meliputi penurunan
kolesterol, inhibisi inflammasi, menurunkan homocystein, mencegah
otak dari kerusakan oksidatif setelah ischemia, melindungi sel-sel
neuronal dari apoptosis (a programmed cell suicide triggered by
oxidative stress).

6. Keamanan
Bawang putih aman jika dikonsumsi dalam jumlah yang
biasanya ada di dalam makanan. Supplemen bawang putih relatif
aman jika dosisi yang dianjurkan diikuti. Effikasi dari bawang putih

178
diyakini sebagai pencegahan bukan pengobatan, sehingga harus
digunakan dalam waktu yang panjang sebagai supplemen yang
distandarisasi. Walaupun bawang putih aman jika digunakan sebagai
bumbu masak, tetapi sering ditemukan bahwa penggunaan yang
berlebih akan dapat menimbulkan masalah. Beberapa effek samping
antara lain ganguan pada lambung dan mencret, penurunan kalsium
dan protein serum, anemia, asthma brochialis, dermatitis, kerusakan
pada lapisan dinding usus halus dan lambung. Allicin adalah senyawa
yang mengirritasi, senyawa sulfur yang larut di dalam minyak lebih
toksikdaripada yang larut di dalam air, jika bawang putih diekstraksi
di dalam air dalam waktu yang lama akan mengurangi effek toksik.
Ekstrak bawang putih yang diperam seperti AGE (aged garlic extract)
tidak bersifat toksik.
Effek samping dari bawang putih adalah bau yang tajam dari
badan dan nafas. Effek yang jarang terjadi adalah kurang nyaman
pada saluran pencernaan jika dikonsumdi dalam jumlah yang banyak.
Menyebabkan effek potensiasi dengan antikoagulan dan agen
antiplatelet sehingga perlu dihindari bagi mereka ayang akan
menjalani operasi. Hindari mengonsumsi bawang puth dengan aspirin
atau obat yang mempengaruhi pembekuan darah atau HIV prtease
inhibitor. Kombinasi bawang putih dengan pengobatan antikoagulan
menyebabkan perdarahan yang berlebihan. Reaksi allergis bisa terjadi
pada orang dewasa yang sensitif karena kandungan allergan allicin,
diallilsulfida dan allilpropil disulfida. Penyakit asthma bisa terjadi
pada orang yang pekerjaannya sebagai pemanen bawang putih.
Karena pembentukan allicin dihalangi oleh pH asam lambung, maka
lebih effektif jika dibuat dalam sediaan tablet bersalut. Belum ada
dosis yang dianjurkan untuk anak-anak.

Kesimpulan
Senyawa yang terdapat di dalam bawang putih dapat bekerja
secara sinergistik untuk menghasilkan berbagai effek. Bawang putih
mempunyai effek yang menguntungkan yaitu effek antiaterosklerosis,
antikanker, antibakteri, dan antidiabetes. Bawang putih juga effek
protektif terhadap hati dan effek antioksidan. Effek farmakologis lain
adalah antikoagulan, antiimflammasi, dan modulasi immunitas. Akan
tetapi karena kompleksitas senyawa di dalam bawang putih, maka
proses pengolahan dan mutu bahan baku mempengaruhi komposisi

179
dari senyawa sulfur organik di dalam sediaan yang diproses dan
berarti mempengaruhi khasiat dan keamanannya. Oleh karena itu
sediaan bawang putih perlu distandradisasi sengan senyawa yang
stabil misalnya S-allilcystein (SAC).

180
BAB X
ZAT BERKHASIAT DALAM TEH

Air seduhan daun teh hitam dan teh hijau mengandung senyawa
polifenol yang bersifat antioksidan. Sifat antioksidan teh dan pengaruhnya
terhadap kesehatan diuraikan dalam bab ini.
Minuman yang diseduh dari daun teh (Camellia sinensis)telah
dikonsumsi manusia sejak dahulu, dari generasi ke generasi. Teh
mengandung banyak senyawa, di antaranya campuran dari berbagai
senyawa polifenol yang diyakini memiliki potensi untuk meningkatkan
kesehatan dan mencegah berbagai penyakit. Hasil penelitian selama 20
tahun terakhir ini menunjukkan bahwa senyawa polifenol yang terdapat
di dalam teh bersifat antihipertensif, antioksidatif, antiarteriosklerosis,
antikarsinogenik, dan hipokolesterolemik. Khasiat ini diyakini
terutama berdasarkan sifat antioksidan dari senyawa polifenol di dalam
teh.

A. Senyawa Polifenol
Teh adalah minuman yang paling banyak dikonsumsi oleh
manusia sesudah air putih, dalam jumlah kira-kira 120 ml per kapita
per hari. Biasanya, ada dua bentuk produk daun teh (Camellia sinensis)
yang siap untuk dikonsumsi, yakni teh hitam dan teh hijau. Teh hitam
paling banyak dikonsumsi (80 %), sedangkan teh hijau hanya sekitar
20 % saja. Teh hitam biasanya dikonsumsi di negara-negara barat dan di
beberapa negara Asia, sedangkan teh hijau terutama dikonsumsi di Cina,
Jepang, India, dan beberapa negara di Afrika Utara dan Timur Tengah.
Teh hitam diolah dengan cara yang berbeda dengan teh hijau
sehingga kandungan senyawa kimianya pun berbeda. Pada pengolahan
teh hijau, daun teh segar yang telah dipetik secepat mungkin dipanaskan
dengan uap panas untuk menonaktifkan enzim dan dengan demikian
mencegah proses fermentasi (peragian), kemudian dikeringkan. Teh
hijau mengandung epikatekin sebagai komponen polifenol utama yang
memiliki aroma khas teh hijau.
Pengolahan teh hitam dimulai dengan membiarkan daun teh segar
yang telah dipetik menjadi layu dan kadar airnya turun, hingga beratnya
tinggal 55 % dari daun teh segar. Dengan demikian, polifenol di dalam

181
daun teh menjadi lebih pekat. Daun yang telah dilayukan kemudian
digulung dan diremukkan, untuk memulai proses fermentasi senyawa-
senyawa polifenol. Proses ini akan memungkinkan terjadinya reaksi
oksidasi polifenol secara enzimatik oleh enzim polifenoloksidase.
Selama proses fermentasi, katekin diubah menjadi teaflavin dan
tearubigin. Struktur polifenol dalam teh ditunjukkan dalam Gambar 8.

(–)-Epikatekin

(–)-Epikatekin-3-galat

(–)-Epigalokatekin

(–)-Epigalokatekin-3-galat

Polifenol utama dalam teh hijau

182
Teaflavin

Tearubigin
Polifenol utama dalam teh hitam

Gambar 16. Struktur polifenol utama yang terdapat dalam teh hijau
dan teh hitam.

Komposisi kimia teh hijau sama dengan daun teh segar. Teh hijau
mengandung senyawa-senyawa polifenol yang terdiri atas flavonol,
flavandiol, flavonoida, dan asam-asam fenolat, yang diperkirakan 30 % dari
berat kering daun teh hijau.
The hijau adalah produk yang dibuat dari daun segar. Inaktivasi enzim
polifenol oksidase dengan cara steam atau dipanaskan dengan udara panas
pada suhu tinggi untuk memperthankan kandungan polifenol. Sehingga the
hijau kaya akan epicathechin, epictechin gallate (ECG), gallocatechin(ECG)
dan epigallocatechin gallate (EGCG) merupakan flavonol yang berperan
penting dalam kesehatan. Diperhitungkan bahwa setiap gelas teh hijau
mengandung sekitar 100-200 mg catechin (Lihat Tabel…). Teh hijau juga
mengandung quercetin, kaempferol, myricetin dan glikosidanya, apigenin
glikosida, dan lignin, tetapi kadarnya lebih rendah.
Umumnya, senyawa polifenol di dalam teh hijau adalah kelompok

183
flavonol yang dikenal sebagai katekin, yang terdiri atas epikatekin,
epikatekin-3-gallat, epigalokatekin, dan epigalokatekin-3-gallat
(EGKG). Sementara, polifenol utama dalam teh hitam adalah teaflavin
dan tearubigin. Teh hitam hanya sedikit mengandung katekin karena
sudah teroksidasi selama proses fermentasi.
Stabilitas katekin yang terdapat di dalam teh hijau telah diteliti oleh
Chen, et al. (1998) yang melaporkan bahwa katekin lebih stabil pada kondisi
asam. Akan tetapi, penambahan asam sitrat untuk menurunkan pH tidak
memperbaiki stabilitas, sedangkan penambahan asam askorbat sebanyak
0,2 mg/ml sebagai pengganti asam sitrat ternyata meningkatkan stabilitas
katekin secara signifikan, walaupun penurunan pH hanya sedikit
dibandingkan dengan penambahan asam sitrat. Mereka menyimpulkan
bahwa peningkatan stabilitas katekin oleh asam askorbat bukan karena
pengaruh keasamannya, dan bahkan katekin stabil di dalam larutan
asam askorbat yang alkalis.

Tabel 11. Kadar Flavonoida dan hasil oksidasinya di dalam Teh


Flavonoida Senyawa Kadar dalam Kadar dalam
Teh Hijau Teh Hitam
(mg/gram) (mg/gram)
Flavonol 50-100 60-80
Quercetin 10-20
Kaempferol 20-45 14-16
Myricetin 2-5
Flavanol 300-400 50-100
Catechin 10-20 5
Epicatechin (EGC) 10-50 10-20
Epigallocatechin 30-100 10-20
Gallocatechin 10-30 -
Epicatechingallat 30-100 30-40
(EGC)
Epigallocatechin gallat 100-150 300-600
(EGGG)
Flavandioal 20-30 -
Asam 30-50 100-120
fenolat
Theaflavin 30-60
Thearubigen 30-50

184
Telah diketahui bahwa asam askorbat berfungsi sebagai antioksidan
dalam tubuh dan dapat berperan dalam regenerasi α-tokoferol, dengan
mengubah bentuk radikal bebas α-tokoferol menjadi bentuk reduksinya
kembali. Diduga dengan cara yang sama asam askorbat juga dapat
melindungi katekin dengan mereduksi bentuk radikal bebas katekin
menjadi bentuk reduksinya. Dengan demikian, karena absorbsi katekin di
dalam usus terjadi dalam suasana yang sedikit alkalis, akan lebih baik jika
senyawa ini dikonsumsi bersama-sama dengan asam askorbat.

B. Polifenol Teh dan Resiko Ranker


Khasiat polifenol teh hijau untuk mencegah terjadinya kanker jauh
lebih besar dibandingkan dengan polifenol teh hitam. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan pada binatang percobaan, polifenol teh terutama
mencegah terjadinya kanker yang ditimbulkan oleh zat-zat kimia (karsinogen)
dan kanker kulit karena radiasi sinar ultraviolet. Penyakit kanker karena zat-zat
kimia yang dapat dicegah dengan mengonsumsi teh meliputi kanker paru-
paru, lambung, kerongkongan, usus dua belas jari, pankreas, hati, payudara,
usus besar, dan kulit. Relevansi informasi hasil percobaan pada hewan ini
terhadap kesehatan manusia dapat dikonfirmasi melalui observasi
epidemiologis, terutama pada penduduk yang rnemiliki resiko tinggi
terserang kanker.
Umumnya, sifat protektif terhadap kanker oleh teh hijau
diperankan oleh polifenol utama di dalam teh hijau, yakni EGKG. Secara
umum, polifenol bersifat meredam radikal bebas dan antioksidan baik
melalui delokalisasi elektron dan membentuk ikatan hidrogen intramolekuler
maupun dengan penataan kembali struktur molekulnya. Polifenol juga akan
membentuk kelat dengan tembaga dan besi bebas yang mengatalisis
pembentukan senyawa oksigen yang reaktif (reactive oxygen species; ROS).
ROS selanjutnya dapat memicu pembentukan radikal bebas.
Di Amerika, ekstrak teh hijau sudah dimasukkan ke dalam berbagai
produk seperti sampo, krim, minuman, kosmetik, es krim, dan lain-lain
yang tersedia di grosir dan apotek-apotek. Beberapa produk di Indonesia
yang mengandung ekstrak teh adalah produk minuman, misalnya lemon tea
dan fruit tea. Produk ini mengandung asam askorbat yang berfungsi sebagai
stabilisator dan sekaligus meningkatkan absorbsi polifenol di usus. Tingkat
penjualan teh hijau di Amerika meningkat dengan cepat dari seperempat

185
juta kg pada tahun 1995 menjadi satu setengah juta kg pada tahun 1999.
Konsumsi teh hijau juga dapat mencegah terjadinya kanker melalui
peningkatan efek menghambat tumor dari doxorubicin pada binatang
percobaan. Pemberian teh hijau akan menaikkan konsentrasi doxorubicin
hanya di dalam jaringan tumor, tetapi tidak di dalam jaringan normal.
Polifenol teh hijau umumnya juga akan meningkatkan aktivitas enzim-enzim
yang berperan di dalam proses detoksifikasi, seperti GST yang berfungsi
untuk menonaktifkan karsinogen dan mengeluarkannya dari dalam tubuh. Jika
fakta ini dapat dibuktikan pada manusia maka teh hijau mempunyai
prospek yang baik untuk kemoterapi kanker.

C. Polifenol Teh dan Penyakit Jantung Koroner


Mekanisme kerja dan khasiat polifenol dalam teh terhadap
PJKbelum diketahui secara pasti, tetapi beberapa hasil penelitian pada
hewan menunjukkan bahwa konsumsi teh dapat mengurangi resiko PJK
karena polifenol yang terdapat dalam teh dapat mengurangi agregasi
platelet sehingga mencegah trombosis koroner dan PJK. Peranan ini
didukung oleh sifat teh yang dapat menurunkan tekanan darah dan
kolesterol darah.
Di samping itu, polifenol juga bersifat antioksidan dan melindungi
kerusakan makromolekul asam nukleat, protein, dan lipoprotein dari
proses oksidatif. Pencegahan terjadinya oksidasi terhadap lipoprotein
akan mencegah proses atau memperlambat proses aterosklerpsis
(pengerasan dan penyempitan pembuluh darah). Penyakit lain yang
dapat dicegah oleh teh ialah stroke, osteoporosis, penyakit hati, serta
infeksi bakteri dan virus.

D. Rangkuman
Diyakini bahwa mekanisme kerja polifenol nabati secara
umum, terutama polifenol yang terdapat dalam teh, adalah (1)
menetralkan radikal bebas, (2) bersifat antioksidatif, (3) mening-katkan
aktivitas enzim detoksifikasi seperti glutathion-S-trans-ferase (GST),
dan (4) membentuk kelat dengan prooksidan logam besi dan tembaga.
Sifat antioksidan dari katekin (polifenol dalam teh hijau) lebih kuat
dibandingkan teaflavin dan tearubigin yang terdapat di dalam teh hitam.
Fakta yang diperoleh dari hasil penelitian pada hewan percobaan
membuktikan bahwa teh, terutama teh hijau, memiliki sifat antikanker
dan menurunkan resiko penyakit jantung koroner. Fakta ini belum tentu

186
sama efeknya pada manusia. Mekanisme kerja yang lebih terperinci pada
tingkat molekuler dengan interaksi polifenol teh dengan komponen lain di
dalam makanan masih perlu diteliti. Fakta tentang pengaruh positif
untuk mencegah kanker dan menurunkan resiko penyakit jantung
koroner pada manusia baru diketahui dari hasil investigasi epidemiologis.
Penelitian pada tubuh manusia masih sedang berlangsung, tetapi karena teh
sudah merupakan bagian dari diet sehari-hari, efek sampingnya tidak
perlu dikuatirkan, dan bahkan termasuk salah satu makanan fungsional.

E. Pelatihan
1. Sebutkan dan jelaskan perbedaan teh hijau dengan teh hitam!
2. Jelaskan dengan reaksi bagaimana polifenol bersifat antioksidan
dan menetralkan radikal bebas!
3. Jelaskan pengaruh percampuran vitamin C dalam seduhan teh!

187
BAB XI
MINYAK IKAN

1. Pendahuluan
Peranan minyak ikan untuk meningkatkan kesehatan dimulai
dari penelitian epidemiologis yang menunjukkan bahwa serangan
jantung koroner pada orang Eskimos walaupun mereka mengonsumsi
diet yang kaya akan lemak dan kolesterol. Prevalensi penyakit jantung
koroner juga terjadi di penduduk yang hidup sekitar di Turki dan
Jepang yang mengonsumsi banyak ikan di dalam diet sehari-hari
mereka. Ternyata hal ini adalah karena minyak ikan yang tinggi
menjadi alasan rendahnya kasus penyakit jantung koroner di kalangan
orang Eskimo, Turki, dan Jepang [Farooqui, 2009]. Salah satu yang
dapat dicatat adalah bahwa kesehatan di kalangan penduduk yang
hidup di daerah sekitar pantai menderita PJK lebih rendah
dibandingkan dengan penduduk di Negara Industri di Eropah.
Disamping itu hal yang sama ditemukan bahwa penduduk di daerah
pesisir pantai lebih sedikit menderita asma bronchiale, dan diabetes
[ Lands, 2005].
Minyak ikan kaya akan asam lemak tak jenuh ganda
(polyunsaturated fatty acids =PUFA) kelompok omega-3 yang
meliputi asam alfa-linolenat (α-linolenic acid=ALA; 18:3n-3),
docosahexaenoic acid (DHA; 22: 6n-3), dan eicosapentaenic acid
(EPA; 20:5n-3). Asam lemak DHA dan EPA tidak disintesa di dalam
tubuh manusia sehingga harus diperoleh dari makanan atau diturunkan
dari ALA melalui reaksi enzimatis untuk memperpanjang rantai dan
menambah ikatan rangkap di dalam asam lemaknya dan β-oksidasi di
dalam hati. Hati manusia juga mensintesa asam arahidonat dari asam
linoleat (LA; 18;2n-6) yang merupakan omega-6 yang juga asam
lemak essential. Jadi LA omega-6 dan ALA omega-3 merupakan asam
lemak essenssial yang bermanfaat untuk kesehatan.Jaringan syaraf
(neurons) tidak mampu mensintesa DHA dan EPA dari alfalinolenat
(ALA) dan asam arahidonat (ARA; 20:4n-6) dari asam linoleat (LA).
Maka, DHA dan ARA diperoleh dari hasil sintesa di hati dan diangkut
ke otak melalui lipoprotein plasma [Farooqui, 2009; Shahidi and
Senanayake, 2006]. ARA adalah merupakan komponen esensial dari
membrane pospolipida dan prekurosor dari eikosnoida. DHA dan EPA
mempunyai fungsi khusus di dalam membrane posfolipida. Disamping

188
itu EPA adalah prekursor dari sekelompok eikosanoida. Sumber
utama DHA dan EPA adalah minyak ikan.[Shahidi and Senanayake,
2006].
Dua kelompok asam lemak esensial yakni omega-3 dan omega-
6 dibutuhkan untuk fungsi fisiologis termasuk transport oksigen,
penyimpanan energi, fungsi membran sel, dan regulasi inflammasi dan
proliferasi sel. Asam lemak ini diperlukan untuk pertumbuhan normal
dan pematangan dari berbagai organ, dan terutama otak dan mata.
[Coletta, JM, et la,2010].
Baik EPA dan AA adalah prekursor dari senyawa aktif secara
biologis yang disebut eicosanoida. Kedua asam lemak ini
berkompetisi terhadap sistim cyclooxygenase yang menghasilkan
prostaglandin dan dan thromboxane, dan lipoxygenase yang
menghasilkan leukotrien. DHA biasanya tidak dianggap terlibat di
dalam pembentukan eiocosanoida, EPA adalah prekursor untuk seri-3
dari PGs dan menghasilkan PGE 3 dan PGI3 yang merelaksasi
myometrium.[Greenberg, et al, 2008].
Walaupun ALA yang berasal dari tumbuhan dapat diubah
menjadi EPA dan DHA di dalam tubuh, perubahan ini sangat rendah
dan bervariasi tergantung pada gender. Pada pria perubahan ini
berkisar 0-4% menjadi DHA dan 4-8% menjadi EPA, sedangkan pada
wanita sekitar 9,2% dan 21% menjadi DHA dan EPA. [Fernandez, et
2015; Magnat, I, 2009].
Asam lemak omega-3 yang utama adalah DHA dan terdapat
dalam jumlah yang banyak di dalam retina, dibandingkan di jaringan
lain. DHA dapat mempengaruhi permeabilitas, fluiditas, ketebalan dan
sifat fase lipida dari membrane fotoreseptor. Kekurangan DHA pada
jaringan juga berpengaruh pada fungsi retina. EPA yang merupakan
prekursor DHA dan omega-3 lainnya juga memberikan efek yang
sama seperti DHA.
EPA, DHA dan ARA berpengaruh pada kesehatan melalui
berbagai mekanisme. DHA, EPA dan ARA merupakan komponen
penting pada membrane neuron, sedangkanDHA dan EPA juga
berperan pada kesehatan jantung, dan ARA dan EPA adalah precursor
dalam pembentukan eikosanoida. ARA cenderung berperan pada
pembentukan eikosanoida pro-inflammasi sedangkan EPA cenderung
untuk pembentukan eikosanoida anti-inflammasi. Jika rasio yang
tinggi omega-6/omega-3 tinggi dapat merangsang neuroinflammasi.

189
Peningkatan omega-3 di dalam diet juga dapat berperan dengan
mengubah fluiditas sel CNS dan komposisi phospolipida yang dapat
mengubah struktur dan fungsi dariprotein yang terkait di dalam nya.
Dengan mekanisme ini menambah kadar omega-3 di dalam membrane
sel telah terbukti mempengaruhi neurotransmissi dopamine dan
serotonin khususnya di dalam frontal cortex. Oleh karena itu
kesetimbangan antara omega-3 dan omega-6 PUFA adalah kritis
dalam mempertahankan status asam lemak takjenuh rantai panjang
yang sehat dan dianjurkan supaya rasio n-3/n-6 adalah 1/1 atau 2/1
merupakan rasio ang optimal.[Bloch, MH, 2011; Janssen, and.. 2013].
Tipe diet orang Amerika kaya akan omega-6 terutama asam
linoleat yang akan diubah menjadi AA. Omega-6 dapat diperoleh dari
minyak nabati seperti minyak jagung. Satu sendok teh minyak jagung
sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan omega-6, tetapi kebanyakan
mengonsumsi minyak jagung sampai bisanya mereka mengonsumsi
sampai sepuluh bahkan 20 kali lipat. Sebaliknya asupan omega-3 tidak
optimal/rendah. Asam lemak omega-3 EPA dan omega-6 AA adalah
komponen yang esensial pada struktur sel untuk setiap sel di dalam
tubuh.[Greenberg, et al, 2008].

2. Effek Minyak Ikan terhadap kesehatan


Asam lemak Omega-3 di dalam minyak ikan sangat penting
untuk kesehatan manusia. Utuk memperoleh kadar yang cukup asam
lemak omega-3 di dalam jaringan tubuh manusia secara invivo,
diperlukan asupan minyak ikan yang banyak karena availabilitas dari
omega-3 dari minyak ikan ke sel-sel nueral tidak hanya dipengaruhi
oleh proses pencernaan dan transportasi tetapi juga metabolismenya.
Tambahan lagi, effikasi dari asupan minyak ikan tergantung pada
kondisi kesehatan seseorang. Asupan omega-3 3-5 gram per hari pada
kondisi normal dapat mengoptimalkan fungsi jantung, otak, paru-
paru, hati dan ginjal. Asam lemak ini mengurangi resiko PJK, dan
penyakit neurodegenerative. Asupan omega-6 yang berlebih dan jika
mencapai perbandingan n-6:n-3= 20:1, dapat memicu patogenesis dari
inflammasi dan autoimmune, dan neurodegenerative, sebaliknya, jika
kadar omega-3 tinggi (rasio n-6/n-3 rendah) akan bersifat menekan
dan mencegah PJK, type 2 diabetes, hipertensi, kanker, inflammasi
dan autoimmune, dan neurodegeratif.[Farooqui, 2009].

190
Efek menguntungkan
Cerebroprotek dari minyak ikan Kardioprotekti
tif f

Renoprotektif Pulmoprotekti
f
Spleenoprotek Vasoprotektif
tif
Hepatoprotekti
f

Gambar 17. Efek menguntungkan dari minyak ikan pada berbagai


organ tubuh manusia

Sebagai komponen esensial dari membran, EPA dan DHA


berinteraksi dengan komponen membran sel yang lain, terutama
phospolipida. Inkorporasi EPA dan DHA dengan membran phospolida
seperti phospatidylcholin (PC) phospatidyletanolamin (PE), dan
phospatidylserine (PS) dapat mempengaruhi berbagai sifat dari
membran. Dengan mengubah rasio kolesterol/phospolipid, DHA lebih
lebih kuat menambah fluiditas membran daripada EPA. Walaupun
kadar DHA lebih tinggi di dalam otak, diduga EPA berperan sebagai
messenger di dalam sel CNS karena metabolismenya yang cepat.
[Song., Shieh, CH., WU, YS., et la, 2016].
EPA dan DHA mempengaruhi fungsi dan metabolisme adipose
dengan mengatur jumlah jaringan adipose dengan regulasi proliferasi
dan diffrensiasi adipose dan apoptosis. Disamping itu, EPA dan DHA
juga meregulasi jalur pengendalian penyimpanan dan mobilisasi
lemak, menurunkan proses akumulasi lemak dan meningkatkan
metabolisme oksidatif dengan merangsang biogenesis mitokondria
dan oksidasi asam lemak. Tambahan lagi, EPA dan DHA juga
mampu memodulasi sensitivitas insulin adipose dan pemanfaatan
glukosa. [Fernandez, et 2015].

DHA berperan penting meregulasi sifat biofisik dari membrane

191
neural. Organ-organ otak yang banyak mengandung DHA adalah
korteks serebral sinapsis, dan juga photoreceptor batang retina.Bayi
yang diberi ASI yang mengandung DHA meningkatkan kadarDHA di
dalam otak (cerebralcortex) dibandingkan dengan bayi yang diberi
formula tanpa DHA. DHA sangat berperan pada perkembangan bayi
dan harus diperhitungkan dan diterapkan pada program pendidikan
masyarakat dalam hal kebutuhan/peranan gizi pada ibu hamil [Judge,
et al, 2007].
Omega-3 PUFA mengurangi perkembangan resistensi
insulin/T2DM, sedangkan asupan lemak yang tinggi khususnya lemak
jenuh menginduksi reistensi insulin/T2DM. Rasio n-3/6 diduga
berperan penting di dalam resistensi insulin dan T2DM.[ Liu, HQ, et
al, 2013].

3. Effek Minyak Ikan terhadap Jantung


Pada jantung, komponen minyak ikan, asam lemak omega-3
akan mempengaruhi sifat fisikokimia membrane (fluiditas,
permeabilitas), mengubah ekspressi berbagai gene. Omega-3
mengurangi preaterogenik cytokine, memperbaiki fungsi endothelial,
mengurangi okklusi vascular, meredakan proses aterosklerosis
koroner. Omega-3 juga diperlukan untuk fungsi sel otot vascular.
Asam lemak omega-3 juga mengatur kadar plasma fibrinogen dan
faktor koagulan tingkat VII. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
omega-3 mereduksi reaktivitas leukosit, aterosklerosis, dan
thrombosis. Disamping itu, minyak ikan menunjukkan effeknya
melalui mekanisme selluler yang berbeda meliputi effeknya pada
metabolisme lipoprotein, fungsi hemostatis, interaksi platelet dengan
dinding pembuluh darah, aksi antiarrithmia, dan juga melalui inhibisi
proliferasi sel-sel otot polos dan oleh karena itu mengurangi
pertumbuhan plag aterosklerosis. Asupan minyak ikan juga dapat
menurunkan tekanan darah dan modifikasi mekanisme neuroefektor
vascular. Manfaat utama dari minyak ikan adalah mediasi dalam
dinding vascular dan pada endothelium vascular, yang berperan
sebagai pusat regulasi dan pemeliharaan hemeostasis dan fungsi
kardiovaskular melalui pemebentukan NO dan eikosanoida. Selain
effek langsung pada kontraktilitas, omega-3 di dalam minyak ikan
dapat mempengaruhi aterogenesis melalui inhibisi proliferasi sel otot

192
polos vascular pada tingkat ekespressi gen dengan memodifikasi
ekspressi dari molekul-molekul inflammasi cytokine dan adhesi
[Farooqui, 2009]. Effek pada jantung terjadi melalui berbagai
mekanisme yakni effek antinflamasi, aterosklerosis, antiarrithmia,
antitrombotikrevaskularisasi.[Farooqui, 2009].
Berbagai mekanisme kerja dan peranan omega-3 EPA dan
DHA yang menguntungkan pada penyakit jantung koroner.
Mekanisme ini meliputi pencegahan arrithmia, menurunkan TAG
plasma, menurunkan tekanan darah, menurunkan agregasi platelet,
memperbaiki reaktivitas vaskular, dan menurunkan inflammasi.
[Bleslow, 2006].
Dianjurkan asupan omega-3 sebanyak 350 mg dari minyak ikan
per minggu untuk menaikkan EPA dan DHA. Asam lemak omega-3
rantai pajang mengurangi resiko CVD melalui berbagai mekanisme
yang meliputi penurunan lipida, marker inflammasi, dan platelet.
[Papanicolaou, et al, 2014].
PUFA omega-3 salah satu faktor diet yang berpengaruh pada
penurunan kognitif selama penuaan. EPA dan DHA krusial pada
perkembangan otak dan fungsi normal otak. DHA terutama penting
pada fungsi otak karena pengaruhnya pada sifat-sifat membrane neural
yang mengatur signaling sel. Konsentrasi DHA menurun pada
penuaan pada manusia,dan tikus dan hal inilah diduga sebagai
penyebab penurunan fungsi susunan syaraf pusat. Hal initelah
dibuktikan pada hewan percobaan; hewan yang diberi omega-3 yang
rendah menyebabkan penurunan kognitif, yang dapat diperbaiki
dengan supllemen omega-3 dan memperbaiki kemampuan memori
pada tikus yang tua. [Danthiir, V., et 2011].

3.1. Effek antiinflammasi dan antiaterosklerosis


Inflammasi adalah respon fisiologis terhadap infeksi atau luka
yang dicirikan dengan lima tanda yakni; rasa sakit, panas, kemerahan,
bengkak, dan kehilangan fungsi. Tujuan dari respons inflammasi ini
adalah untuk melindungi tubuh dari serangan dan kerusakan dan
mengembalikan homoeostasis fisiologis. Misalnya sesudah infeksi,
mediator inflammasi dengan sifat vasodilatasi meningkatkan aliran
darah, sehingga kemerahan dan panas, pembuluh darah (vessels) juga
menjadi lehib permeabel yang menyebabkan udema. Sensitivitas

193
terhadap sakit bertambah sebagai akibat respons terhadap bradykinin.
Fungsi utama dari respons inflammasi adalah untuk mengirim
mediator molekuler dan seluler dari imunitas ke jaringan yang
diserang. Penyakit inflammasi kronis adalah infiltrasi yang
berkesinambungan dari sel leukosit dari darah, melalui sel-sel
endotelium yang telah aktif ke jaring yang terserang. [Yates, CM, Te
la, 2014].
Aterosklerosis, adalah suatu keadaan patologis dimana terjadi
deposit dari lipida, kolesterol, kalsium, dan zat lain menempel pada
lapisan bagian dalam dinding pembuluh darah arteri dalam bentuk
plak. Proses ini adalah suatu proses aktif berkaitan dengan aktivasi sel
vascular, inflammasi dan thrombosis. Proses inflammasi pada dinding
vaskuler merusak stabilitas aterosklerosis dan memproduksi mediator
lipida dan biomarker yang menyediakan penetrasi ke mekanisme
molekuler pathogenesis dari aterosklerosis dan kaitannya dengan
reaksi inflammasi. Walaupun omega-3 dan omega-6 terdapat di
dalam jaringan mammalian, metabolisme kedua kelompok asam
lemak ini sangat berbeda. Perbedaan struktural antara keduanya
mengubah pembentukan mediator lipida yang menghasilkan effek
biokimia yang berlawanan pada sel-sel vaskuler. Maka, mediator
lipida dari omega-6 (eikosanoida) bersifat protrombotik, proagregatif,
dan proinflamasi. Tambahan lagi, eikosanoida menaikkan ekspressi
cytocine inflamasi.Sebaliknya, omega-3 membentuk mediator lipida
(dokosanoida) yang bersifat antiinflamasi, antithrombotic,
antiarrhitmik, hipolipidemik, dan vasodilator. Dokosanoida
menurunkan cytocine inflammasi. Walaupun sifat-sifat biologis
keduanya berbeda di dalam hal pembentukan mediator lipida,
keseimbangan antara asupan omega-3 dan omega-6 penting karena
kedua asam lemak ini berkompetisi terhadap enzyme yang sama.
[Farooqui, 2009]. Maka, ARA (C:20:4; n-6) dan EPA (C20:5;n-3)
bersaing terhadap siklooksigenase dan lipoksigenase. ARA
menghasilkan eikosanoida seri 2 dan 4 yang bersifat proinflammasi
dan prothrombik, sedangkan EPA menghasilkan eikosanoida seri 3
dan 5 yang berlawanan sifatnya dengan effek hasil omega-6 dan
memiliki effek bilogis yang jauh lebih rendah. Eikosanoida yang
berasal dari EPA (thromboxan A3, B3 dan leukotrien B5) bersifat jauh
lebih rendah dibanding dengan mediator yang berasal dari ARA
seperti prostaglandin, leukotriene dan tromboxan. Resolvin E1(RvE1)

194
yang berasal dari EPA menurunkan inflammasi dengan cara menekan
aktivasi nuclear factor-kB (NF-kB) sehingga juga menekan ekspressi
dan sintesa cytokine dan chemokine. Pada tingkat nanomolar, RvE1
secara drastis akan menekan inflamasi dermal, peritonitis, migrasi sel
dendretic, dan produksi inerleukine IL-12. Dengan memadamkan
ekspressi gen proaterogenik inflamasi oleh n-3 menyebabkan tingkat
adhesi leukosit terhadap endothelium vaskuler, aterosklerosis dini, dan
tahap akhir dari perkembangan plag dan perpecahan plag, dengan
jelas, yang akhirnya menghasilkan suatu penjelasan yang masuk akal
untuk effek vasculoprotective dari n-3. DHA bukan substrat untuk
cycloxygenase. Aksi dari 15-lipoxygenase enzim pada DHA
menghasilkan dokosanoida (17S-resolvins, 10-,17S-docosatriene,
protectin, dan neuroprotectin). Pembentukan docosanoida bersifat
cardioprtective dan menghambat kerusakan dan kematian selluler.
DHA memiliki effek biokimia yang lebih potensial terhadap penyakit
jantung daripada EPA. Maka, DHA lebih effektif daripada EPA bukan
hanya menekan ischemia yang diinduksi oleh arritmia pada tikus dan
menghambat respon vasokonstriktor yang dimediasi oleh tromboksan
dalam aorta dari hipertensi pada tikus, tetapi juga menekan
perkembangan hipertensi pada tikus. Hal ini menunjukkan bahwa
walaupun EPA dan DHA menyebabkan effek biokimia yang berbeda
pada fluiditas membrane pada membrane plasma jaringan mammalian
tetapi memberikan efek yang positif.[Farooqui, 2009; Schacky, CV,.
and Harris, WS, 2007].

3.2. Effek Antiarrithmia dari Minyak Ikan


Arrithmia adalah keadaan dimana terjadi denyut jantung yang
tak normal(kecepatan atau lambat). Gejala-gejala dari arrithmia
jantung berkisar dari hilangnya kesadaran sampai kematian tiba-tiba.
Asam lemak omega-3 bersifat antiarrithmia pada jantung mammalia.
(lihat Gambar).

Penurunan
tekanan darah
195
Penurunan Penurunan
triasilgliserol denyut
Penurunan Penurunan
Minya viskositas
homosistein
k ikan darah

Penurunan
agregasi Peningkatan
platelet Stabilisasi fungsi sel
plak endotelial

Gambar 18. Efek fisiologi dan farmakologi minyak ikan

Mekanisme secara molekuler sebagai antiarrithmia dari omega-


3 belum diketahui. Akan tetapi, n-3 mengaktivasi protein kinase A
(PKA) dan menginduksi effeknya di dalam cardiac cell sama seperti
stimulasi oleh β-adrenergik. Omega-3 juga mengatur pembentukan
nitrogen oksida (NO) pada endothelium vaskuler dan sel-sel otot
polos. DHA dan EPA meningkatkan pembentukan NO oleh IL-1β
tergantung pada dosis, dan ARA tidak berpengaruh pada NO. DHA
adalah yang paling potensial dan ALA yang paling kecil effeknya
terhadap baik fluiditas dan blockade arus natrium. Pencegahan
overload kalsium di dalam mycocyte jantung dapat juga sangat
berkaitan dengan mekanisme antiarrithmik dari asam n-3. Injeksi
intravena minyak ikan pada anjing mencegah fibrillasi ventricular
dibandingkan dengan injeksi minyak kedelai, membuktikan bahwa
minyak ikan mempunyai aktivitas antiarrithmia pada jantung anjing.
Asupan minyak ikan, tetapi bukan minyak jagung, melindungi fibrilasi
ventricular yang diinduksi dengan dosis tinggi cathecolamine pada

196
tikus. Dari berbagai percobaan, omega-3 juga bersifat kardioproteksi
dengan memperbaiki fungsi sel endothelium, tekanan darah, dan
fungsi vascular dengan meningkatkan produksi NO.[Farooqui,
2009].Efek antiarrithmia dari EPA dan DHA belah ditunjukkan
dengan berbagai cara; menurunkan denyut jantung, mempercepat
kembalinya denyut jantung sesudah latihan fisik, meningkatkan
variabilitas denyut jantung sesudah mengonsumsi EPA dan DHA.
Pada pasien yang telah mengalami coronary bypass grafting, EPA dan
DHA menekan terjadinya fibrilasi arteri baru. Dengan dosis tinggi,
EPA dan DHA menurunkan tekanan darah. Komponen yangaktif
adalah DHA, paling tidak kik diberikan sebanyak 4 gram per hari.
Akan tetapi, tekanan darah menurun oleh 1 gram EPA dan DHA,
dosis yang biasa tidak memberikan dampak secara klinis.[Schacky,
CV,. and Harris, WS, 2007].

3.3. Antitrombotik dari Minyak Ikan


Trombosis adalah pembentukan atau keberadaan dari suatu
gumpalan darah di dalam pembuluh darah, mengganggu aliran dari
darah melalui sistim peredaran darah. Omega-3 juga bersifat
antithrombotic pada jantung mammalia. (lihat gambar). Pemberian
minyak ikan akan memperbaiki perfusi mikrovaskular pada ishemik.
Hal ini karena inhibisi adhesi leukosit dan reaktivitas dari platelet.
Seperti dijelaskan diatas, bahwa ARA berkompetisi dengan EPA
untuk enzim cyclooxygense menghasilkan lebih banyak
proaggregatory tromboksan B2 yang lebih potensial dari ARA dan
tromboksan A3 dan B3 yang kurang potensial dari EPA. Konsumsi
ikan dan minyak ikan menghambat pembentukan tromboksan B2
tanpamempengaruhi sintesa prostacyclin. Jadi dari fakta ini, diduga
bahwa n-3 dapat bersifat protektif pada jantung mammalia.
[Farooqui, 2009].

3.4 Effek omega-3 pada Revascularizasi


Revaskularisasi adalah proses pengembalian fungsi dari jantung
yang sakit. Prosedur revaskularisasi jantung manusia meliputi bypass
arteri koroner cangkokan. Omega-3 memiliki effek positif secara
klinis pada jantung setelah prosedur revascullarisasi. Sesudah bypass,
suplementasi omega-3 dosis tinggi (3,4 g/hari) mengurangi
angiografik dan occlusion. Di duga, bahwa (a) supplementasi n-3

197
meniadakan hipertensi dan menormalkan vasoreaktivitas koroner
terhadap acetylcholine pada pasiean transfplantasi jantung,(b)
meniadakan oklusi dari pencangkokan venus aortacoroner satu tahun
sesudah operasi bypass, dan (c) tidak meniadakan restenosis enam
bulan sesudah traditional percutaneus transluminal coronary
angiplasty. Omega-3 mencegah arrithmia, membentuk docosonoids,
menginhibisi sintesa cytokins proimflammasi, dan mengurangi
pembentukan plag. Disamping itu, omega-3 merangsang nitric oxide
synthase sel endotelium dan membentuk NO, yang akan merelaksasi
otot polos vascular. Proses ini akan memperbaiki sel endothelium.
Omega-3 juga menurunkan triasilgliserol plasma dan LDL. Effek
omega-3 terhadap sistim kardiovaskular lihat Tabel 1.3 [Farooqui,
2009].

Tabel 12. Effek Omega-3 terhadap sistim kardiovaskular


Omega-3 Effek
DHA dan EPA Mencegah arrithmia
EPA Sintesis eikosanoida yang kurang inflammatory
DHA Sintesa dokosanoida yang bersifat
antinflammastory
DHA dan EPA Inhibisi NF-kB dan sintesa cytokin
DHA dan EPA Stimulasi produksi NO
DHA dan EPA Menurunkan TAG dan VLDL
DHA dan EPA Mencegah pembentukan plag
DHA dan EPA Inhibisi trombosis

Omega-3 bekerja melalui berbagai mekanisme, dimulai dari


bergabungnya (inkorporasi) EPA dan DHA ke dalam membrane sel-
sel cardiac dan vaskular yang memodulasi sifat-sifat fisilogis
membrane dan aktivitas enzim-enzim yang melekat dengan
membrane. Segera sesudah dilepaskan oleh fospolipase A2, omega-3
berinteraksi dengan ion channel. Omega-3 dimetaboliser menjadi
berbagai bioaktif mediator lipida seperti thromboxane A3, B3 dan
leukotrin B5, resolving dan protectin. Oleh karena itu, kadar omega-3
di dalam darah dapat menjadi suatu refleksi kuat dari asupan di dalam
diet. Baru-baru ini di usulkan bahwa kandungan EPA dan DHA pada
membrane eritrocit dinyatakan sebagai persen total asam lemak dapat
merepresentasikan suatu factor resiko baru tidak hanya untuk

198
kematian dari PJK tetapi juga untuk kematian tiba-tibapada penyakit
jantung. Biomarker demikian disebut sebagai indeks n-3. Maka,
indeks n-3 merepresentasikan status dari seseorang. Indeks n-3 dapat
menentukan resiko untuk kematian penyakit tiba-tiba dan memonitor
terapi dengan EPA +DHA. Tambahan lagi, indeks ini tidak kalah
dengan factor resiko lain untuk kematian tiba-tiba penyakit jantung.
Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa factor resiko
kardiovaskular yang tinggi di Jepang menunjukkan bahwa penderita
jarang mati tiba-tiba. Kematian tiba-tiba penyakit jantung di Jepang 20
kali lebih rendah diandingkan dengan di Jerman. Di Jepang,
tingkat/kadar EPA dan DHA tinggi (indeks n-3 sekitar 11%),
sedangkan di Jerman rendah (indeks n-3 sekitar 4%. [Farooqui, 2009].

4. Effek Minyak Ikan terhadap Otak


Di bidang nutrisi kehamilan, omega-3dan omega-6 menunjukkan
fungsi yang penting di dalam janin dan perkembangan syaraf bayi
yang baru lahir dan peranannya pada inflammasi. AA dan DHA
sangat penting pada pertumbuhan da perkembangan CNS pada janin
dan bayi. Embeded di dalam posfolipid membran sel, AA terlibat di
dalam jalur cell signaling dan pembelahan sel, dan berperan sebagai
prekursor inflammatory untuk eicosanoida. DHA banyak terdapat di
dalam retina dan pospolipida membran otak, dan terlibat di dalam
fungsi penglihatan dan syaraf serta metabolisme neurotransmitter.
[Greenberg, et al, 2008].
DHA dengan cepat terakumulasi pada janin selama trismester
terakhir pada masa kehamilan, dan akumulasi ini mencapai sekitar 70
mg/hari. Pada masa trismester terakhir ini terjadi pertumbuhan otak
yang cepat sampai sekitar dua kali lipat yaitu dari 125 g menjadi 375g.
Baik asupan ibu hamil dan konsentrasi di dalam sirkulasi berperan
penting untuk memnentukan kadar DHA di dalam darah janin. Bayi
accrue DHA ke dalam CNS sampai berumur 18 bulan. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian omega-3 penting dilakukan pada
masa kehamilan trisemester terakhir ini.[Makrides, M, 2012;
Greenberg, et al, 2008]. Hasil penelitian menunjukan bahwa
pemberian suplemen omega-3 pada wanita hamil dan laktasi
memperbaiki inteligensia anak pada umur 4 tahun. [Helland, IB, et al,
2003.]

199
Gangguan hyperactive dan kurang kepedulian (Attention deficit
hyperactivity disorder; ADHD) relative meningkat pada anak-anak
dan prevalensi berkisar 8-10% tahun 2014. Kelainan ini dapat menjadi
penyebab kelainan jiwa sesudah dewasa seperti kurang tanggap,
alkoholik, kriminalis sesudah dewasa. Pada umumnya kelainan ini
diobati dengan metilpenidinat dan disertai dengan penanganan
kejiwaan. Pengobatan dengan bahan kimia ini menyebabkan efek
samping. Pada anak-anak penederita ADHD ini ternyata konsentrasi
20:4n-6, 20:5n-3 dan 22:6n-3 pada plasma rendah dan demikian juga
lipida eritrocit (20:4n-6 dan 22:n-6). Maka, diduga pemberian n-3 dan
n-6 dapat membantu di dalam penanganan kelainan ini.[Puri nd
Martins, 2014].
Pada otak terdapatDHA pada konsentrasi yang tinggi dan penting
pada fungsi otak dengan regulasi kehidupan sel dan neuro inflammasi.
DHA tidak dapat disintesa dalam tubuh, maka harus diperoleh dari
ikan atau disintesa dari ALA.Di dalam otak orang dewasa terdapat 5
gram DHA, 50 lipat dari EPA dan 200 lipat dari ALA. Walaupun
dalam tubuh DHA dapat disintesa dari ALA tetapi sintesis ini tidak
effisien. [ Domenichiello, AF et al, 2015]..
Omega-3 memasuki otak dari sirkulasi melalui lapisan darah otak
(blood brain barrier) dan bergabung pada posisi sn-2 dalam
gliserofosfolipida. Kadar yang tinggi DHA di dalam retina dan otak
menunjukkan bahwa asam lemak ini mempunyai peranan penting di
dalam fungsi retina dan otak. Penelitian pada hewan menunjukkan
bahwa rendahnya kadar DHA di dalam retina dan otak menyebabkan
berkurangnya fungsi penglihatan dan hasil pembelajaran (learning
deficits). Penuaan, tidak hanya menurunakan kadar n-3 di dalam otak
tetapi juga menurunkan nueroplastisitas membrane neural. Penurunan
kadar n-3 dengan penuaan disertai dengan menurunnya daya ingat dan
kemampuan belajar. Hal ini dapat diatasi dengan suplemantasi DHA.
Effek minyak ikan pada otak terjadi melalui beberapa mekanisme
yakni melalui effek pada membrane nueral, neuritogenesis, saluran ion
(ion channel) dan pada reseptor.[Farooqui, 2009]. Secara epidemiologi
diketahui bahwa asupan DHA yang tinggi akan mengurangi resiko
alzemir disease (AD). [Janssen, et la, 2013]

Penggabungan EPA dan DHA di dalam membrane neural tidak


hanya mempengaruhi sifat-sifat psikokimianya, seperti fluiditas

200
membrane, fermeabilitas, dan viskositas, khususnya di dalam sinapses
neuronal (synapses neuronal), tetapi juga mempengaruhi (modulate)
neurotransmitter, eksperessi gen, aktivitas enzim dan reseptor, ion
channel, dan immunitas. Omega-3 di dalam otak mencegah
penurunan kognitif pada orang yang tua sehat. Diduga effek ini
berkaitan dengan peranan n-3 dalam mempertahankan stabilitas dan
integritas struktural dari synapse yang akan memodulasi
neurotransmisi.[Farooqui, 2009].
Dari hasil penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa
DHA secara unik meningkatkan pertumbuhan neurite di dalam neuron
hippocampal. Perkembangan neurite yang tidak memadai karena
defisiensi DHA dapat berkontribusi pada gangguan pada kognitif
berkaitan dengan defisiensi omega-3. Di duga bahwa omega-3
bermanfaat pada jaringan otak melalui aksinya pada struktur
membrane neural dan berperan sebagai precursor untuk mediator
lipida yang potensial. Omega-3 tidak hanya terlibat di dalam
perkembangan kognitif, memori dalam pembelajaran, plastisitas
membrane syaraf, synaptogenesis dan transmissi synaptic, tetapi juga
dalam neuroproteksi dan ketahanan sel-sel neural.[Farooqui, 2009;
Ross, BM et al, 2007].

5. Effek pada depressi


Depresi adalah suatu gangguan otak yang bersifat kompleks,
poligenik, heterogen, multifaktor sehingga mempengaruhi mood pada
seseorang, maka disebut gangguan mood. Salah satu faktor yang
berpengaruh pada resiko depressi adalah respons terhadap omega-
3,maka tidak semua orang depressi dapat diatasi dengan pemberian
omega-3. Jika depressi disebabkan oleh kekurangan omega-3, maka
depressi ini saja yang dapat diatasi dengan omega-3. Gejala-gejala
depressi meliputi rasa kuatir, perasaan lethargy, mudah tersinggung,
merasa bersalah, susah berkonsentrasi, murung, capek, malas
beraktivitas. Cell signaling dan struktur membran sel diubah oleh
asam lemak omega-3 yang menunjukkan bahwa omega-3 dapat
berperan sebagai antidepresan. Juga diketahui fakta yang mendukung
bahwa omega-3 dapat digunakan untuk menanggulangi schizophrenia
dan gangguan depressi bipolar.[Wani, AL., Bhat, SA, and ,2015].
6. Effek Minyak Ikan pada Paru-paru
Penyakit dan bronkhitis ditandai dengan inflammasi yang

201
berkelanjutan. Maka, faktor dan obat yang menekan aktivitas
inflammasi mungkin bermanfaat untuk pasien yang demikian. Asthma
adalah suatu penyakit inflammasi kronis dari saluran pernafasan.
Penderita asthma sangat sensitif terhadap allergan tertentu. Mediator
yang berasal dari omega-6 berperanpenting dalam penyakit asthma,
maka diduga jika diet tinngi 0mega-6 meningkatkan resiko asthma.
Maka, mengatur keseimbangan antara omega-3 dan omega-6 berarti
juga dapat mencegah, atau paling tidak menurunkan morbiditas.
Secara epidemiologis, menunjukkan bahwa anak yang tidak
mengonsumsi ikan mengalami tiga kali lipat menderita asthma
dibandingkan dengan yang memakan ikan berminyak lebih dari satu
kali Asti Minggu. Pengobatan pasien asthma dengan supplemen
minyak ikan atau omega-3 memperbaiki kadar ARA di dalam
neutrophil, menurunkan chemotaxis neutropil dan menekan
pembentukan leukotrien.[Farooqui, 200;Yates, CM, Te la, 2014].

7. Effek Minyak Ikan terhadap Ginjal


Diet yang kaya akan omega-3 memperlambat terjadinya
penyakit ginjal pada manusia dan hewan percobaan. Pemberian
omega-3 akan mengurangi proteinuria dan ameliorates kerusakan
ginjal (ameliorates renal injury) pada murine lupus nephritis dan
penyakit ginjal lainnya. Supplementasi omega-3 juga menekan
perkembangan nephropathy IgA. Sebaliknya, hewan (anjing) yang
diberikan diet yang kaya akan omega-6 menyebabkan penurunan
fungsi ginjal yang berkaitan dengan proteinuria, hypercholesterolemia
dan meningkatkan kegagalan ginjal stadium akhir. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian minyak ikan atau DHA menekan
effek dalam fase akut atau kambuhan dari glomerulopathy dengan
menginhibisi aktivasi dan proliferasi dari sel-sel mesangial. [Farooqui,
2009].

8. Effek Minyak Ikan pada Lipida plasma


Omega-3 di dalam diet akan memodulasi kadar lemak di dalam
darah melalui berbagai mekanisme. Omega-3 akan menekan sintesa
TAG di dalam hati dengan cara menginhibisi aktivitas diasilgliserol
asiltransferase. Akan tetapi, pengaruh terhadap sintesa VLDL dan/atau
laju pengeluaran (removal) TAG VLDL dengan meningkatkan
lipolisis lipoprotein belum dikesampingkan. Omega-3 dilaporkan

202
meningkatkan sensitifitas jaringan tertentu terhadap insulin. Reduksi
sintesa TAG dan ester kolesterol terjadi dengan pemberian kombinasi
EPA dan asam oleat. Dianjurkan pemberian minyak ikan merupakan
salah satu cara sebagai alat secara klinis untuk mengatasi
hipertrigliseridemia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan
minyak ikan dengan dosis 3 gram/hari bersifat kardioprotektif. Effek
kardioprotektif adalah karena menekan arrithmia yang fatal daripada
stabilisasi plag aterosklerotik. Pada dosis >3gram/hari, EPA dan DHA
dapat memperbaiki faktor resiko penyakit jantung dengan
menurunkan TAG plasma, tekanan darah, agregasi platelet, dan
inflammasi, dan memperbaiki reaktivitas vascular. Assosiasi Penyakit
Jantung Amerika (American Heart Association) menganjurkan supaya
setiap orang mengomsumsi ikan berminyak dua kali seminggu dan
bagi yang penderita jantung koroner memakan 1gram/hari EPA dan
DHA dari ikan berminyak atau melalui supllemen. [Farooqui,
2009;Schacky, CV,. and Harris, WS, 2007].

9. Effek Minyak Ikan terhadap Hati


Minyak ikan bersifat hipolipidemik, antiobesitas, dan effek
antiinflammasi pada metabolisme lipida hati (hepatic lipid
metabolism). Efek antiobesitas dari minyak ikan diduga terjadi
melalui peningkatan metabolisme lipida intestinal. Diet kaya minyak
ikan juga memperbaiki profil lipida serum dengan menekan akativitas
reseptor liver X α (LXR α) di hati. Minyak ikan mengubah komposisi
asam lemak pada membrane hati, profil kolesterol lipoprotein plasma,
lipida empedu (biliary lipid), dan ekspressi protein yang terlibat di
dalam kebalikan transportsi kolesterol. Minyak ikan menurunkan
kolesterol HDL plasma, dan menaikkan kolesterol emepedu (biliary
cholesterol). Minyak ikan dapat memperbaiki profil lipida aterogenik,
platelet hiperagregasi, dan pertahanan antioksidatif pada tikus yang
diabetes yang diinduksi streptozotosin(STZ), dan perbaikan
tergantung pada effek minyak ikan pada pengendalian glisemik. Jadi,
dianjurkan, bahwa pemebrian minyak ikan menekan komplikasi
vaskuler pada penderita diabetes. [Farooqui, 2009].

10. Effek Omega-3 pada tekanan darah


Diet kaya DHA menurukan perkembangan tekanan darah tinggi

203
pada tikus yang hipertensif spontan. DHA akan menyebabkan
perobahan komposisi asam lemak di dalam organ dan vaskuler yang
berperan didalam regulasi pengaturan tekanan darah. Dapat dikatakan
bahwa asupan minyak ikan dalam jumlah sedang menurunkan resiko
jantung koroner kronis, stroke, penyakit hati dan ginjal. Effek
hipotensif disebabkan oleh perbaikan baik pada lipida serum dan
disfungsi ginjal.[Farooqui, 2009].

11. Anjuran Asupan Omega-3


Asupan berlebihan dari omega-3 dapat menimbulkan effek yang
tidak baik karena effek terhadap aktivitas enzimatik dan melalui
effeknya terhadap fermeabilitas membrane. Anjuran asupan omega-3
telah ditetapkan oleh berbagai lembaga international yang berkisar
antara 1-3 gram omega-3 per hari. [Farooqui, 2009]. Jika dosis oma-3
(EPA dan DHA) yang diberikan sebagai supplement lebih dari 3 gram
per hari (>3 gram /hari) pada faktor resiko PJK akan menimbulkan
gangguan padapencernaan (gastrointestinal uppset), pendarahan klinis,
memperburuk keadaan hiperglisemia, meningkatkan LDL. [Bresslow,
2006].

12. Sumber omega-3 dan toksisitas metil merkuri


Omega-3 dan omega-6 dapat bersumber dari minyak ikan dan
nabati. Ikan merupakan sumber utama dari omega-3 EPA dan DHA
yang sangat diprlukanuntuk ibu hamil. Tetapi mengonsumsi ikan
sebagai sumber omega-3 untuk ibu hamil perlu diperhatikan
jumlahnya. Ikan yang besar dan berumur panjang, kandungan merkuri
organik yang bersifat toksik bagi ibu yang mengandung, maka harus
dibatasi jumlahnya pada ibu hamil. Lebih baik dikombinasi dengan
suplemen minyak ikan untuk memenuhi jumlah yang dibutuhkan
untuk ibu hamil. Metil merkuri di dalam ikan besar dapat masuk ke
dalam placenta yang dapat menyebabkan efek negatif pada bayi yakni
kognitif atau IQ yang rendah. [Coletta, et la , 2010].

Kesimpulan
Minyak ikan mengandung omega-3 (DHA dan EPA). Asam

204
lemak ini mempunyai berbagai effek fisiologis bukan hanya terhadap
kesehatan normal (perkembangan jantung dan syaraf, visual,
kekebalan, dan fungsi ginjal), tetapi juga terhadap penyakit kronis,
seperti penyakit cerebrovascular dan kardiovaskular. DHA dan EPA
juga memodulasi kadar lipida plasma dan kerja insulin. Akan tetapi,
asupan yang banyak dari asam lemak jenuh dan omega-6 menaikkan
kadar eicosanoida, yang akan menginduksi tekanan oksidatif dan
inflamasi di dalam otak, jantung, dan ginjal dan dapat memicu
pathogenesis pada cerebrovascular, kardiovaskular dan penyakit
ginjal. Defisiensi DHA berkaitan dengan gangguan pada cognitif dan
effek tampilan perilaku yang penting selama perkembangan otak.
DHA juga memodulasi neurogenesis, neurotransmissi, dan
perlindungan terhadap oksidatif stress. [Farooqui, 2009].
Minyak ikan juga memperbaiki fungsi endothelium vascular
dan membantu menurunkan tekanan darah, sensitifitas platelet dan
kadar lemak serum. Minyak ikan di dalam diet juga menstabilkan
myocardium electrically sehingga akan menurunkan kepekaan
terhadap arrithmia ventricular, dengan demikian menurunkan resiko
kematian tiba-tiba. Minyak ikan memodulasi faktor koagulasi, cell-
mediated immunity, dan markers inflammasi. Effek neuroprotektif
dan kardioprotektif dari minyak ikan mungkin karena sifat
antiinflammasi, antioksidan, antieksitotoksik dari EPA dan
DHA[Farooqui, 2009].DHA sangat berperan pada perkembangan bayi
dan harus diperhitungkan dan diterapkan pada program pendidikan
masyarakat dalam hal kebutuhan/peranan gizi pada ibu hamil [Judge,
et al, 2007].

2. Transportasi, sintesis dan penggabungan omega-3 dan omega-6


di dalam gliserofosfolipida di dalam Otak

Pendahuluan
Membrane neural tersusun dari gliserofosfolipida,
spingolipida, kolesterol dan protein. Gliserofosfolipid dan
spingolipida mengandung fatty acil, alkenil dan rantai alkil non-polar.
Tingkat ketidakjenuhan pada PUFA menentukan berbagai sifat
membrane neural meliputi urutan membrane (membrane order), pola
kemasan (packing pattern), dan fluiditas. Variasi dalam panjang rantai

205
asil asam lemak, dan kejenuhan dan ketidakjenuhan menyebabkan
perobahan dalam sifat karakteristik muatan permukaan danfisikokimia
dari membrane neural. PUFA mengatur/memodulasi berbagai sifat-
sifat dan fungsi membrane neural. Ada tiga kelompk PUFA yang
terdapat di dalam membrane neural; n-3;n-6 dan n-9. Kelompok n-3
ialah;ALA (18:n-3), EPA (20:5:n-3), DHA (22:6:n-3). Kelompok n-6;
LA( 18:2;n-6), arahidonat ARA( 20:4n-6), asam adrenat (22: 4n-6),
dan kelompok n-9 adalah asam oleat 18;1n-9). [Farooqui, 2009].

206
BAB XII
FITOSTEROL DALAM MARGARIN

Margarin adalah produk yang mengandung lemak jenuh.


Pengaruh negatif dari lemak jenuh dapat dicegah dengan
menambahkan fitosterol dalam margarin. Bagaimana fitosterol berperan
dalam margarin diuraikan dalam bab ini.
Lemak sebagai salah satu komponen utama makanan memberikan
dampak positif dan negatif terhadap kesehatan. Lemak tidak hanya
menyumbangkan energi sebanyak 30% atau lebih dari total energi yang
diperlukan tubuh, tetapi juga merupakan sumber asam lemak esensial
linoleat dan linolenat, serta berfungsi sebagai pelarut vitamin A, D, E, dan
K sehingga dapat diserap oleh tubuh. Selain itu, lemak memberikan cita
rasa dan aroma yang spesifik pada makanan dan sulit digantikan oleh
komponen pangan lainnya. Akan tetapi, konsumsi lebih dari 30% dari
total energi yang diperlukan ternyata dapat memicu munculnya berbagai
penyakit, antara lain obesitas (kegemukan), beberapa jenis kanker,
peningkatan kolesterol yang merupakan salah satu faktor resiko dari
penyakit jantung koroner (PJK), dan stroke.
Ada beberapa cara yang telah ditempuh untuk mengurangi
pengaruh negatif akibat konsumsi lemak, terutama yang berkaitan dengan
sifat aterogenik dari lemak, antara lain mengurangi konsumsi lemak di
bawah 30% dari total energi, mengganti sebagian lemak dengan lemak
pengganti (fat substitutes),meningkatkan jumlah asam lemak tak jenuh
supaya tercapai komposisi yang ideal, mengurangi atau mengganti
lemak jenuh dari hewani yang mengandung kolesterol tinggi dengan
minyak nabati yang tak jenuh tanpa kolesterol, dan modifikasi lemak
terutama melalui interesterifikasi. Beberapa komponen nutritrif maupun
komponen minor non nutritif yang bersifat antiaterogenik dan
menurunkan kolesterol darah telah teridentifikasi, antara lain flavonoida,
serat pangan, dan fitosterol.

A. Margarin dan Kolesterolemia


Konsumsi lemak minimal belum diketahui dengan pasti, namun
World Health Organization (WHO) menganjurkan konsumsi lemak
minimum 20% dari total energi (sekitar 60 gram per hari untuk orang
dewasa). Konsumsi lemak per kapita di suatu negara ditentukan oleh
Gross Domestic Product (GDP). Makin tinggi GDP, makin tinggi pula

207
konsumsi lemak per kapita, tetapi rasio konsumsi minyak nabati/minyak
hewani relatif tetap dan spesifik karena pola menu makan spesifik.
Berdasarkan rasio konsumsi minyak nabati/hewani dan konsumsi per
kapita, negara-negara konsumen dapat dibagi menjadi beberapa
kelompok.
Rasio konsumsi minyak nabati/hewani 1-2 dengan konsumsi per
kapita 50,2 kg terdapat di Amerika, Eropa, dan Australia. Rasio konsumsi
minyak nabati/hewani 2-3 dan konsumsi per kapita 21,7 kg adalah
Jepang. Rasio konsumsi minyak nabati/hewani 20-30 dengan konsumsi
per kapita 22,5 kg adalah negara-negara Afrika Selatan. Sementara, di
Indonesia rasio konsumsi minyak nabati/hewani > 50 dengan konsumsi
per kapita 15 kg.
Dari data di atas terlihat bahwa orang Amerika dan Eropa
mengonsumsi minyak nabati dan hewani hampir sama banyak, dengan
jumlah total rata-rata di atas 40 % dari total energi. Diperkirakan,
sebanyak 50 juta penduduk Amerika mempunyai kadar kolesterol yang
tinggi (hypercholesterolemia).Sementara, di negara-negara
berkembang seperti Indonesia, konsumsi lemak kurang dari 20 %
(dibawah kebutuhan minimum), dengan rasio minyak nabati : hewani
lebih dari 50:1. Walaupun tingkat konsumsi lemak rendah dan
didominasi oleh minyak nabati, penyakit jantung koroner di Indonesia
cenderung meningkat dan termasuk penyebab utama kematian.
Lemak hewani, kecuali ikan, umumnya tergolong lemak jenuh.
Lemak hewani mengandung kolesterol, dan pada suhu kamar biasanya
berwujud setengah padat. Sebaliknya, lemak tak jenuh biasanya berasal
dari tanaman dan berbentuk cair pada suhu kamar sehingga disebut
minyak, serta tidak mengandung kolesterol (dapat diabaikan). Konsumsi
lemak yang berlebihan, yakni di atas 30 % dari energi total, dan
terutama lemak jenuh seperti margarin, biasanya akan menaikkan
kolesterol darah di atas normal (150-200 mg/100 ml). Lemak cair
atau minyak nabati (minyak dari tanaman) biasanya termasuk lemak
tak jenuh, umumnya tidak akan meningkatkan kolesterol jika jumlah
yang dikonsumsi tidak terlalu tinggi.
Margarin adalah salah satu produk makanan berupa lemak
setengah padat untuk dioleskan pada makanan, terutama roti, atau juga
untuk menggoreng. Margarin merupakan eniulsi air di dalam lemak, yang
terdiri atas 85 % lemak dan 15 % air. Ke dalam emulsi ini ditambahkan
zat-zat tambahan makanan seperti pengemulsi lesitin, pemberi cita rasa,

208
aroma, garam, zat warna, vitamin, dan lain-lain. Mentega berbeda
dengan margarin. Mentega dibuat dari lemak hewani, sedangkan
margarin dibuat dari minyak nabati atau campuran minyak nabati dan
hewani. Karena berbagai alasan, baik dari sudut agama maupun
dugaan pengaruh negatif terhadap kesehatan dan kandungan
kolesterol di dalam lemak hewani, lemak untuk margarin kemudian
diganti dengan minyak nabati. Akan tetapi, minyak nabati ini harus
terlebih dahulu diubah menjadi lemak setengah padat melalui proses
hidrogenasi parsial untuk mengubah lemak tak jenuh yang biasanya
berbentuk cair menjadi lemak jenuh yang menaikkan titik leleh dan
berbentuk setengah padat. Pada proses ini ternyata terjadi asam lemak
tak jenuh bentuk isomer trans (trans unsaturated fatty acid; TFA).
Semula dianggap bahwa TFA menguntungkan karena masih asam
lemak tak jenuh dan titik leburnya sama dengan asam lemak jenuh.
Belakangan diketahui bahwa TFA ternyata berdampak negatif
terhadap kesehatan karena bersifat aterogenik (memicu penyempitan,
penebalan, dan pengerasan dinding pembuluh darah) seperti asam
lemak jenuh dan menginhibisi aktivitas enzim yang berperan pada
metabolisme lipida fatty acid desaturase-elongase dan lecithin-
cholesterol acyl transferase (LCAT). Kemudian ditemukan suatu cara
untuk memperoleh lemak margarin dari minyak nabati melalui reaksi
interesterifikasi. Lemak margarin yang dihasilkan tidak mengalami
penjenuhan lemak. Perubahan titik lebur terjadi semata-mata karena
pertukaran posisi asam lemak di dalam molekul trigliserida tanpa
perubahan komposisi asam lemak dan tidak mengandung TFA. Hal ini
berarti tidak terjadi perubahan nilai gizi dari minyak nabati, namun
konsumsi lemak yang berlebih tetap bersifat aterogenik.

B. Fitosterol dan Fitostanol


Fitosterol adalah steroida (sterol) yang terdapat di dalam tanaman.
Fitosterol tidak disintesa di dalam tubuh manusia dan hewan. Pada
umumnya minyak nabati mengandung fitosterol 0,1 -0,5 %., sedangkan
minyak jagung dan minyak kanola mengandung fitostero, sampai 1%.
[Ratnayake, 2004]. Kebanyakan fitosterol di dalam makanan adalah
bentuk yang tak jenuh yaitu β-sitosterol, kampesterol, dan stigmasterol.
Fitosterol yang jenuh (stanol) seperti sitostanol dan kampestanol terdapat
di dalam minyak nabati dalam jumlah yang sedikit[Ratnayake, WMN].
Kedua kelompok senyawa ini mempunyai struktur yang mirip dengan

209
kolesterol, tetapi fitosterol mengandung gugus etil (-CH2-CH3) pada rantai
cabang. Sebagaimana pentingnya fungsi kolesterol di dalam membran sel
tubuh manusia dan hewan, demikian juga fitosterol di dalam tanaman.
Akan tetapi, kedua kelompok sterol ini memiliki sifat yang berlawanan.
Konsumsi kolesterol akan meningkatkan kadar kolesterol darah, namun
fitosterol dan fitostanol justru sebaliknya. Struktur kolesterol, fitosterol,
dan fitostanol ditunjukkan dalam Gambar 9.

KOLESTEROL FITOSTEROL

β-sitostanol

FITOSTANOL

β-sitosterol

Stigmasterol

210
Kampesterol Kampestanol

Gambar 19. Struktur kolesterol, fitosterol, dan fitostanol

Pada tanaman terdapat lebih dari 40 senyawa sterol yang


didominasi oleh beberapa senyawa dari kelompok fitosterol (α-sitosterol,
stigmasterol, dan kampesterol) dan fitostanol (α-sitostanol dan
kampestanol) yang terdapat dalam jumlah lebih sedikit. Fitosterol dan
fitostanol terdapat dalam bahan makanan nabati, seperti minyak, serealia,
buah-buahan, dan sayur-sayuran, dalam jumlah yang hanya sedikit. Oleh
karena itu, kedua senyawa tersebut harus diisolasi dan kemudian
dimasukkan ke dalam makanan seperti margarin, dengan jumlah yang
efektif untuk menurunkan kolesterol darah.
Kandungan fitosterol dan fitostanol di dalam beberapa jenis
makanan dan minyak lihat Tabel

Tabel 13. Fitosterol di dalam berbagai Minyak nabati

Minyak dan Kampesterol Stigmasterol Sitosterol


Lemak (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg)
Kelapa 18 296 1322
Biji kapas 170 42 3961
Jagung 2601 702 7722
Olive 28 14 1310
Sawit 139 73 358
Inti Sawit 59-130 35-174 746-2664
Kacang 360 2160 1536
Kedele 720 720 1908
Sumber: Weber, N., and Mukherjee, KD. (2006).

Fitosterol dapat menurunkan kadar kolesterol secara ekstrinsik

211
dengan menghambat absorbsi kolesterol dari usus, menghindari
kolesterol di dalam misel garam empedu, meningkatkan ekskresi garam
empedu, atau menghindari esterifikasi kolesterol di dalam mukosa
intestinal. Di samping itu secara intrinsik, fitosterol kemungkinan berperan
pada modifikasi acetyl-CoA carboxysilase dan aktivitas cholesterol 7-α-
hydroxylase. Peran fitosterol dan fitostanol untuk menurunkan
kolesterol telah mendapat pengakuan dari Food and Drug Administration
(FDA) serta dikelompokkan dalam bahan tambahan makanan yang aman
(generally recognized as safe; GRAS) sampai batas 20 % dalam suatu
produk makanan. Fitosterol dan fitostanol terbukti tidak akan
mempengaruhi kadar kolesterol normal dan efektif untuk menurunkan
LDL dan lipida pada anak-anak yang mengalami hiperkolesterolemia
karena faktor keturunan (familial hypercholesterolemia).
Sebenarnya, khasiat fitosterol dan fitostanol telah lama diketahui,
dan telah digunakan sebagai salah satu obat untuk menurunkan
kolesterol pada pengobatan selama lebih dari sepuluh tahun. Kesulitan
pemakaiannya ialah kelarutannya yang rendah. Kesulitan ini dapat
diatasi setelah dibuat dalam bentuk ester dengan asam lemak sehingga
lebih mudah larut di dalam lemak, dan sebanyak 90% akan
terhidrolisis menjadi komponen-komponennya di dalam usus.

Dalam usus, 80% diserap di dalam usus halus, tetapi fitosterol


yang banyak di dalam makanan hanya 5 % sitosterol diserap, absorbsi
sitostanol bahkan lebih sedikit lagi. Penyerapan fitosterol makin rendah
dengan bertambahnya panjang rantai cabang karena makin hidrofobik.
Di dalam saluran cerna, fitosterol dan fitostanol akan menurunkan
absorbsi kolesterol dari makanan dan kolesterol dari kelenjar empedu.
Mekanisme ini belum diketahui secara pasti. Akan tetapi diduga karena
fitosterol dan fitostanol, karean lebih hidrofobik dibandingkan dengan
kolesterol, sehingga lebih cenderung membentuk misel yang
mengandung lipida di dalam usus halus. Kemungkinan hal ini
menyebabkan pemencilan kolesterol dari misel dari garam empedu dan
menurunkan penyerapannya. Ester fitosterol lebih effektif untuk
menurunkan penyerapan kolesterol daripada yang tidak teresterkan.,
mungkin karena kelarutan yang lebih baik dari fitosterol didalam lemak
dan isi dari usus. Akan tertapi sulit untuk menginterpretasikan seperti ini
karena baik ester fitosterol dan ester kolesterol dalam makanan
dihidrolisis menjadi fitosterol bebas sebelum diserap. [ Weber, N., and

212
Mukherjee, KD. (2006).
Fitosterol dan fitostanol menurunkan kolesterol dengan
menurunkan penyerapannya, dan dengan demikian akan menyebabkan
bertambahnya ekskresi kolesterol dan asam empedu dari hati dalam
kelenjar empedu. Pada umumnya penelitian tentang penurunan
kolesterol LDL oleh fitosterol yang dimasukkan di dalam margarine,
sedangkan penelitian fitosterol yang berasal dari makanan nabati yang
mengandung fitosterol jarang dilakukan. Ester fitosterol lebih effektif
menurunkan kolesterol daripada yang tidak teresterkan, tidak
mempengaruhi kadar HDL. Asupan fitostanol menurunkan kadar α-
dan β- karoten di dalam darah. Ester fitostanil ester juga menurunkan
kadar α- dan β- karoten, dan likopen tetapi tidak mempengaruhi kadar
vitamin A, tokoferol dan vitamin D di dalam darah (Weber dan
Mukherjee,2006).

C. Fitosterol dalam Margarin


Mengingat pentingnya peran lemak di dalam makanan seperti telah
dijelaskan di atas, para ahli kimia pangan selalu berusaha untuk
mencari jalan keluar untuk menghilangkan atau mengurangi dampak
negatif dari lemak. Salah satu cara yang dikembangkan adalah dengan
menambahkan zat-zat berkhasiat ke dalam formula margarin, yakni
fitosterol dan fitostanol.
Sejak tahun 1999, dua produk margarin yang mengandung
fitosterol dan fitostanol dalam bentuk esternya telah beredar di
Amerika. Konsumsi produk tersebut dua kali sehari secukupnya
(mengandung sekitar 1,3 gram fitosterol atau fitostanol) selama dua
minggu akan mampu menurunkan kadar kolesterol sebanyak 10-14 %.
Hal ini berarti dua kali lebih efektif dibandingkan dengan mengonsumsi
serat pangan yang terdapat di dalam gandum (oat fiber),yang
menurunkan kolesterol sekitar 5% sesudah beberapa bulan. Produk itu
juga dapat menurunkan kolesterol pada anak-anak yang menderita
kolesterol tinggi karena faktor genetik.
Dengan memasukkan fitosterol ke dalam produk makanan seperti
margarin, penggunaan dan peranannya akan lebih luas di kalangan
masyarakat. Harga kedua margarin yang disebut di atas memang lebih
mahal dibandingkan dengan margarin biasa, tetapi karena ada efek terapi
dari produk seperti ini maka harga menjadi tidak masalah terutama bagi

213
yang memerlukannya.
Mengonsumsi fitosterol dan fitostanol 2-3 gram sehari, yang
diperoleh dari margarin dalam makanan sehari-hari, mampu
mengurangi resiko penyakit jantung koroner satapai 25 %. Fitosterol dan
fitostanol juga dapat ditambahkan ke dalam makanan dan minuman lain
yang tidak berlemak. Di Indonesia, produk margarin yang mengandung
fitosterol dan fitostanol belum ada, tetapi niasin sebagai penurun
kolesterol telah ditambahkan ke dalam dua produk margarin. Akan
tetapi, niasin bukan sebagai bahan tambahan makanan dan sangat
terbatas penambahannya dibandingkan dengan fitosterol yang dapat
digunakan sebanyak 20 % di dalam makanan.
Maragarin adalah produk kommersial yang digunakan sebagai
bahan pembawa dari ester stanol dan selalu menggunakan fitosterol dan
fitostanol dan esternya. Benecol margarin telah diperkaya dengan ester
fitostanol telah tersedia di Amerika, Inggris, Belgia, Belanda dan Irlandia
pada tahun 1999. Pada tahun yang sama kemudian produk margarin Take
Control di pasarkan Amerika tahun 1999. Juga telah diproduksi minyak
goreng yang dapat menurunkan kolesterol diproduksi di Amerika. FDA
Amerika telah mengizinkan health claim pada produk yang mengandung
fitosetrol sebagai produk yang dapat mengurangi resiko PJK. Di Eropah
ditentukan bahwa asupan maksimum per hari 3 gram. Pada tahun 2000 di
Jerman diedarkan produk maragrin rendah lemak (Becel proactive).
Lihat Tabel .....[ Weber, N., and Mukherjee, KD. (2006).

Tabel 14. Beberapa Produk Yang Mengandung Fitosterol dan Fitostanol


Produk Fitosterol Bahan Pembawa
Benecol Ester Fitostanil Margarin (US), susu, yyogurt,
mayonaise (Eropah)
Take Control Ester Fitosteril Margarin, Salad Dressing (US)
Becel Proactive Ester Fitosteril Margarin, Salad Dressing
(Eropah, Kanada)
Cook Smart Ester Fitosteril Minyak Goreng (US)
Danacol Ester Fitosteril Yogurt (
Logicol Ester Fitosteril Spreads , Milk (Australia)
Sumber: Weber, N., and Mukherjee, KD. (2006).
Matriks bahan pembawa mempengaruhi effek dari fitosterol. Ester

214
fitosterol dengan pembawa susu rendah lemak tiga kali lebih efektif
daripada di dalam roti dan produk sereal, sedangkan fitosterol yang tidak
bentuk ester di dalam minuman yang tak berlemak tidak efektif.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa fitosterol adalah aman, dan
diketahui bahwa fitosterol tidak atau sangat sedikit diserap. Sitosterol
diserap sebanyak 0,512 % dan kampesterol sebanyak 1,89 % . [Ratnayake,
2004].

D. Rangkuman
Fitosterol akan menurunkan kadar kolesterol darah secara fisik
dengan menghalangi absorbsi kolesterol di usus dan secara biokimia
melalui pengaruhnya terhadap enzim yang berkaitan dengan
metabolisme kolesterol. Penambahan fitosterol di dalam margarin adalah
salah satu cara dari beberapa metode untuk mengatasi pengaruh negatif
lemak terhadap kesehatan. Dengan cara ini, upaya pencegahan
penyakit jantung koroner akibat pengaruh faktor resiko
hiperkolesterolemia dapat berlangsung secara efektif karena dapat
dikonsumsi oleh masyarakat luas dalam hampir semua usia tanpa
mengorbankan cita rasa lemak di dalam diet. Industri makanan di
Indonesia dan Departemen Kesehatan perlu mengkaji penambahan
fitosterol di dalam margarin dan produk makanan tak berlemak dalam
upaya mengurangi resiko penyakit jantung koroner.

E. Pelatihan
1. Apa perbedaan lemak margarin dengan mentega? Jelaskan?
2. Jelaskan mengapa margarin termasuk emulsi!
3. Sebutkan tujuan hidrogenasi pada pembuatan margarin, dan Jelaskan
aspek negatif dari proses tersebut!
4. Bagaimana cara membuat margarin bebas asam lemak trans?
5. Jelaskan tujuan penambahan fitosterol dalam margarin!

BAB XIII

215
MANFAAT MINYAK KELAPA SEBAGAI MAKANAN
FUNGSIONAL

Minyak kelapa pernah dianggap sebagai minyak yang


bermasalah karena dapat memicu aterosklerosis, sebab minyak kelapa
termasuk lemak jenuh akan meningkatkan kadar total kolesterol darah.
Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian dua dekade terakhir ternyata
justru sebaliknya. Minyak kelapa memang lemak jenuh, tetapi terdiri
dari asam lemak rantai sedang, sehingga tidak memicu aterosklerosis
tetapi mengurangi resiko penyakit jantung koroner. Disamping itu
ternyata minyak kelapa dapat meningkatkan kesehatan karena dapat
mencegah diabetes, bersifat antibakteri, meningkatkan mutu air susu
ibu (ASI), mengurangi obesitas. Oleh karena itu minyak kelapa,
terutama minyak kelapa murni, dapat dimanfaatkan sebagai komponen
bioaktif di dalam makanan fungsional.

Minyak Kelapa
Ada dua jenis minyak yang dapat diperoleh dari daging buah
kelapa. Minyak kelapa diperoleh dari kopra dengan cara pemanasan
dan pemurnian dengan bahan kimia, tetapi minyak kelapa murni
(virgin coconut oil=VCO) diperoleh dari buah kelapa segar tanpa
proses pemanasan. Komposisi asam lemak VCO dan minyak kelapa
biasa tidak jauh berbeda. Akan tetapi, VCO, karena dibuat dengan
tanpa pemanasan, masih mengandung antioksidan alami sehingga
berbeda dengan minyak kelapa biasa. Maka minyak kelapa biasa
digunakan untuk menggoreng, sedangkan VCO biasanya langsung
diminum sebagai makanan fungsional/makanan Kesehatan.
Minyak atau lemak adalah triasilgliserol (TAG) atau trigliserida
(TG) yakni triester dari gliserol dengan tiga asam lemak yang sama
atau yang berbeda. Asam lemak adalah asam monokarboksilat rantai
lurus yang terdiri dari rantai karbon dengan jumlah atom karbon yang
genap yakni C:4, C:6, C:8 s/d C:22, tetapi yang paling banyak adalah
C:16 dan C:18. Sifat kimia, fisika dan biokimia dari lemak ditentukan
oleh komposisi asam lemak dan posisinya di dalam molekul lemak.
Sehingga walaupun ada dua minyak memiliki komposisi asam lemak
yang sama belum tentu sifat keduanya sama, karena masih ditentukan
posisi asam lemak di dalam molekul lemaknya.

216
Distribusi atau posisi asam lemak dalam molekul lemak dapat
dibedakan berdasarkan stereoisomer atom karbon dalam molekul
gliserol yakni stereospecific numbering system (sn), yakni sn-1, sn-2
dan sn-3 (Gambar 1). Nomenklatur molekul TAG diberikan
berdasarkan posisi residu asam lemak (asil) yang membentuk TAG.
Misalnya, TAG yang mengandung asam laurat (C:12) pada posisi sn-1,
asam miristat (C:14) pada posisi sn-2 dan asam palmitat (C:16) pada
posisi sn-3, maka nama molekul TAG adalah 1-lauroil, 2-miristoil, 3-
palmitoil gliserol yang disingkat LMP (L=laurat, M=miristat,
P=palmitat).
H

H – C α – O – C – (CH2)10 – CH3 ...............(α ) laurat atau posisi sn-


1

H – C β – O – C – (CH2)12 – CH3 ................(β) miristat atau posisi


sn-2

H – C α’– O – C – (CH2)14 – CH3 ................(α’) palmitat atau posisi


sn-3

H
1- lauroil, 2-miristoil, 3-palmitoil gliserol (LMP)

Gambar 20. Struktur molekul lemak triasilgliserol

Minyak kelapa sangat berbeda dengan minyak nabati lainnya,


kecuali dengan minyak inti sawit (palm kernel oil =PKO); harus dicatat
bahwa PKO bukan minyak kelapa sawit. Kedua minyak ini, minyak
kelapa dan PKO, mempunyai komposisi asam lemak yang tidak jauh
berbeda yakni asam lemak rantai pendek (C:4 s/d C:8) dan asam lemak
rantai sedang yang jenuh (C:10 dan C:12), sehingga disebut Medium
Chain Triglycerides (MCT), karena didominasi asam laurat (C:12),
tetapi belum tentu sifat kedua minyak ini sama. Perbedaan nilai gizi
dari lemak dan dampaknya terhadap proses aterosklerosis serta
aktivitas fisiologis lainnya, tergantung pada komposisi asam lemak di
dalam lemak dan posisi asam lemak di dalam molekul lemak sebagai
triasilgliserol.

217
Metabolisme minyak kelapa berbeda dengan minyak pada
umumnya. Minyak kelapa yang termasuk MCT, di rongga mulut dan
kemudian di lambung akan diuraikan menjadi asam lemak bebas rantai
pendek dan sedang, diasilgliserida (DAG) dan monoasilgliserida
(MAG). Hasil penguraian ini dengan cepat diserap dan melalui vena
porta segera sampai ke hati. Sedangkan lemak yang mengandung asam
lemak rantai panjang (Long Chain Triglyceride=LCT) atau lemak pada
umumnya seperti minyak kelapa sawit, mengalami proses yang lebih
rumit. LCT tidak diuraikan di dalam lambung, tetapi akan dicerna
sesudah sampai di usus halus. Di usus halus LCT di hidrolisis oleh
enzim lipase pankreas menjadi dua asam lemak bebas dan 2-
monoglisrida dari setiap molekul trigliserida. Hasil peruraian ini
diserap melalui dinding usus kemudian diubah kembali menjadi
trigliserida di dalam sel dinding usus, selanjutnya bergabung dengan
partikel lipoprotein membentuk kilomikron. Dalam bentuk kilomikron
LCT memasuki memasuki sistim limfa dan akhirnya masuk ke
sirkulasi darah. Setelah sampai di sirkulasi darah, lemak di dalam
kilomikron diuraikan menjadi asam lemak dan gliserol oleh lipase
lipoprotein. Enzim ini melekat pada dinding pembuluh darah bagian
dalam. Sel-sel otot, sel-sel adipose dan sel lain menyerap sebagian
besar asam lemak. Sel-sel ini segera dapat memakai asam lemak yang
telah diserap menjadi energy yang diperlukan, atau dapat dibentuk
kembali menjadi lemak untuk disimpan. Sel-sel otot biasanya
memetaboliser asam lemak, tetapi sel-sel adipose cendrung
menyimpan sebagai cadangan. Sesudah selesai makan, proses
pembersihan kilomikron dari darah terjadi dalam waktu 2-10 jam
tergantung pada kadar lemak di dalam makanan. Sesudah 12 jam
puasa, kilomikron sama sekali hilang di dalam darah. Oleh karena itu
metabolisme minyak kelapa berbeda dengan minyak lainnya.
Berdasarkan metabolisme yang demikian ini minyak kelapa tidak
memicu aterosklerosis (tidak bersifat aterogenik) dan bersifat protektif
terhadap resiko penyakit jantung koroner (PJK), mencegah diabetes,
kanker, infeksi dan bersifat menghambat virus HIV/AIDS.

Melindungi Jantung

218
Pada sekitar tahun 1953-1957, Ancel Keys mencetuskan anti
lemak jenuh; secara berturut-turut menyatakan bahwa semua lemak
jenuh dari hewan dan nabati menaikkan kadar kolesterol dalam darah,
sedangkan asam lemak tak jenuh ganda, misalnya minyak kedele,
menurunkan kolesterol low density lipoprotein (LDL). Minyak kelapa
termasuk lemak jenuh, disinyalir akan menaikkan kolesterol jahat
LDL, akan meningkatkan resiko PJK karena belum diketahui bahwa
minyak kelapa berbeda dengan lemak jenuh lainnya.
Walaupun minyak kelapa termasuk lemak jenuh, tetapi asam
lemak jenuh di dalamnya adalah asam lemak jenuh rantai sedang lebih
dari 80%; asam lemak rantai pendek sekitar 10%, dan hanya sedikit
asam lemak jenuh rantai panjang seperti asam palmitat (5%). Minyak
kelapa mudah dicerna karena minyak kelapa yang termasuk MCT, di
dalam mulut oleh lingual lipase dan di lambung oleh gastric lipase
mudah dihidrolisis menjadi asam lemak rantai pendek dan sedang.
Minyak kelapa tidak bersifat aterogenik, karena dengan cepat dicerna
dan diserap melalui vena porta ke hati dan segera dioksidasi menjadi
energi. Akan tetapi asam lemak rantai panjang dalam minyak lainnya
(LCT) lebih sulit dicerna, harus melalui emulsifikasi di dalam usus
halus kemudian dihidrolisis oleh pancreatic lipase menjadi asam lemak
bebas dan monogliserida sebelum diserap. Sesudah diserap, di dalam
sel-sel dinding usus diubah menjadi lemak kembali dan kemudian
melalui kelenjar limpha memasuki sirkulasi darah, menaikkan LDL,
dan akhirnya dapat membentuk endapan di berbagai organ termasuk
pembuluh darah. Sebaliknya, minyak kelapa sangat mudah dicerna dan
diserap dan cepat dimetaboliser di hati, tidak berada dalam sirkulasi
darah. Jadi minyak kelapa hampir tidak akan diubah menjadi lemak di
dalam tubuh dan tidak menaikkan trigliserida darah, tidak
menyebabkan endapan jaringan lemak pada arteri. Minyak kelapa
memang dapat meningkatkan sedikit total kolesterol. Tetapi minyak
kelapa meningkatkan kolesterol yang baik yakni high density
lipoprotein (HDL) secara siginifikan, tidak menaikkan kolesterol jahat
LDL, sehingga rasio LDL/HDL menurun, keadaan seperti ini
menguntungkan dan berarti dapat mengurangi resiko penyakit
kardiovaskular
Minyak kelapa bersifat relatif stabil, tidak/sangat sedikit
menghasilkan radikal bebas di dalam tubuh dibandingkan dengan
minyak lainnya, khususnya minyak yang tak jenuh, seperti minyak

219
kedele, karena minyak kelapa adalah lemak jenuh. Minyak kelapa
murni yang diekstraksi secara basah, masih mengandung zat-zat yang
bermanfaat, lebih bersifat protektif. VCO memiliki aktifitas
antioksidan karena masih mengandung turunan fenol. Penggunaan
topikal VCO dapat mempercepat penyembuhan luka di kulit

Antimikroba dan Antivirus


Minyak kelapa sebagai lemak bersifat antimikroba dan antivirus.
Tetapi sifat antimikroba dari minyak kelapa terutama tergantung pada
hasil peruraiannya menjadi monogliserida, dan asam lemak bebas.
Monogliserida aktif sebagai antimikroba tetapi digliserida dan
trigliserida tidak. Asam lemak yang paling aktif adalah asam laurat
dibandingkan dengan asam lemak miristat dan kaprilat. Asam lemak
dan monolaurin dapat membunuh bakteri berdasarkan berbagai
mekanisme. Monolaurin mencairkan dan merusak struktur lapisan
selaput lipida pada virus dan dinding sel bakteri. Monolaurin
memperlihatkan efek membunuh virus (virusidal) dengan merusak
DNA dan RNA dari virus yang dilapisi oleh lipida. Monolaurin adalah
senyawa yang dapat dihasilkan dari minyak kelapa yang mampu
menghambat virus HIV, herpes, influenza dan cytomegalovirus.
Berdasarkan hasil penelitian secara klinis menunjukkan bahwa
minyak kelapa dan monolaurin dapat mencegah dan bahkan
menyembuhkan HIV/AIDS. Bakteri patogen yang peka terhadap
monolaurin antara lain adalah staphylococcus aureus, listeria
monocytogenes, streptococcus agalactiae, vibrio parahaemolyticus dan
helicobacter pylori serta streptococcus gram positif lainnya.
Monolaurin memiliki daya hambat 5000 kali lebih efektif dari alkohol
(etanol) terhadap listeria monocytogenes.
Minyak kelapa sebagai TAG memiliki sifat antimikroba yang
sangat rendah, tetapi kandungan asam laurat yang tinggi menjadi bahan
baku pada pembentukan monolaurin yang dapat terjadi di dalam
tubuh. Jumlah minyak kelapa yang dikonsumsi supaya mempunyai
sifat antimikroba diperlukan lebih dari 50 ml (3-4 sendok makan) atau
3 gram monolaurin (Laurcidin=monolaurin murni dalam bentuk
minipellet) setiap hari dalam waktu yang lama. Monolaurin termasuk
dalam kategori aman (Generally Recognized As Safe =GRAS). Asam
laurat tidak boleh diberikan secara oral karena merangsang, tetapi
dalam bentuk yang lebih aktif monolaurin aman di dalam pencernaan.

220
Monolaurin memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan
obat anti HIV/AIDS dan antibiotik. Obat anti HIV menimbulkan
banyak efek samping yang tidak ringan dan resistensi. Penggunaan
antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan jumlah dan jenis
bakteri yang kebal (resisten) terhadap antibiotik, dan antibiotik
membunuh sekelompok bakteri tertentu saja. Antibiotik biasanya tidak
dapat membunuh virus. Berbeda dengan monolaurin. Terjadinya
resistensi mikroba terhadap monolaurin sangat rendah dibandingkan
dengan antibiotik. Monolaurin tidak hanya membunuh bakteri tetapi
juga virus dan jamur. Monolaurin tidak mempengaruhi perkembangan
bakteri usus yang bermanfaat seperti lactobacillus, akan tetapi
menghambat bakteri patogen seperti salmonella typhi.

Mencegah Diabetes
Diabetes adalah penyakit yang disebabkan oleh disfungsi insulin
yang menyebabkan kadar glukosa atau gula darah berada diatas kadar
normal yang disebut hiperglisemia. Sel menggunakan glukosa sebagai
sumber energi untuk menopang proses kehidupan, pertumbuhan dan
pemulihan. Hormon insulin diproduksi oleh kelenjar pankreas untuk
mengubah glukosa menjadi glikogen sebagai cadangan kalori dan juga
untuk memasukkan glukosa ke dalam sel untuk dioksidasi menjadi
energi atau bahan bakar. Setiap sel di dalam tubuh harus memperoleh
glukosa untuk memacu proses metabolisme. Jika sel tidak
mendapatkan glukosa yang cukup, sel akan lapar dan akhirnya akan
mati 23. Asam lemak rantai sedang dari minyak kelapa mudah dicerna,
cepat sampai di hati melalui vena porta, dan masuk ke dalam sel tanpa
bantuan insulin, kemudian diproses menjadi energi. Asam lemak dari
minyak kelapa juga mengikutkan sebagian lemak dari tubuh untuk
dioksidasi menjadi energi sehingga laju metabolisme dipercepat dan
mengurangi deposit lemak tubuh, mengurangi berat badan,
meningkatakn sensitivitas insulin dan akhirnya menurunkan resiko
diabetes tip2. Minyak kelapa juga akan meningkatkan produksi insulin
dan berari mengendalikan gula darah diabetes tipe.
Minyak kelapa berbeda dengan minyak lainnya; lemak tak jenuh
dapat berdampak negatif karena asam lemak tak jenuh berantai panjang
akan mengurangi kemampuan sel untuk memperoleh glukosa, terutama
jika dikonsumsi terlalu banyak. Minyak tak jenuh mudah teroksidasi
terutama asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acids;

221
PUFA), dan hasil oksidasinya dapat mengganggu fungsi membrane sel
untuk dilewati keluar dan masuk oleh glukosa. Maka diet terlalu tinggi
lemak tak jenuh ganda diduga meningkatkan resiko diabetes.

Meningkatkan Kualitas Air Susu Ibu


Salah satu komponen yang bersifat antibakteri dari air susu ibu
(ASI) adalah asam laurat, tetapi jumlahnya rendah yakni sekitar 6 %.
Ibu yang menyusui jika mengonsumsi minyak kelapa dapat menaikkan
asam laurat sampai tiga kali lipat dan asam kaprat dua kali lipat di
dalam ASI. Asam lemak rantai sedang di dalam ASI lebih mudah
dicerna dan diserap walaupun sistim pencernaan bayi yang belum
sempurna. Asam lemak rantai sedang di dalam minyak kelapa mudah
digunakan sebagai sumber energi yang diperlukan untuk pertumbuhan
yang baik; meningkatkan berat bayi yang dilahirkan dengan berat
badan yang rendah. Pertambahan berat badan yang lebih cepat bukan
karena penimbunan lemak tetapi pertumbuhan fisik.
Minyak kelapa dapat terurai menjadi asam lemak bebas dan
monogliserida dari asam lemak yang dikandungnya seperti
monokaprilin dari asam kaprilat, monokaprin dari asam kaprat, dan
yang paling banyak dan aktif sebagai antibakteri adalah monolaurin
dari asam laurat. Minyak kelapa cocok diberikan untuk bayi,
sedangkan minyak lainnya tidak dapat diberikan jika tidak ada ASI.
Maka para ibu yang sedang menyusui dianjurkan untuk mengonsumsi
makanan yang mengandung asam laurat untuk meningkatkan kadar
asam laurat di dalam ASI supaya meningkatkan potensi antimikroba
dari ASI yang dihasilkan. Makanan bayi yang menggunakan minyak
kelapa, dapat meningkatkan penyerapan kalsium. Minyak kelapa cocok
untuk formula bayi premature dan yang mengalami gangguan
pencernaan.

Manfaat lainnya
Sifat antimikroba dari minyak kelapa akan mengambil alih tugas
melawan bakteri, maka sel-sel darah putih akan bebas menyerang dan
merusak sel-sel tumor. Disamping itu minyak kelapa mampu
merangsang pembentukan sel darah putih, terutama t-cells yang akan
mencari dan membunuh apa saja yang dianggap tubuh berbahaya,
termasuk sel tumor. Minyak kelapa tidak mengasilkan radikal bebas
yang berarti dibandingkan dengan minyak lemak tak jenuh. Minyak

222
kelapa khususnya VCO bersifat protektif terhadap kerusakan rambut
pada saat pendandanan dan pada saat digunakan sebagai pre-wash
kondisioner. Minyak kelapa mencegah kerusakan akibat zat kimiawai,
air panas, pengaruh UV, karena minyak kelapa mampu memasuki
(penetrasi) ke dalam kutikula dan kortex. Melapisi rambut, sehingga
mencegah penyerapan air oleh rambut dan akan mencegah
pembengkakan rambut. Minyak kelapa juga dapat memelihara kondisi
kulit dan rambut, mengurangi ketombe dan dapat melembutkan kulit
serta berkilau.
Minyak kelapa akan memperbaiki penyerapan kalsium dan
magnesium yang penting bagi tubuh. Asam lemak rantai panjang pada
minyak lainnya, di dalam usus halus bereaksi dengan kalsium dan
magnesium membentuk garam kalsium dan magnesium yang tak larut
dan tidak diserap melalui usus sehingga terbuang sia-sia bersama feses.
Minyak kelapa karena cepat diserap ke hati, cepat dioksidasi,
menyediakan energi dalam waktu singkat dan merangsang
metaboliosme untuk mempertahankan stamina, yang diperlukan oleh
para atlet. Air kelapa yang mengandung elektrolit alami (kalium,
magnesium dan kalsium) sangat cocok dan telah dijadikan sebagai
minuman olah raga (sport drinks) dan air mineral atau minuman
isotonik alami.

Rangkuman
Berdasarkan hasil penelitian yang belum akurat pada tahun
1953, minyak kelapa dianggap salah satu pemicu penyakit jantung
koroner. Ternyata hasil penelitian yang lebih akurat dalam dua dekade
terakhir menunjukkan bahwa minyak kelapa tidak saja tidak memicu
resiko penyakit jantung koroner tetapi sebaliknya, minyak kelapa justru
bersifat melindungi jantung. Disamping itu minyak kelapa ternyata
juga mempunyai beberapa kelebihan yakni lebih stabil, bersifat
antibakteri, antivirus, mencegah diabetes, melangsingkan tubuh dll.
Penelitian perlu dilanjutkan tentang khasiat dan manfaat dari minyak
kelapa terhadap kesehatan; pengembangan pengolahan produk seperti
minyak kelapa murni dan produk turunan yang lebih berkualitas.
Selanjutnya dapat dibuat menjadi sediaan farmasi yang mengandung
zat bioaktif dari makanan yang disebut nutrasetika (nutraceutical).
Pelatihan

223
1. Apa perbedaan secara kimia yang sangat mendasar antara minyak
kelapa dan minyak lemak lainnya
2. Kenapa dulu minyak kelapa disebut sebagai pemicu pnyakit
jantung koroner
3. Apa sebabnya minyak kelapa tidak meningkatkan trigliserida
(TG) darah
4. Kenapa minyak kelapa tidak meningkatkan resiko penyakit
kardiovaskular tetapi justru mencegah?
5. Bagaimana minyak kelapa dapat mengurangi diabetes tipe 1 dan
tipe 2?

224
BAB XIV
POLA MAKAN DAN PROSES PENUAAN

Proses penuaan adalah proses alami, tetapi kecepatannya


berbeda untuk setiap orang. Teori proses penuaan dan faktor makanan
yang dapat mempengaruhi laju penuaan diuraikan dalam bab ini.
Pada usia muda, penuaan tidak terjadi karena hampir semua
aktivitas metabolisme dipacu menuju ke pertumbuhan dan pendewasaan.
Banyak sel aktif diproduksi untuk keperluan fisiologis, sementara sebagian
sel menjadi tua dan mati. Sampai dengan umur 30 tahun, fungsi organ
tubuh masih optimal, tetapi pada usia di atas 30 tahun proses penuaan
akan dimulai. Sel-sel yang tua dan mati lebih banyak daripada yang
tumbuh. Akhirnya, semakin banyak sel yang mati, dan tubuh tidak
mampu menyesuaikan diri untuk memenuhi kebutuhan proses fisiologis.
Akibatnya, fungsi tubuh menurun. Namun, organ-organ tubuh biasanya
memiliki kapasitas cadangan sehingga untuk jangka waktu tertentu,
tubuh tidak memperlihatkan gejala-gejala penyakit. Akan tetapi, penyakit
yang tidak kelihatan akan berkembang. Jika penyakit itu dibiarkantumbuh
dan luput dari perhatian, akhirnya fungsi organ dan tubuh tampak melorot.
Proses menua atau aging process merupakan akumulasi semua
perubahan yang terjadi dengan berlalunya waktu. Perubahan ini menjadi
penyebab atau berkaitan dengan meningkatnya kerentanan tubuh terhadap
penyakit, yang berakhir dengan kematian. Dari beberapa teori tentang
proses penuaan, tak satu pun di antaranya yang menerangkan secara tuntas
untuk menjelaskan proses penuaan tersebut. Pola dan urutan proses
penuaan selalu sama, tetapi kecepatan menua melalui perubahan-
perubahan yang terjadi berbeda pada setiap orang. Faktor keturunan dan
lingkungan dan interaksinya mempengaruhi laju penuaan. Seandainya
seseorang secara genetik berumur panjang, untuk mencapai umur
panjang dalam keadaan sehat tergantung pada faktor lingkungan,
termasuk pola makan dan gaya hidup.

A. Proses Penuaan
Ada beberapa teori yang mencoba menerangkan fenomena
penuaan meliputi (1) teori erosi, (2) teori mutasi DNA, (3) teori
imunitas, (4) teori hasil sisa (waste product), (5) teori ikatan silang,
dan (6) teori radikal bebas. Teori ini dapat dibagi atas tiga kelompok
besar yaitu (1)teori genetika, (2) teori fisiologis, dan (3) teori perubahan

225
fungsi organ. Teori fisiologis meliputi teori radikal bebas, teori ikatan
silang dan teori akumulasi materi sisa (waste material accumation).Di
antara teori yang dikemukakan, teori radikal bebas dan teori imunitas
atau kekebalan makin banyak penganutnya.Teori imunitas
menyatakan bahwa kapasitas fungsional dari sistem kekebalan
menurun dengan bertambahnya umur, dengan penurunan fungsi
kelenjar timus dan kerusakan sel-sel stem. Semua kondisi ini berkaitan
dengan meningkatnya infeksi, kanker, dan penyakit lain yang
berkaitan dengan kekebalan.Teori radikal bebas yang dikemukakan
oleh Denham Harman pada tahun 1950-an menyatakan bahwa
penuaan adalah akibat dari produksi radikal bebas yang berlebihan.
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki elektron
yang belum berpasangan dan cendrung untuk mencari pasangan. Hal
inilah yang menyebabkan radikal bebas sangat reaktif tetapi umurnya
singkat. Radikal bebas diproduksi dalam keadaan reguler dalam reaksi
metabolisme termasuk rantai enzimatis. Radikal bebas juga dibentuk oleh
tekanan emosional, sinar UV, zat-zat toksis, asap rokok dll. Walaupun
termasuk di dalam proses metabolism regular, radikal bebas tidak
menembus sel. Radikal bebas yang berasal dari luar tubuh yakni dari
lingkungan, makanan, dan radiasi menembus sel menyebabkan dampak
negatif terhadap tubuh. [bender, DV, 2010].
Radikal bebas dibutuhkan untuk memproduksi energi sel yang
berasal dari makanan, melindungi tubuh dari infeksi opportunistik dan
terlibat dalam pembentukan hormon yang diperlukan untuk komunikasi
di dalam tubuh. Akan tetapi produksi yang berlebihan dari radikal bebas
dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh termasuk kollagen, elastin,
DNA dan perobahan fibrosis dari pembuluh darah.Kerusakan oksidatif
pada molekul DNA, protein dan makromolekul lain tertimbun bertahun-
tahun adalah salah satu penyebab terjadinya proses penuaan. [bender,
DV, 2010].
Olahraga, menghindari merokok, dan berbagai nutrien seperti
zinkum, vitamin A, piridoksin, dan riboflavin dapat membantu dan
mempertahankan fungsi kekebalan. Akan tetapi, harus dicatat bahwa
peran positif dari unsur zat gizi tersebut menjadi lebih baik bila terdapat
dalam makanan sehari-hari, bukan sebagai zat terisolasi. Jadi, jelas
bahwa zat gizi dalam makanan berperan penting dalam kesehatan dan
kepekaan atau daya tahan terhadap penyakit, tetapi belum banyak
diketahui tentang pengaruh langsung dari pola makan terhadap proses

226
penuaan. Salah satu kesulitannya adalah bahwa tidak mudah untuk
membedakan perubahan karena proses penuaan itu sendiri dengan
perubahan karena penyakit yang berkaitan dengan pertambahan umur
(penyakit degeneratif).

B. Pola Makan
Ada dua faktor utama yang berperan pada proses penuaan yaitu (1)
kerusakan oksidatif oleh radikal bebas dan (2) penurunan effisiensi mitokondria
memproduksi energiselama penuaan.Oleh karena itu proteksi terhadap
kerusakan oksidatif dan kemampuan memproduksi ATP penting
diperhatikan.Jika radikal bebas merusak bagian dari molekul DNA, kemudian
mutasi genetik menyebabkan sintesa protein yang rusak pada siklus berikutnya
secara berkesinambungan. Radikal bebas dibentuk di dalam metabolisme
aerobik membentuk energi dalam bentuk ATP di dalam mitkondria. Pada saat
proses penuaan terjadi, effisiensi mitokondria menurun sehingga radikal bebas
yang diperlukan dalam proses pembentukan ATP menurun sehingga
menyebabkan akumulasi radikal bebas menembus membrane mitokondria dan
merusak bagian lain dari sel. [bender, DV, 2010].
Di dalam sistim biologis yang baik (ideal) dan lingkungan yang bersih,
antioksidan endogen cukup untuk melindugi kesehatan. Akan tetapi,
keseimbangan antioksidan-prooksidan berubah selama proses penuaan dan juga
sensitif terhadap faktorlingkungan. Potensial antioksidan plasma dan selluler
lambat laun akan menurun dengan penuaan yang menyebabkan serangan radikal
bebas terhadap protein makin rentan. Hal ini menjelaskan kenapa penuaan
disertai dengan akumulasi senyawa yang teroksidasi. Disamping itu, effisienssi
penyerapan zat gizi akan menurun termasuk antioksidan selama penuaan yang
juga akan menurunkan kapasitas antioksidan selluler. Dipihak lain, karena faktor
lingkungan yang sarat dengan pollutan, kecapekan, kelebihan asupan kalori dan
lemak yang tinggi di dalam diet dapat melemahkan sistim kekebalan tubuh
sehingga tubuh makin rentan terhadap serangan oksidatif. Oleh karena intervensi
diet dan asupan antioksidan merupakan salah satu yang effektif untuk menjaga
kesehatan [Xiong, 2010].
Kerusakan oksidatif oleh oksidan dan radikal bebas dicegah oleh
antioksidan terutama yang berasal dari makanan. Struktur molekul antioksidan
bersifat unik mampu memberikan elektron ke radikal bebas sehingga stabil.
Antioksidan yang paling aktif adalah antioksidan endogen karena dipicu oleh
kebutuhannya (oksidatif stress) antara lain adalah katalase dan peroksidase.
Antioksidan penangkal (schock absorbers) yang tersedia di dalam darah tanpa

227
ada stimulasi oleh oksidatif stress adalah albumin, transferrin dan asam urat.
Enzim antioksidan seperti superoksida dismutase, glutation peroksidase dan
katalase berperan penting sebagai pertahanan antioksidan (antioksidan defense).
Fungsi enzim ini tergantung pada kecukupan asupan dari mikroelemen
selenium, tembaga, seng , besi, mangan.
Antioksdian dari makanan adalah beta-karoten, vitamin C dan E dan
mikroelemen Cu, Se, Mn dan Fe. Dalam tubuh manusia ada sistim antioksidan
melindungi kerusakan akibat radikal bebas. Antioksidan dari luar tubuh sangat
penting berasal dari makanan (dietary antioxidant) pada dosis yang memadai.
Radikal bebas mencuri elektron dari molekul yang stabil dan menghasilkan
radikal bebas baru. Reaksi perpindahan elektron yang berantai akan merusak
membrane, merusak kode genetic dan melemahkan pertahanan alamiah sel.
[bender, DV, 2010]. Tidak baik menggunakan antiokasidan tunggal dosis tinggi
karena kemungkinan aktivitas prooksidatif melebihi aktivitas antioksidannya.
Lebih baik menggunakan kombinasi antioksidan pada dosis yang dianjurkan
(RDA) atau sesuai dengan kadar lazim di dalam makanan. Endothelium vascular
adalah salah satu jaringan yang paling sensitive terhadap oksidatif stress [bender,
DV, 2010].
Ubiquinone atau coenzyme Q10 adalah antioksidan dalam bentuk
reduksinya ubiquinol (CoQ10H2), disamping sebagai antioksidan, coenzim ini
membantu regenerasi antiokisdan yang larut di dalam lemak, seperti α-tokoferol.
Coenzim Q10 melindungi kerusakan radiasi sinar UV, dan jika digunakan
secara topikal pada kulit dan dimakan secara oral (dosis 60 mg/hari) dapat
mengurangi keriput pada kulit dengan cara meningkatkan sintesa kollagen dan
elastin, merestorasi kulit dan fungsinya sebagai antioksidan. Sintesis coenzim ini
menurun selama proses penuaan.[bender, DV, 2010].
Pembatasan asupan kalori mengurangi beban oksidatif memperlambat
proses penuaan. Penelitian mengenai pola makan yang berkorelasi dengan
pencegahan berbagai jenis kanker dan memperpanjang umur pada hewan
percobaan dilakukan hanya dengan pembatasan asupan kalori. Asupan energi 70
% dari total kebutuhan, asalkan protein dan semua zat gizi esensial lain yang
diperlukan terpenuhi, akan memperpanjang umur hewan percobaan. Dalam
suatu penelitian yang dilakukan dalam waktu lama pada monyet,
pembatasan asupan kalori menunjukkan penurunan lemak tubuh,
glukosa darah, insulin, dan lipida. Penelitian ini menunjukkan bahwa
hewan yang mengalami pembatasan asupan kalori dapat hidup jauh
lebih lama dibandingkan dengan hewan yang bebas makan. Secara
epidemiologis ternyata bahwa dengan pembatasan asupan kalori, pada

228
umumnya para manula cenderung lebih ramping dan pendek daripada
manula yang tidak dibatasi asupan kalorinya.
Di Okinawa, Jepang, kelompok masyarakat tertentu yang berumur
lebih dari 100 tahun ternyata mendapat asupan energi yang rendah, tetapi
banyak makan sayur-sayuran dan buah-buahan dibandingkan dengan
kelompok manula di daerah lain di Jepang. Diet Mediterranean yang kaya
akan serat, ikan dan polifenol (anggur merah), membatasi asupan daging
merah dikaitkan dengan resiko kardiovaskular yang rendah. Ada korelasi
yang kuat antara penurunan mortalitas dengan konsumsi banyak buah-
buahan, sayur-sayuran, produk susu, dan daging rendah lemak.
Konsumsi banyak serat gandum (serealia), ikan, vitamin, asam folat,
disertai dengan rasio yang tinggi antara asam lemak tak jenuh ganda
dengan asam lemak jenuh, mengurangi asupan asam lemak trans (banyak
terdapat dalam margarin dan makanan yang digoreng), dan asupan gula
sederhana yang rendah merupakan pola makan yang dapat
mengurangi resiko penyakit kardiovaskular. Pola makan seperti ini
sebaiknya juga disertai dengan menjaga berat badan yang ideal, banyak
olahraga, tidak merokok, minum sedikit alkohol, serta mengonsumsi
suplemen vitamin dan mineral. Walaupun para ahli tidak dapat
menentukan faktor yang paling dominan dari semua faktor ini, ternyata
bahwa kombinasi pola makan dengan gaya hidup sehat akan mampu
memberikan efek yang optimal.
Faktor genetik menentukan kerentanan seseorang terhadap suatu
penyakit, sementara faktor lingkungan dapat mempengaruhi orang yang
rentan secara genetik. Faktor genetik dapat mempengaruhi absorpsi,
metabolisme, dan ekskresi zat gizi, sementara komponen tertentu dalam
makanan dapat mempengaruhi faktor genetik. Dengan demikian,
pengaruh dari komponen dalam makanan untuk setiap orang sering kali
berbeda. Tidak semua orang mengalami kenaikan kolesterol jika
mengonsumsi asam lemak jenuh. Juga, hanya sebagian orang yang secara
genetik cenderung menderita kanker kolon, sementara sebagian lain
cenderung berumur panjang walaupun kurang memperhatikan pola hidup
sehat.
Peran penting faktor genetik juga meliputi kepekaan seseorang
terhadap zat gizi dan obat. Misalnya, sekelompok orang membatasi
asupan kolesterol dan garam, sementara profil genetik, sejarah kesehatan,
dan pola hidupnya tidak menunjukkan manfaat pembatasan tersebut.
Hampir separuh orang Amerika yang menderita hipertensi ternyata tidak

229
peka terhadap pembatasan garam, asupan kalsium, dan beberapa obat
antihipertensi. Namun demikian, bukan berarti bahwa peran pola makan
tidak penting untuk meningkatkan harapan hidup, tetapi modifikasi pola
makan tidak boleh dianggap sebagai satu-satunya landasan untuk
mengatasi semua masalah resiko penyakit. Dengan
mempertimbangkan faktor genetik, jauh lebih baik membuat pedoman
atau pola makan tertentu dengan basis perorangan untuk mereka yang
memiliki kecenderungan mengalami resiko suatu penyakit,
berlandaskan sejarah kekeluargaan. Pernyataan ini bukan mengurangi
pentingnya pola makan yang berlaku umum untuk meningkatkan kesehatan
bagi masyarakat luas.
Secara umum, mengonsumsi banyak sayur-sayuran dan buah-
buahan serta serealia yang utuh selalu dikaitkan dengan penurunan resiko
obesitas, diabetes tipe-2, gangguan pencernaan, penyakit kardiovaskular,
dan kanker. Asupan vitamin E yang tinggi diduga kuat bersifat protektif
terhadap penyakit kardiovaskular. Akan tetapi, penelitian tidak
menunjukkan hasil yang konsisten. Asupan makanan yang mengandung
sedikit vitamin E dan vitamin antioksidan lainnya ternyata akan
meningkatkan resiko kanker dan penyakit kardiovaskular. Kemudian
produk sekunder tanaman di dalam buah dan sayur yakni fitokemikal
melengkapi dan meningkatkan mutu. Di negara-negara maju dianjurkan
untuk meningkatkan konsumsi buah sayur secara ekstensif dengan istilah
five-a-day or more (lebih lima dari buah dalam satu hari) dan berhasil di
banyak daerah, tetapi target ini belum tercapai di berbagai negara.
Peningkatan konsumsi buah dan sayur yang memadai mengurangi resiko
kanker dan penyakit degeneratif lainnya. Asupan buah dan sayur sebanyak
500 gram perhari dianjurkan untuk mengurangi resiko penyakit
kardiovaskular, stroke,tekanan darah tinggi. Di Inggris, dianjurkan
mengonsumsi sayur dan buah sebanyak 5 porsi (setiap porsi 80 gram)
setiap hari untuk mencapai kondisi kesehatan yang optimal[Paliyath, and
Shetty, 2011].
Walaupun apa yang tertulis hari ini mungkin akan ketinggalan zaman
dan mengalami perubahan pada masa mendatang, tetapi ada dua hal
yang tidak akan pernah kadaluarsa, yakni anjuran untuk (1) mengonsumsi
makanan yang beragam dan (2) mengonsumsi makanan dalam jumlah yang
sedang atau tidak berlebihan. Anjuran ini harus disertai dengan aktivitas
fisik yang cukup, pengendalian emosi yang baik, serta menghindari
merokok dan minum banyak alkohol. Kombinasi dari semuanya itu

230
akan meningkatkan kesehatan.

C. Rangkuman
Faktor genetik berperan penting untuk menentukan kondisi
kesehatan, harapan hidup, dan kepekaan terhadap suatu penyakit tertentu.
Akan tetapi, apakah harapan hidup dan penyakit yang dapat diwariskan
akan muncul tergantung pada berbagai faktor lingkungan, termasuk pola
makan. Diet untuk perorangan berdasarkan faktor genetik dan sejarah
kekeluargaan merupakan cara yang paling baik untuk meningkatkan
kesehatan, harapan hidup, dan mencegah timbulnya atau mengurangi resiko
penyakit turunan.
Meskipun masih banyak faktor yang belum diketahui secara pasti,
tetapi ada pola makan dan gaya hidup untuk meningkatkan harapan hidup
(panjang umur) yang masih relevan untuk dianjurkan secara umum, terlepas
dari pertimbangan faktor genetik, yakni (1) mengurangi atau membatasi
asupan kalori sekitar 70 % dari total kalori yang dibutuhkan, (2) memenuhi
semua zat gizi esensial yang diperlukan dengan mengonsumsi makanan yang
beragam, (3) mengonsumsi banyak sayur-sayuran dan buah-buahan, (4)
olahraga dan istirahat yang cukup dan teratur, (5) menghindari rokok
membatasi alkohol, serta (6) pengendalian emosi yang baik.

D. Pelatihan
1. Sebutkan dan jelaskan beberapa teori mengenai proses
terjadinya penuaan!
2. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor yang berpengaruh pada proses
penuaan!
3. Bagaimana faktor diet dapat mempengaruhi proses penuaan?
4. Jelaskan peranan coenzim Q10 pada proses penuaan
5. Bagaimana pembatasan asupan kalori dapat memperlambat penuaan?
6. Bagaimana asupan buah dan sayur mempengaruhi proses penuaan?

231
BAB XV
SUSUNAN MAKANAN NASIONAL

Berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu


gizi, hampir setiap negara membuat pola makan untuk masyarakatnya.
Pola makan ini disusun menurut kondisi kesehatan dan ketersediaan
makanan di tiap negara. Perkembangan pedoman pola makan di
Indonesia diuraikan dalam bab ini.
Untuk memenuhi zat gizi yang dibutuhkan, mengonsumsi
makanan yang bervariasi harus dilakukan karena tidak ada satu pun
jenis makanan yang mengandung semua zat gizi yang diperlukan dalam
jumlah yang seimbang. Air susu ibu (ASI) mengandung hampir semua zat
gizi yang dibutuhkan seorang bayi, tetapi kandungan zat besi, vitamin D,
dan fluorida terbatas. Susu sapi mengandung sangat sedikit zat besi dan
tidak mengandung serat pangan. Daging adalah sumber protein, tetapi
hanya sedikit mengandung kalsium. Telur tidak mengandung vitamin C
dan hanya sedikit mengandung kalsium. Jadi, kita memerlukan berbagai
jenismakanan karena zat-zat gizi tersebar luas dalam makanan yang
berbeda-beda.
Variasi makanan berarti memilih makanan yang berbeda di dalam
satu kelompok, misalnya sayuran, mengonsumsi jenis yang bervariasi dari
hari ke hari. Variasi seperti ini membuat makanan lebih menarik dan
menyediakan semua zat gizi yang diperlukan dalam jumlah yang
seimbang.

A. Gizi Salah dan Kontaminan


Kekurangan ataupun kelebihan asupan energi termasuk salah gizi.
Kelebihan asupan energi akan menaikkan resiko kanker pada manusia.
Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa pembatasan energi selama
pertumbuhan yang cepat bersifat protektif terhadap kanker. Tidak
diragukan bahwa kegemukan meningkatkan resiko kanker rahim,
payudara, buah pinggang, dan mungkin kanker prostat, kolon, dan
empedu. Kelebihan lemak tubuh dapat mempengaruhi produksi hormon
kelamin, yang akan menaikkan resiko kanker, atau sel-sel kanker
mungkin tumbuh lebih mudah jika energi berlimpah. Akan tetapi, tidak
ada kaitan yang ditemukan antara rendah lemak dengan perkembangan
berbagai kanker, tetapi kelebihan berat badan menaikkan resiko kanker.
Asupan daging dan produk yang kaya protein dalam jumlah

232
banyak telah dikaitkan dengan meningkatnya kanker prostat. Hal ini
mungkin berhubungan dengan kandungan lemak jenuh dalam makanan.
Namun, kita harus hati-hati dengan kesimpulan ini karena sangat banyak
jenis daging yang dapat dikonsumsi. Daging yang dimasak pada
temperatur tinggi di atas nyala api terbuka akan menghasilkan
hidrokarbon poliaromatik, yang salah satunya adalah benz[a]pyren. Selain
itu, metode memasak ini menghasilkan produk samping yang berikatan
dengan DNA dan menghasilkan tumor pada kolon.
Tidak ada keraguan bahwa asupan alkohol yang berlebihan akan
meningkatkan resiko kanker di bagian atas saluran pencernaan. Bahkan,
asupan alkohol dalam jumlah sedang pun tampaknya dapat meningkatkan
resiko kanker payudara dan kolon.
Nitrosamin adalah karsinogen yang terbentuk dari nitrit. Nitrit
terdapat di dalam berbagai makanan dan dihasilkan secara endogen dari
nitrat dalam sayuran. Senyawa nitrosamin ditemukan di dalam sosis, hot
dog, bir, keju, dan beberapa makanan yang diawetkan dengan nitrit. Oleh
karena itu, tidak dianjurkan mengonsumsi sayur bayam yang banyak
mengandung nitrat bersama-sama dengan cumi-cumi yang
mengandung dimetilamin. Sebab nitrat dapat diubah oleh mikroba
menjadi nitrit dan akan bereaksi dengan dimetilamin membentuk
nitrosamin. Reaksi ini dapat berlangsung di dalam lambung atau usus.
Mikotoksin adalah toksin yang diproduksi oleh jamur. Di antara
banyak contoh, aflatoksin B1, suatu komponen dari banyak makanan
berjamur seperti padi-padian dan kacang-kacangan yang berjamur,
dikategorikan sebagai karsinogen pada manusia dan diyakini dapat
menyebabkan kanker hati.

B. Phytochemicals
Di samping keberadaan zat kontaminan yang merugikan, di dalam
makanan juga terdapat zat-zat yang dapat meningkatkan kesehatan dan
bahkan mencegah berbagai penyakit, terutama penyakit degeneratif. Zat-zat
ini dikenal sebagai phytochemicals, yakni sekelompok zat di dalam sayur-
sayuran, buah-buahan, dan bahan lain seperti bahan bumbu masak.
Beberapa contoh phytochemicals antara lain limonoida dalam jeruk,
fitosterol di dalam minyak nabati, serat pangan di dalam sayur-sayuran,
buah-buahan, dan oat, oligosakarida di dalam bawang, flavonoida dalam
teh dan buah-buahan, serta curcumin dalam kunyit, temulawak, dan lain-

233
lain.
Ada hubungan yang erat antara makanan dengan perkembangan
berbagai penyakit degeneratif (lanjut usia), terutama kardiovaskular
(seperti jantung koroner dan stroke), kanker, hipertensi, dan
kegemukan. Diperkirakan, paling sedikit sepertiga dari penyakit kanker
disebabkan oleh makanan, dan setengah dari penyakit kardiovaskular dan
hipertensi juga disebabkan oleh faktor makanan. Orang-orang yang
mengonsumsi banyak sayur-sayuran dan buah-buahan biasanya jauh lebih
sehat dengan resiko penyakit degeneratif lebih rendah dibandingkan
dengan mereka yang kurang mengonsumsi sayur-sayuran dan buah-
buahan.
Sifat protektif ini dikaitkan dengan kandungan berbagai zat
antioksidan alami seperti vitamin C, vitamin E, karotenoid, polifenol, dan
antioksidan lain yang terdapat di dalam sayur-sayuran, dan buah-buahan.
Berdasarkan fakta ini telah dilakukan penelitian untuk mengetahui khasiat
dari zat-zat aktif tersebut sebagai zat tunggal yang telah diisolasi dari
sayur-sayuran dan buah-buahan, tetapi ternyata hasilnya tidak konsisten.
Akan tetapi, mengkonsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran yang kaya
akan zat-zat berkhasiat tersebut selalu memberi hasil yang positif.
Diduga, ada interaksi di antara mikronutrien, phytochemicals, dan zat
lain yang belum diketahui, yang bekerja secara sinergistik.
Kerusakan oksidatif terhadap DNA akan menyebabkan mutasi.
Kerusakan ini dapat dipercepat oleh beberapa faktor makanan. Pada saat
ini, banyak dipelajari tentang kemampuan antioksidan untuk melindungi
manusia dari karsinogen lingkungan. Pengetahuan baru dalam hal
hubungan antara kanker dengan diet menunjukkan bahwa kalsium dan
vitamin D (kontak dengan cahaya matahari sedang) mungkin berperan
dalam pencegahan kanker. Ada bukti bahwa asupan selenium di atas yang
dianjurkan memiliki sifat antikanker pada manusia, tetapi saat ini
belum cukup fakta untuk merekomendasikan asupan selenium dengan
jumlah yang melebihi keperluan.
Bentuk hormon dari vitamin D, yaitu 1,25 (OH)2-D telah
menunjukkan kemampuan untuk menghambat perkembangan sel-sel
kolorektal manusia dari sel-sel berpotensi kanker secara in
vitro.Vitamin D juga telah memperlihatkan kemampuan menghalangi
pertumbuhan sel kolon dan kolorektal pada pasien dengan radang usus
yang memborok. Gabungan data ini menunjukkan bahwa vitamin D
memiliki sifat kemopreventif terhadap neoplasma kolon. Mungkin

234
inilah keuntungan dari produk susu yang diperkaya dengan vitamin D.
Asam lemak tertentu, seperti asam lemak tak jenuh tunggal dan tak
jenuh ganda di dalam minyak ikan dan zaitun mungkin akan
bermanfaat.

C. Empat Sehat Lima Sempurna


Ahli pangan dan gizi tentu terbatas jumlahnya, tetapi informasi
tentang peran makanan untuk memelihara dan mencegah timbulnya
penyakit harus disampaikan kepada masyarakat agar dapat dipedomani.
Untuk mencapai tujuan ini, Departemen Kesehatan serta para ahli
pangan dan gizi bertugas menyampaikan informasi tentang gizi kepada
masyarakat luas.
Salah satu cara yang sederhana tetapi cukup efektif adalah
melalui suatu pedoman umum sehingga semua lapisan masyarakat
dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan zat gizi yang
diperlukannya, tanpa perlu menjadi ahli gizi. Hal ini dilakukan hampir
di setiap negara, disesuaikan dengan ketersediaan bahan makanan serta
kebiasaan masyarakat di negara tersebut.
Misalnya, di Amerika pola/pedoman makanan mula-mula
dikenal dengan nama "a seven food group plan". Pada tahun 1950-an
pedoman tersebut disederhanakan menjadi "a four food group plan", yang
terdiri atas kelompok susu, daging, sayur-sayuran dan buah-buahan, serta
serealia dan roti. Pedoman ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
dasar sehari-hari.
Sesuai dengan perkembangan ilmu gizi, saat ini pedoman
tersebut diubah lagi menjadi "Food Guide Pyramid" (Pedoman
Piramida Pangan) yang jauh lebih baik daripada sebelumnya.
Perbedaan utama dengan pedoman yang lama ialah adanya
penambahan porsi sayur-sayuran dan buah-buahan serta roti (bread)
menjadi dua kali lipat, serta penambahan serealia dan roti tambahan
berikutnya sesuai dengan kebutuhan total energi individual. Tujuan lain
dari pedoman ini ialah untuk mengurangi lemak di dalam diet.
Di Indonesia, pedoman yang sudah dibuat dan disosialisasikan
adalah "Empat Sehat Lima Sempurna". Sesuai dengan perkembangan
ilmu gizi, tampaknya pedoman tersebut perlu diperbaiki. Kemudian, pada
tahun 1995 Departemen Kesehatan RI menyusun Pedoman Umum Gizi
Seimbang (PUGS) yang berisi 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang, yaitu (1)
makanlah aneka ragam makanan, (2) makanlah makanan untuk

235
memenuhi kecukupan energi, (3) makanlah makanan sumber karbohidrat
setengah dari kebutuhan energi, (4) batasi konsumsi lemak dan minyak
sampai seperempat dari kecukupan energi, (5) gunakan garam beriodium,
(6) makanlah sumber energi zat besi, (7) berikan ASI kepada bayi sampai
umur 4 tahun, (8) biasakanlah makan pagi, (9) minumlah air bersih dan
aman dalam jumlah yang cukup, (10) lakukan kegiatan olahraga secara
teratur, (11) hindarilah minuman beralkohol, (12) makanlah makanan
yang aman bagi kesehatan, dan (13) bacalah terlebih dahulu label pada
makanan yang dikemas. Tiga belas pesan yang terperinci itu tidak
menyinggung komponen yang sangat penting, yakni sayur-sayuran dan
buah-buahan. Pedoman yang lebih sederhana tetapi lebih baik dapat
dibuat dalam bentuk lain sehingga lebih mudah diingat dan dipahami.

D. Rangkuman
Berdasarkan fakta yang telah diuraikan, perlu kiranya dilakukan
penyempurnaan terhadap program "empat sehat lima sempurna". Dalam hal
ini bukan hanya dari segi kualitatif (empat dan/atau lima kelompok),
melainkan harus sampai kepada proporsi kelompok untuk menyediakan
jumlah dan jenis zat gizi yang seimbang, bukan hanya untuk memelihara
kesehatan, melainkan juga untuk mencegah penyakit degeneratif,
terutama penyakit jantung koroner dan kanker. Kemudian, program ini
disosialisasikan untuk dipedomani oleh masyarakat luas.

E. Pelatihan
1. Berikan komentar saudara tentang perkembangan pola makan di
Amerika Serikat!
2. Berikan penjelasan singkat tentang "Food Guide Pyramide"!
3. Uraikan perbedaan antara "empat sehat lima sempurna" dengan
PUGS!

236
DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Salem, AM. (2010). Functional Foods: Hopefulness to Good


Health. America Journal of Food Technology, 5(2); 86-99.
Agrawal, S., and Chakrabarti, A. (2010). Potential Nutraceuticals
Ingredients from Plant Origin. In: Pathak, Y. (editor). Handbook
of Nutraceuticals. Volume 1. Ingredients, Formulations, and
Applications. CRC Pres. 27-58.
Aluko, RE. (2012). Functional Foods and Nutraceuticals. Springer.
London
Ahmad, MF., Ali Ahmad, F., Azad, ZR., Alam, MS., and Ashraf, SA.
(2013). Nutraceutical is the Need of Hour. World Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical Science. Vol. 2.Issue 5; 2516-
2525.
Ansong, MA., and Pathak, SY. Nutraceuticals with Mineral Origin. In.
Pathak, Y(editor). Handbook of Nutraceuticals. Volume 1.
Ingredients, Formulations and Applications. CRC Press.
London. 2010: 99-122.
Beceanu, D. 2008. Nutritive, Nutraceutical, Medical and Energetic Value
of Fruits and Vegetables. Cercetari Agronomica in Moldova. Vol.
XLI. No 4 (136).; 65-81.
Burdock, GA.,and carabin, IG.(2008). Breaking Down the Barriers to
Functional Foods, Nutraceuticals and Claims. In: Bagchi, D
(Editor): Nutrceutical and Functional Foods Regulations in
the United States and Around the World. Food Science and
Technology, International Series. Academic Press. Pp.83-105.
Chaturvedi, N., Sharma, P., Shukla, K., Singh, R., and Yadav, S.
(2011). Cereals Nutraceuticals, Health Ennoblement and
Diseases Obviation: A Comprehensive Review. Journal of
Applied Pharmaceutical Science 01(07); 6-12.
Chong, KL., Udell, LJ., and Downs, BW. (2008). Intelectual Property,
Branding, Trademark and Regulatory Approvals in
Nutraceuticals and Functional Foods. In: Bagchi, D (Editor):
Nutraceutical and Functional Foods Regulations in the United

237
States and Around the World. Food Science and Technology,
International Series. Academic Press. Pp.405-416.
El-Sohaimy, SA. (2012). Functional Foods and Nutaceuticals-Modern
Approqach to Food Science. World Appl. Sci. Journal. 20(5):
691-708.
Goldberg, I. 1994. "Preface." Functional Foods: Designer Foods,
Pharmafoods, Nutraceuticals. edited by I. Goldberg. New
York: Chapman & Hall.
Gulati, OM., and Ottaway, PB. (2008). Botanical Nutraceuticals (Food
Supplements, Fortified and Functional Foods) in the European
Union with Main Focus on Nutrition and Health Claims
Regulation. In: Bagchi, D (Editor): Nutrceutical and
Functional Foods Regulations in the United States and
Around the World. Food Science and Technology,
International Series. Academic Press. Pp.199-238.
Halsted, C.H. 2003. "Dietary Supplements and Functional Foods: 2 Sides
of a Coin?" The American Journal of Clinical Nutrition. 77
(suppl): 10018-10078.
Hasler, C.M. 1998. "Functional Foods: Their Role in Disease
Prevention and Health Promotion." Food Technology. 52 (ll): 63-
70.
Hanninen, O., and Sen, CK. (2008). Nutritional Supllements and
Functional Foods: Functional Significance and Global
Regulations. In: Bagchi, D (Editor): Nutrceutical and
Functional Foods Regulations in the United States and
Around the World. Food Science and Technology,
International Series. Academic Press. Pp. 11-35.
Hoadley, JE., Rowlands, JG. (2008). FDA Perspectives on Food Label
Claims in the USA. In: Bagchi, D (Editor): Nutrceutical and
Functional Foods Regulations in the United States and
Around the World. Food Science and Technology,
International Series. Academic Press. Pp.115-141.
Jacobs, D.R. and L.M. Steffen. 2003. "Nutrients, Foods, and Dietary
Patterns as Exposures in Research: a Frame Work for Food
Synergy. The American Journal of Clinical Nutrition. 78

238
(Suppl): 5088-5138.
Jackson, JC.,and Paliyath, G. 2011. Functional Foods and
Nutraceuticals. In: Paliyath, et al (editors). Functional Foods,
Nutraceuticals, and Degenerative Disease Prevention. Wiley-
Blackwell. West Sussex. UK.; 11-43.
Kalra, EK. (2003). Nutraceutical- Definition and Introduction. AAPS
PharmSci, 5(3); 1-2. (http://www.pharmsci.org).
Lachane, PA. (2008). Nutraceutical/Drug/Anti-Terrorism Safety
Assurance Through Traceability. In: Bagchi, D (Editor):
Nutrceutical and Functional Foods Regulations in the United
States and Around the World. Food Science and
Technology, International Series. Academic Press. Pp. 109-
112.
Lazaridou, A., Biliaderis, CG., and Izydorczyk, MS. 2007. Cereal β-
Glukan: Structure, Physical properties, and Physiological
Functions. In: Billiaderis, CG., and Izydorczyk, MS.
Functional Foods Carbohydrates. 1-72.
Lee, K.W., H.J. Lee, Y.J. Surh, and C.Y. Lee, 2003. "Vitamin C and
Cancer Chemoprevention: Reappraisal." The American Journal
of Clinical Nutrition. 78 (6): 1074-1078.
Martyres, S., Harwood, M., and Nestmann, ER. (2008). Emerging
Policies and Practices Under the Canadian Natural Health
Product Regulations. In: Bagchi, D (Editor): Nutrceuticals
and Functional Foods Regulations in the United States and
Around the World. Food Science and Technology,
International Series. Academic Press. Pp. 159-171.
Mason, P. (2010). Dietary Foods. In: Pathak, Y. (editor). Handbook of
Nutraceuticals. Volume 1. Ingredients, Formulations, and
Applications. CRC Pres. 311-355.
Milner, A. 2000. "Functional Foods: the US Perspective." The
American Journal of Clinical Nutrition. 7 (Suppl): 16548-
16598..
Paliyath, G., Bakovic, M., and Shetty, K. 2011. Preface. In: Paliyath, et al (Editors).
Functional Foods, Nutraceuticals, and Degenerative Disease Prevention.

239
Wilvey-Blackwell. Oxford, UK. Pp. xvii-xviii..
Paliyath, G., and Shetty, K. (2011). Functional Foods, Nutraceuticals,
and Disease Prevention: A Window to the Future of Health
Promotion. In: Paliyath, et al (editors). Functional Foods,
Nutraceuticals, and Degenerative Disease Prevention. Wiley-
Blackwell. Iowa, USA. Pp. 3-8.
Paliyath, G., and Shetty, K. 2011. Functional Foods, Nutraceuticals,
and Disease Prevention: A Window to the Future of Health
Promotion. In: Paliyath, et al (editors). Functional Foods,
Nutraceuticals, and Degenerative Disease Prevention.
Wiley-Blackwell. Iowa, USA. Pp.3-10.
Pathak, Y. (2010). Nutraceuticals: Definitions, Formulations, and
Challenges.. In: Pathak, Y. (editor). Handbook of
Nutraceuticals. Volume 1. Ingredients, Formulations, and
Applications. CRC Pres. 15-26.
Patel, V., Wilson, P., and Singh, RH. (2010). Nutraceutical of
Antiquity. In: Pathak, Y. (editor). Handbook of
Nutraceuticals. Volume 1. Ingredients, Formulations, and
Applications. CRC Pres. 1-14.
Rajasekaran, A., Sivagnanam, G., and Xavier, R. (2008).
Nutraceuticals as therapeutic agents: A Review. Research J
Pharm. and Thech. 1(4); 328-340.
Sabate, J. 2003. "The Contribution of Vegetarian Diets to Health and
Disease: a Paradigm Shift?" The American Journal of Clinical
Nutrition. 78 (Suppl): 5028-5078.
Shahidi, F., and Miraliakbari, H. (2006). Marine Oils: Compositional
Characteristics and Health Effects. In: Shahidi, F (editor).
Nutraceutical and Specialty Lipids and Their Co-Products.
CRC. Taylor & Francis. Boca Raton. Pp. 227-247.
Sharma, R. (2009). Nutraceuticals and Nutraceutical Supplemention
Criteria in Cancer: A Literature Survey. The Open
Nutraceuticals Journal. 2. :92-106.
Silalahi, J. 2012. Manfaat Minyak Kelapa untuk Meningkatkan
Kesehatan. Pemikiran Guru Besar USU untuk Pembangunan

240
Nasional. USU Press. Medan. Hal. 168-175.
Silalahi, J. Makanan Fungsional: Pengembangan Sediaan dan
Fungsinya untuk Meningkatkan Kesehatan. Makalah yang
disampaikan pada Seminar Pharmacy Update 3, yang
diselenggarakan oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Medan, 23 Juli 2011.
Silalahi, J. 2002. "Anticancer and Health Protective Properties of Citrus
Fruit Components." Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition:
11 (i): 79-84.
Silalahi, J., dan Nurbaya,S. 2011. Kompoisi, Distribusi dan Sifat
Aterogenik Asam Lemak di dalam Minyak Kelapa dan Kelapa
Sawit. J Indon Med Assoc. vol. 61(11); 453-457.
Swanson, BG. (2006). Fat Replacer: Mimetics and Substitutes. In:
Shahidi, F (editor). Nutraceutical and Specialty Lipids and
Their Co-Products. CRC. Taylor & Francis. Boca Raton. Pp.
229-339.
Subbiah, MTR. 2007. Nutrigenetics and Nutraceuticals: the next wave
riding on personalized medicine. Review Article. Traditional
Reseacr. February, pp. 55-61.
Tucker, AJ., Deschambault, B., and Bakovic, M. 2011. Nutritional
Genomics: Fundamental Role of Diet in Chronic Disease
Prevention and Control. In: Paliyath, et al (Editors). Functional
Foods, Nutraceuticals, and Degenerative Disease Prevention.
Wilvey-Blackwell. Oxford, UK. Pp. 45-67.
Ward, R.E. and J.B. German. 2003. "Zoonutrients and Health." Food
Technology. 57 (3): 30-36.
Vranesic-Bender, D. (2010). The Role of Nutraceuticals in Anti-aging
Medicine. Acta Clin Croat; 49; 537-544.
Wildman, REC, and Kelly,M. 2007.Nutraceuticals and Functional
Foods. In: Wildman, REC (Editor). Handbook of
Nutraceuticals and Functional Foods. 2nd Edn. CRC Press.
Boca Raton. Pp;1-22.
Witt, M., and Pathak, Y. (2010). Regulatory Considerations for
Dietary Supplements and Functional cGMPs. In: Pathak, Y.

241
(editor). Handbook of Nutraceuticals. Volume 1.
Ingredients, Formulations, and Applications. CRC Pres. 167-
183.
Young, D., Tsao, R., and Mine, Y. 2011. Nutraceuticals and
Antioxidant Function. In: Paliyath, et al (editors). Functional
Foods, Nutraceuticals, and Degenerative Disease Prevention.
Wiley-Blackwell. Iowa, USA. Pp. 75-112.

Daftar Pustaka
Abeywardena, M.Y. and R.J. Head. 1996. "Vascular Protective Actions of
Natural Antioxidants." Proceedings of the International Symposium
on Natural Antioxidants: Molecular Mechanisms and Health Effects,
edited by L. Parker, M.G. Traber, dan W. Xin. Champaign: AOCS
Press. 584-594.
Anonim. 1998. "New Trial: Vitamin E Cuts Prostate Cancer Risk."
INFORM. 9 (6): 563.
Aruoma, O.I. 1998. "Free Radicals, Oxidative Stress, and
Antioxidants in Human Health and Disease." The Journal of
American Oil Chemist Society. 75 (2): 199-212.
Blumberg, J.B. 1994. "Nutrient Control of Immune
Function."Functional Foods: Designer Foods, Pharmafoods,
Nutraceuticals. edited by I. Goldberg. New York: Chapman & Hall.
87-108.
Bregilius-Flohe, R. and M.G. Traber. 1999. "Vitamin E: Function and
Metabolism." FASEB Journal 13: 1145-1155.
Brown, L., E.B. Rimn, J.M. Seddon, E.L. Giovannucci, L. Chasan-Taber, D.
Spiegelman, W.C. Willet, and S.E. Hankinson. 1999. "A Prospective
Study of Carotenoid Intake and Risk of Cataract Extraction in
US Men." The American Journal of Clinical Nutrition. 70 (4):
517-524.
Carbonneau, M.A., C.L. Leger, B. Descomps, F. Michel, and L.
Moonier. 1998. "Improvement in the Antioxidants Status of
Plasma and Low-Density Lipoprotein in Subjetcs Receiving a Red
Wine Phenolics Mixture." The Journal of American Oil Chemist

242
Society. 75 (2): 235-240.
Carr, A.C. and B. Frei. 1999. "Toward a New Recommended Dietary
Allowance for. Vitamin C Based on Antioxidant and Health
Effects in Humans." The American Journal of Clinical
Nutrition. 61 (2): 392-396.
Chan, A.C. 1998. "Vitamin E and Atherosclerosis." Journal of
Nutrition. 128 (10): 1593-1596.
Charleux, J.L. 1996. "Antioxidants as Potential Mediators for Health
Benefits." Proceedings of UIFoST’96 Regional Symposium:
Non Nutritive Health Factors for Future Foods. Oct. 10-11,1996.
Seoul, Korea. 224-234.
Clostre, F. 1996. "Effects of Ginkgo biloba Extract on Radical Induced
Damage in the Brain." Proceedings of the International
Symposium on Natural Antioxidants: Molecular Mechanisms
and Health Effects, edited by L. Parker, M.G. Traber, and W. Xin.
Champaign: AOCS Press. 444-452.
Cuppett, S. 1998. "Plant Production of Biochemical Compounds."
INFORM. 9 (6): 588-590, 592-595.
Dalimartha, B. dan B.M. Soedibyo. 1999. Awet Muda dengan
Tumbuhan Obat dan Diet Supplemen. Bogor: Trubus
Agriwidya. 1-6.
Dubick, MA., and Omaye, ST. 2007. Grape Wine and Tea Polyphenols in
the Moulation of Atherosclerosis and Heart Disese. In: Wildman,
REC (Editor). Handbook of Nutraceuticals and Functional Foods.
2nd Edn. CRC Press. Boca Raton. 2007. 101-120.
Duthie, G.G. and K.M. Brown. 1994. "Reducing the Risk of
Cardiovascular Disease." Functional Foods: Designer Foods,
pharmafoods, Nutraceuticals. edited by I. Golberg. New York:
Chapman & Hall. 19-35.
Erba, D., P. Riso, A. Colombo, and G. Testolin. 1999. "Supplementation of
Jurkat T Cells with Green Tea Extract Decreases Oxidative
Damage Due to Iron Treatment." The American Journal of
Clinical Nutrition. 129: 2130-2134.
Fang, X., Wang W., and Wu J. 1996. "Can Metallothionein be Used as a

243
Potential Antioxidant Medicine." Proceedings of the
International Symposium on Natural Antioxidants: Molecular
Mechanisms and Health Effects, edited by L. Parker, M.G.
Traber, and W. Xin. Champaign: AOCS Press. 261-271.
Franceschi, S., A. Favero, C. La Vecchia, E. Negri, E. Conti, M.
Montella, A. Giacosa, O. Nanni, and A. Decarli. 1997. "Foods
Groups and Risk of Colorectal Cancer in Italy." International
Journal of Cancer. 72 (1): 56-61.
Gil, M.I., F. Ferreres, and F.A.T. Barberan. 1998. "Effect of Modified
Atmosphere Packing on the Flavonoids and Vitamin C Content of
Minimally Processed Swis Chard (Beta vulgaris Subspecies cycZa)."
Journal Agriculture and Food Chemistry. 46: 2007-2012.
Hagerman, A.E., K.M. Reidl, G.A. Jones, K.N. Sovik, N.T. Ritchard, P-W.
Hartzfeld, and T.L. Riechel. 1998. "High Molecular Weight
Plant Polyphenolics (Tannins) as Biological Antioxidants."
Journal Agriculture and Food Chemistry. 46: 1887-1892.
Keevil, J.G., H.E. Osman, J.D. Reed, and J.D. Folts. 2000. "Grape Juice,
But Not Orange Juice or Grape Fruit Juice, Inhibits Human Platelet
Aggregation." Journal of Nutrition. 130: 53-56.
Khaw, K.T. 1997. "Healthy Aging." British Medical Journal. 315: 1090-
1096.
Kun-Lin J, and Shih Weng M. Flavonoids as Nutraceuticals. In:
Grotewold, E (Editor). The Science of Flavonoids. Springer,
Ohio, USA. 2006: pp;213-2229.
Lampe, J.W. 1999. "Health Effects of Vegetables and Fruit: Assessing
Mechanisms of Action in Human Experimental Studies." The
American Journal of Clinical Nutrition. 70 (3): 4755-4905.
Leo, M.A. and C.A. Lieber. 1999. "Alcohol, Vitamin A, and β-carotene:
Adverse Interactions, Including Hepatoxicity and Carcinogenicity."
The American Journal of Clinical Nutrition. 69 (6): 1071-1085.
Lin, R.I. 1994. "Phytochemicals and Antioxidants." Functional Foods:
Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals. edited by I.
Goldberg. New York: Chapman & Hall. 393-436.
Liu, R.H. 2003. "Health Benefits of Fruits and Vegetables are from Additive

244
and Synergistic Combinations of Phytochemicals." The American
Journal of Clinical Nutrition. 78 (suppl): 5178-5208.
McKee, T. and J.R. McKee. 2003. Biochemistry. 3rd ed. Toronto: McGraw
Hill.
McMurry, J. and M.E. Castellion. 1994. Fundamentals of Organic and
Biological Chemistry. New Jersey: Prentice Hall. 90.
Milner, J.A. 1994. "Reducing the Risk of Cancer." Functional Foods:
Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals. edited by I.
Goldberg. New York: Chapman & Hall. 39-68.
Negri, E., C. La Vecchia, S. Franceschi, B. D' Avanzo, and F. Parazzini.
1991. "Vegetable and Fruit Consumption and Cancer Risk." The
International Journal of Cancer. 48 (3): 350-354.
Niki, E., N. Noguchi, M. Iwatsuki, and Y. Kato. 1996. "Dynamics of
Antioxidation by Phenolic Antioxidant: Physicochemical
Issues." Proceedings of the International Symposium on
Natural Antioxidants: Molecular Mechanisms and Health
Effects, edited by L. Parker, M.G. Traber, and W. Xin. Champaign:
AOCS Press. 1-8.
Packer L. 1996. "Antioxidant Defense in Biological Systems: an
Overview." Proceedings of the International Symposium on
Natural Antioxidants: Molecular Mechanisms and Health
Effects, edited by L. Parker, M.G. Traber, and W. Xin. Champaign:
AOCS Press. 9-23.
Porrini, M. and P. Riso. 2000. "Lymphocyte Lycopene Concentration
and DNA Protection from Oxidative Damage is Increased in Women
After a Short Period of Tomato Consumption." The American
Journal of Clinical Nutrition. 130: 189-192.
Reed, D.J. 1989. "Glutation and Vitamin E in Protection Against
Mutagens and Carcinogens." Food Toxicology. A Perspective on
the Relative Risks, edited by S.L. Taylor and R.A. Scanlan. New
York: Marcel Dekker. 169-204.
Robinson, T. 1995. The Organic Constituent of Higher Plants. 6thed. terj.
K. Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB.
Sastre, J., G. Pla, A. Millan, P.V. Pallardo, J.G. Asuncion, J.A. Martin,

245
E.G. Conner, M.T.D. Lafeix, and J. Vina. 1996. "Prevention by
Ginkgo biloba Extract of Aged Associated Impairment of Brain
Mitochondria." Proceedings of the International Symposium on
Natural Antioxidants: Molecular Mechanisms and Health Effects,
edited by L. Parker, M.G. Traber, and W. Xin. Champaign:
AOCS Press. 434-443.
Silalahi, J. 2001. "Free Radicals and Antioxidant Vitamins in Degnerative
Diseases." Majalah Kedokteran Indonesia. 51 (1), 16-21.
Sundram, K. and P. Khosla. 1996. "Hypocholesterolemic Factors in
Foods." Proceedings of IUFoST'96 Regional Symposium. Non
Nutritive Health Factors for Future Foods. Oct. 10-11. Seoul,
Korea, 81-96.
Xiong, YL. 2010. Antioxidant Peptida. In. Mine, et al. (editors). Bioactive
Proteins and Peptides as Functional Foods and Nutraceuticals.
Wiley-Blacwell. Iowa. Pp. 29-39.
Young, D., Tsao, R., and Mine, Y. 2011. Nutraceuticals and Antioxidant
Function. In: Paliyath, et al (editors). Functional Foods,
Nutraceuticals, and Degenerative Disease Prevention. Wiley-
Blackwell. Iowa, USA. Pp. 75-103.
Young, D., and Mine, Y. 2010. Anti-inflammatory/Oxidative Stress
Protein and Peptides. In. Mine et al, (Editors). Bioactive Proteins
and Peptides as Functional Foods and Nutraceuticals. Wiley-
Blackwell. Hal. 15-23.
Vatassery, G.T., T. Bauer, and M. Dysken. 1999. "High Doses of Vitamin
E in the Treatment of Disorders of Central Nervous System in the
Aged." The American Journal of Clinical Nutrition. 70 (5): 793-
801.
Watzl, B. 1996. "Health Promoting Effects of Phytochemicals."
Proceedings of IUFoST'96 Regional Symposium. Non
Nutritive Health Factors for Future Foods. Oct. 10-11. Seoul,
Korea, 203-223.
Williams, D.E., H.R. Dashwood, J.D. Hendricks, and G.S. Bailey. 1989.
"Anticarcinogens and Tumor Promoters in Foods." Food Toxicology.
A Perspective on the Relative Risks, edited by S.L. Taylor and R.A.
Scanlan. New York: Marcel Dekker. 101-150.

246
Wong; D.W.S. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. New
York: Van Nostrand. 369-374.
Yang, F., W.J.S. de Villiers, C.J. McClain, and G.W. Varilek. 1998. "Green
Tea Polyphenols Block Endotoxin - Induced Tumor Necrosis
Factor - Production and Lethality in a Maurine Model."
Journal of Nutrition. 128 (12): 2334-2340.
Zino, S., M. Skeaff, S. Williams, J. Mann. 1997. "Randomised
Controlled Trials of Effect of Fruit and Vegetable Consumption on
Plasma Concentrations of Lipids and Antioxidants." British
Medical Journal. 314: 1787.

Daftar Pustaka
Akande, A., Van Wyk, CW, and Osagie, JE. (2000). Importance of
Exercise and Nutrition in the Prevention of Illness and the
Enhancement of Health. Education, 120 (4): 758-772.
American Diabetes Association Professional Committee and
Executive Committee. (2002). Evidence-Based Nutrition
Principles and Recommendations for the Treatment and
Prevention of Diabetes and Related Complications. Position
Statement. Clinical Diabetes. Vol. 20 (2); 53-64.
American Diabetes Association (2011). Diagnosis and Classification
of Diabetes Mellitus. Diabetes Care; Vol 34(Supplement 1).
Anderson J W. Dietary Fiber and Associated Phytochemicls in
Prevention and Reversalof Diabetes. In: Pasupuleti VK &
Anderson JW (Editors). Nutrceuticals, Glycemic Health and
Type 2 Diabetes. John Wiley & Sons,Inc. Iowa, USA. 2008; 97-
115.
Anderson RA and Roussel, AM.Cinnamon, Glucose, and Insulin
sensitivitas. In: Pasupuleti VK & Anderson JW (Editors).
Nutrceuticals, Glycemic Health and Type 2 Diabetes. John
Wiley & Sons,Inc. Iowa, USA. 2008; 127-138
Ariga, T., and Seki, T. (2005). Functional Foods from Garlic and
Onion. In: Shi, J., Tang Ho, C., and Shahidi, F. (editors). Asian
Functional Foods. CRC Press. 433-465.

247
Ashraf, R., Khan, RA., and Ashraf, I. (2011). Garlic (Allium sativum)
Supplementation with Standard Antidiabetic Agent Provides
Beter Diabetic Control in type 2 patients. Pak. J. Pharm. Sci.,
Vol. 24 (4); 565-570.
Ashraf, R., Khan, RA, and Ashraf, I (2011). Effects of garlic on blood
glucose level and HbA1c in patients with type 2 diabetes
mellitus. Journal of Medical Plants Vol. 5(13). 2922-1928.
Bakti, A., Choudhary, N., and Kumar, S. 2013. Nutraceuticals as
theraphuetic agents for holistic treatment of diabetes. Int J
Green Pharm. 7; pp. 278-287.
Bahadoran, Z., Mirmiran, P., and Azizi, F. 2013. Dietary polyphenols
as potential nutraceuticals in management of diabetes. A
review. Journal of Diabetes & Metabolic Disorders. 12:43;2-9.
Baliga BS., Bloomgarden, Z., and Nonas, C. (2006). Medical
Nutrition Therapy for Patients with Type-2 Diabetes. In:
Mechanick and Brett (editors): Nutritional Strategies for the
Diabetic & Prediabetic Patient. Taylor & Francis. CRC. New
York. Pp. 81-102.
Baynes, J., and Domonickzak, MH. (2003). Medical Biochemistry.
Elsevier Scince. Mosby. London.
Bird, AR. 1999. “Prebiotics: A Role for Dietary Fiber and Resistant
Starch.” Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition. 8 (Suppl.):
S32-S36.
Brigelius-Flohe, R. and M.G. Traber. 1999. “Vitamin E: Function and
Metabolism.” The FASEB Journal. 13:1145-55.
Brody, T. 1994. Nutritional Biochemistry. Sydney: Academic Press.
Burri, B.J. 1997. “Beta-Carotene and Human Health: A Review of
Current Research.” Nutrition Research. 17:547-80.
BPOM RI. (2005). Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional.
Peraturan Kepala BPOM RI Nomor HK. 00.05.52.0685.
Brody, T. (1994). Nutritional Biochemistry. Academic Press. New
York. Pp. 125-214; 288-290.

248
Butarbutar, F., Hiswani dan Jemadi. (2012). Karakteristik Penderita
diabetes Mellitus Dengan Komplikasi Yang Di Rawat Inap Di
RSUD Deli Serdang Tahun 2012. Gizi, Kesehatan Reproduksi
dan Epidemiologi, Vol 2(5), Juli 2013.
Carr, A.C. and B. Frei. 1999. “Toward a New Recommended Dietary
Allowance for Vitamin C Based on Antioxidant and Health
Effects in Humans.” The American Journal of Clinical
Nutrition. 69:1086-1107.
Clarkson, P.M. and H.S. Thompson. 2000. “Antioxidant: What Role
Do They Play in Physical Activity and Helath?” The
American Journal of Clinical Nutrition. 72(2):637S-646S
Davi, G., Santilli, F., and Patrono, C. 2010. Nutraceuticals in Diabetes
and Metabolic Syndrome. Review. Cardiovascular
Therapeutics. 28; 216-226.
Dalimartha, S. 1999. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Ranker.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Eyo, JE., Ozougwu, JC., and Echi, PC. (2011). Hypoglicemic Effects
of Allium cepa, Alium sativum and Zingiber Officinale Aquous
Extracts on Alloxan-induced Diabetic Rattus Novergicus.
Fuhrman, MP., Payne, C., Eiden, K., Steinle, N., and Gonzalez, N.
(2006). Nutrition and Pancreas. In: Marian, MJ., Williams-
Mullen, P., and Bowers, JM. (Editors): Integrating Therapeutic
and Complemantary Nutrition.CRC Taylor & Francis. New
York. pp. 355-394.
Halim, B. dan M.F. Sahil. 2001. "Imunologi Ranker." Cermin Dunia
Kedokteran. 132: 47-51.
Hasler, C.M. 1998. "Functional Foods: Their Role in Disease
Prevention and Health Promotion." Food Technology. 52 (11); 63-
70.
Hensrud, DD. (2006). Preventive Nutritional Strategies in Diabetic
and Prediabetic Patients. In: Mechanick and Brett (editors):
Nutritional Strategies for the Diabetic & Prediabetic Patient.
Taylor & Francis. CRC. New York. Pp. 45- 80.
Hill, J.W. and R.H. Petrucci. 2002. General Chemistry. 3rd ed. Prentice

249
Hall.
Hussain, Z., and Jovanovic, L. (2006). Nutritional Strategies in
Pregestational, Gestational, and Postpartum Diabetic Patients.
In: Mechanick and Brett (editors): Nutritional Strategies for the
Diabetic & Prediabetic Patient. Taylor & Francis. CRC. New
York. Pp. 133-169.
Johnson, M.A. and J.G. Fischer. 1994. "Role of Minerals in Protection
Against Free Radicals." Food Technology. May: 112-
114,116,118,120.
Jusman, S.A., K. Sri Pamuji, M. Sadikin, dan Azizahwati. 2001. "Efek
Protektif Bawang Putih (A. sativum L.) terhadap Membran
Sel Darah Merah Domba yang Diberi Stres Oksidatif."
Majalah Kedokteran Indonesia. 51 (3): 80-84.
Jenkins, DJA., Kendall, CWC., Marchie, A., Jenkins, AL., Augustin,
LSA., and Ludwig, DS. (2003). Type 2 diabetes and the
vegetarian diet. Am J Clin Nutr. 78(suppl): 610S -616S.
Katz, F. 2000. "How Food Technologists React to the New Dietary
Guidelines for Americans." Food Technology. 54 (8): 64-68.
Khazrai, YM., Manfrini, S., and Pozzilli, P. (2004). Diet and diabetes:
prevention and control. In : Arnold, A. (editor). Functional
foods, cardiovascular disease and diabetes. CRC Press.
Washington, DC. Pp. 126-141.
Kloek J, Pasupuleti V, and van Loan LJC. Proteins, Protein
Hydrolysates and Bioactive Peptide in the Management of Type
2 Diabetes. In: Pasupuleti VK & Anderson JW (Editors).
Nutrceuticals, Glycemic Health and Type 2 Diabetes. John
Wiley & Sons,Inc. Iowa, USA. 2008; 439-455.
Kordonouri, O., Apovian, C., Kuhn, L., Danne, T., and Mantzoros,
CS. (2009). Medical Nutrition Therapy in the Treatment of
Type 1 and type 2 Diabetes. In: Mantzoros, CS. (editor).
Nutrition and Metabolism. Underlying Mechanisms and
Clinical consequences. Human Press. Boston. Pp. 245-257.
Kushner, RF., and Roth, JL. (2006). Nutritional Strategies for Patients
with Obesity and Metabolic Syndrome. . In: Mechanick and

250
Brett (editors): Nutritional Strategies for the Diabetic &
Prediabetic Patient. Taylor & Francis. CRC. New York. Pp. 55-
74.
Kyrou, I., and Kumar, S. (2010). Weight management in overweight
and obese patients with type 2 diabetes mellitus. The British
Journal of Diabetes & Vascular. 10; pp. 274-283.
Lazaridou, A., Biliaderis, CG., and Izydorczyk, MS. 2007. Cereal β-
Glukan: Structure, Physical properties, and Physiological
Functions. In: Billiaderis, CG., and Izydorczyk, MS. Functional
Foods Carbohydrates. 1-72.
Lee, K.W., Lee H.J., Surh Y.J.,and Lee C.Y. 2003. 'Vitamin C and Cancer
Chemoprevention: Reappraisal." The American Journal of
Clinical Nutrition. 78: 1074-1078.
Lin, R.I. 1994. "Phytochemicals and Antioxidants." Functional Foods:
Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals. edited by I.
Goldberg. New York: Chapman & Hall. 393-436.
Liu, R.H. 2003. "Health Benefits of Fruits and Vegetables are from Additive
and Synergistic Combinations of Phytochemicals." The
American Journal of Clinical Nutrition. 78 (suppl): 5178-
5208.
McKee, T, and McKee, JR. (2003). Biochemistry. The Molecular
Basis of life. 3rd Edn. McGraw-Hill. New York.
Mahluji, S., Ostadrahimi, A., Mobasseri, M., Attari, VE., and
Payahoo, L. (2013). Anti-Inflammatori Effects of Zingiber
Officinlae in Type 2 Diabetes Patients. Advanced
Pharmaceutical Bulletin. X(x); xxx-xxx.
Mechanick, JI (2006). The Rational Use of Dietary Supplements,
Nutraceuticals, and Functional Foods for the Diabetic and Pre-
diabetic Patients. In: Mechanick and Brett (editors): Nutritional
Strategies for the Diabetic & Pre-diabetic Patient. Taylor &
Francis. CRC. New York. Pp. 265-296.
Matheka, DM., and Alkizim, FO. 2012. Complementary and
alternative medicine for type 2 diabetes mellitus: Role of

251
Medical herbs. Journal of Diabetes and Endocrinology. Vol
3(4); pp. 44-56.
Mittendorfer, B, and Klein, S. (2003). Physical factors taht regulate
the use of endogenous fat and carbohydrate fuels during
endurance exercise. Nutrition Research Reviews, 16, 97-108.
Milner, J.A. 1994. "Reducing the Risk of Cancer." Functional Foods:
Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals. edited by I.
Goldberg. New York: Chapman & Hall. 39-68.
Milo Ohr, L. 2004. "Nutraceuticals & Functional Foods."
FoodTechnology. 58 (2): 71-75.
Muchtadi, D. 2001. "Pencegahan Gizi Lebih dan Penyakit Kronis Melalui
Perbaikan Pola Konsumsi Pangan." Pangan & Gizi: Ilmu,
Teknologi, Industri dan Perdagangan. Diterbitkan oleh Seto S.
bekerja sama dengan Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi
Fakultas Teknologi Pertanian IPB Bogor.
Mumtaz, M. (2000). Gestational Diabetes Mellitus. Malaysian
Journal of Medical Sciences. Vol. 7(1); pp. 4-9.
Novakofski, K. Epidemiology of Type 2 Diabetes. In: Pasupuleti VK
& Anderson JW (Editors). Nutrceuticals, Glycemic Health and
Type 2 Diabetes. John Wiley & Sons,Inc. Iowa, USA. 2008;11-
25.
Omar, EA., Kam, A., Alqahtani, A., Li, KM., Naumovski, VR., vas
Nammi, S, et al. 2010. Herbal Medicines and Nutraceuticals for
Diabetic Vascular Complications: Mechanism of Cation and
BioactivePhytochemicals. Curent Pharmceutical Design; 16;
3776-3807.
Patel, C. 1998. Petunjuk Praktis Mencegah dan Mengobati Penyakit
Jantung. Jakarta: Gramedia.
Pathak, SY., Lee, C., Simon, A., and Pathak, Y. 2010. Probiotics and
Prebiotics as Nutraceuticaals. In: Pathak, Y (Editor).
Handbook of Nutraceuticals,Volume 1. Ingredients,
Formulations and Applicationas. CRC Press.London. pp. 223-
242.

252
Perera, PK., and Li, Y. (2012). Functional herbal food ingredients
used in type 2 diabetes mellitus. Pharmacognosy Review. Vol.
6(11). 37-45.
Primanda, Y., Kritpracha, C., and Thaniwattananon, P. (2011).
Diatery behaviors among Patients with Type 2 Diabetes
Meliitus in Yogya, Indonesia. Nurse media Journal of Nursing.
1,2, Juli; 211-223.
Rastal, B. (2007). Prebiotics. In: Sikorski, ZE. (editor). Chemical and
Functional properties of Food Compnents. 3rd Edn. CRC
Press. Boca Rotan. Hal. 391-410.
Roberfroid, M.B. 2000. "Prebiotics and Probiotics: are They
Functional Foods?" The American Journal of Clinical
Nutrition. 71 (Suppl): 16828-16878.
Rouzaud, GCM. (2007). Probiotics, Prebiotics, and Synbiotics:
Functional Ingredients for Microbial Management Strategies.
In: Biliaderis, CG., and Izydorczyk, MS. (edtors). Functional
Food Carbohydrates. CRC Press. New York. 479-509.
Rabito, P., Mechanick, J.I., and Brett, EM. (2006). Exercise,
Nutrition, and Diabetes. In: Mechanick and Brett (editors):
Nutritional Strategies for the Diabetic & Prediabetic Patient.
Taylor & Francis. CRC. New York. Pp. 297-311.
Rayfield, EJ., and Valentine, MV. (2006). Pathophysiology and
Clinical Management of Diabetes and Prediabetes. In.
Mechanick and Brett (editors): Nutritional Strategies for the
Diabetic & Prediabetic Patient. Taylor & Francis. CRC. New
York. Pp. 16-44.
Roberdfroid, M.B. 2000. "Prebiotics and Probiotics: Are They
Functional Foods?" The American Journal of Clinical Nutrition.
71 (Suppl): 16828-78.
Sargowo, D. dan R. Ratnawati. 2002. "Pengaruh Zat Aktif Ganggang Hijau
terhadap Produk Radikal Bebas dan Fraksi Lipid Penderita
Dislipidemia Usia Lanjut." Medika. XXVIII (11): 693-701.
Silalahi, J. 2000. "Makanan Fungsional: Peranannya dalam Mencegah
Penyakit dan Peningkatan Kesehatan." Bulletin ISFI Sumut.
Vol. XIII, Juli, 2000.10-17.
Silalahi, J. 2000. "Hypocholesterolemic Factors in Foods. A

253
Review." Indonesian Food and Nutrition Progress. 7: 26-35.
Silalahi, J. 2000. "Makanan Fungsional: Peranannya dalam
Pencegahan Penyakit dan Peningkatan Kesehatan." Bulletin ISFI
Sumut. Vol. 13, Juli. 10-16.
Silalahi, J. 2001. "Free Radicals and Antioxidant Vitamins
inDegenerative Disease." Majalah Kedokteran Indonesia. 51:16-
21.
Silalahi, J. 2002. "Anticancer and Health Protective Properties ofCitrus
Fruit Components." Asia Pacific Journal of ClinicalNutrition.
11 (l): 79-84.
Silalahi, J. 1994. "Sekilas Toksikologi: Senyawa Amin Bioaktif yangTerdapat
dalam Makanan." Media Farmasi. 2 (1): 19-25.
Silalahi, J., dan Nurbaya,S. 2011. Kompoisi, Distribusi dan Sifat
Aterogenik Asam Lemak di dalam Minyak Kelapa dan Kelapa
Sawit. J Indon Med Assoc. vol. 61(11); 453-457.
Silalahi, J., dan Nurbaya, S. 2011. Aterogenisitas Minyak dan Lemak di
Dalam Makanan. Prosiding Seminar Nasional Biologi.
Departemen Biologi FMIPA USU. USU Press. Hal. 290-301.
Silalahi, J. (2012). Health benefits of coconut oil as functional food.
Prosiding Seminar Nasional Biologi: Peran Biologi Dalam
Meningkatkan Daya Saing Global. Departemen Biologi
Fakultas MIPA USU, Medan,11 Mei 2012. hal. 28-33.
Silalahi, J. (2011). Makanan Fungsional: Pengembangan Sediaan dan
Fungsinya untuk Meningkatkan Kesehatan. Makalah
disampaikan pada Seminar Pharmacy Update, Medan, Sabtu, 23
Juli 2011.
Silalahi, J. 2000. "Peran Antioksidan Alami pada PencegahanBerbagai
Penyakit." Media Farmasi. 8 (1): 1-13.
Silalahi, J. 2001. "Free Radicals and Antioxidant Vitamins in
Degenerative Diseases." Majalah Kedokteran Indonesia. 51; 1
(1): 16-21.
Silalahi, J. 2002. "Anticancer and Health Protective Properties of Citrus
Fruit Components." Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition.

254
11 (1): 79-84.
Silalahi, J. 2002. "Senyawa Polifenol sebagai Komponen Aktif yang
Berkhasiat dalam Teh." Majalah Kedokteran Indonesia. 52
(10): 361-364.
Silalahi, J. dan S.D.R. Tampubolon. 2002. "Asam Lemak Trans dalam
Makanan dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan." Jurnal
Teknologi & Industri Pangan (2).
Silalahi, J. 2002. "Konsep Baru tentang Komponen Bioaktif dalam
Makanan sebagai Dasar untuk Mengevaluasi dan Merencanakan
Produk dan Susunan Makanan Nasional." Pidato Ilmiah pada
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Kimia Bahan Makanan
Jurusan Farmasi. FMIPA USU.
Singh, A; Dubey, R., Paliwal, RT., Saraogi, GK., and Singhai, AK. 2012.
Nutraceuticals-An Emerging Era in Thwe Treatment and
Prevention of Diseases. International Journal of Pharmacy and
Pharmceutical Sciences. Vol.4. Suppl. 4; 39-43.
S. (2006). Nutrition and Type 1 Diabetes Mellitus. In: Mechanick and
Brett (editors): Nutritional Strategies for the Diabetic &
Prediabetic Patient. Taylor & Francis. CRC. New York. Pp.
105-116.
Steyn, NP., Mann, J., Bennett, PH, Temple, N, Zimmet, P,
Tuomilehto, J., Lindstrom, J,. and Louheranta, A. (2004). Diet,
nutrition and the prevention of type 2 diabetes. Public Health
Nutrition; vol. 7(A); 147-165.
Swennen, K., Courtin, CM., and Delcour, JA. (2006). Non-digestible
Oligosdaccharides with prebiotic properties. Critical Rev in
Fd Sci and Nutrition. 46(6); 459-471.
Tomomatsu, H. 1994- "Health Effects of Oligosaccharides."
FoodTechnology. October. 61-65.
Tuminah, S. Effek Perbedaan Sumber dan Struktur Kimia Asam
Lemak Jenuh Terhadap Kesehatan. Bul. Penelit. Kesehatan,
2010; 38(1): 43-51.
US. Department of Agricultural and Department of Health and Human
Services. Dietary Guidelines for American 2010.pp. 35-37.

255
Vanderhoof, JA., and Young, RJ. 2005. Antimicrobials and
Probiotics. In: Matarese, L.E., Steiger, E., and Seidner, DL.
Intestinal Failure and Rehabilitation. A Clinical Guide. CRC
Press LLC. Pp. 172-180.
Virtenan, SM. (2004). Nutritional Risk factors in the development of
type 1 and type 2 diabetes. In: Arnold, A. (editor). Functional
foods, cardiovascular disease and diabetes. CRC Press.
Washington, DC. Pp. 142-154.
Vassalotti, JA. (2006). Nutritional Strategies for the Patient with
Diabetic Nephropathy. In: Mechanick and Brett (editors):
Nutritional Strategies for the Diabetic & Prediabetic Patient.
Taylor & Francis. CRC. New York. Pp. 149-169.
Wijnkoop, IL., Sanders, ME., Cabana, MD., Caglar, E., Corthier, G.,
Rayes, N., Sherman, PM., Timmerman, HM., Vaneechoutte,
M., Loo, JV and Wolves, DAW. Probiotic and Prebiotic
Influence Beyond the Intestinal Tract. Nutrition Reviews,
65(11); 469-489.
Wijaya, C.H, D. Mucthadi, H.J. Lalel, S. Koswara, dan F. Zakaria. 2000.
"Anti-Platelet Agregation Activities of Shallot and Garlic
Dried Powders Made of Local (Indonesian) Varieties." Indonesian
Food and Nutrition Progress. 7 (1): 13-18.
Wardlaw, GM and Hampl, JS. 2007. Perspective in Nutrition. 7th Edn.
McGrawHill. New York.pp;175-180.
Weiss Scheen, AJ. (2007). Diabetes, Obesity, and Metabolic
Syndrome. In. Meckling KA. Nutrient-Drug Interactions. CRC
Taylor & Francis. London. Hal. 1-20.
Wardlaw, GM and Hampl, JS. (2007). Perspective in Nutrition. 7 th
Edition. McGrawHill. New York. Pp. 382-424.
Wardlaw, G.M. and M.W. Kessel. 2002. Perspectives in Nutrition. 5th ed.
New York: McGraw Hill.
Willet, W.C. and M.J. Stampfer. 2001. "What Vitamins Should I Be
Taking, Doctor?" New England Journal of Medicine. 345 (25):
1819-1824.
World Cancer Research Fund/American Institute for Cancer Research.
(2007). Food , Nutrition Physical Activity, and The Prevention of

256
Cancer: a global perspective. Washington DC. AICR.
Zakaria, F.R. 2001. "Pangan dan Pencegahan Kanker." Jurnal
Teknologi & Industri Pangan. 12 (2): 171-177.

Daftar Pustaka
Amagase, H (2006). Clarifying the Real Bioactive Constituents of
Garlic. J. Nutr. 136: 716S-725S.
Amagase, H., Petesch, B., Matsuura, H., Kasuga, S., and Itakura, Y.
(2001). Intake of garlic and Its Bioactive Components. J. Nutr.
131: 955S-962S.
Amagase, H., Petesch, BL., Matsuura, H., and Kasuga, S. (2001).
Intake of Garlic and Its Bioactive Components. J. Nutr. 131:
955S-962S.
Antony ML, and Singh, SV. (2011). Molecular Mechanisms and
Targets of Cancer Chemoprevention by Garlic-derived
Bioactive Compound Diallyl Trisulfide. Indian J Exp Biol. Nov.
49(11): 805-816.
Antony, ML., and Singh, SV. (2011). Molecular Mechanisms and
Targets of cancer Chemoprevention by Garlic-derived
Bioactive Compound Diallyl trisulfide. Indian J Exp Biol.
49(11); 805-816.
Ashrah, R., Khan, RA., and Ashraf, AI. (2011). Garlic (Allium
sativum) Supplementation with Standard Antidiabetic Agent
provides better Diabetic Control in Type 2 Diabetic Patients.
Pak. J. Pharm. Sci., Vol, 24(4) October, 2011: pp. 565-570.
Aruoma, O.I. 1998. "Free Radicals, Oxidative Stress, and Antioxidants in
Human Health and Disease." Journal of American Oil Chemist
Society. 75: 199-212.
Austoker, J. 1994. "Cancer Prevention in Primary Care: Diet andCancer."
British Medical Journal. June. 308:1610-1614.
Alloreung, D., Mahmud, Z., dan Prastowo, B. Peluang Kelapa Untuk
Pengembangan Produk Kesehatan. Pengembangan Innovasi
Pertanian. 2008; 1(4): 298-315.
Balamash, K., Albar, O., Wang, Q., and Ahmed, S. (2012). Effect of
KyolicR aged garlic extract on glycemia, lipidemia and
oxidative stress in patients with type 2 diabetes mellitus.

257
Journal of Diabetes Research& Clinical Metabolism.
http://www.hoajonline.com/journals/pdf/2050-0866-1-18.pdf.
Banerjee, SK., and Maulik, SK. (2002). Effect of garlic on
cardiovascular disorders: a review. (Nutrition Journal. 1(4); 1-
14.
Baker, R.A. 1994. "Potential Dietary Benefits of Citrus Pectin andFiber."
Food Technology. Nov.: 133-139.
Bird, A R. 1999. "Prebiotics: a Role for Dietary Fiber and Resistence Starch."
Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition. 8 (Suppl.): 832-836.
Brody, T. 1994. Nutritional Biochemistry. Sydney: AcademicPress.
357-358.
Burri, B.J. 1997. "Beta-carotene and Human Health: A Review ofCurrent
Research." Nutrition Research. 17 (3): 547-580.
Brannon, CA. 2009. Functional Foods. Part II. Nutrition Dimension
Inc. pp. 75-98.
Banwart, G.J. 1981. Basic Food Microbiology. Abridged Edition. New
York: Van Nostrand Reinhold.
Baraas, F. 1996. Mencegah Serangan Jantung dengan Menekan
Kolesterol. Cetakan ketiga. Jakarta: Gramedia.
Belitz, H.D. and W. Grosch. 1987. Food Chemistry. 2nd ed. Springer Verlag.
Bielecka, M. (2007). Probiotics in Foods. In: Sikorski, ZE. (editor).
Chemical and Functional properties of Food Compnents. 3 rd
Edn. CRC Press. Boca Rotan. Hal. 413-424.

Bathaei, FS., and Akhondzadeh, S. (2008). Cardiovascular Effects of


Allium Sativum (Garlic): An Evidence-Based Review. J. Teh
Univ Heart Ctr.1; 5-10.
Benavides, GA., Squadrito, GL., Mills, RW., Patel, HD., Isbell, TS.,
Patel, RP et al. (2007). Hydrogen sulfide mediates the
vasoactivity of garlic. Proc Natl Acad Sci. November, 13. Vol
104 (46): 17977-17982.
Bianchini, F., and Vainio, H. (2001). Allium Vegetables and
Organosulfur Compounds: Do They Help Prevent Cancer?
Environmental Health Perspectives. Vol 109(9): 893-902.

258
Bongiorno, PB., Fratellone, PM., and LoGudice, P.(2008). Potential
Health Benefits of Garlic (Allium Sativum): A Narrative
Review. Journal of Complementary and Integrative Medicine.
Vol. 5(1):1-24.
Borek, C. (2006). Garlic Reduces Dementia and Heart-Disease Risk.
J. Nutr. 136: 810S-812S.
Carr, A.C. and B. Frei. 1999. "Toward a New Recomended Dietary
Allowance for Vitamin C Based of Antioxidant and Health
Effects in Humans." The American Journal of Clinical
Nutrition. 69: 1086-1107.
Chomchalow, N. Using the World’s Oldest Oil As a Remedy to Cure
Emerging New Disease. AUJT.: 2010; 14(2); 106-110. Article
presented at the International Conference on Medical and Aromatic
Plants (AROMED) held at the Central Institute for Medical and
Aromatic Plants, Lucknow, India, 21-24 February 2010.
Chen, Z.U., Zhu Q.Y., Wong Y.F., Zhang Z., and Chung H.Y.
1998"Stabilizing Effect of Ascorbic Acid on Green Tea
Cathechins."Journal of Agricultural Food Chemistry. 46 (7):
2513-2516.
Cuppett, S. 1998. "Plant Production of Biochemical
Compounds."INFORM. Vol. 9. No. 6: 588-595.
Cobas, AC., Soria, AC., Martinez, MC, and Villamiel, M (2010). A
Comprehensive Survey of Garlic Functionality. In: Pacurar, M
and Krejci, G (Editors). Garlic Consumption and Health. Nova
Science. Madrid, Spain. Pp. 1-60.
Coronel, MLC. (2010). Nutraceuticals in Diabetes Management. In:
Pathak, Y. (editor). Handbook of Nutraceuticals. Volume 1.
Ingredients, Formulations, and Applications. CRC Pres. 207-
214.
Cutler, RR., and Wilson, P. (2004). Antibacterial activity of a new,
stable, aqueous extract of allicin against methicillin-resistant
Staphylococcus aureus. British Journal of Biochemical Science,
61(2): 1-4.
Das, S. (2002). Garlic- A Natural Source of Cancer Preventive
Compounds. Asian Pacific J Cancer Prev. 3, 305-311.
Dorant, E., van den Brandt, PA., Goldbohm, RA., Hermus, RJJ., and
Sturmans, F. (1993).Garlic and its significant for the prevention

259
of cancers in humans: a critical view. Br. J. Cncer. 67: 424-429.
Durairaj, S., Srinivasan, S., and lakshmanaperumalsamy, P. (2009). In
Vitro Antibacterial Activity and Stability of garlic Extract at
Different pH and Temperature. Electronic Journal of Biology.
Vol. 5(1). 5-10.

Dubick, MA., and Omaye, ST. 2007. Grape Wine and Tea Polyphenols in the
Modulation of Atherosclerosis and Heart Disease. In: Wildman,
REC (Editor). Handbook of Nutraceuticals and Functional
Foods. 2nd Edn. CRC Press. Boca Raton. 2007; 1-22.
Enig, MG. Health and Nutritional benefits from coconut oil: An important
functional food for the 21st century, AVOC (Asean Vegetable Oils
Club) Lauric Oils Symposium, Ho Chi Min, Vietnam, 25 April. 1996.
Ejaz, S., Woong, LC, and Ejaz, A. (2003). Extract of garlic (Allium
sativum) in Cancer Chemoprevention. Experimental Oncology.
25; 93-97. (June).
El-Bayoumay, K., Sinha, R., Pino, JT, and Rivin, RS. (2006). Cancer
Chemoprevention by Garlic and Garlic-containing Sulfur and
Selenium Compounds. J. Nutr. 136: 864S-869S.
Eyo, JE, Ozougwu, JC and Echi, PC. (2011). Hypoglycemic effects of
Allium cepa, Allium sativum and Zingiber officinale aquous
extracts on Alloxan-indused Diabetic Rattus Novergicus.
Medical Journal of Islamic World Academy of Sciences. 19(3);
121-126.
Farnworth, ER. 2007. Probiotics and Prebiotics. In: Wildman, REC
(Editor). Handbook of Nutraceuticals and Functional Foods.
CRC Press. London. Pp. 335-347.
Ferguson, L.R. and P.J. Harris. 1999. "Wheat Bran and Cancer: The
Role of Dietary Fiber." Asia Pacific Journal of Clinical
Nutrition. 8 (sppl.): 841-846.
Fife, BF. Coconut Oil and Health. In: Coconut oil revival: new possibilities for
the ‘tree of life’. Proceedings of the International Coconut Forum held
in Cairns, Australia, 22-24 November 2005. Adkins, SW., Foale, M.,
Samosir, YMS. (eds). Australian Centre for International Agricultural
Research (ACIAR). Canberra. 2006.
Fiddler, W., J.W. Pensabene, R.A. Gates, and R. Adam. 1998.
"Nitrosamine Formation in Processed Hans as Related to

260
Reformulated Elastic Rubber Netting." Journal of Food
Science. 63 (2): 276-278.
Gafar, MK., Itodo, AU., Warra, AA., and Abdullahi, L. (2012).
Exraction and Physicochemical Determination of Garlic
(Allium sativum) Oil. Inter Journal of food and Nutrition
Science. Vol 1(2): 4-7.
Gillman, M.W. 1996. "Enjoy Your Fruits and Vegetables (Editorials)."
British Medical Journal. Sept 313. 765-766.
Goldberg, I. 1994. "Introduction." Functional Foods: Designer Foods,
Pharmafoods, Nutraceuticals. edited by I. Goldberg. New York:
Chapman & Hall. 1-16.
Goldberg, I. 1994. "Preface." Functional Foods: Designer Foods,
Pharmafoods; Nutraceuticals. edited by I. Goldberg. New
York: Chapman & Hall.
Han, CH., Liu, JC., Chen,KH., Lin, YS., Chen, CT., Fan, CT., Lee,
HL., Liu, DZ., and Hou, WC. (2011).
Antihypertensive activities of processed garlic on
spontaneously hypertensive rats and hypertensive humans.
Botanical Studies. 52; 277-283.
Hasler, C.M. 1998. "Functional Foods: Their Role in Disease
Prevention and Health Promotion." Food Technology. 52 (11): 63-
70.
Haumann, B.F. 1997. "Nutritional Aspects of Omega-3 Fatty Acids."
INFORM. 8 (5): 428-434.

Hagerman, A.E., K.M. Riedl, G.A. Jones, K.N. Sovik, N.T. Ritchard, P.W.
Hartzfeld, and T.L. Riechel. 1998. "High Molecular Weight
Plant Polyphenolics (Tannins) as Biological Antioxi-dants."
Journal of Agricultural Food Chemistry. 46: 1887-1892.
Hernawan, UE., Setyawan, AD.(2003). Review: Organik Senyawa
Organosulfur Bawang putih (Allium sativum L) dan Aktivitas
Biologisnya. Biofarmasi, 1(2): 65-76.
Jackson, CC., and Paliyath, G. (2011). Functional Foods and
Nutraceuticals. In: Paliyath, G., et al. Functional Foods,
Nutraceuticals, and Degenerative Disease Prevention. Wiley-
Blackwell. West Sussex, UK. 11-37.

261
Jonkers, D., van den Brolek, E., van Dooren, I., Thijs, C., E.,
Hageman, E., and Stobberingh.(1999). Antibacterial effect of
garlic and omeprazole on Helicobacter pylori. J Antimicrobial
Ther. 43: 837-839.
Khaw, K.T. 1997. "Healthy Aging." British Medical Journal. Oct. 315:
1090-1096.
Kemper, KJ. (2000). Garlic (Allium sativum). Longwood Herbal task
Force: http://www.mcp.edu.herbal/default.htm
Kevin, TPN., Guo, DY., Cheng, Q., Geng, W., Ling, CC., Li, CX.,
Liu, BX., et al. (2012). A Garlic Derivative, S-allyl (SAC),
SuppressesProliferation and Metastasis of
Hepatocellular Carcinoma. PLoS ONE. 7(2):e31655. doi:10.137
1/journal.pone.0031655.
Kroes, BH. (2006). Significant of garlic and Its Constituents in Cancer
and Cardiovascular Disease. European Perspective on Garlic
and Its Regulation. J. Nutr. 136. 732S-735S.
Lam, L.K.T., Zang J., and S. Hasegawa. 1994. "Citrus Limonoid
Reduction of Chemically Induced Tumorigenesis." Food
Technology. Nov.: 104-108.
Lei, YP., Chen, HW., Sheen, LY., Lii, CK. (2007). Diallyl Disulfide
and Diallyl Trisulfide Suppress Oxidized LDL-Induced
Vascular Cell Adhesion Molecule and E-Selection Expression
through Protein Kinase A-and B-Dependent Signaling
Pathways. J. Nutr. 138: 996-1003.
Londhe, VP, Gavasane, AT., Nipate, SS., Bandawane, DD., and
Chaudhari PD. (2011). Role of garlic (Allium sativum) in
various diseases: An Overview. J Pharmaceutical Research and
Opinion: 1(4); 129-134.
Mahesar, H, Bhutto, MA, Khand,AA, and Najero, NT. (2010). Garlic
Used as an Alternative Medicine to Control Diabetic Mellitus in
Alloxan –induced Male Rabbits. Pak J Physiol. 6(1); 39-41.
Majewski, M. (2014). Allium Sativum: Facts or Myths Regarding
Human Health. Rocz Pantstw Zakl Hig; 2014; 65(1); 1-8.
Marshall, J.R., M.E. Martinez, and D.S.Albert. 1999. "Wheat Bran as a
Means of Cancer Chemoprevention." Asia Pacific Journal of
Clinical Nutrition. 8 (Suppl): 847-853.
Middleton, E. and C. Kandaswami. 1994. "Potential Health-Promoting

262
Properties of Citrus Flavonoids." Food Technology. Nov.: 115-
119.
Miller, E.G., A.P.G. Sanderss, A.M. Couvillon, W.H. Binnie, S.
Hasegawa, and Lam L.K.T. 1994. "Citrus Limonoids as Inhibitors of
Oral Carcinogenesis." Food Technology. Nov.: 110-114.
Milner, J.A. 1994. "Reducing the Risk of Cancer." Functional Foods:
Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals. edited by I.
Goldberg. New York: Chapman & Hall. 39-62.
Muir, J.G. 1999. "Location of Colonic Fermentation Events: Importance of
Combining Resistant Starch with Dietary Fiber." Asia Pacific
Journal of Clinical Nutrition. 8 (Suppl.): 814-821.
Milner, JA (2001). A Historical Perspective on Garlic and Cancer. J
Nutr. 131: 1027S-1031S.
Milner, JA. (2006). Preclinical Perspectives on Garlic and cancer. J.
Nutr. 136: 827S-831S.
Miron, T., Wilchek, M., Sharp, A., Nakagawa, Y., Naoi, M., Nozawa,
Y,. Akao, Y. (2008). Allicin inhibits cell growth and induces
apoptosis through the mitochondrial pathway in HL60 and
U937 cells. Journal of Nutritional Biochemistry. 19: 524-535.
Negri, E., L. Vecchia, S. Franceschi, B. D'Avanzo, and F. Parazzini. 1991.
"Vegetable and Fruit Consumption and Cancer Risk."
International Journal of Cancer. May 48 (3): 350-354.
Ngo, SNT, Williams, DB, Cobiac, L., and Head, RJ. (2007). Does
Garlic Reduce Risk of Colorectal Cancer?. A Systematic
Review. J. Nutr. 137: 2264-2269.
Padya, R, Khatua, TN, Bagul, PK, Kuncha, M, and Banerjee, SK.
(2011). Garlic improves insulin sensitivity and associated
metabolic syndromes in fructose fed rats. Nutrition &
Metabolism. 8:53.
Padh. 1994. "Vitamins for Optimal Health." Functional Foods:
Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals. edited by I.
Goldberg. New York: Chapman &Hall. 279-280.
Prior, R.L., G. Cao, A. Martin, E. Sofic, J. McEwen, C. Obrien, N.
Lichener, M. Ehlenfelt, W. Kalt, G. Krewer, and C.M. Mainland.
1998. "Antioxidant Capacity as Influenced by Total Phenolic and
Anthocyanin Content, Maturity and Variety of Vaccinium

263
Species." Journal of Agricultural Food Chemistry. 46 (7):
2687-2693.
Phil, RAM., Khan, RA., and Ashraf, I. (2011). Effects of garlic on
blood glucose levels and HbA1c in patients with type 2 diabetes
mellitus. J Medicinal Plants Research. Vol. 5(13). 2922-2928.
Rahman, K. (2001). Historical perspective on Garlic and
Cardiovascular Disease. J. Nutr. 131: 977S-979S.
Rahman, K., and Lowe, GM. (2006). Garlic and Cardiovascular
Disease. A Critical Review. J. Nutr. 136: 736S-740S.
Rahman, MS. (2007). Allicin and other Functional Active Compounds
in Garlic: Health Benefits and Bioavailability. International J
Food Properties. 10: 245-268.
Rasooli, I. (2011). Phytochemicals: Bioactivities and Impact on
Health. In Tech. Rijeka, Croatia. pp. 1-42.
Rivlin, RS. (2001). Recent Advances on the Nutritional Effects
Associated with the Use of Garlic as a Supplement. Historical
Perspective on the Use of Garlic. J. Nutr. 131; 951S-954S.
Rivlin, RS. (2006). Is Garlic Alternative Medicine? J Nutr. 136; 713S-
715S.
Rouseff, R.L. and Nagy, S. 1994. "Health and Nutrition Benefits of Citrus
Fruit Components." Food Technology. Nov.: 125-132. Scanlan,
R.A. 1983. "Formation and Occurrence of Nitrosamines in
Foods." Cancer Research. (Suppl.) 43: 24355-824405.
Roos, SA., and Milner, JA. (2007). Garlic: The Mystical Food in
Health Promotion. In: Wildman, RE. Handbook of
Nutraceuticals and Functional Foods. 2nd Edn. CRC Press. New
York. 73-98.
Sengupta, A., Ghosh, S., Bhattacharjee. S (2004). Allium Vegetables
in Cancer Prevention: An Overview. Asian Pacifc J Cancer
Prev. 5: 237-245.
Shamseer, L., Charrois, TL, and Vohra, S. (2006). Complementary,
Holistic, and Integrative Medicine: Garlic. Pediatr. Rev; 27;77-
80.
Silalahi J., dan Siti Nurbaya (2011). Komposisi, Distribusi dan Sifat
Aterogenik Asam lemak dalam Minyak Kelapa dan Kelapa
Sawit. J Indon Med Assoc. Vol. 61(11). 453-457.
Silalahi, J. (2005). Gas Nitrogen Oksida: pollutan atau vital bagi
kehidupan?. Cermin Dunia Kedokteran: 147: 20-30.

264
Silalahi, J., dan Siti Nurbaya (2011). Aterogenisitas Minyak dan
Lemak. di dalama Makanan. Prosiding Seminar Nasional
Biologi. Departemen Biologi Fakultas MIPA USU Medan, 290-
302.
Silalahi, J. 2001. "Free Radicals and Antioxidant Vitamins in Degenerative
Diseases." Majalah Kedokteran Indonesia. 51 (1): 16-21.
Silalahi, J. 2002. "Anticancer and Health Protective Properties of Citrus
Fruit Components." Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition.
11 (1): 79-84.
Sundram, K. and P. Kholsa. 1996. "Hypocholesterolemic Factors in
Foods." Proceedings ofUIFoST'96 Regional Symposium: Non-
Nutritive Health Factors for Future Foods. Oct. io-n; Seoul,
Korea. 81-96.
Singh, VK., and Singh, DK. (2008). Pharmacological Effects of Garlic
(Allium ativum L.). ARBS Annual Review of Biomedical
Sciences. 10: 6-26.
Tattelman, E. (2005). Health Effects of Garlic. Am Fam Physician.
Vol. 72(1): 103-106.
Thomson, M, Al-Amin, Z M., Al-Qatan, KK., Shaban, LH., and Ali,
M. (2007). Anti-diabetic and hypolipidemic properties of garlic
(Allium sativum) in streptozotocin-induced diabetic rats. Int J
Diabetes & Metabolism. 15; 108-115.
Thomson, M., Ali, M. (2003). Garlic [Allium sativum]: A review of
its Potential Use as an Anti-cancer Agent. Current Cancer Drug
Targets. 3, 67-81.
Tran, HT, and Daugherty, KK. (2010). Nutraceuticals for the
Cardiovascular System. In: Pathak, Y. (editor). Handbook of
Nutraceuticals. Volume 1. Ingredients, Formulations, and
Applications. CRC Pres. 185-203.
Tomomatsu, H. 1994. "Health Effects of Oligosaccharides." Food
Technology. Oct.: 61-64.
Ulbricht, C., Basch, E., Basch, S., Bryan, KJ., Conquer, J., Serrano,
JMG., Hammerness, P., Hashmi, S., et al (2010). An Evidence-
based Review of Garlic and Its Hypolipidemic Properties by
Natural Standard Research Collaboration. Natural Medicine
Journal. 2(4): 1-7.
Watzl, B. 1996. "Health Promoting Effects of Phytochemicals."

265
Proceedings of UIFoST ’96 Regional Symposium: Non-Nutritive
Health Factors for Future Foods. Oct. 10-11, Seoul, Korea.
203-222.
World Cancer Research Fund/American Institute for Cancer Research.
(2007). Food, Nutrition, Physical Activity, and Prevention of
cancer: a Global Perspective. Washington DC: AICR.
Yeh, YY., and Liu, L. (2001). Cholesterol-Lowering Effect of Garlic
Extracts and Organosulfur Compounds: Human and Animal
Studies. J. Nutr. 131: 989sS-993S.
Zino, S., M. Skeaff, S. Williams, and J. Mann. 1997. "Randomized
Controlled Trial of Effect of Fruit and Vegetable Consumption on
Plasma Concentration of Lipids and Antioxidants." British
Medical Journal. June 314: 1787-1796.

Daftar Pustaka
Alloreung, D., Mahmud, Z., dan Prastowo, B. Peluang Kelapa Untuk
Pengembangan Produk Kesehatan. Pengembangan Innovasi
Pertanian. 2008; 1(4): 298-315.
Assumcao, ML., Ferreira, HS., dos Santos, AF., Cabral Jr, CR., and
Florencio, TMMT. Effects of Dietary Coconut Oil on the
Biochemical and Anthropometric Profiles of Women Presenting
Abdominal Obesity. Lipids. 2009; 44; 593-601.
Austoker, J. 1994. "Cancer Prevention in Primary Care: Diet and Cancer."
British Medical Journal. 308: 1610-1614
Balentine, D.A., M.C. Albano, and M.G. Nair. 1999. "Role of
Medicinal Plants, Herbs, and Spices in Protecting Human
Health." Nutrition Reviews. 57 (9): 841-845.
Bender, DV. 2010. The role of nutraceuticals in Anti-aging Medicine. Acta
Clin Croat. 49; 537-544.
Berry, SEE. Triacylglycerol structure and interesterification of palmitic
and stearic acid-rich fats: an overview and implications for
cardiovascular disease. Nutrition Research Reviews. 2006; 22:3-
17.
Blumberg, J.B. 1994. "Nutrient Control of Immune Function." Functional

266
Foods, edited by I. Goldberg. New York: Chapman & Hall. 85-108
Beecher, G.R. 2000. "Phytonutrient's Role in Metabolism: Effects on
Resistance to Degenerative Processes." Nutrition Reviews. 57 (9):
83-86.
Bloch, MH, and Qawasmi. A. Omega-3 Fatty Acid Supplementation
for the Treatment of Children with
Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder Symptomatology:
Systematic review and Meta-Analysis. Am Acad Child Adolesc
Psychiatry. 2011. 50(10); 991-1000.
Breslow, JL. n- J 3 Fatty acids and cardiovascular disease. Am J Clin
Nutr. 2006. 83(Suppl); 1477s-82s.
Carandang, EV. Health benefits of virgin coconut oil. Indian Coconut
Journal. 2008; January, pp; 8-12.
Chomchalow, N. Using the World’s Oldest Oil As a Remedy to Cure
Emerging New Disease. AUJT.: 2010; 14(2); 106-110. Article
presented at the International Conference on Medical and
Aromatic Plants (AROMED) held at the Central Institute for
Medical and Aromatic Plants, Lucknow, India, 21-24 February
2010.
Chen, Z., Zhu Q., Wong Y., Zhang Z., and Chtfng H. 1998.
"Stabilizing Effect of Ascorbic Acid on Green Tea Cathechins."
Journal of Agricultural Food Chemistry. 46: 2512-2516.
Clarkson, P.M. and H.S. Thompson. 2000. "Antioxidants: What Role do
They Play in Physical Activity and Health?" The American
Journal of Clinical Nutrition. 72 (2): 6378-6468.
Coletta, JM., Bell, JS., Roman, AS. Omega-3 Fatty Acids and
Pregnancy. Reviews in Obstetrics and Gynecology. 2010. Vol.
3(4); 163-171.
Daryrit, CS. Coconut Oil: Atherogenic or Not? (What therefore causes
Atherosclerosis?). Philipp J Card. 2003; 31 (3): 97-104.
Dodd, J.L. 1997. "Incorporating Genetics into Dietary Guidance.". Food
Technology. 51 (3): 80-82.

267
Dosumu, OO., Duru, FIO., Osinubi, AA., Oremosu, AA and Noronha,
CC. Influence of Virgin Coconut Oil (VCNO) on Oxidative
stress, serum testosterone and gonadotropic hormones (FSH,
LH) in chronic ethanol ingestion. Agric Biol. J. N. Am. 2010,
1(6): 1126-1132
Danthiir, V., Burns, NR., Nettelbeck, T., Wilson, C., and Wittert, G.
(2011). The older people, omega-3, and cognitive health
(EPOCH) trial design and methodology: A randomized, double-
blind, controlled trial investigating the effect of long-chain
omega-3 fatty acids on cognitive ageing and wellbeing in
cognitively healthy older adults. Nutrition Journal; 10;117; 1-
18.
Domenichielo, AF., Kitson, AP., and Bazinet, RP. (2015). Is
docosahexaenoica cid synthesis from α-linlenic acid sufficient
to supply the adult brain?. Progress in Lipid Research. , 55; 54-
66.
Dubick, MA., and Omaye, ST. 2007. Grape Wine and Tea
Polyphenols in the Moulation of Atherosclerosis and Heart
Disese. In: Wildman, REC (Editor). Handbook of
Nutraceuticals and Functional Foods. 2nd Edn. CRC Press.
Boca Raton. 2007. 101-120.
Ejike, CE., Nwankwo, O., and Ijeh, II. Consumption of Coconut Milk
Did not Increase Cardiovascular disease Risk in Mice.
International Journal of Current Research. 2010; July; 63-64.
Enig, MG. Health and Nutritional benefits from coconut oil and its
advantages over competing oils. Indian Coconut Journal: 2010.
September; pp. 9-15.
Enig, MG. Health and Nutritional benefits from coconut oil: An
important functional food for the 21st century, AVOC (Asean
Vegetable Oils Club) Lauric Oils Symposium, Ho Chi Min,
Vietnam, 25 April. 1996
Farooqui, AA. (2009). Beneficial Effects of Fish Oil on Human Brain.
Springer. New York
Fife, BF. Coconut Oil and Health. In: Coconut oil revival: new
possibilities for the ‘tree of life’. Proceedings of the International

268
Coconut Forum held in Cairns, Australia, 22-24 November
2005. Adkins, SW., Foale, M., Samosir, YMS. (eds). Australian
Centre for International Agricultural Research (ACIAR).
Canberra. 2006.
Fuhrman, E. Healthy and decadent: coconut shows versality. Beverage
Industry. 2011; May. Pp.60 & 61.
Greenberg, JA., Bell, SJ., and Ausdal, WV.Omega-3 Fatty Acid
Supplementation During Pregnancy. Reviews in Obstetrics and
Gynecology. Vol.1 (4); 162-169.
Helland, IB., Smith, L., saarem,K., Saugstad, OD. , and Drevon, CA.
Maternal Supplementation With Very-long-chain n-3 fatty acids
During Pregnancy and Lactation Augment Children’s IQ St 4
Years of Age.Pediatrics.Vol. 111.(1). 2003. 39-44.
Hodgson, J.M., I.E. Puddy, K.D. Croft, V. Burke, T.A. Mori, and R.A.
Caccetta. 2000. "Acute Effects of Ingestion of Black and Green
Tea on Lipoprotein Oxidation." The American Journal of Clinical
Nutrition. 71: 1103-1107.
Lands, WEM. (2005). Fish, Omega-3 and Human Health. AOCS
Press.Illinois.
Liu, HQ., Qiu, Y., Mu, Y., Zhang, XJ., Liu, L., hou, XH., Zhang, L.,
Xu, XN., Ji, AL., Yang RH., Wang, F. A high ratio of dietary n-
3/n-6 polyunsaturated fatty acids improves obesity-link
inflammation and insulin resistance through suppressing
activation of TLR4 in SD rats. Nutrion Reseacrh. 33; 849-658.
Makrides, M. (2012). DHA supplementation during the prenatal
period and neurodevelopment: Do some babies benefit more
than others.? Prostaglandins, Leutriens and Essential Fatty
Acids. 88; 87-90.
Mukthar, H. and N. Ahmad. 2000. "Tea Polyphenols: Prevention of
Cancer and Optimizing Health." The American Journal of
Clinical Nutrition. 71 (Suppl): 16988-17028.
Shahidi, F., and Senanayake, SPJN. (2006). Nutraceutical and
Specialty Lipids. In: Shahidi, F(editor). Nutraceutical and

269
Specialty Lipids and Their Co-Products. CRC Press. Boca
Raton. Pp: 1-22.
Silalahi, J. 2000. "Hypocholesterolemic Factors in Foods: A Review."
Indonesian Food andNutrition Progress. 7 (1): 26-35.
Silalahi, J. 2001. "Free Radicals and Antioxidant Vitamins in
Degenerative Diseases." Majalah Kedokteran Indonesia. 51 (1):
16-21.
Silalahi, J. 2002. "Anticancer and Health Protective Properties of Citrus
Fruit Components." Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition.
11 (1): 79-84.
Sloan, A.E. 2000. "The Top Ten Functional Food Trends." Food
Technology. 54 (4): 33-62.

Daftar Pustaka

Akoh, C.C. 1998. "Fat Replacers." Food Technology. 52 (3): 47-53.


Becker, M., D. Staab, and K. Von Bergmann. 1993. "Treatment ofSevere
Familial Hypercholesterolemia in Childhood withSitosterol and
Sitostanol." Journal ofPediatric. 122 (2): 292-296.
Buana, L. 2001. "Ekspose Hasil Kajian Sosial Ekonomi." Makalah yang
disampaikan pada Ekspose Hasil Penelitian Pusat Penelitian
Kelapa Sawit (PPKS) Medan. 23-24 Oktober. Medan.
Chandrasekharan, N. and Y. Basiron. 2000. "Palm Oil in Human Nutrition
and Health." The Planter, Kuala Lumpur. 76 (890): 299-312.
Fernandez, LM., Laiglesia, LM., Huerta, AE., Martinez, JD., and
Moreno-Aliga, MJ. (2015). Omega-3 fatty acids and adipose
tissue function in obesity and metabolic syndrome.
Prostaglandins and Other Lipid Mediators. 121 p. 24-41.
Gylling, H., M.A. Siimes, and T.A. Miettinen. 1995. "Sitostanol Ester
Margarine in Dietary Treatment of Children with Familial
Hypercholesterolemia." Journal ofLipid Research. 36 (8): 1807-
1812.
Hallikainen, MA and M.I. Uusitupa. 1999. "Effects of 2 Low-Fat Stanol

270
Ester Containing Margarine on Serum Cholesterolemic as Apart
of a Low Fat Diet in Hypocholesterolemic Subjects." The
American Journal of Clinical Nutrition. 69 (3): 403-410.
Heinnemann, T., G.A. Kullack-Ublick, and B. Pietruck. 1991.
"Mechanisms of Action of Plant Sterols on inhibition of Cho-
lesterol Absorption. Comparison of Sitostanol and Sitosterol."
European Journal of Clinical Pharmacology. 40 (Suppl 1):
S59-63.
Hollingsworth, P. 2000. "Margarine: The Over-the-Top Functional Food."
Food Technology. 55 (1): 59-67.
Hu, F.B., M.J. Stamper, J.E. Manson, E. Rimm, G.A. Colditz, B.A. Rosner,
C.H. Hennekens, andW.C. Willett. 1997. "Dietary Fat Intake and
the Risk of Coronary Heart Disease in Women." New England
Journal of Medicine. 337 (21): 1491-1499.
Janssen, CIF,. Kiliaan, AJ. (2013). Long-chain polyunsaturated fatty
acids (LCPUFA) from genesis to senescence: The influence of
LCPUFA on neural development, aging, and neurogeneration.
Progress in Lipid research, 53: 1-17.
Jones, P.J.H., F.Y. Ntanios, M. Raeni-Sarjaz, and C.A. Vanstone. 1999.
"Cholesterol-Lowering Efficacy of a Sitostanol-Containing
Phytosterol Mixture with a Prudent Diet in Hyperlipidemic
Men." The American Journal of Clinical Nutrition. 69: 1144-
1150.
Judge, MP., Harel, O.,and Keefe, CJM. (2007). Maternal
Consumption of a docosahexaenoic acid–containing functional
food during pregnancy: benefit for infant performance on
problem-solving but not on recognition memory tasks at age 9
month. Am JClin Nutr. 85; 1572-7.
Katz, F. 1998. "USDA Surveys Show What Americans Eat." Food
Technology. 1998. 52(11): 50-54.
Mangnat, I. (2009). Do vegetarians have to eat fish for optimal
cardiovascular protection?. Am J Clin Nutr. 89 (Suppl). 1597S-
6001S.
Nor Aini, I. and M.S.A. Yusoff. 2000. "Food Uses of Palm and Palm

271
Kernel Oils." Advances in Oil Palm Research, edited by Y.
Basiron, B.S. Jalani, and K.W. Chan. Vol. II. Malaysia:
Malaysian Palm Oil Board, Ministry of Primary Industries. 968-
1035.
Oomen, C.M., M.C. Ocke, E.J.M. Feskens, F.J. Kok, and D.
Kromhout. 2001. "Assosiation Between Trans Fatty Acid
Intake and lo-Year Risk of Coronary Heart Disease in the
Zutphen Elderly Study: a Prospective Population-Based
Study." Lancet. 357. March 10.
Papanikolaou, Y., Brooks, J., Reider, C., and Fulgonilll, VL. (2014).
US adults are not meeting recommencded levels for fish and
omega-3 fatty acid intake: results of an analysis using
observational data from NHANES 2003-2008.Nutrition
Journal.13 (31);1-6.
Puri, BK., and Martins, JG. (2014). Which polyunsatutated fatty acids
are active in children with attention-deficit hyperactivity
disorder receiving PUFA supplementation? A fatty acid
validated meta-regression analysis of randomized controlled
trials. Prostaglandins, Leutriens and Essential Fatty Acids.90;
179-189.
Querques, G, and Souied, EH. The role of omega-3 and micronutrients
in age-related macular degeneration. 2014. 532-539.
Available online at: journal homepage:
www.elsevier.com/locate/survophtal.
Ratnayake, WMN., and Vavasoar, EJ. (2004). Potential health risk
Associated with large Intakes of Plant Sterol. In: Dutta, PC.
Phytosterol as Functional Food Components and Nutraceuticals.
Marcel Dekker. New York. pp.365-388.
Ros, BM., Seguin, J., and Seiswerda, LE, (2007). Omega-3 fatty acids
as treatments for mental illness: which disorder and which fatty
acid?. Lipids in Health and Disease. 6(21);1-19.
Silalahi, J. 1999. "Modification of Fats and Oils." Media Farmasi. An
Indonesian Pharmaceutical Journal. 7 (1): 1-16.
Silalahi, J. 2000. "Fats, Oils, and Fat Substitutes in Human Nutrition."
Indonesian Food and Nutrition Progress. 7 (2): 56-66.

272
Silalahi, J. 2000. "Hypocholesterolemic Factors in Foods: A Review."
Indonesian Food and Nutrition Progress. 7 (1): 26-35.
Schacky, CV., and Harris, WS. Cardiovascular benefits of omega-3
fatty acids. Cardiovascular Research. 73. (2007). 310-315.
Sheih, CH., Song, C., WU, YS., Kalueff, A., Gaikwad, S., Su., KP.
The rol of omega-3 polyunsaturated fatty acids eicosapentaenic
acid and docosahexaenoic acids in treament of major deprssion
and Alzhemier’s disease: Acting separately bor synergistically.
Progress in Lipid Research, 2016; 62; 41-54.
Weber, N., and Mukherjee, KD. 2006. Plant Sterol and Steryl Esters
in Functional Foods and Nutraceuticals. In: Shahidi, F
(editor). Nutraceutical and Specialty Lipids and Their Co-
Products. CRC. Taylor & Francis. Boca Raton. Pp. 483-500
Willis, W.M., R.W. Lencki, and A.G. Marangoni. 1998. "Lipids
Modification Strategies in the Production of Nutritionally
Functional Fats and Oils." Critical Reviews Food Science and
Nutrition. 38(8): 639-674.
Wani, AL., Bhat, SA., and Ara, A. Omega-3 fatty acid and the
treatment of depression: a review of scientific evidence.
Integrative Medicine Research. 2015; 133-141.
Yates, CM., Calder, PC., and Rainger, GE. Pharmacology and
therapeutics of omega-3 polyunsaturated fatty acids in chronic
inflammatory disease. Pharmacology & Therapeutics, 141,
(2014); 272-282.

Daftar Pustaka
.
.
Gillman, M.W. 1996. "Enjoy Your Fruits and Vegetables. (Editorial)."
British Medical Journal. 313: 765-766.
Gopala, KAG., Raj, G., Bhatnagar, AS., Prasanth, KPK., and
Chandrashekar, P. Coconut Oil: Chemistry, Production and Its

273
Applications. A Review. Indian Coconut Journal. 2010; July,
15-27.
Gupta, A., Malav, A., Singh, A., Gupta, MK., Khinchi, MP., Sharma,
N., and Agrawal, D. Coconut Oil: The Healthiest Oil on Earth.
International Journal of Pharmaceutical Sciences and Research.
2010;1 (6): 19-26.
Halsted CH. Dietary Supplements and functional foods: 2 sides of a
coin? Am J Clin Nutr 2003; 77(supl): 1001-7.
Hedge, BM. Coconut-the best food for human beings’ health and
longevity. Indian Coconut Journal. 2009; February: 17-18.
Hegde, BM. Coconut Oil-Ideal fat next only to Mother’s Milk. J.
Indian Academy of Clinical Medicine. 2006; 7(1):16-19.
Jacobs DR, Stefen LM. Nutrients, foods and dietary patterns as
exposures in research: a frame work for food synergy. Am J Clin
Nutr; 2003; 78 (supl); 508-13.
Katz, F. 2000. "How Food Technologists React to the New Dietary
Guidelines for Americans." Food Technology. 54 (8): 64-68.
Khaw, K.T. 1997. "Healthy Aging. Education and Debate." British Medical
Journal. 315: 1090-1096.
Klurfeld, D.M. 2002. "What Should I Eat to Live Longer? Expert Opinion."
Perspective in Nutrition, edited by G.M. Wardlaw and M.W. Kessel.
5th ed. McGraw-Hill. 54-55.
Labarthe, F., Gelinas, R., and Rosiers, CD. Medium-chain Fatty Acids
as Metabolic Therapy in Cardiac Disease. Cardiovasc Drugs
Ther. 2008; 22: 97-106.
Lampe, J.W. 1999. "Health Effects of Vegetables and Fruits: Assessing
Mechanisms of Action in Human Experimental Studies." The
American Journal of Clinical Nutrition. 70 (3): 4758-4908.
Lieberman, S., Enig, MG, and Preuss, HG. A Review of Monolaurin
and Lauric Acid. Natural Virucidal and Bactericidal Agents.
Alternative & Complementary Therapies. 2006; December:310-
3144.

274
Liu RH. Health benefits of fruits and vegetables are from additive and
synergistic combinations of phytochemicals. Am J Clin Nutr,
2003. 78 (supl) ; 517-20.
Liu, R.H. 2003. "Health Benefits of Fruit and Vegetables are from Additive
Synergistic Combinations of Phytochemicals." The American
Journal of Clinical Nutrition. 78 (Suppl.): 5178-5208.
Muchtadi, D. 2001. "Pencegahan Gizi Lebih dan Penyakit Kronis Melalui
Perbaikan Pola Konsumsi Pangan." Pangan dan Gizi: Ilmu,
Teknologi, Industri dan Perdagangan. Bogor: Seto S.bekerja sama
dengan Jurusan Teknologi Pangan dan GiziFakultas Teknologi
Pertanian IPB. Hal. 94-120.
Nevin, KG and Rajamohan, T. Effect of topical application of Virgin
coconut Oil on Skin components and antioxidants Status during
Dermal Wound Healing in Young Rats. Skin Pharmacol Physiol.
2010; 23: 290-297.
Paliyath, G., and Shetty, K. 2011. Functional Foods, Nutraceuticals,
and Disease Prevention: A Window to the Future of Health
Promotion. In: Paliyath, et al (editors). Functional Foods,
Nutraceuticals, and Degenerative Disease Prevention. Wiley-
Blackwell. Iowa, USA. Pp.3-10.
Rele, A and Mohile, RB. Effect of mineral oil, sunflower oil, and
coconut oil on preventuion of hair damage. J. Cosmet. Sci. 2003;
54: 175-192.
Rihakova, V., Filip, V., Plockova, M., Smidrkal, J. and Cervenkova, R.
Inhibition of Aspergillus niger DMF 0801 by
Monoacylglycerols Prepared from Coconut Oil. Czech J Food
Sci. 2002; 20 (2): 48-52.
Sabate J 2003. "The Contribution of VegetarianDiets to Healthand Disease:
a Paradigm Shift?" The American Journal ofClinical Nutrition. 78
(Suppl.): 5028-5078.
Silalahi, J., dan Nurbaya, S. Komposisi, Distribusi dan Sifat
Aterogenik Asam Lemak di dalam Minyak Kelapa dan Kelapa
Sawit. J Indon Med Assoc. In press. 2012.
Silalahi, J. 2001. "Free Radicals and Antioxidant Vitamins in

275
Degenerative Diseases." Majalah Kedokteran Indonesia. 51: 1 (1):
16-21.
Silalahi, J. dan M.L. Tambunan. 2003. "Zat Bersifat Antikanker dalam
Makanan." Medika. 39 (7):440-446.
Simopoulos, A.P. 1997. "Diet and Gene Interactions." FoodTechnology.
51 (3): 66-69.
St-Onge, MPS., Ross, R., Parsons, WD., and Jones, PJH. Medium-
Chain Triglycerides Increase Energy Expenditure and Decrease
Adiposity in Overweight Men. Obesity Res. 2003; 11(3): 395-
402.
Tuminah, S. Effek Perbedaan Sumber dan Struktur Kimia Asam
Lemak Jenuh Terhadap Kesehatan. Bul. Penelit. Kesehatan,
2010; 38(1): 43-51.
Ward RE, German JB. Zoonutrients and health. Food Technology,
2003; 57(3): 30-6.
Wardlaw, GM and Hampl, JS. Perspective in Nutrition. 7th Edn.
McGrawHill. New York. 2007.
Wardlaw, G.M. and Hampl, JS. 2007. "The Basis of a HealthyDiet."
Perspective in Nutrition. 5th ed. McGraw-Hill. 37-78.
Wardlaw, G.M. and M.W. Kessel. 2002. "Aging." Perspective inNutrition. 5th
ed. McGraw-Hill. 716-720.
Warner, H.R. and Kim K.J. 1994. "Dietary Factors Modulatingthe Rate of
Aging." Functional Foods, edited by I. Goldberg.New York:
Chapman & Hall. 109-125.
Xiong, YL. 2010. Antioxidant Peptida. In. Mine, et al. (editors). Bioactive
Proteins and Peptides as Functional Foods and Nutraceuticals.
Wiley-Blacwell. Iowa. Pp. 29-39.

276

Anda mungkin juga menyukai