Anda di halaman 1dari 18

STUDI KASUS

GIZI DAN PANGAN YANG TERJADI DI INDONESIA, EROPA, DAN AMERIKA

OLEH :
ALIFA INAYATULLA
E32121172

PRODI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
A. Peran Ahli Gizi Dalam Memeriksa Keamanan Pangan Sesuai Mutu & Gizi Seimbang
Bagi sebagian orang, istilah ahli gizi mungkin masih terdengar asing. Padahal ilmu gizi sendiri sudah berkembang sejak
lama di Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa peran Indonesia dalam pengembangan ilmu gizi dimulai sejak ditemukannya
vitamin B1 oleh Eijkman, seorang dokter Belanda yang ditugaskan di Jawa pada tahun 1898. Eijkman melakukan riset dan
mampu membuktikan bahwa terjadinya beberapa penyakit dapat disebabkan oleh tidak adanya suatu zat tertentu dalam
pangan. Hal tersebut dikuatkan dengan ditemukannya penyakit beri-beri pada anak ayam yang diberi beras yang sudah digiling.
Istilah “gizi” dipilih sebagai kata untuk menerjemahkan “nutrition” dalam bahasa Inggris telah dikenalkan
oleh Echols dan Shadily dalam kamus Inggris- Indonesia yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1960. Lalu,
Profesor Poorwo Soedarmo yakni seorang guru besar di bidang Kedokteran juga memilih kata “gizi” sebagai istilah lazim untuk
menerjemahkan “nutrition”, baik dalam tulisan ilmiah maupun dalam dokumen pemerintah. Lebih lanjut, seseorang yang
mempelajari dan mendalami ilmu gizi secara profesional dikenal sebagai ahli gizi. Ahli gizi juga dikenal dengan istilah ilmuwan
gizi, ahli pola makan (diet), ahli gizi klinis, hingga ahli gizi masyarakat. Istilah tersebut tergantung tempat dan lingkungan kerja.
Ahli Gizi merupakan tenaga spesialis yang bertugas memberikan saran dan informasi kepada pasien terkait tata
pelaksanaan gizi dan nutrisi yang kaitannya terhadap diagnosis atau masalah kesehatan. Ahli gizi memiliki peranan penting
dalam mengatur gizi yang masuk ke dalam tubuh pasien, termasuk bagi penderita kanker, diabetes, ginjal maupun ibu hamil.
Pengertian profesi ahli gizi juga diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
374/MENKES/SK/III/2017, bahwa ahli gizi adalah seseorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan akademik
dalam bidang gizi sesuai aturan yang berlaku, mempunyai tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh untuk melakukan
kegiatan fungsional dalam bidang pelayanan gizi, makanan, dan dietetik baik di masyarakat, individu atau rumah
sakit. Kehadirannya memiliki kedudukan tersendiri dalam memajukan kesehatan di Indonesia. Sama halnya dengan dokter,
perawat dan tenaga farmasi, ahli gizi juga merupakan tenaga kesehatan seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 2. Lebih lanjut, dalam UU Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan pasal 11 ayat 9 disebutkan bahwa tenaga gizi terdiri atas nutrisionis dan dietisien.
Seorang nutrisionis bisa berperan sebagai penyuluh gizi atau konselor gizi. Penyuluh gizi merupakan seseorang
yang memberikan penyuluhan gizi berupa penjelasan, penggunaan, pemilihan dan pengolahan bahan makanan
kepada individu atau kelompok masyarakat dalam mengonsumsi makanan sehingga meningkatkan kesehatan dan
gizinya. Sedangkan, Konselor Gizi adalah ahli gizi yang bekerja untuk membantu orang lain (klien) dalam
mengenali, memotivasi,  mengatasi masalah gizi secara efektif dan efisien yang sedang dihadapi oleh orang
tersebut. 
Lalu untuk dietisien sendiri adalah seseorang yang memiliki pendidikan gizi, khususnya dietetik, yang bekerja
untuk menerapkan prinsip gizi dalam pemberian makanan terhadap individu atau kelompok mulai dari
perencanaan menu, diet khusus, hingga pengawasan dan penyelenggaraan makanan. Seorang dietisien perlu
mengambil pendidikan profesi agar dapat menjadi Registered Dietitien.
Permasalahan gizi berkaitan dengan kesehatan di Indonesia saat ini makin kompleks. Kondisi gizi buruk
merupakan salah satu dari sekian banyak contoh permasalahan kesehatan akibat kurangnya asupan gizi. Di sisi
lain, juga muncul permasalahan gizi lebih/ obesitas yang juga memiliki risiko terjadinya penyakit degeneratif.
Kedua permasalahan ini biasa disebut dengan masalah gizi ganda (double burden). Permasalahan lainnya tak
hanya tentang gizi ganda, masalah pola makan yang tak sehat seperti konsumsi makanan tinggi lemak dan rendah
serat yang dapat memicu munculnya penyakit seperti jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, kanker dan
lain-lain, turut menjadi tugas besar untuk dipikirkan solusinya.
Dengan adanya berbagai situasi yang telah digambarkan tersebut, maka dari itu tak heran jika kini tenaga  ahli
gizi di Indonesia sudah menjadi kebutuhan masyarakat dan menyebar di berbagai fasilitas pelayanan gizi seperti
rumah sakit, puskesmas, klinik kesehatan, layanan katering, hingga pusat kebugaran. Adapun tugas para tenaga
ahli gizi di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut: 
1. Memberikan pelayanan konsultasi dan edukasi gizi; 
2. Menentukan status gizi dan faktor yang berpengaruh terhadap status gizi; 
3. Memberikan pelayanan konsultasi dan edukasi tata cara diet termasuk merancang menu diet hingga saran
penyajian yang tepat; 
4. Penegakan diagnosa penyakit terkait masalah gizi berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penelusuran
riwayat medis; 
5. Menentukan tujuan dan menghitung kebutuhan zat gizi pasien mulai dari bentuk hingga jumlah
pemberian makanan; 
6. Melakukan penelitian dan pengembangan gizi sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
hingga menyelenggarakan administrasi pelayanan gizi.
Lebih lanjut, peran ahli gizi tersebut juga telah diatur dalam keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
1333/Menkes/SK/XII/1999 bahwa pelayanan gizi menjadi salah satu dari 20 jenis pelayanan wajib yang ada di
rumah sakit yang kerap disebut sebagai PGRS (Pelayanan Gizi Rumah Sakit). PGRS merupakan organ
fungsional rumah sakit dalam program penyelenggaraan pemenuhan gizi masyarakat baik rawat inap
maupun rawat jalan untuk kepentingan metabolisme tubuh sebagai salah satu bentuk preventif,
kuratif, rehabilitatif hingga promotif. Berdasarkan dari beberapa tugas dan peran ahli gizi tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa secara garis besar peran ahli gizi yakni menjamin adanya keamanan pangan yang
sesuai dengan mutu dan gizi seimbang.
1. Penerapan Keamanan Pangan Sesuai Mutu & Gizi Seimbang 
Keamanan pangan (food safety) berdasarkan UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan artinya ialah kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Sedangkan merujuk pada aturan perundangan yang sama, pangan yang sesuai
mutu artinya sesuai dengan nilai yang telah ditentukan dengan kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar
perdagangan terhadap bahan makanan dan minuman.
Sejalan dengan peran tersebut, maka keberadaan ahli gizi yang berkompeten sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
permasalahan gizi yang kompleks dan kronis. Salah satunya dengan cara melakukan edukasi kepada masyarakat tentang pola
makan gizi seimbang didukung dengan perkembangan dan kemajuan IPTEK. Dengan begitu, diharapkan nantinya akan
membantu pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penerapan gaya hidup dan pola makan yang lebih sehat.

Selain edukasi, para ahli gizi juga perlu meningkatkan kemampuan penelitian untuk melengkapi data terkait dampak dari
perubahan pola hidup. Hal tersebut agar bisa menjadi dasar untuk memberikan edukasi, dan lebih spesifik untuk menjadi dasar
dalam pembuatan aturan atau perundangan. Tentu saja tetap dalam kaidah Sustainable Development Goals (SDGs).
Tak hanya berhenti di edukasi dan penelitian saja, kehadiran mereka dalam keamanan pangan juga dibutuhkan dalam hal
berikut: 
1. Formulasi kebijakan dan standar keamanan pangan; 
2. Pengawasan dan surveilans keamanan pangan; 
3. Penyusunan Faktor Risiko Pola Makan dari berbagai bahan makanan sebagai panduan memilih makanan yang aman dan sehat; 
4. Bertindak sebagai sanitarian/ Hygiene Manager / Research & Development (R&D) di industri jasa boga, rumah sakit, hotel,
restoran, perusahaan, hypermarket hingga pusat kebugaran.
Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat dan
setiap individu yang mempunyai akses untuk memperolehnya, baik secara fisik maupun ekonomi. Fokus ketahanan pangan
tidak hanya pada penyediaan pangan tingkat wilayah tetapi juga ketersediaan dan konsumsi pangan tingkat daerah dan
rumah tangga, dan bahkan bagi individu dalam memenuhi kebutuhan gizinya. Kebijakan pemerintah dalam ketahanan
pangan ini dapat dianalisis dari diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Dalam undangundang tersebut dinyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah
tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau.
Hal itu diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2006 tentang
Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan.
Pentingnya ketahanan pangan di antaranya dikarenakan ketahanan pangan mempengaruhi status gizi masyarakat itu
sendiri. Jika ketahanan pangan kurang maka status gizi otomatis menjadi kurang dan menyebabkan turunnya derajat
kesehatan. Dengan demikian maka ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan aspek gizi dan kesehatan. Apabila
ketahanan pangan yang selalu kurang dari kecukupan dalam jangka waktu tertentu dapat mengakibatkan kurang gizi
walaupun tidak menderita penyakit. Akan tetapi, ketahanan pangan yang cukup, namun masyarakat terjangkit penyakit,
dapat menyebabkan kurang gizi. Hasil penelitian Soblia (2009) menunjukkan bahwa tingkat ketahanan pangan rumah
tangga memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan tingkat konsumsi energi dan protein balita. Gizi buruk
merupakan istilah teknis yang biasanya digunakan oleh kalangan masyarakat pemerhati gizi, kesehatan dan kedokteran.
Gizi buruk adalah kondisi seseorang yang asupan nutrisinya di bawah rata-rata. Hal ini merupakan suatu kondisi terparah
dari proses kekurangan gizi yang sifatnya menahun. Dalam rangka memahami hubungan ketahanan pangan dengan status
gizi balita perl
Pertama, ketahanan pangan. Ketahanan pangan ini pada dasarnya membicarakan soal ketersediaan pangan (food
avaibilitas), stabilitas harga pangan (food price stability), dan keterjangkauan pangan (food accessibility). Ketersediaan
pangan yang cukup berarti rata-rata jumlah dan mutu gizi pangan yang tersedia di masyarakat dan pasar mencukupi
kebutuhan untuk konsumsi semua rumah tangga (Soekirman 2000).
Menurut Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2002 dan UU Pangan No 18 Tahun 2012 tentang Ketahanan Pangan, maka
ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan
yang cukup, baik jumlah, maupun mutunya, aman, merata, dan konsumsi pangan yang cukup merupakan syarat mutlak
terwujudnya ketahanan pangan rumah tangga. Ketidaktahanan pangan dapat digambarkan dari perubahan konsumsi
pangan yang mengarah pada penurunan kuantitas dan kualitas termasuk perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok.
Kedua, pengukuran gizi buruk pada balita. Untuk mengetahui status gizi yang terjadi di masyarakat dapat dilakukan
dengan menggunakan beberapa pengukuran.
(1). Pengukuran klinis. Metode ini penting untuk mengetahui status gizi balita tersebut apakah berstatus gizi buruk atau tidak.
Metode ini mendasarkan perubahan-perubahan fisik anggota tubuh atau yang terjadi pada balita dan dihubungkan dengan
kecukupan gizi atau status gizinya. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, rambut atau mata. Misalnya pada
balita penderita marasmus maka kulit menjadi keriput. Sedangkan pada balita penderita kwashiorkor maka muncul bercak-
bercak putih atau merah muda (crazy pavement dermatosis) pada permukaan kulit.
(2). Pengukuran antropometrik. Metode ini dilakukan beberapa macam pengukuran antara lain pengukuran berat badan
(BB), tinggi badan (TB), dan lingkar lengan atas. Pengukuran tersebut di atas paling sering dilakukan dalam survei gizi
terhadap balita berdasarkan kelompok umurnya. Dalam ilmu gizi, maka status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur
berat badan (BB) atau tinggi badan (TB) berdasarkan umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang
dapat merupakan kombinasi dari ketiganya. Indikator yang dapat mempengaruhi status gizi antara lain penyebab langsung
yaitu makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita. Timbulnya gizi kurang bukan saja karena makanan yang kurang
tetapi juga karena penyakit dan penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak,
pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan merupakan faktor yang saling berhubungan. Sedangkan penyebab mendasar
atau akar masalah gizi di atas adalah terjadinya krisis ekonomi, politik, dan sosial termasuk bencana alam, yang
mempengaruhi ketidakseimbangan antara asupan makanan dan adanya penyakit infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi
status gizi balita (Soekirman, 2000).
Indikator berat- badan/usia (BB/U) menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah
berubah, namun tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan.
Indikator ini dapat dengan mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum, dan cukup sensitif untuk melihat
perubahan status gizi dalam jangka waktu pendek. Selain itu pengukuran antropometrik dapat mendeteksi kegemukan
(Soekirman, 2000).
Indikator TB/U dapat menggambarkan status gizi masa lampau atau masalah gizi kronis. Seseorang yang pendek
kemungkinan keadaan gizi masa lalu tidak baik. Berbeda dengan berat badan yang dapat diperbaiki dalam waktu singkat,
baik pada anak maupun dewasa, maka tinggi badan pada usia dewasa tidak dapat lagi dinormalkan. Kemungkinan untuk
mengejar pertumbuhan tinggi badan optimal pada anak balita masih bisa sedangkan anak usia sekolah sampai remaja
kemungkinan untuk mengejar pertumbuhan tinggi badan masih bisa tetapi kecil kemungkinan untuk mengejar
pertumbuhan optimal. Secara normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Pertambahan TB
relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan TB baru
terlihat dalam waktu yang cukup lama. Indikator ini juga dapat dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi penduduk
(Soekirman, 2000).
Indikator BB/TB merupakan pengukuran antropometri yang terbaik karena dapat menggambarkan secara sensitif
dan spesifik status gizi saat ini atau masalah gizi akut. Berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, artinya dalam
keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Hal ini
berarti berat badan yang normal akan proporsional dengan tinggi badannya. Ini merupakan indikator yang baik untuk
menilai status gizi saat ini terutama bila data umur yang akurat sering sulit diperoleh. WHO dan UNICEF
merekomendasikan menggunakan indikator BB/TB dengan cut of point < -3 Standar Deviasi (SD) dalam kegiatan
identifikasi dan manajemen penanganan bayi dan anak balita gizi buruk akut.
Indikator indeks massa tubuh/usia (IMT/U) merupakan indikator yang paling baik untuk mengukur
keadaan status gizi yang menggambarkan keadaan status gizi masa lalu dan masa kini karena berat badan
memiliki hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan
searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks ini tidak menimbulkan kesan
underestimate pada anak yang overweight dan obese serta kesan berlebihan pada anak gizi kurang (Anonim,
2013).
Berdasarkan Berat Badan menurut Umur diperoleh kategori:
(1). Tergolong gizi buruk jika hasil pengukuran lebih kecil dari -3 SD.
(2). Tergolong gizi kurang jika hasil pengukuran -3 SD - < -2 SD.
(3). Tergolong gizi baik jika hasil pengukuran -2 SD - 2 SD.
(4). Tergolong gizi lebih jika hasil pengukuran > 2 SD.
Berdasarkan pengukuran tinggi badan (24 bulan - 60 bulan) atau panjang badan (0 bulan - 24 bulan)
menurut umur diperoleh 4 kategori:
(1). Sangat pendek jika hasil penukuran lebih kecil -3 SD.
(2). Pendek jika hasil pengukuran -3 SD - < -2 SD.
(3). Normal jika hasil pengukuran -2 SD - 2 SD.
(4). Tinggi jika hasil pengukuran > 2 SD.
Berdasarkan pengukuran berat badan, menurut tinggi badan atau panjang badan dapat diperoleh 4 kategori:
Sangat kurus jika hasil pengukuran lebih kecil -3 SD.
(2). Kurus jika hasil pengukuran – 3 SD - < -2 SD.
(3). Normal jika hasil pengukuran -2 SD - 2 SD.
(4). Gemuk jika hasil pengukuran > 2 SD.
Balita dengan gizi buruk akan diperoleh hasil BB/TB sangat kurus, sedangkan balita dengan gizi baik akan diperoleh hasil
normal.
Ketiga, kelompok rawan pangan dan gizi. Kelompok masyarakat yang rawan (vunerable) terhadap pangan dan gizi dapat
dibedakan sesuai dengan :
(1). Lokasi tempat tinggalnya, disebut rawan ekologis, misalnya daerah terpencil.
(2). Kedudukan/posisinya di masyarakat, disebut rawan sosio-ekonomis, misalnya kelompok miskin.
(3). Umur dan jenis kelamin, disebut rawan biologis.
Secara biologis kelompok yang paling rawan terhadap kekurangan pangan atau gizi adalah bayi, balita dan anak sekolah,
wanita hamil dan menyusui, penderita penyakit dan orang yang sedang dalam penyembuhan, penderita cacat, mereka yang
diasingkan dan para jompo. Semua golongan ini sering kali dijumpai pada masyarakat miskin dan tidak memiliki lahan sumber
pangan.
Keempat, prinsip gizi pada balita. Setelah anak berumur satu tahun menunya harus bervariasi untuk mencegah kebosanan
dan diberi susu, serealia (seperti bubur beras, roti), daging, sup, sayuran dan buah-buahan. Makanan padat yang diberikan tidak
perlu diblender lagi melainkan yang kasar supaya anak yang sudah mempunyai gigi dapat belajar mengunyah. Adakalanya anak
tidak mau makan dan sebagai gantinya ibu memberikan susu. Kebiasaan demikian akan mengarah diet yang hanya terdiri dari
susu saja. Jika anak tidak mau makan bentuk makanan padat, jangan diberikan susu sebagai pangganti, akan
tetapi bawa pergi makanan itu dan coba lagi jika anak sudah lapar.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan menggunakan rancangan penelitian kuantitatif dan kualitatif
dengan metode penelitian cross sectional (potong lintang) karena pada penelitian ini variabel independen dan dependen
diamati pada waktu (periode) yang sama. Rancangan penelitian deskriptif ini bertujuan untuk menerangkan atau
menggambarkan ketahanan pangan keluarga dan hubungannya dengan status gizi balita serta upaya peningkatan
ketahanan pangan. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif,
kemudian teknik penelitian yaitu survei dan observasi ke lapangan.
1. Identifikasi Sumber Pangan Bahan pangan untuk konsumsi seharihari dapat dikelompokkan menjadi 9 kelompok besar.
Jenis pangan pada masing-masing kelompok dapat berbeda-beda pada setiap rumah tangga sesuai sumber pangan yang
tersedia. Secara nasional bahan pangan dikelompokkan sebagai berikut:
(1) Padi-padian: beras, jagung, sorgum dan terigu.
(2) Umbi-umbian: ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas, sagu, dan umbi lainnya.
(3) Pangan hewani: ikan, daging, susu dan telur.
(4) Minyak dan lemak: minyak kelapa, minyak sawit (minyak goreng, minyak jagung, margarin).
(5) Buah/biji berminyak: kelapa, kemiri, jambu mete dan coklat.
(6) Kacang-kacangan: kedelai, kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, dan kacang lainnya.
(7) Gula: gula pasir, gula merah.
(8) Sayur dan buah: semua jenis sayuran dan buah-buahan yang biasa dikonsumsi.
(9) Lain-lain: teh, kopi, sirup, bumbu-bumbuan, makanan dan minuman jadi.
2. Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS)
Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) memuat 13 pesan dasar pedoman praktis, yaitu :
(1). Makanlah aneka ragam makanan.
(2). Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energy.
(3). Makanlah makanan sumber KH, setengah dari kebutuhan energy.
(4). Batasi konsumsi lemak/minyak sampai seperempat dari kebutuhan energy.
(5). Gunakan garam beriodium, (6). Makanlah makanan sumber zat besi.
(7). Berikan ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan.
(8). Biasakan makan pagi.
(9). Minumlah air bersih, aman dan cukup jumlahnya.
(10). Lakukan kegiatan fisik dan olah raga secara teratur.
(11). Hindari minuman beralkohol.
(12). Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan.
(13). Bacalah label pada makanan yang dikemas.
Pada 11 Desember 2018, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO/Food and Agriculture Organization) Perserikatan
Bangsa-Bangsa merilis laporan baru. Laporan ini menyajikan analisis mendalam tentang perkembangan negara-negara di
kawasan Eropa dan Asia Tengah untuk mencapai target ketahanan pangan dan gizi.
Tinjauan Regional Ketahanan Pangan dan Gizi: Eropa dan Asia Tengah 2018’, juga memberikan gambaran umum
mengenai keputusan kebijakan terbaru dan menjadi pendorong untuk ketahanan pangan dan tinjauan nutrisi. Selain itu
laporan ini juga meneliti hubungan antara migrasi, jenis kelamin, keremajaan, pembangunan area rural dan ketahanan
pangan.
Pesan kunci dari laporan tersebut adalah:
1. Selama dua dekade terakhir, ketahanan pangan di kawasan Eropa dan Asia Tengah (ECA/Europe and Central Asia)
telah meningkat secara substansial. Namun, tren ini tampaknya stagnan, terutama di Asia Tengah.
2. Sekitar 19 juta orang (~ 14 juta orang dewasa dan 5 juta anak) menderita kerawanan pangan yang parah, yaitu sekitar
2,1% dari populasi wilayah ECA. Prevalensi ini jauh lebih rendah daripada rata-rata dunia 9,2%, tetapi masih menjadi
perhatian di beberapa negara.
3. Secara keseluruhan, malnutrisi di wilayah ECA telah membaik. Namun, prevalensi kelebihan berat badan pada anak-
anak dan obesitas di kalangan orang dewasa terus meningkat, yang saat ini menjadi perhatian serius. Di sisi lain, di
beberapa daerah (terutama daerah pedesaan dan terpencil) kasus stunting dan wasting masih lazim ditemui.
4. Malnutrisi, dalam salah satu dari tiga jenis utama – kekurangan gizi, kelebihan berat badan dan obesitas, serta
defisiensi zat gizi mikro – ditemukan dengan tingkat bervariasi di semua negara di wilayah ECA. Seringkali ketiga jenis
malnutrisi tersebut ditemui bersamaan, sehingga disebut ‘tiga beban malnutrisi’.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memberi gambaran mengenai masalah gizi yang terus merongrong akibat
kemerosotan vitamin dan mineral dan pertumbuhan kecil di dalam potretnya mengenai Eropa dan Asia Tengah.

Pada malam acara dua-tahunannya, Konferensi Regional bagi Eropa --yang diselenggarakan di Bukares, Romania, Selasa
waktu setempat atau Rabu (2/4) WIB, FAO menyatakan malaupun asupan kalori di 53 wilayah negara memperlihatkan
penurunan angka kelaparan jadi kurang dari satu persen hingga 2050, masalah gizi terus terjadi di sebagian negara saat ini.
"Asupan kalori sebagai tolok-ukur kurang gizi saat ini bukan menjadi masalah utama," demikian antara lain isi dokumen FAO.

Bagi banyak negara, masalah yang lebih utama ialah kekurangan asupan mikronutrien yang memadai dan kualitas
makanan sub-optimal, yang seringkali lebih rendah dibandingkan dengan negara lain di dunia, kata beberapa pejabat PBB di
Markas PBB, New York.

Raimund Jehle, Petugas Senior Program Lapangan di Kantor Regional FAO untuk Eropa dan Asia Tengah, mengatakan
banyak makanan kekurangan mikronutrien seperti zat besi, atau vitamin, demikian laporan Xinhua.

Di seluruh wilayah tersebut, dua negara belum mencapai sasaran pengurangan kekurangan gizi sampai separuh hingga
2015: Sasaran Pembangunan Milenium 2001 pertama dan Sasaran Pertemuan Puncak Pangan Dunia 1996.
MDG adalah serangkaian delapan sasaran anti-kemiskinan yang akan dicapai paling lambat pada 2015. Tambahan lagi, lima
persen angka kekurangan gizi masih ada di tiga negara hari ini dan tingginya angka anak yang mengalami hambatan
pertumbuhan ditemukan di dua negara.

Di Kaukasus dan Asia Tengah, jumlah anak yang berusia di bawah lima tahun dan mengalami hambatan pertumbuhan lebih
dari tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan di Persemakmuran Negara Merdeka Eropa (CIA), tempat angka itu mencapai
enam persen. "Kekurangan gizi berkaitan dengan status kemiskinan," kata Jehle.
Meskipun di sebagian negara, orang paling miskin memperoleh 73 persen kalori harian mereka dari sereal
dan hanya 10 persen dari susu atau produk daging, mereka dengan penghasilan paling tinggi mendapat
makanan yang lebih seimbang. Sebanyak 48 persen kalori mereka berasal dari sereal dan 29 persen dari produk
hewani.
Obesitas Berkembang tak Terkendali di Amerika Latin
New York: Obesitas telah menjadi ancaman malnutrisi terburuk di Amerika Latin. Orang-orang yang
kelebihan berat badan bertambah 3,6 juta per tahun. Sebab kaum miskin sering menyantap makanan rendah
lemak, panganan yang mengandung gula, demikian sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa memastikan.
"Obesitas berkembang tak terkendali. Situasinya mengerikan," kata perwakilan regional Organisasi
Pangan dan Pertanian (FAO) Julio Berdegue dalam laporan yang dirilis, Rabu 7 November 2018. Lebih dari 250
juta orang Amerika Latin sekarang kelebihan berat badan.
 
Sekitar 3,9 juta, atau 7,3 persen, anak-anak Amerika Latin dan Karibia terpapar obesitas, melampaui rata-
rata global 5,6 persen, kata laporan itu.
Laporan, yang bertajuk 'Panorama Keamanan Pangan dan Gizi 2018', menunjukkan ancaman baru adalah
hasil dari perubahan sistem pangan di kawasan itu, atau siklus makanan dari produksi hingga konsumsi.
 
"Perubahan ini telah mempengaruhi seluruh penduduk, tetapi anggota masyarakat yang paling
dikecualikan telah menderita efek terburuk," katanya, seperti dinukil dari UPI, Jumat, 8 November 2018.
Kekurangan gizi juga terus menjadi masalah, serta akses air bersih, sekolah, layanan sanitasi, dan
perawatan kesehatan, tambah Carissa Etienne, perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia. "Kita harus
meningkatkan akses ke layanan kesehatan universal," katanya.
 
Kelaparan mempengaruhi lebih dari 39 juta orang Amerika Latin, atau lebih dari 6 persen populasi. Antara
tahun 2016-2017, totalnya bertambah sebanyak 400.000 orang, dua kali lebih banyak dari tahun sebelumnya.
 
Argentina, Bolivia, dan Venezuela meningkat jumlah orang yang kurang gizi dan peningkatan terbesar
ditemukan di Venezuela.
Di Venezuela, 3,7 juta, atau hampir 12 persen dari populasi, menderita kekurangan gizi. Di Haiti, 5 juta,
atau hampir 46 persen penduduk menderita kurang gizi. Sebanyak 4,8 juta di Meksiko dalam situasi yang sama,
atau 3,8 persen dari populasi. Namun, situasi di Meksiko dan Haiti telah membaik, menurut angka terbaru.
 
Salah satu efeknya adalah kekerdilan pertumbuhan anak-anak. Di Honduras, pengerdilan mempengaruhi
42 persen anak-anak di keluarga berpenghasilan rendah sementara studi 2014-2015 di Guatemala menunjukkan
kuntet mempengaruhi 61 persen anak-anak pribumi. Kelompok pribumi adalah salah satu populasi yang paling
rentan.
"Stunting berhubungan erat dengan ketidaksetaraan dan kemiskinan, tetapi kelebihan berat badan juga
semakin mempengaruhi anak-anak yang paling miskin," kata Maria Cristina Perceval, direktur regional untuk
UNICEF Amerika Latin dan Karibia.
Dalam sebuah studi yang diterbitkan Montefiore Medical Center di New York, baru-baru ini, disebutkan
bahwa jumlah warga Amerika Serikat yang memiliki diet rendah nutrisi, semakin berkurang.
Pada penelitian yang dilakukan selama 14 tahun sejak 1999, diketahui bahwa persentasi warga AS yang
memiliki diet rendah nutrisi, berkurang dari 56 persen ke 49 persen. Penurunan itu juga berkaitan dengan
meningkatnya asupan makanan bernutrisi seperti serealia berserat tinggi serta menurunnya angka konsumsi
minuman kemasan dengan kadar gula tinggi
Adapun, peneliti juga menemukan, jumlah warga AS yang mengonsumsi diet seimbang, masih sangat
sedikit, kendati meningkat selama 15 tahun terakhir. Angka tersebut naik dari 0,7 menjadi 1,5 di 2015.
Mengutip Live Science, studi yang diterbitkan di jurnal JAMA tersebut dipimpin oleh pakar penyakit
epidemi Colin Rehm dari Montefiore Medical Center, New York. Dia mengaitkan antara asupan nutrisi buruk
dengan rendahnya kesehatan masyarakat di AS, termasuk mewabahnya penyakit metabolik seperti diabetes,
penyakit jantung dan pembuluh darah, serta kanker.
Dalam penelitian itu, Rehm memperkirakan terjadi 650 ribu kematian akibat nutrisi buruk, di AS.
Kualitas diet dalam penelitian panjang itu ditentukan berdasarkan panduan diet dari American Heart
Association (AHA). Diet yang mendapatkan skor sempurna adalah 4,5 porsi buah dan sayuran, tiga porsi
serat, 2 porsi ikan atau hasil laut, satu liter air putih, dan maksimum 1,5 gram sodium per hari.
Konsumsi kacang-kacangan, biji-bijian, legum, daging dan daging olahan juga dimasukkan dalam
penilaian.
Peneliti menemukan bahwa seiring berjalannya waktu, rata-rata asupan serat harian partisipan meningkat
dan konsumsi gula menurun. Tidak hanya itu, semakin banyak warga AS yang berpaling pada kacang-
kacangan, biji-bijian, dan legum untuk sumber protein nabati, menggantikan hewani.
Tapi, hasil tersebut tidak merata di semua kategori, termasuk latar belakang etnis,
tingkat pendidikan dan besar penghasilan. Sebagai contoh, di kalangan etnis Hispanik,
terjadi peningkatan kualitas nutrisi, dibandingkan dengan etnis Afrika-Amerika.
Studi dilakukan dengan membandingkan tujuh set data dari National Health and Nutrition
Examination Survey. Setiap set merupakan data selama dua tahun yang dikumpulkan dari
4000 hingga 6000 warga AS melalui kuesioner.

Anda mungkin juga menyukai