Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA NY. S DENGAN KASUS PEB (PREEKLAMPSIA


BERAT) DI RUANG VK RSUD BANGIL

Mata Kuliah : Praktik Klinik Keperawatan Maternitas


Dosen Pembimbing : Ns. R.A Helda Puspitasari, M.Kep

Oleh :
WAHYU WISNU MURTI
NIM : 212303102079

KELAS 2-BP
PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER
KAMPUS KOTA PASURUAN
2022/2023
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Ny. S dengan kasus
PEB (Preeklampsia Berat) di Ruang VK RSUD Bangil

Nama Mahasiswa : Wahyu Wisnu Murti


NIM 212303102027

Telah disahkan pada :

Hari :

Tanggal :

Pembimbing Lahan Pembimbing Institusi

(…………………………..) (…………………………..)

Mengetahui
Kepala Ruangan

(……………………..…….)
A. KONSEP DASAR PARTUS PREMATUS IMMINENS

1. DEFINISI PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)


Partus Prematurus Imminens adalah persalinan yang berlangsung
pada umur kehamilan 20 – 37 minggu dihitung dari hari pertama menstuasi
terakhir (HPMT) (ACOG, 1995). Badan Kesehatan Dunia (WHO)
menyatakan bahwa bayi premature
adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 37minggu atau kurang.
Menurut Wibowo (1997), persalinan prematur adalah kontraksi
uterus yang teratur setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum 37 minggu ,
dengan interval kontraksi 5 hingga 8 menit atau kurang dan disertai dengan
satu atau lebih tanda berikut: (1) perubahan serviks yang progresif (2)
dilatasi serviks 2 sentimeter atau lebih (3) penipisan serviks 80 persen atau
lebih. Menurut Mochtar (1998) partus prematurus yaitu persalinan pada
kehamilan 28 sampai 37 minggu, berat badan lahir 1000 sampai 2500 gram.
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005
menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada
usia kehamilan 22-37 minggu.

2. EPIDEMIOLOGI PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)


Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan
atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun
seksio sesarea; (2) PPI spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI
dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan
pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari PPI
berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi secara spontan dengan selaput
amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului ketuban pecah dini (Harry
dkk, 2010).
Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis. PPI
pada wanita kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput
amnion utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum didahului
ketuban pecah dini sebelumnya. PPI juga bisa dibagi menurut usia
kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28
minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan 28-
31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada usia kehamilan 32-33
minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia kehamilan 34-36
minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan angka
kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah
kelahiran preterm atas indikasi (Harry dkk, 2010).

3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)


Faktor resiko PPI menurut Wiknjosastro (2010) yaitu :
a) Janin dan plasenta : perdarahan trimester awal, perdarahan antepartum, KPD,
pertumbuhan janin terhambat, cacat bawaan janin, gemeli, polihidramnion
b) Ibu : DM, pre eklampsia, HT, ISK, infeksi dengan demam, kelainan bentuk uterus,
riwayat partus preterm atau abortus berulang, inkompetensi serviks, pemakaian
obat narkotik, trauma, perokok berat, kelainan imun/resus
Namun menurut Rompas (2004) ada beberapa resiko yang dapat menyebabkan partus
prematurus yaitu :
a) Faktor resiko mayor : Kehamilan multiple, hidramnion, anomali uterus, serviks
terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, serviks mendatar/memendek
kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, riwayat abortus pada trimester II
lebih dari 1 kali, riwayat persalinan pretem sebelumnya, operasi abdominal pada
kehamilan preterm, riwayat operasi konisasi, dan iritabilitas uterus.
b) Faktor resiko minor : Penyakit yang disertai demam, perdarahan pervaginam
setelah kehamilan 12 minggu, riwayat pielonefritis, merokok lebih dari 10 batang
perhari, riwayat abortus pada trimester II, riwayat abortus pada trimester I lebih
dari 2 kali.

4. PATOFISIOLOGI PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI) (TERLAMPIR)


5. DIAGNOSIS PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI (Wiknjosastro,
2010), yaitu:
1) Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2) Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8
menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3) Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa
tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4) Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5) Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%, atau telah
terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6) Selaput amnion seringkali telah pecah,
7) Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The
American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis PPI
ialah sebagai berikut:
1) Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau delapan
kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2) Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3) Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.
Menurut Mansjoer (2000) manifestasi klinik persalinan pretem adalah:
a. Kontraksi uterus yang teratur sedikitnya 3 sampai 5 menit sekali selama 45
detik dalam waktu minimal 2 jam .
b. Pada fase aktif, intensitas dan frekuensi kontraksi meningkat saat pasien
melakukan aktivitas.
c. Tanya dan cari gejala yang termasuk faktor risiko mayor dan minor
d. Usia kehamilan antara 20 samapi 37 minggu
e. Taksiran berat janin sesuai dengan usia kehamilan antara 20 sampai 37
minggu.
f. Presentasi janin abnormal lebih sering ditemukan pada persalinan preterm

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung ketepatan diagnosis
PPI :
1. Laboratorium
 Pemeriksaan kultur urine
 Pemeriksaan gas dan pH darah janin
 Pemeriksaan darah tepi ibu
 Jumlah lekosit
C-reactive protein . CRP ada pada serum penderita yang menderita infeksi akut
dan dideteksi berdasarkan kemampuannya untuk mempresipitasi fraksi
polisakarida somatik nonspesifik kuman Pneumococcus yang disebut fraksi C.
CRP dibentuk di hepatosit sebagai reaksi terhadap IL-1, IL-6, TNF.
2. Pemeriksaan ultrasonografi
Penipisan serviks: Iams dkk. (1994) mendapati bila ketebalan seviks < 3 cm
(USG) , dapat dipastikan akan terjadi persalinan preterm. Sonografi serviks
transperineal lebih disukai karena dapat menghindari manipulasi intravagina terutama
pada kasus-kasus KPD dan plasenta previa.

7. PENATALAKSANAAN PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)


Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:
1) Menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolitik, yaitu :
a. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan
tiap 8 jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan lagi jika timbul
kontaksi berulang. dosis maintenance 3x10 mg.
b. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol
dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil.
Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 μg/menit, sedangkan per oral: 4
mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-
15 μg/menit, subkutan: 250 μg setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5
mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah:
hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial,
edema paru.
c. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv,
secara bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance).
Namun obat ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat
ditimbulkannya pada ibu ataupun janin. Beberapa efek sampingnya ialah
edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).
d. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide
dapat menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat
cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin.
Indometasin merupakan penghambat COX yang cukup kuat, namun
menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek
samping yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan nimesulide saat
ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.
Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu membatasi
aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual. Kontraindikasi
relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan intrauterine terbukti tidak baik,
seperti:
a) Oligohidramnion
b) Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c) Preeklamsia berat
d) Hasil nonstrees test tidak reaktif
e) Hasil contraction stress test positif
f) Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien
stabil dan kesejahteraan janin baik
g) Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
h) Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.

2) Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,


Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan
paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RDS), mencegah
perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang
akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana
usia kehamilan kurang dari 35 minggu.
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian
steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian
siklus tunggal kortikosteroid ialah:
a) Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
b) Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.

Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin


releasing hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine
yang kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian
suplemen inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang
berperan dalam pembentukan surfaktan.

3) Pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan antibiotik.


Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika
yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis
neonatorum. Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko
terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang
dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah
ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain
seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena
risiko necrotising enterocolitis.

8. KOMPLIKASI PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)


1) Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering terjadi
mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Bayi-bayi
preterm memiliki risiko infeksi neonatal lebih tinggi; Morales (1987) menyatakan
bahwa bayi yang lahir dari ibu yang menderita anmionitis memiliki risiko
mortalitas 4 kali lebih besar, dan risiko distres pernafasan, sepsis neonatal,
necrotizing enterocolitis dan perdarahan intraventrikuler 3 kali lebih besar
2) Sindroma gawat pernafasan (penyakit membran hialin).
Paru-paru yang matang sangat penting bagi bayi baru lahir. Agar bisa
bernafas dengan bebas, ketika lahir kantung udara (alveoli) harus dapat terisi oleh
udara dan tetap terbuka. Alveoli bisa membuka lebar karena adanya suatu bahan
yang disebut surfaktan, yang dihasilkan oleh paru-paru dan berfungsi menurunkan
tegangan permukaan. Bayi prematur seringkali tidak menghasilkan surfaktan
dalam jumlah yang memadai, sehingga alveolinya tidak tetap terbuka.
Diantara saat-saat bernafas, paru-paru benar-benar mengempis, akibatnya
terjadi Sindroma Distres Pernafasan. Sindroma ini bisa menyebabkan kelainan
lainnya dan pada beberapa kasus bisa berakibat fatal. Kepada bayi diberikan
oksigen; jika penyakitnya berat, mungkin mereka perlu ditempatkan dalam sebuah
ventilator dan diberikan obat surfaktan (bisa diteteskan secara langsung melalui
sebuah selang yang dihubungkan dengan trakea bayi).
3) Ketidakmatangan pada sistem saraf pusat bisa menyebabkan gangguan refleks
menghisap atau menelan, rentan terhadap terjadinya perdarahan otak atau serangan
apneu. Selain paru-paru yang belum berkembang, seorang bayi prematur juga
memiliki otak yang belum berkembang. Hal ini bisa menyebabkan apneu (henti
nafas), karena pusat pernafasan di otak mungkin belum matang. Untuk mengurangi
mengurangi frekuensi serangan apneu bisa digunakan obat-obatan. Jika oksigen
maupun aliran darahnya terganggu. otak yang sangat tidak matang sangat rentan
terhadap perdarahan (perdarahan intraventrikuler) atau cedera .
4) Ketidakmatangan sistem pencernaan menyebabkan intoleransi pemberian makanan.
Pada awalnya, lambung yang berukuran kecil mungkin akan membatasi jumlah
makanan/cairan yang diberikan, sehingga pemberian susu yang terlalu banyak
dapat menyebabkan bayi muntah. Pada awalnya, lambung yang berukuran kecil
mungkin akan membatasi jumlah makanan/cairan yang diberikan, sehingga
pemberian susu yang terlalu banyak dapat menyebabkan bayi muntah.
5) Retinopati dan gangguan penglihatan atau kebutaan (fibroplasia retrolental)
6) Displasia bronkopulmoner.
7) Penyakit jantung.
8) Jaundice.
Setelah lahir, bayi memerlukan fungsi hati dan fungsi usus yang normal untuk
membuang bilirubin (suatu pigmen kuning hasil pemecahan sel darah merah)
dalam tinjanya. Kebanyakan bayi baru lahir, terutama yang lahir prematur,
memiliki kadar bilirubin darah yang meningkat (yang bersifat sementara), yang
dapat menyebabkan sakit kuning (jaundice). Peningkatan ini terjadi karena fungsi
hatinya masih belum matang dan karena kemampuan makan dan kemampuan
mencernanya masih belum sempurna. Jaundice kebanyakan bersifat ringan dan
akan menghilang sejalan dengan perbaikan fungsi pencernaan bayi.
9) Infeksi atau septikemia.
10) Sistem kekebalan pada bayi prematur belum berkembang sempurna. Mereka belum
menerima komplemen lengkap antibodi dari ibunya melewati plasenta. Resiko
terjadinya infeksi yang serius (sepsis) pada bayi prematur lebih tinggi. Bayi
prematur juga lebih rentan terhadap enterokolitis nekrotisasi (peradangan pada
usus).
11) Anemia .
12) Bayi prematur cenderung memiliki kadar gula darah yang berubah-ubah, bisa
tinggi (hiperglikemia maupun rendah (hipoglikemia).
13) Perkembangan dan pertumbuhan yang lambat.
14) Keterbelakangan mental dan motorik.

9. PENCEGAHAN PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)


a. Melakukan pengawasan hamil dengan seksama dan teratur
b. Melakukan konsultasi terhadap penyakit yang dapat menyebabkan kehamilan dan
persalinan preterm.
c. Memberikan nasehat tentang gizi saat kehamilan, meningkatkan pengertian KB-
interval, memperhatikan tentang berbagai kelainan yang timbul dan sgera
melakukan konsultasi, menganjurkan untuk pemeriksaan tambahan sehingga
secara dini penyakit ibu dapat diketahui dan diawasi / diobati.
d. Meningkatakan keadaan sosial – ekonomi keluarga dan kesehatan lingkungan
(Manuaba, 1998).
Partus prematurus menurut Mochtar (1998) dapat dicegah dengan mengambil
langkah-langkah berikut ini :
a. Jangan kawin terlalu muda dan jangan pula terlalu tua (idealnya 20 sampai 30
tahun).
b. Perbaiki keadaan sosial ekonomi
c. Cegah infeksi saluran kencing
d. Berikan makana ibu yang baik, cukup lemak , dan protein
e. Cuti hamil
f. Prenatal care yang baik dan teratur
g. Pakailah kontrasepsi untuk menjarangkan anak
1. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosis keperawatan adalah tahap kedua dalam proses keperawatan yaitu
suatu penilaian klinis mengenai respon pasien terhadap masalah kesehatan atau
proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun
potensial. Tujuan diagnosis keperawatan adalah untuk mengidentifikasi respon
pasien individu, keluarga, komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan
kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
Sedangkan menurut Marliana & Hani (2018) dan Tim Pokja SDKI DPP
PPNI (2017) diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus preeklampsi
sebagai berikut:
1. Nyeri akut (D.0077) berhubungan dengan Agen pencedera fisiologis
ditandai dengan pasien mengeluh nyeri dibagian kepala hingga
tengkuk leher , pasien tampak meringis, gelisah, bersikap protektif,
frekuensi nadi meningkat, tekanan darah meningkat, skala nyeri 5.
2. Ansietas (D.0080) berhubungan dengan kekhawatiran mengalami
kegagalan ditandai dengan pasien mengatakan cemas akan kondisi
saat ini, pasien merasa bingung, pasien mengatakan sulit
berkonsentrasi, pasien merasa tidak berdaya, pasien tampak gelisah,
pasien tampak tegang, muka pasien tampak pucat, frekuensi nadi
meningkat, tekanan darah meningkat.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN

No. Diagnosa SLKI SDKI


Keperawatan
1. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri
(D.0077) Tindakan (I.08238)
berhubungan selama 3x24 jam Observasi :
dengan Agen diharapkan tingkat 1. Identifikasi
Pencedera nyeri menurun lokasi,

fisiologis ditandai dengan kriteria hasil : karakteristik,


dengan pasien 1. Keluhan nyeri durasi, frekuensi,
mengeluh nyeri Menurun kualitas,
dibagian kepala 2. Meringis intensitas nyeri
hingga tengkuk Menurun 2. Identifikasi skala
leher , pasien 3. Gelisah nyeri
tampak meringis, menurun 3. Identifikasi
gelisah, bersikap 4. Sikap protektif respons nyeri
protektif, frekuensi menurun non verbal
nadi meningkat, 5. Frekuensi nadi 4. Identifikasi
tekanan darah menurun faktor yang
meningkat, skala 6. Tekanan darah memperberat
nyeri 5. Menurun dan
7. Skala nyeri 5 memperingan
menurun nyeri
menjadi 2 Terapeutik :
5. Kontrol
lingkungan yang
memperberat
rasa nyeri (mis.
suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
Edukasi :
6. Ajarkan teknik
non
farmakologis
untuk
mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi :
7. Pemberian
analgetik
2. Ansietas (D.0080) Setelah dilakukan Reduksi Ansietas
berhubungan asuhan keperawatan (1.09314)
dengan selama 3 x 24 jam Observasi :
kekhawatiran diharapkan tingkat 1. Monitor tanda-
mengalami ansietas menurun, tanda ansietas
kegagalan ditandai dengan kriteria hasil : (verbal non
dengan pasien 1. Verbalisasi verbal)
mengatakan cemas khawatir akibat Terapeutik :
akan kondisi saat kondisi yang 2. Ciptakan
ini, pasien merasa dihadapi suasana
bingung, pasien menurun terapeutik untuk
mengatakan sulit 2. Verbalisasi menumbuhkan
berkonsentrasi, kebingungan kepercayaan
pasien merasa menurun 3. Gunakan
tidak berdaya, 3. Tidak adanya pendekatan yang
pasien tampak perilaku gelisah tenang dan
gelisah, pasien 4. Tidak adanya meyakinkan
tampak tegang, perilaku tegang Edukasi :
muka pasien 5. Wajah tidak 4. Anjurkan
tampak pucat, pucat keluarga untuk
frekuensi nadi 6. Tekanan darah tetap bersama
meningkat, menurun 5. Latih teknik
tekanan darah 7. Frekuensi nadi relaksasi
meningkat. menurun

4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi merupakan tahap ke empat dalam proses keperawatan,
pengolahan dan tahap perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun
pada tahap perencanaan. Implementasi ini terdiri dari tindakan mandiri,
kolaborasi, dan tindakan rujukan (Bararah, 2013).
5. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi keperawatan merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Evaluasi
keperawatan adalah evaluasi yang dicatat disesuaikan dengan setiap diagnosa
keperawatan. Evaluasi keperawatan terdiri dari dua tingkat yaitu evaluasi sumatif dan
evaluasi formatif. Evaluasi sumatif yaitu evaluasi respon (jangka panjang) terhadap
tujuan, dengan kata lain, bagaimana penilaian terhadap perkembangan kemajuan ke
arah tujuan atau hasil akhir yang diharapkan. Evaluasi formatif atau disebut juga dengan
evaluasi proses, yaitu evaluasi terhadap responyang segera timbul setelah intervensi
keperawatan di lakukan. Format evaluasi yang digunakan adalah SOAP. S: Subjective
yaitu pernyataan atau keluhan dari pasien, O: Objective yaitu data yang diobservasi oleh
perawat atau keluarga, A: Analisys yaitu kesimpulan dari objektif dan subjektif, P:
Planning yaitu rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan analisis (Nurhaeni,
2013)
DAFTAR PUSTAKA

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta; Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. “Standart Luaran Keperawatan Indonesia (Edisi 1 cetakan II).”

http://snars.web.id/slki/
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. “Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (Edisi 1
cetakan II).” http://snars.web.id/siki/
Pratiwi, W. (2017). Asuhan Keperawatan Pre Eklampsi. Retrieved from
https://www.academia.edu/36262522/PRE_EKLAMSI
Purba, M. A. (2019). Konsep Dasar Asuhan Keperawatan.
https://doi.org/https://doi.org/10.31227/osf.io/pz42x
Putri, M. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Ny. E Post SC Indikasi PEB. Retrieved from
http://repo.stikesperintis.ac.id/146/1/24 MAYLISA PUTRI.pd
Winancy, W. (2019). Penkes Preeklampsi untuk pengetahuan Ibu Hamil dalam menghadapi
komplikasi. Jurnal Bidan Cerdas (JBC). https://doi.org/10.33860/jbc.v2i1.149

Anda mungkin juga menyukai