Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MATERNITAS

PADA PASIEN DENGAN “PARTUS PREMATURUS IMMINENS”

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN

DI RUANG SAKINAH

Disusun Oleh:

AMELIA HENITASARI

NIM. 201820461011120

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019

1
1. DEFINISI
Partus Prematurus Imminens adalah persalinan yang berlangsung
pada umur kehamilan 20 – 37 minggu dihitung dari hari pertama
menstuasi terakhir (HPMT) (ACOG, 1995). Badan Kesehatan Dunia
(WHO) menyatakan bahwa bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia
kehamilan 37minggu atau kurang.
Menurut Wibowo (1997), persalinan prematur adalah kontraksi
uterus yang teratur setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum 37 minggu ,
dengan interval kontraksi 5 hingga 8 menit atau kurang dan disertai
dengan satu atau lebih tanda berikut: (1) perubahan serviks yang progresif
(2) dilatasi serviks 2 sentimeter atau lebih (3) penipisan serviks 80 persen
atau lebih. Menurut Mochtar (1998) partus prematurus yaitu persalinan
pada kehamilan 28 sampai 37 minggu, berat badan lahir 1000 sampai 2500
gram.
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun
2005 menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi
pada usia kehamilan 22-37 minggu.

2. EPIDEMIOLOGI PARTUS PREMATURUS IMMINENS (PPI)


Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan
atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun
seksio sesarea; (2) PPI spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI
dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan
pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari PPI
berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi secara spontan dengan selaput
amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului ketuban pecah dini (Harry
dkk, 2010).
Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis.
PPI pada wanita kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan
selaput amnion utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum
didahului ketuban pecah dini sebelumnya. PPI juga bisa dibagi menurut
usia kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28
minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan
28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada usia kehamilan 32-
33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia kehamilan 34-
36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan angka
kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah
kelahiran preterm atas indikasi (Harry dkk, 2010).

2
3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Faktor resiko PPI menurut Wiknjosastro (2010) yaitu :

a) Janin dan plasenta : perdarahan trimester awal, perdarahan


antepartum, KPD, pertumbuhan janin terhambat, cacat bawaan
janin, gemeli, polihidramnion
b) Ibu : DM, pre eklampsia, HT, ISK, infeksi dengan demam,
kelainan bentuk uterus, riwayat partus preterm atau abortus
berulang, inkompetensi serviks, pemakaian obat narkotik, trauma,
perokok berat, kelainan imun/resus

Namun menurut Rompas (2004) ada beberapa resiko yang dapat


menyebabkan partus prematurus yaitu :

a) Faktor resiko mayor : Kehamilan multiple, hidramnion, anomali


uterus, serviks terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu,
serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32
minggu, riwayat abortus pada trimester II lebih dari 1 kali, riwayat
persalinan pretem sebelumnya, operasi abdominal pada kehamilan
preterm, riwayat operasi konisasi, dan iritabilitas uterus.
b) Faktor resiko minor : Penyakit yang disertai demam, perdarahan
pervaginam setelah kehamilan 12 minggu, riwayat pielonefritis,
merokok lebih dari 10 batang perhari, riwayat abortus pada
trimester II, riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2 kali.

4. PATOFISIOLOGI
Persalinan premature menunjukkan adanya kegagalan pada
mekanisme yang bertanggung jawab untuk mempertahankan kondisi
uterus yang tenang selama kehamilan atau adanya gangguan yang
menyebabkan singkatnya kehamilan atau membebani jalur persalinan
normal sehingga memicu dimulainya proses persalinan secara dini. Jalur
yang menyebabkan hal tersebut yaitu stress, infeksi, dan perdarahan
(Norwitz, 2007)
Enzim sitokonin dan prostaglandin, rupture membrane, ketuban
pecah, aliran darah ke plasenta yang berkurang mengakibatkan nyeri yang
ditimbulkan karena kontraksi uterus, sehingga menyebabkan persalinan
normal. Akibat dari persalinan premature berdampak pada janin dan ibu.
Pada janin menyebabkan kelahiran yang belum pada waktunya sehingga
terjadi imaturitas jaringan pada janin. Salah satu dampaknya terjadilah
maturitas paru yang menyebabkan resiko cedera pada janin. Sedangkan
pada ibu resiko tinggi pada kesehatan yang menyebabkan ansietas dan

3
kurangnya informasi tentang kehamilan mengakibatkan kurang
pengetahuan untuk merawat dan menjaga kesehatan saat kehamilan.

5. Pathway

Faktor ibu, janin dan Faktor mayor dan


plasenta minor

Kehamilan <37 minggu

Partus prematurus imminens

Rangsangan pada Tindakan Krisis situasional


uterus pembedahan

ansietas
Kontraksi uterus Insisi abdomen
meningkat
Kerusakan jaringan
Prostaglandin
meningkat Resiko infeksi Kurang
pengetahuan
Dilatasi serviks

Nyeri akut

Kehilangan energi berlebih Intoleran aktivitas

6. DIAGNOSIS
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI
(Wiknjosastro, 2010), yaitu:
1) Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259
hari,
2) Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang
sedikitnya setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10
menit,
3) Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku
menstruasi, rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung
bawah (low back pain),
4) Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5) Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar
50-80%, atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,

4
6) Selaput amnion seringkali telah pecah,
7) Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.

Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of


Pediatrics dan The American Collage of Obstetricians and
Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis PPI ialah sebagai berikut:

1) Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit


atau delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada
serviks,
2) Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3) Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.

Menurut Mansjoer (2000) manifestasi klinik persalinan pretem adalah:


a. Kontraksi uterus yang teratur sedikitnya 3 sampai 5 menit
sekali selama 45 detik dalam waktu minimal 2 jam .
b. Pada fase aktif, intensitas dan frekuensi kontraksi meningkat
saat pasien melakukan aktivitas.
c. Tanya dan cari gejala yang termasuk faktor risiko mayor dan
minor
d. Usia kehamilan antara 20 samapi 37 minggu
e. Taksiran berat janin sesuai dengan usia kehamilan antara 20
sampai 37 minggu.
f. Presentasi janin abnormal lebih sering ditemukan pada
persalinan preterm

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung ketepatan
diagnosis PPI :

1. Laboratorium
 Pemeriksaan kultur urine
 Pemeriksaan gas dan pH darah janin
 Pemeriksaan darah tepi ibu
 Jumlah lekosit
C-reactive protein . CRP ada pada serum penderita yang menderita
infeksi akut dan dideteksi berdasarkan kemampuannya untuk
mempresipitasi fraksi polisakarida somatik nonspesifik kuman
Pneumococcus yang disebut fraksi C. CRP dibentuk di hepatosit
sebagai reaksi terhadap IL-1, IL-6, TNF.
2. Pemeriksaan ultrasonografi
Penipisan serviks: Iams dkk. (1994) mendapati bila ketebalan
seviks < 3 cm (USG) , dapat dipastikan akan terjadi persalinan preterm.

5
Sonografi serviks transperineal lebih disukai karena dapat menghindari
manipulasi intravagina terutama pada kasus-kasus KPD dan plasenta
previa.

8. PENATALAKSANAAN
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk
mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:
1) Menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian
tokolitik, yaitu :
a. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3
kali/jam, dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang.
Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi berulang.
dosis maintenance 3x10 mg.
b. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan
salbutamol dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai
efek samping yang lebih kecil. Salbutamol, dengan dosis
per infus: 20-50 μg/menit, sedangkan per oral: 4 mg, 2-4
kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per
infus: 10-15 μg/menit, subkutan: 250 μg setiap 6 jam
sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam
(maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah:
hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi
miokardial, edema paru.
c. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah
4-6 gr/iv, secara bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-
4gr/jam (maintenance). Namun obat ini jarang digunakan
karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada ibu
ataupun janin. Beberapa efek sampingnya ialah edema
paru, letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu
dan bayi).
d. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac,
nimesulide dapat menghambat produksi prostaglandin
dengan menghambat cyclooxygenases (COXs) yang
dibutuhkan untuk produksi prostaglandin. Indometasin
merupakan penghambat COX yang cukup kuat, namun
menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac
memiliki efek samping yang lebih kecil daripada
indometasin. Sedangkan nimesulide saat ini hanya tersedia
dalam konteks percobaan klinis.

Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu


membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas

6
seksual. Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika
lingkungan intrauterine terbukti tidak baik, seperti:

a) Oligohidramnion
b) Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c) Preeklamsia berat
d) Hasil nonstrees test tidak reaktif
e) Hasil contraction stress test positif
f) Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali
keadaan pasien stabil dan kesejahteraan janin baik
g) Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
h) Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan
beta-mimetik.
2) Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,
Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk
pematangan surfaktan paru janin, menurunkan risiko respiratory
distress syndrome (RDS), mencegah perdarahan intraventrikular,
necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang akhirnya
menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan
bilamana usia kehamilan kurang dari 35 minggu.
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason.
Pemberian steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan
janin terhambat. Pemberian siklus tunggal kortikosteroid ialah:
a) Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24
jam.
b) Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12
jam.
Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan
Thyrotropin
releasing hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-
iodothyronine yang kemudian dapat meningkatkan produksi
surfaktan. Ataupun pemberian suplemen inositol, karena inositol
merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan dalam
pembentukan surfaktan.
3) Pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan antibiotik.
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa
pemberian antibiotika yang tepat dapat menurunkan angka
kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum. Antibiotika hanya
diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya
infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang
dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan
lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat

7
menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak
dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena
risiko necrotising enterocolitis.

9. KOMPLIKASI
1) Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih
sering terjadi mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan
luka episiotomi. Bayi-bayi preterm memiliki risiko infeksi neonatal
lebih tinggi; Morales (1987) menyatakan bahwa bayi yang lahir
dari ibu yang menderita anmionitis memiliki risiko mortalitas 4
kali lebih besar, dan risiko distres pernafasan, sepsis neonatal,
necrotizing enterocolitis dan perdarahan intraventrikuler 3 kali
lebih besar
2) Sindroma gawat pernafasan (penyakit membran hialin).
Paru-paru yang matang sangat penting bagi bayi baru lahir.
Agar bisa bernafas dengan bebas, ketika lahir kantung udara
(alveoli) harus dapat terisi oleh udara dan tetap terbuka. Alveoli
bisa membuka lebar karena adanya suatu bahan yang disebut
surfaktan, yang dihasilkan oleh paru-paru dan berfungsi
menurunkan tegangan permukaan. Bayi prematur seringkali tidak
menghasilkan surfaktan dalam jumlah yang memadai, sehingga
alveolinya tidak tetap terbuka.
Diantara saat-saat bernafas, paru-paru benar-benar
mengempis, akibatnya terjadi Sindroma Distres Pernafasan.
Sindroma ini bisa menyebabkan kelainan lainnya dan pada
beberapa kasus bisa berakibat fatal. Kepada bayi diberikan
oksigen; jika penyakitnya berat, mungkin mereka perlu
ditempatkan dalam sebuah ventilator dan diberikan obat surfaktan
(bisa diteteskan secara langsung melalui sebuah selang yang
dihubungkan dengan trakea bayi).
3) Ketidakmatangan pada sistem saraf pusat bisa menyebabkan
gangguan refleks menghisap atau menelan, rentan terhadap
terjadinya perdarahan otak atau serangan apneu. Selain paru-paru
yang belum berkembang, seorang bayi prematur juga memiliki
otak yang belum berkembang. Hal ini bisa menyebabkan apneu
(henti nafas), karena pusat pernafasan di otak mungkin belum
matang. Untuk mengurangi mengurangi frekuensi serangan apneu
bisa digunakan obat-obatan. Jika oksigen maupun aliran darahnya
terganggu. otak yang sangat tidak matang sangat rentan terhadap
perdarahan (perdarahan intraventrikuler) atau cedera .
4) Ketidakmatangan sistem pencernaan menyebabkan intoleransi
pemberian makanan. Pada awalnya, lambung yang berukuran kecil

8
mungkin akan membatasi jumlah makanan/cairan yang diberikan,
sehingga pemberian susu yang terlalu banyak dapat menyebabkan
bayi muntah. Pada awalnya, lambung yang berukuran kecil
mungkin akan membatasi jumlah makanan/cairan yang diberikan,
sehingga pemberian susu yang terlalu banyak dapat menyebabkan
bayi muntah.
5) Retinopati dan gangguan penglihatan atau kebutaan (fibroplasia
retrolental)
6) Displasia bronkopulmoner.
7) Penyakit jantung.
8) Jaundice.
Setelah lahir, bayi memerlukan fungsi hati dan fungsi usus yang
normal untuk membuang bilirubin (suatu pigmen kuning hasil
pemecahan sel darah merah) dalam tinjanya. Kebanyakan bayi baru
lahir, terutama yang lahir prematur, memiliki kadar bilirubin darah
yang meningkat (yang bersifat sementara), yang dapat
menyebabkan sakit kuning (jaundice). Peningkatan ini terjadi
karena fungsi hatinya masih belum matang dan karena kemampuan
makan dan kemampuan mencernanya masih belum sempurna.
Jaundice kebanyakan bersifat ringan dan akan menghilang sejalan
dengan perbaikan fungsi pencernaan bayi.
9) Sistem kekebalan pada bayi prematur belum berkembang
sempurna. Mereka belum menerima komplemen lengkap antibodi
dari ibunya melewati plasenta. Resiko terjadinya infeksi yang
serius (sepsis) pada bayi prematur lebih tinggi. Bayi prematur juga
lebih rentan terhadap enterokolitis nekrotisasi (peradangan pada
usus).
10) Anemia .
11) Bayi prematur cenderung memiliki kadar gula darah yang berubah-
ubah, bisa tinggi (hiperglikemia maupun rendah (hipoglikemia).
12) Perkembangan dan pertumbuhan yang lambat.
13) Keterbelakangan mental dan motorik.

10. PENCEGAHAN
a. Melakukan pengawasan hamil dengan seksama dan teratur
b. Melakukan konsultasi terhadap penyakit yang dapat menyebabkan
kehamilan dan persalinan preterm.
c. Memberikan nasehat tentang gizi saat kehamilan, meningkatkan
pengertian KB-interval, memperhatikan tentang berbagai kelainan
yang timbul dan sgera melakukan konsultasi, menganjurkan untuk
pemeriksaan tambahan sehingga secara dini penyakit ibu dapat
diketahui dan diawasi / diobati.

9
d. Meningkatakan keadaan sosial – ekonomi keluarga dan kesehatan
lingkungan (Manuaba, 1998).
e. Partus prematurus menurut Mochtar (1998) dapat dicegah dengan
mengambil langkah-langkah berikut ini :
a. Jangan kawin terlalu muda dan jangan pula terlalu tua (idealnya 20
sampai 30 tahun).
b. Perbaiki keadaan sosial ekonomi
c. Cegah infeksi saluran kencing
d. Berikan makana ibu yang baik, cukup lemak , dan protein
e. Cuti hamil
f. Prenatal care yang baik dan teratur
g. Pakailah kontrasepsi untuk menjarangkan anak

11. PENGKAJIAN
Fokus pengkajian keperawatan meliputi:
1. Sirkulasi
Hipertensi, edema patologis (tanda hipertensi karena kehamilan
(HKK), penyakit sebelumnya)
2. Integritas ego
Adanya ansietas sedang
3. Makanan/ cairan
Ketidakadekuatan atau penambahan berat badan berlebihan
4. Nyeri/ ketidaknyamanan
Kontraksi intermitten sampai regular yang jaraknya kurang dari 10
menit selama paling sedikit 30 detik dalam 30-60 menit
5. Keamanan
Infeksi mungkin ada (misalkan infeksi saluran kemih (ISK) dan atau
infeksi vagina)
6. Seksualitas
Tulang servikal dilatasi, perdarahan mungkin terlihat, kemungkinan
ruptur membrane, perdarahan trimester ketiga, riwayat aborsi,
persalinan premature, riwayat biopsy konus, uterus mungkin distensi
berlebihan
7. Pemeriksaan diagnostik
Ultrasonografi: pengkajian getasi (dengan BB janin 500 sampai 2500
gr)
Tes nitrazin: menentukan KPD (Ketuban Pecah Dini)
Jumlah leukosit: jika mengalami peningkatan, maka itu menandakan
adanya infeksi

12. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (fisik dan biologis)

10
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan hipersensitivitas otot, tirah
baring, kelemahan
3. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, ancaman yang
dirasakan atau actual pada diri dan janin

13. INTERVENSI KEPERAWATAN


Diagnosa Keperawatan NOC NIC
Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri
injuri (agen cedera keperawatan selama 1x 24 1. Kaji skala nyeri
fisik atau biologis) jam kontrol nyeri adekuat klien.
dengan kriteria hasil: 2. berapa lama nyeri
1. Mampu mengontrol akan berkurang dan
nyeri (tahu penyebab antisipasi
nyeri, mampu ketidaknyamanan
menggunakan tehnik dari prosedur.
nonfarmakologi 3. Bantu pasien dan
untuk mengurangi keluarga untuk
nyeri, mencari mencari dan
bantuan) menemukan
2. Melaporkan bahwa dukungan
nyeri berkurang 4. Kolaborasi: Berikan
dengan analgetik untuk
menggunakan mengurangi nyeri
manajemen nyeri
3. Mampu mengenali
nyeri (skala,
intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang
5. Tanda vital dalam
rentang normal
6. Tidak mengalami
gangguan tidur
Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Manajemen energi
berhubungan dengan keperawatan 1x24 jam a. Observasi adanya
hipersensitivitas otot, toleransi aktivitas adekuat pembatasan klien
tirah baring dan dengan kriteria hasil: dalam melakukan
kelemahan a.Berpartisipasi dalam aktivitas
aktivitas fisik tanpa disertai b. Kaji adanya faktor
peningkatan tekanan darah, yang menyebabkan

11
nadi dan RR kelelahan
b.Mampu melakukan c. Monitor nutrisi dan
aktivitas sehari- hari sumber energy yang
(ADLs) secara mandiri adekuat
c.Keseimbangan aktivitas d. Monitor pasien
dan istirahat akan adanya
kelelahan fisik dan
emosi secara
berlebihan
e. Monitor respon
kardiovaskular
terhadap aktivitas
(takikardi,
disritmia, sesak
nafas, diaphoresis,
pucat, perubahan
hemodinamik)
f. Kolaborasikan
dengan tenaga
medis lain untuk
merencanakan
program terapi yang
tepat

Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan Coping enchancement


dengan krisis keperawatan 1x24 jam takut a. Jelaskan pada
situasional. Ancaman klien teratasi dengan kriteria pasien tentang
yang dirasakan atau hasil: proses penyakit
aktual pada diri dan a. Memiliki informasi b. Jelaskan semua tes
janin untuk mengurangi dan pengobatan
takut pada pasien dan
b. Menggunakan tehnik keluarga
relaksasi c. Sediakan
c. Mempertahankan reinforcement
hubungan sosial dan positif ketika pasien
fungsi peran melakukan perilaku
d. Mengontrol respon untuk mengurangi
takut takut
d. Sediakan perawatan
yang
berkesinambungan
e. Kurangi stimulasi

12
lingkungan yang
dapat menyebabkan
misinterpretasi
f. Dorong
mengungkapkan
secara verbal
perasaan, persepsi
dan rasa takut
g. Perkenalkan dengan
orang yang
mengalami penyakit
yang sama
h. Dorong klien untuk
mempraktekkan
tehnik relaksasi

13
DAFTAR PUSTAKA

Iams J.D. 2004. Preterm Labor and Delivery. In: Maternal-Fetal Medicine. 5th
ed.Saunders.

Jafferson Rompas. 2004.


http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14511Persalinanpreterm.pdf/145.30

Wiknjosastro, H. ;2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka,


Sarwono Prawirohardjo.

Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan
(Human Labor and Birth). Yogyakarta : YEM.

Hariadi, R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan


Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

14

Anda mungkin juga menyukai