Daftar isi
1Fungsi
2Organ peredaran limfa
o 2.1Kapiler limfatik
o 2.2Pembuluh limfa
3Organ pengumpul limfa
o 3.1Organ primer
3.1.1Sumsum tulang merah
3.1.2Kelenjar timus
o 3.2Organ sekunder
3.2.1Kelenjar limfa
3.2.2Limpa atau Lien
3.2.3Amandel
4Penyakit dan Kelainan
5Rujukan
6Pranala luar
Fungsi[sunting | sunting sumber]
Sistem limfatik pada manusia memiliki fungsi sebagai berikut:[3]
Limpa mengandung dua jaringan yang berbeda, yaitu pulpa putih (A) dan pulpa merah
(B)
Limpa merupakan jaringan limfatik terbesar di dalam tubuh, berbentuk oval dengan
panjang sekitar 12 cm. Limpa terletak di antara perut dan diafragma. Limpa terdiri dari
bagian pulpa putih dan pulpa merah. Pulpa putih mengandung limfosit dan makrofag.
Pulpa merah mengandung pembuluh darah. Darah yang mengalir ke dalam limpa akan
bertemu dengan sel-sel limfosit dan makrofag di bagian pulpa putih. Sel-sel limfosit dan
makrofag akan menjalankan fungsi imun terhadap patogen-patogen yang terdapat di
dalm darah.[4] Limpa berperan dalam fungsi imunologis, filtrasi dan menyingkirkan
eritrosit tua dan hematopoiesis pada janin.[6]
Limfoma
Limfoma Hodgkin
Limfedema
Limfadenopati
Limfadenitis
Limfangitis
Anda mungkin sudah sering mendengar istilah kelenjar getah bening atau biasa
disingkat KGB. Akan tetapi, apakah Anda tahu di mana letak KGB serta fungsinya dalam
tubuh manusia? Penting juga untuk kita mengetahui apa saja penyakit yang dapat
mengganggu dan menyerang sistem tersebut karena kelenjar ini berperan sangat
penting buat kesehatan. Yuk. pelajari serba-serbi KGB dalam ulasan lengkap berikut ini.
Kelenjar getah bening adalah massa berbentuk bulat yang dilingkupi oleh kapsul
jaringan ikat. Tugas kelenjar getah bening adalah menyaring cairan limfa (getah bening)
yang beredar di seluruh tubuh melalui pembuluh limfa, sama halnya seperti darah yang
bersirkulasi di dalam tubuh kita melalui pembuluh darah.
Ada sekitar 600 kelenjar getah bening di dalam tubuh, tetapi jumlah kelenjar yang bisa
dirasakan atau diraba dengan tangan hanya beberapa saja. Di antaranya yaitu di bagian
bawah rahang, leher, ketiak, serta pangkal paha.
Ukuran KGB berbeda-beda, mulai dari sekecil ujung jarum hingga sebesar satu butir
kacang merah yang sudah matang.
KGB sangat penting untuk melawan penyakit dan menjaga daya tahan tubuh. Lebih
jelasnya, simak tiga fungsi utama KGB bagi kesehatan Anda berikut ini.
1. Menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh
Cairan limfa diperoleh dari berbagai macam cairan yang ada dalam jaringan tubuh.
Setelah itu, cairan tersebut akan disaring oleh KGB. Apabila terdapat kelebihan cairan
atau cairan mengandung organisme berbahaya, KGB akan mengembalikannya lagi ke
aliran darah agar dibuang oleh tubuh melalui sistem eksresi. Dengan begitu, kadar
cairan dalam tubuh Anda akan selalu seimbang.
2. Menjaga daya tahan tubuh dan melawan infeksi
Di dalam KGB, terdapat salah satu jenis sel darah putih, yaitu limfosit. Limfosit berguna
untuk mendeteksi dan menyerang organisme berbahaya penyebab infeksi dalam tubuh.
Misalnya virus, bakteri, kuman, sel yang rusak, hingga sel kanker.
KGB memiliki sistem khusus untuk “mengingat” dan membedakan organisme-
organisme mana saja yang bahaya buat tubuh dan mana yang aman. Karena itulah KGB
sangat penting untuk mencegah Anda diserang penyakit.
3. Menyerap lemak dan zat gizi yang larut dalam lemak
KGB yang ada di usus mampu membantu sistem pencernaan Anda untuk menyerap
lemak dan zat gizi lainnya yang larut dalam lemak. Pasalnya, lemak dan zat gizi yang
larut dalam lemak tidak dapat langsung diserap oleh pembuluh darah kapiler seperti zat
gizi lainnya seperti gula dan protein
Limpa merupakan bagian dari sistem getah bening atau sistem limfatik. Organ yang
berwarna merah keunguan ini terletak di dalam rongga perut sebelah kiri atas, tepatnya
di belakang lambung.
Limpa memiliki ukuran sebesar kepalan tangan orang dewasa dengan panjang sekitar
10–12 cm dan berat kurang lebih 150–200 gram. Namun, ukuran dan berat limpa
tersebut bisa bervariasi pada tiap orang.
Limpa merupakan organ limfoid terbesar dan terletak di bagian depan dan
dekat punggung rongga perut di antara diafragma dan lambung dibawah tulang rusuk.
[3]
Secara anatomis, tepi limpa yang normal berbentuk pipih. Fungsi limpa yaitu
mengakumulasi limfosit dan makrofaga, degradasi eritrosit, tempat cadangan darah,
dan sebagai organ pertahanan terhadap infeksi partikel asing yang masuk ke dalam
darah.[2]
Limpa dibungkus oleh kapsula, yang terdiri atas dua lapisan, yaitu satu
lapisan jaringan penyokong yang tebal dan satu lapisan otot halus. Perpanjangan
kapsula ke dalam parenkim limpa disebut trabekula. Trabekula
mengandung arteri, vena, saraf, dan pembuluh limfa.[1] Parenkim limpa disebut pulpa
yang terdiri atas pulpa merah dan pulpa putih.[3] Pulpa merah berwarna merah gelap
pada potongan limpa segar. Pulpa merah terdiri atas sinusoid limpa.[3] Pulpa putih
tersebar dalam pulpa merah, berbentuk oval dan berwarna putih kelabu. Pulpa putih
terdiri atas pariarteriolar limphoid sheats (PALS), folikel limfoid, dan zona marginal.
Folikel limfoid umumnya tersusun atas sel limfosit B, makrofaga, dan sel debri [4]
Walau demikian, ketiadaan limpa dapat membuat sistem kekebalan tubuh menjadi
lemah, sehingga rentan terserang infeksi.
Oleh karena itu, orang yang hidup tanpa limpa disarankan untuk
melengkapi imunisasi agar tubuhnya lebih kuat dalam melawan infeksi. Pada kasus
tertentu, orang yang tidak lagi memiliki limpa akibat operasi pengangkatan limpa juga
mungkin akan membutuhkan antibiotik untuk mencegah infeksi.
Agar fungsi limpa selalu terjaga dengan baik, Anda dianjurkan untuk membatasi
konsumsi alkohol, tidak menggunakan narkoba, memakai alat pelindung diri ketika
bekerja dan berkendara, menggunakan kondom saat berhubungan seks, dan
menghindari berganti pasangan seksual.
Gambar 2.1. Anatomi Tonsil Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel
respiratori.
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa
tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus)
dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan
tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular
dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme
pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik.
Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal (Anggraini
D, 2001).
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid
yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun
teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong
diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian
tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid
terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama
ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa
Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-
masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7
tahun kemudian akan mengalami regresi (Hermani B, 2004).
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata (Kartosoediro S,
2007).
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot
palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding
luarnya adalah otot konstriktor faring superior (Shnayder, Y, 2008). Berlawanan dengan
dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu
nervus glosofaringeal (Wiatrak BJ, 2005).
2.1.5. Pendarahan
2.1.6. Aliran getah bening sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada
(Wanri A, 2007).
2.1.7. Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.
Kelenjar Timus
Pengertian Kelenjar Timus
Timus (bahasa Inggris: thymus, bahasa Yunani: θυμός, tumos - hati, jiwa, keinginan,
kehidupan) adalah sebuah kelenjar yang terletak di depan dada, yang mencapai berat
maksimalnya saat manusia memasuki masa pubertas.[1] Hingga saat ini, fungsi kelenjar
diketahui hanya sebagai tempat produksi sel T yang dibutuhkan di dalam sistem imun
adaptif. Sejak ditemukan oleh Galenus pada sekitar tahun 130-200, belum banyak yang
dapat diteliti dari kelenjar ini, setelah hampir 2000 tahun perjalanan sejarah kedokteran.
[1]
Diperkirakan timus merupakan proyeksi interaksi
antara hormon, neuropeptida dan sistem kekebalan, yang dipelajari pada
studi neuroimunoendokrinologi, yang memengaruhi aktivitas organ limfoid
dan sel sepanjang lintasan endokrin, autokrin dan parakrin.[2]
Struktur[sunting | sunting sumber]
Kelenjar timus terletak di dalam toraks kira-kira setinggi bifurkasi trakea, berwarna
kemerah-merahan dan terdiri atas dua lobus. Pada bayi baru lahir ukurannya sangat
kecil dan beratnya sekitar 10 gram. Ukurannya bertambah pada masa remaja menjadi
sekitar 30-40 gram dan kemudian mengecil ketika mencapai masa dewasa.[3] Tiap lobus
terdiri atas bagian korteks dan medula. Korteks tersusun atas sel-sel limfosit dan sel-sel
epitel. Medula tersusun atas sel-sel epitel.[4]
Kelenjar Timus adalah suatu organ limfoid simetris bilateral yang terdiri atas dua lobus
berbentuk piramid, yang terletak di bagian anterior mediastinum superior.
Perkembangan timus yang maksimal dicapai kira-kira pada saat pubertas, dan timus
kemudian mengalami suatu proses involusi pelahan digantikannya parenkim oleh
jaringan lemak dan fibrosa yang lambat laun akan menurun fungsi imun pada masa
dewasa (W.A Newman, 2010).
Kelenjar timus adalah organ limfoepitelial yang terletak di mediastinum, organ ini
mencapai perkembangan puncaknya semasa usia muda. Timus berfungsi sebagai
limfopoiesis yang terutama terjadi selama masa fetal dan awal masa pasca lahir. Timus
juga menghasilkan hubungan dengan sel retikuler epitelial untuk mengetahui antigen
asing dan bila antigen ini berhubungan dengan membran glikoprotein pada permukaan
sel yang ditandai dalam “Major Histocakompatibility Complex” (M.H.C). Glikoprotein
MHC bekerja sebagai reseptor pengikat antigen yang mengaktifkan respon sel T yang
tepat tehadap antigen asing yang khusus dan sel T tersebut menghasilkan sel yang
mempunyai kemampuan imunologi atau kekebalan tubuh. Timus berbentuk seperti
kupu-kupu berwarna abu-abu yang didalamnya berwarna merah muda. Kelenjar
terletak di bawah tulang dada dan fungsi regulernya mulai aktif setelah pasca neonatal.
Satu kegiatan timus yang diketahui adalah limfopoiesis (pertumbuhan dan pematangan
limfosit) yang terutama terjadi selama masa fetal dan awal masa pasca lahir, sel-sel
plasma dan mielosit juga dibentuk dalam jumlah kecil. Timus juga menghasilkan
hubungan dengan sel retikuler epitelial untuk mengetahui antigen asing dan bila
antigen ini berhubungan dengan membran glikoprotein pada permukaan sel yang
ditandai dalam “Major Histocakompatibility Complex” (M.H.C).
Glikoprotein MHC bekerja sebagai reseptor pengikat antigen yang mengaktifkan respon
sel T yang tepat tehadap antigen asing yang khusus dan sel T tersebut menghasilkan sel
yang mempunyai kemampuan imunologi atau kekebalan tubuh. Dalam organ limfoid sel
T menempati zona “thymus dependent” termasuk zona parakortikal limfonodus. Pada
orang dewasa timus tetap merupakan sumber limfosit kecil yang penting, terutama bila
seseorang telah mengalami brkurangnya organ limfoid karena radiasi. Substansi yang
berefek humoral tampaknya menembus melalui saringan kedap-sel dan bekerja sebagai
pengganti timus yang paling dikenal dengan timosin. Timosin dihasilkan oleh sel
retikuler epitelial dan dapat diraikan menjdi 2 fraksi glikoprotein dengan B.M. rendah.
Substansi yang mematangkan sel T adalah “timoprotein”.
Timus dipengaruhi oleh kelenjar kelamin, kelenjar adrenal, dan kelennjar tiroid.
Hormon kelamin menyebabkan involusi dan tiroidektomi mempercepat involusi.
Miastenia gravis adalah salah satu penyakit gangguan autoimun yang mengganggu
sistem sambungan saraf (synaps). Pada penderita miastenia gravis, sel antibodi tubuh
atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang mengandung acetylcholine
(ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari saraf satu ke saraf
lainnya. Jika reseptor mengalami gangguan maka akan menyebabkan defisiensi,
sehingga komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan
otot.
Penyebab pasti reaksi autoimun atau sel antibodi yang menyerang reseptor
acetylcholine belum diketahui. Tapi pada sebagian besar pasien, kerusakan kelenjar
thymus menjadi penyebabnya. Maka itu kebanyakan si penderita akan menjalani
operasi thymus. Tapi setelah thymus diangkat juga belum ada jaminan penyakit
autoimun ini akan sembuh.
Thymus adalah organ khusus dalam sistem kekebalan yang memproduksi antibodi.
Organ ini terus tumbuh pada saat kelahiran hingga pubertas, dan akan menghilang
seiring bertambahnya usia. Tapi pada orang-orang tertentu, kelenjar thymus terus
tumbuh dan membesar, bahkan bisa menjadi ganas dan menyebabkan tumor pada
kelenjar thymus (thymoma). Pada kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem kekebalan
belajar membedakan antara tubuh dan zat asing. Kelenjar thymus juga berisi sel otot
(myocytes) dengan reseptor acetylcholine.
1. Kelenjar timus dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh terutama pada masa
kanak-kanak.
2. Kelenjar timus menghasilkan limfosit atau dikenal sebagai sel T (timus), limfosid
pada dasarnya adalah sel darah putih.
3. Kelenjar timus berfungsi untuk mengendalikan pertumbuhan abnormal sel.
Namun, komponen utama ketiga ialah lapisan pelindung yang mengelilingi korteks
perifer, yang disebut dengan kapsul luar. Baik secara struktural dan fungsional berbagai
jenis sel, hadir dalam organ, ditugaskan dengan fungsi yang berbeda untuk
mengembangkan limfosit T, dan diberi nama sebagai hematopoietik dan sel-sel stroma.
Yang sel T, yang diproduksi di dalamnya, disediakan dengan wilayah tertentu yang
dapat memungkinkan mereka menyerang pada zat-zat asing yang berbahaya, yang
disebut dengan reseptor.
Korteks setiap lobulus mengandung limfosit yang tersusun padat yang tidak
membentuk modulus limpoid. Sebaliknya, medula mengandung limfosit lebih sedikit
tetapi mempunyai epitteiocytus reticularis yang lebih banyak. Medula juga mengandung
banyak corpusculum thymicum merupakan ciri khas kelnjar timus. Histologi kelnjar
timus bervariasi bergantung pada usia individu. Kelenjar timus berkembang mencapai
puncaknya segera setelah lahir. Pada saat pubertas, kelenjar timus mengalami involusi
atau menunjukan tanda-tanda regresi dan degenerasi secara bertahap. Akibatnya
produksi limfosit menurun dan corpus culum thymicum menjadi lebih menonjol selain
itu parenkim atai bagian seluler kelenjar secara bertahap digantikan oleh jaringan ikat
longgar dan sel adiposa. Akumulasi jaringan adiposa dan tanda infolusi dini pada
kelnjar timus bergantung pada usia individu.
Struktur Kelenjar Timus
Kelenjar timus merupakan organ lembut yang terletak di atas jantung tepat setelah
leher pada rongga dada bagian atas. Kelenjar timus dibagi menjadi dua lobus yang
dikelilingi oleh kapsul fibrosa.
Korteks
Kortek kelenjar timus merupakan bagian luar yang disusun oleh limfosit dan sel
epitel retikular yang akan berhubungan dengan bagian medulla. Korteks
merupakan tempat awal terbentuknya sel T.
Medulla
Pada bagian medulla sel epitel retikularnya lebih kasar, sedangkan sel limfositnya
lebih sedikit. Pada bagian medulla juga ditemukan Hassall’s corpus yaitu struktur
seperti sarang yang merupakan tempat berkumpulnya sel epitel retikular, medulla
merupakan tempat pembentukan sel T lanjutan.
Dengan bertambahnya usia, maka timus mengalami proses involusi fisiologik apabila
produksi limfosit berkurang, korteks menipis dan perenkim sebagian besar diganti
dengan jaringan lemak. Proses involusi menua normal ini dulu diduga berawal pada
manusia sejak pubertas, namun kini diketahui bahwa pengurangan volume relatif
perenkimnya sebenarnya dimulai sejak kanak-kanak. Pada orang dewasa timus telah
berubah menjadi massa jaringan lemak dengan sebaran pulau-pulau perenkim yang
mengandung sedikit limfosit namun terdiri atas sel-sel epitelial. Pada percobaan dengan
rodentia mengenai penghancuran sebagian besar limfositnya ternyata bahwa timus
mempertahankan kemampuan fungsuional seumur hidup dan sanggup mendapat
kembali kapasitas limifositopietik selaruhnya. Hal yang sama mungkin juga benar untuk
manusia namun belum diprelihatkan.
Proses involusi menua yang berangsur itu dapat dengan segera dipercepat pleh yang
disebut involusi kebetulan yang dapat terjadi sebagai respons terhadap penyakit. Stres
berat, radiasi ionisasi, endotoksin bakteri dan pemberian hormon adrenokortikotrofik
atau steroid adrena;l dan gonad. Pada salah satu kondisi ini timus dengan cepat
mengecil akibat kematian masal limfosit kecil korteks dan pembuangannyaoleh
makrofag. Limfosit medula lebih tahan. Karenanya pola lobul yang biasa dengan korteks
gelap dan medula pucat dapat terbaek. Involusi akut, diinduksi pada hewan percobaan
diikuti regenerasi hebat dan timus dengan epat kembali ke ukurannya yang normal.
Selain itu Myasthenia gravis juga dapat menghancurkan sinyal atau komunikasi antar
saraf dan otot sehingga otot-otot menjadi lemah dan mudah lelah. Salah satu penyebab
mengapa kelenjar timus menyerang sel yang sehat yaitu karena ukuran kelenjar timus
yang tidak mengecil setelah masa puberts “menurut para ahli, meskipun penyebabnya
belum diketahui secara pasti”.
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman. 2010. Kamus Kedokteran Edisi 31. EGC, Jakarta. 2244 hal
Eroschenko Victor P. 2010. Atlas Histologi difiore Edisi 1, EGC, Jakarta.210-211 hal
Fawcett & Bloom. 1994. Buku Ajar Histologi Edisi 12, EGC, Jakarta
Http://setengahbaya.info/penyakit-miastenia-gravis.html
Junqueira Luiz Carloz, Carneiro Jose. 2007. Histologi Dasar Teks dan Atlas Edisi 10.
EGC, Jakarta. 261-264 hal
Leeson C. Roland, Leeson S. Thomas dan Paparo A. Anthony. 1996. Buku Ajar Histologi
Edisi 5. EGC, Jakarta 288-291 hal
Sumsum tulang
Rujukan[sunting | sunting sumber]