SKRIPSI
Oleh:
2018-600-89
Fakultas Psikologi
2021
BAB I
PENDAHULUAN
kedudukan profesi sesuai dengan keinginan individu tersebut. Salah satu profesi
yang paling banyak diminati individu di Indonesia yaitu menjadi seorang guru.
Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para
peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar
kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawah, wibawa, mandiri, dan
Guru berdasarkan statusnya terbagi menjadi dua, yaitu guru tetap (PNS)
dan tidak tetap atau biasa disebut dengan guru honorer. Guru yang berstatus PNS
adalah guru yang diangkat langsung dan digaji tetap oleh pemerintah dan telah
guru honorer adalah tenaga kerja yang diangkat oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian atau pejabat lain yang ada didalam pemerintahan (Gunawan &
Hendriani, 2019). Perbedaan antara guru tetap dan honorer tidak berhenti pada
status saja, tetapi juga pada faktor yang lain misalnya gaji, padahal jika ditinjau
dari sisi pekerjaan antara guru tetap dengan guru honorer memiliki pekerjaan yang
sama (Wangi & Annisaa, 2015). Menurut Data Pokok Pendidikan atau
DAPODIK jumlah guru honorer di Indonesia sebesar 728.461 orang atau 22%.
Rata-rata upah atau gaji yang diterima oleh guru honorer masih berada
jauh dibawah Upah Minimum Regional (UMR). Gaji yang didapat oleh guru
honorer tiap sekolah dapat berbeda, namun umumnya gaji guru honorer yaitu
mulai dari Rp 400.000 sampai dengan Rp 1.000.000. Hal tersebut sangat berbeda
dengan guru yang berstatus PNS, Selain mendapatkan gaji tetap, pemerintah juga
memberikan gaji bulan ke-13 bagi PNS dan pensiunan. Bahkan guru yang
sertifikasi (Santoso, 2020). Hal tersebutlah yang membuat guru honorer berlomba-
lomba untuk dapat lolos masuk seleksi CPNS. Selaian itu adanya perbedaan
oleh guru honorer sehingga dapat memicu timbulnya stress yang dapat berujung
Dilansir dari situs Tribun news (Aco, 2017) terdapat kasus bunuh diri yang
melibatkan seorang guru honorer bernama Dimas Kirana Mulya (31) yang terjadi
Rawa Mekar Jaya, Serpong, Tangerang Selatan. Korban sudah beberapa kali
mencoba mendaftar sebagai guru PNS namun gagal. Guru honorer tersebut bunuh
diri diduga karena depresi tidak lolos tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan
detik.com (Faruk, 2021) Seorang guru honorer berinisial S (46) yang berasal dari
Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), ditemukan tewas gantung diri.
Korban nekat mengakhiri hidupnya diduga karena depresi setelah tidak lolos
seleksi tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dari informasi
dikombinasikan dengan perasaan bahwa hidup seseorang itu baik, bermakna dan
berharga. Subjective well-being penting bagi guru honorer karena ketika seseorang
memiliki subjective well-being yang tinggi, mereka akan tetap bekerja produktif
dan lebih menikmati kehidupan serta pekerjaan mereka (Swandira Balkis et al.,
2016).
yang terjadi secara positif. Sedangkan individu yang memiliki subjective well-
being yang rendah akan memandang peristiwa-peristiwa yang terjadi
dikehidupannya sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, dan oleh karena itu
salah satu guru honorer berinisial AZ didapatkan hasil jika subjek sudah menjadi
guru honorer disalah satu Sekolah Dasar di kota Jepara selama kurang lebih 9
tahun. Selama subjek mengajar, subjek sudah beberapa kali mengikuti seleksi
CPNS namun selalu gagal. Subjek mengaku jika subjek kerap merasa iri dengan
guru yang berstatus PNS karena kesejahteraan yang diberikan sangat berbeda
dengan guru yang berstatus honorer. Selain itu subjek juga mengaku jika
terkadang merasa stress karena subjek harus menafkahi anak-anaknya yang masih
merasa jika peluang subjek untuk menjadi PNS sangat kecil bahkan mungkin
tidak ada harapan karena IPK subjek tergolong rendah, sehingga subjek harus
menjadikan subjek malah tidak fokus dalam mengajar. Subjek mengaku jika
terkadang subjek merasa gagal menjadi guru dan kepala keluarga yang baik.
tanggal 15 April 2022 yang berinisial RS didapatkan hasil jika subjek sudah
bekerja menjadi guru honorer di Sekolah Dasar selama kurang lebih 16 Tahun.
Subjek mengatakan jika subjek sudah sangat sering mengikuti seleksi CPNS
namun selalu gagal atau tidak lolos. Subjek juga mengatakan jika baru-baru ini
subjek mengkitu seleksi PPPK namun hasilnya juga gagal. Subjek mengaku jika
terkadang merasa iri dengan tingkat kesejahteraan yang didapatkan oleh guru
dengan status PNS. Subjek menambahkan jika sebenarnya hal tersebut tidak adil
karena beban kerja anta guru PNS dan guru honorer sebenarnya sama saja. Saat
ini subjek mengaku jika subjek sudah pesimis untuk mengikuti seleksi CPNS
ataupun PPPK dikarenakan umur subjek yang sudah tidak muda lagi dan
kemampuan otak sujek yang mulai menurun karena faktor usia tersebut, sehingga
being sangat penting bagi guru honorer. Hal tersebut dibuktikan dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh Purwito et al (2017) yang menemukan hasil
jika individu dengan subjective well-being yang tinggi akan memiliki penilaian
yang positif terhadap hidup yang dijalaninya sehingga akan selalu merasakan
kebahagiaan, mengalami kepuasan hidup, akan lebih sering merasa bahagia dan
merasa senang, serta jarang merasakan emosi yang tidak nyaman seperti marah
atau sedih. Sementara itu, orang dengan subjective well-being yang rendah jarang
dan kemarahan.
optimisme adalah harapan yang terdepat pada diri seseorang yang yakin dan
berfikir positif jika segala sesuatunya akan berjalan ke arah yang baik. Optimisme
menjadi salah satu komponen yang penting dalam psikologi karena dapat
memprediksi bagaimana reaksi individu pada saat berada disituasi yang penuh
dengan tekanan (David et al., 2006). Dalam kondisi dan situasi yang sulit dan
penuh tekanan tersebut, individu membutuhkan sikap yang optimis untuk dapat
memiliki impian untuk mencapai tujuan, berjuang dengan sekuat tenaga, dan tidak
ingin duduk berdiam diri menanti keberhasilan yang akan diberikan orang lain.
Optimisme dapat mendorong individu untuk selalu berfikir bahwa sesuatu yang
terjadi merupakan hal yang terbaik bagi dirinya (Ghufron & Risnawati, 2010).
menghasilkan kinerja yang lebih tinggi di tempat kerja, sekolah, dan di bidang
olahraga.
juga menjelaskan jika optimisme yang tinggi akan membuat seseorang mengalami
emosi yang positif, sehingga dapat menetralkan suasana atau perasaan hati yang
negatif, serta dapat meredakan emosi yang dapat memicu timbulnya stress saat
dalam masalah. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Carver (Nufus & Tatar,
2017) yang menyatakan jika individu dengan optimisme yang tinggi berpengaruh
menunjukan hasil jika terdapat hubungan yang positif antara optimisme dengan
semakin tinggi optimisme pada diri individu maka akan semakin tinggi pula
Selain optimisme, menurut Compton & Hoffman (2013) self esteem atau
harga diri juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi subjective
well-being. Guindon (2010) mendefinisikan self esteem atau harga diri sebagai
suatu sikap, kompenen evaluatif diri, dan penilaian afektif terhadap konsep diri
dan umpan balik dari dunia luar. Self esteem atau harga diri mempengaruhi
2010)
dapat berfikir dan mengatasi tantangan di kehidupan, serta kepercayaan diri yang
digunakan untuk mendapatkan kebahagiaan, merasa berguna, dan berjasa bagi
(Sarwono & Meinarno, 2012) menyatakan jika self esteem atau harga diri
penilaian yang positif maupun negatif. Jika individu mempunyai penilaian yang
postif terhadap dirinya, maka ia akan menjadi percaya diri dalam mengerjakan
hal-hal yang ia kerjakan dan akan memperoleh hasil yang positif pula. Sebaliknya,
individu yang menilai dirinya secara negatif akan menjadi tidak percaya diri saat
positif antara self esteem dengan subjective well-being. Artinya semakin tinggi self
esteem yang dimiliki individu maka akan semakin tinggi pula subjective well-
beingnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Pratiwi (2016) dengan judul
Siswa SMK” juga menunjukan hasil jika self esteem memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap subjective well-being. Self esteem yang tinggi dapat membuat
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
secara empiris hubungan antara optimisme dan self esteem dengan subjective well-
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
mereka agar tetap dapat membangun optimisme dan self esteem pada
b. Bagi peneliti
LANDASAN TEORI
A. Subjective Well-being
baik pada saat ini maupun waktu yang lebih lama. Evaluasi tersebut meliputi
tidak berkaitan dengan apa yang dimiliki pada seseorang atau apa yang terjadi
berfikir serta merasakan tentang apa yang mereka miliki dan apa yang terjadi
pada mereka.
yang ditandai dengan tingginya tingkat emosi yang postif, tingkat kepuasan
yang ditandai dengan tingginya efek atau emosi positif yang dirasakan oleh
individu tersebut.
Menurut Compton & Hoffman (2013), terdapat dua pendekatan pada teori
a. Bottom Up Theory
apa saja yang dapat membuat kita bahagia dan memeriksa seberapa
kesejahteraan.
b. Top-Down Theory
pandang yang positif. Tidak jarang dalam pendekatan teori ini diukur
a. Kognitif
pada diri individu tidak selalu berasal dari peristiwa eksternal yang
melihat dunia serta masa depan mereka dengan cara yang positif.
b. Self Esteem
2013) menyatakan jika harga diri yang positif lebih berguna untuk
kebahagiaan.
c. Optimisme dan Harapan
sosial yang lebih baik dengan orang lain. Carver et al. (Compton
2013).
atau efikasi diri adalah konsep dengan asosiasi yang kuat untuk
e. Makna hidup
hubungan sosial yang baik maka ada efek yang ditingkatkan padaa
g. Sifat Kepribadian
1) Extraversi
3) Neuroticism
depresi.
satu hal yang paling sering didengar dari banyak orang. Uang atau
kesenangan lainnya.
i. Jenis kelamin
j. Usia
muda (Diener & Suh, 2000; Yang, 2008 dalam Compton &
Orang yang lebih tua akan relatif bahagia dan puas jika mereka
dapat mempertahankan kesehatannya dengan baik (Compton &
menurut Diener, Argyle & Myers (W. Compton, 2005), faktor-faktor tersebut
yaitu:
a. Optimisme
b. Self Esteem
serta mempunyai relasi yang baik dengan orang lain. Self esteem
yang tinggi juga akan membuat individu merasa lebih bermakna
dan berharga.
yang baik dan meminimalkan hasil yang buruk. Tanpa rasa kontrol
tidak berdaya.
d. Extroversion
balik dari orang lain juga, hal tersebut akan meningkatkan dan
being.
e. Positive Relationtship
Compton & Hoffman (2013) adalah harga diri, kognitif, optimisme dan
harapan, memiliki kendali pribadi dan efikasi diri, makna hidup, hubungan
menurut Diener, Argyle & Myers (W. Compton, 2005) adalah optimisme,
sense of meaning and purpose to life. Adapun faktor yang dipilih dalam
penelitian ini adalah faktor yang dikemukakan oleh Compton & Hoffman
yaitu:
B. Aspek afektif
dalam hidup yang meliputi emosi (afek) yang menyenangkan atau postif
a. Afek positif
dan aktif.
b. Afek negatif
dan khawatir.
seorang individu untuk dapat menerima dirinya secara utuh, baik itu
dimasa kini maupun dimasa lalu. Individu yang memandang dirinya secara
positif akan lebih memahami serta menerima berbagai aspek baik dan
negatif kepada diri sendiri akan merasa tidak puas dengan dirinya sendiri;
kecewa dengan apa yang telah terjadi dengan kehidupan dimasa lalu,
bermasalah dengan pribadi tertentu, dan ingin menjadi orang berbeda dari
baik akan sulit untuk bersikap hangat, terbuka, dan peduli dengan orang
lain serta tidak mau berkompromi untuk terus mempertahankan
C. Autonomy
keputusan tanpa tekanan atau campur tangan dari orang lain. Selain itu,
dapat menyesuaikan tingkah laku dari dalam diri, serta dapat mengevaluasi
rendah akan selalu bergantung pada penilain orang lain saat membuat
orang lain.
pembuatan skala adalah aspek dari tokoh (Diener, 2009) yang terdiri dari
aspek kognitif (kepuasan hidup) dan aspek afektif (afek positif dan afek
negatif).
B. Optimisme
1. Pengertian Optimisme
dengan masa depan, merasa lebih bahagia dan lebih puas dengan hidup.
individu yakin jika peristiwa yang buruk atau kegagalan hanya bersifat
sementara dan tidak sert merta disebabkan oleh diri sendiri tetapi bisa
harapan yang kuat jika segala sesuatu atau permasalahan dalam hidup
postif dan memiliki keyakinan jika segala hal atau pemasalahan yang
positif.
b. Mempunyai keyakinan pada diri sendiri jika dirinya mampu dan bisa
d. Merasa gembira bahkan ketika sedang berada pada posisi tidak bisa
merasa bahagia.
menerimanya.
a. Permanent (Menetap)
b. Pervasive (Meresap)
c. Personalization (Kepribadian)
masalah tersebut berasal dari dalam dirinya (internal) atau berasal dari
luar orang lain (eksternal). Ketika mengalami peristiwa atau hal yang
penyebabnya berasal dari luar atau bukan dari diri mereka, dan apabila
dihadapkan dengan peristiwa atau hal yang baik maka individu yang
optimis akan memandang hal tersebut berasal dari dalam dari diri
kepada diri sendiri atau self reward saat mereka berhasil dalam
melakukan sesuatu.
Berdasarkan uraian dari pendapat tokoh di atas dapat disimpulkan
diri sendiri jika dirinya mampu dan bisa dalam memecahkan masaah yang
bahkan ketika sedang berada pada posisi tidak bisa merasa bahagia,
personalization (kepribadian).
yang dijadikan sebagai acuan dalam pembuatan skala adalah aspek dari
personalization.
C. Self Esteem
evaluasi terhadap dirinya sendiri, baik itu postif atau negatif. Coopersmith
memenuhi ideal dirinya atau dapat juga diartikan bahwa self esteem
yang menyeluruh yang dibuat individu terhadap diri senidir baik positif
ataupun negatif.
oleh individu terhadap dirinya sendiri baik itu berupa penilaian positif
sendiri.
kritikan dengan baik pula. Individu yang memiliki aspek ini biasanya
yang lebih realistis. Individu yang memiliki aspek ini biasanya tidak
dan mencoba untuk mengubah diri mereka sendiri. Aspek ini juga
dapat diterima sebagai dirinya sendiri oleh suatu kelompok. Aspek ini
d. Kebijakan (Virtue)
yang ada serta tidak menyimpang norma, kode etik, ataupun prinsip-
sikap diri yang positif sehingga perasaan bangga dan berharga akan
a. Self Competence
b. Self Liking
baik itu suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju dengan apa yang
aspek self esteem atau harga diri terdiri atas perasaan berharga (power),
perasaan mampu (competence), perasaan diterima (significance), kebijakan
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal (TK),
(2016) menjelaskan guru di Indonesia dibagi menjadi tiga tipe, yaitu guru
yang terjadi dalam dunia pendidikan, baik mengenai statusnya yang belum
faktor lain seperti status sosial yang tidak jelas, dipandang sebelah mata
atau pertolongan dari atasan, serta adanya beban kerja yang berat.
contoh kasus dimana guru honorer melakukan tindakan bunuh diri karena
merasa depresi tidak lulus dalam seleksi CPNS. Tindakan yang dilakukan
oleh guru honorer tersebut merupakan salah satu afek negatif yang timbul
yang lebih baik, atau juga disebut dengan kebahagiaan. Subjective well-
yakni evaluasi yang bersifat afektif dan kognitif (Diener, 2000). Individu
merasa puas dengan kondisi hidupnya saat ini, sering merasakan emosi
positif dan jarang merasakan emosi negatif (Balkis & Masykur, 2017).
well-being ini memiliki variabel lain yang berkaitan, yakni salah satunya
optimisme.
Bastianello, Pacico, dan Hutz (2014) menyatakan bahwa
ekspektasi yang positif terhadap hasil di masa depan. Harapan untuk hasil
strategi koping yang lebih baik ketika mengalami stress akibat beban kerja
atau afek negatif seperti stress yang dapat berpengaruh pada kesejahteraan
subjektif juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, salah satunya yaitu
harga diri atau self esteem. Guru honorer yang memiliki subjective well-
depresi (Wangi & Annisa, 2015). Padahal dalam konteks sekolah, guru
kompetensi dan pencapaian lainnya yang dimana hal ini juga berkaitan
individu dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain dalam
yang berkaitan dengan arti dan nilai hidup. Hal itu merupakan pedoman
(Nuraini, 2018).
well-being.
E. Hipotesis
1. Hipotesis mayor
2. Hipotesis minor
subjective well-being-nya.
nya.
DAFTAR PUSTAKA
Aco, H. (2017). Tidak Lulus Tes CPNS, Guru Honorer Bunuh Diri Terjun dari
AtasApartemen.https://www.tribunnews.com/metropolitan/2017/10/13/tidak-
lulus-tes-cpns-guru-honorer-bunuh-diri-terjun-dari-atas-apartemen.
Alfiyani. (2017). Hubungan Optimisme dengan Subjective Well-Being Pada Guru
Honorer Sekolah Dasar Negeri di Jakarta Utara. Jakarta: Universitas Negeri
Jakarta.
Arfa, R. K. D., L.F.J, K., & Herdy, M. (2013). Perbandingan Kejadian dan
Tingkat Depresi Guru Honorer di Sekolah Dasar Negeri Pada Empat
Kecamatan Di Kota Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara. Manado.
Universitas Sam Ratulangi.
Arif, M. C. (2014). Hubungan Antara Self Esteem dengan Subjective Well Being
Pada Guru TK yang Gajinya Dibawah UMR. Doctoral Dissertatuon: Untag
Surabaya
Aulia, W. F. (2020). Self Esteem Terhadap Subjective Well Being Pada Buruh
Sopir Pengangkut Peti Kemas. Jurnal Ilmiah Psyche, 14(2), 103–114.
Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
Balkis, A. S., & Masykur, A. M. (2017). Memahami Subjective Well-Being Guru
Honorer Sekolah Dasar Negeri (Sebuah Studi Kualitatif Fenomenologis).
Jurnal Empati, 5(2): 223-228.
Bastianello, M. R., Pacico, J. C., & Hutz, C. S. (2014). Optimism, Self-Esteem
And Personality: Adaptation And Validation of The Brazilian Version of The
Revised Life Orientation Test (Lot-R). Journal of Psyco-USF, 19(3), 523-531.
Branden, N. (1992). The Power of Self-Esteem, An Inspiring Look At Our Most
Important Psychological Resource. Florida: Health Communications, Inc.
Carr, A. (2004). Positive Psychology; The Science of Happiness and Human
Strengs. New York: Brunner Routledge.
Compton, W. (2005). An Introduction to Positive Psychology.Belmont: Thomson
Learning.
Djamilah, S. (2005). Analisa Pengaruh Strategi Coping Stres Kerja Pada Strain
Fisik Dan Psikis (Studi Kasus Di Rumah Sakit Umum Di Yogyakarta).
Equilibrium: Jurnal Ekonomi-Manajemen-Akuntansi, 3(7): 55-70.