Anda di halaman 1dari 44

“HUBUNGAN ANTARA OPTIMISME DAN SELF ESTEEM

DENGAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU


HONORER DI KOTA JEPARA”

SKRIPSI

Oleh:

Luthfi Tri Artanti

2018-600-89

Fakultas Psikologi

Universitas Muria Kudus

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Di Indonesia terdapat ratusan juta jiwa penduduk dengan berbagai macam

profesi, sehingga banyak individu yang berlomba-lomba untuk mencapai

kedudukan profesi sesuai dengan keinginan individu tersebut. Salah satu profesi

yang paling banyak diminati individu di Indonesia yaitu menjadi seorang guru.

Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para

peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar

kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawah, wibawa, mandiri, dan

disiplin (Murdri, 2010).

Guru berdasarkan statusnya terbagi menjadi dua, yaitu guru tetap (PNS)

dan tidak tetap atau biasa disebut dengan guru honorer. Guru yang berstatus PNS

adalah guru yang diangkat langsung dan digaji tetap oleh pemerintah dan telah

ditugaskan di sekolah tertentu sebagai instansi tempatnya bekerja. Sedangakan

guru honorer adalah tenaga kerja yang diangkat oleh Pejabat Pembina

Kepegawaian atau pejabat lain yang ada didalam pemerintahan (Gunawan &

Hendriani, 2019). Perbedaan antara guru tetap dan honorer tidak berhenti pada

status saja, tetapi juga pada faktor yang lain misalnya gaji, padahal jika ditinjau

dari sisi pekerjaan antara guru tetap dengan guru honorer memiliki pekerjaan yang

sama (Wangi & Annisaa, 2015). Menurut Data Pokok Pendidikan atau

DAPODIK jumlah guru honorer di Indonesia sebesar 728.461 orang atau 22%.
Rata-rata upah atau gaji yang diterima oleh guru honorer masih berada

jauh dibawah Upah Minimum Regional (UMR). Gaji yang didapat oleh guru

honorer tiap sekolah dapat berbeda, namun umumnya gaji guru honorer yaitu

mulai dari Rp 400.000 sampai dengan Rp 1.000.000. Hal tersebut sangat berbeda

dengan guru yang berstatus PNS, Selain mendapatkan gaji tetap, pemerintah juga

memberikan gaji bulan ke-13 bagi PNS dan pensiunan. Bahkan guru yang

berstatus PNS selain mendapatkan kenaikan gaji setiap tahunnya juga

mendapatkan tunjangan perbaikan kesejahteraan bagi mereka yang sudah lolos

sertifikasi (Santoso, 2020). Hal tersebutlah yang membuat guru honorer berlomba-

lomba untuk dapat lolos masuk seleksi CPNS. Selaian itu adanya perbedaan

tersebut tentu juga menimbulkan permasalahan serta kegelisahan yang dirasakan

oleh guru honorer sehingga dapat memicu timbulnya stress yang dapat berujung

pada suatu perasaan depresi (Arfa et al., 2013)

Dilansir dari situs Tribun news (Aco, 2017) terdapat kasus bunuh diri yang

melibatkan seorang guru honorer bernama Dimas Kirana Mulya (31) yang terjadi

di Apartemen Parkland, Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel). Salah satu saksi

mengungkapkan korban memiliki tingkat kecerdasan yang cukup tinggi, terbukti

dari pengalamannya yang Sudah 6 tahun bekerja sebagai guru honorer di SD

Rawa Mekar Jaya, Serpong, Tangerang Selatan. Korban sudah beberapa kali

mencoba mendaftar sebagai guru PNS namun gagal. Guru honorer tersebut bunuh

diri diduga karena depresi tidak lolos tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan

mengalami masalah ekonomi.


Selain itu baru-baru ini juga terjadi kasus yang sama, dilansir dari situs

detik.com (Faruk, 2021) Seorang guru honorer berinisial S (46) yang berasal dari

Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), ditemukan tewas gantung diri.

Korban nekat mengakhiri hidupnya diduga karena depresi setelah tidak lolos

seleksi tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dari informasi

yang diperoleh, bahwa dalam kesehariannya korban kurang bersosialisasi dengan

masyarakat sekitar dan dari keterangan suaminya bahwa korban mengalami

depresi akibat banyaknya permasalahan yang dihadapi seperti masalah keuangan,

berkeinginan mendirikan toko, serta tidak lolos dalam tes PPPK.

Permasalahan yang dialami oleh guru honorer diatas berkaitan dengan

subjective well-being atau kesejahteraan. Compton (2005) berpendapat

bahwa subjective well-being adalah ketika seseorang dapat merasakan

kebahagiaan. Lyubomirsky (Maddux, 2017) mendefiniskan subjective well-being

sebagai pengalaman, kegembiraan, kepuasan, atau keadaan positif, yang

dikombinasikan dengan perasaan bahwa hidup seseorang itu baik, bermakna dan

berharga. Subjective well-being penting bagi guru honorer karena ketika seseorang

memiliki subjective well-being yang tinggi, mereka akan tetap bekerja produktif

dan lebih menikmati kehidupan serta pekerjaan mereka (Swandira Balkis et al.,

2016).

Myers & Diener (1995) menjelaskan jika individu yang memiliki

subjective well-being tinggi, ditandai dengan adanya emosi-emosi yang

menyenangkan dan kemampuan menghargai serta memandang setiap peristiwa

yang terjadi secara positif. Sedangkan individu yang memiliki subjective well-
being yang rendah akan memandang peristiwa-peristiwa yang terjadi

dikehidupannya sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, dan oleh karena itu

dapat menimbulkan emosi-emosi yang tidak menyenangkan, seperti mudah

cemas, depresi, dan marah.

Melalui wawancara yang dilakukan pada tanggal 14 April 2022 dengan

salah satu guru honorer berinisial AZ didapatkan hasil jika subjek sudah menjadi

guru honorer disalah satu Sekolah Dasar di kota Jepara selama kurang lebih 9

tahun. Selama subjek mengajar, subjek sudah beberapa kali mengikuti seleksi

CPNS namun selalu gagal. Subjek mengaku jika subjek kerap merasa iri dengan

guru yang berstatus PNS karena kesejahteraan yang diberikan sangat berbeda

dengan guru yang berstatus honorer. Selain itu subjek juga mengaku jika

terkadang merasa stress karena subjek harus menafkahi anak-anaknya yang masih

kecil sedangkan kesejahteraan yang didapatkannya masih sangat minim. Subjek

merasa jika peluang subjek untuk menjadi PNS sangat kecil bahkan mungkin

tidak ada harapan karena IPK subjek tergolong rendah, sehingga subjek harus

lebih bekerja keras untuk mendapatkan tambahan penghasilan yang terkadang

menjadikan subjek malah tidak fokus dalam mengajar. Subjek mengaku jika

terkadang subjek merasa gagal menjadi guru dan kepala keluarga yang baik.

Selanjutnya pada wawancara dengan subjek kedua yang dilakukan pada

tanggal 15 April 2022 yang berinisial RS didapatkan hasil jika subjek sudah

bekerja menjadi guru honorer di Sekolah Dasar selama kurang lebih 16 Tahun.

Subjek mengatakan jika subjek sudah sangat sering mengikuti seleksi CPNS

namun selalu gagal atau tidak lolos. Subjek juga mengatakan jika baru-baru ini
subjek mengkitu seleksi PPPK namun hasilnya juga gagal. Subjek mengaku jika

terkadang merasa iri dengan tingkat kesejahteraan yang didapatkan oleh guru

dengan status PNS. Subjek menambahkan jika sebenarnya hal tersebut tidak adil

karena beban kerja anta guru PNS dan guru honorer sebenarnya sama saja. Saat

ini subjek mengaku jika subjek sudah pesimis untuk mengikuti seleksi CPNS

ataupun PPPK dikarenakan umur subjek yang sudah tidak muda lagi dan

kemampuan otak sujek yang mulai menurun karena faktor usia tersebut, sehingga

saat ini subjek hanya pasrah dengan keaadaan dan kehidupaanya.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat dilihat jika subjective well-

being sangat penting bagi guru honorer. Hal tersebut dibuktikan dengan

penelitian yang telah dilakukan oleh Purwito et al (2017) yang menemukan hasil

jika individu dengan subjective well-being yang tinggi akan memiliki penilaian

yang positif terhadap hidup yang dijalaninya sehingga akan selalu merasakan

kebahagiaan, mengalami kepuasan hidup, akan lebih sering merasa bahagia dan

merasa senang, serta jarang merasakan emosi yang tidak nyaman seperti marah

atau sedih. Sementara itu, orang dengan subjective well-being yang rendah jarang

mengalami kegembiraan dan sering mengalami emosi negatif seperti kecemasan

dan kemarahan.

Untuk meraih subjective well-being yang tinggi perlu untuk

memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi subjective well-being. Salah

satu faktor yang mempengaruhi subjective well-being menurut Compton &

Hoffman (2013) adalah optimisme. Lopez & Snyder (2003) mendefinisikan

optimisme adalah harapan yang terdepat pada diri seseorang yang yakin dan
berfikir positif jika segala sesuatunya akan berjalan ke arah yang baik. Optimisme

menjadi salah satu komponen yang penting dalam psikologi karena dapat

memprediksi bagaimana reaksi individu pada saat berada disituasi yang penuh

dengan tekanan (David et al., 2006). Dalam kondisi dan situasi yang sulit dan

penuh tekanan tersebut, individu membutuhkan sikap yang optimis untuk dapat

mewujudkan dan merasakan emosi yang menyenangkan serta mendapatkan

kepuasaan dalam hidup (Gomes, 2021).

Ghufron & Risnawati (2010) menyatakan jika individu yang optimis

memiliki impian untuk mencapai tujuan, berjuang dengan sekuat tenaga, dan tidak

ingin duduk berdiam diri menanti keberhasilan yang akan diberikan orang lain.

Optimisme dapat mendorong individu untuk selalu berfikir bahwa sesuatu yang

terjadi merupakan hal yang terbaik bagi dirinya (Ghufron & Risnawati, 2010).

Seligman (2008) mengungakapkan jika optimisme juga bermanfaat dalam

menghasilkan kinerja yang lebih tinggi di tempat kerja, sekolah, dan di bidang

olahraga.

Selanjutnya berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Srivastava &

Singh (2015) dengan judul “A Correlation Study: The Relationship between

Optimism and Subjective Well-Being of Education Sector Employees”

menunjukkan hasil bahwa optimisme memberikan kontribusi terhadap

kesejahteraan dan kebahagiaan individu. Dalam penelitian tersebut menyatakan

jika optimisme berperan sabagai faktor utama dalam memunculkan serta

mempertahankan subjective well-being pada diri seseorang. Penelitian tersebut

juga menjelaskan jika optimisme yang tinggi akan membuat seseorang mengalami
emosi yang positif, sehingga dapat menetralkan suasana atau perasaan hati yang

negatif, serta dapat meredakan emosi yang dapat memicu timbulnya stress saat

dalam masalah. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Carver (Nufus & Tatar,

2017) yang menyatakan jika individu dengan optimisme yang tinggi berpengaruh

dengan subjective well-being yang baik saat mengahadapi permasalahan.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Gomes (2021) dengan judul

“Hubungan antara Optimisme dengan Subjective Well-Being pada Karyawan”

menunjukan hasil jika terdapat hubungan yang positif antara optimisme dengan

subjective well-being. Hubungan yang positif tersebut menandakan bahwa

semakin tinggi optimisme pada diri individu maka akan semakin tinggi pula

subjective well-beingnya, begitu pula sebaliknya semakin rendah optimisme pada

diri individu maka semakin rendah pula subjective well-beingnya.

Selain optimisme, menurut Compton & Hoffman (2013) self esteem atau

harga diri juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi subjective

well-being. Guindon (2010) mendefinisikan self esteem atau harga diri sebagai

suatu sikap, kompenen evaluatif diri, dan penilaian afektif terhadap konsep diri

yang kemudian akan diproses sebagai konsekuensi kesadaran atas kemampuan

dan umpan balik dari dunia luar. Self esteem atau harga diri mempengaruhi

motivasi, perilaku fungsional, kepuasan hidup, dan secara signifikan akan

mempengaruhi well-being atau kesejahteraan dalam hidup seseorang (Guindon,

2010)

Self esteem mencakup kepercayaan mengenai kemampuan individu untuk

dapat berfikir dan mengatasi tantangan di kehidupan, serta kepercayaan diri yang
digunakan untuk mendapatkan kebahagiaan, merasa berguna, dan berjasa bagi

orang lain di lingkungananya (Branden, 1992). Baron, Bryne, Branscombe

(Sarwono & Meinarno, 2012) menyatakan jika self esteem atau harga diri

menunjukan keseluruhan sikap sesorang terhadap dirinya sendiri, baik itu

penilaian yang positif maupun negatif. Jika individu mempunyai penilaian yang

postif terhadap dirinya, maka ia akan menjadi percaya diri dalam mengerjakan

hal-hal yang ia kerjakan dan akan memperoleh hasil yang positif pula. Sebaliknya,

individu yang menilai dirinya secara negatif akan menjadi tidak percaya diri saat

mengerjakan sesuatu dan hasil yang didapatkan juga tidak menggembirakan

(Sarwono & Meinarno, 2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Arif (2014) dengan judul

penelitian “Hubungan Antara Self Esteem Dengan Subjective Well-being Pada

Guru TK yang Gajinya Dibawah UMR” menunjukan jika terdapat hubungan

positif antara self esteem dengan subjective well-being. Artinya semakin tinggi self

esteem yang dimiliki individu maka akan semakin tinggi pula subjective well-

beingnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Pratiwi (2016) dengan judul

penelitian “Hubungan Antara Self Esteem dengan Subjective Well-being Pada

Siswa SMK” juga menunjukan hasil jika self esteem memberikan kontribusi yang

signifikan terhadap subjective well-being. Self esteem yang tinggi dapat membuat

individu memiliki beberapa kelebihan, salah satunya yaitu pemahaman mengenai

arti serta nilai dalam kehidupan (Aulia, 2020).

Berdasarakan uraian peemasalahan diatas penulis tertarik untuk mengkaji

lebih dalam melalui penelitian yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA


OPTIMISME DAN SELF ESTEEM DENGAN SUBJECTIVE WELL-BEING

PADA GURU HONORER DI KOTA JEPARA”.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

secara empiris hubungan antara optimisme dan self esteem dengan subjective well-

being pada guru honorer di kota Jepara.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan manfaat

secara teoritis yaitu memberikan kontribusi bagi perkembangan khasanah

ilmu psikologi yang berhubungan dengan hubungan optimisme dan self

esteem dengan subjective well-being.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi guru honorer

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menjadi masukan bagi

mereka agar tetap dapat membangun optimisme dan self esteem pada

dirinya sehingga tercapai subjective well-being yang lebih baik sehingga

dapat terhindar dari hal-hal yang negatif.

b. Bagi peneliti

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi peneliti

selanjutnya dalam mengkaji bidang yang sama guna menyempurnakan

hasil penelitian ini.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Subjective Well-being

1. Pengertian Subjective Well-being

Diener, Oishi, Lucas (2003) mendefinisikan subjective well-being

sebagai analisis ilmiah tentang bagaimana individu dalam menilai hidupnya,

baik pada saat ini maupun waktu yang lebih lama. Evaluasi tersebut meliputi

reaksi emosional individu terhadap peristiwa, suasana hati, dan penilaian

individu yang membentuk tentang kepuasan hidup, pemenuhan, dan kepuasan

terhadap perkawinan serta kepuasan bekerja. James E. Maddux (2017)

mendefinisikan subjective well-being sebagai konstruksi psikologis yang

tidak berkaitan dengan apa yang dimiliki pada seseorang atau apa yang terjadi

pada kehidupan seseorang, tetapi berkaitan dengan bagaimana mereka

berfikir serta merasakan tentang apa yang mereka miliki dan apa yang terjadi

pada mereka.

Compton (2005) mendefinisikan subjective well-being sebagai

proses kognitif seseorang yang terkait dengan penilaian global terhadap

bagaimana idividu tersebut dapat menerima kehidupnya. Carr (2004)

mendefinisikan subjective well-being merupakan keadaan psikologis positif

yang ditandai dengan tingginya tingkat emosi yang postif, tingkat kepuasan

hidup yang tinggi, dan tingkat emosi negatif yang rendah.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas subjektive well-being

merupakan keadaan psikologis dimana seseorang atau individu dapat


menerima kehidupannya, baik saat ini maupun pada waktu yang lebih lama

yang ditandai dengan tingginya efek atau emosi positif yang dirasakan oleh

individu tersebut.

2. Teori Subjective Well-Being

Menurut Compton & Hoffman (2013), terdapat dua pendekatan pada teori

subjective well-being yaitu:

a. Bottom Up Theory

Dalam teori ini menjelaskan jika kebahagian seseorang dapat

didapatkan dari mengakumulasikan kebahagian-kabahagiaan kecil atau

sederhana dan peristiwa-peristiwa bahagia lainnya. Teori ini

menganjurkan kita untuk membuat penilaian yang menyeluruh tentang

apa saja yang dapat membuat kita bahagia dan memeriksa seberapa

puas kita dengan kehidupan yang sedang dijalani dan kemudian

menggabungkan kepuasan hidup tersebut menjadi sebuah

kesejahteraan.

b. Top-Down Theory

Teori Top-down berasumsi jika kesejahteraan subjektif merupakan

kececenderungan pada diri seseorang untuk menilai dan menafsirkan

pengalaman atau peristiwa yang terjadi dikehidupannya dengan sudut

pandang yang positif. Tidak jarang dalam pendekatan teori ini diukur

dengan melihat karakteristik kepribadian, sikap, dan kognisi pada

dalam diri seseorang. Dalam teori ini juga beranggapan untuk


meningkatkan kesejahteraan subjektif maka harus berfokus dalam

mengubah keyakinan, persepsi, serta kepribadian seseorang.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Subjective Well-Being

Compton & Hoffman (2013) mengungkapkan faktor-faktor yang

mempengaruhi subjective well-being antara lain:

a. Kognitif

Teori kognitif yang membahas tentang subjective well-being

menyatakan jika penyebab dari tingginya subjective well-being

pada diri individu tidak selalu berasal dari peristiwa eksternal yang

terjadi dalam kehidupannya, tetapi lebih kepada bagaimana

individu tersebut menafsirkan peristiwa-peristiwa yang terjadi

dihidupannya. Para ahli teori yang mendukung model kognitif

juga berpendapat jika orang-orang akan merasa lebih bahagia dan

merasa lebih puas dengan kehidupannya akan memilih untuk

melihat dunia serta masa depan mereka dengan cara yang positif.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Robinson & Kirkeby

(Compton & Hoffman, 2013) yang mengartikan jika kebahagiaan

merupakan sistem kepercayaan yang didasarkan pada asusmsi,

harapan, atau interpretasi realitas. Pola interpretasi yang positif

dan konsisten menciptakan cara yang relatif stabil untuk

berhubungan dengan dunia. Penelitian yang dilakukan oleh

Seidlitz & Diener (Compton & Hoffman, 2013) mendukung


konsep jika apa yang kita rasakan sering ditentukan oleh

bagaimana kita berpikir dan menafsirkan peristiwa yang terjadi

dikehidupan kita. Penelitian tersebut juga menunjukan jika orang

yang lebih bahagia akan mengkodekan peristiwa yang terjadi

dihidupnya dengan lebih positif. Artinya dengan memiliki suasana

hati yang lebih positf akan membawa individu untuk menafsirkan

peristiwa dalam cara positif yang kemudian akan dikodekan

sebagai positif memori. Sehingga, ketika diminta untuk mengingat

berbagai peristiwa, orang dengan subjective well-being yang

tinggi akan menceritakan kenangan yang positif.

b. Self Esteem

Campbell (Compton & Hoffman, 2013) mengatakan jika Self

esteem atau harga diri merupakan prediktor yang paling penting

dari subjective well-being. Baumeister et al (Compton &

Hoffman, 2013) dalam kajian terbarunya juga menegaskan bahwa

harga diri yang tinggi memang mengarah dalam meningkatkan

subjecive well-being. Seseorang dengan harga diri atau self esteem

yang rendah akan sulit merasa senang ataupun puas dengan

kehidupannya. Robinson & Compton (Compton & Hoffman,

2013) menyatakan jika harga diri yang positif lebih berguna untuk

melawan emosi yang negatif daripada untuk mempromosikan

kebahagiaan.
c. Optimisme dan Harapan

Carver et al. (Compton & Hoffman, 2013) menyatakan jika

umumnya individu yang optimis dan penuh harapan akan lebih

bahagia dan memiliki kepuasan hidup yang lebih besar. Carver,

Scheier, & Sagerstrom (Compton & Hoffman, 2013) mengaktakan

jika dibandingkan dengan indivu yang pesimis, individu yang

optimis akan memiliki perilaku coping yang lebih efektif,

memiliki kesehatan fisik yang lebih baik dan memiliki hubungan

sosial yang lebih baik dengan orang lain. Carver et al. (Compton

& Hoffman, 2013) menambahkan jika Individu yang optimis juga

akan memiliki kepercayaan diri dan ketekunan yang lebih besar

ketika menghadapi tantangan. Para peneliti menyarankan jika

elemen kunci dari optimisme adalah adanya harapan positif, oleh

karena itu dampak optimisme pada kesejahteraan atau subjekive

well-being sangat jelas terutama saat individu sedang menghadapi

kesulitan atau tantangan dalam hidupnya (Compton & Hoffman,

2013).

d. Sense of Control dan Self-efficacy

Thompson (Compton & Hoffman, 2013) menyatakan Sense of

control mengacu pada keyakinan bahwa seorang individu

memiliki sarana untuk memperoleh hal-hal yang diinginkan dan

dapat menghindari hal-hal yang tidak dapat diinginkan. Beberapa

peneliti juga berspekulasi jika sense of control merupakan motif


utama yang mendorong motif lainnya masuk dalam hidup. Rotter

(Compton & Hoffman, 2013) menyatakan jika pada penelitian

terdahulu menunjukan prediktor khusus ini diukur sebagai locus of

control. Seseorang dengan locus of control internal yang kuat

cenderung akan menghubungkan atau mengaitkan hasil dengan

usaha yang sudah diarahkannya sendiri. Selanjutnya self-efficacy

atau efikasi diri adalah konsep dengan asosiasi yang kuat untuk

mengontrol atau mengendalikan diri (Compton & Hoffman, 2013).

Menurut Bandura (Compton & Hoffman, 2013) self-efficacy

melibatkan keyakinan pada kapasitas seseorang dalam mencapai

hasil yang diinginkan melalu tindakan. Maddux (Compton &

Hoffman, 2013) menjelaskan jika efikasi diri sangat mirip dengan

rasa kontrol, harapan, dan optimisme.

e. Makna hidup

Menurut Park dan Steger (Compton & Hoffman, 2013) memiliki

makna serta tujuan hidup merupakan prediktor penting dalam

subjective well-being. Selain itu makna hidup juga merupakan

kompenen yang sangat penting dari tahap setiap kehidupan

(Steger, Oishi & Kashdan dalam Compton & Hoffman, 2013).

Menurut King (Compton & Hoffman, 2013) makna hidupan dan

subjective well-being memiliki hubungan yang timbal balik.

Apabila seseorang dalam hidupnya memiliki makna hidup yang

tinggi maka akan meningkatkan kesejahteraan dan akan merasakan


emosi yang lebih positif sehingga akan mendorong individu

tersebut untuk menyadari bahwa hidup mereka bermakna.

f. Hubungan positif dengan orang lain

Diener dan Myers (Compton & Hoffman, 2013) mengatakan jika

memiliki hubungan positif dengan orang lain juga merupakan

prediktor yang kuat dan penting dari subjective well-being.

Hubungan sosial yang mendukung berkaitan dengan

meningkatnya harga diri, keberhasialan dalam coping, kesehatan

fisik yang lebih baik, serta lebih sedikit masalah psikologis.

Artinya ketika seorang individu memiliki dukungan sosial atau

hubungan sosial yang baik maka ada efek yang ditingkatkan padaa

kesejahteraan subjektif, seperti harga diri yang positif, optimisme,

dan kontrol diri yang dirasakan (Compton & Hoffman, 2013).

g. Sifat Kepribadian

1) Extraversi

Individu yang ekstravert akan tertarik dengan hal-hal yang ada

diluar diri mereka, seperti fisik dan lingkungan sosial.

Sebaliknya, individu yang introvert lebih tertarik dengan

pikiran dan perasaan diri merka sendiri dan kurang tertarik

pada situasi sosial (Compton & Hoffman, 2013). Diener

(Compton & Hoffman, 2013) mengatakan sudah banyak

penelitian yang menunjukan hasil jika ekstraversi menjadi

prediktor utama dalam hal kesejahteraan subjektif. Salah


satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Okun, Stock,

Haring dan Witter (1984) yang mendapatkan hasil jika jumlah

teman berkaitan dengan kesejahteraan subjektif, sehingga

apabila seseorang memiliki lebih banyak teman maka semakin

tinggi kesejahteraannya (Compton & Hoffman, 2013). Para

psikolog juga percaya jika indivudu yang ekstravert memiliki

lebih banyak peluang untuk memiliki hubungan yang positif

dengan orang lain dan mendapatkan umpan balik yang positif

tentang diri mereka sendiri (Compton & Hoffman, 2013).

2) Agreeableness dan Conscientiousness

Agreeableness dan conscietiousness juga berkaitan dengan

kesejahteraan subjektif. Agreeableness mengacu pada

kejujuran, kepercayaan, kesederhanaan, compliant (berlawanan

dengan oposisi), berhati lembut dan altruistik. Sedangkan

individu dengan conscietiousness yang tinggi cenderung tertib,

disiplin, berorientasi pada pencapaian, patuh, dan kompeten

(Compton & Hoffman, 2013).

3) Neuroticism

Laren dan Prizmic (Compton & Hoffman, 2013) mengatkan

jika beberapa peneliti berpendapat cara yang efektif untuk

menigkatkan kebahagian dan kepuasan dalam hidup adalah

dengan fokus menghilangkan neurotisme. Menurut

Schimmack dkk (Compton & Hoffman, 2013) salah satu aspek


dari neurotisme yang paling penting untuk kesejahteraan

subjektif adalah depresi. Sementara tingkat kecemasan,

kemarahan, dan kesadaran diri yang rendah penting untuk

kesehatan mental, dampak terbesar berasal dari tidak adanya

depresi.

h. Uang, Penghasilan dan Kekayaan

Myers (Compton & Hoffman, 2013) mengatakan jika asumsi

bahwa uang membawa kebahagiaan dan kepuasan adalah salah

satu hal yang paling sering didengar dari banyak orang. Uang atau

pendapatan merupakan salah satu faktor yang penting untuk

kesejahteraan subjektif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Van Boven & Gilovich (Compton & Hoffman, 2013)

mendapatkan hasil jika penggunaan uang yang digunakan untuk

bersama keluarga atau teman terdekat lebih memiliki kaitan

dengan subjective well-being dibandingkan jika digunakan untuk

membeli barang. Jadi uang dapat diasosiasikan dengan subjective

well-being jika digunakan untuk membina hubungan dengan

keluarga dan teman, untuk aktivitas yang dapat meningkatkan

pertumbuhan pribadi atau pengalaman baru serta untuk

kesenangan lainnya.

i. Jenis kelamin

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wood, Rhodes dan Welan

(1989) menyimpulkan jika wanita umumnya memiliki tingkat


kebahagian yang sedikit lebih tinggi daripada laki-laki. Namun,

beberapa penelitian terbaru menunjukan gambaran yang sangat

berbeda (Compton & Hoffman, 2013). Stevenson dan Wolfers

(Compton & Hoffman, 2013) mengatakan jika perempuan lebih

bahagia daripada laki-laki sebelum sekitar tahun 1985 dan setara

dengan laki-laki dalam kebahagiaan sekitar tahun 1989, namun

sekarang dilaporkan jika perempuan memiliki tingkat kebahagiaan

yang lebih rendah daripada laki-laki. Menurut Reid, Tkach dan

Lyubomirsky (Compton & Hoffman, 2013) perempuan umumnya

meningkatkan kesejahteraan mereka melalui harga diri yang

positif, meningkatkan keharmonisan dan kedekatan yang lebih

besar dalam hubungan mereka, menggunakan waktu luang pasif,

dan agama, sedangkan laki-laki meningkatkan kesejahteraan

mereka dengan menggunakan waktu luang yang aktif, harga diri

yang positif, serta kontrol mental yang lebih besar.

j. Usia

Bayak penelitian yang menemukan jika orang lebih tua cenderung

lebih puas dengan kebahagiaanya daripada mereka yang lebih

muda (Diener & Suh, 2000; Yang, 2008 dalam Compton &

Hoffman, 2013). Namun, beberapa peneliti juga menemukan jika

orang tua memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi daripada

orang yang lebih muda tetapi kebahagiaanya menurun diusia tua.

Orang yang lebih tua akan relatif bahagia dan puas jika mereka
dapat mempertahankan kesehatannya dengan baik (Compton &

Hoffman, 2013). Gerstorf dkk (Compton & Hoffman, 2013)

menyatakan jika subjective well-being lebih tinggi saat usia tua

tetapi sedikit demi sedikit akan mulai menurun sekitar empat

tahun sebelum kematiannya.

Adapun faktor lain yang dapat mempengaruhi subjektive well-being

menurut Diener, Argyle & Myers (W. Compton, 2005), faktor-faktor tersebut

yaitu:

a. Optimisme

Individu dengan pemikiran yang optimis akan merasa lebih

bahagia dan lebih puas dengan hidup mereka. Pemikira tersebut

membantu individu dalam menjalani kehidupan, penerimaan

terhadap perubahan, serta memecahkan masalah. Selain itu

optimisme juga dapat menjadi salah satu strategi coping stress

ketika individu sedang mengalami stress.

b. Self Esteem

Self esteem merupakan salah satu prediktor yang paling penting

dari subjekctive well-being. self esteem yang positif berkaitan

dengan keberfungsian yang adaptif disemua bidang kehidupan.

Self esteem positif yang tinggi akan menyebabkan seorang

individu memilii kontrol yang baik dalam mendalikan rasa marah

serta mempunyai relasi yang baik dengan orang lain. Self esteem
yang tinggi juga akan membuat individu merasa lebih bermakna

dan berharga.

c. Sense of Percived Control

Kontrol pribadi adalah keyakinan bahwa seorang individu dapat

mengendalikan atau bertindak dengan cara memaksimalkan hasil

yang baik dan meminimalkan hasil yang buruk. Tanpa rasa kontrol

ini individu mungkin akan gagal untuk memahami bahwa dia

memiliki pilihan dan bahkan mungkin menjadi putus asa serta

tidak berdaya.

d. Extroversion

Individu yang ektrovert atau mudah bergaul akan memiliki lebih

banyak kesempatan untuk membangan hubungan atau relasi yang

baik dengan orang lain sekaligus mereka akan mendapatkan timbal

balik dari orang lain juga, hal tersebut akan meningkatkan dan

mewujudkan kondisi well-being yang lebih tinggi. Extroversion

juga menjadi salah satu prediktor terpenting dari subjective well-

being.

e. Positive Relationtship

Individu dengan hubungan sosial yang positif dikaitkan dengan

peningkatan harga diri, keberhasilan coping, peningkatan

kesehatan fisik, dan menurunnya masalah kesehatan mental.

f. A sense of meaning and purpose to life


Dalam subjective well-being, aspek ini diukur sebagai religiusitas.

Dalam hal ini Agama memberikan perasaan bermakna bagi

individu di samping juga dukungan sosial dan meningkatkan self

esteem melalui proses verifikasi diri ketika individu berhubungan

dengan individu lain untuk berbagi cerita.

Berdasarkan uraian pendapat ahli di atas, dapat diperoleh kesimpulan

bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being menurut

Compton & Hoffman (2013) adalah harga diri, kognitif, optimisme dan

harapan, memiliki kendali pribadi dan efikasi diri, makna hidup, hubungan

positif dengan orang lain, sifat kepribadian (exstraversi, agreeableness dan

conscientiousness sertaneuroticis), jenis kelamin dan usia. Sedangkan

menurut Diener, Argyle & Myers (W. Compton, 2005) adalah optimisme,

positive relationtship, self esteem, sense of percived control, ekatraversion, a

sense of meaning and purpose to life. Adapun faktor yang dipilih dalam

penelitian ini adalah faktor yang dikemukakan oleh Compton & Hoffman

(2013) yakni optimisme dan self esteem atau harga diri.

4. Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Perilaku Subjective Well-Being

Diener (2009) membagi aspek-aspek subjective well-being menjadi dua,

yaitu:

A. Aspek kognitif (Kepuasan Hidup)

Aspek kognitif berkaitan dengan bagaimana seorang individu berfikir dan

tentang kehidupan mereka dan kepuasan hidup secara menyeluruh. Aspek

kognitif mengacu pada bagaimana individu memberikan penilaian


terhadap kehidupan mereka secara general atau global dan domain

tertentu. Penilaian secara global akan memberikan menilai hidupnya

secara menyeluruh sedangkan domain tertentu akan menilai diberbagai

bidang kehidupan seperti kepuasan kerja, kepuasan pernikahan, kesehatan

mental dan fisik, keuangan, hubungan dengan lingkungan sosial atau

keluarga dan sebagainya.

B. Aspek afektif

Komponen afektif merupakan reaksi individu terhadap kejadian-kejadian

dalam hidup yang meliputi emosi (afek) yang menyenangkan atau postif

dan emosi (afek) yang tidak menyenangkan atau negatif.

a. Afek positif

Afek positif merupakan bagian dari subjective well-being yang

dialami oleh seorang individu sebagai reaksi yang muncul dari

dalam diri karena hidupnya dapat berjalan sesuai dengan yang

diinginkannya. Afek positif dapat terlihat dari emosi-emosi

spesifik seperti gembira, kuat, antusias, waspada, bangga,

bersemangat, penuh tekad, penuh perhatian, tertarik akan sesuatu

dan aktif.

b. Afek negatif

Afek negatif merupakan suasana hati dan emosi yang tidak

menyenangkan yang muncul sebagai reaksi negatif dari kejadian

yang dialami oleh individu dalam hidup mereka. Afek negatif

dapat terlihat dari emosi-emosi spesifik seperti sedih, kecewa,


merasa bersalah, takut, bermusuhan, marah, malu, gelisah, gugup,

dan khawatir.

Ryff & Keyes (2005) juga membagi aspek-aspek subjective well-being

menjadi enam, yaitu :

A. Self-acceptance (Penerimaan diri)

Penerimaan diri yang dimaksud adalah kemampuan yang dimiliki oleh

seorang individu untuk dapat menerima dirinya secara utuh, baik itu

dimasa kini maupun dimasa lalu. Individu yang memandang dirinya secara

positif akan lebih memahami serta menerima berbagai aspek baik dan

buruk dari dirinya. Sebaliknya, individu yang memberikan penilaian

negatif kepada diri sendiri akan merasa tidak puas dengan dirinya sendiri;

kecewa dengan apa yang telah terjadi dengan kehidupan dimasa lalu,

bermasalah dengan pribadi tertentu, dan ingin menjadi orang berbeda dari

dirinya atau tidak menerima diri apa adanya.

B. Positive relation with others (Hubungan positif dengan sesama)

Hubungan sosial yang positif tidak cukup menjadikan seseorang memiliki

kesejahteraan subjektif yang tinggi, tetapi seseorang dengan derajat

kesejahteraan subjektif yang tinggi memiliki ciri-ciri hubungan sosial yang

baik. Individu yang mempunyai hubungan yang positif memiliki empati,

kasih sayang, hubungan yang hangat dengan individu lain, dapat

dipercaya, serta dapat memahami dan menerima terhadap individu

disekitarnya. Sebaliknya, individu yang memiliki hubungan yang kurang

baik akan sulit untuk bersikap hangat, terbuka, dan peduli dengan orang
lain serta tidak mau berkompromi untuk terus mempertahankan

chubungan dengan orang lain.

C. Autonomy

Individu yang memiliki autonomi yang baik memiliki kemampuan untuk

dapat menentukan segala sesuatu secara mandiri dan dapat mengambil

keputusan tanpa tekanan atau campur tangan dari orang lain. Selain itu,

orang tersebut memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial,

dapat menyesuaikan tingkah laku dari dalam diri, serta dapat mengevaluasi

diri dengan standard personal. Sebaliknya, individu dengan autonomi yang

rendah akan selalu bergantung pada penilain orang lain saat membuat

keputusan serta merasa khawatir tentang penilaian yang diberikan oleh

orang lain.

D. Environmental mastery (Penguasaan lingkungan)

Individu dengan penguasaan lingkungan yang baik memiliki keyakinan

serta kompetensi dalam mengelola lingkungannya. Ia juga dapat

memanfaatkan peluang yang berada disekitarnya secara efektif serta

mampu memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan

kebutuhan dan nilai-nilai pribadinya. Sebaliknya, individu yang memiliki

penguasaan lingkuangan yang kurang baik akan mengalami kesulitan

dalam mengelola urusan sehari-hari, merasa tidak mampu mengubah atau

memperbaiki lingkungan di sekitarnya, tidak menyadari peluang yang ada

disekitarnya serta tidak memiliki rasa kontrol terhadap lingkungannya.

E. Purpose of life (Tujuan dalam hidup)


Individu yang memiliki tujuan dalam hidup akan memahami makna hidup

(baik dimasa lalu atau dimasa sekarang) serta dapat mengatasi

permasalahan yang ada dihidupnya. Sedangkan individu yang tidak

memiliki tujuan hidup maka individu tersebut tidak memiliki pandangan

atau keyakinan yang dapat memberikan makna dihidupnya.

F. Personal growth (Pertumbuhan pribadi)

Pribadi yang mampu berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang

mempunyai locus of control sebagai alat evaluasi, dimana seseorang tidak

melihat orang lain untuk mendapatkan persetujuan, tetapi mengevaluasi

diri dengan menggunakan standard pribadinya.

Berdasarkan uraian dari pendapat tokoh di atas dapat disimpulkan

bahwa aspek-aspek subjective well-being meliputi aspek kognitif (kepuasan

hidup), aspek afektif (afek positif dan afek negatif), self-acceptance

(penerimaan diri), positive relation with others (hubungan positif dengan

sesama), autonomy, environmental mastery (penguasaan lingkungan), purpose

of life (tujuan dalam hidup), dan personal growth (pertumbuhan pribadi).

Aspek-aspek subjective well-being yang dijadikan sebagai acuan dalam

pembuatan skala adalah aspek dari tokoh (Diener, 2009) yang terdiri dari

aspek kognitif (kepuasan hidup) dan aspek afektif (afek positif dan afek

negatif).
B. Optimisme

1. Pengertian Optimisme

Argyle, Myers, dan Diener (Compton, 2005) mendefinisikan

optimisme adalah keyakinan yang menjadikan individu lebih optimis

dengan masa depan, merasa lebih bahagia dan lebih puas dengan hidup.

Seligman (2006) mendefinisikan optimisme sebagai suatu keadan dimana

individu yakin jika peristiwa yang buruk atau kegagalan hanya bersifat

sementara dan tidak sert merta disebabkan oleh diri sendiri tetapi bisa

terjadi karena situasi, nasib, atau individu lain.

Goleman (2002) mendefiniskan optimisme sebagai suatu

harapan yang kuat jika segala sesuatu atau permasalahan dalam hidup

akan teratasi dengan baik. Selanjutnya, Ubaedy (2009) membagi

pengertian optisme menjadi dua. Pertama, optimisme merupakan suatu

doktrin hidup yang mengajarkan seseorang atau individu untuk percaya

akan kehidupan yang lebih baik. Kedua, optimisme adalah

kecenderungan batin seseorang untuk merencanakan suatu tindakan guna

mencapai hasil yang lebih baik.

Dari beberapa pengertian optimisme diatas, dapat disimpulkan

bahwa optimisme adalah keadaan dimana seorang individu selalu berfikir

postif dan memiliki keyakinan jika segala hal atau pemasalahan yang

terjadi dikehidupannya memiliki harapan baik.


2. Aspek-Aspek Optimisme

McGinnis (1995) mengemukakan beberapa aspek-aspek yang terdapat

pada optimisme, yaitu:

a. Mempunyai pengendalian dalam diri untuk mendorong perasaan

negatif yang menghampiri dan mengalihkannya pada hal yang lebih

positif.

b. Mempunyai keyakinan pada diri sendiri jika dirinya mampu dan bisa

dalam memecahkan masaah yang mucul dikehidupannya dengan

melakukan usaha penyelesaian.

c. Mempunyai pengendalian atas dirinya dimasa depan dan mempunyai

keyakinan yang positif tentang dirinya dimasa depan.

d. Merasa gembira bahkan ketika sedang berada pada posisi tidak bisa

merasa bahagia.

e. Mampu menerima perubahan-perubahan yang terjadi dihidupnya dan

memandangnya dengan postitif setiap kejadian serta mampu

menerimanya.

Seligman (2006) juga mendiskripsikan individu yang optimis dapat

dilihat dari aspek-aspek tertentu, yaitu:

a. Permanent (Menetap)

Individu-individu yang optimis akan berusaha untuk

melawan ketidakberdayaannya dan memiliki keinginan untuk dapat

mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Sedangkan individu-

individu yang pesimis akan mempercayai jika kejadian atau peristiwa-


peristiwa buruk yang terjadi dihidupnya akan terus berlangsung dan

menetap sehingga mempengaruhi kehidupannya.

Individu yang optimis maupun individu yang pesimis dapat

dilihat ketika mereka diminta untuk memikirkan hal-hal atau peristiwa

buruk yang terjadi dihidupnya. Ketika individu-individu tersebut

memikirkan hal yang buruk dengan kata-kata “kadang-kadang” serta

mengangap hal buruk tersebbut hanya sementara, maka individu

tersebut merupakan seorang yang optimis. Sebaliknya, ketika individu

memikirkan hal buruk dengan kata “selalu” maka individu tersebut

merukan seorang yang pesimis.

Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulan jika aspek

permanent dalam optimisme memiliki arti jika suatu peristiwa atau

kejadian yang baik memiliki penyebab yang bersifat menetap atau

permanent, sedangkan peristiwa atau kejadian yang buruk memiliki

penyebab yang bersifat sementara.

b. Pervasive (Meresap)

Aspek pervasive menjelaskan bagaimana suatu peristiwa atau

kejadian yang dialami oleh individu dapat mempengerahui situasi

yang berbeda dalam hidup, yang dibedakan menjadi spesifik dan

universal atau global. Individu yang optimis apabila dihadapkan

dengan suatu peristiwa yang buruk cenderung akan membuat

penjelasan yang spesifik terhadap peristiwa atau kejadian tersebut.

Sebaliknya, individu yang pesimis akan membuat penjelasan-


penjelasan secara menyeluruh atau secara universal ketika individu

tersebut dalam situasi yang buruk.

Semakin spesifik seorang individu mengetahui suatu

penyebab dari terjadinya suatu peristiwa, maka individu tersebut

merupakan individu yang optimis. Sedangkan individu yang pesimis

akan menyerah dan akan memberikan penjelasan-penjelasan secara

universal dan menggeneralisasikannya ketika mengalami suatu

peristiwa buruk atau ketika mengalami kegagalan.

c. Personalization (Kepribadian)

Aspek personalization atau personalisasi menjelaskan

bagaimana individu melihat darimana masalah berasal, apakah

masalah tersebut berasal dari dalam dirinya (internal) atau berasal dari

luar orang lain (eksternal). Ketika mengalami peristiwa atau hal yang

buruk, individu yang pesemis akan menganggap peristiwa atau hal

tersebut terjadi karena faktor dari dalam diri mereka sendiri.

Sedangkan Individu yang optimis jika dihadapkan dengan

peristiwa atau hal buruk akan memandang peristiwa tersebut

penyebabnya berasal dari luar atau bukan dari diri mereka, dan apabila

dihadapkan dengan peristiwa atau hal yang baik maka individu yang

optimis akan memandang hal tersebut berasal dari dalam dari diri

sendiri. Individu yang optimis juga biasanya membuat penghargaan

kepada diri sendiri atau self reward saat mereka berhasil dalam

melakukan sesuatu.
Berdasarkan uraian dari pendapat tokoh di atas dapat disimpulkan

bahwa aspek-aspek optimisme meliputi mempunyai pengendalian dalam

diri untuk mendorong perasaan negatif yang menghampiri dan

mengalihkannya pada hal yang lebih positif, mempunyai keyakinan pada

diri sendiri jika dirinya mampu dan bisa dalam memecahkan masaah yang

mucul dikehidupannya dengan melakukan usaha penyelesaian,

mempunyai pengendalian atas dirinya dimasa depan dan mempunyai

keyakinan yang positif tentang dirinya dimasa depan, merasa gembira

bahkan ketika sedang berada pada posisi tidak bisa merasa bahagia,

mampu menerima perubahan-perubahan yang terjadi dihidupnya dan

memandangnya dengan postitif setiap kejadian serta mampu

menerimanya, permanent (menetap), pervasive (meresap), dan

personalization (kepribadian).

Berdasarkan pernyataan diatas aspek-aspek perilaku optimisme

yang dijadikan sebagai acuan dalam pembuatan skala adalah aspek dari

tokoh Seligman (2006) yaitu terdiri dari permanent, pervasive dan

personalization.

C. Self Esteem

1. Pengertian Self Esteem

Mruk (2006) mendefinisikan self esteem sebagai rangkaian sikap

individu tentang bagaimana mereka berfikir terhadap diri sendiri

berasarkan perasaan keberhargaan dan kepuasan dirinya. Rosenberg

(Mruk, 2006) mendefinisikan self esteem sebagai sikap seseorang


berdasarkan bagaimana sesorang individu menghargai dan memberikan

evaluasi terhadap dirinya sendiri, baik itu postif atau negatif. Coopersmith

(Heatherton & Wyland, 2003) mendefiniskan self esteem sebagai penilaian

pribadi terhadap seberapa berharga dirinya dan diekspresikan dalam sikap

berpegang teguh dengan prinsip pribadi.

Sedangkan Stuart dan Sundeen (Suhron, 2017) mengatakan jika

self-esteem atau harga diri adalah penilaian individu terhadap

pencapaiaannya dengan menganalisa seberapa jauh perilaku yang

memenuhi ideal dirinya atau dapat juga diartikan bahwa self esteem

menggambarkan sejauhmana individu dapat memberikan evaluasi

terhadap dirinya sendiri sebagai orang yang memiliki kemampuan,

keberartian, berharga, dan kompeten. Santrock (Baron & Byrne, 2004)

juga mendefinisikan self esteem merupakan gambaran dimensi evaluatif

yang menyeluruh yang dibuat individu terhadap diri senidir baik positif

ataupun negatif.

Dari beberapa pengertian self esteem diatas, dapat disimpulkan

bahwa self esteem adalah suatu penilaian menyeluruh yang dilakukan

oleh individu terhadap dirinya sendiri baik itu berupa penilaian positif

atau negatif sehingga individu tersebut dapat lebih menghargai dirinya

sendiri.

2. Aspek-Aspek Self Esteem

Coopersmith (Suhron, 2017) menjelaskan jika self esteem memiliki

beberapa aspek, yaitu:


a. Perasaan Berharga (Power)

Perasaan berharga merupakan perasaan dimana individu merasa

dirinya berharga dan dapat menghargai orang lain, sehingga individu

tersebut cenderung mengontrol perilaku mereka terhadap dunia luar

serta dapat mengekspresikan diri mereka dengan baik dan menerima

kritikan dengan baik pula. Individu yang memiliki aspek ini biasanya

menunjukan sikap asertif.

b. Perasaan mampu (Competence)

Perasaan mampu adalah perasaan yang dimiliki individu ketika ia

merasa dapat mencapai hasil yang diharapkan. Mereka yang merasa

kompeten cenderung memiliki nilai dan sikap demokratis, serta arah

yang lebih realistis. Individu yang memiliki aspek ini biasanya tidak

berpikir bahwa mereka sempurna, mereka sadar akan batasan mereka

dan mencoba untuk mengubah diri mereka sendiri. Aspek ini juga

ditandai oleh individu yang mampu memenuhi dan melaksanakan

tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.

c. Perasaan Diterima (Significance)

Perasaan diterima merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika ia

dapat diterima sebagai dirinya sendiri oleh suatu kelompok. Aspek ini

ditandai dengan adanya kepedulian atau perhatian yang diterima

individu dari lingkungannya atau dari orang lain. Ketika seseorang

berada pada suatu kelompok dan diperlakukan sebagai bagian dari

kelompok tersebut, maka ia akan merasa dirinya diterima serta


dihargai oleh anggota kelompok itu yang akhirnya membentuk harga

diri yang positif.

d. Kebijakan (Virtue)

Kebijakan atau virtue merupakan ketaatan individu terhadap aturan

yang ada serta tidak menyimpang norma, kode etik, ataupun prinsip-

prinsip agama yang berlaku. Individu yang patuh akan menunjukan

sikap diri yang positif sehingga perasaan bangga dan berharga akan

muncul dari diri sendiri.

Sedangkan Tafarodi & Swann (2001) menggambarkan dua aspek yang

terkandung dalam self esteem, yaitu:

a. Self Competence

Self Competence merupakan peneilaian terhadap diri sendiri baik

secara postif maupun secara negatif terhadap pengalaman dan

kemampuan yang dimiliki oleh individu yang memiliki kaitain erat

dengan kekuatan untuk mencapai keberhasilan.

b. Self Liking

Self Liking merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri,

baik itu suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju dengan apa yang

dimilikinya dan mampu menerima dirinya sendiri.

Berdasarkan penjabaran aspek-aspek diatas, dapat disimpulkan jika

aspek self esteem atau harga diri terdiri atas perasaan berharga (power),
perasaan mampu (competence), perasaan diterima (significance), kebijakan

(virtue), self compenent dan self liking.

Aspek-aspek perilaku self esteem atau harga diri yang dijadikan

sebagai acuan dalam pembuatan skala adalah aspek dari tokoh

Coopersmith (Suhron, 2017) yaitu terdiri dari berharga (power), perasaan

mampu (competence), perasaan diterima (significance), kebijakan (virtue).

D. Hubungan antara optimisme dan self esteem dengan subjective well-


being

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 mendefinisikan guru

adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar.

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, serta mengevaluasi perserta

didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal (TK),

pendidikan dasar (SD), pendidikan menengah pertama (SMP), dan

pendidikan menengah atas/ kejuruan (SMA/SMK). Uno dan Lamatenngo

(2016) menjelaskan guru di Indonesia dibagi menjadi tiga tipe, yaitu guru

tetap, guru honorer, dan guru tidak tetap.

Kesejahteraan pada guru honorer merupakan salah satu masalah

yang terjadi dalam dunia pendidikan, baik mengenai statusnya yang belum

diangkat menjadi PNS atau mengenai gaji. Nugraha dkk (2022)

menyatakan permasalahan lain yang dihadapi guru honorer tidak hanya

kurang nya perhatian pemerintah dalam bidang ekonomi, namun ada

faktor lain seperti status sosial yang tidak jelas, dipandang sebelah mata

oleh rekan kerja, kurangnya kesempatan dalam mengembangkan


pengetahuan dan keterampilan, tidak diikut sertakan dalam pengambilan

keputusan atau kebijakan sekolah, jauhnya harapan akan potensi kenaikan

jabatan, mudah diberhentikan dari sekolah, kurangnya tingkat dukungan

atau pertolongan dari atasan, serta adanya beban kerja yang berat.

Setiap guru diharapkan memiliki subjective well-being yang tinggi.

Hal ini dikarenakan, apabila guru memiliki subjective well-being yang

rendah maka akan menimbulkan afek negatif (Alfiyani, 2017). Seperti

contoh kasus dimana guru honorer melakukan tindakan bunuh diri karena

merasa depresi tidak lulus dalam seleksi CPNS. Tindakan yang dilakukan

oleh guru honorer tersebut merupakan salah satu afek negatif yang timbul

disebabkan rendahnya subjective well-being. Afek negatif tersebut dapat

berkurang jika guru honorer memiliki subjective well-being yang tinggi.

Subjective well-being mengacu kepada psikologi positif dan hidup

yang lebih baik, atau juga disebut dengan kebahagiaan. Subjective well-

being juga mengacu pada evaluasi orang-orang tentang kehidupan mereka,

yakni evaluasi yang bersifat afektif dan kognitif (Diener, 2000). Individu

dapat dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi apabila telah

merasa puas dengan kondisi hidupnya saat ini, sering merasakan emosi

positif dan jarang merasakan emosi negatif (Balkis & Masykur, 2017).

Kebahagiaan dan kepuasan hidup yang ditunjukkan melalui subjective

well-being ini memiliki variabel lain yang berkaitan, yakni salah satunya

optimisme.
Bastianello, Pacico, dan Hutz (2014) menyatakan bahwa

optimisme merupakan trait kepribadian yang stabil dan berkaitan dengan

ekspektasi yang positif terhadap hasil di masa depan. Harapan untuk hasil

yang positif tidak hanya meningkatkan mood tetapi juga menyediakan

strategi koping yang lebih baik ketika mengalami stress akibat beban kerja

yang berat (Djamilah, 2005). Guru honorer diharapkan memiliki

pemikiran yang optimis terhadap masa depannya agar tetap dapat

menjalankan tanggung jawabnya sebagai guru dan terhindar dari dampak

atau afek negatif seperti stress yang dapat berpengaruh pada kesejahteraan

subjektif mereka (Alfiyani, 2017).

Penelitian yang dilakukan oleh Nursanti & Nuzila (2012) dengan

judul “Hubungan Optimisme dengan Subjective Well-being Pada

Karyawan Outsourcing PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Cilacap”

menunjukan adanya hubungan positif yang signifikan antara optimisme

dengan subjective well-being. Penelitian lain yang dilakukan oleh

Ferguson & Goodwin (2010) dengan judul penelitian “Optimism and

Well-Being in Older Adults : The Mediating Role of Social Support and

Perceived Control” juga menunjukan hasil jika terdapat hubungan positif

antara optimisme dan subjective well-being.

Kemudian, tingkat subjective well-being atau kesejahteraan

subjektif juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, salah satunya yaitu

harga diri atau self esteem. Guru honorer yang memiliki subjective well-

being yang rendah akan memandang dirinya rendah dan menganggap


peristiwa yang terjadi merupakan hal yang tidak menyenangkan sehingga

menimbulkan emosi yang tidak menyenangkan seperti marah, cemas atau

depresi (Wangi & Annisa, 2015). Padahal dalam konteks sekolah, guru

perlu memenuhi kebutuhan akan pengakuan mengenai pekerjaan, prestasi,

kompetensi dan pencapaian lainnya yang dimana hal ini juga berkaitan

erat dengan self-esteem atau harga diri (Silitonga, 2019).

Self-esteem adalah penilaian terhadap diri sendiri yang dibuat

individu dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain dalam

menjadi pembanding (Gerald, 2010). Alwali (2013) berpendapat bahwa

individu yang memiliki self-esteem yang tinggi akan memahami hal-hal

yang berkaitan dengan arti dan nilai hidup. Hal itu merupakan pedoman

yang berharga dalam hubungan interpersonal dan merupakan hasil alamiah

dari pertumbuhan seseorang yang sehat. Dengan self-esteem yang tinggi,

guru akan merasa bangga dengan profesinya dan kinerjanya meningkat

(Nuraini, 2018).

Penelitian yang dilakukan oleh Utami & Budiman (2015) dengan

judul penelitian “Hubungan Antara Self-Esteem dengan Subjective Well-

Being Pada Wanita Bandung” menunjukan adanya hubungan positif yang

erat antara self-esteem dengan subjective well-being. Penelitian lainnya

yang dilakukan oleh Aulia (2020) dengan judul “Self-Esteem Terhadap

Subjective Well-Being Pada Buruh Sopir Pengangkut Peti Kemas” juga

menunjukan adanya hubungan postig antara self-esteem dengan subjective

well-being.
E. Hipotesis

Dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai jawaban sementara

terhadap permasalahan yang telah dikemukakan diatas. Adapun hipotesis

yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Hipotesis mayor

Ada hubungan antara optimisme dan self esteem dengan subjective

well-being pada guru honorer di kota Jepara.

2. Hipotesis minor

a. Ada hubungan positif optimisme dengan subjective well-being

pada guru honorer di kota Jepara. Artinya semakin tinggi

optimisme pada guru honorer maka semakin tinggi pula

subjective well-being-nya dan sebaliknya, semakin rendah

optimisme pada guru honorer maka semakin rendah pula

subjective well-being-nya.

b. Ada hubungan positif self esteem dengan subjective well-being

pada guru honorer di kota Jepara. Artinya semakin tinggi self

esteem pada guru honorer maka semakin tinggi pula subjective

well-being-nya dan sebaliknya, semakin rendah self esteem pada

guru honorer maka semakin rendah pula subjective well-being-

nya.
DAFTAR PUSTAKA

Aco, H. (2017). Tidak Lulus Tes CPNS, Guru Honorer Bunuh Diri Terjun dari
AtasApartemen.https://www.tribunnews.com/metropolitan/2017/10/13/tidak-
lulus-tes-cpns-guru-honorer-bunuh-diri-terjun-dari-atas-apartemen.
Alfiyani. (2017). Hubungan Optimisme dengan Subjective Well-Being Pada Guru
Honorer Sekolah Dasar Negeri di Jakarta Utara. Jakarta: Universitas Negeri
Jakarta.
Arfa, R. K. D., L.F.J, K., & Herdy, M. (2013). Perbandingan Kejadian dan
Tingkat Depresi Guru Honorer di Sekolah Dasar Negeri Pada Empat
Kecamatan Di Kota Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara. Manado.
Universitas Sam Ratulangi.
Arif, M. C. (2014). Hubungan Antara Self Esteem dengan Subjective Well Being
Pada Guru TK yang Gajinya Dibawah UMR. Doctoral Dissertatuon: Untag
Surabaya
Aulia, W. F. (2020). Self Esteem Terhadap Subjective Well Being Pada Buruh
Sopir Pengangkut Peti Kemas. Jurnal Ilmiah Psyche, 14(2), 103–114.
Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
Balkis, A. S., & Masykur, A. M. (2017). Memahami Subjective Well-Being Guru
Honorer Sekolah Dasar Negeri (Sebuah Studi Kualitatif Fenomenologis).
Jurnal Empati, 5(2): 223-228.
Bastianello, M. R., Pacico, J. C., & Hutz, C. S. (2014). Optimism, Self-Esteem
And Personality: Adaptation And Validation of The Brazilian Version of The
Revised Life Orientation Test (Lot-R). Journal of Psyco-USF, 19(3), 523-531.
Branden, N. (1992). The Power of Self-Esteem, An Inspiring Look At Our Most
Important Psychological Resource. Florida: Health Communications, Inc.
Carr, A. (2004). Positive Psychology; The Science of Happiness and Human
Strengs. New York: Brunner Routledge.
Compton, W. (2005). An Introduction to Positive Psychology.Belmont: Thomson
Learning.

Compton, W. C., & Hoffman, E. (2013). Positive Psychology: The Science of


Happiness and Flourishing (2rd ed). USA: Wadsworth.

David, D., Montgomery, G. H., & Bovbjerg, D. H. (2006). Relations between


coping responses and optimism-pessimism in predicting anticipatory
psychological distress in surgical breast cancer patients. Personality and
Individual Differences, 40(2), 203–213.

Djamilah, S. (2005). Analisa Pengaruh Strategi Coping Stres Kerja Pada Strain
Fisik Dan Psikis (Studi Kasus Di Rumah Sakit Umum Di Yogyakarta).
Equilibrium: Jurnal Ekonomi-Manajemen-Akuntansi, 3(7): 55-70.

Diener, E. (2009). The Science of Well-Being The Collected Works of Ed Diener.


New York: Springer.
Diener, E. (2000). Subjective Well-Being: The Science of Happiness and a
Proposal for a National Index. American psychologist, 55(1).
Diener, Ed, Oishi, S., & Lucas, R. E. (2003). Personality, Culture, and Subjective
Well-being: Emotional and Cognitive Evaluations of Life. Annual Review of
Psychology, 54, 403–425.
Faruk. (2021). Diduga Depresi Tak Lulus Tes PPPK, Guru Honorer di Lombok
Tewas Gantung Diri. Detik.Com. https://news.detik.com/berita/d-
5771885/diduga-depresi-tak-lulus-tes-pppk-guru-honorer-di-lombok-tewas-
gantung-diri
Ferguson, S., & Goodwin, A. (2010). Optimism And Well-Being In Older Adults:
The Mediating Role of Social Support and Perceived Control. International
Journal of Aging and Human Development, 71(1), 43–68.
Ghufron, M., & Risnawati, R. (2010). Teori - Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media.
Goleman, D. (2005). Kecerdasan Emosional Untuk Mencapai Puncak Prestasi.
Jakarta: Gramedia Pustaka.
Gomes, S. A. (2021). Hubungan antara Optimisme dengan Subjective Well-Being
pada Karyawan. Character: Jurnal Penelitian Psikologi, 8(4), 1–13.
Guindon, M. H. (2010). Self-Esteem Across The Lifespan: Issues and
Interventions. New York: Taylor & Francis Group.
Gunawan, L., & Hendriani, W. (2019). Psychological Well-being pada Guru
Honorer di Indonesia: A Literature Review. Psikoislamedia, 4(1), 105–113.
Heatherton, T. F., & Wyland, C. L. (2003). Positive psychological assessment: A
handbook of models and measures. Washington: American Psychological
Association.
Maddux, J. E. (2017). Subjective well-being and life satisfaction: An introduction
to conceptions, theories, and measures. Routledge
McGinnis, A. L. (1995). Kekuatan Optimisme. Jakarta: Mitra Utama.
Murdri, M. W. (2010). Kompetensi dan Peranan Guru dalam Pembelajaran.
Falasifa, 1 No.1, 111–124.
Mruk, C. J. (2006). Self-esteem Research, Theory, and Practice Toward a Positive
Psychology of Self-esteem 3rd Edition. New York: Springer Company
Myers, D. G., & Diener, E. (1995). Who Is Happy? Psychological Science, 6(1),
10–19.
Nufus, F. F., & Tatar, F. M. (2017). Hubungan Antara Optimisme Dengan
Kualitas Hidup Pada Pasien Kanker. Psikoislamedia : Jurnal Psikologi, 2(1),
65.
Nugraha, A. R., Setianingsih, E., Putri, F. W., Jaelani, W. R., & Vichaully, Y.
(2022). Problematika Guru Honorer dan Guru Nondik di Era Society 5.0.
Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(2).
Nursanti, H. D., & Nuzulia, S. (2008). Hubungan Optimisme dengan Subjective
Well-Being Pada Karyawan Outsourcing Pt Bank Rakyat Indonesia Cabang
Cilacap. Intuisi: Jurnal Psikologi Ilmiah, 4(2).
Pratiwi, T. S. D. (2016). Hubungan Antara Self Esteem Dengan Subjective Well
Being Pada Siswa SMK. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Purwito, S., Nurtjahjanti, H., & Ariati, J. (2017). Hubungan Antara Sujective
Well-Being dan Organizational Citizenship Behavior Pada Petugas
Customer Service Di Plaza Telkom Regional Division IV. Jurnal Psikologi
Universitas Diponegoro.
Ryff, C., & Keyes, C. (2005). The Ryff Scales of Psychological Well-Being.
Journal of Personality and Social Psychology, 69(4).
Santoso, W. B. (2020). Psychological well-being pada Guru Honorer Sekolah
Dasar di Kabupaten Gunung Kidul Provinsi Yogyakarta. Universitas Mercu
Buana Yogyakarta.
Sarwono, S. W., & Meinarno, E. A. (2012). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba
Humanika.
Seligman, M. E. P. (2006). Learned Optimism: How To Change Your Mind and
Your Life. New York: Pocket Books.
Silitonga, R. N. (2019). Hubungan Harga Diri dan Pendapatan dengan Subjective
Well Being Pada Guru SMA Negeri 1 Sunggal Deli Serdang. Medan:
Universitas Medan Area.
Srivastava, P. K., & Singh, A. P. (2015). Optimism, Self-Esteem and Subjective
Well-Being among Trainees under Sarva Shiksha Abhiyan. Indian Journal of
Positive Psychology, 6(4).
Suhron, M. (2017). Asuhan Keperawatan Jiwa Konsep Self Esteem. Jakarta: Mitra
Wacana Media.
Swandira Balkis, A., Mujab Masykur, A., & Soedarto Tembalang Semarang, J. S.
(2016). Memahami Subjective Well-Being Guru Honorer Sekolah Dasar
Negeri . 5(2), 223–228.
Tafarodi, R. W., & Swann, W. B. (2001). Two-dimensional self-esteem: Theory
and measurement. Personality and Individual Differences, 31(5), 653–673.
Ubaedy, A. (2009). Optimis Kunci Meraih Sukses. Jakarta: PT. Prespektif Media
Komunika.
Uno, H. B.,& Lamatengg, N (2016). Landasan. Pendidikan. Jakarta: PT Bumi
Aksara
Utami, B. S., & Budiman, A. (2015). Hubungan Antara Self-Esteem dengan
Subjective Well Being Pada Wanita Bandung. Prosiding Penelitian Sivitas
Akademika Unisba (Sosial Dan Humaniora), 382–388.
Wangi, E. N., & Annisaa, F. R. (2015). Subjective Well-Being pada Guru
Honorer di SMP Terbuka 27 Bandung. Seminar Psikologi Dan
Kemanusiaan, 94–98.

Anda mungkin juga menyukai