Anda di halaman 1dari 48

METODOLOGI PENELITIAN KUANTITATIF : SURVEY

HUBUNGAN ANTARA SELF ESTEEM DAN DUKUNGAN SOSIAL


KELUARGA DENGAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA MAHASISWA
BEKERJA UNIVERSITAS HANG TUAH

Dosen Pembimbing :

Nurul Sih Widanti, M.Psi., Psikolog

Disusun Oleh :

Khoifulloh Aprilianto

20190810065

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

2021-2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Mahasiswa dalam tahap perkembangannya digolongkan sebagai
remaja akhir dan dewasa awal. Menurut Monks (1998) remaja akhir
berada pada rentang usia 18-21 tahun, sedangkan Hurlock (1990)
menyatakan dewasa awal berada pada rentang usia 21-40 tahun. Pada usia
tersebut mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir kedewasa
awal (Gunawati, Hartati, & Listiara, 2006). Setiap tahapan perkembangan
memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi individu.
Apabila tugas perkembangan berhasil diselesaikan dengan baik, maka
akan tercapai kepuasan, kebahagian, dan penerimaan dari lingkungan.
Keberhasilan individu memenuhi tugas perkembangan akan menentukan
keberhasilan individu memenuhi tugas perkembangan pada fase
berikutnya. Salah satu tugas perkembangan remaja akhir adalah
mempersiapkan diri dan memilih pekerjaan untuk memulai karir
(Havighurst, 1973).
Menurut Kapuas (2012) masalah yang paling krusial yang sering
dialami oleh mahasiswa adalah masalah biaya. Beberapa mahasiswa
berusaha untuk meringankan beban orang tua dengan cara bekerja. Kuliah
sambil bekerja merupakan pilihan bagi beberapa mahasiswa tersebut agar
tetap mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Jajang (2008)
berpendapat bahwa kondisi perekonomian Indonesia yang cukup sulit bagi
sebagian lapisan masyarakat juga mendorong mahasiswa mencari solusi
masalah keuangan yang diatasi dengan bekerja.
Untuk menempuh pendidikan tinggi tidaklah mudah, seorang
mahasiswa harus memenuhi berbagai macam kebutuhan yang sangat
beragam mengakibatkan orang tua tidak mampu lagi menanggung
keseluruhan biaya untuk pendidikan tinggi (Lenaghan & Sengupta, 2007).
Hal tersebut membuat mahasiswa harus mencari cara untuk mencukupi
semua kebutuhannya, baik kebutuhan untuk pendidikan maupun
kebutuhan sehari-hari. Beberapa mahasiswa memutuskan untuk kuliah
sambil bekerja untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pekerjaan yang
diambil oleh mahasiswa pada umumnya merupakan tipe pekerjaan paruh
waktu (part-time job) (Wolbers, 2001). Fenomena mahasiswa yang juga
bekerja ini disebut fenomena peran ganda (Robert & Saar, 2012).
Fenomena ini disebut demikian karena seorang individu yang memang
memiliki dua peran yang berbeda dengan kewajiban yang berbeda pula,
dalam konteks ini adalah mahasiswa yang memiliki kewajiban menuntut
ilmu, tetapi juga bekerja dengan kewajiban menyelesaikan setiap
pekerjaan yang ada di tempat kerjanya.
Dadgar dalam Metriana & Lataruva (2014), juga mengemukakan
bukti lain bahwa mahasiswa yang tidak dapat menyeimbangkan kegiatan
bekerja dan kuliah menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
kecenderungan untuk dropout. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan
bekerja berpengaruh terhadap aktivitas perkuliahan mahasiswa itu sendiri.
Watanabe (2005) menyatakan bahwa terdapat dampak negatif yang
harus diwaspadai oleh mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Dampak-
dampak tersebut adalah kesulitan membagi waktu dan konsentrasi saat
kuliah dan bekerja, kelelahan, penurunan prestasi akademik, mengalami
keterlambatan kelulusan, dan akibat yang paling parah adalah dikeluarkan
dari universitas karena lebih mementingkan pekerjaan dari pada kuliah.
Purwanto (2013, hal. 36) mengatakan bahwa pekerjaan yang paling
banyak dilakukan oleh mahasiswa adalah pekerjaan paruh waktu. Hal ini
dikarenakan jadwal pekerjaan paruh waktu lebih fleksibel sehingga
mahasiswa masih mampu menyesuaikan jadwal kuliah dengan jadwal
bekerja. Banyak manfaat yang diperoleh dari kuliah sambil bekerja bagi
mahasiswa, dikutip dari Tumanggor (2017) beberapa manfaat tersebut
antara lain mahasiswa diajarkan untuk disiplin terhadap waktu. Mahasiswa
yang kuliah sambil bekerja dengan sendirinya akan belajar memanajemen
waktu. Kuliah sambil bekerja juga dapat melatih fokus, memperluas relasi
yang bermanfaat untuk kesuksesan di masa depan, menambah
pengalaman, serta mandiri dalam mengelola keuangan.
Dampak negatif yang dirasakan oleh mahasiswa bekerja antara satu
dan yang lainnya cenderung sama, berkaitan seputar kesulitan membagi
waktu yang pada akhirnya akan mempengaruhi indeks prestasi. Salah satu
penyebab dampak negatif yang paling dirasakan mahasiswa bekerja adalah
kelebihan beban peran (role overload). Menurut Yustrianthe (2008)
kelebihan beban peran akan terjadi jika seseorang mempunyai terlalu
banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di bawah tekanan waktu dan
jadwal yang sangat ketat, serta tidak sesuai dengan kemampuan. Selain
menjadi akademisi di kampus, mahasiswa juga dituntut agar mampu
memenuhi tanggung jawabnya ketika bekerja.
Fenomena mahasiswa yang memilih kuliah sambil bekerja
merupakan suatu fenomena umum yang banyak ditemukan pada
mahasiswa di kota Surabaya, terutama Mahasiswa Universitas Hang Tuah.
Berbagai alasan mendasari mahasiswa memilih untuk kuliah sambil
bekerja, salah satu alasan yang mendasari adalah untuk menambah
penghasilan agar dapat memenuhi kebutuhan ekonomi supaya tercapai
kesejahteraan hidup. Peneliti telah melakukan pra-survey terhadap tiga
responden yaitu BA, CC dan ANA. Dan berikut adalah hasil dari
wawwancara dengan responden.

“ya mau gimana lagi, antara bahagia dan tidak si sebenernya, karena
saya bekerja sambil kuliah ini atas dasar tuntutan orang tua si, kalo saya
ini lebih ke "bekerja disambi kuliah" bukan yang "kuliah disambi kerja"
jadi untuk bahagiain diri sendiri itu susah karena saya harus
membahagiakan orang lain dulu bukan untuk kebahagiaan saya
sendiri”( BA, 18 Oktober 2021)
“diawal aku bahagia karena satu sisi aku merasa lebih bisa dibanding
teman-temanku tapi setelah bekerja 5 bulan aku ngerasa kewalahan dan
susah istirahat dan juga hari libur ku serasa ga kayak hari libur jadi jujur
dibilang bahagia si engga makanya aku mutusin untuk resign minggu
depan karna takut makin kewalahan di smt 5 ini” (CC, 21 Oktober 2021)
“kurang merasa puas ya kak, soalnya harus banget ngatur waktu yang
super padet, harus bisa bagi waktu antara organisasi, kuliah, kerja.. ini
buat tugas kuliah jadi berantakaan, i mean berantakan kek ketumpuk
banyak banget, fokusnya terbagi, n anything else nya itu”(ANA, 25
Oktober 2021)
Berdasarkan hasil wawancara pra-survey terdapat permasalahan
yang dialami oleh mahasiswa Universitas Hang Tuah yang sedang bekerja
yaitu permasalahan mengenai kepuasan hidup mereka karena harus
membagi waktu antara kuliah dan kerja. Ada beberapa tugas yang
membuat mereka merasa kewalahan dalam menjalani profesi menjadi
mahasiswa sekaligus bekerja. Lalu ada juga yang terpaksa karena tuntutan
orang tua dan bekerja untuk membahagiakan orang lain daripada diri
sendiri.
Orang dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika
mengalami lebih banyak afeksi positif atau perasaan menyenangkan dan
puas akan kehidupannya yang dimiliki. Sebaliknya, orang yang memiliki
subjective well-being rendah akan cenderung diliputi perasaan-perasaan
negatif dalam dirinya (Diener, dkk.,1999: 295). Subjective well-being
merupakan cara seseorang mengevaluasi hidupnya yang meliputi kepuasan
hidup, afeksi positif dan afeksi negatif (Diener, Suh, dan Oishi, 1997).
Konsep kesejahteraan diri dapat dijelaskan dengan dua aliran, yaitu
aliran eudaimonic dan aliran hedonic (Ryan & Deci, 2001). Aliran
hedonic menjelaskan bahwa kesejahteraan diri dapat dicapai melalui
kesejahteraan subjektif. Subjective well being (kesejahteraan subjektif)
awalnya dianggap sebagai suatu trait yang stabil, akan tetapi ternyata ada
faktor yang mampu mempengaruhi peningkatan ataupun penurunan
subjective well being (SWB, untuk selanjutnya menggunakan istilah SWB)
seperti kepribadian, pekerjaan, hubungan sosial, status pernikahan, dan
budaya (Diener, Lucas, & Oishi, 2005).
Subjective well-being mengacu pada penilaian individu terhadap
situasi dalam kehidupannya secara keseluruhan mencakup perasaan senang
dan sakit, atau kualitas hidupnya. Subjective well-being merupakan konsep
yang sangat luas, meliputi emosi pengalaman menyenangkan, rendahnya
tingkat mood negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi (Diener, Lucas,
Oishi, 2005).
Ed Diener dan Carol Diener pada tahun 1996 dalam laporan
penelitiannya yang meneliti tentang sebagian besar orang bahagia. Dalam
penelitian ini peneliti bertanya kepada orang yang mempunyai kesempatan
untuk melaporkan secara lisan seberapa bahagia atau puas mereka.
Pertanyaan yang diberikan bertujuan untuk melihat fakta siapa yang lebih
atau kurang bahagia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
orang merasa puas dengan pernikahannya, pekerjaannya, dan waktu luang
yang dimiliki.
Akan tetapi, walaupun studi terbaru menunjukkan bahwa
kebanyakan orang bahagia (Diener & Diener, in perss) dan
mempertimbangkan emosi positif lebih normatif dari emosi negatif
(Sommers, 1984), sejauh mana aktivitas kehidupan mempengaruhi tingkat
individu dari subjective well-being tidak sepenuhnya dipahami. Sebagai
contoh, efek dari keadaan kehidupan objektif, seperti pendapatan (Diener,
Sandvik, Seidlitz, & Diener, 1992), kesehatan (Okun & George, 1984),
tahun pendidikan (Diener, 1984), dan daya tarik fisik (Diener, Wolsic, &
Fujita, 1995), sering ditemukan mempunyai pengaruh yang kecil. 7
Demikian pula, temuan Campbell, Converse, dan Rogers (1976)
menyimpulkan bahwa efek dari variabel-variabel demografis di subjective
well-being berpengaruh kecil pada kesejahteraan subjektif. Peneliti lain
menunjukkan bahwa kesejahteraan terutama ditentukan oleh sifat daripada
situasi kehidupan eksternal (Costa & McCrae, 1980, 1984; Costa, McCrae,
& Zonderman, 1987; Diener, Sandvik, Pavot, & Fujita, 1992 dalam
Eunkook Suh, Ed Diener, & Frank Fujita, 1996).
Lucas, Diener dan Suh tahun 1996 mendemonstrasikan multi-item
dari subjective well-being yaitu kepuasan hidup, perasaan senang, dan
perasaan tidak senang dan juga dari 8 konstruk lain seperti self-esteem
(Diener, Richard E. Lucas, & Shigehiro Oishi dalam C. R. Snyder dan
Shane J. Lopez, 2005). Wilson tahun 1967 memperlihatkan bahwa faktor
psikologis dan demografi berhubungan dengan subjective well-being.
Faktor psikologis terdiri dari self-esteem, kebahagiaan (happiness), mood,
kepribadian, dan IQ. Sedangkan faktor demografi terdiri dari umur,
pendidikan, jenis kelamin, agama, status, gaji, kesehatan, dan kebudayaan
(culture) (C. R Synder dan Shane J. Lopez, 2005).
Penelitian terdahulu pada subjective well-being mahasiswa bekerja
dilakukan oleh Pratiwi (2016) menunjukkan bahwa tingkat subjective well
being yang tinggi pada subyek. Hal ini dikarenakan bahwa walaupun
keadaan ekonomi siswa SMK tergolong menengah ke bawah, namun hal
itu tidak sepenuhnya berpengaruh kepada subjective well being siswa
SMK. Penelitian ini juga diperkuat oleh Rosyida (2021) bahwa terdapat
hubungan positif antara work-life balance dengan subjective well-being
pada mahasiswa yang bekerja.
Self-esteem sendiri menurut Coopersmith Ling dan Dariyo (2000),
menyatakan bahwa self-esteem atau harga diri adalah penilaian yang
dibuat seseorang, dan biasanya tetap, tentang dirinya, hal itu menyatakan
sikap menyetujui atau tidak menyetujui, dan menunjukkan sejauhmana
orang menganggap dirinya mampu, berarti, sukses dan berharga. (Ratna
Maharani Hapsari, tanpa tahun). Self-esteem sangat memegang peranan
penting dalam kehidupan seseorang. Bahkan menurut Diener masyarakat
dalam negara-negara yang individualistik mendasari hidup mereka dengan
penilaian kepuasan hidup pada tingkat perasaan tingginya self-esteem.
(Diener dan Diener, 1995 dalam Synder dan Lopez, 2005). Oleh karena itu
individu sangat diharuskan untuk mempunyai self-esteem yang tinggi guna
untuk pengembangan dirinya agar dapat merasakan kepuasan hidup.
Dengan merasakan kepuasan hidup maka terciptalah kesejahteraan
subjektif atau subjective well-being yang menimbulkan tingginya afek
positif pada diri individu dan rendahnya afek negatif serta kepuasan hidup
dalam domain kehidupan.
Kaitan self-esteem dengan subjective well-being, menurut Campbell
(dalam Wangmuba, 2009) menemukan bahwa self-esteem merupakan
prediktor yang paling penting untuk kesejahteraan subjektif. Self-esteem
yang tinggi membuat seseorang memiliki beberapa kelebihan termasuk
pemahaman mengenai arti dan nilai hidup. Hal itu merupakan pedoman
yang berharga dalam hubungan interpersonal dan merupakan hasil alamiah
dari pertumbuhan seseorang yang sehat (Ryan & Deci, 2001). Studi telah
menunjukkan bahwa orang yang dilaporkan memiliki self-esteem yang
tinggi biasanya menggunakan lebih banyak proses peningkatan diri
(Sedikides dalam Wangmuba, 2009; Widyatys, 2010).
Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dipublikasikan,
dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang juga mempengaruhi
subjective well-being. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ammar,
Nauffal, dan Sbeity (2013) pada mahasiswa di Lebanese menunjukkan
bahwa dukungan sosial merupakan prediktor yang paling penting untuk
memprediksi subjective well-being pada remaja. Hasil penelitian Chou
(1999) menunjukkan bahwa dukungan sosial dari teman lebih besar
daripada dukungan sosial keluarga dalam mempengaruhi SWB pada
remaja Cina di Hongkong. Hasil-hasil penelitian ini mendukung
pernyataan Diener, Suh, Lucas, & Smith (1999) bahwa dukungan sosial
merupakan faktor yang mempengaruhi SWB selain faktor genetik,
kepribadian, demografis, hubungan sosial, masyarakat atau budaya, proses
kognitif, dan tujuan (goals).
Dukungan sosial merupakan suatu kebersamaan sosial, dimana
individu berada di dalamnya, yang memberikan beberapa dukungan
seperti bantuan nyata, dukungan informasi, dan dukungan emosional
sehingga individu merasa nyaman (Lazarus,1991). Menurut Cohen dan
Syme (1985), dukungan sosial keluarga yang dirasakan akan berfungsi
mengurangi efek-efek negatif dari gangguan dan mengembalikan individu
kekeadaan kesehatan mental yang baik. Adanya dukungan sosial yang
terus-menerus dari lingkungan terdekatnya, dalam hal ini keluarga inti,
keluarga besar akan membuat seorang karyawan merasa dihargai dan
diperhatikan sehingga konflik yang timbul akan dihadapi dengan tenang.
Menurut House & Khan (1980) dukungan sosial adalah tindakan yang
bersifat membantu yang melibatkan emosi, pemberian informasi, bantuan
instrumen, dan penilaian positif pada individu dalam menghadapi
permasalahannya.
Menurut House (dalam Smet,1994), terdapat empat aspek dukungan
sosial, yaitu dukungan emosional, seperti empati, cinta, dan kepercayaan
yang di dalamnya terdapat pengertian, rasa percaya, penghargaan dan
keterbukaan. Dukungan informatif, berupa informasi, nasehat, dan
petunjuk yang diberikan untuk menambah pengetahuan seseorang dalam
mencari jalan keluar pemecahan masalah. Dukungan instrumental, seperti
penyediaan sarana yang dapat mempermudah tujuan yang ingin dicapai
dalam bentuk materi, pemberian kesempatan waktu, pekerjaan, peluang
serta modifikasi lingkungan, dan yang terakhir penilaian positif, berupa
pemberian penghargaan atas usaha yang telah dilakukan, memberi umpan
balik mengenai hasil atau prestasi, penghargaan dan kritik yang
membangun. Dukungan mampu meningkatkan kesehatan psikis dan
melindungi psikis dalam kondisi stres.
Penelitian terdahulu pada hubungan dukungan sosial pada subjective
well-being mahasiswa bekerja dilakukan oleh Khairani (2014)
menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara dukungan sosial
dengan SWB pada mahasiswa yang bekerja. Semakin kuat dukungan
sosial yang dirasakan maka semakin tinggi SWB pada mahasiswa yang
bekerja. Diperkuat dengan penelitian dari Fithriana (2018) yang telah
dilakukan pada mahasiswa yang bekerja paruh waktu di UNIKA
Soegijapranata Semarang, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif
yang signifikan antara dukungan sosial dengan subjective well being.
Semakin tinggi dukungan sosial yang dirasakan mahasiswa yang bekerja
paruh waktu maka semakin tinggi pula subjective well being pada
mahasiswa yang bekerja paruh waktu, dan begitu pula sebaliknya.
Penelitian mengenai hubungan antara self esteem dan dukungan
sosial keluarga terhadap subjective well-being pada mahasiswa bekerja
Universitas Hang Tuah belum pernah diteliti sebelumnya. Mengingat
bahwa subjective well-being sangat penting dimiliki oleh setiap individu,
terutama pada mahasiswa bekerja dan kuliah di Universitas Hang Tuah.
Berdasarkan pendapat tersebut peneliti ingin membuktikan apakah self
esteem dan dukungan sosial keluarga memiliki hubungan dengan
subjective well-being pada mahasiswa bekerja Universitas Hang Tuah?

1.2. Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, fenomena mahasiswa yang
memilih kuliah sambil bekerja merupakan suatu fenomena umum yang
banyak ditemukan pada mahasiswa di kota Surabaya, terutama Mahasiswa
Universitas Hang Tuah. Berbagai alasan mendasari mahasiswa memilih
untuk kuliah sambil bekerja, salah satu alasan yang mendasari adalah
untuk menambah penghasilan agar dapat memenuhi kebutuhan ekonomi
supaya tercapai kesejahteraan hidup. Purwanto (2013, hal. 36) mengatakan
bahwa pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh mahasiswa adalah
pekerjaan paruh waktu. Hal ini dikarenakan jadwal pekerjaan paruh waktu
lebih fleksibel sehingga mahasiswa masih mampu menyesuaikan jadwal
kuliah dengan jadwal bekerja. Banyak manfaat yang diperoleh dari kuliah
sambil bekerja bagi mahasiswa, dikutip dari Tumanggor (2017) beberapa
manfaat tersebut antara lain mahasiswa diajarkan untuk disiplin terhadap
waktu. Mahasiswa yang kuliah sambil bekerja dengan sendirinya akan
belajar memanajemen waktu. Kuliah sambil bekerja juga dapat melatih
fokus, memperluas relasi yang bermanfaat untuk kesuksesan di masa
depan, menambah pengalaman, serta mandiri dalam mengelola keuangan.
Dampak negatif yang dirasakan oleh mahasiswa bekerja antara satu
dan yang lainnya cenderung sama, berkaitan seputar kesulitan membagi
waktu yang pada akhirnya akan mempengaruhi indeks prestasi. Salah satu
penyebab dampak negatif yang paling dirasakan mahasiswa bekerja adalah
kelebihan beban peran (role overload). Menurut Yustrianthe (2008)
kelebihan beban peran akan terjadi jika seseorang mempunyai terlalu
banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di bawah tekanan waktu dan
jadwal yang sangat ketat, serta tidak sesuai dengan kemampuan. Selain
menjadi akademisi di kampus, mahasiswa juga dituntut agar mampu
memenuhi tanggung jawabnya ketika bekerja. Kelebihan beban peran
dapat berefek buruk pada kesehatan fisik dan menimbulkan stres. Stres
yang muncul akan mempengaruhi kondisi psikologis seseorang dan lebih
jauh lagi akan mempengaruhi kesejahteraan diri.
Subjective well-being mengacu pada penilaian individu terhadap
situasi dalam kehidupannya secara keseluruhan mencakup perasaan senang
dan sakit, atau kualitas hidupnya. Subjective well-being merupakan konsep
yang sangat luas, meliputi emosi pengalaman menyenangkan, rendahnya
tingkat mood negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi (Diener, Lucas,
Oishi, 2005).
Faktor yang mempengaruhi subjective well-being salah satunya yaitu
self esteem. Self-esteem sendiri menurut Coopersmith Ling dan Dariyo
(2000), menyatakan bahwa self-esteem atau harga diri adalah penilaian
yang dibuat seseorang, dan biasanya tetap, tentang dirinya, hal itu
menyatakan sikap menyetujui atau tidak menyetujui, dan menunjukkan
sejauh mana orang menganggap dirinya mampu, berarti, sukses dan
berharga. Kaitan self-esteem dengan subjective well-being, menurut
Campbell (dalam Wangmuba, 2009) menemukan bahwa self-esteem
merupakan prediktor yang paling penting untuk kesejahteraan subjektif.
Faktor lain yang mempengaruhi subjective well being yaitu
dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan suatu kebersamaan sosial,
dimana individu berada di dalamnya, yang memberikan beberapa
dukungan seperti bantuan nyata, dukungan informasi, dan dukungan
emosional sehingga individu merasa nyaman (Lazarus,1991). Menurut
Cohen dan Syme (1985), dukungan sosial keluarga yang dirasakan akan
berfungsi mengurangi efek-efek negatif dari gangguan dan
mengembalikan individu kekeadaan kesehatan mental yang baik.
Berdasarkan pendapat tersebut peneliti ingin membuktikan apakah
self esteem dan dukungan sosial keluarga memiliki hubungan dengan
subjective well-being pada mahasiswa bekerja Universitas Hang Tuah?

1.3. Batasan Masalah


Agar peneliti ini tidak menyimpang dari tujuan utamanya penulis
membatasi permalasahan dari penelitian hubungan self esteem dan
dukungan sosial keluarga terhadap subjective well-being pada mahasiswa
bekerja sebagai berikut :
1. Subjective well-being mengacu pada penilaian individu terhadap
situasi dalam kehidupannya secara keseluruhan mencakup perasaan
senang dan sakit, atau kualitas hidupnya. Subjective well-being
merupakan konsep yang sangat luas, meliputi emosi pengalaman
menyenangkan, rendahnya tingkat mood negatif, dan kepuasan hidup
yang tinggi (Diener, Lucas, Oishi, 2005).
2. Menurut Coopersmith (1967) self esteem merupakan evaluasi yang
dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya terutama mengenai
sikap menerima atau menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan
individu terhadap kemampuannya, keberartian, kesuksesan dan
keberhargaan. Terdapat 4 aspek menurut Coopersmith (1967) yaitu
power, sigificance, virtue, dan competence.
3. Menurut Sarafino (2011), dukungan sosial mengacu pada kesenangan
yang dirasakan, penghargaan akan kepedulian atau membantu orang
lain yang didapat dari orang lain atau kelompok – kelompok lain.
Aspek-aspek dukungan sosial keluarga menurut Sarafino (2011) yaitu
dukungan emosional, dukungan instrumental, dukugan penghargaan
dan dukunga informasi.
4. Subyek penelitian yaitu mahasiswa bekerja Universitas Hang Tuah
dengan kriteria bekerja full/part time pada semester 1-5
1.4. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan yaitu :
1. Apakah terdapat hubungan antara self esteem dengan subjective
well-being pada mahasiswa bekerja Universitas Hang Tuah?
2. Apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial keluarga
dengan subjective well-being pada mahasiswa bekerja Universitas
Hang Tuah?
3. Apakah terdapat hubungan antara self esteem dan dukungan sosial
keluarga dengan subjective well-being pada mahasiswa bekerja
Universitas Hang Tuah?

1.5. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui hubungan antara self esteem dengan subjective
well-being pada mahasiswa bekerja Universitas Hang Tuah
2. Untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan
subjective well-being pada mahasiswa bekerja Universitas Hang Tuah
3. Untuk mengetahui hubungan antara self esteem dan dukungan sosial
keluarga dengan subjective well-being pada mahasiswa bekerja
Universitas Hang Tuah

1.6. Manfaat Penelitian


1.6.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan studi
lanjutan yang relevan dan diharapakan mampu memberikan
penambahan keilmuan psikologi terutama yang berkaitan dengan self
esteem dan dukungan sosial keluarga dengan subjective well-being
pada mahasiswa bekerja Universitas Hang Tuah.
1.6.2. Manfaat Praktis
a. Bagi Universitas Hang Tuah

Hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi


Universitas Hang Tuah terkait dengan subjective well-being pada
mahasiswa bekerja.

b. Bagi Mahasiswa Bekerja Universitas Hang Tuah


Hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi
mahasiswa Universitas Hang Tuah yang sedang bekerja dan
kuliah untuk mengetahui dan meningkatkan subjective well-being
dalam diri.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan hasil penelitian ini memberikan manfaat,


pengetahuan, dan bahan referensi bagi peneliti-peneliti
selanjutnya yang membahas mengenai subjective well-being, self
esteem, dan dukungan sosial keluarga.

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1. Subjective Well-Being


2.1.1. Definisi Subjective Well-Being
Subjective well-being mengacu pada penilaian individu terhadap
situasi dalam kehidupannya secara keseluruhan mencakup perasaan
senang dan sakit, atau kualitas hidupnya. Subjective well-being
merupakan konsep yang sangat luas, meliputi emosi pengalaman
menyenangkan, rendahnya tingkat mood negatif, dan kepuasan hidup
yang tinggi (Diener, Lucas, Oishi, 2005). Seseorang memilki
subjective well-being tinggi jika mereka merasa puas dengan kondisi
hidup mereka, sering 15 merasakan emosi positif dan jarang
merasakan emosi negatif. Subjective well-being sendiri adalah
kondisi yang cenderung stabil sepanjang waktu dan sepanjang
rentang kehidupan (Diener dan Larsen, 1984, dalam Edington, 2005).
Diener (2000) menyatakan bahwa subjective well-being
mengacu kepada evaluasi individu terhadap hidupnya, evaluasi ini
baik dari sisi afektif maupun kognitif. Individu merasakan subjective
well-being yang tinggi atau baik ketika individu tersebut merasakan
lebih banyak emosi yang menyenangkan dibanding emosi yang tidak
menyenangkan, ketika merasa senang dan hanya sedikit rasa sakit,
dan ketika merasa puas dengan kehidupan yang dijalani.
Subjective well-being meliputi evaluasi dari setiap individu yang
ada di dunia. Diener (dalam Snyder & Lopez, 2006) mengungkapkan
subjective well-being merupakan konstruk multi dimensional yang
meliputi komponen kognitif dan afektif. Secara lebih spesifik, Diener
mendefinisikan subjective well-being sebagai kombinasi dari afek
positif yang tinggi, afek negatif yang rendah, dan kepuasan hidup
secara umum. Ketiga kompenen ini saling berhubungan tetapi
merupakan konstruk yang terpisah. Istilah subjective well-being juga
sering digunakan sebagai sinonim dari happiness (kebahagiaan) di
berbagai literatur psikologi.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti menggunakan
definisi dari Diener, Lucas dan Oishi (2005) bahwa Subjective well-
being mengacu pada penilaian individu terhadap situasi dalam
kehidupannya secara keseluruhan mencakup perasaan senang dan
sakit, atau kualitas hidupnya. Subjective well-being merupakan
konsep yang sangat luas, meliputi emosi pengalaman menyenangkan,
rendahnya tingkat mood negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi.
2.1.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being
Wilson (1967 dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005) menyatakan
bahwa faktor kepribadian dan faktor demografis memiliki hubungan
dengan subjective well-being. Ia menyatakan bahwa orang yang
bahagia adalah seorang yang muda, sehat, berpendidikan,
berpenghasilan bagus, ekstrovert, optimis, religious, telah menikah
dengan self-esteem yang tinggi, memiliki semangat kerja, memiliki
cita-cita, pada kedua jenis kelamin dan berbagai variasi inteligensi.
Deneve dan Cooper (1998, dalam Diener, Lucas, dan Oishi, 2003)
mengidentifikasi 137 trait kepribadian yang berhubungan dengan
subjective well-being adalah extraversion dan neurotism. Costa dan
McCrae (dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2003) menemukan bahwa
extraversion memprediksikan afek yang menyenangkan dan
neuroticism memprediksikan afek tidak menyenangkan dalam
periode sepuluh tahun. Sementara itu, trait lain dalam model
kepribadian “the big five trait faktor”, yaitu agreeableness,
conscientiousness, dan openness to experience menunjukkan
hubungan yang lebih lemah dengan subjective well-being (Watson &
Clark dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2003).
Penelitian lain yang juga dilakukan secara sistematis
menggambarkan hubungan variasi demografis dengan subjective
well-being (Diener et al, 1999, dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005).
Sejumlah penemuan replikasi menghasilkan: (a) faktor demografis
seperti usia, jenis kelamin, dan pendapatan 22 berhubungan dengan
subjective well-being; (b) efeknya biasanya kecil; dan (c) banyak
orang cukup bahagia, karena itu, faktor demografis cenderung
membedakan antara orang yang cukup bahagia dan yang sangat
bahagia. (Diener et al, 1999, dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005).
Penelitian berikutnya juga menggambarkan bahwa faktor demografis
memperlihatkan bahwa pendapatan, religion dan personality adalah
afek-afek yang mempengaruhi subjective well-being. (Robert Biswas-
Diener & Ben dean, 2007). Berikut ini akan dipaparkan variabel-
variabel demografis yang mempengaruhi subjective well-being
seseorang.
1. Usia
Penelitian menunjukkan bahwa kepuasan hidup seringkali
meningkat atau paling tidak menetap seiring meningkatnya usia
(Herzog & Rodgers, 1981; Horley & Lavery, 1995; Larson,
1978; Okun, Haring, & Witter, 1983, dalam Eddington &
Shuman, 2005). Usia berhubungan dengan subjective well-being,
tapi efeknya sangat kecil, dan tergantung kepada komponen
subjective well-being yang diukur (Diener, Lucas, dan Oishi,
2005). Sebagai contoh, pada sampel dari 40 negara, Diener dan
Suh (1998, dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005) menemukan
bahwa meskipun afek menyenangkan menurun sepanjang usia,
kepuasan hidup dan afek tidak menyenangkan menunjukkan
sedikit perubahan.
Studi internasional dari beberapa negara juga menunjukkan
bahwa kepuasan hidup tidak menurun dengan bertambahnya usia
(Butt & Beiser, 1987; Inglehart, 1990, Veenhoven, 1984). Tidak
adanya penurunan yang signifikan dalam kepuasan hidup di
seluruh umur menunjukkan kemampuan orang untuk beradaptasi
dengan kondisi mereka. Penurunan pendapatan dan pernikahan
terjadi di seluruh kelompok usia dewasa, namun, kepuasan hidup
stabil. Beberapa peneliti telah menyarankan bahwa temuan ini
berfungsi sebagai bukti bahwa orang menyesuaikan kembali
tujuan mereka dengan bertambahnya usia mereka (Campbell et
al, 1976;. Rapkin & Fischer, 1992). Melanjutkan dengan garis
pemikiran ini, Ryff (1991) menemukan orang dewasa yang lebih
tua menunjukkan lebih dekat antara ideal dan persepsi diri
sebenarnya dibandingkan dengan orang-orang muda (Eddington
& Shuman, 2005).
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin berhubungan dengan subjective well-being,
tapi efeknya sangat kecil, dan tergantung kepada komponen
subjective well-being yang diukur (Diener, Lucas, dan Oishi,
2005). Pada penelitian yang melibatkan 40 negara, Lucas dan
Gohn (dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005) menemukan bahwa
perbedaan subjective well-being antar jenis kelamin hanyalah
kecil, dengan perempuan menunjukkan afek tidak menyenangkan
dan afek menyenangkan yang lebih besar.
Perbedaan jenis kelamin dalam subjective well-being adalah
kecil atau tidak ada di bangsa Barat. Data terbesar berasal dari
World Value Survey (Inglehart, 1990) di mana sekitar 170.000
representatif sampel responden dari 16 bangsa-bangsa disurvei,
perbedaan SWB antara laki-laki dan perempuan sangat kecil.
Michalos (1991) 18.000 siswa perguruan tinggi dipelajari di
lebih dari 30 24 negara dan menemukan perbedaan jenis kelamin
yang sangat kecil dalam kepuasan hidup dan kebahagiaan
(Eddington & Shuman, 2005).
Temuan lain yang menarik dalam jenis kelamin dan literatur
subjective well-being adalah wanita melaporkan lebih berafek
negatif dan depresi dibandingkan pria dan lebih mungkin untuk
mencari terapi gangguan ini, namun, pria dan wanita melaporkan
kira-kira sama dalam tingkat kebahagiaan global. Salah satu
penjelasan bahwa wanita lebih mudah mengakui perasaan negatif
sedangkan laki-laki menyangkal perasaan tersebut adalah
mungkin kedua jenis kelamin mengalami tingkat afek negatif dan
depresi yang sama, tetapi wanita melaporkan perasaan ini dan
sering mencari bantuan profesional lebih lanjut. Penjelasan lain
untuk perbedaan jenis kelamin paradoksal di SWB ditawarkan
oleh Fujita, Diener, dan Sandvik (1991). Mereka menunjukkan
bahwa dalam peran sosial pengasuh, perempuan disosialisasikan
menjadi lebih terbuka terhadap pengalaman emosional, termasuk
emosi positif dan negatif, pada gilirannya, mereka mungkin
mengalami lebih positif dan lebih berdampak negatif. Penelitian
mereka tidak mengungkapkan bahwa wanita melaporkan afek
positif yang baik dalam jumlah yang lebih besar, dengan
demikian, mungkin pengalaman perempuan, rata-rata, baik emosi
positif dan negatif lebih kuat dan sering dibandingkan pria. Para
peneliti juga menemukan bahwa gender bertanggung jawab atas
kurang dari 1% dari varians dalam kebahagiaan tapi lebih dari
13% dari perbedaan dalam intensitas pengalaman emosional.
Fujita et al. berhipotesis bahwa perempuan rata-rata terbuka
terhadap pengalaman emosional yang kuat, menciptakan
kerentanan terhadap depresi yang diberikan oleh banyaknya 25
peristiwa-peristiwa buruk, tetapi juga menciptakan peluang untuk
tingkat intens kebahagiaan atas peristiwa yang baik (Eddington
& Shuman, 2005).
3. Status Pernikahan
Hubungan positif antara status pernikahan dengan
subjective well-being secara konsisten ditemukan dalam
penelitian internasional (Diener, Gohm, Suh, & Oishi, 1998
dalam Eddington & Shuman, 2005). Survey berskala besar ini
mengindikasikan bahwa orang-orang yang menikah lebih sering
merasa bahagia dibandingkan dengan orang-orang yang tidak
pernah menikah, bercerai, atau berpisah. Status pernikahan dan
subjective well-being berhubungan secara signifikan meskipun
usia dan pendapatan dikontrol (Glenn & Weaver, 1979; Gove,
Hughes, & Style, 1983, dalam Eddington & Shuman, 2005). Lee,
Seccombe, & Shehan (1991, dalam Eddington & Shuman, 2005)
meneliti perbedaan antara orang-orang yang menikah dan tidak
menikah sejak 1972 sampai 1989 dan menemukan bahwa orang-
orang yang menikah, baik pria maupun wanita, secara konsisten
lebih bahagia dibanding orang-orang yang tidak menikah.
Diener, dkk (1998, dalam Eddington & Shuman, 2005)
menemukan bahwa pernikahan menawarkan keuntungan yang
lebih besar bagi pria atau wanita dalam hal emosi positif, tapi
tidak dalam kepuasan hidup. Lebih jauh lagi, terdapat bukti-bukti
bahwa orang-orang yang bahagia memiliki kecendrungan untuk
menikah, keuntungan pernikahan itu sendiri bisa meningkatkan
subjective wellbeing (Mastekaasa, 1995 dalam Eddington &
Shuman, 2005). Meskipun demikian, Diener, Lucas, & Oishi
(2005) juga menyatakan bahwa efek pernikahan bisa berbeda
bagi laki-laki dan perempuan.
Sadarjoen (2005) dalam bukunya menyebutkan bahwa
setiap individu membawa satu set kebutuhan akan hubungan dan
harapan. Dengan harapan, pasangan perkawinannya kelak akan
mampu memuaskan dirinya, paling tidak sebagian dari
kebutuhannya tersebut. Peluang bagi terciptanya relasi yang
memuaskan tersebut ditentukan oleh beberapa aspek di bawah
ini:
1. Sejauh mana pasangan perkawinan mampu memenuhi
kebutuhan pasangan masing-masing.
2. Sejauh mana kebebasan dari hubungan yang mereka
ciptakan memberi peluang bagi mereka untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan yang mereka bawa
sebelum perkawinan terlaksana.
4. Pendapatan
Secara umum, korelasi yang rendah namun signifikan
antara pendapatan dengan subjective well-being ditemukan pada
sampel representatif di Amerika (Diener et al, 1993, dalam
Eddington & Shuman, 2005). Pada kenyataannya, pendapatan
secara konsisten berhubungan dengan subjective well-being
didalam suatu Negara ( Diener et al.; Haring, Stock, & Okun,
dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005) dan antar Negara (Diener et
al., dalam Diener, Lucas, Oishi, 2005); tapi pada level individu
dan level nasional, perubahan pendapatan sepanjang waktu
memiliki efek yang kecil pada subjective well-being. Walaupun
demikian, terdapat bukti-bukti mengenai pengaruh pendapatan
terhadap subjective well-being. Salah satu kemungkinannya
adalah bahwa pendapatan hanya mempengaruhi subjective well-
being pada tingkat yang lebih rendah, dimana kebutuhan dasar
belum terpenuhi. Tetapi apabila kebutuhan dasar telah terpenuhi,
peningkatan pendapatan atau kekayaan hanya sedikit
berpengaruh terhadap kebahagiaan.
5. Pekerjaan
Menurut Argyle (2001, dalam Carr, 2004), status pekerjaan
berhubungan dengan kebahagiaan, dimana orang-orang yang
bekerja cenderung lebih bahagia dibandingkan dengan orang-
orang yang tidak bekerja, dan orang-orang yang bekerja dalam
bidang professional dan terlatih cenderung lebih bahagia jika
dibandingkan dengan orang-orang yang bekerja dalam bidang
yang tidak terlatih. Pekerjaan berhubungan dengan subjective
well-being karena pekerjaan menawarkan stimulasi yang optimal
bagi seseorang untuk menemukan kesenangan, hubungan sosial
yang positif, dan rasa identitas dan makna (Csikszentmihalyi,
1990; Scitovsky, 1976, dalam Eddington & Shuman, 2005).
Orang-orang yang tidak bekerja memiliki stress yang lebih
tinggi, rendahnya kepuasan hidup, dan angka bunuh diri yang
tinggi bila dibandingkan dengan orang-orang yang bekerja.
6. Tingkat Pendidikan
Telah ditemukan korelasi yang rendah namun signifikan
antara tingkat pendidikan dengan subjective well-being
(Campbell et al., 1976; Cantril, 1965; Diener et al., 1993, dalam
Eddington & Shuman, 2005). Dalam analisis meta-literatur,
Witter, Okun, Saham, dan Haring (1984) mengamati efek ukuran
rata-rata 0,13. Efek ukuran ini serupa dengan pengaruh
pendidikan pada kepuasan kehidupan (.15), moral (.15), dan
kualitas hidup (.12). Pendidikan juga berkorelasi dengan well- 28
being pada individu dengan pendapatan rendah dan di Negara
miskin (Campbell, 1981; Diener et al., 1993; Veenhoven, 1994).
dalam suatu kasus sebelumnya pendidikan menciptakan waktu
luang lebih luas didalam sumber-sumber kebahagiaan yang lain,
dan dalam kasus yang terakhir status sosial disampaikan melalui
pendidikan. di Amerika Serikat Pengaruh pendidikan pada SWB
menjadi lemah dari waktu ke waktu. Campbell (1981) mencatat
bahwa pada tahun 1957, 44% dari lulusan perguruan tinggi
dilaporkan yang sangat senang dibandingkan dengan 23% dari
mereka yang tidak sekolah tinggi, sedangkan pada tahun 1978,
persentase yang sesuai adalah 33 dan 28 persen (Eddington &
Shuman, 2005).
Sejalan dengan hal tersebut, Diener et al., (1999, dalam
Carr, 2004) menyatakan bahwa tingkat pendidikan berkorelasi
positif dengan kebahagiaan dan hubungan ini kuat pada
kelompok berpendapatan rendah pada Negara-negara
berkembang dan populasi pada Negara miskin.
2.1.3. Aspek – Aspek Subjective Well-Being
Diener (dalam Snyder & Lopez, 2006) menyatakan bahwa SWB
memiliki tiga bagian penting, pertama merupakan penilaian subjektif
berdasarkan pengalaman-pengalaman individu, kedua mencakup
penilaian ketidakhadiran faktor-faktor negatif, dan ketiga penilaian
kepuasan global. Diener (1994) menyatakan adanya dua komponen
umum dalam SWB, yaitu dimensi kognitif dan dimensi afektif.
Dimensi kognitif diidentifikasikan sebagai kepuasan hidup dan
dimensi afektif terdiri dari afek menyenangkan dan afek tidak
menyenangkan yang dikenal dengan afek positif dan afek negatif.

1. Dimensi Kognitif
Diener (2000) menyatakan bahwa SWB terdiri dari dua
komponen yang terpisah, yaitu dimensi kognitif dan dimensi
afektif. Dimensi kognitif direpresentasikan dalam bentuk
kepuasan hidup secara global/umum (lebih dikenal dengan
kepuasan hidup saja) dan kepuasan terhadap hal yang lebih
spesifik seperti pekerjaan (work satisfaction), keluarga, dsb.
Dalam hal ini peneliti hanya menjelaskan tentang kepuasan hidup
secara global/umum.
Kepuasan hidup (life satisfaction) merupakan bagian dari
dimensi kognitif dari SWB. Life satisfaction (Diener, 1994)
merupakan penilaian kognitif seseorang mengenai kehidupannya,
apakah kehidupan yang dijalaninya berjalan dengan baik. Ini
merupakan perasaan cukup, damai, dan puas dari kesenjangan
antara keinginan dan kebutuhan dengan pencapaian dan
pemenuhan. Campbell, Converse, dan Rodgers (dalam Diener,
1994) mengatakan bahwa kompoen kognitif ini merupakan
kesenjangan yang dipersepsikan antara keinginan dan
pencapaiannya apakah terpenuhi atau tidak.
Dimensi kognitif SWB ini juga mencakup area
kepuasan/domain satisfaction individu di berbagai bidang
kehidupannya, seperti bidang yang berkaitan dengan diri sendiri,
keluarga, kelompok teman sebaya, kesehatan, keuangan,
pekerjaan, dan waktu luang, artinya dimensi ini memiliki
gambaran yang multifacet. Dan hal ini sangat bergantung pada
budaya dan bagaimana kehidupan seseorang itu terbentuk
(Diener, 1984). Andrews dan Withey (dalam Diener, 1984) juga
menyatakan bahwa domain yang paling dekat dan mendesak
dalam kehidupan individu merupakan domain yang paling
mempengaruhi SWB individu tersebut. Dimensi ini dapat
dipengaruhi oleh afek namun tidak mengukur emosi seseorang.

2. Dimensi Afektif
Subjective well-being merupakan kategori besar yang
mencakup respon emosional individu, area kepuasan, dan
kepuasan hidup. Setiap konstruk harus dipahami dengan cara
yang sesuai (Stones & Kozma dalam Diener, Suh, Lucas, &
Smith, 1999). Dimensi afektif merupakan perubahan
neuropsikologikal yang sering dialami sebagai perasaan, mood,
atau emosi dan dapat diorganisasikan ke dalam bentuk paling
tidak menjadi dua dimensi yaitu valensi dan arousal (Tsai, 2007).
Mood dan emosi yang biasa dikenal dengan afek,
merepresentasikan evaluasi individu terhadap setiap peristiwa
yang ada di dalam hidupnya (Diener, Suh, Lucas, & Smith,
1999).
Bradburn dan Caplovitz (dalam Diener, Suh, Lucas, &
Smith, 1999) mengungkapkan tentang afek menyenangkan dan
afek tidak menyenangkan membentuk dua faktor yang
independen dan harus diukur secara terpisah. Watson dan
Tellegen (dalam Watson, Clark, & Tellegen, 1988) menyatakan
sebuah landasan, model dua faktor yang biasa disebut dengan
afek positif dan afek negatif.

a) Afek Positif
Afek positif merupakan refleksi dari perasaan
antusias, aktif, dan siaga. Afek positif yang tinggi
berupa energi yang tinggi, konsentrasi penuh, dan
pengalaman yang menyenangkan, sebaliknya afek
positif yang rendah bercirikan kesedihan dan lesu
(Watson, Clark, & Tellegen, 1998). Snyder dan Lopez
(2006) juga mengungkapkan afek positif meliputi antara
lain simptom-simptom antusiasme, keceriaan, dan
kebahagiaan hidup.

b) Afek Negatif
Afek negatif merupakan dimensi umum dari
keadaan yang menyedihkan dan tidak menyenangkan
yang memunculkan berbagai macam mood yang tidak
disukai seperti marah, merasa bersalah, takut, dan
tegang, afek negatif yang rendah akan memunculkan
rasa ketenangan dan ketentraman (Watson, Clark, &
Tellegen, 1998). Afek negatif merupakan kehadiran
simptom yang menyatakan bahwa hidup tidak
menyenangkan (Snyder & Lopez, 2006).
2.2. Self Esteem
2.2.1. Definisi Self Esteem
Menurut Coopersmith (1967) self esteem merupakan evaluasi
yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya terutama
mengenai sikap menerima atau menolak, dan indikasi besarnya
kepercayaan individu terhadap kemampuannya, keberartian,
kesuksesan dan keberhargaan. Secara singkat self esteem adalah
“personal judgment” mengenai perasaan berharga atau berarti yang
di ekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya. Self
esteem erat kaitannya dengan self concept (Coopersmith, 1967).
Coopersmith (1967) menyatakan self esteem sebagai evaluasi
yang dibuat dan dipegang oleh individu mengenai keadaan dirinya.
Evaluasi ini menyatakan suatu sikap penerimaan atau penolakan dan
menunjukkan sejauh mana individu percaya bahwa dirinya mampu,
berarti, berhasil dan berharga. Hal ini senada dengan pendapat Klass
dan Hodge (dalam Widyastuti, 2005) yang mengemukakan self
esteem sebagai hasil evaluasi diri yang dibuat dan dipertahankan
oleh individu, dimana proses tersebut diperoleh atas hasil interaksi
dengan lingkungan serta penghargaan, penerimaan dan perlakuan
orang lain terhadap individu.
Baron dan Byrne (2004) menyebutkan bahwa self esteem adalah
evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu; sikap seseorang
terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif-negatif.
Menurut Myers (2014) self esteem adalah evaluasi diri seseorang
secara keseluruhan. Crocker dan Wolfe (dalam Myers, 2014)
memberikan pernyataan bahwa kita akan memiliki self esteem jika
kita merasa senang dengan domain (penampilan, kepandaian dan
lainnya) yang kita anggap penting bagi diri kita sendiri. Orang
dengan self esteem yang rendah seringkali memiliki permasalahan
dalam hidup (Widyastuti, 2014).
Menurut Rosenberg (1965) self esteem adalah gambaran
penilaian berhubung kait dengan penilaian dari perspektif individu
lain yang wujud hasil dari interaksi manusia. Dalam proses untuk
mengambil alih peranan orang lain, individu tersebut akan mula
sedar bahawa dirinya merupakan objek kepada tumpuan, persepsi
dan penilaian orang lain menyebabkan seseorang individu menilai
dirinya menerusi pandangan yang diberikan oleh orang lain.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti menggunakan
definisi dari Coopersmith (1967) menyatakan bahwa self esteem
merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang
dirinya terutama mengenai sikap menerima atau menolak, dan
indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuannya,
keberartian, kesuksesan dan keberhargaan.
2.2.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Self Esteem
Menurut Coopersmith (dalam Nurmalasari, 2010; Herdiyanto &
Surjaningrum, 2014) ada beberapa faktor yang mempengaruhi self
esteem, yaitu :
1. Penghargaan dan Penerimaan dari Orang-orang yang Signifikan.
Self esteem seseorang dipengaruhi oleh orang yang
dianggap penting dalam kehidupan individu yang bersangkutan.
orangtua dan keluarga merupakan contoh dari orang-orang yang
signifikan. Keluarga merupakan lingkungan tempat interaksi
yang pertama kali terjadi dalam kehidupan seseorang.
2. Kelas Sosial dan Kesuksesan.
Menurut Coopersmith (1967), kedudukan kelas sosial dapat
dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat tinggal. Individu
yang memiliki pekarjaan yang lebih bergengsi, pendapatan yang
lebih tinggi dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar dan
mewah akan dipandang lebih sukses dimata masyarakat dan
menerima keuntungan material dan budaya. Hal ini akan
menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi meyakini
bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain.
3. Nilai dan Inspirasi Individu dalam Menginterpretasi Pengalaman.
Kesuksesan yang diterima oleh individu tidak
mempengaruhi self esteem secara langsung melainkan disaring
terlebih dahulu melalui tujuan dan nilai yang dipegang oleh
individu.
4. Cara Individu dalam Menghadapi Devaluasi.
Individu dapat meminimalisasi ancaman berupa evaluasi
negatif yang datang dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak
dari orang lain yang memberikan penilaian negatif terhadap diri
mereka.
2.2.3. Aspek – Aspek Self Esteem
Menurut Coopersmith (1967:38-41) terdapat empat aspek yang
terkandung dalam Self Esteem, yaitu:

1. Power
Kekuasaasan dalam arti kemampuan untuk mengatur dan
mengontrol tingkah laku orang lain. Kemampuan ini ditandai
oleh adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu
dari orang lain dan besarnya sumbangan dari pikiran atau
pendapat dan kebenarannya.
2. Significance
Significance atau keberartian adalah adanya kepedulian dan
afeksi yang diterima individu dari orang lain. Hal tersebut
merupakan penghargaan dan minat dari orang lain dan pertanda
penerimaan dan popularitasnya. Keadaan tersebut ditandai oleh
kehangatan, keikutsertaan, perhatian, dan kesukaan orang lain
terhadapnya.

3. Virtue
Virtue atau kebajikan adalah ketaatan atau mengikuti
standar moral dan etika. Kebajikan ditandai oleh ketaatan untuk
menjauhi tingkah laku yang harus dihindari dan melakukan
tingkah laku yang diperbolehkan atau diharuskan oleh moral atau
etika dan agama.

4. Competence
Kemampuan, dalam arti sukses memenuhi tuntutan prestasi
yang ditandai oleh keberhasilan individu dalam mengerjakan
bermacam-macam tugas atau pekerjaan dengan baik dari level
yang tinggi dan usia yang berbeda.
2.3. Dukungan Sosial Keluarga
2.3.1. Definisi Dukungan Sosial Keluarga
Menurut Sarafino (2011), dukungan sosial mengacu pada
kesenangan yang dirasakan, penghargaan akan kepedulian atau
membantu orang lain yang didapat dari orang lain atau kelompok –
kelompok lain. Menurut Cobb (dalam Smet, 1994), dukungan
sosial merupakan informasi yang menuntut seseorang meyakini
bahwa dirinya di urus dan di sayang. Menurut Smet (1994),
dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu merasa
tenang, di perhatikan, dicintai, timbul rasa percaya diri dan
kompeten.
Dukungan sosial menurut House (dalam Smet, 1994),
didefenisikan sebagai tindakan membantu yang melibatkan emosi,
pemberian informasi, bantuan instrumental dan penilaian positif
pada individu dalam menghadapi permasalahannya. Sementara
menurut Siegel (dalam Santrock, 2005) dukungan sosial adalah
informasi umpan balik dari orang lain bahwa individu dicintai dan
diperhatikan, memiliki harga diri, dihargai, serta merupakan bagian
dari komunikasi dan kewajiban bersama.
Taylor (2009) menjelaskan dukungan sosial akan lebih berarti
bagi seseorang apabila diberikan oleh orang yang memiliki
hubungan signifikan dengan individu yang bersangkutan, dengan
kata lain, dukungan tersebut diperoleh dari orang tua, pasangan
(suami atau istri), anak dan kerabat keluargalainnya. Rodin dan
Salovey (dalam Smet, 1994) menyebutkan dukungan sosial yang
terpenting berasal dari keluarga.
Keluarga adalah dua individu lebih yang tergabung karena
hubungan darah, perkawinan atau pengangkatan dan yang hidup
dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan dalam
perannya masing – masing menciptakan serta
mempertahankankebudayaan (Friedman, 2010). Sedangkan
menurut Ali (2010), keluarga adalah dua atau lebih individu yang
bergabung karena hubungan sedarah, perkawinan, dan adopsi
dalam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu dengan lainnya
dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.
Walsh (2003) menjelaskan keberfungsian keluarga sebagai
interaksi keluarga dalam menjalakan tugas penting yaitu menjaga
pertumbuhan dan kesejahteraan dari masing-masing anggotanya
dan mempertahankan integrasinya. Menurut Moos dan Moos
(2002), keberfungsian keluarga mengacu kepada kualitas interaksi
anggota keluarga.
Menurut Friedman (2010) dukungan sosial keluarga dapat
berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan dari
suami dan istri serta saudara kandung. Sedangkan dukungan sosial
eksternal adalah dukungan dari teman, maupun tetangga.
Dukungan keluarga merupakan suatu proses hubungan antara
anggota keluarga dengan adanya dukungan timbal balik dan
keterlibatan emosional berupa kenyamanan, perhatian,
penghargaan, atau dorongan menolong orang lain dengan sikap
menerima kondisinya, yang dapat diperoleh dari individu maupun
kelompok.
2.3.2. Aspek – Aspek Dukungan Sosial Keluarga
Dukungan sosial meliputi empat aspek menurut Sarafino
(2011) yaitu :

1. Dukungan emosional
Dukungan emosional adalah berupa afeksi, penghargaan,
kepercayaan, perhatian dan perasaan di dengarkan. Dukungan
emosional disebut juga dengan istilah emosi atau dukungan
teman dekat. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa masalah
penting umumnya melibatkan aspek negatif mengenai diri
sendiri dan seseorang yang cenderung membicarakan masalah –
masalah tersebut hanya orang – orang terdekat atau orang –
orang yang mempunyai hubungan emosianal dengan dirinya.

2. Dukungan instrumental
Dukungan ini melibatkan bantuan langsung, berupa bantuan
finansial atau bantuan mengerjakan tugas – tugas tertentu.

3. Dukungan penghargaan
Dengan ini terjadi melalui ungkapan hormat penghargaan
positif untuk orang yang bersangkutan, dorongan maju atau
menyetujui suatu ide, gagasan atau kemampuan yang dimiliki
seseorang dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain.

4. Dukungan informasi
Dukungan informasi ini dapat berupa saran, penghargaan
dan umpan balik tentang bagaimana cara memecahkan
persoalan.
2.3.3. Sumber – Sumber Dukungan Sosial Keluarga
Goldberger & Breznitz berpendapat bahwa sumber dukungan
sosial adalah orang tua, saudara kandung, anak-anak, kerabat,
pasangan hidup, sahabat rekan sekerja, atau tetangga. Taylor
(1997) juga menjelaskan dukungan sosial itu bersumber dari orang-
orang yang memiliki hubungan berarti dengan individu, misalnya
orangtua, pasangan hidup, anak-anak, saudara, dan anggota
keluarga lainnya, sahabat, rekan kerja, dan tetangga.
Menurut Kahn & Antonoucci (1980) sumber – sumber
dukungan sosial meliputi :

1. Sumber dukungan sosial yang berasal dari orang – orang


yang selalu ada sepanjang hidupnya, yang selalu
dengannya dan mendukungnya, meliputi keluarga dekat,
pasangan (suami atau istri), atau teman dekat.

2. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain


yang sedikit berperan dalam hidupnya dan cenderung
mengalami perubahan sesuai waktu, yang meliputi teman
kerja, sanak keluarga, dan teman sepergaulan.

3. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain


yang sangat jarang meberikan dukungan dan memiliki
peran yang sangat cepat berubah, meliputi dokter atau
tenaga ahli atau profesional, serta keluarga jauh.
Berdasarkan sumber - sumber dukungan sosial yang telah
dikemukakan oleh beberapa ahli diatas, maka pada penelitian ini
akan dilihat dukungan sosial yang bersumber dari keluarga yang
dikolaborasikan dengan aspek dukungan sosial yaitu dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan
dukungan informasional sebagai alat ukur yang akan digunakan
pada penelitian ini.
2.4. Mahasiswa yang Bekerja
2.4.1. Definisi Mahasiswa
Definisi mahasiswa menurut Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia (Kamisa, 1997), bahwa mahasiswa merupakan individu
yang belajar di perguruan tinggi. Montogomery (dalam Papalia,
dkk, 2007) menjelaskan bahwa perguruan tinggi atau universitas
dapat menjadi sarana atau tempat untuk seorang individu dalam
mengembangkan kemampuan intelektual, kepribadian, khususnya
dalam melatih keterampilan verbal dan kuantitatif, berfikir kritis
dan moral reasoning.
Menurut Djojodibroto (dalam Daulay, 2011) Mahasiswa
merupakan satu golongan dari masyarakat yang mempunyai dua
sifat, yaitu manusia muda dan calon intelektual, dan sebagai calon
intelektual, mahasiswa harus mampu untuk berfikir kritis terhadap
kenyataan sosial, sedangkan sebagai manusia muda, mahasiswa
seringkali tidak mengukur resiko yang akan menimpa dirinya.
Mahasiswa dalam perkembangannya berada pada kategori remaja
akhir yang berada dalam rentang usia 18-21 tahun (Monks, dkk,
2001). Menurut (Papalia, dkk, 2007), usia ini berada dalam tahap
perkembangan dari remaja atau adolescence menuju dewasa muda
atau young adulthood. pada usia ini, perkembangan individu
ditandai dengan pencarian identitas diri, adanya pengaruh dari
lingkungan, serta sudah mulai membuat keputusan terhadap
pemilihan pekerjaan atau karirnya.
Lebih jauh, menurut Ganda (dalam Daulay, 2011) mahasiswa
adalah individu yang belajar dan menekuni disiplin ilmu yang
ditempuhnya secara mantap, dimana didalam menjalani
serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan
mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya diantara
mahasiswa ada yang sudah bekerja atau disibukkan oleh kegiatan
organisasi kemahasiswaan.
2.4.2. Definisi Bekerja
Menurut Anoraga (dalam Benedictus, 2010) mendefinisikan
kerja itu sesungguhnya adalah sebuah kegiatan social. Selain itu,
Hegel (dalam Anoraga,1992) mengatakan inti pekerjaan adalah
batasan manusia. Pekerjaan memungkinkan orang dapat
menyatakan diri secara obyektif ke dalam dunia ini, sehingga dia
dan orang lain dapat memandang dan memahami keneradaan
dirinya.
Bekerja juga merupakan perwujudan yang konkrit bagi misi
manusia di dunia (Frankl dalam Astuti, 2005). Frank juga
berpandangan bahwa bekerja merupakan kontribusi manusia
memberikan tenaga, pikiran, waktu, kreativitasnya bagi lingkungan
sekitarnya terutama yang berkaitan secara langsung dalam
pekerjaan yang digelutinya. Selain itu, UU RI Nomor 13 tahun
2003 Tentang Ketenaga Kerjaan pada Bab I ayat 3 (dalam Astuti,
2005) juga dijelaskan, pekerja adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
2.4.3. Definisi Mahasiswa yang Bekerja
Bekerja adalah suatu bentuk aktivitas yang mengandung 4
unsur, yaitu rasa kewajiban, pengeluaran energi, pengalaman
mewujudkan atau menciptakan sesuatu, dan diterima atau disetujui
oleh masyarakat menurut Powell (dalam Daulay, 2011). menjelang
usia adolescence dan young adulthood, banyak para remaja yang
sudah memikirkan tentang bagaimana mencari part-time job,
mengembangkan kemampuannya dalam masalah personal,
mengembangkan pendidikan, atau masuk dalam dunia pekerjaan,
dan presentase remaja yang bekerja meningkat sampai pada usia 21
tahun (Powell, 1983). Berdasarkan uraian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa mahasiswa yang bekerja adalah individu yang
menjalani aktivitas perkuliahannya sambil bekerja dalam suatu
lembaga usaha baik bekerja secara part-time maupun secara full-
time.
Alasan umum individu bekerja adalah karena uang (Anoraga,
2001). Jadi keinginan untuk mempertahankan hidup merupakan
salah satu sebab terkuat yang dapat menjelaskan mengapa individu
bekerja. Begitu pula halnya dengan mahasiswa yang bekerja.
Menurut Motte dan Schwartz (2009) alasan utama mahasiswa
bekerja adalah untuk mendapatkan sumber penghasilan. Selain itu
Motte dan Schwartz (2009) mengemukakan alasan lain mahasiswa
bekerja yaitu:

1. Bekerja untuk membantu orang tua dalam membiayai


kuliah Motte dan Schwartz (2009) menyatakan bahwa
alasan ini banyak dikemukakan oleh mahasiswa yang
berasal dari latar belakang ekonomi rendah yang hanya
mendapatkan sedikit dukungan finansial dari keluarganya
sehingga tak mampu menutupi seluruh biaya perkuliahan.

2. Bekerja untuk membayar aktivitas waktu luang, Alasan ini


banyak dikemukakan oleh mahasiswa yang berasal dari
latar belakang ekonomi menengah ke atas. Tujuan utama
mereka bekerja adalah mendapatkan penghasilan tambahan
untuk membayar segala aktivitas waktu luang mereka yang
tidak berhubungan dengan biaya pendidikan.

3. Bekerja sebagai suatu cara hidup mandiri, Alasan ini


dikemukakan oleh mahasiswa yang bekerja untuk
mendapatkan kemandirian ekonomis dan tidak ingin
bergantung pada penghasilan orang tua meskipun orangtua
masih mampu membiayai perkuliahan.

4. Bekerja untuk mencari pengalaman, Mahasiswa bekerja


untuk dapat merasakan langsung semua hal yang
berhubungan dengan dunia kerja yang sesungguhnya.
Dengan pengetahuan dan pengalaman langsung, mahasiswa
akan lebih mudah memahami isi perkuliahan tersebut.

Maka dapat disimpulkan, dengan bekerja, mahasiswa juga


mendapatkan gaji atau pendapatan dari tempat bekerjanya. Dari
segi besarnya gaji yang diberikan, biasanya tempat bekerja dari
mahasiswa sudah mempunyai standar khusus bagi pekerjanya yang
masih kuliah. Dan memang gaji yang diberikan lebih rendah dari
pada pekerja yang telah menyandang gelar sarjana. Ini wajar
adanya, karena asumsinya, pekerja yang telah mempunyai gelar
pasti mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari pada mereka yang
masih kuliah (Biecu, 2002).

2.5. Hubungan Antara Self Esteem dan Dukungan Sosial Keluarga


dengan Subjective Well-Being Mahasiswa yang Bekerja
Penelitian terdahulu pada subjective well-being mahasiswa bekerja
dilakukan oleh Pratiwi (2016) menunjukkan bahwa tingkat subjective
well being yang tinggi pada subyek. Hal ini dikarenakan bahwa walaupun
keadaan ekonomi siswa SMK tergolong menengah ke bawah, namun hal
itu tidak sepenuhnya berpengaruh kepada subjective well being siswa
SMK. Penelitian ini juga diperkuat oleh Rosyida (2021) bahwa terdapat
hubungan positif antara work-life balance dengan subjective well-being
pada mahasiswa yang bekerja.
Self-esteem sendiri menurut Coopersmith Ling dan Dariyo (2000),
menyatakan bahwa self-esteem atau harga diri adalah penilaian yang
dibuat seseorang, dan biasanya tetap, tentang dirinya, hal itu menyatakan
sikap menyetujui atau tidak menyetujui, dan menunjukkan sejauhmana
orang menganggap dirinya mampu, berarti, sukses dan berharga. (Ratna
Maharani Hapsari, tanpa tahun). Self-esteem sangat memegang peranan
penting dalam kehidupan seseorang. Bahkan menurut Diener masyarakat
dalam negara-negara yang individualistik mendasari hidup mereka
dengan penilaian kepuasan hidup pada tingkat perasaan tingginya self-
esteem. (Diener dan Diener, 1995 dalam Synder dan Lopez, 2005). Oleh
karena itu individu sangat diharuskan untuk mempunyai self-esteem yang
tinggi guna untuk pengembangan dirinya agar dapat merasakan kepuasan
hidup. Dengan merasakan kepuasan hidup maka terciptalah kesejahteraan
subjektif atau subjective well-being yang menimbulkan tingginya afek
positif pada diri individu dan rendahnya afek negatif serta kepuasan
hidup dalam domain kehidupan.
Kaitan self-esteem dengan subjective well-being, menurut
Campbell (dalam Wangmuba, 2009) menemukan bahwa self-esteem
merupakan prediktor yang paling penting untuk kesejahteraan subjektif.
Self-esteem yang tinggi membuat seseorang memiliki beberapa kelebihan
termasuk pemahaman mengenai arti dan nilai hidup. Hal itu merupakan
pedoman yang berharga dalam hubungan interpersonal dan merupakan
hasil alamiah dari pertumbuhan seseorang yang sehat (Ryan & Deci,
2001). Studi telah menunjukkan bahwa orang yang dilaporkan memiliki
self-esteem yang tinggi biasanya menggunakan lebih banyak proses
peningkatan diri (Sedikides dalam Wangmuba, 2009; Widyatys, 2010).
Salah satu faktor yang mempengaruhi subjective well-being yaitu
dukungan sosial. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ammar, Nauffal,
dan Sbeity (2013) pada mahasiswa di Lebanese menunjukkan bahwa
dukungan sosial merupakan prediktor yang paling penting untuk
memprediksi subjective well-being pada remaja. Hasil penelitian Chou
(1999) menunjukkan bahwa dukungan sosial dari teman lebih besar
daripada dukungan sosial keluarga dalam mempengaruhi SWB pada
remaja Cina di Hongkong. Hasil-hasil penelitian ini mendukung
pernyataan Diener, Suh, Lucas, & Smith (1999) bahwa dukungan sosial
merupakan faktor yang mempengaruhi SWB selain faktor genetik,
kepribadian, demografis, hubungan sosial, masyarakat atau budaya,
proses kognitif, dan tujuan (goals).
Penelitian terdahulu pada hubungan dukungan sosial pada subjective
well-being mahasiswa bekerja dilakukan oleh Khairani (2014)
menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara dukungan sosial
dengan SWB pada mahasiswa yang bekerja. Semakin kuat dukungan
sosial yang dirasakan maka semakin tinggi SWB pada mahasiswa yang
bekerja. Diperkuat dengan penelitian dari Fithriana (2018) yang telah
dilakukan pada mahasiswa yang bekerja paruh waktu di UNIKA
Soegijapranata Semarang, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif
yang signifikan antara dukungan sosial dengan subjective well being.
Semakin tinggi dukungan sosial yang dirasakan mahasiswa yang bekerja
paruh waktu maka semakin tinggi pula subjective well being pada
mahasiswa yang bekerja paruh waktu, dan begitu pula sebaliknya.

2.6. Kerangka Konseptual

Mahasiswa yang
Bekerja

Dukungan Sosial
Self Esteem
Keluarga

1. Dukungan
Emosional
1. Power
2. Dukungan
2. Significance Penghargaan
3. Virtue 3. Dukungan
Instrumental
4. Competence
4. Dukungan
Informasional
Dukungan Dukungan
Self Esteem Self Esteem Sosial Sosial
Rendah Tinggi Keluarga Keluarga
Tinggi Rendah

Subjective Well-Being Tinggi

Subjective Well-Being Rendah

2.7. Hipotesis Penelitian


2.7.1. Hipotesis Mayor
Pada penelitian ini, peneliti mengajukan hipotesis mayor
yaitu “Ada hubungan antara self esteem dan dukungan sosial
keluarga dengan subjective well-being pada mahasiswa yang
bekerja Universitas Hang Tuah”. Dalam hipotesis mayor ini arah
hubungan yaitu positif. Jika self esteem dan dukungan sosial
keluarga tinggi maka subjective well-being mereka tinggi.
2.7.2. Hipotesis Minor
Terdapat dua hipotesis minor pada penelitian ini, yaitu :
1. Ada hubungan antara self esteem dengan subjective well-
beingpada mahasiswa yang bekerja Universitas Hang Tuah”.
Dalam hipotesis mayor ini arah hubungan yaitu positif. Jika
self esteem tinggi maka subjective well-being mereka tinggi.
2. Ada hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan
subjective well-being pada mahasiswa yang bekerja
Universitas Hang Tuah”. Dalam hipotesis mayor ini arah
hubungan yaitu positif. Jika dukungan sosial keluarga tinggi
maka subjective well-being mereka tinggi.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif.
Menurut Sugiyono (2017), jenis penelitian kuantitatif adalah penelitian
kausalitas yang melihat hubungan antar variabel dependen dan
independen. Menurut Supratiknya (2014) variabel-variabel ini harus dapat
diukur sehingga data numerik yang dihasilkan bias dianalisis secara
statistik.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei. Menurut
Supratiknya (2014), metode ini bertujuan mengumpulkan informasi
tentang satu atau lebih kelompok orang terkait atribut tertentu seperti sifat,
sikap, pendapat, atau keyakinan individu tentang sesuatu dengan cara
mengajukan serangkaian pertanyaan kemudian membuat tabulasi dari
jawaban yang diberikan. Penelitian ini menggunakan kuisioner sebagai
alat pengumpul data.
Menurut Noor (2015) skala pengukuran merupakan alat ukur yang
digunakan untuk mengkuantifikasi informasi yang diberikan oleh
konsumen jika mereka diharuskan menjawab pertanyaan yang telah
dirumuskan dalam suatu kuisioner. Jenis penelitian yang digunakan yaitu
penelitian korelasional yang bertujuan untuk menguji hubungan antar
variabel (Singarimbun & Effendi, 2009).
3.2. Variabel Penelitian
Menurut Sugiyono (2017) variabel penelitian adalah suatu atribut
atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai
variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya. Penelitian ini menggunakan dua variabel
bebas atau independent variabel dan satu variabel terikat atau dependent
variabel, yaitu :
1. Variabel Bebas atau Independen Variabel (X) merupakan variabel
yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau
timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel bebas dalam penelitian
ini adalah :
X1 : Self Esteem
X2 : Dukungan Sosial Keluarga
2. Variabel Terikat atau Dependen Variabel (Y) merupakan variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat dari variabel bebas. Variabel
terikat dalam penelitian ini adalah :
Y : Subjective well-being

Keterkaitan antara variabel bebas (𝑋1) yaitu self esteem dan (𝑋2),
yaitu dukungan sosial keluarga terhadap Y, yaitu subjective well-being
dapat dilihat dalam skema sebagai berikut :

Self Esteem (X1)


r1

R Subjective Well-
Being
(Y)

Dukungan Sosial
Keluarga
(X2)
r2

Keterangan :

R : Hubungan antara X1 dan X2 dengan Y

r1 : Hubungan antara X1 dengan Y

r2 : Hubungan antara X2 dengan Y

3.3. Definisi Operasional Variabel


Menurut Azwar (2007) definisi operasional adalah definisi mengenai
variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik variabel tersebut yang
dapat diamati. Menurut Azwar (2013) definisi operasional adalah suatu
definisi mengenai variable yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-
karakteristik variable tersebut yang dapat diamati.. Berdasarkan pada
pengertian ini, maka variabel penelitian yang diguakan dalam penlitian ini
dapat didefinisikan secara operasional sebagai berikut :
3.3.1. Subjective Well-Being
Definisi Subjective well-being mengacu pada teori Diener
(2000) sebagai variabel Y didefinisikan sebagai penilaian
mahasiswa yang bekerja Universitas Hang Tuah melibatkan
aspek kognitif dan afektif yang dibuat menjadi skala
subjective well-being. Aspek kognitif merupakan hasil
evaluasi terhadap kepuasan hidup individu yaitu kepuasan
hidup dalam domain khusus dan dicerminkan dalam penilaian
ketika menjalani perkuliahan sambil bekerja. Aspek afektif
merupakan hasil evaluasi perasaan individu baik perasaan
positif maupun perasaan negatif terhadap pengalaman yang
terjadi dan tercermin dari afek positif dan negatif yang
dirasakan mahasiswa yang sedang bekerja.
Peneliti menggunakan aspek menurut menurut Diener &
Oishi (2005) yang terdapat dua aspek dasar subjective well
being yaitu kepuasan hidup (life satisfaction) sebagai aspek
kognitif dan afek positif dan negatif sebagai aspek afektif.
1. Aspek Kognitif
Aspek kognitif yang dimaksud merupakan hasil
evaluasi terhadap kepuasan hidup individu yang terdiri
dari kepuasan hidup secara global dan kepuasan hidup
dalam domain khusus. Kepuasan hidup global merupakan
evaluasi terhadap kehidupan seseorang berkaitan dengan
kehidupan ideal yang diharapkan, mampu menikmati
hidup, merasa puas dengan kehidupan yang sekarang,
merasa puas dengan hidup masa lalu, dan tidak memiliki
keinginan untuk merubah hidup yang sekarang Kepuasan
hidup yang termasuk dalam domain khusus antara lain
adalah keluarga, pekerjaan, financial, kesehatan, waktu
luang, diri sendiri dan persahabatan. Hal tersebut
mengindikasi seberapa puas individu pada masing-masing
domain seperti seberapa besar mereka menyukai
hidupnya, seberapa dekat kehidupan sekarang dengan
kehidupan yang diidealkan, seberapa banyak kesenangan
yang dialami serta seberapa besar kemauan untuk
membuat hidup mereka lebih baik ke depannya.
2. Aspek Afeksi
Aspek afeksi merupakan hasil evaluasi perasaan
individu baik perasaan positif maupun perasaan negatif
terhadap pengalaman yang terjadi atau reaksi individu
terhadap 6 kejadian-kejadian dalam hidup yang meliputi
emosi (afek) yang menyenangkan dan emosi (afek) yang
tidak menyenangkan. Afek positif atau emosi yang
menyenangkan merupakan bagian dari Subjective well
being yang dialami individu sebagai reaksi yang muncul
pada diri individu karena hidupnya berjalan sesuai dengan
apa yang diinginkan. Menurut Seligman (2005), emosi
positif dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu
emosi positif akan masa lalu, masa sekarang dan masa
depan. Emosi positif masa depan meliputi optimisme,
harapan, keyakinan dan kepercayaan. Emosi positif masa
sekarang mencakup kegembiraan, ketenangan, keriangan,
semangat yang meluap-luap, dan flow. Emosi positif
tentang masa lalu adalah kepuasan, kelegaan, kesuksesan,
kebanggaan dan kedamaian. Afek negatif termasuk
suasana hati dan emosi yang tidak menyenangkan yang
muncul sebagai reaksi negatif dari kejadian yang dialami
oleh individu dalam hidup mereka, kesehatan serta
lingkungan mereka (Diener & Oishi, 2005). Emosi negatif
yang paling umum dirasakan adalah kesedihan, 4
kemarahan, kecemasan, kekhawatiran, stres, frustrasi, rasa
malu dan bersalah serta iri hati.

Berdasarkan aspek diatas digunakan untuk mengetahui


subjective well-being, apabila semakin tinggi skor yang
diperoleh subjek, maka semakin tinggi subjective well-
beingnya. Sebaliknya, apabila semakin rendah skor yang
diperoleh oleh subjek, maka semakin rendah pula subjective
well-beingnya.

3.3.2. Self Esteem


Definisi self esteem mengacu pada teori Coopersmith
(1967) sebagai variabel X1 didefinisikan sebagai evaluasi
yang dibuat mahasiswa yang bekerja Universitas Hang Tuah
dan kebiasaan memandang dirinya terutama mengenai sikap
menerima atau menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan
individu terhadap kemampuannya, keberartian, kesuksesan
dan keberhargaan pada mahasiswa bekerja.
Peneliti menggunakan aspek self esteem enurut
Coopersmith (1967:38-41). Terdapat empat aspek yang
terkandung dalam Self Esteem, yaitu:

1. Power
Kekuasaasan dalam arti kemampuan untuk
mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain.
Kemampuan ini ditandai oleh adanya pengakuan dan
rasa hormat yang diterima individu dari orang lain dan
besarnya sumbangan dari pikiran atau pendapat dan
kebenarannya.

2. Significance
Significance atau keberartian adalah adanya
kepedulian dan afeksi yang diterima individu dari orang
lain. Hal tersebut merupakan penghargaan dan minat dari
orang lain dan pertanda penerimaan dan popularitasnya.
Keadaan tersebut ditandai oleh kehangatan,
keikutsertaan, perhatian, dan kesukaan orang lain
terhadapnya.

3. Virtue
Virtue atau kebajikan adalah ketaatan atau
mengikuti standar moral dan etika. Kebajikan ditandai
oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang harus
dihindari dan melakukan tingkah laku yang
diperbolehkan atau diharuskan oleh moral atau etika dan
agama.

4. Competence
Kemampuan, dalam arti sukses memenuhi tuntutan
prestasi yang ditandai oleh keberhasilan individu dalam
mengerjakan bermacam-macam tugas atau pekerjaan
dengan baik dari level yang tinggi dan usia yang
berbeda.
Berdasarkan aspek diatas digunakan untuk mengetahui
self esteem, apabila semakin tinggi skor yang diperoleh subjek,
maka semakin tinggi self esteemnya. Sebaliknya, apabila
semakin rendah skor yang diperoleh oleh subjek, maka
semakin rendah pula self esteemnya.

3.3.3. Dukungan Sosial Keluarga


Definisi dukungan sosial keluarga mengacu pada teori
Sarafino (2011) sebagai variabel X2 didefinisikan sebagai
kesenangan yang dirasakan mahasiswa yang bekerja
Universitas Hang Tuah, penghargaan akan kepedulian atau
membantu orang lain yang didapat dari keluarga. Dukungan
dapat berupa dukungan emosional, instrumental, penghargaan
dan informasi.
Peneliti menggunakan aspek dukungan sosial keluarga
menurut Sarafino (2011) yaitu :
1. Dukungan emosional
Dukungan emosional adalah berupa afeksi,
penghargaan, kepercayaan, perhatian dan perasaan di
dengarkan. Dukungan emosional disebut juga dengan
istilah emosi atau dukungan teman dekat. Hal ini
didasarkan pada asumsi bahwa masalah penting
umumnya melibatkan aspek negatif mengenai diri
sendiri dan seseorang yang cenderung membicarakan
masalah – masalah tersebut hanya orang – orang
terdekat atau orang – orang yang mempunyai hubungan
emosianal dengan dirinya.
2. Dukungan instrumental
Dukungan ini melibatkan bantuan langsung, berupa
bantuan finansial atau bantuan mengerjakan tugas –
tugas tertentu.
3. Dukungan penghargaan
Dengan ini terjadi melalui ungkapan hormat
penghargaan positif untuk orang yang bersangkutan,
dorongan maju atau menyetujui suatu ide, gagasan
atau kemampuan yang dimiliki seseorang dan
perbandingan positif orang itu dengan orang lain.
4. Dukungan informasi
Dukungan informasi ini dapat berupa saran,
penghargaan dan umpan balik tentang bagaimana cara
memecahkan persoalan.

Berdasarkan aspek diatas digunakan untuk mengetahui


dukungan sosial keluarga, apabila semakin tinggi skor yang
diperoleh subjek, maka semakin tinggi dukungan sosial
keluarganya. Sebaliknya, apabila semakin rendah skor yang
diperoleh oleh subjek, maka semakin rendah pula dukungan
sosial keluarganya.

3.4. Populasi dan Teknik Sampling Penelitian


3.4.1. Populasi
3.4.2. Sampel Penelitian
3.4.3. Teknik Sampling
3.5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data menggunakan tiga jenis skala sikap, yaitu


subjective well-being, skala self esteem, dan skala dukungan sosial
keluarga. Skala subjective well-being, skala self esteem dan dukungan
sosial keluarga disusun oleh peneliti. Skala Likert digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau kelompok orang
tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2014). Alasan peneliti memilih skala
Likert sebagai alat ukur untuk mengumpulkan data, antara lain :
1) Pembuatan skala praktis
2) Nilai reliabilitas alat ukur relatif lebih tinggi
3) Memberikan keterangan jelas mengenai pendapat atau
sikap responden mengenai isu yang ditanyakan.
Sugiyono (2014) juga menyatakan bahwa instrumen penelitian
adalah suatu alat pengumpul data yang digunakan untuk mengukur
fenomena alam maupun sosial yang diamati. Dengan demikian,
instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk
menghasilkan data yang akurat yaitu dengan menggunakan skala Likert.
Pernyataan – pernyataan yang disusun dalam skala Likert berdasarkan
indikator – indikator atau karakteristik yang dianggap mewakili variabel
penelitian.
Ketiga skala dalam penelitian ini, terdiri dari beberapa aitem yang
bersifat favourable dan unfavourable, agar subyek dapat menjaga
konsistensi jawaban dan subyek diminta memilih salah satu dari empat
alternatif jawaban yang disediakan meliputi sangat sesuai (SS), sesuai
(S), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS). Berikut adalah cara
penyekoran skala yang disajikan dalam bentuk tabel dibawah ini :

Tabel 3. 1 Nilai Skala Subjective Well-Being, Self-Esteem dan Dukungan

Sosial Keluarga

Item Sangat Sangat Tidak


Setuju Tidak Setuju
Setuju Setuju
Favorable 4 3 2 1
Unfavorabl
1 2 3 4
e
DAFTAR PUSTAKA

Diener, E. (1984). Subjective Well-Being, American Psychological Association,


95 (3): 542 – 575.

Diener, E., Emmons, R.A, Larsen, R.J., Griffin, S. (1985). The Satisfaction With
Life Scale, Journal of Personality Assesment, 49 (1): 71 – 75.

Diener, E., Suh, E. M., Lucas, R. E., & Smith, H. L. (1999). Subjective Well-
Being: Three Decades of Progrss, Psychologica Bulletin, 125 (2): 276 –
302.

Diener, E., Suh, E., & Oishi, S. (1997). Recent Findings on Subjective Well-
Being, Indian Journal on Clinical Psychology,
http://www.psych.uiuc.edu/~ediener/hottopic/paper1.html.

Fithriana, N. H. (2018). Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Subjective


Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja Paruh Waktu (Doctoral
dissertation, Unika Soegijapranata Semarang).

Gunawati, R., Hartati, S., & Listiara, A. Hubungan antara efektivitas komunikasi
mahasiswa-dosen pembimbing utama skripsi dengan stres dalam menyusun
skripsi pada mahasiswa program studi psikologi fakultas kedokteran
universitas diponegoro. Jurnal Psikologi, 3(2), 93-115.
https://doi.org/10.14710/jpu.3.2.93%20-%20115

Havighurst, R. J. (1973). History of developmental psychology: Socialization and


personality development through the life span. In Life-span developmental
psychology (pp. 3-24). Academic Press.

Hurlock, Elizabeth H. (1990). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan


sepanjang rentang kehidupan. Penerbit Erlangga.

Khairani, A. (2014). Hubungan Dukungan Sosial Dengan Subjective Well Being


Pada Mahasiswa Yang Bekerja (Doctoral dissertation, Universitas Islam
Negeri Sultan Sarif Kasim Riau).
Lenaghan, J. A., & Sengupta, K. (2007). Role conflict, role balance and affect: A
model of well-being of the working student. Journal of Behavioral and
Applied Management, 9(1), 88-109.

Monks, F.J.; Knoers, A.M.P.; Haditono, S.R., (1998). Psikologi perkembangan.


Pengantar dalam berbagai bagiannya. Gadjahmada University Press.

Panggagas, F. A. W., Imawati, D., & Sari, M. T. (2020). Pengaruh gratitude


terhadap subjective well-being pada mahasiswa kuliah dan bekerja di
universitas 17 agustus 1945 samarinda. MOTIVASI, 7(1), 30-40.

Pratiwi, T. S. D., Permadi, A. S., & Psi, S. (2016). Hubungan Antara Self Esteem
dengan Subjective Well Being pada Siswa SMK (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Surakarta).

Rosyida, N. (2021). Hubungan Antara Work-Life Balance Dengan Subjective


Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Malang).

Schwarzer, R., & Jerusalem, M. (1995). Generalized Self-Efficacy scale. In J.


Weinman, S. Wright, & M. Johnston, Measures in health psychology: A
user’s portfolio. Causal and control beliefs, 35-37.

Slamet. (2003). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta:


Rineka Cipta.

Wolbers, M. H., De Graaf, P. M., & Ultee, W. C. (2001). Trends in the


occupational returns to educational credentials in the Dutch labor market:
changes in structures and in the association?. Acta sociologica, 44(1), 5-19.

Wyland. Carrie L. & Heatherton Todd F. (2003). Assessing self-esteem. Dalam


C.R. Snyder & S.J. Lopez (edtr.), Positive psychological assessment: A
handbook of models and measures. Washington, DC: American
Psychological Association

Anda mungkin juga menyukai