Dosen Pembimbing :
Disusun Oleh :
Khoifulloh Aprilianto
20190810065
FAKULTAS PSIKOLOGI
2021-2022
BAB I
PENDAHULUAN
“ya mau gimana lagi, antara bahagia dan tidak si sebenernya, karena
saya bekerja sambil kuliah ini atas dasar tuntutan orang tua si, kalo saya
ini lebih ke "bekerja disambi kuliah" bukan yang "kuliah disambi kerja"
jadi untuk bahagiain diri sendiri itu susah karena saya harus
membahagiakan orang lain dulu bukan untuk kebahagiaan saya
sendiri”( BA, 18 Oktober 2021)
“diawal aku bahagia karena satu sisi aku merasa lebih bisa dibanding
teman-temanku tapi setelah bekerja 5 bulan aku ngerasa kewalahan dan
susah istirahat dan juga hari libur ku serasa ga kayak hari libur jadi jujur
dibilang bahagia si engga makanya aku mutusin untuk resign minggu
depan karna takut makin kewalahan di smt 5 ini” (CC, 21 Oktober 2021)
“kurang merasa puas ya kak, soalnya harus banget ngatur waktu yang
super padet, harus bisa bagi waktu antara organisasi, kuliah, kerja.. ini
buat tugas kuliah jadi berantakaan, i mean berantakan kek ketumpuk
banyak banget, fokusnya terbagi, n anything else nya itu”(ANA, 25
Oktober 2021)
Berdasarkan hasil wawancara pra-survey terdapat permasalahan
yang dialami oleh mahasiswa Universitas Hang Tuah yang sedang bekerja
yaitu permasalahan mengenai kepuasan hidup mereka karena harus
membagi waktu antara kuliah dan kerja. Ada beberapa tugas yang
membuat mereka merasa kewalahan dalam menjalani profesi menjadi
mahasiswa sekaligus bekerja. Lalu ada juga yang terpaksa karena tuntutan
orang tua dan bekerja untuk membahagiakan orang lain daripada diri
sendiri.
Orang dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika
mengalami lebih banyak afeksi positif atau perasaan menyenangkan dan
puas akan kehidupannya yang dimiliki. Sebaliknya, orang yang memiliki
subjective well-being rendah akan cenderung diliputi perasaan-perasaan
negatif dalam dirinya (Diener, dkk.,1999: 295). Subjective well-being
merupakan cara seseorang mengevaluasi hidupnya yang meliputi kepuasan
hidup, afeksi positif dan afeksi negatif (Diener, Suh, dan Oishi, 1997).
Konsep kesejahteraan diri dapat dijelaskan dengan dua aliran, yaitu
aliran eudaimonic dan aliran hedonic (Ryan & Deci, 2001). Aliran
hedonic menjelaskan bahwa kesejahteraan diri dapat dicapai melalui
kesejahteraan subjektif. Subjective well being (kesejahteraan subjektif)
awalnya dianggap sebagai suatu trait yang stabil, akan tetapi ternyata ada
faktor yang mampu mempengaruhi peningkatan ataupun penurunan
subjective well being (SWB, untuk selanjutnya menggunakan istilah SWB)
seperti kepribadian, pekerjaan, hubungan sosial, status pernikahan, dan
budaya (Diener, Lucas, & Oishi, 2005).
Subjective well-being mengacu pada penilaian individu terhadap
situasi dalam kehidupannya secara keseluruhan mencakup perasaan senang
dan sakit, atau kualitas hidupnya. Subjective well-being merupakan konsep
yang sangat luas, meliputi emosi pengalaman menyenangkan, rendahnya
tingkat mood negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi (Diener, Lucas,
Oishi, 2005).
Ed Diener dan Carol Diener pada tahun 1996 dalam laporan
penelitiannya yang meneliti tentang sebagian besar orang bahagia. Dalam
penelitian ini peneliti bertanya kepada orang yang mempunyai kesempatan
untuk melaporkan secara lisan seberapa bahagia atau puas mereka.
Pertanyaan yang diberikan bertujuan untuk melihat fakta siapa yang lebih
atau kurang bahagia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
orang merasa puas dengan pernikahannya, pekerjaannya, dan waktu luang
yang dimiliki.
Akan tetapi, walaupun studi terbaru menunjukkan bahwa
kebanyakan orang bahagia (Diener & Diener, in perss) dan
mempertimbangkan emosi positif lebih normatif dari emosi negatif
(Sommers, 1984), sejauh mana aktivitas kehidupan mempengaruhi tingkat
individu dari subjective well-being tidak sepenuhnya dipahami. Sebagai
contoh, efek dari keadaan kehidupan objektif, seperti pendapatan (Diener,
Sandvik, Seidlitz, & Diener, 1992), kesehatan (Okun & George, 1984),
tahun pendidikan (Diener, 1984), dan daya tarik fisik (Diener, Wolsic, &
Fujita, 1995), sering ditemukan mempunyai pengaruh yang kecil. 7
Demikian pula, temuan Campbell, Converse, dan Rogers (1976)
menyimpulkan bahwa efek dari variabel-variabel demografis di subjective
well-being berpengaruh kecil pada kesejahteraan subjektif. Peneliti lain
menunjukkan bahwa kesejahteraan terutama ditentukan oleh sifat daripada
situasi kehidupan eksternal (Costa & McCrae, 1980, 1984; Costa, McCrae,
& Zonderman, 1987; Diener, Sandvik, Pavot, & Fujita, 1992 dalam
Eunkook Suh, Ed Diener, & Frank Fujita, 1996).
Lucas, Diener dan Suh tahun 1996 mendemonstrasikan multi-item
dari subjective well-being yaitu kepuasan hidup, perasaan senang, dan
perasaan tidak senang dan juga dari 8 konstruk lain seperti self-esteem
(Diener, Richard E. Lucas, & Shigehiro Oishi dalam C. R. Snyder dan
Shane J. Lopez, 2005). Wilson tahun 1967 memperlihatkan bahwa faktor
psikologis dan demografi berhubungan dengan subjective well-being.
Faktor psikologis terdiri dari self-esteem, kebahagiaan (happiness), mood,
kepribadian, dan IQ. Sedangkan faktor demografi terdiri dari umur,
pendidikan, jenis kelamin, agama, status, gaji, kesehatan, dan kebudayaan
(culture) (C. R Synder dan Shane J. Lopez, 2005).
Penelitian terdahulu pada subjective well-being mahasiswa bekerja
dilakukan oleh Pratiwi (2016) menunjukkan bahwa tingkat subjective well
being yang tinggi pada subyek. Hal ini dikarenakan bahwa walaupun
keadaan ekonomi siswa SMK tergolong menengah ke bawah, namun hal
itu tidak sepenuhnya berpengaruh kepada subjective well being siswa
SMK. Penelitian ini juga diperkuat oleh Rosyida (2021) bahwa terdapat
hubungan positif antara work-life balance dengan subjective well-being
pada mahasiswa yang bekerja.
Self-esteem sendiri menurut Coopersmith Ling dan Dariyo (2000),
menyatakan bahwa self-esteem atau harga diri adalah penilaian yang
dibuat seseorang, dan biasanya tetap, tentang dirinya, hal itu menyatakan
sikap menyetujui atau tidak menyetujui, dan menunjukkan sejauhmana
orang menganggap dirinya mampu, berarti, sukses dan berharga. (Ratna
Maharani Hapsari, tanpa tahun). Self-esteem sangat memegang peranan
penting dalam kehidupan seseorang. Bahkan menurut Diener masyarakat
dalam negara-negara yang individualistik mendasari hidup mereka dengan
penilaian kepuasan hidup pada tingkat perasaan tingginya self-esteem.
(Diener dan Diener, 1995 dalam Synder dan Lopez, 2005). Oleh karena itu
individu sangat diharuskan untuk mempunyai self-esteem yang tinggi guna
untuk pengembangan dirinya agar dapat merasakan kepuasan hidup.
Dengan merasakan kepuasan hidup maka terciptalah kesejahteraan
subjektif atau subjective well-being yang menimbulkan tingginya afek
positif pada diri individu dan rendahnya afek negatif serta kepuasan hidup
dalam domain kehidupan.
Kaitan self-esteem dengan subjective well-being, menurut Campbell
(dalam Wangmuba, 2009) menemukan bahwa self-esteem merupakan
prediktor yang paling penting untuk kesejahteraan subjektif. Self-esteem
yang tinggi membuat seseorang memiliki beberapa kelebihan termasuk
pemahaman mengenai arti dan nilai hidup. Hal itu merupakan pedoman
yang berharga dalam hubungan interpersonal dan merupakan hasil alamiah
dari pertumbuhan seseorang yang sehat (Ryan & Deci, 2001). Studi telah
menunjukkan bahwa orang yang dilaporkan memiliki self-esteem yang
tinggi biasanya menggunakan lebih banyak proses peningkatan diri
(Sedikides dalam Wangmuba, 2009; Widyatys, 2010).
Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dipublikasikan,
dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang juga mempengaruhi
subjective well-being. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ammar,
Nauffal, dan Sbeity (2013) pada mahasiswa di Lebanese menunjukkan
bahwa dukungan sosial merupakan prediktor yang paling penting untuk
memprediksi subjective well-being pada remaja. Hasil penelitian Chou
(1999) menunjukkan bahwa dukungan sosial dari teman lebih besar
daripada dukungan sosial keluarga dalam mempengaruhi SWB pada
remaja Cina di Hongkong. Hasil-hasil penelitian ini mendukung
pernyataan Diener, Suh, Lucas, & Smith (1999) bahwa dukungan sosial
merupakan faktor yang mempengaruhi SWB selain faktor genetik,
kepribadian, demografis, hubungan sosial, masyarakat atau budaya, proses
kognitif, dan tujuan (goals).
Dukungan sosial merupakan suatu kebersamaan sosial, dimana
individu berada di dalamnya, yang memberikan beberapa dukungan
seperti bantuan nyata, dukungan informasi, dan dukungan emosional
sehingga individu merasa nyaman (Lazarus,1991). Menurut Cohen dan
Syme (1985), dukungan sosial keluarga yang dirasakan akan berfungsi
mengurangi efek-efek negatif dari gangguan dan mengembalikan individu
kekeadaan kesehatan mental yang baik. Adanya dukungan sosial yang
terus-menerus dari lingkungan terdekatnya, dalam hal ini keluarga inti,
keluarga besar akan membuat seorang karyawan merasa dihargai dan
diperhatikan sehingga konflik yang timbul akan dihadapi dengan tenang.
Menurut House & Khan (1980) dukungan sosial adalah tindakan yang
bersifat membantu yang melibatkan emosi, pemberian informasi, bantuan
instrumen, dan penilaian positif pada individu dalam menghadapi
permasalahannya.
Menurut House (dalam Smet,1994), terdapat empat aspek dukungan
sosial, yaitu dukungan emosional, seperti empati, cinta, dan kepercayaan
yang di dalamnya terdapat pengertian, rasa percaya, penghargaan dan
keterbukaan. Dukungan informatif, berupa informasi, nasehat, dan
petunjuk yang diberikan untuk menambah pengetahuan seseorang dalam
mencari jalan keluar pemecahan masalah. Dukungan instrumental, seperti
penyediaan sarana yang dapat mempermudah tujuan yang ingin dicapai
dalam bentuk materi, pemberian kesempatan waktu, pekerjaan, peluang
serta modifikasi lingkungan, dan yang terakhir penilaian positif, berupa
pemberian penghargaan atas usaha yang telah dilakukan, memberi umpan
balik mengenai hasil atau prestasi, penghargaan dan kritik yang
membangun. Dukungan mampu meningkatkan kesehatan psikis dan
melindungi psikis dalam kondisi stres.
Penelitian terdahulu pada hubungan dukungan sosial pada subjective
well-being mahasiswa bekerja dilakukan oleh Khairani (2014)
menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara dukungan sosial
dengan SWB pada mahasiswa yang bekerja. Semakin kuat dukungan
sosial yang dirasakan maka semakin tinggi SWB pada mahasiswa yang
bekerja. Diperkuat dengan penelitian dari Fithriana (2018) yang telah
dilakukan pada mahasiswa yang bekerja paruh waktu di UNIKA
Soegijapranata Semarang, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif
yang signifikan antara dukungan sosial dengan subjective well being.
Semakin tinggi dukungan sosial yang dirasakan mahasiswa yang bekerja
paruh waktu maka semakin tinggi pula subjective well being pada
mahasiswa yang bekerja paruh waktu, dan begitu pula sebaliknya.
Penelitian mengenai hubungan antara self esteem dan dukungan
sosial keluarga terhadap subjective well-being pada mahasiswa bekerja
Universitas Hang Tuah belum pernah diteliti sebelumnya. Mengingat
bahwa subjective well-being sangat penting dimiliki oleh setiap individu,
terutama pada mahasiswa bekerja dan kuliah di Universitas Hang Tuah.
Berdasarkan pendapat tersebut peneliti ingin membuktikan apakah self
esteem dan dukungan sosial keluarga memiliki hubungan dengan
subjective well-being pada mahasiswa bekerja Universitas Hang Tuah?
BAB II
KAJIAN TEORI
1. Dimensi Kognitif
Diener (2000) menyatakan bahwa SWB terdiri dari dua
komponen yang terpisah, yaitu dimensi kognitif dan dimensi
afektif. Dimensi kognitif direpresentasikan dalam bentuk
kepuasan hidup secara global/umum (lebih dikenal dengan
kepuasan hidup saja) dan kepuasan terhadap hal yang lebih
spesifik seperti pekerjaan (work satisfaction), keluarga, dsb.
Dalam hal ini peneliti hanya menjelaskan tentang kepuasan hidup
secara global/umum.
Kepuasan hidup (life satisfaction) merupakan bagian dari
dimensi kognitif dari SWB. Life satisfaction (Diener, 1994)
merupakan penilaian kognitif seseorang mengenai kehidupannya,
apakah kehidupan yang dijalaninya berjalan dengan baik. Ini
merupakan perasaan cukup, damai, dan puas dari kesenjangan
antara keinginan dan kebutuhan dengan pencapaian dan
pemenuhan. Campbell, Converse, dan Rodgers (dalam Diener,
1994) mengatakan bahwa kompoen kognitif ini merupakan
kesenjangan yang dipersepsikan antara keinginan dan
pencapaiannya apakah terpenuhi atau tidak.
Dimensi kognitif SWB ini juga mencakup area
kepuasan/domain satisfaction individu di berbagai bidang
kehidupannya, seperti bidang yang berkaitan dengan diri sendiri,
keluarga, kelompok teman sebaya, kesehatan, keuangan,
pekerjaan, dan waktu luang, artinya dimensi ini memiliki
gambaran yang multifacet. Dan hal ini sangat bergantung pada
budaya dan bagaimana kehidupan seseorang itu terbentuk
(Diener, 1984). Andrews dan Withey (dalam Diener, 1984) juga
menyatakan bahwa domain yang paling dekat dan mendesak
dalam kehidupan individu merupakan domain yang paling
mempengaruhi SWB individu tersebut. Dimensi ini dapat
dipengaruhi oleh afek namun tidak mengukur emosi seseorang.
2. Dimensi Afektif
Subjective well-being merupakan kategori besar yang
mencakup respon emosional individu, area kepuasan, dan
kepuasan hidup. Setiap konstruk harus dipahami dengan cara
yang sesuai (Stones & Kozma dalam Diener, Suh, Lucas, &
Smith, 1999). Dimensi afektif merupakan perubahan
neuropsikologikal yang sering dialami sebagai perasaan, mood,
atau emosi dan dapat diorganisasikan ke dalam bentuk paling
tidak menjadi dua dimensi yaitu valensi dan arousal (Tsai, 2007).
Mood dan emosi yang biasa dikenal dengan afek,
merepresentasikan evaluasi individu terhadap setiap peristiwa
yang ada di dalam hidupnya (Diener, Suh, Lucas, & Smith,
1999).
Bradburn dan Caplovitz (dalam Diener, Suh, Lucas, &
Smith, 1999) mengungkapkan tentang afek menyenangkan dan
afek tidak menyenangkan membentuk dua faktor yang
independen dan harus diukur secara terpisah. Watson dan
Tellegen (dalam Watson, Clark, & Tellegen, 1988) menyatakan
sebuah landasan, model dua faktor yang biasa disebut dengan
afek positif dan afek negatif.
a) Afek Positif
Afek positif merupakan refleksi dari perasaan
antusias, aktif, dan siaga. Afek positif yang tinggi
berupa energi yang tinggi, konsentrasi penuh, dan
pengalaman yang menyenangkan, sebaliknya afek
positif yang rendah bercirikan kesedihan dan lesu
(Watson, Clark, & Tellegen, 1998). Snyder dan Lopez
(2006) juga mengungkapkan afek positif meliputi antara
lain simptom-simptom antusiasme, keceriaan, dan
kebahagiaan hidup.
b) Afek Negatif
Afek negatif merupakan dimensi umum dari
keadaan yang menyedihkan dan tidak menyenangkan
yang memunculkan berbagai macam mood yang tidak
disukai seperti marah, merasa bersalah, takut, dan
tegang, afek negatif yang rendah akan memunculkan
rasa ketenangan dan ketentraman (Watson, Clark, &
Tellegen, 1998). Afek negatif merupakan kehadiran
simptom yang menyatakan bahwa hidup tidak
menyenangkan (Snyder & Lopez, 2006).
2.2. Self Esteem
2.2.1. Definisi Self Esteem
Menurut Coopersmith (1967) self esteem merupakan evaluasi
yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya terutama
mengenai sikap menerima atau menolak, dan indikasi besarnya
kepercayaan individu terhadap kemampuannya, keberartian,
kesuksesan dan keberhargaan. Secara singkat self esteem adalah
“personal judgment” mengenai perasaan berharga atau berarti yang
di ekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya. Self
esteem erat kaitannya dengan self concept (Coopersmith, 1967).
Coopersmith (1967) menyatakan self esteem sebagai evaluasi
yang dibuat dan dipegang oleh individu mengenai keadaan dirinya.
Evaluasi ini menyatakan suatu sikap penerimaan atau penolakan dan
menunjukkan sejauh mana individu percaya bahwa dirinya mampu,
berarti, berhasil dan berharga. Hal ini senada dengan pendapat Klass
dan Hodge (dalam Widyastuti, 2005) yang mengemukakan self
esteem sebagai hasil evaluasi diri yang dibuat dan dipertahankan
oleh individu, dimana proses tersebut diperoleh atas hasil interaksi
dengan lingkungan serta penghargaan, penerimaan dan perlakuan
orang lain terhadap individu.
Baron dan Byrne (2004) menyebutkan bahwa self esteem adalah
evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu; sikap seseorang
terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif-negatif.
Menurut Myers (2014) self esteem adalah evaluasi diri seseorang
secara keseluruhan. Crocker dan Wolfe (dalam Myers, 2014)
memberikan pernyataan bahwa kita akan memiliki self esteem jika
kita merasa senang dengan domain (penampilan, kepandaian dan
lainnya) yang kita anggap penting bagi diri kita sendiri. Orang
dengan self esteem yang rendah seringkali memiliki permasalahan
dalam hidup (Widyastuti, 2014).
Menurut Rosenberg (1965) self esteem adalah gambaran
penilaian berhubung kait dengan penilaian dari perspektif individu
lain yang wujud hasil dari interaksi manusia. Dalam proses untuk
mengambil alih peranan orang lain, individu tersebut akan mula
sedar bahawa dirinya merupakan objek kepada tumpuan, persepsi
dan penilaian orang lain menyebabkan seseorang individu menilai
dirinya menerusi pandangan yang diberikan oleh orang lain.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti menggunakan
definisi dari Coopersmith (1967) menyatakan bahwa self esteem
merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang
dirinya terutama mengenai sikap menerima atau menolak, dan
indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuannya,
keberartian, kesuksesan dan keberhargaan.
2.2.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Self Esteem
Menurut Coopersmith (dalam Nurmalasari, 2010; Herdiyanto &
Surjaningrum, 2014) ada beberapa faktor yang mempengaruhi self
esteem, yaitu :
1. Penghargaan dan Penerimaan dari Orang-orang yang Signifikan.
Self esteem seseorang dipengaruhi oleh orang yang
dianggap penting dalam kehidupan individu yang bersangkutan.
orangtua dan keluarga merupakan contoh dari orang-orang yang
signifikan. Keluarga merupakan lingkungan tempat interaksi
yang pertama kali terjadi dalam kehidupan seseorang.
2. Kelas Sosial dan Kesuksesan.
Menurut Coopersmith (1967), kedudukan kelas sosial dapat
dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat tinggal. Individu
yang memiliki pekarjaan yang lebih bergengsi, pendapatan yang
lebih tinggi dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar dan
mewah akan dipandang lebih sukses dimata masyarakat dan
menerima keuntungan material dan budaya. Hal ini akan
menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi meyakini
bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain.
3. Nilai dan Inspirasi Individu dalam Menginterpretasi Pengalaman.
Kesuksesan yang diterima oleh individu tidak
mempengaruhi self esteem secara langsung melainkan disaring
terlebih dahulu melalui tujuan dan nilai yang dipegang oleh
individu.
4. Cara Individu dalam Menghadapi Devaluasi.
Individu dapat meminimalisasi ancaman berupa evaluasi
negatif yang datang dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak
dari orang lain yang memberikan penilaian negatif terhadap diri
mereka.
2.2.3. Aspek – Aspek Self Esteem
Menurut Coopersmith (1967:38-41) terdapat empat aspek yang
terkandung dalam Self Esteem, yaitu:
1. Power
Kekuasaasan dalam arti kemampuan untuk mengatur dan
mengontrol tingkah laku orang lain. Kemampuan ini ditandai
oleh adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu
dari orang lain dan besarnya sumbangan dari pikiran atau
pendapat dan kebenarannya.
2. Significance
Significance atau keberartian adalah adanya kepedulian dan
afeksi yang diterima individu dari orang lain. Hal tersebut
merupakan penghargaan dan minat dari orang lain dan pertanda
penerimaan dan popularitasnya. Keadaan tersebut ditandai oleh
kehangatan, keikutsertaan, perhatian, dan kesukaan orang lain
terhadapnya.
3. Virtue
Virtue atau kebajikan adalah ketaatan atau mengikuti
standar moral dan etika. Kebajikan ditandai oleh ketaatan untuk
menjauhi tingkah laku yang harus dihindari dan melakukan
tingkah laku yang diperbolehkan atau diharuskan oleh moral atau
etika dan agama.
4. Competence
Kemampuan, dalam arti sukses memenuhi tuntutan prestasi
yang ditandai oleh keberhasilan individu dalam mengerjakan
bermacam-macam tugas atau pekerjaan dengan baik dari level
yang tinggi dan usia yang berbeda.
2.3. Dukungan Sosial Keluarga
2.3.1. Definisi Dukungan Sosial Keluarga
Menurut Sarafino (2011), dukungan sosial mengacu pada
kesenangan yang dirasakan, penghargaan akan kepedulian atau
membantu orang lain yang didapat dari orang lain atau kelompok –
kelompok lain. Menurut Cobb (dalam Smet, 1994), dukungan
sosial merupakan informasi yang menuntut seseorang meyakini
bahwa dirinya di urus dan di sayang. Menurut Smet (1994),
dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu merasa
tenang, di perhatikan, dicintai, timbul rasa percaya diri dan
kompeten.
Dukungan sosial menurut House (dalam Smet, 1994),
didefenisikan sebagai tindakan membantu yang melibatkan emosi,
pemberian informasi, bantuan instrumental dan penilaian positif
pada individu dalam menghadapi permasalahannya. Sementara
menurut Siegel (dalam Santrock, 2005) dukungan sosial adalah
informasi umpan balik dari orang lain bahwa individu dicintai dan
diperhatikan, memiliki harga diri, dihargai, serta merupakan bagian
dari komunikasi dan kewajiban bersama.
Taylor (2009) menjelaskan dukungan sosial akan lebih berarti
bagi seseorang apabila diberikan oleh orang yang memiliki
hubungan signifikan dengan individu yang bersangkutan, dengan
kata lain, dukungan tersebut diperoleh dari orang tua, pasangan
(suami atau istri), anak dan kerabat keluargalainnya. Rodin dan
Salovey (dalam Smet, 1994) menyebutkan dukungan sosial yang
terpenting berasal dari keluarga.
Keluarga adalah dua individu lebih yang tergabung karena
hubungan darah, perkawinan atau pengangkatan dan yang hidup
dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan dalam
perannya masing – masing menciptakan serta
mempertahankankebudayaan (Friedman, 2010). Sedangkan
menurut Ali (2010), keluarga adalah dua atau lebih individu yang
bergabung karena hubungan sedarah, perkawinan, dan adopsi
dalam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu dengan lainnya
dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.
Walsh (2003) menjelaskan keberfungsian keluarga sebagai
interaksi keluarga dalam menjalakan tugas penting yaitu menjaga
pertumbuhan dan kesejahteraan dari masing-masing anggotanya
dan mempertahankan integrasinya. Menurut Moos dan Moos
(2002), keberfungsian keluarga mengacu kepada kualitas interaksi
anggota keluarga.
Menurut Friedman (2010) dukungan sosial keluarga dapat
berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan dari
suami dan istri serta saudara kandung. Sedangkan dukungan sosial
eksternal adalah dukungan dari teman, maupun tetangga.
Dukungan keluarga merupakan suatu proses hubungan antara
anggota keluarga dengan adanya dukungan timbal balik dan
keterlibatan emosional berupa kenyamanan, perhatian,
penghargaan, atau dorongan menolong orang lain dengan sikap
menerima kondisinya, yang dapat diperoleh dari individu maupun
kelompok.
2.3.2. Aspek – Aspek Dukungan Sosial Keluarga
Dukungan sosial meliputi empat aspek menurut Sarafino
(2011) yaitu :
1. Dukungan emosional
Dukungan emosional adalah berupa afeksi, penghargaan,
kepercayaan, perhatian dan perasaan di dengarkan. Dukungan
emosional disebut juga dengan istilah emosi atau dukungan
teman dekat. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa masalah
penting umumnya melibatkan aspek negatif mengenai diri
sendiri dan seseorang yang cenderung membicarakan masalah –
masalah tersebut hanya orang – orang terdekat atau orang –
orang yang mempunyai hubungan emosianal dengan dirinya.
2. Dukungan instrumental
Dukungan ini melibatkan bantuan langsung, berupa bantuan
finansial atau bantuan mengerjakan tugas – tugas tertentu.
3. Dukungan penghargaan
Dengan ini terjadi melalui ungkapan hormat penghargaan
positif untuk orang yang bersangkutan, dorongan maju atau
menyetujui suatu ide, gagasan atau kemampuan yang dimiliki
seseorang dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain.
4. Dukungan informasi
Dukungan informasi ini dapat berupa saran, penghargaan
dan umpan balik tentang bagaimana cara memecahkan
persoalan.
2.3.3. Sumber – Sumber Dukungan Sosial Keluarga
Goldberger & Breznitz berpendapat bahwa sumber dukungan
sosial adalah orang tua, saudara kandung, anak-anak, kerabat,
pasangan hidup, sahabat rekan sekerja, atau tetangga. Taylor
(1997) juga menjelaskan dukungan sosial itu bersumber dari orang-
orang yang memiliki hubungan berarti dengan individu, misalnya
orangtua, pasangan hidup, anak-anak, saudara, dan anggota
keluarga lainnya, sahabat, rekan kerja, dan tetangga.
Menurut Kahn & Antonoucci (1980) sumber – sumber
dukungan sosial meliputi :
Mahasiswa yang
Bekerja
Dukungan Sosial
Self Esteem
Keluarga
1. Dukungan
Emosional
1. Power
2. Dukungan
2. Significance Penghargaan
3. Virtue 3. Dukungan
Instrumental
4. Competence
4. Dukungan
Informasional
Dukungan Dukungan
Self Esteem Self Esteem Sosial Sosial
Rendah Tinggi Keluarga Keluarga
Tinggi Rendah
BAB III
METODE PENELITIAN
Keterkaitan antara variabel bebas (𝑋1) yaitu self esteem dan (𝑋2),
yaitu dukungan sosial keluarga terhadap Y, yaitu subjective well-being
dapat dilihat dalam skema sebagai berikut :
R Subjective Well-
Being
(Y)
Dukungan Sosial
Keluarga
(X2)
r2
Keterangan :
1. Power
Kekuasaasan dalam arti kemampuan untuk
mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain.
Kemampuan ini ditandai oleh adanya pengakuan dan
rasa hormat yang diterima individu dari orang lain dan
besarnya sumbangan dari pikiran atau pendapat dan
kebenarannya.
2. Significance
Significance atau keberartian adalah adanya
kepedulian dan afeksi yang diterima individu dari orang
lain. Hal tersebut merupakan penghargaan dan minat dari
orang lain dan pertanda penerimaan dan popularitasnya.
Keadaan tersebut ditandai oleh kehangatan,
keikutsertaan, perhatian, dan kesukaan orang lain
terhadapnya.
3. Virtue
Virtue atau kebajikan adalah ketaatan atau
mengikuti standar moral dan etika. Kebajikan ditandai
oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang harus
dihindari dan melakukan tingkah laku yang
diperbolehkan atau diharuskan oleh moral atau etika dan
agama.
4. Competence
Kemampuan, dalam arti sukses memenuhi tuntutan
prestasi yang ditandai oleh keberhasilan individu dalam
mengerjakan bermacam-macam tugas atau pekerjaan
dengan baik dari level yang tinggi dan usia yang
berbeda.
Berdasarkan aspek diatas digunakan untuk mengetahui
self esteem, apabila semakin tinggi skor yang diperoleh subjek,
maka semakin tinggi self esteemnya. Sebaliknya, apabila
semakin rendah skor yang diperoleh oleh subjek, maka
semakin rendah pula self esteemnya.
Sosial Keluarga
Diener, E., Emmons, R.A, Larsen, R.J., Griffin, S. (1985). The Satisfaction With
Life Scale, Journal of Personality Assesment, 49 (1): 71 – 75.
Diener, E., Suh, E. M., Lucas, R. E., & Smith, H. L. (1999). Subjective Well-
Being: Three Decades of Progrss, Psychologica Bulletin, 125 (2): 276 –
302.
Diener, E., Suh, E., & Oishi, S. (1997). Recent Findings on Subjective Well-
Being, Indian Journal on Clinical Psychology,
http://www.psych.uiuc.edu/~ediener/hottopic/paper1.html.
Gunawati, R., Hartati, S., & Listiara, A. Hubungan antara efektivitas komunikasi
mahasiswa-dosen pembimbing utama skripsi dengan stres dalam menyusun
skripsi pada mahasiswa program studi psikologi fakultas kedokteran
universitas diponegoro. Jurnal Psikologi, 3(2), 93-115.
https://doi.org/10.14710/jpu.3.2.93%20-%20115
Pratiwi, T. S. D., Permadi, A. S., & Psi, S. (2016). Hubungan Antara Self Esteem
dengan Subjective Well Being pada Siswa SMK (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Surakarta).