Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
A. Permasalahan
1. Latar Belakang masalah
Mahasiswa ialah predikat yang diberikan kepada orang ataupun sekelompok orang
yang menuntut ilmu pada jenjang pembelajaran tinggi. Mahasiswa selaku bagian dari institusi
pembelajaran yang tidak terlepas dari tugas akademik serta non akademik. Ketiks proses
pembelajarannya, mahasiswa dituntut bisa penuhi persyaratan yang terdapat di lembaga
pembelajaran tempat dimana mereka menimba ilmu. Sistem pendidikan yang diterapkan
antara lain ialah diukur bersumber pada jumlah SKS serta proses penilaiannya lewat penilaian
semacam UTS serta UAS. Nilai yang diperoleh diakumulasi dalam Indeks Prestasi
Kumulatif( IPK). Nilai IPK yang diperoleh mahasiswa wajib untuk memenuhi standar
minimum yang didetetapkan oleh institusi akademis tersebut. Tidak hanya itu, mahasiswa
dituntut juga memenuhi standar kelulusan yang lain selaku ketentuan penyelesaian riset. Oleh
sebab itu, mahasiswa dituntut agar sanggup mengendalikan serta mengelola waktu dengan
baik supaya seluruh aktivitas yang dilakukan bisa berjalan dengan baik.
Fenomena yang dikala ini tumbuh merupakan mahasiswa yang menempuh riset
sembari bekerja. Kuliah sembari bekerja menuntut keahlian seseorang menyeimbangkan
kedua kegiatan tersebut dijalakan bertepatan. Suatu survey yang melibatkan 4642 mahasiswa(
Jeff, 2015) mengatakan kalau 77% mahasiswa yang cenderung kuliah sembari bekerja, serta
apalagi prosentasenya naik 59% dari jumlah di tahun sebelumnya. Riset tersebut pula
mengatakan kalau mahasiswa yang bekerja mempersiapkan biaya kuliah universitas, paling
utama biaya akomodasi serta bekerja sembari meningkatkan keahlian lainnya. Riset yang
seragam oleh Endsleigh and the National Union of Students( suatu perseroan asuransi untuk
mahasiswa), mendapatkan jika sebagian responden mahasiswa menyatakan bekerja paruh
waktu, serta 14% antara lain menyatakan mempunyai pekerjaan penuh sepanjang periode
perkuliahan, liburan ataupun keduanya. Riset tersebut pula mengatakan jika mahasiswa yang
bekerja mempersiapkan anggaran universitas, paling utama pengeluaran akomodasi serta
apalagi bekerja sembari meningkatkan keahlian ekstra. Terdapatnya kedua peran ini dapat
menimbulkan konflik tertentu untuk mahasiswa yang memilih kuliah sembari bekerja yang
diketahui dengan sebutan work- study conflict( Faizah& Oktawiranto, 2020), sebab
bagaimanapun kuliah sembari bekerja bisa memunculkan pergantian dalam kegiatan kuliah
serta belajar mahasiswa. Semacam misalnya menjadi tidak fokus pada aktivitas perkuliahan,
menunda menuntaskan tugas, bolos, malahan tidak melanjutkan kuliah, akibat
ketidakseimbangan antara kuliah serta bekerja. Menurut riset yang dilakukan oleh
Waheed( dalam Yahya dkk., 2017) mendapatkan jika mayoritas mahasiswa yang bekerja
mencari pekerjaan ekstra sebab orang tuanya tidak mempunyai cukup uang guna membayar
anggaran pembelajaran mereka, sebagai akibatnya mahasiswa terpaksa melanjutkan riset
serta pekerjaannya. Melaksanakan selaku mahasiswa yang juga bekerja memunculkan konflik
peran untuk mereka, tetapi konflik peran yang dirasakan oleh mahasiswa tidak selamanya
membagikan akibat yang negatif untuk kesejahteraan serta pencapaian mahasiswa.
Ada pula riset riset yang dilakukan Tessema( dalam Yahya dkk., 2017) hasil riset
menampilkan kalau kepuasan serta prestasi akademik siswa yang tidak bekerja sedikit lebih
besar dibanding mahasiswa yang bekerja, ditemui pula jika mahasiswa yang bekerja kurang
dari 10 jam tiap minggunya mempunyai imbas yang positif terhadap kepuasan serta prestasi
akademik dibanding mahasiswa yang bekerja lebih dari 11 jam tiap minggunya, mahasiswa
yang bekerja lebih dari 11 jam tiap minggunya tidak mempunyai cukup ruang untuk belajar
serta menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja sehingga menyebabkan penyusutan
prestasi belajar mahasiswa, perihal ini diakibatkan bekerja berjam- jam bisa menghalangi
kesempatan mahasiswa untuk membangun persahabatan ataupun ikatan sosial yang bisa
tingkatkan pertumbuhan intelektual serta emosional, yang pada gilirannya sanggup
menimbulkan kepuasan serta prestasi akademik mereka menyusut sampai putus belajar( drop
out). Secara universal, dikemukakan Frone dkk( dalam Octavia& Nugraha, 2013) kalau
work- study conflict diakibatkan oleh 3 perihal, ialah jam kerja, ketidakpuasan kerja, serta
beban kerja. Frone pula mengatakan kalau jam kerja ialah representasi dari terdapatnya
konflik waktu( time- based conflict) dalam konflik kedudukan ganda. Jam kerja yang masih
wajib dipecah lagi dengan waktu buat kuliah serta mengerjakan tugas ialah perihal yang
wajib dialami oleh mahasiswa yang kuliah sembari bekerja. Disisi lain, pemicu work- study
conflict yang kedua ialah ketidakpuasan kerja, merepresentasikan terdapatnya
tegangan( strainbased conflict) dalam konflik kedudukan ganda( Octavia& Nugraha,
2013). Markel& Frone( dalam Octavia& Nugraha, 2013) berkata kalau
ketidakpuasan emosional yang berhubungan dengan pekerjaan bisa mengganggu keahlian
mahasiswa buat penuhi kewajiban kedudukan yang lain. Ditekankan pula oleh Markel serta
Frone, kalau beban kerja pula ialah salah satu pemicu terdapatnya work- study conflict.
Terpaut dengan perihal tersebut, Mortimer dkk.( dalam Octavia& Nugraha, 2013)
berkata kalau kerapkali beban kerja menimbulkan mahasiswa yang masih kuliah hadapi
tingkatan keletihan secara raga serta psikologis yang besar, sehingga mengganggu keahlian
ataupun motivasi mahasiswa buat penuhi kewajiban yang lain, semacam kuliah serta
mengerjakan tugas. Bagi Rice& Dolgin( dalam Orpina& Prahara, 2019), terdapat 2
pemikiran menimpa kuliah sembari bekerja. Pemikiran awal, kuliah sembari bekerja hendak
jadi perihal yang kurang baik apabila membagikan jarak antara mahasiswa dengan aktivitas
berarti yang lain, semacam kegiatan perkuliahan serta waktu dengan keluarga. Pemikiran
kedua, kuliah sembari bekerja merupakan perihal yang baik apabila dijalankan dalam dosis
yang kecil, sebab sangat banyak bekerja hendak sangat berbahaya untuk kedudukan orang
tersebut selaku mahasiswa. Misalnya dalam suatu kasus yang di informasikan oleh
Kaho( dalam Orpina& Prahara, 2019) kalau mahasiswa yang bekerja nyatanya
mempunyai resiko lebih besar buat mempunyai permasalahan mental dalam dirinya. Akibat
kurang baik yang lain yang bisa jadi terjalin kala mahasiswa sangat padat jadwal bekerja,
sementara itu mereka pula kuliah merupakan terhambatnya waktu lulus kuliah pas
waktu( Orpina& Prahara, 2019). Bagi Robbins& Judge( dalam Naibaho&
Sawitri, 2017), konflik kedudukan terjalin sebab terdapatnya perbandingan kepentingan
ataupun pertentangan akibat 2 kedudukan ataupun lebih yang silih berlawanan. Apalagi
dinyatakan pula oleh Robbins serta Judge kalau konflik kedudukan yang dirasakan bisa
memunculkan ketidaknyamanan dalam menuntaskan tanggung jawab. Maksudnya, konflik
kedudukan bila dibiarkan secara terus menerus hendak memunculkan tekanan pikiran serta
ketidakpuasan dalam kelompok, dan bisa pengaruhi kinerja serta ikatan dengan anggota
kelompok yang lain. Naibaho& Sawitri( 2017) sendiri melaporkan kalau konflik
kedudukan biasanya terjalin sebab ketidaksesuaian standar ataupun nilai serta sikap yang
diresmikan sesuatu kedudukan, waktu serta keahlian orang buat melaksanakan kedudukan,
terdapatnya bermacam kedudukan yang wajib dicoba, serta kebijakan ataupun peraturan yang
berhubungan dengan kedudukan seseorang orang. Menyimak komentar Naibaho&
Sawitri( 2017), nyatanya keahlian buat mengendalikan dirinya sendiri dengan metode
mengendalikan sikap serta membagikan konsekuensi untuk tingkah lakunya sendiri dalam
melaksanakan kedudukan selaku mahasiswa serta pekerja jadi kunci supaya mahasiswa bisa
melaksanakan kedudukannya selaku mahasiswa serta pekerja dengan maksimal tanpa
mempertaruhkan salah satu kedudukan. Mengendalikan dirinya sendiri dengan metode
mengendalikan sikap serta membagikan konsekuensi untuk tingkah lakunya sendiri dalam
ilmu Psikologi diketahui dengan sebutan regulasi diri( Naibaho& Sawitri, 2017) Bagi
Naibaho& Sawitri( 2017), identitas orang yang mempunyai regulasi diri yang baik
merupakan menampilkan keahlian buat mengendalikan kegiatan, waktu, dan perilakunya buat
menggapai sesuatu tujuan yang di idamkan. Dimilikinya regulasi diri pada mahasiswa,
hendak mendesak mereka buat memperoleh prestasi akademik yang baik pula( Rachmah,
2015), paling utama sebab sesungguhnya mahasiswa yang pula mempunyai kedudukan sosial
lain( dalam perihal ini bekerja tidak hanya kuliah) membutuhkan regulasi diri dalam
pendidikan yang dijalani, serta pengaruh dari kedudukan yang dimilikinya hendak membuat
tingkatan regulasi diri yang dicoba lebih besar dibanding dengan orang lain yang tidak
mempunyai kedudukan sosial yang lain.
Semacam yang dikemukakan Vohs& Baumiester( dalam Husna dkk., 2014),
regulasi diri merujuk dikerjakannya kontrol terhadap diri sendiri, paling utama buat
melindungi diri senantiasa cocok dengan standar yang di idamkan. Regulasi diri pula ialah
proses penyesuaian yang bertabiat mengoreksi diri sendiri, yang diperlukan buat melindungi
orang senantiasa terletak pada jalan menggapai tujuan serta penyesuaian tersebut berasal dari
dalam diri sendiri. Zimmerman( dalam Husna dkk., 2014) mengatakan kalau regulasi diri
merupakan proses seorang mengaktifkan serta memelihara benak, perasaan, serta
tindakannya buat menggapai tujuannya sendiri, baik tujuan yang bertabiat akademik,
emosional, sosial, serta spiritual. Semacam diungkapkan Woolfolk( dalam Husna dkk., 2014)
kalau regulasi diri mencakup zona kehidupan yang luas, tercantum salah satunya area
akademik. Maknanya, mahasiswa yang sanggup melaksanakan regulasi diri mempunyai
kecenderungan hendak sukses secara akademik, sebab mereka belajar secara lebih efisien
dengan mencampurkan keahlian belajar akademis( academic learning skill) serta kontrol diri
bisa membuat proses belajar jadi lebih gampang sehingga mahasiswa lebih termotivasi.
Mahasiswa yang mempunyai regulasi diri dalam belajar, bagi Pintrich( Rachmah, 2015)
terlihat kala mahasiswa sanggup menetapkan tujuan serta merancang kegiatannya,
melaksanakan monitor serta kontrol terhadap aspek kognitif, motivasi dan tingkahlakunya
dalam menggapai tujuan tersebut. Mahasiswa yang melaksanakan regulasi diri dalam belajar
ini merupakan mahasiswa yang bisa sukses dalam pendidikannya, semacam dinyatakan
Rescoe, Morgan, serta Peebles( dalam Rachmah, 2015) dalam penelitiannya yang
menciptakan terdapatnya perbandingan indeks prestasi antara mahasiswa yang bekerja
dengan yang tidak bekerja. Disebutkan dalam riset tersebut kalau mahasiswa yang bekerja
mempunyai indeks prestasi akademik yang lebih besar dibanding mahasiswa yang tidak
bekerja disebabkan mahasiswa yang bekerja lebih disiplin, lebih pas waktu dalam
perkuliahan serta mempunyai inisiatif buat berupaya mencari data diluar sumber- sumber
sosial kala mengerjakan tugas. Hingga, dalam perihal ini, Santrock( dalam Rachmah, 2015)
mengatakan terdapatnya regulasi diri dalam belajar hendak membuat orang mengendalikan
tujuan, mengevaluasinya serta membuat adaptasi yang dibutuhkan sehingga mendukung
dalam prestasi. Pastinya dengan tercapainya prestasi tersebut, kedudukan individu selaku
mahasiswa tidak lagi berbenturan dengan kedudukan yang lain kala pribadi yang
bersangkutan merupakan berstatus mahasiswa bekerja.

2. Rumusan Masalah
Mahasiswa yang bekerja mempunyai kedudukan ganda sebab wajib membagi waktu
antara kuliah dengan bekerja. Mahasiswa diharapkan sanggup untuk melaksanakan kedua
kedudukan tersebut dengan baik. Walaupun demikian, ada kasus yang bisa membatasi kedua
kegiatan tersebut berjalan bertepatan ialah minimnya waktu dalam menempuh tiap
kedudukan, perbandingan tingkah laku yang dijalani tiap kedudukan serta pula ketegangan
tiap kedudukan yang pengaruhi kinerja kedudukan yang lain. Keadaan ini yang menimbulkan
orang hadapi konflik kedudukan ganda selaku mahasiswa serta pula selaku pekerja. Regulasi
diri merupakan sesuatu keahlian orang buat mengelola ataupun mengendalikan memelihara
benak, perasaan, serta tindakannya guna menggapai tujuan yang ditargetkan.
Bersumber pada pemaparan latar belakang permasalahan sebagaimana tertulis diatas, hingga
rumusan permasalahan dalam riset ini merupakan" Apakah ada hubungan antara regulasi diri
dengan konflik peran ganda pada mahasiswa yang bekerja?”
B. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan regulasi diri dengan konflik peran ganda
pada mahasiswa yang bekerja.
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini diharapkan
mempunyai manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat yaitu memberikan
kontribusi terhadap kajian ilmu Psikologi khususnya Psikologi pendidikan dalam hal ini
mengenai bentuk konflik peran ditinjau dari regulasi diri pada mahasiswa yang memiliki
peran ganda.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan manfaaat sebagai berikut:
1) Bagi Mahasiswa
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan intropeksi diri bagi mahasiswa
yang memiliki peran ganda agar mampu bertanggung jawab pada perannya baik di dalam
akademik dan pekerjaan sehingga tidak terjadi konflik diantara kedua peran tersebut.
2) Bagi Perusahaan
Diharapkan dapat memberikan masukan bagi perusahaan berupa informasi tentang upaya
yang tepat dalam mengurangi tingkat konflik peran ganda serta upaya peningkatan kinerja
karyawan sehingga dapat menentukan kebijakan guna meminimalisir terjadinya konflik
peran ganda pada karyawan yang masih berstatus sebagai mahasiswa.
3) Bagi Peneliti selanjutnya
Diharapkan peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian ini serta dapat
melakukan eksplorasi dengan mengembangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi
konflik peran ganda pada mahasiswa selain yang digunakan dalam penelitian ini.

C. Keaslian Penelitian
Penelitian sebelumnya tentang konflik peran ganda telah banyak dilakukan, meskipun
berbeda satu sama lain dalam hal kriteria subjek, jumlah dan posisi variabel penelitian atau
metode analisis yang digunakan. Salah satunya adalah penelitian oleh Naibaho & Sawitri
(2017) tentang regulasi diri dengan konflik peran pada mahasiswa organisatoris. Penelitian
yang dilakukan pada mahasiswa FKM dan FISIP Universitas Diponegoro tersebut, hasilnya
menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara regulasi diri dengan konflik
peran. Semakin tinggi regulasi diri, dimana semakin rendah konflik peran.
Penelitian selanjutnya oleh Rachmah (2015) tentang regulasi diri dalam belajar (self
regulated learning) pada mahasiswa yang memiliki banyak peran (sebagai ibu rumah tangga
dan bekerja) dengan indeks prestasi tinggi. Pendekatan dalam Rachmah ini menggunakan
pendekatan kualitatif-fenomenologi. Teknik sampling yang digunakan oleh penelitian ini
adalah purposive sampling dengan menggunakan observasi dan wawancara mendalam. Hasil
penelitian Rachmah menginformasikan empat orang subjek menggunakan regulasi diri dalam
belajar berupa regulasi kognitif, regulasi motivasi, regulasi perilaku dan regulasi emosi, serta
regulasi konteks agar tujuan pembelajarannya dapat dicapai. Dinyatakan dalam penelitian
tersebut bahwa regulasi diri dalam belajar yang dilakukan oleh para subjek dipengaruhi oleh
situasi pencetus dan karakteristik tiap individu bersangkutan sehingga regulasi diri dalam
belajar yang dilakukan juga tidak terlepas dari dukungan sosial yang diberikan kepada
mereka.
Penelitian lainnya adalah tentang regulasi diri pada mahasiswa berprestasi yang dilakukan
oleh Husna, Hidayati, dan Ariati (2014). Subjek penelitian terdiri dari dua orang mahasiswa
berprestasi yang diwawancarai untuk memperoleh informasi tentang motif-motif dalam
proses regulasi diri, proses regulasi diri dan pencapaian prestasi dan faktor-faktor pendukung
regulasi diri.

Anda mungkin juga menyukai