Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Mahasiswa baru menghadapi fase transisi yang sulit dan

menantang dari sekolah menengah ke perguruan tinggi (Dayle., et al

1987) Fase transisi ini dapat menjadi periode yang penuh stress bagi

individu yang memasuki masa dewasa awal (emerging adult) yang mana

individu mengalami masa peralihan secara perkembangan psikologis

maupun institusional (Villatte et al., 2017). Mahasiswa baru yang

menjalani sistem baru tentu akan menemui beberapa masalah seperti,

masalah tuntutan dalam relasi sosial, tuntutan akademis yang lebih besar,

masalah institusional, serta perubahan dalam hal peran dan tanggung

jawab (Credé & Niehorster, 2012)

Mahasiswa baru dituntut untuk dapat melakukan penyesuaian diri

ditahun awal perkuliahan. Hal ini dikarenakan pada tahun pertama inilah

yang menjadi penentu bagi jenjang perkuliahan pada tahun berikutnya

(Salmain, Azar & Salmani, 2014). Mahasiswa dengan kemampuan

penyesuaian diri yang baik tidak akan merasa kesulitan ketika berada di

lingkungan sosial dan akademik (Amin, Patel & Srivastava, 2016).

Menjadi seorang mahasiswa tidak hanya dituntut untuk memiliki prestasi

dalam akademik saja, tetapi juga mampu mengembangkan kemampuan

softskill yang dimilikinya (Sharma, 2012).

1
Menurut Abdullah et al., (2009) mahasiswa baru yang tidak

memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik dengan lingkungan

kampus cenderung berhenti dari perkuliahan sebelum mereka dapat

melanjutkan ke semester berikutnya. Sejalan dengan hasil survei oleh

Astriana & Rinaldi (2019) diperoleh hasil bahwa terdapat tiga mahasiswa

angkatan 2014 yang keluar dari perkuliahan di semester dua, dikarenakan

mahasiswa tidak bisa menyesuaikan diri dengan baik di lingkungan.

Salah satu mahasiswa mengalami masalah dalam proses atau sistem

perkuliahan, dan dua orang lainya tidak dapat menyesuaikan diri di

lingkungan sosial, hal ini dikarenakan berjauhan dari orang tua dan

adanya perbedaan dari segi bahasa dan budaya.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat masalah

dalam proses penyesuaian diri pada mahasiswa baru di perguruan tinggi

negeri yang ada di makassar. Hasil wawancara oleh Sabrina (2013) pada

empat mahasiswa psikologi universitas negeri makassar diperoleh hasil

bahwa subjek menyatakan sulit berkonsentasi saat peoses perkuliahan,

mengalami kendala dalam membaca textbook dan menyelesaikan tugas-

tugas dalam bahasa inggris, sulit menyesuaikan diri dengan peraturan

fakultas dan sulit bergaul dengan teman sebaya. Penelitian oleh Rosyidah

et al. (2020) pada mahasiswa fakultas keperawatan universitas

hasanuddin diperoleh hasil bahwa sebanyak 20 mahasiswa baru tidak

mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan akademik karena beban tugas

lebih banyak, sehingga menyebabkan stress akademik.

2
Anderson et al. (2016) mengemukakan penyesuaian diri di

perguruan tinggi merupakan kemampuan yang harus dimiliki mahasiswa

baru untuk mengelola tantangan sosial, psikologis, dan keilmuan ketika

mengalami peralihan ke jenjang perkuliahan. Proses penyesuaian ini

merupakan cara individu untuk berusaha mengatasi stres, konflik,

ketegangan dan memenuhi kebutuhan mereka (Mutambara & Bhebe,

2012). Baker dan Siryk (1984) menyatakan penyesuaian diri di perguruan

tinggi mampu memprediksi dua hal penting dalam dunia pendidikan,

yaitu hasil prestasi akademik seperti indeks prestasi dan kemampuan

mahasiswa dalam menghadapi tantangan, serta permasalahan selama

proses studinya.

Mahasiswa baru mengalami beberapa perubahan ketika

memasuki lingkungan perkuliahan yaitu perubahan tugas akademik dan

perubahan dalam kehidupan sosialnya. Ketika mahasiswa baru memasuki

dunia perkuliahan berarti mahasiswa tersebut akan menjadi bagian dari

universitas, menjadi anggota aktif dalam organisasi, serta menyesuaikan

diri dengan tugas dan tanggung jawab yang baru sebab mahasiswa baru

perlu mengupayakan hal tersebut agar dapat menyesuaikan diri dengan

baik (Sholeh, et al., 2018). Perubahan lingkungan yang dihadapi di

perguruan tinggi akan membentuk persepsi mahasiswa, terutama

mengenai kemampuannya untuk dapat mengatasi berbagai hambatan dan

tantangan dalam kehidupan universitas (Siah & Tan, 2015)

3
Mahasiswa baru yang mengalami kegagalan dalam penyesuaian

diri akan berdampak negatif terhadap perkembangan studi pada tahun

berikutnya seperti hasil akademik yang rendah dan sulit menyelesaikan

studi tepat waktu (Baker & Siryk, 1986). Dampak lain dari gagalnya

proses penyesuaian diri adalah banyaknya mahasiswa baru yang memilih

untuk berhenti dari proses perkuliahan (Abdullah, et al., 2010).

Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan masalah

penyesuaian diri mahasiswa baru ialah stres (Saniskoro & Akmal, 2017),

kurang dapat berinteraksi sosial dengan orang lain di lingkungan

(Wijanarko & Syafiq, 2013), munculnya perasaan kesepian dan

homesickness (Mutambara & Bhebe, 2012) bahkan sebagian mahasiswa

mengundurkan diri dan tidak melanjutkan kuliah pada tahun berikutnya

(Mudhovozi, 2012)

Sebagian mahasiswa baru mampu menyesuaikan diri dengan baik

di lingkungan perguruan tinggi, namun terdapat beberapa mahasiswa

lainnya yang merasa kesulitan melakukan hal tersebut (Mutambara &

Bhebe, 2012). Salah satu faktor penting dalam penyesuaian diri yaitu

kecerdasan emosi (Goleman, 1995). mahasiswa yang memiliki

kecerdasan emosi yang tinggi cenderung mampu melakukan penyesuaian

diri, mudah beradaptasi, ramah, ulet, gigih, dan optimis (Salovey dan

Mayer, 1990).

Kecerdasan emosi memiliki hubungan dengan dengan persepsi,

ekspresi, regulasi, dan pengelolaan emosi, sehingga diyakini

4
memengaruhi fungsi sosial dan kognitif individu (Schutte, et al., 1998).

Mahasiswa baru yang memiliki kecerdasan emosi yang baik terlihat lebih

unggul dan mampu mengontrol diri ketika dihadapkan dengan tuntutan

akademik maupun sosial (Amin, Patel & Srivastava, 2016).

Penelitian Astrina & Rinaldi (2019) diperoleh hasil bahwa pada

variable kecerdasan emosi sebanyak 100 orang (80%) berada pada

kategori tinggi dan pada variable penyesuaian diri sebanyak 99 orang

(79,2%) berada pada kateori tinggi yang berarti bahwa terdapat hubungan

yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan penyesuaian

diri. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Utama

(2017) diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

kecerdasan emosi dengan penyesuaian diri. Hal serupa juga dapat dilihat

dari hasil penelitian Nurbaiti, Rozali (2015) diperoleh hasil bahwa

terdapat 49 mahasiswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi dan

penyesuaian sosial yang tinggi yang artinya terdapat hubungan positif

antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial pada mahasiswa

baru.

Peneliti melakukan pengumpulan data awal melalui google form

pada 93 mahasiswa baru angkatan 2022 di perguruan tinggi negeri yang

ada di kota makassar diperoleh hasil bahwa 74 mahasiswa baru

menyatakan sulit menyesuaikan diri di perkuliahan. Terdapat beberapa

penyebab kesulitan penyesuaian diri yang dialami mahasiswa baru yaitu

susah bersosialisasi sebanyak 47 orang (64%), membatasi diri dari

5
lingkungan baru sebanyak 29 orang (48%), tidak percaya diri sebanyak

31 orang (42%), munculnya perasaan gelisah atau khawatir terhadap

penilaian orang lain sebanyak 11 orang (15%), sulit menyelesaikan tugas

akademik sebanyak 27 orang (36%) dan memiliki prestasi akademik yang

rendah sebanyak 11 orang (15%). Dampak yang dirasakan mahasiswa

yaitu merasa stress sebanyak 3 orang (4%), dan 7 orang (9%) merasa

cemas ketika tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan

kampus.

Peneliti melihat adanya perbedaan penelitian ini dengan

penelitian terdahulu. Pada penelitian terdahulu yakni Utama (2019)

hanya ditujukan pada mahasiswa baru di perguruan tinggi swasta yaitu

universitas sanata dharma yogyakarta dan penelitian Nurbaiti, Rozali

(2014) di universitas swasta yaitu universitas esa unggul, kemudian

penelitian Astriani dan Rinaldi (2019) hanya fokus pada mahasiswa

fakultas psikologi negeri padang. Perbedaan pada penelitian ini

menggunakan populasi dengan jumlah yang lebih besar sehingga data dan

permasalahan yang didapatkan semakin beragam. Penelitian tidak fokus

pada fakultas maupun universitas tertentu sehingga bisa mengetahui

masalah penyesuaian diri yang dirasakan mahasiswa baru dari berbagai

fakultas dan universitas negeri yang ada di kota makassar. Alasan lain

yaitu belum ada peneliti sebelumnya yang meneliti judul tersebut di

universitas negeri yang ada di kota makassar sehingga peneliti tertarik

6
untuk meneliti hubungan kecerdasan emosi dengan penyesuaian diri

mahasiswa baru perguruan tinggi negeri di kota makassar.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya,

maka rumusan masalah penelitian ini adalah "apakah terdapat hubungan

kecerdasan emosi dengan penyesuaian diri pada mahasiswa baru

perguruan tinggi negeri di kota makassar".

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosi dengan

penyesuaian diri pada mahasiswa baru perguruan tinggi negeri di kota

makassar.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Memperoleh pengetahuan tentang hubungan kecerdasan emosi

dengan penyesuaian diri pada mahasiswa baru perguruan tinggi negeri di

kota makassar.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi mahasiswa baru

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

evaluasi diri bagi mahasiswa baru, agar mampu mengelola

kecerdasan emosional dengan baik sehinngga mudah melakukan

penyesuian diri di perguruan tinggi

7
b. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian selanjutnya diharapkan untuk mencari lebih

banyak sumber maupun referensi yang terkait dengan kecerdasan

emosi dan penyesuaian diri agar hasil penelitian yang diperoleh

lebih baik.

8
BAB II

LANDASAN TEORI
A. Kecerdasan Emosi

1. Definisi Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan oleh Salovey dan

Mayer pada tahun 1990 untuk menerangkan keunggulan emosi yang

penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer (1990) mengatakan

bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang

untuk mengenal dan mengontrol emosi yang dirasakan untuk

mengembangkan pikiran dan tindakan yang dilakukan. Steiner (1997)

memberi pengertian kecerdasan emosi sebagai suatu kemampuan

untuk memahami emosi diri sendiri dan orang lain dan mengetahui

bagaimana cara mengekspresikan emosi dengan baik.

Kecerdasan emosi adalah kekuatan atau kemampuan untuk

mengenali emosi diri sendiri dan orang lain, untuk memotivasi diri

sendiri, dan untuk mengatur emosi seseorang dalam hubungannya

dengan diri sendiri dan orang lain. (Goleman, 2005). Cooper & Sawaf

(1998), mendefinisikan kecerdasan emosi merupakan kemampuan

untuk merasakan, memahami dan secara efektif menggunakan

kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi,

koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Patton (1998) mendefinisikan

kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengelola emosi

secara efektif ketika mencapai suatu tujuan.

9
Berdasarkan beberapa defisini yang telah dijelaskan, maka dapat

disimpulkan bahwa kecerdasan emosi merupakan

kemampuan individu untuk mengidentifikasi dan memahami

perasaannya sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi diri,

megelola emosi dengan baik sehingga membantu individu dalam

menentukan sikap ketika menjalin hubungan dengan lingkungan

maupun orang lain.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi

Setyawan dan Simbolon (2018) menyatakan bahwa dua faktor

yang memengaruhi kecerdasan emosi yaitu:

a. Faktor Internal

Faktor internal disebabkan oleh diri sendiri yang berperan

dalam mengatur, mengendalikan, dan mengelola emosi agar

terkontrol dengan baik dan tidak menimbulkan permasalahan

yang akan merugikan diri sendiri dan orang lain.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal muncul dari luar diri individu, seperti

orang terdekat (keluarga), masyarakat, dan media massa atau

cetak. Faktor ini memiliki peran untuk mengetahui emosi yang

ditunjukkan oleh orang lain sehingga mampu mengetahui

penyebab munculnya emosi.

10
Berdasarkan faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

emosi dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu orang dekat (keluarga),

masyarakat dan media massa/cetak. Sedangkan faktor internal

disebabkan oleh diri sendiri.

3. Aspek Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi memiliki beberapa aspek yang mampu

membentuk individu menjadi lebih terampil dalam mengenali dan

mengelola emosinya. Goleman (1997) mengungkapkan aspek dalam

kecerdasan emosi sebagai berikut:

a. Kesadaran diri

Kesadaran diri merupakan kemampuan individu untuk

mengenali perasaan yang muncul pada diri. Kesadaran diri juga

membuat individu mampu merasakan dan membedakan emosi

yang terjadi pada diri. Individu yang memiliki kesadaran diri

mampu mengenali kekuatan maupun kelemahan dalam dirinya

dan kemampuan ini digunakan ketika melakukan proses

pengambilan keputusan. Hal ini dikarenakan kesadaran diri akan

membuat individu menjadi lebih reflektif, dan memiliki keinginan

belajar dari pengalaman, serta terbuka pada masukan dan

perspektif baru. Indikator kesadaran diri mampu mengenali

perasaan saat perasaan itu terjadi dan menyadari kaitan antara

perasaan dengan pikiran, perkataan, dan perbuatan

11
b. Pengaturan diri

Pengaturan diri merupakan kemampuan individu untuk

mengatasi dan mengekspresikan emosi sehingga memberikan

dampak positif bagi diri sendiri maupun orang lain. Pengaturan

diri diperlukan untuk mencegah dan mengatasi suatu masalah.

Kemampuan ini membuat individu dapat menyeimbangkan

dengan baik emosi yang muncul dalam dirinya. Pengaturan diri

juga menjadikan individu mampu bersikap positif dalam

menghadapi kondisi yang berat. Individu yang memiliki

pengaturan diri yang baik mampu mengatasi tekanan emosi yang

muncul dalam dirinya dan mampu berpikir jernih serta fokus

meskipun berada dalam tekanan. Indikator pengaturan diri yaitu

mampu mengelola emosi dan perasaan dengan baik dan mampu

mengatasi tekanan emosi yang muncul.

c. Motivasi diri

Motivasi diri merupakan dorongan yang dimiliki individu

untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Individu yang memiliki

motivasi diri yang tinggi mampu melakukan suatu perilaku

dengan lebih baik, serta memiliki inisiatif dalam bertindak.

Motivasi diri juga membuat individu mampu mengatasi

kecemasan, sikap frustrasi, dan kegagalan yang terjadi pada

dirinya. Individu yang memiliki motivasi yang tinggi lebih

berorientasi pada kemungkinan sukses daripada ketakutan akan

12
kegagalan. Hal ini menjadikan mereka pribadi yang mau terus

belajar, optimis, gigih, berjuang untuk meningkatkan kinerjanya

ketika mencapai suatu tujuan. Indikator motivasi diri yaitu

mampu memunculkan dorongan dan mencapai tujuan yang

diinginkan, menunjukkan kepekaan dan pemahaman terhadap

perspektif orang lain.

d. Empati

Empati merupakan kemampuan untuk melihat suatu

peristiwa dengan perspektif orang lain, sehingga mampu

merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Seseorang dengan

kemampuan ini menunjukkan kepekaan dan pemahaman terhadap

sudut pandang orang lain. Kemampuan empati yang baik juga

membuat orang lebih tertarik pada sinyal sosial orang lain dan

mampu menjadi pendengar yang baik. Tidak hanya itu,

keterampilan tersebut menjadikan mereka individu yang dapat

membantu orang lain mengembangkan diri. Hal ini ditunjukkan

dengan memberikan penghargaan kepada orang lain atas

prestasinya. Sikap empati ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa

percaya pada orang lain.

Indikator dari empati yaitu mampu melihat suatu peristiwa

dengan perspektif orang dan menunjukkan kepekaan maupun

pemahaman terhadap perspektif orang lainlain

e. Keterampilan sosial

13
Keterampilan sosial adalah kemampuan mengelola emosi

saat berinteraksi dengan orang lain. Orang dengan kemampuan ini

diharapkan dapat berkomunikasi dengan baik dan bijaksana saat

membangun hubungan. Keterampilan sosial juga mencakup

kemampuan memelihara hubungan baik di lingkungan sekitar dan

keterampilan komunikasi yang baik, yaitu kemampuan

menyampaikan pesan dengan jelas, kemampuan berorganisasi

dan kemampuan manajemen konflik yang baik. Kompetensi ini

juga memberikan seseorang kemampuan untuk menjaga dan

memelihara hubungan dengan orang lain, mereka juga mampu

bekerjasama atau bekerja dalam kelompok.

Indikator keterampilan sosial yaitu mampu berinteraksi

dengan baik, bersikap bijaksana ketika menjalin bubungan

interpersonal dan mampu berkomunikasi dengan baik.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa

aspek kecerdasan emosi yaitu kesadaran diri, pengaturan diri,

motivasi diri, empati dan keterampilan social.

4. Ciri-ciri Kecerdasan Emosi

Goleman (2004) menjelaskan ciri-ciri dari kecerdasan emosi,

yaitu:

a. Individu dengan keterampilan emosional yang berkembang

14
Individu dengan keterampilan emosional yang

berkembang dengan baik lebih cenderung bahagia dan sukses

dalam hidup dan dapat mengontrol kebiasaan berpikir yang dapat

mendorong produktivitas. Orang dengan kapasitas emosional

yang lebih rendah mengalami pergolakan batin yang dapat

mencegah mereka untuk fokus dan memperhatikan pikiran dan

tindakan mereka.

b. Individu yang memiliki kemampuan memotivasi diri

Individu dengan kemampuan motivasi diri dapat

menanggulangi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak

melebih-lebihkan ungkapan kesenangan, dapat mengatur suasana

hati, mengontrol stres yang dapat mengganggu kemampuan

berpikir, berempati dan mampu berdoa.

c. Individu dengan kamampuan antar pribadi yang baik

Individu dengan kamampuan antar pribadi yang baik tahu

bagaimana memotivasi orang lain, mampu bekerja sama dengan

baik dan kemampuan mengatur diri sendiri yang dapat digunakan

secara efektif dalam kehidupan..

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa

ciri-ciri dari kecerdasan emosi yaitu berkembangnya keterampilan

emosi, kemampuan motivasi diri, dan kemampuan antar pribadi yang

baik sehingga membantu individu dalam menjalani kehidupannya.

15
B. Penyesuaian Diri Di Perguruan Tinggi

1. Definisi Penyesuaian Diri Di Perguruan Tinggi

Fatimah (2006:194) menjelaskan penyesuaian diri merupakan

proses alamiah yang terjadi secara dinamis dan bertujuan mengubah

perilaku individu agar memiliki hubungan yang sesuai dengan

kondisi lingkungannya. Sejalan dengan penjelasan sebelumnya

Mu’tadin (2002) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan

proses yang dinamis bertujuan untuk menrubah perilaku individu

sehingga terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu

dengan lingkungannya.

Baker dan Siryk (1984) mendefinisikan penyesuaian diri di

perguruan tinggi sebagai sebuah proses psikososial yang terjadi pada

mahasiswa dan dapat menjadi pemicu munculnya stres sehingga

memerlukan serangkaian keterampilan coping, agar mampu

menyesuaikan diri di perguruan tinggi dalam bidang akademik,

sosial, personal-emosional, dan kelekatan dengan institusi (dalam

Zubir, 2012). Hilgard dan Atkinson (1967) menjelaskan bahwa

individu memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik mampu

menyelesaikan konflik yang dihadapi tanpa bergantung pada

mekanisme pertahanan diri, sehingga tidak memunculkan masalah

lain yang bisa memengaruhi hidupnya.

16
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

penyesuaian diri di perguruan tinggi merupakan suatu

keterampilan yang disertai dengan upaya mahasiswa dalam

menghadapi tekanan dan masalah yang diakibatkan oleh perubahan

lingkungan di sekitarnya, sehingga hal tersebut tidak menjadi

masalah yang dapat dialami oleh kehidupan sosial dan akademik.

2. Aspek Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi

Baker dan Siryk (1986) membagi penyesuaian diri di perguruan tinggi

menjadi empat aspek:

a. Penyesuaian Akademik (Academic Adjustment)

Penyesuaian diri akademik merupakan kemampuan

individu dalam mengatasi berbagai tuntutan dan tantangan

akademik di perguruan tinggi seperti motivasi dan pencapaian

akademik. Indikator penyesuaian diri akademik yaitu memiliki

prestasi akademik yang baik, mampu mengaplikasikan motivasi

akademik dan mengatasi tuntutan akademik

b. Penyesuaian Sosial (Sosial Adjustment)

Penyesuaian diri sosial merupakan kemampuan individu

dalam menghadapi berbagai tuntutan interpersonal di perguruan

tinggi, seperti membangun interaksi dengan orang lain di kampus

dan membina hubungan sosial, mengatasi kerinduan dengan

17
keluarga, dan kemampuan mahasiswa dalam menjalani

pengalaman baru yang berkaitan dengan lingkungan sosialnya.

Indikator dari penyesuaian diri sosial yaitu mampu

menjalin hubungan dengan orang lain di perguruan tinggi, terlibat

dalam kegiatan yang ada di perguruan tinggi serta mampu

mengatasi perubahan lingkungan sosial.

c. Penyesuaian Personal-Emosional (Personal-Emotional

Adjustment)

Penyesuaian diri personal-emosional berkaitan dengan

kesejahteraan fisik dan psikologis mahasiswa selama masa

peralihan ke perguruan tinggi (Crede & Nichorster, 2012). Hal ini

ditandai dengan individu yang memiliki perasaan positif sehingga

mampu membangun kesejahteraan psikologis dan fisiologis,

seperti mampu mengontrol emosi dengan baik, memiliki persepsi

yang positif terhadap tuntutan di perguruan tinggi dan memiliki

kondisi fisik yang baik (Baker & Siryk, 1984).

d. Kelekatan dengan Institusi (Institutional Attachment)

Kelekatan dengan institusi menunjukkan sejauh mana

individu merasa menjadi bagian dari institusi atau universitas

dengan melihat kepuasan individu ketika menjadi bagian dari

institusi tersebut. Indikator kelekatan pada institusi meliputi

kepuasan terhadap fakultas atau program studi, kepuasan terhadap

universitas, dan kepuasan terhadap status sebagai mahasiswa.

18
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa

aspek dari penyesuaian diri di perguruan tinggi yaitu penyesuaian

akademik, penyesuaian sosial, penyesuaian personal-emosional dan

kelekatan dengan institusi.

3. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri di Perguruan

Tinggi

Menurut Schneiders (1964) faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi penyesuaian diri adalah sebagai berikut:

a. Keadaan Fisik

Kondisi fisik individu dapat mempengaruhi proses

penyesuaian diri, karena keadaan sistem kekebalan tubuh

merupakan hal penting yang menjadi faktor pendukung dalam

melakukan penyesuaian diri. Kondisi fisik yang dapat

mempengaruhi penyesuaian diri individu mencakup hereditas,

konstitusi fisik, sistem saraf, kelenjar dan otot, ataupun penyakit.

b. Perkembangan dan Kematangan

Pada setiap tahap perkembangan, seorang individu

melakukan perubahan yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan

yang dialami, hal tersebut disebabkan oleh kematangan mental,

sosial, moral dan emosional individu tersebut, yang

mempengaruhi bagaimana individu melakukan perubahan.

Perkembangan dan kematangan tersebut meliputi kematangan

19
intelektual, kematangan sosial, kematangan moral dan

kematangan emosional.

c. Keadaan Psikologis

Kondisi mental yang sehat dapat menciptakan

penyesuaian diri yang baik dalam diri individu. Ketika individu

memiliki keadaan psikologi yang baik akan mendorong individu

tersebut untuk memberikan respon yang sesuai dengan dorongan

internal maupun tuntutan yang diperoleh dari lingkungan. Faktor

psikologis pada individu mencakup pengalaman, perasaan,

belajar, kebiasaan, selfdetermination, frustasi, dan konflik.

d. Keadaan Lingkungan

Keadaan lingkungan yang tenang, damai, tentram dan

penuh penerimaan dan dukungan, serta mampu memberi

perlindungan dapat memperlancar proses penyesuaian diri pada

individu. Faktor lingkungan meliputi lingkungan keluarga, rumah,

dan lingkungan belajar (sekolah).

e. Tingkat Religiusitas dan Kebudayaan

Religiusitas dapat mempengaruhi suasana psikologis yang

digunakan untuk mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan,

karena religiusitas memberi nilai pada keyakinan individu untuk

mengetahui arti, tujuan, dan keseimbangan dalam hidup. Begitu

juga dengan masyarakat yang menjadikan budaya sebagai faktor

yang mempengaruhi watak dan perilaku individu dalam bersikap.

20
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa

faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri di perguruan tinggi yaitu

keadaan fisik, perkembangan dan kematangan, kondisi psikologis

dan tingkat religiusitas dan kebudayaan.

C. Mahasiswa Baru

1. Pengertian Mahasiswa Baru

Mahasiswa menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

adalah peserta didik yang sudah menuntaskan jenjang pendidikan

Sekolah menengah dan melanjutkan pendidikan pada jenjang

perguruan tinggi (Depdiknas, 2012). Mahasiswa adalah seseorang

yang sedang dalam proses menuntut ilmu dan terdaftar sedang

menempuh pendidikan pada salah satu perguruan tinggi yang terdiri

dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas

(Hartaji, 2012: 5).

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah disebutkan, maka

dapat disimpulkan bahwa mahasiswa baru adalah peserta didik yang

sudah menuntaskan jenjang pendidikan tingkat menengah atas dan

melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi selama minimal satu

tahun.

2. Karakteristik Perkembangan Mahasiswa Baru

Menurut Arnet (2000), individu yang berada pada fase

perkembangan emerging adulthood dengan rentang usia 18-25 tahun.

21
Arnet (2015) memberikan penjelasan mengenai lima ciri tahapan

perkembangan emerging adulthood, antara lain:

a. The age of identity exploration

Pada tahap perkembangan ini, individu melakukan

pencarian jati diri pada berbagai aspek dalam kehidupannya

yang akan membentuk identitas, terutama pada aspek

pekerjaan dan percintaan. Individu pada tahap ini melakukan

eksplorasi untuk mengetahui siapa dirinya dan apa yang

mereka inginkan dalam hidupnya.

b. The age of instability

Fase ini terjadi ketika seseorang mulai mengalami

perubahan yang cepat dalam aspek cinta, karir dan pandangan

hidup. Pada tahap ini, individu mulai menyusun perencanaan

untuk langkah selanjutnya, namun bisa saja rencana itu

berubah ketika tidak sesuai dengan situasi yang sedang

dialami. Banyaknya tekanan dan perubahan membuat

individu mudah merasakan cemas dan stres.

c. The age of feeling in between

Fase ini terjadi ketika individu merasa dirinya bukan lagi

seorang remaja ataupun dewasa. Karakteristik ini

mamunculkan perasaan cemas dan tertekan terutama pada

individu yang merasa bahwa mereka harus lebih dewasa

dibanding usianya.

22
d. The age of possibilities

Fase age of possibilities adalah fase ketika seseorang

memiliki harapan yang tinggi karena telah berusaha

mewujudkan sebagian mimpinya dalam kehidupan. Pada fase

ini, seseorang memiliki kesempatan yang besar untuk

melakukan perubahan dalam hidupnya. Individu pada tahap

ini berorientasi pada kebahagiaan, kepuasan kerja dan

kehidupan cinta.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan

bahwa karakteristik mahasiswa baru pada fase perkembangan

emerging adulthood memiliki lima ciri tahapan yaitu the age of

identity exploration, the age of instability, the age of feeling in

between, the age of possibilities

D. Keterkaitan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Penyesuaian Diri

Kecerdasan emosi merupakan salah satu faktor yang sangat

berperan penting terhadap penyesuaian diri individu (Goleman, 1995).

Kecerdasan emosi berhubungan dengan persepsi, ekspresi, regulasi, dan

manejemen emosi, sehingga diyakini berdampak terhadap fungsi sosial

dan kognitif individu (Schutte, et al., 1998). Mahasiswa baru dengan

kecerdasan emosi yang baik terlihat lebih unggul dan mampu mengontrol

diri ketika dihadapkan dengan tuntutan akademik maupun sosial (Amin,

Patel & Srivastava, 2016).

23
Mahasiswa baru yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi

cenderung mampu melakukan penyesuaian diri, mudah beradaptasi,

ramah, ulet, dan optimis (Salovey dan Mayer, 1990). Mahasiswa baru

dengan keterampilan emosional yang baik cenderung lebih unggul dalam

mengatur diri, baik dalam proses belajar maupun sosial. Hal ini tentunya

membuat mahasiswa menjadi lebih cepat dalam penyesuaian di bidang

akademis, serta memiliki keterampilan dalam berinteraksi dengan orang

lain.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai kecerdasan

emosi dan penyesuaian diri menunjukkan bahwa, kecerdasan emosi dan

penyesuaian diri mahasiswa baru di perkuliahan memiliki hubungan yang

positif dan signifikan (Utama, 2017). Sejalan dengan hal tersebut,

penelitian Astrina & Rinaldi (2019) menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan penyesuaian

diri, individu dengan kecerdasan emosi yang tinggi mampu

menyesuaikan diri baik dari segi akademik sosial. Devi & Desiningrum

(2017) ada hubungan positif antara kecerdasan emosional dan

penyesuaian sosial mahasiswa. Kecerdasan emosional memiliki peran

yang penting bagi mahasiswa dalam melakukan penyesuaian sosial di

lingkungan barunya karena ketika mereka memiliki pengendalian emosi

dengan baik berbagai masalah yang ada di sekitarnya akan teratasi dengan

baik.

24
E. Kerangka Pikir

Mahasiswa Baru

Kecerdasan emosi (X)


Aspek-aspek menurut
Goleman (1997)
Tinggi  Kesadaran Diri Redah
 Pengaturan Diri
 Motivasi Diri
 Empati
 Keterampilan Sosial

Penyesuaian Diri (Y)


Aspek-aspek menurut Baker &
Siryk (1986)
Redah  Penyesuaian Akademik Tinggi
 Penyesuaian Sosial
 Penyesuaian Personal-
emosional
 Kelekatan Institusi

Berdasarkan kerangka pikir di atas menunjukkan bahwa

kecerdasan emosi berpengaruh terhadap penyesuian diri. Mahasiswa baru

yang memiliki kecerdasan emosi yang rendah akan memiliki tingkat

penyesuaian diri yang rendah. Sebaliknya mahasiswa baru yang memiliki

kecerdasan emosi yang tinggi akan memiliki tingkat penyesuaian diri

yang tinggi.

25
F. HIPOTESIS

Berdasarkan uraian kerangka piker, hipotesis dalam penelitian ini

yaitu “Terdapat hubungan positif antara kecerdasan emosi dengan

penyesuaian diri pada mahasiswa baru perguruan tinggi negeri di kota

makassar”. Hubungan positif terjadi ketika satu variabel mengalami

kenaikan maka variabel yang lain juga mengalami kenaikan. Semakin

tinggi nilai kecerdasan emosi maka semakin tinggi juga nilai penyesuaian

diri. Sebaliknya semakin rendah nilai kecerdasan emosi maka semakin

rendah juga nilai penyesuaian diri.

26
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel

Penelitian ini memiliki dua variabel:

1. Variabel Bebas (Independent)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosi

2. Variabel Terikat (Dependent)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri

Variabel bebas (X) : Kecerdasan emosi

Variabel terikat (Y) : Penyesuaian diri

B. Definisi Operasional Variabel

A. Kecerdasan emosi

Kecerdasan emosi merupakan kemampuan individu untuk

mengidentifikasi dan memahami perasaannya sendiri dan perasaan

orang lain, memotivasi diri, megelola emosi dengan baik sehingga

membantu individu dalam menentukan sikap ketika menjalin

hubungan dengan lingkungan maupun orang lain.

B. Penyesuaian diri

Penyesuaian diri merupakan suatu keterampilan yang disertai

dengan upaya mahasiswa dalam menghadapi tekanan dan masalah

yang diakibatkan oleh perubahan lingkungan di sekitarnya, sehingga

27
hal tersebut tidak menjadi masalah yang dapat dialami

oleh kehidupan sosial dan akademik.

C. Populasi Dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah sejumlah penduduk atau individu yang paling

sedikit memiliki karakteristik dan sifat yang sama (Hadi, 2017).

Kriteria populasi sebagai berikut :

a. Mahasiswa baru angkatan 2022 (usia 18-25)

b. Kuliah di perguruan tinggi negeri di kota makassar

2. Sampel

Sampel adalah sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari

jumlah populasi (Hadi, 2017). Jumlah sampel pada penelitian ini

sebanyak 370. Pada penelitian ini peneliti menggunakan tabel

penentuan jumlah sampel Isaac & Michael dengan taraf kesalahan

5% dikarenakan populasi yang tidak diketahui jumlahnya(Sugiyono,

2013). Teknik pengumpulan sampel pada penelitian ini non random

sampling jenis purposive sample. Purposive sampling adalah teknik

sampling yang sudah ditentukan sebelumnya dan diketahui

karakteristiknya lebih dulu berdasarkan ciri dan sifat populasinya

(Hadi, 2017).

28
D. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Teknik

pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini yaitu penyebaran

skala likert. Skala likert adalah skala yang digunakan untuk mengukur

pendapat maupun persepsi seseorang tentang suatu fenomena (Sugiyono,

2016).

1. Skala Kecerdasan Emosi

Skala kecerdasan emosi menggunakan adaptasi dari skala

penelitian terdahulu yakni Utama (2016) yang terdiri dari lima aspek,

yaitu aspek kesadaran diri, aspek pengaturan diri, aspek motivasi diri,

aspek empati, dan aspek keterampilan sosial (Goleman, 1997). Skala

ini memiliki 20 item, dengan 4 item pada tiap-tiap aspeknya. Pada

tiap aspek memiliki dua pernyataan yaitu favorable dan unfavorable.

Distribusi item skala kecerdasan emosi bisa dilihat di tabel 1

Tabel 1
Blue print Skala Kecerdasan Emosi
Nomor Item
No Aspek Fav Unfav Jumlah
1 Aspek 18, 10 13, 12 4
Kesadaran diri
2 Aspek 11, 2 19, 14 4
pengaturan diri
3 Aspek 5, 17 7, 4 4
motivasi diri
4 Aspek empati 3 16, 9, 20 4
5 Aspek 6, 1 15, 8 4
keterampilan
sosial
Total 20

29
Skala kecerdasan emosi diukur dengan skala Likert yang terdiri

dari 20 item dengan empat pilihan jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS),

Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala

ini di susun berdasarkan teori kecerdasan emosi yang paparkan oleh

Goleman (1997).

2. Skala Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi

Skala penyesuaian diri di perguruan tinggi terdiri dari empat

aspek yaitu penyesuaian akademik (academic adjustment),

penyesuaian sosial (sosial adjustment), penyesuaian personal-

emosional (personal emotional adjustment), dan kelekatan dengan

instistusi (insitusional attachment) (Baker & Siryk, 1986). Skala ini

terdiri atas 36 item, dan 9 item pada tiap-tiap aspeknya. Pada tiap

aspek memiliki dua bentuk pernyataan yaitu pernyataan favorable

dan pernyataan unfavorable.

Tabel 2
Blue print Skala Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi
Nomor Item
No Dimensi Favo Unfavo Jumlah
1 Penyesuaian 1, 6, 36, 13, 18, 29, 4 9
diri 9, 19
akademik
2 Penyesuaian 12, 25, 5, 21, 16, 4, 2 9
diri sosial 14, 22
3 Penyesuaian 27, 3, 32, 11, 20, 10, 9
personal- 8, 28, 35,
emosional
4 Kelekatan 24, 15, 7, 30, 26, 17, 9
dengan 33, 23 31
Institusi
Total 36

30
Skala penyesuaian diri diukur menggunakan skala Likert yang

terdiri dari 36 item dengan empat pilihan jawaban, yaitu Sangat

Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai

(STS).

E. Validitas dan Reliabilitas

1. Validitas

Validitas berarti sejauh mana akurasi dan ketelitian alat ukur

dalam melakukan fungsinya (Azwar, 2012). Suatu alat ukur dikatakan

valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu mengungkapkan sesuatu

yang akan diukur oleh kuesioner tersebut (Ghozali, 2009).

2. Reliabilitas

Ghozali (2009) menyatakan bahwa reliabilitas adalah alat untuk

mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel.

Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban

seseorang terhadap pernyataan tersebut konsisten atau stabil dari

waktu ke waktu.

F. Teknik Analisis Data

1. Uji Asumsi

Uji asumsi dilakukan sebagai syarat untuk melakukan uji

hipotesis. Uji asumsi dalam penelitian ini terdiri dari uji normalitas

dan uji linearitas

31
a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data

berdistribusi normal atau tidak (Noor, 2011). Uji ini

dilakukan karena perhitungan statistik memiliki asumsi

normalitas sebaran (Santoso,2010). Data dikatakan normal

ketika memiliki p > 0,05 (Sarwono, 2006). Uji normalitas

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik Kolmogorov

Smirnov Test SPSS 23 for windows.

b. Uji Linearitas

Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui hubungan linear

antar variabel yang hendak dianalisis (Santoso, 2010). Uji ini

menggunakan test for linearity SPSS 23. Kedua variabel

dinyatakan linear dan memiliki hubungan jika nilai

signifikansi lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05).

2. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji korelasi

pearson product moment yang digunakan untuk mengukur hubungan

antara satu variable dengan variable lain. Apabila nilai sig. (p) < 0,05

maka hipotesis nol ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan

antara dua variabel. Sebaliknya jika nilai sig. (p) > 0,05 maka

hipotesis nol diterima berarti tidak ada hubungan yang signifikan

antara dua variabel (Ghozali, 2016)

32
G. Jadwal Rencana Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini akan dilakukan dalam 6 bulan dengan

rincian sebagai berikut:

No Kegiatan Bulan

Sept Okt Nov Des Jan Feb

1 Tahap bimbingan

2. Penyusunan proposal

3. Ujian Proposal

4. Revisi Ujian Proposal

5. Penyusunan Instrumen

6 Penyebaran Instrumen

7. Analisis Data

8. Penyusunan Laporan

9. Ujian Skripsi

33
DAFTAR PUSTAKA

A., Sakinah., Fadhila, H.A., Nugraha, B.A., & Widiasmara, N. (2018). Sosial
Interaction Anxiety And Academic Adjustment Among Freshmen College
Student. Arts & Education International Research Journal, 5, (2), 1-5 29.
Abdullah, M. C., Elias, H., Mahyuddin, R., & Uli, J. (2009). Adjustment Amongst First
Year Students In A Malaysian University. European Journal Of Sosial
Sciences, 8(3), 496-505.
Amin, M., Patel, P., & Srivastava, A. K. (2016). Emotional Intelligence And
Adjustment Among Adolescents. Epra International Journal Of
Multidisciplinary Research (Ijmr), 2(2), 113–116.
Arnett, J. J. (2000). Emerging Adulthood: A Theory Of Development From The Late
Teens Through The Twenties. American Psychologist, 55(5), 469-480.
Aspelmeier, J. E., Love, M. M., Mcgill, L. A., Elliott, A. N., & Pierce, T. W.(2012).
Self-Esteem, Locus Of Control, College Adjustment, And Gpa Amongfirst And
Continuing Generation Students: A Moderator Model Of Generational Status.
Research In Higher Educational, 53(7), 755-781.
Aspinwall, L. G., & Taylor, S. E. (1992). Modelling Cognitive Adaptation: A
Longitudinal Investigation Of The Impact Of Individual Differences And
Coping On College Adjustment And Performance. Journal Of Personality And
Sosial Psychology, 63, 989-1003.
Astrina, Rinaldi. 2019. Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Penyesuaian Diri Pada
Mahasiswa Tahun Pertama Jurusan Psikologi. Fakultas Psikologi. Universitas
Negeri Padang
Azwar, S. (2012). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Baker, R. W., & Siryk, B. (1986). Exploratory Intervention With A Scale Measuring
Adjustment To College. Journal Of Counseling Psychology, 33(1), 31-38.
Beyers, W., & Goossens, L. (2003). Psychological Separation And Adjustment To
University: Moderating Effects Of Gender, Age, And Perceived Parenting
Style. Journal Of Adolescent Research, 18(4), 363-382.
Cooper, R.K dan Sawaf, A. (1998) Executif EQ, Kecerdasan Emosional dalam
Kepemimpinan Organisasi, alih bahasa Alex TKW, Gramedia, Jakarta.
Credé, M., & Niehorster, S. (2012). Adjustment To College As Measurement By The
Student Adaptation To College Questionnaire: A Quantitative Review Of Its
Structure And Relationship With Correlates And Consequences. Educational
Psychology Review, 24, 133-165.

34
Dyson, R., & Renk, K. (2006). Freshmen Adaptation To University Life: Depressive
Symptoms, Stres, And Coping. Journal Of Clinical Psychology, 62(10), 1231-
1244
Fatimah, Enung. 2006. Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik).
Bandung: Pustaka Setia.
Fischer, M. J. (2007). Settling Into Campus Life: Differences By Race/Ethnicity In
College Involvement And Outcomes. The Journal Of Higher Educational,
78(2), 125-156.
Friedlander, L. J., Reid, G. J., Shupak, N., & Cribbie, R. (2007). Sosial Support, Self-
Esteem, And Stres As Predictor Of Adjustment To University Among Firstyear
Undergraduates. Journal Of College Student Development, 48(3), 259-274.
Ghozali, Imam. 2016. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IBM SPSS
2.Universitas Diponegoro Semarang.
Ghufron. 2017. Penyesuaian Akademik Tahun PertamaDitinjau Dari Efikasi Diri
Mahasiswa. Vol. 1, No. 1,
Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than Iq. New
York: Bantam Books
Hadi. 2017. Statistik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Hartaji, Damar A. (2012). Motivasi Berprestasi Pada Mahasiswa yang Berkuliah
Dengan Jurusan Pilihan Orangtua. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Hertel, J. B. (2002). College Student Generational Status: Similarities, Differences,
And Faktor In College Adjustment. The Psychological Report, 52, 3-18.
Judge, T. A., Erez, A., Bono, J. E., & Locke, E. A. (2005). Core Self-Evaluation And
Job And Life Satisfaction: The Role Of Self-Concordance And Goal
Attainment. Journal Of Applied Psychology, 90(2), 257-268.
Mu’tadin, Zainun. 2002. Penyesuaian Diri Remaja. http://e-psikologi.com/
remaja/16080z.htm (02-07-2008)
Mutambara J. & Bhebe V. (2012). An Analysis of the Factors Affecting Students
Adjustment at a University in Zimbabwe. Journal of International Education
Studies, 5, (6), 244-250.
Noor, J. (2011). Metode Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, & Karya Ilmiah. Jakarta.
Prenada Media.

35
Nurbaiti, Rozali. Hubungan Kecerdasan Emosional Dengan Penyesuaian Sosial Pada
Mahasiswa Baru Universitas Esa Unggul Angkatan 2014. Fakultas Psikologi.
Universitas Esa Unggul
Nuryani. 2019. Dampak Kesulitan Menyesuaikan Diri Pada Santri. Jurnal Bimbingan
Dan Konseling Vol. 4 No. 1
Parker, J. D. A., Hogan, M. J., Eastabrook, J. M., Oke, A., & Wood, L. M. (2006).
Emotional Intelligence An Student Retention: Predicting The Successful
Transition From High School To University. Personality And Individual
Differences, 41, 1329-1336.
Patton, P.(1998). Eq (Kecerdasan Emosional) Di Tempat Kerja. Alih Bahasa:Zaini
Dahlan. Jakarta:Pustaka Delapratasa.
Rahayu, Arianti. 2020. Penyesuaian Mahasiswa Tahun Pertama Di Perguruan Tinggi:
Studi Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Uksw. Jurnal Psikologi Sains Dan
Profesi. Vol. 4, No. 2, 73 – 84
Rosyidah Et Al. Gambaran Tingkat Stres Akademik Mahasiswa Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Keperawatan Unhas. Jurnal Abdi (Sosial, Budaya Dan
Sains), Vol. 2 No. 1
Salmain, D., Azar, N. N., & Salmani, A. (2014). A Study Of First-Year Student
Adjustment To College In Relation To Academic-Self Efficacy, Academic
Motivation And Satisfaction With College Environment. International Journal
Of Scientific Management And Development, 2(5), 87-93.
Salovey, P., & Mayer, J.D. (1990). Emotional Intelligence, Imagination, Cognition,
And Personality, 9 (3), 185-211.
Saniskoro, B. S. R. & Akmal, S. Z. (2017). Peranan Penyesuaian Diri di Perguruan
Tinggi terhadap Stres Akademik pada Mahasiswa Perantau di Jakarta. Jurnal
Psikologi Ulayat, 4, (1), 95-106.
Santoso, A. (2010). Statistik Untuk Psikologi: Dari Blog Menjadi Buku. Yogyakarta:
Usd.
Santrock, J.W. (2011). Educational Psychology (5th Edition). New York: Mcgrawhill.
Setyawan and D. Simbolon, “ Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Hasil Belajar
Matematika Siswa SMA Kansai Pekanbaaru,” JPPM (Jurnal Penelitian dan
Pembelajaran Matematika)., vol. 11, no.1 , 2018.
Sharma, B. (2012). Adjustment And Emotional Maturity Among First Year College
Students. Pakistan Journal Of Sosial And Clinical Psychology, 9(3), 32-37.

36
Sholeh, A., Sakinah., Fadhila, H.A., Nugraha, B.A., & Widiasmara, N. (2018). Social
Interaction Anxiety and Academic Adjustment among Freshmen College
Student. Arts & Education International Research Journal, 5, (2), 1-5
Siah, P.C. & Tan, S. H. (2015). Motivational Orientation, Perceived Stress And
University Adjustment Among First Year Undergraduates In Malaysia. Journal
Of Institutional Research South East Asia, 13, (1), 13-
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian pendidikan (Pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan
R&D. Bandung). Bandung: CV Alfabeta.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D. Bandung : IKAPI
Utama. 2017. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Penyesuaian Diri Di
Perguruan Tinggi Pada Mahasiswa Tahun Pertama. Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Wijanarko, E. & Syafiq, M. (2013). Studi Fenomenologi Pengalaman Penyesuaian Diri
Mahasiswa Papua di Surabaya. Jurnal Psikologi: Teori dan Terapan, 3 (2), 79-
92.
Wulandari, Burhanuddin & Nuryanti. Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap
Kinerja Pegawai Di Kantor Kecamatan Sape Kabupaten Bima. Volume 2,
Nomor 1,

37

Anda mungkin juga menyukai