Anda di halaman 1dari 68

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap manusia pasti memiliki keinginan untuk bertumbuh dan berubah
menjadi lebih baik. Keinginan tersebut sebagai bagian dari upaya adaptasi manusia
pada era digital sekarang ini. Effendi (1998) menyatakan bahwa semakin
berkembangnya zaman menimbulkan persaingan antar individu agar dapat bertahan
hidup. Sesuatu yang dibutuhkan untuk menghadapinya adalah kualitas sumber daya
manusia yang baik dimana individu mampu menguasai berbagai macam keahlian
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Seseorang dikatakan berkualitas tinggi
apabila dapat menunjukkan perilaku yang mencerminkan adanya kedisiplinan,
kreativitas maupun etos kerja yang tinggi. Berbagai macam cara telah dilakukan
untuk meningkatkan kualitas diri dengan berbekal aksesibilitas tanpa batas
dibandingkan sebelumnya. Kondisi tersebut menjadikan persaingan yang telah ada
semakin meruncing, disertai permasalahan yang mulai muncul antara lain
banyaknya pengangguran, serta tingginya persaingan dalam memperoleh
pekerjaan.
Aprianti (2012) menjelaskan bahwa untuk memenangkan persaingan tersebut
maka diperlukan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Peningkatan
kualitas terus menerus dilakukan dengan menempuh pendidikan tinggi sebagai
pondasinya. Untuk itu generasi muda harus mempersiapkan diri untuk dapat
menghadapinya. Menurut Takwin (2008) Mahasiswa adalah orang yang belajar di
perguruan tinggi, baik universitas, Institut atau akademi. Individu yang terdaftar
dapat disebut sebagai mahasiswa. Mahasiswa merupakan calon intelektual dan
sumber daya manusia yang unggul dalam masyarakat yang salah satu tugasnya
adalah menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, termasuk di dalamnya
pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Sebagai mahasiswa,
tentunya mempunyai tugas dan tanggung jawab yang harus dikerjakan, salah
satunya adalah mengerjakan tugas -tugas kuliah.

1
Sebagai mahasiswa,tentu saja memiliki berbagai kebutuhan, seiring
meningkatnya kebutuhan mahasiswa saat ini, seperti kebutuhan untuk menunjang
perkuliahan meliputi buku, laptop dan sejenisnya atau untuk tetap menjaga
penampilan. Sebagian mahasiswa enggan untuk membebankan hal tersebut kepada
orang tua sehingga memilih untuk bekerja (Dinata & Supriyadi, 2019). Berdasarkan
survey yang dilakukan oleh Mardelina dan Muhson (2017), pada mahasiswa S1
angkatan 2013 Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. dari 726
responden menunjukkan bahwa 56% atau sejumlah 407 mahasiswa merupakan
mahasiswa tidak bekerja dan sisanya 44% atau 319 merupakan mahasiswa yang
bekerja. Hal ini menandakan bahwa bekerja merupakan salah satu kegiatan yang
dilakukan oleh mahasiswa selain belajar di kelas (Furr & Elling, dalam Puspitasari,
2013). Dinata (2017) menyebutkan sebagian besar mahasiswa memilih untuk
bekerja secara part time dan menggunakan sistem shift dengan 5 hingga 7 jam kerja
per hari di berbagai bidang pekerjaan.
Fenomena yang sama juga terjadi di Universitas Trunojoyo Madura (UTM).
Survei awal yang dilakukan oleh peneliti kepada 106 mahasiswa Universitas
Trunojoyo Madura (UTM) yang mewakili setiap fakultas yang ada di UTM yang
kemudian diperoleh data sejumlah 38,7% atau 41 orang laki-laki dan 61,3% atau
65 orang perempuan. Kemudian, hasil survey juga menunjukkan bahwa 82
mahasiswa (77,4%) memutuskan untuk bekerja paruh waktu dan 22,6% atau 24
mahasiswa tidak bekerja. Selanjutnya, 75,2% atau 80 orang mahasiswa cenderung
menunda tugas kuliah, sedangkan sisanya 24,8% atau 26 orang mahasiswa tidak
menunda kuliah. Selain itu, sebagian besar dari mahasiswa yang bekerja paruh
waktu adalah mahasiswa yang sedang berada di tahap akhir atau semester 8
sebanyak 73,1% atau 60 mahasiswa, selanjutnya 19,5% atau 16 orang mahasiswa
yang bekerja paruh waktu berada di semester 6, kemudian 3,7% atau 3 orang
mahasiswa yang bekerja paruh waktu berada di semester 4, sementara sisanya
sebanyak 3,7% atau 3 orang mahasiswa berada di semester 2. Selanjutnya, terdapat
hasil survei yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari mahasiswa yang bekerja
paruh waktu bekerja sebagai barista, kasir Cafe, dan guru les atau bimbingan
belajar. Fenomena tersebut dilatar belakangi karena adanya kebutuhan individu
pada masa remaja yang ingin menjadi lebih mandiri baik secara finansial maupun
dalam pengambilan keputusan dimana bekerja merupakan kegiatan yang dijalankan
untuk mencapai keinginan tersebut (Santrock, 2007), selain itu fenomena
mahasiswa yang bekerja merupakan sesuatu yang wajar terlebih bekerja sudah
menjadi rutinitas setiap individu (Arumsari, 2009).
Pengalaman dalam masa kerja sangat membantu mahasiswa dalam
memahami bidang pengetahuan lain lebih awal, misalnya mampu memahami
bagaimana cara memperoleh dan mempertahankan pekerjaan serta bagaimana
memanajemen diri di masyarakat. Selain itu, menurut Santrock (2007), manfaat
lainnya dari bekerja pada mahasiswa adalah kemampuan manajemen waktu dan
rasa bangga atas pencapaian diri serta dapat melakukan evaluasi pengembangan
diri. Lebih lanjut, Santrock juga menjelaskan bahwa tanggung jawab yang dimiliki
juga berbeda dengan mahasiswa yang tidak bekerja, dimana ia harus mampu
menyeimbangkan antara tuntutan keluarga, situasi dan kondisi pekerjaan serta
perkuliahan agar dapat menyelesaikannya tepat waktu.
Fenomena mahasiswa yang bekerja ternyata berdampak pada aktivitas
belajar. Mardelina dan Muhson (2017) menyatakan individu yang memutuskan
untuk kuliah sambil bekerja memiliki penurunan aktivitas belajar yang signifikan.
Individu kesulitan dalam membagi waktu dan tanggung jawab atas komitmen pada
dua aktifitas tersebut. Kondisi tersebut membuat mahasiswa mengisi waktu yang
dimilikinya, menggunakan energi, tenaga dan pikiran untuk bekerja. Selain
manajemen waktu yang kacau, individu juga cenderung mengabaikan tugasnya
sebagai seorang mahasiswa untuk belajar dan bertanggung jawab terhadap tugas-
tugasnya. Hipjillah dan Badriyah (2015) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa
terdapat banyak penyebab mahasiswa tidak dapat mengatur waktunya antara lain
motivasi belajar yang menurun serta konsentrasi mahasiswa ketika belajar harus
terbagi dengan tugas-tugasnya di tempat kerja. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Pujiyanto (2005) yang menyebutkan bahwa mahasiswa yang
melakukan kuliah sambil bekerja lebih memfokuskan diri untuk bekerja
dibandingkan belajar dan berdampak pada penurunan prestasi belajar. Hal tersebut
didukung oleh data survei yang telah dilakukan oleh peneliti dari 106 responden
mahasiswa UTM menyatakan bahwa 75,2% mahasiswa cenderung menunda
melakukan tugas kuliah.
Berdasarkan uraian sebelumnya terlihat jelas adanya berbagai hambatan yang
ditemui oleh mahasiswa yang bekerja dalam menyelesaikan tugas akademiknya.
Mulai dari sulitnya membagi waktu hingga pada akhirnya bermalas-malasan dalam
menyelesaikan tugasnya sebagai mahasiswa. Ketika individu cenderung menunda-
nunda untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas yang seharusnya ia mampu
menyelesaikannya lebih cepat sehingga tidak selesai tepat pada waktunya dapat
disebut sebagai prokrastinasi akademik (Brown & Holtzman, dalam Ghufron dan
Risnawita, 2014). Ferrari (2001) menjelaskan bahwa prokrastinasi akademik
merupakan sebuah penundaan dalam menyelesaikan tugas yang merupakan
prioritas tinggi tanpa memiliki alasan yang mendasar dan masuk akal. Selanjutya,
menurut Fauziah (2016) prokrastinasi akademik merupakan perilaku individu yang
tidak bisa dikontrol dalam menjalankan tugas atau pekerjaannya. Sejalan dengan
hal tersebut, Qomariyah (2016) menjelaskan bahwa prokrastinasi akademik
merupakan penundaan yang terpola dalam melaksanakan tugas yang sengaja dan
berulang-ulang. Lebih lanjut Ananda dan Mastuti (2013) menjelaskan bahwa
prokrastinasi akademik merupakan kecenderungan individu untuk meninggalkan,
mengabaikan, dan menghindari menyelesaikan tugas yang seharusnya diselesaikan.
Selanjutnya, Solomon dan Rothblum (1984) menambahkan bahwa dapat dikatakan
individu melakukan prokrastinasi ketika yang ditunda merupakan hal yang penting,
dilakukan berulang-ulang dengan sengaja, serta menimbulkan perasaan tidak
nyaman.
Frekuensi terjadinya prokrastinasi akademik hampir setiap saat pada siapapun
dalam kesehariannya dengan intensitas yang berbeda (Ananda & Mastuti, 2013).
Sejalan dengan survei awal yang dilakukan Peneliti pada 106 mahasiswa
Universitas Trunojoyo Madura yang menjelaskan bahwa 76 responden (75,2%)
cenderung menunda mengerjakan tugas kuliah. Selanjutnya, Ferrari dan Morales
(2007) menyatakan bahwa terdapat beberapa dampak negatif prokrastinasi
akademik diantaranya banyaknya waktu yang dimiliki oleh mahasiswa menjadi
terbuang dan tidak adanya output atas pekerjaannya. Selain itu stres dan disfungsi
psikologis individu juga menjadi dampak dari adanya prokrastinasi. Pada kondisi
tersebut, mahasiswa sering menghadapi tugas disertai tenggat waktu yang terbatas
sehingga muncul perasaan tertekan.
Solomon dan Rothblum (1984) menjelaskan bahwa mahasiswa melakukan
prokrastinasi akademik pada berbagai macam tugas atau pekerjaan mulai dari
menulis, belajar dalam persiapan ujian, membaca, melakukan tugas administratif
dan sisanya adalah aktifitas perkuliahan secara umum. Lebih lanjut Dinata dan
Supriyadi (2019) menambahkan bahwa perguruan tinggi juga mendapatkan
dampak negatif dari perilaku prokrastinasi yang dilakukan oleh mahasiswa.
Semakin banyaknya mahasiswa yang menunda untuk menyelesaikan tugas
terutama tugas akhir untuk menyelesaikan studi dengan alasan apapun akan
menurunkan tingkat perguruan tinggi tersebut yang berakibat dalam turunnya
kualitas akademik bahkan akreditasi suatu perguruan tinggi.
Ferrari, Johnson dan McCown (1995) menyatakan bahwa terdapat beberapa
aspek yang dapat memicu terjadinya prokrastinasi akademik diantaranya adalah a.)
adanya penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan pekerjaan yang
dihadapi. Maksudnya adalah individu tersebut mengetahui bahwa ada tugas yang
harus dikerjakan dan harus diselesaikan yang berguna bagi dirinya, tetapi individu
tersebut memilih menunda untuk mengerjakannya. b.) Kelambanan dalam
mengerjakan tugas. Maksudnya adalah individu memilih untuk menghabiskan
waktu untuk mempersiapkan diri secara berlebihan maupun melakukan hal-hal
yang tidak dibutuhkan dalam menyelesaikan tugas ditambah tidak
memperhitungkan waktu yang dimilikinya. c.) Kesenjangan waktu antara rencana
dan kinerja. Hal ini ditandai dengan munculnya kesulitan dalam menyelesaikan
sesuatu sesuai dengan batas waktu yang telah ada sebelumnya. d.) Melakukan
aktifitas yang lebih menyenangkan daripada menjalankan kewajiban. Individu
tersebut tetap melakukan tugasnya, tetapi juga menggunakan waktu yang
dimilikinya untuk melakukan aktivitas lain yang bersifat menyenangkan.
Prokrastinasi akademik merupakan masalah yang penting dan dapat ditinjau
dari berbagai macam sudut pandang. Wardani dan Nurwardani (2019) menjelaskan
bahwa selain karena penundaan, mahasiswa akan melakukan prokrastinasi ketika
merasa tidak cocok atau tidak senang dengan tugas atau pekerjaan tertentu sehingga
ia menghindarinya. Djamarah (2002) menambahkan bahwa tindakan prokrastinasi
menjadikan mahasiswa sulit untuk memprediksi apa saja yang akan terjadi
kedepannya sehingga menunda dan menyerah adalah opsi yang dipilih. Selain itu
apabila terjadi dalam kurun waktu yang lama dan dibiarkan tanpa adanya usaha
untuk memperbaiki pada tingkat tertentu berdampak negatif pada image serta
stereotip sebuah perguruan tinggi (Santosa, 2017). Selain menyebabkan dampak
negatif pada image dan stereotip perguruan tinggi, menurut Solomon dan Rothblum
(1984) kerugian lainnya dapat memicu kecemasan dalam kurun penyelesaian tugas,
disamping itu dampak dari kecemasan adalah menurunnya konsentrasi dan motivasi
dalam belajar.
Ghufron dan Risnawita (2014) menjelaskan bahwa prokrastinasi dipengaruhi
oleh faktor internal yang muncul dari dalam diri individu seperti kondisi fisik dan
kondisi psikologis. Selanjutnya, menurut Ferrari, Johnson dan McCown (1995)
prokrastinasi diinisiasi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal meliputi kondisi
fisik maupun kesehatan individu seperti kelelahan. Sementara itu Steel (2007)
menjelaskan bahwa prokrastinasi muncul dipicu oleh dua hal. Pertama adalah
perbedaan individu yang meliputi neroticism yang terdiri atas efikasi diri dan harga
diri yang rendah, irasional, self handicapping dan depresi, agreeableness,
extraversion, serta conscientiousness. Kedua adalah karakteristik tugas dimana di
dalamnya termasuk timing of rewards and punishments dan task aversiveness.
Berdasarkan uraian penjelasan sebelumnya, peneliti memilih task aversiveness
sebagai prediktor utama dalam prokrastinasi akademik.
Peneliti memilih task aversiveness karena individu cenderung melakukan
penundaan dalam penyelesaian tugas atau kewajiban dan biasanya dilakukan pada
tugas-tugas yang dianggap tidak sesuai, tidak menyenangkan, dan berpotensi
menurunkan semangat dalam menjalani hari. Alasan tersebut didukung oleh
Solomon dan Rothblum (1984) dalam penelitiannya dimana ditemukan bahwa task
aversiveness teridentifikasi sebagai prediktor utama dari prokrastinasi. Senada
dengan penelitian tersebut Afzal dan Jami (2018) juga menjelaskan melalui hasil
penelitiannya bahwa dari 200 mahasiswa dari berbagai jenjang pendidikan
menunjukkan hasil bahwa task aversiveness muncul menjadi salah satu prediktor
paling signifikan terhadap prokrastinasi akademik.
Menurut Ferrari, Mason dan Hammer (2006) task aversiveness adalah
karakteristik tugas yang diinterpretasikan oleh individu sebagai sebuah kesulitan,
tidak menyenangkan, tidak memberikan sensasi atau perasaan senang serta
membutuhkan effort yang lebih besar karena tugas tersebut tidak memiliki
kejelasan dalam penyelesaiannya. Selanjutnya, Blunt dan Pychyl (2000)
mendefinisikan task aversiveness sebagai perasaan berupa ketidaknyamanan atau
kurangnya kesenangan terhadap karakteristik tugas yang dipicu oleh berbagai
faktor dengan ciri perasaan boredom, frustration, dan resentment pada tugas yang
harus diselesaikan.
Terdapat tiga dimensi yang berhubungan dengan task aversiveness menurut
Blunt dan Pychyl (2000) antara lain a.) boredom yaitu penilaian individu tentang
sejauh mana ia merasa tugasnya tersebut terasa membosankan, b.) frustration
dimana ketika individu sibuk oleh emosi yang tidak relevan dengan tugas yang
sedang ia selesaikan, maka individu tidak akan mampu untuk fokus menyelesaikan
tugas tersebut, c.) resentment yakni seseorang tidak suka untuk turut serta dalam
kegiatan individu lain dimana dalam sisi yang lain merupakan bentuk respon
penghindaran dari aktivitas yang dijalani.
Penelitian yang dilakukan oleh Kogoya dan Jannah (2021) menunjukkan
sebuah hasil dimana 106 responden (65,8%) dari total 161 responden mengatakan
bahwa penundaan yang dilakukan dipicu oleh beberapa karakteristik tugas.
Individu biasanya melakukan dengan cepat berbagai tugas harian yang dianggap
menyenangkan dan berusaha menghindari yang tidak menyenangkan atau paling
tidak mengerjakannya dengan keengganan pada saat terakhir (Milgram, 1987).
Merujuk dari penelitian tersebut terdapat salah satu aspek task aversiveness yang
berhubungan secara signifikan dengan prokrastinasi akademik yaitu boredom.
Menurut Blunt dan Pychyl (2000), individu menganggap setiap tugasnya sangat
membosankan dan memilih untuk menundanya untuk melakukan tugas lain yang
lebih menyenangkan, sementara individu juga memilih tidak menyelesaikan
tugasnya dan mementingkan kegiatan yang dapat menghibur diri seperti bekerja
dan kegiatan yang bersifat hiburan lainnya (Ghufron & Risnawita, 2012).
Selanjutnya Sheldon dan Kasser (dalam Blunt & Pychyl, 2000) menjelaskan
bahwa frustration menyebabkan individu melakukan prokrastinasi akademik lebih
cepat karena ketika individu kesulitan mengelola rasa frustasinya terhadap tugas,
biasanya akan lebih cepat menemukan kegiatan lain yang lebih menyenangkan.
Oleh karena itu prokrastinasi akademik muncul dalam diri mahasiswa yang bekerja
karena banyaknya stressor yang hadir dalam lingkungan pekerjaannya yang tidak
mampu untuk dikelola dengan baik sehingga menyebabkan banyak tugas
terbengkalai (Bakunas, 2001). Selain itu, resentment terjadi pada mahasiswa yang
bekerja dimana juga dapat berpotensi menjadi seorang prokrastinator ketika ia sadar
bahwa terdapat tugas yang harus ia selesaikan, akan tetapi menundanya karena
menurutnya banyak hal lain yang lebih penting (Burka & Yuen, dalam Putri &
Edwina, 2020).
Task aversiveness berkorelasi positif yang signifikan dengan prokrastinasi
akademik melalui penelitian Solomon dan Rothblum (1984) dimana terdapat
beberapa komponen dalam task aversiveness yang dapat memicu terjadinya
prokrastinasi akademik. Hal tersebut diperkuat oleh Qomariyah (2016) dalam
penelitiannya yang berjudul “efikasi diri, ketidaknyamanan terhadap tugas, dan
konformitas teman sebaya sebagai prediktor prokrastinasi akademik”. Persamaan
penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah penggunaan variabel
ketidaknyamanan terhadap tugas dan prokrastinasi akademik, sementara
perbedaannya terletak pada subjek penelitian dimana penelitian tersebut
menggunakan subjek mahasiswa tingkat akhir dan penelitian ini menggunakan
mahasiswa bekerja part time. Penelitian tersebut menunjukkan hasil dimana
semakin tinggi task aversiveness semakin tinggi pula prokrastinasi akademik yang
dimilikinya, dimana mahasiswa bekerja merasakan ketidaknyamanan terhadap
berbagai macam tugas yang harus diselesaikan, dimana mahasiswa dituntut untuk
mampu menguasai diri, memanajemen waktu dan mengelola emosi dengan baik.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas dapat disimpulkan bahwa
mahasiswa yang bekerja memiliki kendala mulai dari sulitnya membagi waktu dan
tanggung jawab antara kewajiban untuk belajar dan menyelesaikan studi dengan
komitmen di tempat kerja. Hal tersebut dapat menyebabkan mahasiswa yang
bekerja menunda-nunda setiap tugas atau pekerjaan yang ada dan memilih untuk
mengerjakan aktifitas yang lebih menyenangkan, padahal aktifitas bekerja dapat
mengasah kemampuan mahasiswa untuk belajar sesuatu di luar kegiatan
perkuliahan dengan seimbang. Keengganan mahasiswa bekerja paruh waktu dalam
menyelesaikan tugas-tugas dan kewajibannya berpotensi merugikan dirinya sendiri
dan lembaga pendidikan terkait. Keengganan tersebut dapat muncul karena adanya
karakteristik tugas yang dipersepsikan sebagai sebuah kesulitan, tidak
menyenangkan, tidak memberikan sensasi atau perasaan senang serta
membutuhkan effort yang lebih besar karena tugas tersebut tidak memiliki
kejelasan dalam cara penyelesaiannya. Oleh sebab itu, peneliti memilih judul
“Pengaruh Task Aversiveness terhadap Prokrastinasi Akademik pada
Mahasiswa Bekerja Paruh Waktu”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah apakah terdapat pengaruh task aversiveness terhadap
prokrastinasi akademik pada mahasiswa bekerja paruh waktu?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh task aversiveness
terhadap prokrastinasi akademik pada mahasiswa bekerja paruh waktu.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Temuan pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi aktif
bagi pengembangan ilmu psikologi khususnya psikologi sosial terutama kaitannya
dengan task aversiveness dan prokrastinasi akademik pada mahasiswa bekerja
paruh waktu.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Subjek Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan informasi yang
berhubungan dengan task aversiveness dan prokrastinasi akademik pada
mahasiswa yang bekerja agar lebih dapat memanajemen diri, waktu dan emosi
serta mempertimbangkan dengan matang sebelum memutuskan untuk kuliah
sambil bekerja.
2. Bagi Orang Tua Mahasiswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pada orang tua
mahasiswa mengenai task aversiveness pada mahasiswa yang bekerja agar dapat
mendukung atau memberi dukungan kepada mahasiswa agar dapat menjalankan
tugas kuliah maupun tugas pekerjaan secara seimbang.
3. Bagi Peneliti Berikutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya,
utamanya yang terkait dengan task aversiveness dan prokrastinasi pada
mahasiswa yang bekerja paruh waktu.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Prokrastinasi Akademik


2.1.1 Pengertian Prokrastinasi Akademik
Menurut Ferrari (2001) prokrastinasi akademik merupakan sebuah
penundaan dalam menyelesaikan tugas yang merupakan prioritas tinggi tanpa
memiliki alasan yang mendasar dan masuk akal. Berikutnya, Fauziah (2016)
menjelaskan bahwa prokrastinasi merupakan perilaku individu yang tidak bisa
dikontrol dalam menjalankan tugas atau pekerjaannya. Solomon dan Rothblum
(1984) menambahkan bahwa dapat dikatakan individu melakukan prokrastinasi
ketika yang ditunda merupakan hal yang penting, dilakukan berulang-ulang dengan
sengaja, serta menimbulkan perasaan tidak nyaman.
Menurut Shinta (2021) prokrastinasi terbagi menjadi dua yaitu prokrastinasi
akademik dan non akademik. Prokrastinasi akademik adalah suatu jenis penundaan
yang bersifat formal dan berhubungan dengan bidang akademik seperti tugas
sekolah, tugas kursus, dan lain sebagainya. Sementara, prokrastinasi non-akademik
berkaitan dengan tugas non-formal atau tugas yang berhubungan dengan kegiatan
sehari-hari (Ghufron & Rini, 2010). Berikutnya, prokrastinasi akademik juga dapat
diartikan sebagai jenis penundaan yang dilakukan pada jenis tugas formal yang
berhubungan dengan tugas akademik. Jadi, yang dimaksud dengan prokrastinasi
akademik yaitu menunda-nunda pekerjaan di bidang akademis (Arumsari, 2009).
Lebih lanjut, Shinta (2021) menjelaskan bahwa prokrastinasi dapat ditinjau dari
berbagai sudut pandang antara lain merupakan sebuah perilaku untuk menunda
pekerjaan tanpa mempermasalahkan tujuan dan alasan penundaan, selanjutnya
adalah memandang prokrastinasi sebagai suatu pola perilaku yang mengarah pada
trait dan penundaan yang telah menjadi respon tetap seseorang dalam menghadapi
suatu tugas, dan yang terakhir prokrastinasi sebagai suatu trait kepribadian yang
melibatkan komponen perilaku (Ferrari, 1995).
Berikutnya, Ferrari dan Morales (2007) menyatakan bahwa terdapat beberapa
dampak negatif prokrastinasi akademik diantaranya banyaknya waktu yang dimiliki

11
oleh mahasiswa menjadi terbuang dan tidak adanya output atas pekerjaannya.
Selain itu stres dan disfungsi psikologis individu juga menjadi dampak dari adanya
prokrastinasi. Pada kondisi tersebut, mahasiswa sering menghadapi tugas disertai
tenggat waktu yang terbatas sehingga muncul perasaan tertekan. Kemudian, Knaus
(dalam Ghufron, 2003) berpendapat bahwa pada mahasiswa yang bekerja
prokrastinasi akademik berdampak pada menurunnya performa akademik, stres
yang tinggi, menyebabkan penyakit, serta timbulnya kecemasan
Solomon dan Rothblum (1984) menjelaskan bahwa mahasiswa melakukan
prokrastinasi akademik pada berbagai macam tugas atau pekerjaan mulai dari
menulis, belajar dalam persiapan ujian, membaca, melakukan tugas administratif
dan sisanya adalah aktifitas perkuliahan secara umum. Lebih lanjut, Dinata dan
Supriyadi (2019) menambahkan bahwa perguruan tinggi juga mendapatkan
dampak negatif dari perilaku prokrastinasi yang dilakukan oleh mahasiswa.
Semakin banyaknya mahasiswa yang menunda untuk menyelesaikan tugas akhir
untuk menyelesaikan studi dengan alasan apapun akan menurunkan tingkat
perguruan tinggi tersebut yang berakibat dalam turunnya akreditasi suatu perguruan
tinggi.
Berdasarkan pemaparan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
prokrastinasi akademik merupakan perilaku menunda tugas yang berhubungan
dengan bidang akadmik,yakni tugas kuliah sebagai akibat adanya persepsi tidak
menyenangkan terhadap tugas kuliah tersebut. Apabila berlangsung dalam kurun
waktu yang lama dapat menjadi sebuah kebiasaan.
2.1.2 Aspek-aspek Prokrastinasi Akademik
Ferrari, Johnshon, dan McCown (1995) memandang prokrastinasi akademik
sebagai sebuah perilaku penundaan dimana didalamnya terdapat beberapa aspek,
antara lain:
1. Penundaan untuk memulai dan menyelesaikan tugas
Penundaan yang dimaksud adalah untuk memulai maupun menyelesaikan
tugas yang dihadapi. Seorang prokrastinator paham tentang tugas atau pekerjaan
yang ia miliki harus segera diselesaikan, tetapi lebih memilih menunda-nunda
untuk mulai mengerjakan atau menunda-nunda untuk menyelesaikan jika sudah
mulai dikerjakan sebelumnya.
2. Keterlambatan dalam mengerjakan tugas
Individu yang melakukan prokrastinasi memerlukan waktu yang lebih
lama dari pada waktu yang dibutuhkan pada umumnya dalam mengerjakan
tugas. Seorang prokastinator menghabiskan waktu yang dimilikinya untuk
mempersiapkan diri secara berlebihan. Selain itu, juga melakukan hal-hal yang
tidak dibutuhkan dalam penyelesaian suatu tugas, tanpa memperhitungkan
keterbatasan waktu yang dimilikinya. Kadang-kadang tindakan tersebut
mengakibatkan individu tidak berhasil menyelesaikan tugasnya secara memadai.
Kelambanan, dalam arti lambatnya kerja individu dalam melakukan suatu tugas
dapat menjadi ciri yang utama dalam prokrastinasi akademik.
3. Kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual
Seorang prokrastinator mempunyai kesulitan untuk melakukan sesuatu
sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Seorang
prokrastinator sering mengalami keterlambatan dalam memenuhi batas waktu
yang telah ditentukan, baik oleh oranglain, maupun rencana yang telah dia
tentukan sendiri. Individu mungkin telah merencanakan mulai mengerjakan
tugas pada waktu yang telah ia tentukan sendiri. Akan tetapi, ketika saatnya tiba
dia tidak juga melakukannya sesuai dengan apa yang telah direncanakan
sehingga menyebabkan keterlambatan ataupun kegagalan untuk menyelesaikan
tugas secara memadai.
4. Melakukan aktivitas yang lebih menyenangkan
Melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan daripada melakukan
tugas yang harus dikerjakan. Individu yang melakukan prokrastinasi dengan
sengaja tidak segera melakukan tugasnya. Akan tetapi, menggunakan waktu
yang dia miliki untuk mengerjakan aktivitas lain yang dipandang lebih
menyenangkan dan mendatangkan hiburan, seperti membaca (koran, majalah,
atau buku cerita lainnya), menonton, mengobrol, jalan- jalan, mendengarkan
musik, dan sebagainya sehingga menyita waktu yang dia miliki untuk
mengerjakan tugas yang harus diselesaikannya.
Kemudian menurut McCloskey (2011) menyatakan bahwa dalam
prokrastinasi meliputi empat aspek, antara lain:
a. Rasa malas
Rasa malas adalah suatu perasaan seseorang enggan untuk melakukan
sesuatu yang seharusnya atau sebaiknya dia lakukan. Mahasiswa yang memiliki
rasa malas untuk mengerjakan skripsinya akan menghambat menyelesaikan
skripsinya tepat waktu karena rasa malas untuk memulai atau mengerjakan
skripsi tersebut.
b. Gangguan
Banyak gangguan yang terjadi pada mahasiswa yang sedang mengerjakan
skrispi, misalnya gangguan mood untuk memulai mengerjakan skripsi, atau
gangguan dari lingkungan sekitarnya yang tidak nyaman.
c. Kepercayaan tentang kemampuan
Mahasiswa yang kurang memiliki kepercayaan atas kemamampuannya
untuk mengerjakan skripsi akan menghambat penyelesaian skripsinya tersebut,
karena mahasiswa tersebut tidak yakin bahwa ia mampu untuk mengerjakan
skripsinya dengan baik.
Penelitian ini mengac pada aspek yang dikembangkan oleh Ferrari,
Johnshon, dan McCown (1995) bahwa prokrastinasi akademik memiliki empat
aspek atara lain penundaan unuk memulai dan menyelesaikan tugas,
keterlambatan dalam mengerjakan tugas, kesenjangan waktu antara rencana dan
kinerja actual, serta melakukan aktivitas yang lebih menyenangkan.
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prokrastinasi Akademik
Noran (dalam Akinsola, dkk., 2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa
hal yang dapat memicu terjadinya prokrastinasi akademik. Beberapa pemicunya
adalah sebagai berikut:
1. Manajemen waktu
Individu yang melakukan prokrastinasi menunjukkan bahwa individu
tidak mampu mengelola waktu dengan bijak. Hal ini menyiratkan ketidakpastian
prioritas, tujuan dan objektivitas sang pelaku. Karena ketiakpastian itulah, para
prokrastinator tidak tahu tujuan mana yang harus dicapai terlebih dahulu,
sehingga sering mengerjakan aktivitas lain disamping tujuan utamanya. Hal itu
membuatnya tidak fokus dalam menyelesaikan tugas, yang akhirnya dapat
membuat pekerjaan menjadi berantakan dan tidak dapat selesai tepat pada waktu
yang telah ditentukan
2. Memiliki tingkat kesadaran yang rendah
Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi atau memiliki tingkat kesadaran
yang rendah adalah alasan kedua untuk melakukan penundaan. Perbedaan itu
mungkin disebabkan oleh distorsi pada lingkungan, seperti kebisingan, meja
belajar yang berantakan atau mengerjakan tugas di tempat tidur.
3. Ketakutan dan kecemasan terkait kegagalan
Individu dalam kategori ini akan menghabiskan lebih banyak waktu hanya
untuk mengkhawatirkan apa yang akan terjadi daripada memikirkan cara untuk
menyelesaikannya
4. Kurang yakin terhadap kemampuan yang dimiliki
Kurang yakin terhadap kemampuan yang dimiliki ini adalah alasan lain
untuk menunda-nunda. Individu yang cenderung menunda pekerjaan jika kurang
percaya diri dalam melaksanakan pekerjaan tersebut ia takut terjadi kesalahan.
Siswa yang berkarakter moody merupakan orang yang hampir sering menunda
pekerjaan. Harapan yang tidak realistis dan sikap yang terlalu perfeksionis juga
memungkinkan menjadi alasan terjadinya perilaku prokrastinasi.
Menurut Steel (2007) menjelaskan bahwa prokrastinasi akademik
dipengaruhi oleh dua faktor, meliputi:
1. Perbedaan individu
Faktor perbedaan individu meliputi beberapa hal antara lain efikasi diri
dan harga diri yang rendah, irasional, self handicapping dan depresi,
agreeableness, extraversion, serta conscientiousness.
2. Karakteristik tugas
Faktor karakteristik tugas meliputi timing of rewards dan punishment,
serta task aversiveness.
2.1.4 Karaktristik Prokrastinasi Akademik
Menurut Young & Fritzche (2002), adapun karakteristik dari orang yang
melakukan prokrastinasi akademik (perilaku menunda) sebagai berikut:
a. Kurang dapat mengatur waktu.
b. Percaya diri yang rendah.
c. Menganggap diri terlalu sibuk jika harus mengerjakan tugas.
d. Keras kepala, dalam arti menganggap orang lain tidak dapat memaksanya dalam
mengerjakan sebuah tugas.
e. Memanipulasi tingkah laku orang lain dan menganggap sebuah pekerjaan tidak
dapat dilakukan tanpanya.
f. Menjadikan penundaan sebagai coping untuk menghidari tekanan.
g. Merasa dirinya sebagai korban yang tidak memahami mengapa tidak dapat
mengerjakan sesuatu yang dapat dikerjakan orang lain.
Sehingga karakteristik ini menunjukan bahwa mahasiswa yang melakukan
prokrastinasi akademik akan muncul rasa bersalah dalam dirinya. Sebab dengan
melakukan prokrastinasi akademik mahasiswa atau individu tersebut akan menjadi
sebuah tekanan serta permasalahan dalam dirinya.

2.2 Task Aversiveness


2.2.1 Pengertian Task Aversiveness
Milgram (1994) menyatakan bahwa task aversiveness merupakan
ketidaksenangan dan ketidaknikmatan individu terhadap suatu tugas. Sejalan
dengan hal tersebut, Blunt dan Pychyl (1999) menjelaskan bahwa task aversiveness
merupakan sebuah ketidaksenangan yang di dalamnya meliputi komponen
frustrasi, kebencian dan kebosanan terhadap tugas atau pekerjaan yang sedang ia
hadapi. Senada dengan hal tersebut Ferrari, Mason, dan Hammer (2006)
menjelaskan bahwa task aversiveness menjadi salah satu karakteristik pada tugas
yang dipersepsikan individu sebagai suatu hal yang sulit, tidak memberikan
kesenangan, serta tidak memiliki kenikmatan ketika menjalaninya, serta
memerlukan usaha yang lebih besar karena tidak membuat individu memahami
bagaimana cara menyelesaikannya.
Lay dan Brokenshire (1997) menjelaskan bahwa task aversivess dianggap
sebagai kesadaran individu dalam memahami situasi yang diperlukan utuk dapat
menyelesaikan tugasnya. Sejalan dengan hal tersebut, Steel (2007) menjelaskan
bahwa task aversiveness merupakan suatu keadaan dimana individu berhadapan
dengan tugas yang mengganggunya, selain itu cenderung memicu kebosanan dan
menimbulkan rasa frustrasi yang berlebihan (Blunt & Pychyl, 1999).
Little (1983) menjelaskan bahwa perasaan terganggu dengan tugas meliputi
aspek emosional misalnya rasa tidak senang dan aspek kognisi. selanjutnya
Premadyasari (2012) menjelaskan bahwa perasaan terganggu akan tugas
sebenarnya merupakan manifestasi dari penundaan-penundaan kecil yang
sebelumnya telah dilakukan sehingga tugas tersebut tidak selesai dan menghasilkan
persepsi sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Lebih lanjut dalam
menghadapi tugas yang dinilai mengganggu, kognisi individu berperan bagaimana
ia akan menyelesaikan tugas tersebut meskipun tugas tersebut dinilai menganggu.
Sedangkan secara emosi, ketika individu menghadapi tugas yang menganggu, ia
merasa tidak nyaman dan merasa tidak senang.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasannya task
aversiveness merupakan perasaan terganggu akan hadirnya suatu tugas atau
pekerjaan sehingga menjadikan individu enggan menyelesaikannya, sebagian
penyebabnya bisa datang dari persepsi buruk tentang tugas atau pekerjaan tersebut
dan menganggap tugas tersebut membosankan.
2.2.2 Dimensi-dimensi Task Aversiveness
Menurut Blunt dan Pychyl (2000) terdapat tiga dimensi dalam task
aversiveness antara lain:
1. Boredom
Pada dimensi boredom maksudnya adalah penilaian individu tentang
sejauh mana ia merasa tugasnya tersebut terasa membosankan. Penilaian ini
bersifat subyektif dimana potensi memunculkan rasa jenuh atau bosan sangat
tinggi. Penilaian ini mengacu dari pendapat orang lain dan belum pernah dicoba
sama sekali.
2. Frustration
Dimensi ini maksudnya ialah kondisi dimana ketika individu sibuk oleh
emosi yang tidak relevan dengan tugas yang sedang ia selesaikan, maka individu
tidak akan mampu untuk fokus menyelesaikan tugas tersebut. Perasaan frustrasi
yang dirasakan terus-menerus dapat menyebabkan seringnya perenungan atas
emosi yang tidak relevan dengan tugas atau kognisi yang tidak terkendali (Kuhl
dalam Blunt and Pychyl, 2000). Ketika disibukkan oleh emosi yang tidak relevan
dengan tugas atau kognisi yang tidak terkendali, individu tidak akan dapat fokus
pada kegiatan yang dimaksudkan, sehingga individu akan melakukan
penundaan.
3. Resentment
Kondisi resentment maksudnya adalah penundaan dapat terjadi ketika
seseorang tidak suka untuk turut serta dalam kegiatan mereka dimana dalam sisi
yang lain merupakan bentuk respon penghindaran dari aktivitas yang dijalani
oleh individu lain
Kemudian menurut Little (1983) menjelaskan bahwa terdapat dua dimensi
dalam task aversiveness meliputi:
1. Kognisi
Pada dimensi kognisi menjelaskan tentang apa yang dipikirkan individu
ketika melakukan sesuatu, ketika mengalami task aversiveness individu akan
berpikir seberapa penting, sulit, dan menantang. Pemikiran ini bisa juga timbul
dari adanya pengalaman terhadap hal yang sama sebelumnya.
2. Emosi
Pada dimensi emosi menjelaskan tentang bagaimana perasaan individu
ketika menjalani sesuatu, ketika mengalami task aversiveness dalam diri
individu dapat muncul perasaan sedih, marah, takut dan depresi.
Penelitian ini mengacu pada dimensi yang dikembangkan oleh Blunt dan
Pychyl (2000) bahwa task aversiveness memiliki tiga dimensi antara lain boredom,
frustration, dan juga resentment.
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Task Aversiveness
Menurut Premadyasari (2012) terdapat beberapa hal yang dapat memicu
terjadinya task aversiveness pada mahasiswa yang bekerja, antara lain:
1. Persepsi tugas yang membosankan
Sebagian besar individu yang memiliki rasa enggan yang besar dalam
menyelesaikan tugas biasanya telah tertanam sebuah persepsi negatif tentang
tugas, dimana tugas dianggap membosankan dan salah satu penyebab stres.
Padahal apabila individu tersebut mampu memahami dan mengerti bagaimana
bentuk tugasnya, persepsi tersebut tidak akan muncul (Linra, 2016).
2. Rasa tidak nyaman
Perasaan ini timbul sebagian akibat dari adanya persepsi negatif tentang
tugas. Perasaan tidak nyaman biasanya terjadi ketika aversiveness dalam diri
individu sudah terjadi dalam kurun waktu yang lama, hingga pada akhirnya tidak
memilliki keinginan untuk menyelesaikan tugas tersebut.
3. Kesulitan untuk membagi waktu
Sulitnya membagi waktu antara bekerja dan berkuliah pada mahasiswa
yang bekerja memang menjadi salah satu faktor yang tidak terbantahkan.
Beberapa hal yang dijalankan individu ketika bekerja biasanya akan menyita
waktu dan kemudian bagi mahasiswa akan merasakan kelelahan. Task
aversiveness dimulai dari ketika mahasiswa merasa lelah atas pekerjaannya dan
semakin menumpuknya tugas yang tidak terselesaikan.

2.3 Mahasiswa Bekerja Paruh Waktu


2.3.1 Pengertian Mahasiswa Bekerja Paruh Waktu
Menurut Wulan dan Abdulloh (2014) mahasiswa merupakan individu yang
memiliki kemampuan akademik dan dapat melanjutkan pendidikan hingga jenjang
perguruan tinggi, dan memegang peranan penting dalam mewujudkan cita-cita dan
harapan pembangunan nasional. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas
yang tinggi, dan kemampuan berpikir yang matang dan cepat dalam bertindak.
Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat merupakan sifat yang
cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, yang merupakan prinsip yang saling
melengkapi (Siswoyo, 2007).
Kemudian dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak pernah lepas dari
aktivitasnya masing-masing. Setiap aktivitas tersebut mempunyai tujuan baik yang
bersifat komersial maupun hanya bersifat hobi ataupun kesenangan. Begitu pula
dalam bekerja. As’ad (1995) mengatakan bahwa seseorang yang melakukan
aktifitas kerja karena berharap dengan bekerja akan membawa pada lembaran yang
lebih memuaskan dari keadaan sekarang. Bekerja merupakan proses fisik maupun
mental individu dalam mencapai tujuan. Selanjutnya Martoyo (dalam Kurniawati,
2007) memberikan batasan bahwa kerja adalah keseluruhan pelaksanaan aktifitas
baik jasmani atau rohani yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu yang
berhubungan dengan kelangsungan hidupnya.
Mahasiswa yang bekerja paruh waktu menurut Zahara (2019) merupakan
individu yang bekerja hanya dalam sebagian waktu tertentu dari kerja normal.
Pendapat tersebut diperkuat oleh Usman (2015) yang menjelaskan bahwa
mahasiswa yang bekerja paruh waktu merupakan individu yang melakukan
pekerjaan tertentu dan tidak terikat dengan waktu. Kemudian Usman menjelaskan
lebih lanjut bahwa pada awalnya bekerja paruh waktu identik dengan kondisi
ekonomi lemah, tapi kini telah bergeser sebagai bagian dari gaya hidup terutama
dalam kalangan mahasiswa.
Berdasarkan beberapa pendapat dari tokoh-tokoh tersebut, dapat disimpulkan
bahwa mahasiswa bekerja merupakan salah satu bagian masyarakat yang mampu
dan berkesempatan untuk belajar di perguruan tinggi dan memiliki sikap keilmuan
yang obyektif, sistematis dan rasional. Kemudian, mahasiswa yang bekerja paruh
waktu merupakan individu yang melakukan pekerjaan dengan tujuan tertentu, tidak
terikat dengan waktu yang tetap dan dapat menyesuaikan dengan kegiatan
perkuliahan yang ada.
2.3.2 Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura yang Bekerja Paruh Waktu
Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura (UTM) merupakan individu yang
telah terdaftar resmi dalam salah satu program studi di perguruan tinggi tersebut.
Selain mengikuti kegiatan perkuliahan yang menjadi salah satu aktivitas utama
individu sebagai mahasiswa UTM, terdapat aktivitas lainnya yang dilakukan oleh
para mahasiswa dalam mengisi waktunya, antara lain bekerja. Menurut Siagian
(2016) bagi sebagian besar mahasiswa, bekerja merupakan salah satu sarana
aktualisasi diri karena ketika bekerja mahasiswa dapat belajar banyak hal baru baik
dalam sektor formal maupun informal.
Studi pendahuluan yang telah dilakukan menjelaskan bahwa 77,4% (82 dari
106 mahasiswa) mahasiswa UTM memilih untuk bekerja paruh waktu. Menurut
Arumsari (2009) bekerja paruh waktu dipersepsikan mahasiswa sebagai langkah
yang tepat dan solutif, karena adanya kebutuhan secara finansial yang harus
dipenuhi disamping menjalani perkuliahan agar dapat berjalan beriringan (Siagian,
2016).
2.3.3 Faktor-faktor yang Mendorong Mahasiswa Bekerja
Terdapat beberapa faktor yang melatar belakangi alasan mahasiswa memilih
untuk bekerja, salah satunya menurut Dinata dan Supriyadi (2019) dimana seiring
berjalannya waktu kebutuhan hidup kian meningkat oleh karena itu mahasiswa
memutuskan untuk bekerja dengan tujuan mencukupi kebutuhan hidupnya yang
didalamnya meliputi aspek pendidikan dan sosial. Selain itu banyak dari mereka
yang memutuskan bekerja karena tidak ingin membebankan semuanya kepada
orang tua. Sementara itu menurut Islamylia dan Mutia (2016) para mahasiswa
memutuskan untuk bekerja karena adanya pengaruh sikap, norma subyektif,
kontrol, perilaku, dan motivasi spiritual dari lingkungannya. Pengaruh sikap dan
norma subyektif muncul dari adanya beberapa hal yang harus terpenuhi didukung
oleh lingkungannya, sedangkan kontrol dan perilaku muncul ketika mahasiswa
sudah menentukan sikap dan pilihannya sehingga ia memutuskan untuk bekerja.
Kemudian agar semuanya berjalan dengan lancar dibutuhkan motivasi spiritual
yang didalamnya memuat keyakinan bahwa dengan memutuskan bekerja maka
sebagian hal akan terpenuhi.
Sementara itu menurut Candraning dan Muhammad (2017) menjelaskan
bahwa terdapat faktor eksternal yang mendorong mahasiswa memutuskan untuk
bekerja salah satunya adalah minat akan bidang tertentu. Maksud dari adanya minat
akan bidang tertentu adalah mahasiswa merasa tertarik untuk mempelajari keahlian
baru serta mencari pengalaman yang menurutnya dapat ia peroleh dari suatu
pekerjaan, selain itu lingkungan sosial juga berpengaruh pada keputusan mahasiswa
untuk bekerja. Lebih lanjut Dinata (2017) menjelaskan bahwa pengaruh lingkungan
sosial bagi mahasiswa untuk bekerja terjadi karena adanya kebutuhan individu pada
masa remaja yang ingin menjadi lebih mandiri baik secara finansial seperti teman
sebayanya.

2.4 Kerangka Konseptual


Sebagai mahasiswa, tentu saja memiliki berbagai kebutuhan, seiring
meningkatnya kebutuhan mahasiswa saat ini, seperti kebutuhan untuk menunjang
perkuliahan meliputi buku, laptop dan sejenisnya atau untuk tetap menjaga
penampilan. Sebagian mahasiswa enggan untuk membebankan hal tersebut kepada
orang tua sehingga memilih untuk bekerja (Dinata & Supriyadi, 2019). Berdasarkan
survei yang dilakukan oleh Tim Deteksi Jawa Pos (Puspitadewi, 2012) dari 1.556
responden menunjukkan bahwa 65,4% atau sejumlah 1018 mahasiswa merupakan
mahasiswa tidak bekerja dan sisanya 34,6% atau 538 merupakan mahasiswa yang
bekerja. Hal ini menandakan bahwa bekerja merupakan salah satu kegiatan yang
dilakukan oleh mahasiswa selain belajar di kelas (Furr & Elling, dalam Puspitasari,
2013). Survei awal yang dilakukan oleh peneliti kepada 106 mahasiswa Universitas
Trunojoyo Madura (UTM) yang mewakili setiap fakultas yang ada di UTM yang
kemudian diperoleh data sejumlah 38,7% atau 41 orang laki-laki dan 61,3% atau
65 orang perempuan. Kemudian, hasil survey juga menunjukkan bahwa 82
mahasiswa (77,4%) memutuskan untuk bekerja paruh waktu dan 22,6% atau 24
mahasiswa tidak bekerja. Selanjutnya, 75,2% atau 80 orang mahasiswa cenderung
menunda tugas kuliah, sedangkan sisanya 24,8% atau 26 orang mahasiswa tidak
menunda kuliah. Selain itu, sebagian besar dari mahasiswa yang bekerja paruh
waktu adalah mahasiswa yang sedang berada di tahap akhir atau semester 8
sebanyak 73,1% atau 60 mahasiswa, selanjutnya 19,5% atau 16 orang mahasiswa
yang bekerja paruh waktu berada di semester 6, kemudian 3,7% atau 3 orang
mahasiswa yang bekerja paruh waktu berada di semester 4, sementara sisanya
sebanyak 3,7% atau 3 orang mahasiswa berada di semester 2. Selanjutnya, terdapat
hasil survei yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari mahasiswa yang bekerja
paruh waktu bekerja sebagai barista, kasir Cafe, dan guru les atau bimbingan
belajar.
Pengalaman dalam masa kerja sangat membantu mahasiswa dalam
memahami bidang pengetahuan lain lebih awal, misalnya mampu memahami
bagaimana cara memperoleh dan mempertahankan pekerjaan serta bagaimana
memanajemen diri di masyarakat. Selain itu menurut Santrock (2007), manfaat
lainnya dari bekerja pada mahasiswa adalah kemampuan manajemen waktu dan
rasa bangga atas pencapaian diri serta dapat melakukan evaluasi pengembangan
diri. Fenomena mahasiswa yang bekerja ternyata berdampak pada aktivitas belajar.
Mardelina dan Muhson (2017) menyatakan mahasiswa yang memutuskan untuk
kuliah sambil bekerja memiliki penurunan aktivitas belajar yang signifikan. Indvidu
kesulitan dalam membagi waktu dan tanggung jawab atas komitmen pada dua
aktifitas tersebut. Kondisi tersebut membuat mahasiswa mengisi waktu dan
menggunakan energi serta tenaga juga pikiran untuk bekerja. Selain manajemen
waktu yang kacau, mahasiswa juga cenderung mengabaikan tugasnya sebagai
seorang mahasiswa untuk belajar dan bertanggung jawab terhadap tugas-tugasnya.
Menurut Mariska, Gendis, Fauziah, Sanita dan Fitrizia (2015) sebagai
mahasiswa dituntut untuk dapat berinteraksi dengan masyarakat sebagai persiapan
memasuki dunia kerja selepas perkuliahan. Selain itu menurut Ulansari dan Sena
(2020) menyatakan pada mahasiswa terutama tingkat akhir juga dituntut untuk
menyelesaikan studinya lebih cepat. Sementara itu Sarafino (2008) berpendapat
apabila tuntutan-tuntutan itu dapat menyebabkan mahasiswa tingkat akhir
mengalami gangguan fisik dan psikis. Karena itulah mahasiswa seringkali
terbebani, tidak dapat membuat skala prioritas, dan merasakan cemas yang
berlebihan yang berdampak pada tertundanya penyelesaian tugas akhir (Veena dan
Shastri, 2016).
Berdasarkan uraian sebelumnya terlihat jelas adanya berbagai hambatan yang
ditemui oleh mahasiswa yang bekerja dalam menyelesaikan tugas akademiknya.
Mulai dari sulitnya membagi waktu hingga pada akhirnya bermalas-malasan dalam
menyelesaikannya. Ketika individu cenderung menunda-nunda untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas yang seharusnya ia mampu
menyelesaikannya lebih cepat sehingga tidak selesai tepat pada waktunya dapat
disebut sebagai prokrastinasi akademik. Menurut Ferrari (2001) prokrastinasi
akademik merupakan sebuah penundaan dalam menyelesaikan tugas yang
merupakan prioritas tinggi tanpa memiliki alasan yang mendasar dan masuk akal.
Selanjutnya, menurut Fauziah (2016) prokrastinasi akademik merupakan perilaku
individu yang tidak bisa dikontrol dalam menjalankan tugas atau pekerjaannya.
Frekuensi terjadinya prokrastinasi akademik hampir setiap saat pada siapapun
dalam kesehariannya dengan intensitas yang berbeda. Ferrari dan Morales (2007)
menyatakan bahwa terdapat beberapa dampak negatif prokrastinasi akademik
diantaranya banyaknya waktu yang dimiliki oleh mahasiswa menjadi terbuang dan
tidak adanya output atas pekerjaannya. Selain itu stres dan disfungsi psikologis
individu juga menjadi dampak dari adanya prokrastinasi. Pada kondisi tersebut,
mahasiswa sering menghadapi tugas disertai tenggat waktu yang terbatas sehingga
muncul perasaan tertekan.
Ferrari, Johnson dan McCown (1995) menyatakan bahwa terdapat beberapa
aspek yang dapat memicu terjadinya prokrastinasi akademik diantaranya adalah a)
adanya penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan pekerjaan yang
dihadapi. Maksudnya adalah individu tersebut mengetahui bahwa ia tugas yang
harus dikerjakan juga harus diselesaikan tersebut berguna bagi dirinya, tetapi
memilih menunda untuk segera mengerjakan atau menunda untuk segera
menyelesaikan jika sudah dikerjakan sebelumnya. b) kelambanan dalam
mengerjakan tugas. Maksudnya adalah individu memilih untuk menghabiskan
waktu untuk mempersiapkan diri secara berlebihan maupun melakukan hal-hal
yang tidak dibutuhkan dalam menyelesaikan tugas ditambah tidak
memperhitungkan waktu yang dimilikinya. c) kesenjangan waktu antara rencana
dan kinerja. Hal ini ditandai dengan munculnya kesulitan dalam menyelesaikan
sesuatu sesuai dengan batas waktu yang telah ada sebelumnya. d) melakukan
aktifitas yang lebih menyenangkan daripada menjalankan kewajiban. Individu
tersebut tetap melakukan tugasnya, tetapi juga menggunakan waktu yang
dimilikinya untuk melakukan aktivitas lain yang bersifat menyenangkan.
Ghufron dan Risnawita (2014) menjelaskan bahwa prokrastinasi oleh
dipengaruhi oleh faktor internal yang muncul dari dalam diri individu seperti
kondisi fisik dan kondisi psikologis. Sementara itu menurut Ferrari, Johnson dan
McCown (1995) prokrastinasi diinisiasi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal
meliputi kondisi fisik maupun kesehatan individu seperti kelelahan. Selanjutnya,
Steel (2007) menjelaskan bahwa prokrastinasi muncul dipicu oleh dua hal. Pertama
adalah perbedaan individu yang meliputi neroticism yang terdiri atas efikasi diri
dan harga diri yang rendah, irasional, self handicapping dan depresi, agreeableness,
extraversion, serta conscientiousness. Kedua adalah karakteristik tugas dimana di
dalamnya termasuk timing of rewards and punishments dan task aversiveness.
Berdasarkan uraian penjelasan sebelumnya, peneliti memilih task aversiveness
sebagai prediktor utama dalam prokrastinasi akademik karena seseorang cenderung
melakukan penundaan dalam penyelesaian tugas atau kewajiban dan biasanya
dilakukan pada tugas-tugas yang dianggap tidak sesuai, tidak menyenangkan, dan
berpotensi menurunkan semangat dalam menjalani hari.
Menurut Ferrari, Mason dan Hammer (2006) task aversiveness adalah
karakteristik tugas yang diinterpretasikan oleh individu sebagai sebuah kesulitan,
tidak menyenangkan, tidak memberikan sensasi atau perasaan senang serta
membutuhkan effort yang lebih besar karena tugas tersebut tidak memiliki
kejelasan dalam cara penyelesaiannya. Kemudian, task aversiveness menurut Blunt
dan Pychyl (2000) merupakan perasaan berupa ketidaknyamanan atau kurangnya
kesenangan terhadap karakteristik tugas yang dipicu oleh berbagai faktor dengan
ciri perasaan boredom, frustration, dan resentment pada tugas yang harus
diselesaikan.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Tim Deteksi Jawa Pos (Puspitadewi, 2012)
dari 1.556 responden menunjukkan bahwa 65,4% atau sejumlah 1018 mahasiswa
merupakan mahasiswa tidak bekerja dan sisanya 34,6% atau 538 merupakan
mahasiswa yang bekerja. Hal ini menandakan bahwa bekerja merupakan salah satu
kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa selain belajar di kelas (Furr dan Elling, dalam
Puspitasari, 2013). Kemudian, berdasarkan survei awal pada 106 Mahasiswa UTM
terdapat 82 orang (77,4%) yang bekerja dan 24 orang (22,6%) yang tidak bekerja.

Mahasiswa Bekerja Part Time Mahasiswa Bekerja Full Time

Permasalahan mahasiswa bekerja part time: Steel (2007) menjelaskan bahwa prokrastinasi
Sulit membagi waktu antara tugas kuliah dan akademik di picu oleh dua faktor antara lain:
pekerjaan a. Perbedaan individu, meliputi efikasi diri dan
a. Cenderung menunda tugasnya sebagai Prokrastinasi Akademik harga diri yang rendah, irasional, self
mahasiswa handicapping dan depresi, agreeableness,
b. Bermalas-malasan dalam megerjakan extraversion, serta conscientiousness.
tugasnya b. Karakteristik tugas, meliputi timing of rewards and
c. Penurunan aktivitas belajar punishments dan task aversiveness.

Task Aversiveness

Blunt dan Pychyl (1999) menjelaskan bahwa


Ferrari (2001) menjelaskan bahwa task aversiveness merupakan sebuah
prokrastinasi akademik merupakan sebuah ketidaksenangan yang di dalamnya meliputi
penundaan dalam menyelesaikan tugas yang komponen frustrasi, kebencian dan kebosanan
merupakan prioritas tinggi tanpa memiliki terhadap tugas atau pekerjaan yang sedang ia
alasan yang mendasar dan masuk akal. hadapi.

Ferrari, Johnson, dan McCown (1995) Blunt dan Pychyl (2000) menyatakan bahwa
terdapat beberapa aspek dalam prokrastinasi terdapat tiga dimensi task aversiveness antara
akademik, antara lain: lain:
a. Penundaan untuk memulai dan a. Boredom
menyelesaikan tugas b. Frustration
b. Keterlambatan dalam mengerjakan tugas c. Resentment.
c. Kesenajngan waktu antara rencana dan
kinerja aktual
d. Melakukan aktivitas yang lebih
menyenangkan

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual


2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian teoritik yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diajukan
hipotesis penelitian “terdapat pengaruh task aversiveness terhadap prokrastinasi
akademik pada mahasiswa yang bekerja paruh waktu.”
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian


Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini merupakan pendekatan
penelitian kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan dengan tujuan untuk
meneliti suatu sampel atau populasi tertentu, kemudian pegumpulan data
menggunakan instrumen penelitian, serta dianalisis secara kuantitatif atau
statistik. Tujuannya adalah untuk menguju hipotesis yang telah ditetapkan
(dalam Sugiyono, 2017). Fokus pada penelitian ini terletak pada analisis data-
data numeric (angka) dan kemudian diolah dengan menggunakan data
statistika. Pendekatan kuantitatif digunakan pada penelitian inferensial yakni
penelitian dalam rangka untuk menguji hipotesis dan meletakkan kesimpulan
hasil pada suatu probabilitas kesalahan penolakan hipotesis nihil (dalam
Azwar, 2017).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif karena sesuai
dengan tujuan penelitian yakni untuk mengetahui pengaruh antar variabel
serta menguji hipotesis yang telah diajukan. Variabel dependent (Y) yang
merupakan variabel yang dipengaruhi atau variabel yang nilainya bergantung
pada variabel lainnya atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas
(dalam Sugiyono, 2016). Variabel independent atau terikat (X) merupakan
variabel yang memengaruhi variabel lain atau variabel dengan nilai yang
tidak bergantung pada variabel lain. Paradigma dalam penelitian ini
merupakan paradigma sederhana, dimana hanya terdiri atas satu variabel
independent dan dependent.

Task Aversiveness (X) Prokrastinasi Akademik (Y)

Gambar 3.1 Paradigma Penelitian


Penelitian ini memiliki tujuan untuk melihat pengaruh task aversiveness
sebagai variabel bebas (X) terhadap prokrastinasi akademik (Y). Tanda anak

28
29

panah pada paradigma di atas menggambarkan pengaruh antara variabel


bebas dan variabel terikat.

3.2 Variabel Penelitian


Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang dapat berupa apa saja
yang ditentukan oleh peneliti kemudian dipelajari sehingga diperoleh
informasi tentang hal tersebut dan dapat ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2013).
Menurut Azwar (2017) variabel merupakan sebuah konsep tentang sifat atau
atribut yang variatif secara kualitatif ataupun kuantitatif yang terdapat pada
subjek penelitian. Creswell (2012) mengatakan bahwa variabel sebagai suatu
sifat atau karakteristik yang melekat pada diri individu maupun kelompok dan
dapat diukur atau diobservasi.
a. Variabel bebas (X) : Task Aversiveness
b. Variabel Terikat (Y) : Prokrastinasi Akademik

3.2.1 Definisi Konseptual


a. Task Aversiveness (X)
Blunt dan Pychyl (1999) menjelaskan bahwa task aversiveness
merupakan sebuah ketidaksenangan yang di dalamnya meliputi komponen
frustrasi, kebencian dan kebosanan terhadap tugas atau pekerjaan yang
sedang ia hadapi. Blunt dan Pychyl (2000) menyatakan bahwa terdapat tiga
dimensi task aversiveness antara lain boredom, frustration, resentment.
b. Prokrastinasi Akademik (Y)
Ferrari (2001) menjelaskan bahwa prokrastinasi akademik
merupakan sebuah penundaan dalam menyelesaikan tugas yang merupakan
prioritas tinggi tanpa memiliki alasan yang mendasar dan masuk akal.
Ferrari, dkk. (1995) memandang prokrastinasi akademik sebagai sebuah
perilaku penundaan dimana didalamnya terdapat beberapa aspek, antara lain
penundaan untuk memulai dan menyelesaikan tugas, keterlambatan dalam
mengerjakan tugas, kesenajngan waktu antara rencana dan kinerja aktual,
melakukan aktivitas yang lebih menyenangkan.
30

3.2.1 Definisi Operasional


a. Task Aversiveness (X)
Task aversiveness merupakan sebuah perasaan negatif yang
didalamnya berisi kebosanan, keenganan, dan kebencian terhadap suatu
tugas sehingga muncul perasaan frustrasi yang berlebihan.
b. Prokrastinasi Akademik (Y)
Prokrastinasi akademik merupakan respon menunda-nunda
dalam menyelesaikan tugas tanpa sebuah alasan mendasar yang
dilakukan sebagai respon dari persepsi negatif yang timbul atas tugas
itu sendiri.

3.3 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling


3.3.1 Populasi
Menurut Sugiyono (2013) mendefinisikan populasi sebagai keseluruhan
wilayah yang berisi objek atau subjek yang memiliki kriteria khusus yang telah
ditentukan peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan. Ridwan (2014)
menyebutkan bahwa populasi yaitu objek atau subjek penelitian yang berada dalam
wilayah tertentu dan juga memiliki kriteria-kriteria khusus dengan problematika
penelitian. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa
Universitas Trunojoyo Madura yang sedang bekerja paruh waktu.
3.3.2 Sampel
Menurut Sugiyono (2010) bahwa sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Apabila populasi besar dan
peneliti kesulitan dalam mempelajari semua yang ada dalam populasi, misal karena
keterbatasan waktu, tenaga, dan dana, maka peneliti dapat menggunakan sampel
tersebut sebagai kesimpulannya. Azwar (2018) Mengusulkan beberapa pedoman
dalam pengambilan sampel penelitian yaitu sampel berukuran >30 dan <500 adalah
cukup layak bagi riset pada umumnya. Keterbatasan dana, tenaga dan waktu yang
dimiliki dengan populasi yang besar tidak memungkinkan peneliti mempelajari
31

seluruhnya dan dapat menggunakan sampel yang tersedia dalam populasi.


(Sugiyono, 2017).
Riyanto dan Hermawan (2020) menjelaskan apabila perhitungan jumlah
sampel dapat menggunakan pendekatan rumus Lemeshow dengan total populasi
yang tidak dapat diketahui secara pasti. Perhitungan menggunakan rumus
Lemeshow dalam menghitung jumlah populasi sebagai berikut:
𝑍 2 . 𝑃. (1 − 𝑃)
𝑛 =
𝑑2
Keterangan:
n = Jumlah sampel
z = Skor z pada kepercayaan 95% = 1,96
p = maksimal estimasi
d = Tingkat kesalahan
Dari rumusan tersebut maka penentuan jumlah sampel dengan
menggunakan rumus Lemeshow dengan maksimal estimasi 50% dan taraf
kesalahan 10%.
1,962 . 0,5 (1 − 0,5)
𝑛=
0,12
3,8416 . 0,5 . 0,5
𝑛=
0,12
0,9604
𝑛=
0,12
𝑛 = 96,04 = 96
Berdasarkan perhitungan di atas, maka jumlah sampel dalam penelitian ini
adalah 96 mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura yang bekerja paruh waktu
3.3.3 Teknik Sampling
Teknik sampling menurut Syarum dan Salim (2012) merupakan jalan untuk
penentuan sampel dengan jumlah yang sesuai ukuran sampel sebagai sumber data
asli disertai perhatian pada sifat-sifat dan distribusi populasi agar didapatkan
sampel yang representatif. Dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling
yaitu purposive sampling.
32

Sugiyono (2018) menjelaskan bahwa purposive sampling adalah teknik


menentukan sampel berdasarkan kriteria dari populasi dengan pertimbangan
tertentu, yaitu peneliti memiliki kriteria tertentu untuk dijadikan pedoman mencari
subjek yang sesuai dengan yang diinginkan oleh peneliti. Kriteria dalam peneitian
ini adalah:
a. Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura
b. Sedang Bekerja Paruh Waktu

3.4 Metode Pengumpulan Data


Sugiyono (2014) menjelaskan bahwa pengumpulan data dilakukan dengan
beberapa tahapan yang tepat ditujukan untuk menghimpun data. Oleh sebab itu data
yang valid dan reliable belum tentu lahir dari instrument yang telah lulus pengujian
validitas dan reliablitas apabila tidak difungsikan secara tepat dalam pengumpulan
datanya. Sementara itu teknik yang digunakan menggunakan angket/kuesioner.
Penggunaan angket/kuesioner menurut Sugiyono (2014) adalah dengan
menyodorkan seperangkat pertanyaan attau pernyataan secara tertulis pada
repsonden untuk dijawab merupakan penjelasan dari pengertian kuesioner.
Penggunaan angket tertutup berisi pernyataan seputar etos kerja dan kreatifitas yang
telah disiapkan lalu disajikan dengan memilih salah satu jawaban yang
memproyeksikan responden sesuai kolomnya.
Instrumen penelitian digunakan untuk mengukur nilai variabel yang diteliti.
Menurut Sugiyono (2014) instrumen penelitian sebagai piranti pengukuran
fenomena alam atau sosial yang sedang diamati. Sementara peneliti menggunakan
skala sebagai instrument tersebut. Skala berupa kesepaktan untuk menentukan
panjang pendeknya interval alat ukur sehingga datanya bersifat kuantitatif
(Sugiyono, 2014). Penelitian ini menggunakan skala likert.
Item dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu item favorable dan item
unfavorable. Item favorable mencakup item-item yang mendukung
indikatorindikator variabel, sedangkan item unfavorable adalah item-item yang
tidak mendukung indikator-indikator variabel. Menurut Sugiyono (2014)
penggunaan skala likert digunakan untuk pengukuran pendapat, persepsi,
33

paradigm, serta sikap individu atau sekumpulan individu tentang fenomena sosial.
Penggunaan skala likert dapat diturunkan menjadi indikator variabel yang menjadi
titik tolak dalam penyusunan butir-butir instrument yang berupa pertanyaan atau
pernyataan. Skala likert ini kemudian disajikan dalam bentuk pernyataan favorable
dan unfavorable. Pada pernyataan favorable skor Sangat Setuju (SS) adalah 5,
Setuju (S) adalah 4, Ragu – ragu (R) adalah 3, Tidak Setuju (TS) adalah 2, dan
Sangat Tidak Setuju (STS) adalah 1. Sedangkan pertanyaan unfavorable skor
Sangat Setuju (SS) adalah 1, Setuju (S) adalah 2, Ragu – ragu (R) adalah 3, Tidak
Setuju adalah 4, dan Sangat Tidak Setuju (STS) adalah 5.
Tabel 3.1 Skoring skala Task aversiveness dan Prokrasinasi akademik
Bentuk pernyataan

Favorable Unfavorable

Respon Skor Respon Skor

Sangat Setuju 5 Sangat Setuju 1

Setuju 4 Setuju 2

Ragu-ragu 3 Ragu-ragu 3

Tidak Setuju 2 Tidak Setuju 4

Sangat Tidak Setuju 1 Sangat Tidak Setuju 5

3.4.1 Skala Task Aversiveness


Skala yang digunakan dalam variabel task aversiveness ini didasarkan pada
dimensi-dimensi yang dijelaskan oleh Blunt dan Pychyl (2000) meliputi boredom,
frustration, resentment.
Tabel 4.2 Blueprint Skala Task Aversiveness
Aitem
No. Aspek-Aspek Indikator Perilaku Jumlah
Fav Unfav

Penilaian individu mengenai


1, 2 13, 14
tugas yang membosankan
1 Boredom 8
Individu memilih untuk
mengerjakan hal-hal yang 3, 4 15, 16
lebih menyenangkan
34

Individu dikendalikan oleh


5, 6 17, 18
emosi yang tidak relevan
2 Frustration 8
Individu tidak dapat focus
pada kegiatan yang dirasa 7, 8 19, 20
tidak mampu dihadapinya

Individu tidak suka untuk


terlibat dalam kegiatan 9, 10 21, 22
apapun
3 Resentment 8
Motivasi rendah untuk
mengurangi perilaku 11, 12 23, 24
menunda

Total 24

3.4.2 Skala Prokrastinasi Akademik


Skala yang digunakan dalam variabel prokrastinasi akademik mengacu pada
aspek yang dijelaskan oleh Ferrari, dkk. (1995) yang didalamnya terdapat beberapa
aspek, antara lain penundaan untuk memulai dan menyelesaikan tugas,
keterlambatan dalam mengerjakan tugas, kesenajngan waktu antara rencana dan
kinerja aktual, melakukan aktivitas yang lebih menyenangkan.
Tabel 4.3 Blueprint Skala Prokrastinasi Akademik
Aitem
No. Aspek-Aspek Indikator Perilaku Jumlah
Fav Unfav

Menunda untuk memulai


Penundaan untuk 1, 2 17, 18
mengerjakan tugas akademik
memulai dan
1 8
menyelesaikan
Menyelesaikan tugas saat
tugas 3, 4 19, 20
mendekati deadline

Memerlukan waktu yang lebih


lama dari pada waktu yang 5, 6 21, 22
Keterlambatan
dibutuhkan
dalam
2 8
mengerjakan
Menghabiskan waktu yang
tugas
dimilikinya untuk mempersiapkan 7, 8 23, 24
diri secara berlebihan
35

Kesulitan untuk melakukan


Kesenjangan sesuatu sesuai dengan batas waktu 9, 10 25, 26
antara rencana yang ditentukan sebelumnya
3 8
dan kesenjangan
aktual Perencanaan dan manajemen
11, 12 27, 28
waktu yang buruk

Menggunakan waktu yang


Melakukan dimiliki untuk melakukan 13, 14 29, 30
aktivitas lain aktivitas yang menyenangkan
4 8
yang lebih
menyenangkan Lebih mementingkan pekerjaan
15, 16 31, 32
lain selain tugas akademik

Total 32

3.5 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini mengelompokkan
data berdasarkan variabel, melakukan tabulasi data, menyajikan data, dan melakukan
perhitungan sebagai cara menjawab rumusan masalah dan hipotesis (Sugiyono, 2010).
Menurut Siregar (2015) bahwa penelitian kuantitatif kegiatan analisis datanya meliputi
pengolahan data dan penyajian data, melakukan perhitungan untuk mendeskripsikan data
dan melakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji statistika. Teknik analisis data
pada penelitian kuantitatif ini menggunakan uji validitas, uji reliabilitas, dan analisis uji
asumsi yang diolah melalui aplikasi IBM SPSS Statistic 25.0 For Windows. Penggunaan
teknik tersebut digunakan dengan tujuan mengetahui pengaruh task avrsiveness terhadap
prokrastinasi akademik pada mahasiswa yang bekerja paruh waktu.
3.5.1 Uji Validitas
Azwar (2018) menyatakan yang dimaksud validitas adalah instrument yang
digunakan dengan tujuan sebagai parameter apa yang sejatinya harus diukur.
Validitas suatu pengukuran berkorelasi kuat dengan kesesuaian dan kecermatan
dari alat ukur yang digunakan. Sementara validitas juga dapat dimaksudkan sebagai
ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam melakukan fungsi pengukurannya
(Herawati dan Edi, 2016).
Validitas sebuah alat ukur ditentukan bila benar-benar sesuai dan mampu
menjawab dengan cermat tentang variabel yang hendak diukur. Validitas pada
penelitian ini diukur dengan menggunakan korelasi pearson product moment.
36

Dikatakan valid apabila data memiliki nilai koefisien ≥ 0,30 dengan signifikansi
0,05 (Sugiyono, 2015). Menurut Azwar (2011), sebaliknya apabila jumlah yang
diinginkan dapat mempertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria 0,30
menjadi 0,25 atau paling tidak disarankan 0,20, maka jumlah aitem yang diinginkan
dapat tercapai (Herawati & Edi, 2016).
3.5.2 Uji Reliabilitas
Reliablitas menurut Herawati dan Edi (2016) adalah rangkaian indikator
gagasan laten yang konsisten dalam pengukurannya. Sementara Azwar (2018)
menjelaskan bahwa reliabilitas merupakan tingkat reliable/kepercayaan pada hasil
dari suatu pengukuran. Nurmally (dalam Widodo, dkk., 2010) menjelaskan bahwa
suatu variabel dapat dikatakan reliable apabila variabel tersebut memiliki nilai
Cronbach’s Alpha > 0,6.
3.5.3 Uji Asumsi
1. Uji Normalitas
Sugiyono (2017) menjelaskan bahwa uji ini dilakukan agar diketahui apakah
sampel yang diambil berasal dari populasi berdistribusi normal atau tidak. Herawati
dan Edi (2016) menjelaskan apabila dasar pengambilan keputusan dalam uji
normalitas adalah nilai signifikansi > 0,05 maka dapat dikatakan data tersebut
berdistribusi normal, dan sebaliknya apabila nilai signifikansinya < 0,05 maka data
tersebut tidak berdistirbusi normal. Dalam menguji alat ukur peneliti menggunakan
uji normalitas Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui distribusi data dikatakan
normal atau tidak.
2. Uji Linearitas
Herawati dan Edi (2016) menjelaskan bahwa uji linearitas dilakukan
bertujuan agar diketahui apakah ditemukan adanya korelasi yang linear secara
signifikan atau tidak pada variabel yang diteliti. Dasar pengambilan keputusannya
adalah jika nilai signifikansi > 0,05 maka hubungan antara dua variabel dapat
dikatakan linear, dan sebaliknya jika nilai signifikansinya < 0,05 maka hubungan
antara dua variabel dapat dikatakan bersifat tidak linear.
3. Uji Heteroskedastisitas
37

Uji Heteroskedastisitas merupakan sebuah kondisi yang mana terdapat


ketidaksamaan varian dari residual pada model regresi. Model regresi yang baik
memberikan syarat tidak adanya masalah heteroskedastisitas. Dilakukannya uji ini
memiliki tujuan agar mengetahui variabel pengganggu dalam persamaan regresi
mempunyai peran atau tidak. Heteroskedastisitas berdampak pada estimator atau
penaksir menjadi tidak efisien dan nilai koefisien determinasi akan menjadi sangat
tinggi. Menurut Priyatno (2013), dasar untuk mendeteksi ada atau tidaknya
heteroskedastisitas adalah dengan melihat pada titik scatterplots regresi. Jika titik-
titik menyebar pada pola yang tidak jelas di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu
Y, maka tidak terjadi masalah pada heteroskedastisitas.
4. Uji Regresi Linear Sederhana
Tujuan dari dilakukannya pengujian hipotesis menggunakan uji regresi ini
adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh task aversiveness terhadap
prokrastinasi akademik pada mahasiswa yang bekerja paruh waktu. Herawati dan
Edi (2016) menjelaskan bahwa analisis regresi dapat dipergunakan dengan tujuan
untuk memprediksi seberapa besar perubahan pada variabel terikat (dependen)
akibat pengaruh yang diberikan oleh variabel bebas (independen). Jenis analisis
regresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis regresi linear sederhana
yang digunakan untuk memrediksi nilai kedua variabel. Lebih lanjut, analisis
regresi sederhana menunjukkan hubungan dua variabel yaitu satu variabel bebas
(X) dan satu variabel terikat (Y).
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Pelaksanaan Penelitian


4.1.1 Gambaran Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini merupakan mahasiswa yang bekerja paruh waktu
di Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Selama proses penelitian berlangsung
didapatkan sejumlah 97 mahasiswa bekerja paruh yang berasal dari beberapa
fakultas yang ada di Universitas Trunojoyo Madura, yaitu Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Budaya, Fakultas Ilmu Pendidikan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas
Hukum, Fakultas Keislaman, Fakultas Teknik dan Fakultas Pertanian. Selanjutnya,
subjek penelitian berasal dari daerah Madura, Jawa Timur selain Madura dan
beberapa daerah di luar Jawa Timur. Subjek penelitian di antaranya bekerja paruh
waktu sebagai barista, guru les/privat, administrasi, waitress/pelayan, dan lainnya.
Berikut ini merupakan rincian deskripsi sosiodemografis subjek dalam penelitian
ini:
Tabel 4.1 Deskripsi Sosiodemografis Subjek Penelitian
No. Sosiodemografis Subjek Kategori Jumlah Persentase Total

Remaja Awal (18-20


56 57,7%
tahun)
1 Usia 97
Dewasa Awal (21-24
41 42,3%
tahun)

Laki-laki 46 47,5%
2 Jenis Kelamin 97
Perempuan 51 52,5%

Fakultas Ilmu Sosial dan


42 43,3%
Ilmu Budaya

Fakultas Ilmu Pendidikan 14 14,4%

3 Fakultas Fakultas Ekonomi dan 97


21 21,6%
Bisnis

Fakultas Hukum 6 6,2%

Fakultas Keislaman 8 8,2%

38
39

Fakultas Teknik 5 5,6%

Fakultas Pertanian 1 0,7%

3 32 33%

4 Semester 5 29 29,9% 97

7 36 37,1%

Madura 29 29,9%

Jawa Timur Selain 97


5 Asal Daerah 64 66%
Madura

Luar Jawa Timur 4 4,1%

Barista 15 15,5%

Guru Les/Privat 26 26,8%

6 Jenis Pekerjaan Administrasi 7 7,3% 97

Waitress/Pelayan 12 12,4%

Lainnya 40 38%

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui jumlah subjek penelitian sebanyak


97 mahasiswa bekerja paruh waktu, sebagian besar berjenis kelamin perempuan
sebanyak 51 individu dengan persentase 52,5% dan berjenis kelamin laki-laki
dengan 46 individu dengan persentase 47,5%. Berikutnya, sebagian besar subjek
penelitian berdasarkan proses perkembangan menurut Hurlock (2003) adalah
berusia remaja akhir 18-21 tahun sebanyak 56 mahasiswa dengan persentase
57,7%. Sebagian besar subjek berasal dari daerah Jawa Timur selain Madura
sebanyak 64 individu dengan persentase 66%. Subjek juga lebih banyak mahasiswa
semester 7 sebanyak 36 individu dengan 37,1%, kemudian semester 3 sebanyak 32
individu dengan persentase 33%, serta semester 5 sebanyak 29 individu dengan
persentase 29,9%. Sebagian besar subjek berasal dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Budaya sebanyak 42 individu dengan persentase sebesar 43,3%. Berdasarkan jenis
pekerjaan, seperti guru les/privat sebanyak 26 individu dengan nilai persentase
26,8%, barista sebanyak 15 individu dengan persentase 15,5%, serta
40

waitress/pelayan sebanyak 12 individu dengan persentase 12,4% dan lainnya


seperti editor konten, front office, marketing, dan SPG sebanyak 40 subjek dengan
presentase 38%.
4.1.2 Pengumpulan Data
Pada awal penelitian, peneliti melakukan penyusunan skala yang terdiri dari
penyusunan blue print dan dilanjutkan dengan menyusun item-item pernyataan.
Proses pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan secara luring, penelitian
dengan menggunakan media kertas dan pena sebanyak 31 subjek serta secara daring
dengan menggunakan media google form sebanyak 66 subjek. Pengumpulan data
dalam penelitian ini menggunakan skala task aversiveness dan skala prokrastinasi
akademik. Proses pengumpulan data dilakukan selama bulan September hingga
Oktober 2023.

4.1.3 Skoring Data


Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan skoring agar segera dilakukan
analisis data. Sesuai dengan jumlah sampel yang telah terkumpul, kemudian
dilakukan tabulasi data dari jawaban subjek penelitian pada kuesioner yang telah
disebarkan. Untuk membuatnya terlebih dahulu peneliti memeriksa kembali
kelengkapan isi setiap instrumen serta memberi nomor kode subjek penelitian.
Sebagai langkah lanjutan adalah menguantitatifkan jawaban pada setiap instrumen
sesuai tingkatan skor masing-masing. Berdasarkan jawaban subjek penelitian
kemudian diberikan skor berdasarkan sifat aitem favorable dan unfavorable. Bobot
penilaian pada setiap jawaban subjek penelitian pada pernyataan favorable adalah
sangat setuju memiliki nilai 5, setuju memiliki nilai 4, ragu-ragu memiliki nilai 3,
tidak setuju memiliki nilai 2, dan sangat tidak setuju memiliki nilai 1. Sementara,
bobot penilaian pada setiap jawaban subjek penelitian pada pernyataan unfavorable
adalah sangat setuju memiliki nilai 1, setuju memiliki nilai 2, ragu-ragu memiliki
nilai 3, tidak setuju memiliki nilai 4, dan sangat tidak setuju memiliki nilai 5.
Setelah proses tabulasi data selesai, maka peneliti membuat deskripsi temuan
dan kemudian melakukan analisis. Selanjutnya, penulis melakukan pembahasan
41

atas temuan pada penelitian dari masing-masing subjek. Sejalan dengan


pembahasan yang dilakukan, kemudian dibuat kesimpulan penelitian. Pada bagian
akhir peneliti mengajukan saran-saran sesuai dengan hasil penelitian bagi pihak-
pihak yang terkait dengan peneliti.

4.2 Hasil Penelitian


4.2.1 Hasil Uji Validitas
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan uji coba kepada 40 mahasiswa yang
bekerja dengan tujuan untuk melihat validitas aitem. Uji validitas yang digunakan
dalam penelitian ini dimana dikatakan valid apabila data memiliki nilai koefisien ≥
0,30 dengan signifikansi 0,05 (Sugiyono, 2015). Menurut Azwar (2011), sebaliknya
apabila jumlah item yang diinginkan belum tercapai dapat mempertimbangkan
untuk menurunkan sedikit batas kriteria 0,30 menjadi 0,25 atau paling tidak
disarankan 0,20, maka jumlah aitem yang diinginkan dapat tercapai (Herawati &
Edi, 2016). Penelitian ini menggunakan batas kriteria koefisien korelasi sebesar ≥
0,250.
1. Hasil Uji Validitas Skala Prokrastinasi Akademik
Tabel 4.2 Hasil Uji Validitas Skala Prokrastinasi Akademik
No aitem Pearson Standar
Kesimpulan
Instrumen Correlation Koefisien

1 0.653 ≥0.250 Valid

2 0.275 ≥0.250 Valid

3 0.162 ≥0.250 Gugur

4 0.307 ≥0.250 Valid

5 0.116 ≥0.250 Gugur

6 0.416 ≥0.250 Valid

7 0.260 ≥0.250 Valid

8 -0.172 ≥0.250 Gugur

9 0.425 ≥0.250 Valid

10 0.208 ≥0.250 Gugur


42

11 0.301 ≥0.250 Valid

12 0.272 ≥0.250 Valid

13 0.484 ≥0.250 Valid

14 0.574 ≥0.250 Valid

15 0.166 ≥0.250 Gugur

16 0.385 ≥0.250 Valid

17 0.310 ≥0.250 Valid

18 0.349 ≥0.250 Valid

19 0.254 ≥0.250 Valid

20 0.502 ≥0.250 Valid

21 0.515 ≥0.250 Valid

22 0.442 ≥0.250 Valid

23 0.297 ≥0.250 Valid

24 0.476 ≥0.250 Valid

25 0.455 ≥0.250 Valid

26 0.360 ≥0.250 Valid

27 0.356 ≥0.250 Valid

28 0.500 ≥0.250 Valid

29 0.444 ≥0.250 Valid

30 0.432 ≥0.250 Valid

31 0.451 ≥0.250 Valid

32 0.390 ≥0.250 Valid

Pada skala prokrastinasi akademik memiliki jumlah pernyataan sebanyak 32


aitem. Setelah melakukan uji coba pada 32 aitem pernyataan diperoleh hasil 27
aitem dinyatakan valid dengan rentang nilai koefisien korelasi sebesar 0,254 –
0,653. Sementara itu, terdapat 5 aitem yang dinyatakan gugur karena memiliki nilai
< 0,250. Aitem tersebut terdiri dari aitem nomor 3, 5, 8, 10, dan 15 dieliminasi.
43

Berikut ini merupakan tabel aitem skala prokrastinasi akademik setelah dilakukan
uji validitas.
Tabel 4.3 Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Prokrastinasi Akademik
Aitem
No. Aspek-Aspek Indikator Perilaku Jumlah
Fav Unfav

Menunda untuk memulai


Penundaan untuk 1, 2 17, 18
mengerjakan tugas akademik
memulai dan
1 8
menyelesaikan
Menyelesaikan tugas saat mendekati
tugas 3*, 4 19, 20
deadline

Memerlukan waktu yang lebih lama


5*, 6 21, 22
Keterlambatan dari pada waktu yang dibutuhkan
dalam
2 8
mengerjakan Menghabiskan waktu yang
tugas dimilikinya untuk mempersiapkan 7, 8* 23, 24
diri secara berlebihan

Kesulitan untuk melakukan sesuatu


Kesenjangan sesuai dengan batas waktu yang 9, 10* 25,26
antara rencana dan ditentukan sebelumnya
4 8
kesenjangan
aktual Perencanaan dan manajemen waktu
11, 12 27, 28
yang buruk

Menggunakan waktu yang dimiliki


Melakukan untuk melakukan aktivitas yang 13, 14 29, 30
aktivitas lain yang menyenangkan
3 8
lebih
menyenangkan Lebih mementingkan pekerjaan lain
15*, 16 31, 32
selain tugas akademik

Total 16 16 32

Tabel 4.4 Distribusi Aitem Valid Skala Prokrastinasi Akademik


Aitem
No. Aspek-Aspek Indikator Perilaku Jumlah
Fav Unfav

Menunda untuk memulai


Penundaan untuk 1, 2 12, 13
mengerjakan tugas akademik
memulai dan
1 7
menyelesaikan
Menyelesaikan tugas saat mendekati
tugas 3 14, 15
deadline
44

Memerlukan waktu yang lebih lama


4 16, 17
dari pada waktu yang dibutuhkan
Keterlambatan
2 dalam 6
Menghabiskan waktu yang
mengerjakan tugas
dimilikinya untuk mempersiapkan 5 18, 19
diri secara berlebihan

Kesulitan untuk melakukan sesuatu


Kesenjangan sesuai dengan batas waktu yang 6 20, 21
antara rencana dan ditentukan sebelumnya
4 7
kesenjangan
aktual Perencanaan dan manajemen waktu
7, 8 22, 23
yang buruk

Menggunakan waktu yang dimiliki


Melakukan untuk melakukan aktivitas yang 9, 10 24, 25
aktivitas lain yang menyenangkan
3 7
lebih
menyenangkan Lebih mementingkan pekerjaan lain
11 26, 27
selain tugas akademik

Total 11 16 27

2. Hasil Uji Validitas Skala Task Aversiveness


Tabel 4.5 Hasil Uji Validitas Skala Task Aversiveness
No Aitem Pearson Standar
Kesimpulan
Instrumen Correlation Koefisien

1 0.418 ≥0.250 Valid

2 0.414 ≥0.250 Valid

3 0.528 ≥0.250 Valid

4 0.396 ≥0.250 Valid

5 0.177 ≥0.250 Gugur

6 0.119 ≥0.250 Gugur

7 0.308 ≥0.250 Valid

8 0.244 ≥0.250 Gugur


45

9 0.401 ≥0.250 Valid

10 0.280 ≥0.250 Valid

11 0.416 ≥0.250 Valid

12 0.105 ≥0.250 Gugur

13 0.367 ≥0.250 Valid

14 0.367 ≥0.2500 Valid

15 0.356 ≥0.250 Valid

16 0.194 ≥0.250 Gugur

17 0.350 ≥0.250 Valid

18 0.230 ≥0.250 Gugur

19 0.159 ≥0.250 Gugur

20 0.439 ≥0.250 Gugur

21 0.461 ≥0.250 Valid

22 0.528 ≥0.250 Valid

23 0.514 ≥0.250 Valid

24 0.375 ≥0.250 Valid

Pada skala task aversiveness memiliki jumlah pernyataan sebanyak 24 aitem.


Setelah melakukan uji coba pada 24 aitem pernyataan diperoleh hasil bahwa
sebanyak 17 aitem dinyatakan valid dengan rentang nilai koefisien korelasi sebesar
0,280 – 0,528. Sementara itu, terdapat 7 aitem yang dinyatakn gugur karena
memiliki nilai < 0,250. Aitem tersebut terdiri dari aitem nomor 5, 6, 8, 12, 16, 18,
dan 19 dieliminasi. Berikut ini merupakan tabel aitem skala task aversiveness
setelah dilakukan uji coba validitas.
Tabel 4.6 Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Task Aversiveness
Aitem
Aspek-
No. Indikator Perilaku Jumlah
Aspek
Fav Unfav

Penilaian individu mengenai tugas yang


1 Boredom 1, 2 13, 14 8
membosankan
46

Individu memilih untuk mengerjakan hal-


3, 4 15, 16*
hal yang lebih menyenangkan

Individu dikendalikan oleh emosi yang


5*, 6* 17, 18*
tidak relevan
2 Frustration 8
Individu tidak dapat focus pada kegiatan
7, 8* 19*, 20
yang dirasa tidak mampu dihadapinya

Individu tidak suka untuk terlibat dalam


9, 10 21, 22
kegiatan apapun
3 Resentment 8
Motivasi rendah untuk mengurangi
11, 12* 23, 24
perilaku menunda

Total 12 12 24

Tabel 4.7 Distribusi Aitem Valid Skala Task Aversiveness


Aitem
Aspek-
No. Indikator Perilaku Jumlah
Aspek
Fav Unfav

Penilaian individu mengenai tugas


1, 2 9, 10
yang membosankan
1 Boredom 7
Individu memilih untuk
mengerjakan hal-hal yang lebih 3, 4 11
menyenangkan

Individu dikendalikan oleh emosi


12
yang tidak relevan
2 Frustration 3
Individu tidak dapat focus pada
kegiatan yang dirasa tidak mampu 5 13
dihadapinya

Individu tidak suka untuk terlibat


6, 7 14, 15
dalam kegiatan apapun
3 Resentment 7
Motivasi rendah untuk mengurangi
8 16, 17
perilaku menunda

Total 8 9 17

4.2.2 Hasil Uji Reliabilitas


47

Uji reliabilitas penelitian ini menggunakan konsistensi internal, yaitu


dilakukan dengan mencoba alat ukur satu kali pada individu yang dianggap
homogen, kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan teknik tertentu. Teknik
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu koefisien Alpha Cronbach dengan
menggunakan aplikasi SPSS 24.0 dengan melihat tabel realibility statistic.
Periantalo (2017) mengemukakan dalam penelitian, skor reliabilitas sebesar 0,7
sudah dinilai memuaskan, sedangkan untuk keperluan diagnosis klinis, skor
reliabilitas sebesar 0,9 perlu dicapai. Reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan
standar 0,700 sehingga apabila nilai reliability Cronbach alpha dan reliability
statistic lebih besar dari 0,700 maka dapat dikatakan reliabel.
Berikut merupakan tabel hasil uji reliabilitas pada skala prokrastinasi akademik
dan skala task aversiveness:

Tabel 4.8 Hasil Uji Reliabilitas Skala Prokrastinasi Akademik


Reliability Statistic

Cronbach’s Alpha N of Items

0.812 27

Berdasarkan tabel di atas, perhitungan reliabilitas dengan analisis statistik


Cronbach alpha menghasilkan Cronbach’s alpha sebesar 0,812 dengan jumlah
aitem sebanyak 27 yang termasuk dalam reliabel yang memuaskan. Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa skala prokrastinasi akademik tersebut reliabel
karena 0, 812 > 0,700.

Tabel 4.9 Hasil Uji Reliabilitas Skala Task Aversiveness


Reliability Statistic

Cronbach’s Alpha N of Items

,716 17

Berdasarkan tabel di atas, perhitungan reliabilitas dengan analisis statistik


Cronbach alpha menghasilkan Cronbach’s alpha sebesar 0,716 dengan jumlah
48

aitem sebanyak 17 yang termasuk dalam reliabel yang memuaskan. Dengan


demikian dapat dinyatakan bahwa skala task aversiveness tersebut reliabel karena
0,716 > 0,700.

4.2.3 Hasil Analisis Deskriptif


Deskriptif pada data penelitian berisi penjabaran tentang gambaran umum
dari dua variabel yang ada yakni task aversiveness dan prokrastinasi akademik.
Deskripsi ini akan memberikan gambaran mengenai kategorisasi data penelitian.
Kriteria kategorisasi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan tiga
kriteria yakni rendah, sedang, dan tinggi. Sebelum melihat kriteria tersebut terlebih
dahulu menentukan mean dan standar deviasi masing-masing variabel.

Tabel 4.10 Statistik Data Penelitian


Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Task Aversiveness 97 22 69 54.2474 8.65548
Prokrastinasi Akademik 97 33 107 83.5567 14.04158
Valid N (listwise) 97

Setelah melakukan uji deskriptif ditemukan hasil bahwa pada skala task
aversiveness didapatkan skor minimum 22 dan maksimum 69 dengan nilai rata-rata
(mean) sebesar 54,24 dan nilai standar deviasi sebesar 8,655. Pada skala
prokrastinasi akademik didapatkan skor minimum 33 dan skor maksimum 107
dengan nilai rata-rata (mean) sebesar 83,55 dan nilai standar deviasi sebesar 14,041.
Deskripsi data penelitian meliputi uraian tentang gambaran umum terhadap
subjek yang diteliti. Terdapat didalamnya, deskripsi yang dilakukan akan
memberikan gambaran mengenai kategorisasi data penelitian. Menurut Azwar
(2012) kriteria kategorisasi yang dipakai pada penelitian telah dibagi menjadi 3
kriteria yaitu rendah, tinggi dan sedang. Rincian pengkategorian dapat diperoleh
dengan rentang nilai berikut:
Tabel 4.11 Rumus Batas Kategorisasi
Kategori Batas Kategorisasi
Tinggi X ≥ (µ + 1 . σ)
Sedang (µ - 1 . σ) ≤ X < (µ + 1 . σ)
Rendah X < (µ - 1 . σ)
49

Keterangan :
X = Skor subjek
µ = Mean atau Rata-rata
σ = Standar Deviasi
1. Interpretasi Skala Task Aversiveness
Untuk mengetahui kategori tingkatan pada variabel task aversiveness dari
terendah, sedang, hingga tinggi maka didapatkan hasil analisis sebagai berikut:
Kategori tinggi:
Pedoman : X > (µ + 1 . σ)
= X ≥ (54,24 + 1 x 8,655)
= X ≥ (54,24 + 8,655)
= X ≥ 62,895
= X ≥ 63

Kategori sedang:
Pedoman : (µ - 1 . σ) ≤ X ≤ (µ + 1 . σ)
= (54,24 - 1 x 8,655) ≤ X ≤ (54,24 + 1 x 8,655)
= (54,24 - 8,655) ≤ X ≤ (54,24 + 8,655)
= 45,585 ≤ X ≤ 62,895
= 46 ≤ X ≤ 63
Kategori rendah:
Pedoman: X ≤ (µ - 1 . σ)
= X ≤ (54,24 - 1 x 8,655)
= X ≤ (54,24 - 8,655)
= X ≤ 45,585
= X < 46

Tabel 4.12 Kategorisasi Skala Task Aversiveness


Kategori Batas Kategorisasi Jumlah Persentase
Tinggi X ≥ 63 15 15,5%
Sedang 46 ≤ X < 63 72 74,2%
Rendah X < 46 10 10,3%
Total 97
50

Berdasarkan kategorisasi yang telah dilakukan dapat ditarik hasil bahwa


terdapat 15 subjek (15,5%) memiliki skor task aversiveness pada kategori tinggi,
terdapat 72 subjek (74,2%) memiliki skor task aversiveness pada kategori sedang,
serta terdapat 10 subjek (10,4%) memiliki skor task aversiveness pada kategori
rendah. Maka dapat dilihat bahwa task aversiveness pada mahasiswa yang bekerja
paruh waktu di Universitas Trunojoyo Madura berada pada kategori sedang yang
artinya, individu yang masuk dalam kategori task aversiveness sedang menandakan
bahwa mahasiswa yang bekerja paruh waktu cenderung memiliki perasaan negatif
atau ketidaksenangan terhadap tugas atau pekerjaan yang sedang dihadapi.
Berikut ini merupakan statistik deskriptif nilai rata-rata pada aspek-aspek task
aversiveness yang dipergunakan untuk mengetahui aspek mana yang menyumbang
persentase tertinggi pada variabel task aversiveness.

Tabel 4.13 Mean Aspek Task Aversiveness


Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean
Boredom 97 7.00 27.00 19.5052
Frustration 97 3.00 14.00 9.2474
Resentment 97 8.00 31.00 22.3402

Berdasarkan tabel di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada aspek


boredom memiliki nilai mean sebesar 19,50. Kemudian pada aspek frustration
memiliki nilai mean sebesar 9,24. Selanjutnya, pada aspek resentment memiliki
nilai mean sebesar 22,34. Aspek resentement menjadi aspek dengan nilai mean
yang lebih tinggi sedangkan aspek frustration menjadi aspek dengan nilai mean
yang lebih rendah.

2. Interpretasi Skala Prokrastinasi Akademik


Untuk mengetahui kategori pada variabel prokrastinasi akademik dari rendah,
sedang, hingga tinggi maka didapatkan hasil analisis sebagai berikut:
Kategori tinggi:
Pedoman : X ≥ (µ + 1 . σ)
51

= X ≥ (83,55 + 1 x 14,041)
= X ≥ (83,55 + 14,041)
= X ≥ 97,591
= X ≥ 98
Kategori sedang:
Pedoman : (µ - 1 . σ) ≤ X ≤ (µ + 1 . σ)
= (83,55 - 1 x 14,041) ≤ X ≤ (83,55 + 1 x 14,041)
= (83,55 - 14,041) ≤ X ≤ (83,55 + 14,041)
= 69,509 ≤ X ≤ 97,591
= 70 ≤ X < 98
Kategori rendah:
Pedoman: X ≤ (µ - 1 . σ)
= X ≤ (83,55 - 1 x 14,041)
= X ≤ (83,55 - 14,041)
= X ≤ 69,509,
= X < 70

Tabel 4.14 Kategorisasi Skala Prokrastinasi Akademik


Kategori Batas Kategorisasi Jumlah Persentase
Tinggi X ≥ 98 12 12,4%
Sedang 70 ≤ X < 98 70 72,2%
Rendah X < 70 15 15,5%
Total 97 100%

Berdasarkan kategorisasi yang telah dilakukan dapat ditarik hasil bahwa


terdapat 12 subjek (12,4%) memiliki skor prokrastinasi akademik pada kategori
tinggi, terdapat 70 subjek (72,2%) memiliki skor prokrastinasi akademik pada
kategori sedang, serta terdapat 15 subjek (15,5%) memiliki skor prokrastinasi
akademik pada kategori rendah. Maka dapat dilihat bahwa prokrastinasi akademik
pada mahasiswa yang bekerja paruh waktu di Universitas Trunojoyo Madura
berada pada kategori sedang yang artinya, individu yang masuk dalam kategori
prokrastinasi akademik sedang menandakan bahwa individu cenderung melakukan
52

penundaan dalam menyelesaikan tugas yang sejatinya merupakan prioritas tinggi


tanpa adanya alasan yang mendasar dan masuk akal.
Berikut ini merupakan statistik deskriptif mean aspek-aspek prokrastinasi
akademik yang dipergunakan untuk mengetahui aspek mana yang menyumbang
persentase tertinggi pada variabel prokrastinasi akademik.

Tabel 4.15 Mean Aspek Prokrastinasi Akademik


Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean
Penundaan untuk memulai dan 97 10.00 31.00 22.6907
menyelesaikan tugas
Keterlambatan dalam mengerjakan tugas 97 6.00 27.00 18.1856
Kesenjangan antara rencana dan 97 8.00 32.00 21.3196
kesenjangan actual
Melakukan aktivitas lain yang lebih 97 7.00 31.00 21.3608
menyenangkan

Berdasarkan tabel di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada aspek


penundaan untuk memulai dan menyelesaikan tugas memiliki nilai mean sebesar
22,69. Kemudian pada aspek keterlambatan dalam mengerjakan tugas memiliki
nilai mean sebesar 18,18. Selanjutnya, pada aspek kesenjangan antara rencana dan
kesenjangan aktual memiliki nilai mean sebesar 21,31 dan juga aspek melakukan
aktivitas lain yang lebih menyenangkan dengan nilai mean sebesar 21,36. Aspek
yang memiliki mean lebih tinggi merupakan aspek penundaan untuk memulai dan
menyelesaikan tugas, sementara aspek yang memiliki mean lebih rendah
merupakan aspek keterlambatan dalam mengerjakan tugas.

4.2.4 Hasil Uji Asumsi


1. Hasil Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk menguji dan mengetahui apakah nilai residual
terdistribusi secara normal atau tidak. Pengujian ini dilakukan dengan bantuan pada
software SPSS 24 dengan uji Kolmogorov-Smirnov Test. Distribusi data disebut
normal saat nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 (p > 0,05) dan dikatakan tidak
normal saat nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05). Ketika distribusi
normal dapat menggunakan teknik analisis dalam kategori uji statistik parametrik.
53

Apabila data tidak berdistribusi normal, maka analisis data yang digunakan
termasuk uji statistik non-parametrik (Santoso, 2019).

Tabel 4.16 Hasil Uji Normalitas


One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 97
Normal Parametersa,b Mean .0000000
Std. Deviation 9.40234970
Most Extreme Differences Absolute .039
Positive .039
Negative -.035
Test Statistic .039
Asymp. Sig. (2-tailed) .200c,d
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
d. This is a lower bound of the true significance.

Berdasarkan pengujian normalitas data, didapatkan hasil pada nilai


signifikansi (Asymp. Sig.) sebesar 0,200 sedangkan dasar pengambilan keputusan
uji normalitas adalah jika nilai signifikansi > 0,05 artinya data terdistribusi normal.
Pada nilai signifikansi hitung sebesar 0,200 > 0,05 sehingga dapat dikatakan data
terdistribusi secara normal.

2. Hasil Uji Linearitas


Uji linearitas dilakukan untuk melihat dan mengetahui apakah ada tidaknya
suatu hubungan yang linear antara variabel terikat dengan variabel bebas. Jika suatu
model tidak dapat memenui kriteria linearitas maka tidak dapat dilakukannya model
regresi linear. Adapun data atau model yang dapat dikatakan linear jika nilai
signifikan daripada deviation from linearity > 0.05 (Djazari et al., 2013).

Tabel 4.17 Hasil Uji Linearitas


ANOVA Table
Sum of Mean
Squares df Square F Sig.
Between (Combined) 13799.543 31 445.147 5.642 .000
Groups Linearity 10441.137 1 10441.137 132.337 .000
54

Prokrastinasi Deviation from 3358.406 30 111.947 1.419 .120


Akademik * Task Linearity
Aversiveness Within Groups 5128.395 65 78.898
Total 18927.938 96

Berdasarkan hasil uji linearitas pada tabel 4.17 didapatkan bahwa pada
variabel task aversiveness memiliki suatu hubungan yang linear dengan variabel
prokrastinasi akademik dengan nilai F deviation from linearity sebesar 1,419
dengan signifikansi sebesar 0,120 yang mana menunjukkan nilai lebih dari 0,05
(0,120 > 0,05). Dengan demikian hasil menunjukkan bahwa uji linieritas terdapat
hubungan yang linier antara task aversiveness dengan prokrastinasi akademik.
Kemudian dilanjutkan dengan uji asumsi klasik selanjutnya.

3. Hasil Uji Heteroskedastisitas


Tabel 4.18 Hasil Uji Heteroskedastisitas Metode Glejser
Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 9.852 3.697 2.665 .009
Task Aversiveness -.044 .067 -.067 -.659 .511
a. Dependent Variable: ABS_RES

Berdasarkan hasil uji heteroskedastisitas metode glejser didapatkan nilai t


sebesar -0,659 dengan nilai signifikansi hitung sebesar 0,511. Dasar pengambilan
keputusan dikatakan adanya atau tidak adanya gejala heteroskedastisitas ialah jika
nilai sig hitung > 0,05 (0,511 > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
terjadi masalah atau gejala heteroskedastisitas pada variabel task aversiveness dan
prokrastinasi akademik. Lebih lanjut dilakukan uji heteroskedastistias scatterplots
untuk mengetahui ada atau tidaknya gejala heteroskedastisitas.
55

Gambar 4.1 Hasil Uji Heteroskedastisitas Metode Scatterplots

Menurut Priyatno (2013), dasar untuk mendeteksi ada atau tidaknya


heteroskedastisitas adalah dengan melihat pada titik scatterplots regresi. Jika titik-
titik menyebar pada pola yang tidak jelas di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu
Y, maka tidak terjadi masalah pada heteroskedastisitas.

4.2.5 Hasil Uji Hipotesis


Penelitian ini menggunakan uji regresi linier sederhana untuk melihat
pengaruh task aversiveness terhadap prokrastinasi akademik pada mahasiswa
bekerja paruh waktu. Teknik analisis penelitian ini dibantu dengan menggunakan
aplikasi SPSS 24 for windows.

Tabel 4.19 Hasil Uji Hipotesis


Variabel R R F Sig. T Sig.
Square
Task Aversiveness & Prokrastinasi 0,000
0,743 0,552 116,877 0,000 10,811
Akademik
Berdasarkan hasil uji di atas ditemukan nilai koefisien korelasi sebesar 0,743
yang dapat diartikan bahwa korelasi tersebut masuk dalam kategori yang kuat.
Selanjutnya ditemukan nilai R Square sebesar 0,552 yang dipersentasekan menjadi
55,2% yang artinya task aversiveness mempengaruhi prokrastinasi akademik
sebesar 55,2% dan sisanya yaitu 44,8% dipengaruhi oleh faktor lain selain task
aversiveness. Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai F sebesar 116,877 dengan
56

nilai signifikansi 0,000. Nilai signifikansi 0,000 < 0,05 artinya hipotesis diterima,
maka terdapat pengaruh task aversiveness terhadap prokrastinasi akademik pada
mahasiswa bekerja paruh waktu.

Tabel 4.20 Koefisien pada Uji Regresi Linear Sederhana


Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 18.195 6.122 2.972 .004
Task Aversiveness 1.205 .111 .743 10.811 .000

Berdasarkan hasil uji di atas diketahui hasil standardized coefficients beta


sebesar 0,743 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara task
aversiveness dengan prokrastinasi akademik yang mana semakin tinggi task
aversiveness maka semakin tinggi pula prokrastinasi akademik. Demikian
sebaliknya, semakin rendahnya task aversiveness, maka semakin rendah pula
prokrastinasi akademiknya yang dilakukan oleh mahasiswa yang bekerja paruh
waktu.

4.2.6 Analisis Tambahan


Selanjutnya peneliti melakukan uji analisis tambahan yaitu analisis
Crosstabulation untuk masing-masing skala berdasarkan usia, jenis kelamin, dan
jenis pekerjaan.

1. Analisis Crosstabulation Task Aversiveness


Tabel 4.22 Analisis Crosstabulation Berdasarkan Jenis Kelamin
Kategori
Rendah Sedang Tinggi Total
Jenis Kelamin Laki-laki 5 35 6 46
Perempuan 5 37 9 51
Total 10 72 15 97

Berdasarkan jenis kelamin, untuk kategori yang tinggi task aversiveness lebih
banyak pada jenis kelamin perempuan, kemudian pada kategori sedang cukup
berimbang. Sementara itu, dilihat dari kategori task aversiveness rendah dikatakan
seimbang.
57

Tabel 4.22 Analisis Crosstabulation Berdasarkan Usia


Kategori
Rendah Sedang Tinggi Total
Usia Remaja Akhir 3 38 12 56
Dewasa Awal 7 31 3 41
Total 10 72 15 97

Berdasarkan usia, untuk kategori yang tinggi task aversiveness lebih banyak
dialami oleh mahasiswa bekerja paruh waktu yang berusia remaja akhir dibanding
usia dewasa awal. Sementara, kategori rendah lebih banyak pada usia dewasa awal.
Tabel 4.23 Analisis Crosstabulation Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Kategori
Rendah Sedang Tinggi Total
Jenis Pekerjaan Barista 0 12 3 15
Guru Les 2 20 4 26
Admin 0 6 1 7
Waiter 1 9 2 12
Front Office 1 2 0 3
Marketing 1 7 1 9
Lainnya 5 16 4 25
Total 10 72 15 97
Berdasarkan pekerjaan, untuk kategori yang tinggi task aversiveness lebih
banyak dirasakan oleh mahasiswa bekerja paruh waktu sebagai guru les dan barista,
dan lainnya. Sementara kategori rendah lebih banyak pada mahasiswa bekeja
sebagai lainnya seperti driver, editor konten, front office, dan SPG.
2. Analisis Crosstabulation Prokrastinasi Akademik
Tabel 4.24 Analisis Crosstabulation Berdasarkan Jenis Kelamin
Kategori
Rendah Sedang Tinggi Total
Jenis Kelamin Laki-laki 4 36 6 46
Perempuan 8 34 9 51
Total 12 72 15 97

Berdasarkan jenis kelamin, untuk kategori yang tinggi maupun rendah


prokrastinasi akademik lebih banyak pada jenis kelamin perempuan, kemudian
pada kategori sedang cukup berimbang.
Tabel 4.25 Analisis Crosstabulation Berdasarkan Usia
Kategori
Rendah Sedang Tinggi Total
Usia Remaja Akhir 3 44 9 56
Dewasa Awal 9 26 6 41
Total 12 70 15 97
58

Berdasarkan usia, untuk kategori yang tinggi prokrastinasi akademik lebih


banyak dialami oleh mahasiswa bekerja paruh yang berusia remaja akhir dibanding
usia dewasa awal. Sementara, kategori rendah lebih banyak pada dewasa awal.
Tabel 4.26 Analisis Crosstabulation Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Kategori
Rendah Sedang Tinggi Total
Jenis Pekerjaan Barista 0 11 4 15
Guru Les 4 19 3 26
Admin 0 7 0 7
Waiter 1 11 0 12
Front Office 0 3 0 3
Marketing 1 6 2 9
Lainnya 6 13 6 25
Total 12 70 15 97
Berdasarkan pekerjaan, untuk kategori yang tinggi prokrastinasi akademik
lebih banyak dirasakan oleh mahasiswa bekerja paruh waktu sebagai barista dan
guru les.

4.3 Pembahasan
Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh task aversiveness terhadap
prokrastinasi akademik pada mahasiswa bekerja paruh waktu. Berdasarkan uji
statistic yang telah dilakukan dengan menggunakan uji regresi linear sederhana
diperoleh nilai F sebesar 116,877 dengan nilai signifikansi 0,000 yang artinya
hipotesis diterima atau dengan kata lain terdapat pengaruh task aversiveness
terhadap prokrastinasi akademik pada mahasiswa bekerja paruh waktu. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Linra, Nadjamuddin
dan Fakhri (2016) bahwa terdapat hubungan positif antara task aversiveness dengan
prokrastinasi akademik pada mahasiswa semester akhir. Individu yang memiliki
task aversiveness yang tinggi cenderung akan memiliki prokrastinasi akademik
yang tinggi juga. Begitu pula sebaliknya, individu yang memiliki task aversiveness
yang rendah cenderung memiliki prokrastinasi yang rendah juga.
Temuan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Kogoya dan Jannah (2021)
yang menjelaskan bahwa dari total 161 responden, sebanyak 106 responden
(65,8%) melakukan prokrastinasi akademik dipicu karena adanya karakteristik pada
tugas. Individu biasanya mengerjakan dengan cepat berbagai tugas harian yang
59

dianggap menyenangkan dan berusaha menghindari yang tidak menyenangkan atau


paling tidak mengerjakannya dengan keengganan pada saat terakhir (Milgram,
1987). Merujuk dari penelitian tersebut terdapat salah satu aspek task aversiveness
yang berhubungan secara signifikan dengan prokrastinasi akademik yaitu boredom.
Menurut Blunt dan Pychyl (2000), individu menganggap setiap tugasnya sangat
membosankan dan memilih untuk menundanya untuk melakukan tugas lain yang
lebih menyenangkan, sementara individu juga memilih tidak menyelesaikan
tugasnya dan mementingkan kegiatan yang dapat menghibur diri seperti bekerja
dan kegiatan yang bersifat hiburan lainnya (Ghufron & Risnawita, 2012).
Berdasarkan uji korelasi ditemukan nilai koefisien korelasi sebesar 0,743
yang artinya bahwa task aversiveness memiliki hubungan yang positif dan
signifikan dengan prokrastinasi akademik, hal ini dapat diartikan bahwa semakin
tinggi tingkat task aversiveness pada mahasiswa bekerja paruh waktu maka
semakin tinggi pula prokrastinasi akademik yang dilakukan. Sejalan dengan
penelitian Putri dan Edwina (2020) memperjelas hal tersebut dimana individu yang
melakukan prokrastinasi akademik biasanya mengetahui atau memahami jika
terdapat banyak tugas yang terbengkalai dan harus segera diselesaikan, akan tetapi
memilih untuk menundanya karena dirasa banyak kegiatan atau aktivitas yang jauh
lebih penting dan menyenangkan.
Solomon dan Rothblum (1984) melalui penelitiannya menjelaskan bahwa
terdapat hubungan korelasional yang positif dan signifikan antara task aversiveness
dengan prokrastinasi akademik dimana beberapa komponen dalam task
aversiveness dapat memicu terjadinya prokrastinasi akademik seperti menunda
sesuatu yang penting dan terjadi pengulangan, serta munculnya perasaan cemas dan
tidak nyaman. Qomariyah (2016) memperkuat hasil penelitian tersebut yang
menjelaskan bahwa ketidaknyamanan yang timbul terhadap tugas yang ada
berdampak pada timbulnya prokrastinasi akademik pada individu. Penelitian
tersebut menunjukkan hasil dimana semakin tinggi task aversiveness semakin
tinggi pula prokrastinasi akademik yang dimilikinya, dimana mahasiswa bekerja
merasakan ketidaknyamanan terhadap berbagai macam tugas yang harus
60

diselesaikan, dimana mahasiswa dituntut untuk mampu menguasai diri,


memanajemen waktu dan mengelola emosi dengan baik.
Berdasarkan uji hipotesis ditemukan nilai R Square 0,552 yang
dipersentasekan menjadi 55,2% yang artinya task aversiveness mempengaruhi
prokrastinasi akademik sebanyak 55,2% dan sisanya 44,8% dipengaruhi oleh faktor
lain selain task aversiveness. Hal ini menunjukkan bahwa naik turunnya variabel
prokrastinasi akademik (Y) dipengaruhi oleh variabel task aversiveness (X) sebesar
55,2%. Sedangkan sisanya sebesar 44,8% dipengaruhi oleh variabel lain di luar
penelitian ini seperti dukungan sosial, harga diri, kondisi ekonomi, dan kebudayaan
(Mu’alima, 2021; Herdini, 2019; Wulandari, Fatimah, & Suherman, 2021).
Besarnya nilai pengaruh task aversiveness terhadap prokrastinasi akademik ini
dikarenakan persepsi pada mahasiswa terhadap tugas akademik dimana individu
merasa terbebani dengan tugas akademik menimbulkan kekecewaan dan juga rasa
takut apabila tidak dikerjakan secara maksimal (Ahmad & Mudjiran, 2019).
Sheldon dan Kasser (dalam Blunt & Pychyl, 2000) menjelaskan bahwa task
aversiveness secara langsung berperan dalam pembentukan rasa frustrasi pada
individu yang berakibat pada terjadinya prokrastinasi akademik lebih cepat karena
ketika individu terlibat dalam sebuah situasi dimana merasakan kesulitan dalam
mengelola rasa frustrasinya terhadap tugas yang datang silih berganti, biasanya
akan lebih cepat pula menemukan kegiatan lain yang lebih menyenangkan. Pada
mahasiswa yang bekerja part time juga demikian, karena banyaknya stressor yang
timbul dalam lingkungan pekerjaan serta tekanan yang muncul untuk
menyelesaikan tugas akademik tidak mampu untuk dikelola dengan baik sehingga
menyebabkan banyak hal terbengkalai, baik dalam ranah tugas akademik maupun
urusan pekerjaan (Bakunas, 2001).
Hasil olah data dalam penelitian ini juga dilakukan dengan menghasilkan data
deskriptif pada masing-masing variabel. Pada variabel task aversiveness sebanyak
15 subjek (15,5%) memiliki skor task aversiveness pada kategori tinggi, terdapat
72 subjek (74,2%) memiliki skor task aversiveness pada kategori sedang, serta
terdapat 10 subjek (10,4%) memiliki skor task aversiveness pada kategori rendah.
Maka dapat dilihat bahwa tingkat task aversiveness pada mahasiswa yang bekerja
61

paruh waktu di Universitas Trunojoyo Madura berada pada kategori sedang yang
berjumlah 72 subjek. Individu yang masuk dalam kategori task aversiveness sedang
menandakan bahwa mahasiswa yang bekerja paruh waktu cenderung memiliki
perasaan negative atau ketidaksenangan terhadap tugas atau pekerjaan yang sedang
dihadapi (Blunt & Pychyl, 1999).
Rohcaini dan Leonardi (2022) menjelaskan bahwa tingkat task aversiveness
pada mahasiswa yang berada dalam tingkatan sedang menandakan bahwa
mahasiswa cenderung cukup terganggu akan adanya tugas akademik yang
sebenarnya merupakan manifestasi dari frekuensi meunda yang seringkali
dilakukan hingga pada akhirnya bosan dan menghasilkan persepsi bahwa tugas
adalah suatu hal yang tidak menyenangkan. Dalam menghadapi tugas yang dinilai
mengganggu, kognisi individu berperan bagaimana individu akan menyelesaikan
tugas tersebut meskipun tugas tersebut dinilai menganggu. Sedangkan secara
emosi, ketika individu menghadapi tugas yang menganggu, ia merasa tidak nyaman
dan merasa tidak senang (Premadyasari, 2012).
Kemudian pada analisis deskriptif terhadap aspek-aspek task aversiveness
menggambarkan bahwa aspek yang menyumbang persentase tertinggi merupakan
aspek resentment sebesar 43,74%. Penyebab tingginya persentase aspek tersebut
karena individu cenderung menunda pada suatu hal atau kegiatan yang tidak disukai
sehingga individu tidak turut serta pada suatu hal atau kegiatan tersebut dimana
dalam sisi lain merupakan respon penghindaran dari aktivitas yang dijalani ole
individu lain (Blunt & Pychyl, 2000).
Pada variabel prokrastinasi akademik juga dilakukan uji analisis deskriptif
yang menghasilkan kategorisasi yang menggambarkan bahwa terdapat 15 subjek
(15,5%) memiliki skor prokrastinasi akademik pada kategori tinggi, terdapat 70
subjek (72,2%) memiliki skor prokrastinasi akademik pada kategori sedang, serta
terdapat 12 subjek (12,4%) memiliki skor prokrastinasi akademik pada kategori
rendah. Maka dapat dilihat bahwa prokrastinasi akademik pada mahasiswa yang
bekerja paruh waktu di Universitas Trunojoyo Madura berada pada kategori sedang
yang berjumlah 70 subjek. Individu yang masuk dalam kategori prokrastinasi
akademik sedang menandakan bahwa individu cenderung melakukan penundaan
62

dalam menyelesaikan tugas yang sejatinya merupakan prioritas tinggi tanpa adanya
alasan yang mendasar dan masuk akal (Ferrari, 2001).
Kecenderungan pada penundaan oleh Adenia, Mustami’ah, dan Arya (2021)
dipersepsikan sebagai hal yang mengganggu dan membosankan sehingga memilih
untuk menunda dalam menyelesaikan suatu tugas. Lebih lanjut, individu yang
menganggap tugas sebagai hal yang membuat tidak nyaman, dan terlalu takut untuk
gagal hingga membuatnya kehilangan motivasi dan menurunkan kepercayaan diri,
maka lebih tinggi kemungkinannya dalam menjadi pelaku prokrastinasi akademik.
Saman (2017) menjelaskan hal yang sama bahwa pada mahasiswa yang memiliki
prokrastinasi akademik sedang menyadari penuh bahwa tugas akademik penting
dan akan langsung mulai untuk mengerjakan tugas tersebut untuk bisa segera
dikumpulkan. Sementara itu, sulitnya menemukan ide-ide dan referensi untuk
memulai mengerjakan tugas akademik, bukan menjadi alasan untuk menunda
menyelesaikan tugas bahkan responden membiasakan diri untuk mengerjakan tugas
tersebut tepat waktu. Selain itu, mahasiswa pada tingkat prokrastinasi akademik
sedang menujukan perilaku responden yang berleha-leha dalam mengerjakan tugas
kuliah. Anggapan responden bahwa alokasi waktu yang diberikan masih cukup
banyak, sehingga responden memilih untuk menunda mengerjakan.
Kemudian juga didapatkan hasil penelitian bahwa aspek yang menyumbang
presentase tertinggi merupakan aspek Penundaan untuk memulai dan
menyelesaikan tugas dengan nilai persentase sebesar 27,16%. Penyebab tingginya
persentase aspek tersebut karena seorang prokrastinator paham tentang tugas atau
pekerjaan yang ia miliki harus segera diselesaikan, tetapi lebih memilih menunda-
nunda untuk mulai mengerjakan atau menunda-nunda untuk menyelesaikan jika
sudah mulai dikerjakan sebelumnya (Ferrari, dkk., 1995).
Djamarah (2002) mengemukakan bahwa banyak mahasiswa yang mengeluh
karena tidak dapat membagi waktu kapan harus memulai dan mengerjakan sesuatu
sehingga waktu yang seharusnya dapat bermanfaat terbuang dengan percuma.
Adanya kecenderungan untuk tidak segera memulai mengerjakan tugas kuliah
merupakan suatu indikasi dari perilaku menunda dan kelalaian dalam mengatur
waktu dan merupakan faktor penting yang menyebabkan individu menunda dalam
63

melakukan dan menyelesaikan tugas. Saman (2017) menambahkan bahwa


mahasiswa kadang lupa waktu ketika melakukan suatu kegiatan, termasuk dalam
kegiatan keorganisasian. Oleh karena itu, mahasiswa harus pandai mengatur waktu
agar tidak menjadi seorang prokrastinator. Ellis dan Knaus (Rumiani, 2006)
menambahkan bahwa penelitian tentang prokrastinasi pada awalnya banyak
dilakukan dilingkungan akademik, yaitu kurang lebih 70% mahasiswa melakukan
prokrastinasi.
Dilakukan analisis tambahan pada masing-masing variabel. Hasil analisa
tambahan pada skala task aversiveness berdasarkan jenis kelamin, untuk kategori
yang tinggi task aversivenessnya lebih banyak pada jenis kelamin perempuan. Hal
tersebut bisa dikarenakan mayoritas subjek individu berjenis kelamin perempuan.
Temuan tersebut sejalan dengan penelitian Rohcaini dan Leonardi (2022) yang
menjelaskan bahwa perempuan cenderung memiliki persepsi tentang sebuah tugas
yang membosankan dan memunculkan rasa malas dalam mengerjakan tugas yang
lebih besar. Hal ini dapat terjadi karena individu kurang menguasai materi, kurang
mampu mengontrol diri, serta kurang adanya motivasi untuk menyelesaikan tugas-
tugasnya dengan baik dan tepat waktu. Ketika individu merasa kurang menyukai,
merasa bosan dan menganggap tugas tersebut terlalu sulit, maka mahasiswa
cenderung untuk menghindari tugas tersebut dan mengulur waktu pengerjaan
sehingga tugas tidak terselesaikan, kalaupun terselesaikan hasilnya akan kurang
maksimal karena mengerjakan secara terburu-buru.
Berdasarkan usia, untuk kategori yang tinggi task aversiveness lebih banyak
dialami oleh mahasiswa bekerja paruh waktu yang berusia remaja akhir dibanding
usia dewasa awal. Hal ini sejalan dengan penelitian Kurniawati, et. al. (2022) yang
menjelaskan bahwa task aversiveness dilihat dari faktor kelompok usia
menunjukkan bahwa kelompok usia remaja akhir memiliki stressor atau tekanan
yang lebih besar dengan ketahanan yang rendah, sehingga timbul rasa frustasi dan
sulit untuk keluar dari tekanan dan tidak mampu menyelesaikan tugas akademik
dengan baik dan tepat waktu. Ahmad dan Mudjiran (2019) juga menjelaskan bahwa
mahasiswa pada fase remaja akhir kurang memiliki tanggung jawab pada sesuatu
selain tugas akademik dan merasa bahwa tugas kuliah yang diberikan tidak penting
64

untuk dikerjakan, tugas kuliah sulit untuk diselesaikan, bahkan menganggap tugas
akademik merupakan suatu tantangan bagi mahasiswa itu sendiri.
Berdasarkan jenis pekerjaan, untuk kategori yang tinggi task aversiveness
lebih banyak dirasakan oleh mahasiswa bekerja paruh waktu sebagai guru les dan
barista. Hasil tersebut sejalan dengan Maghfiroh, Sumiati, dan Zulaihati (2022)
yang menjelaskan bahwa mahasiswa yang bekerja paruh waktu cenderung memiliki
persepsi yang negatif tentang tugas akademiknya. Dibandingkan menyelesaikan
tugas akademiknya, mahasiswa memilih untuk bekerja karena mendapatkan
pemasukan. Kemudian juga diperkuat oleh Triyono dan Khairi (2018) yang
menjelaskan bahwa ketika individu memiliki pekerjaan yang melibatkan interaksi
dengan orang lain, individu membutuhkan tenaga ekstra dalam menjalankan
pekerjaannya. Menjadi guru les bagi mahasiswa tentu saja berdampak pada
terbengkalainya tugas-tugas akademiknya, selain itu stress yang muncul dari
pekerjaan tersebut juga menjadikan mahasiswa bermalas-malasan.
Analisis tambahan juga dilakukan pada skala prokrastiansi akademik.
Berdasarkan jenis kelamin, untuk kategori yang tinggi prokrastinasi akademik pada
jenis kelamin perempuan, kemudian pada kategori sedang cukup berimbang. Hasil
ini sejalan dengan Lubis dan Meliala (2022) yang menjelaskan bahwa prokrastinasi
yang tinggi pada perempuan disebabkan karena tingkat ketakutan dan kecemasan
terkait kegagalan yang tinggi. Perempuan cenderung menghabiskan lebih banyak
waktu hanya untuk mengkhawatirkan apa yang akan terjadi daripada memikirkan
cara untuk menyelesaikannya. Selain itu, beberapa mahasiswa perempuan yang
bekerja paruh waktu juga kurang yakin dengan kemampuannya sehingga cenderung
menunda pekerjaan jika kurang percaya diri dalam melaksanakan pekerjaan
tersebut ia takut terjadi kesalahan. Siswa yang berkarakter moody merupakan orang
yang hampir sering menunda pekerjaan. Harapan yang tidak realistis dan sikap yang
terlalu perfeksionis juga memungkinkan menjadi alasan terjadinya perilaku
prokrastinasi (Steel, 2007).
Berdasarkan usia, untuk kategori yang tinggi prokrastinasi akademik lebih
banyak dialami oleh mahasiswa bekerja paruh yang berusia remaja akhir dibanding
usia dewasa awal. Hasil temuan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Tjundjing
65

dan Kartadinata (2007) yang mengungkapkan bahwa alasan paling dominan dalam
prokrastinasi adalah keengganan akan tugas (seperti kemalasan, merasa
kewalahan), tidak mampu mengatur waktu dengan baik dan sulit untuk mengambil
keputusan. Khoirunnisa, et. al. (2021) menambahkan bahwa pada fase remaja akhir,
individu sulit memanajemen waktu dengan baik. Hal ini menyiratkan
ketidakpastian prioritas, tujuan dan objektivitas sang pelaku. Karena ketiakpastian
itulah, para prokrastinator tidak tahu tujuan mana yang harus dicapai terlebih
dahulu, sehingga sering mengerjakan aktivitas lain disamping tujuan utamanya. Hal
itu membuatnya tidak fokus dalam menyelesaikan tugas, yang akhirnya dapat
membuat pekerjaan menjadi berantakan dan tidak dapat selesai tepat pada waktu
yang telah ditentukan.
Berdasarkan jenis pekerjaan, untuk kategori yang tinggi prokrastinasi
akademik lebih banyak dirasakan oleh mahasiswa bekerja paruh waktu sebagai
barista dan guru les. Wicaksono (2018) menggambarkan bahwa menjadi barista
membutuhkan waktu untuk berlatih dengan intensif. Berlatih tersebut meliputi
teknik meracik bahan-bahan minuman, teknik membuat latte art dan cara
menggunakan alat-alat di kafe. Waktu yang dibutuhkan dalam berlatih tersebut oleh
Young dan Fritzche (2022) akan membuat aktivitas lainnya menjadi terhambat
karena ketidakmampuan individu dalam mengatur waktu. Ketika sudah intensif
belajar sebagai barista, individu akan menganggap dirinya menjadi terlalu sibuk
dan sulit untuk beristirahat jika dibarengi dengan mengerjakan tugas akademik.
Kemudian, pada mahasiswa bekerja paruh waktu sebagai guru les juga
menunjukkan karakteristik procrastinator yakni menganggap pekerjaan sebagai
guru les tidak dapat dilakukan tanpa kehadirannya.

4.4 Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini tentu saja tidak terlepas dari adanya berbagai keterbatasan yang
ada sehingga dari keterbatasan tersebut dapat dijadikan sebagai sumber rujukan dan
informasi serta dapat dijadikan acuan teruntuk penelitian selanjutnya. Adapun
keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak adanya data pasti mengenai berapa
jumlah mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura yang bekerja paruh waktu
66

sehingga kesulitan mendapatkan data populasi untuk penentuan besarnya sampel


penelitian yang representatif. Selanjutnya adalah jumlah subjek yang belum
berimbang pada setiap fakultasnya serta tidak adanya informasi mengenai durasi
jam kerja dari subjek penelitian.
67

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan temuan hasil penelitian yang telah dilakukan dan uraian
pembahasan di atas, diperoleh nilai F sebesar 116,877 dengan nilai signifikansi
sebesar 0,000 (p<0,05) maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis diterima
yang artinya terdapat pengaruh task aversiveness terhadap prokrastinasi akademik
pada mahasiswa bekerja paruh waktu. Berdasarkan uji korelasi ditemukan nilai
koefisien korelasi sebesar 0,743 yang artinya bahwa task aversiveness memiliki
hubungan yang positif dan isgnifikan dengan prokrastinasi akademik, hal ini dapat
diartikan bahwa semakin tinggi task aversiveness semakin tinggi pula prokrastinasi
akademiknya. Berdasarkan uji hipotesis ditemukan nilai R Square sebesar 0,552
atau 55,2% yang artinya task aversiveness mempengaruhi prokrastinasi akademik
sebesar 55,2% dan sisanya yaitu 44,8% dipengaruhi oleh faktor lain selain task
aversiveness.
Sebagian besar mahasiswa bekerja paruh waktu memiliki task aversiveness
dalam kategori sedang, artinya mahasiswa bekerja paruh waktu cenderung memiliki
merasa terganggu akan hadirnya suatu tugas atau pekerjaan sehingga menjadikan
individu enggan menyelesaikannya, sebagian penyebabnya bisa datang dari
persepsi buruk tentang tugas atau pekerjaan tersebut dan menganggap tugas
tersebut membosankan. Mahasiswa bekerja paruh waktu juga memiliki
prokrastinasi akademik yang sedang, artinya individu cenderung melakukan
penundaan dalam menyelesaikan tugas yang berhubungan dengan bidang
akadmik,yakni tugas kuliah sebagai akibat adanya persepsi tidak menyenangkan
terhadap tugas kuliah tersebut. Apabila berlangsung dalam kurun waktu yang lama
dapat menjadi sebuah kebiasaan.
68

5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat saran yang
diberikan peneliti untuk beberapa pihak terkait dengan harapan dapat menjadi
manfaat yaitu:
1. Bagi subjek penelitian
Peneliti menyarankan kepada mahasiswa bekerja paruh waktu agar lebih
dapat meningkatkan kemampuannya dalam memanajemen diri terutama pada
manajemen waktu. Mahasiswa bekerja paruh waktu dapat melakukan journaling
atau scheduling untuk menuliskan tugas-tugas apa saja yang harus diselesaikan
beserta tenggat waktu pengumpulannya. Hal tersebut dapat dilakukan agar tidak
terjadi kesulitan atau kebingungan dalam menyeimbangkan waktu antara bekerja
dan tugas akademik sehingga untuk meminimalisir terjadinya prokrastinasi
akademik.
2. Bagi orang tua mahasiswa
Diharapkan bagi orang tua mahasiswa apabila sudah mengetahui bahwa
mahasiswa memutuskan bekerja paruh waktu agar senantiasa mengingatkan untuk
tidak melupakan tugas akademiknya untuk mengantisipasi atau menghindari
penundaan dalam mengerjakan tugas perkuliahan. Sebagian mahasiswa
membutuhkan atensi dan perhatian lebih dari orang tua, bukan hanya sekadar
keuangan tetapi lebih pada ikatan antara orang tua dan anak.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian dengan permasalahan
yang sama disarankan untuk menambah atau menganalisis variabel-variabel lain
seperti stres akademik, motivasi berprestasi atau dukungan sosial yang juga yang
berkontribusi pada prokrastinasi akademik. Peneliti selanjutnya disarankan agar
dapat menambah jumlah subjek uji coba agar dapat diperoleh lebih banyak item-
item valid dan lebih menyeimbangkan jumlah mahasiswa dari masing-masing
fakultas.

Anda mungkin juga menyukai