PENDAHULUAN
1
Sebagai mahasiswa,tentu saja memiliki berbagai kebutuhan, seiring
meningkatnya kebutuhan mahasiswa saat ini, seperti kebutuhan untuk menunjang
perkuliahan meliputi buku, laptop dan sejenisnya atau untuk tetap menjaga
penampilan. Sebagian mahasiswa enggan untuk membebankan hal tersebut kepada
orang tua sehingga memilih untuk bekerja (Dinata & Supriyadi, 2019). Berdasarkan
survey yang dilakukan oleh Mardelina dan Muhson (2017), pada mahasiswa S1
angkatan 2013 Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. dari 726
responden menunjukkan bahwa 56% atau sejumlah 407 mahasiswa merupakan
mahasiswa tidak bekerja dan sisanya 44% atau 319 merupakan mahasiswa yang
bekerja. Hal ini menandakan bahwa bekerja merupakan salah satu kegiatan yang
dilakukan oleh mahasiswa selain belajar di kelas (Furr & Elling, dalam Puspitasari,
2013). Dinata (2017) menyebutkan sebagian besar mahasiswa memilih untuk
bekerja secara part time dan menggunakan sistem shift dengan 5 hingga 7 jam kerja
per hari di berbagai bidang pekerjaan.
Fenomena yang sama juga terjadi di Universitas Trunojoyo Madura (UTM).
Survei awal yang dilakukan oleh peneliti kepada 106 mahasiswa Universitas
Trunojoyo Madura (UTM) yang mewakili setiap fakultas yang ada di UTM yang
kemudian diperoleh data sejumlah 38,7% atau 41 orang laki-laki dan 61,3% atau
65 orang perempuan. Kemudian, hasil survey juga menunjukkan bahwa 82
mahasiswa (77,4%) memutuskan untuk bekerja paruh waktu dan 22,6% atau 24
mahasiswa tidak bekerja. Selanjutnya, 75,2% atau 80 orang mahasiswa cenderung
menunda tugas kuliah, sedangkan sisanya 24,8% atau 26 orang mahasiswa tidak
menunda kuliah. Selain itu, sebagian besar dari mahasiswa yang bekerja paruh
waktu adalah mahasiswa yang sedang berada di tahap akhir atau semester 8
sebanyak 73,1% atau 60 mahasiswa, selanjutnya 19,5% atau 16 orang mahasiswa
yang bekerja paruh waktu berada di semester 6, kemudian 3,7% atau 3 orang
mahasiswa yang bekerja paruh waktu berada di semester 4, sementara sisanya
sebanyak 3,7% atau 3 orang mahasiswa berada di semester 2. Selanjutnya, terdapat
hasil survei yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari mahasiswa yang bekerja
paruh waktu bekerja sebagai barista, kasir Cafe, dan guru les atau bimbingan
belajar. Fenomena tersebut dilatar belakangi karena adanya kebutuhan individu
pada masa remaja yang ingin menjadi lebih mandiri baik secara finansial maupun
dalam pengambilan keputusan dimana bekerja merupakan kegiatan yang dijalankan
untuk mencapai keinginan tersebut (Santrock, 2007), selain itu fenomena
mahasiswa yang bekerja merupakan sesuatu yang wajar terlebih bekerja sudah
menjadi rutinitas setiap individu (Arumsari, 2009).
Pengalaman dalam masa kerja sangat membantu mahasiswa dalam
memahami bidang pengetahuan lain lebih awal, misalnya mampu memahami
bagaimana cara memperoleh dan mempertahankan pekerjaan serta bagaimana
memanajemen diri di masyarakat. Selain itu, menurut Santrock (2007), manfaat
lainnya dari bekerja pada mahasiswa adalah kemampuan manajemen waktu dan
rasa bangga atas pencapaian diri serta dapat melakukan evaluasi pengembangan
diri. Lebih lanjut, Santrock juga menjelaskan bahwa tanggung jawab yang dimiliki
juga berbeda dengan mahasiswa yang tidak bekerja, dimana ia harus mampu
menyeimbangkan antara tuntutan keluarga, situasi dan kondisi pekerjaan serta
perkuliahan agar dapat menyelesaikannya tepat waktu.
Fenomena mahasiswa yang bekerja ternyata berdampak pada aktivitas
belajar. Mardelina dan Muhson (2017) menyatakan individu yang memutuskan
untuk kuliah sambil bekerja memiliki penurunan aktivitas belajar yang signifikan.
Individu kesulitan dalam membagi waktu dan tanggung jawab atas komitmen pada
dua aktifitas tersebut. Kondisi tersebut membuat mahasiswa mengisi waktu yang
dimilikinya, menggunakan energi, tenaga dan pikiran untuk bekerja. Selain
manajemen waktu yang kacau, individu juga cenderung mengabaikan tugasnya
sebagai seorang mahasiswa untuk belajar dan bertanggung jawab terhadap tugas-
tugasnya. Hipjillah dan Badriyah (2015) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa
terdapat banyak penyebab mahasiswa tidak dapat mengatur waktunya antara lain
motivasi belajar yang menurun serta konsentrasi mahasiswa ketika belajar harus
terbagi dengan tugas-tugasnya di tempat kerja. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Pujiyanto (2005) yang menyebutkan bahwa mahasiswa yang
melakukan kuliah sambil bekerja lebih memfokuskan diri untuk bekerja
dibandingkan belajar dan berdampak pada penurunan prestasi belajar. Hal tersebut
didukung oleh data survei yang telah dilakukan oleh peneliti dari 106 responden
mahasiswa UTM menyatakan bahwa 75,2% mahasiswa cenderung menunda
melakukan tugas kuliah.
Berdasarkan uraian sebelumnya terlihat jelas adanya berbagai hambatan yang
ditemui oleh mahasiswa yang bekerja dalam menyelesaikan tugas akademiknya.
Mulai dari sulitnya membagi waktu hingga pada akhirnya bermalas-malasan dalam
menyelesaikan tugasnya sebagai mahasiswa. Ketika individu cenderung menunda-
nunda untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas yang seharusnya ia mampu
menyelesaikannya lebih cepat sehingga tidak selesai tepat pada waktunya dapat
disebut sebagai prokrastinasi akademik (Brown & Holtzman, dalam Ghufron dan
Risnawita, 2014). Ferrari (2001) menjelaskan bahwa prokrastinasi akademik
merupakan sebuah penundaan dalam menyelesaikan tugas yang merupakan
prioritas tinggi tanpa memiliki alasan yang mendasar dan masuk akal. Selanjutya,
menurut Fauziah (2016) prokrastinasi akademik merupakan perilaku individu yang
tidak bisa dikontrol dalam menjalankan tugas atau pekerjaannya. Sejalan dengan
hal tersebut, Qomariyah (2016) menjelaskan bahwa prokrastinasi akademik
merupakan penundaan yang terpola dalam melaksanakan tugas yang sengaja dan
berulang-ulang. Lebih lanjut Ananda dan Mastuti (2013) menjelaskan bahwa
prokrastinasi akademik merupakan kecenderungan individu untuk meninggalkan,
mengabaikan, dan menghindari menyelesaikan tugas yang seharusnya diselesaikan.
Selanjutnya, Solomon dan Rothblum (1984) menambahkan bahwa dapat dikatakan
individu melakukan prokrastinasi ketika yang ditunda merupakan hal yang penting,
dilakukan berulang-ulang dengan sengaja, serta menimbulkan perasaan tidak
nyaman.
Frekuensi terjadinya prokrastinasi akademik hampir setiap saat pada siapapun
dalam kesehariannya dengan intensitas yang berbeda (Ananda & Mastuti, 2013).
Sejalan dengan survei awal yang dilakukan Peneliti pada 106 mahasiswa
Universitas Trunojoyo Madura yang menjelaskan bahwa 76 responden (75,2%)
cenderung menunda mengerjakan tugas kuliah. Selanjutnya, Ferrari dan Morales
(2007) menyatakan bahwa terdapat beberapa dampak negatif prokrastinasi
akademik diantaranya banyaknya waktu yang dimiliki oleh mahasiswa menjadi
terbuang dan tidak adanya output atas pekerjaannya. Selain itu stres dan disfungsi
psikologis individu juga menjadi dampak dari adanya prokrastinasi. Pada kondisi
tersebut, mahasiswa sering menghadapi tugas disertai tenggat waktu yang terbatas
sehingga muncul perasaan tertekan.
Solomon dan Rothblum (1984) menjelaskan bahwa mahasiswa melakukan
prokrastinasi akademik pada berbagai macam tugas atau pekerjaan mulai dari
menulis, belajar dalam persiapan ujian, membaca, melakukan tugas administratif
dan sisanya adalah aktifitas perkuliahan secara umum. Lebih lanjut Dinata dan
Supriyadi (2019) menambahkan bahwa perguruan tinggi juga mendapatkan
dampak negatif dari perilaku prokrastinasi yang dilakukan oleh mahasiswa.
Semakin banyaknya mahasiswa yang menunda untuk menyelesaikan tugas
terutama tugas akhir untuk menyelesaikan studi dengan alasan apapun akan
menurunkan tingkat perguruan tinggi tersebut yang berakibat dalam turunnya
kualitas akademik bahkan akreditasi suatu perguruan tinggi.
Ferrari, Johnson dan McCown (1995) menyatakan bahwa terdapat beberapa
aspek yang dapat memicu terjadinya prokrastinasi akademik diantaranya adalah a.)
adanya penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan pekerjaan yang
dihadapi. Maksudnya adalah individu tersebut mengetahui bahwa ada tugas yang
harus dikerjakan dan harus diselesaikan yang berguna bagi dirinya, tetapi individu
tersebut memilih menunda untuk mengerjakannya. b.) Kelambanan dalam
mengerjakan tugas. Maksudnya adalah individu memilih untuk menghabiskan
waktu untuk mempersiapkan diri secara berlebihan maupun melakukan hal-hal
yang tidak dibutuhkan dalam menyelesaikan tugas ditambah tidak
memperhitungkan waktu yang dimilikinya. c.) Kesenjangan waktu antara rencana
dan kinerja. Hal ini ditandai dengan munculnya kesulitan dalam menyelesaikan
sesuatu sesuai dengan batas waktu yang telah ada sebelumnya. d.) Melakukan
aktifitas yang lebih menyenangkan daripada menjalankan kewajiban. Individu
tersebut tetap melakukan tugasnya, tetapi juga menggunakan waktu yang
dimilikinya untuk melakukan aktivitas lain yang bersifat menyenangkan.
Prokrastinasi akademik merupakan masalah yang penting dan dapat ditinjau
dari berbagai macam sudut pandang. Wardani dan Nurwardani (2019) menjelaskan
bahwa selain karena penundaan, mahasiswa akan melakukan prokrastinasi ketika
merasa tidak cocok atau tidak senang dengan tugas atau pekerjaan tertentu sehingga
ia menghindarinya. Djamarah (2002) menambahkan bahwa tindakan prokrastinasi
menjadikan mahasiswa sulit untuk memprediksi apa saja yang akan terjadi
kedepannya sehingga menunda dan menyerah adalah opsi yang dipilih. Selain itu
apabila terjadi dalam kurun waktu yang lama dan dibiarkan tanpa adanya usaha
untuk memperbaiki pada tingkat tertentu berdampak negatif pada image serta
stereotip sebuah perguruan tinggi (Santosa, 2017). Selain menyebabkan dampak
negatif pada image dan stereotip perguruan tinggi, menurut Solomon dan Rothblum
(1984) kerugian lainnya dapat memicu kecemasan dalam kurun penyelesaian tugas,
disamping itu dampak dari kecemasan adalah menurunnya konsentrasi dan motivasi
dalam belajar.
Ghufron dan Risnawita (2014) menjelaskan bahwa prokrastinasi dipengaruhi
oleh faktor internal yang muncul dari dalam diri individu seperti kondisi fisik dan
kondisi psikologis. Selanjutnya, menurut Ferrari, Johnson dan McCown (1995)
prokrastinasi diinisiasi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal meliputi kondisi
fisik maupun kesehatan individu seperti kelelahan. Sementara itu Steel (2007)
menjelaskan bahwa prokrastinasi muncul dipicu oleh dua hal. Pertama adalah
perbedaan individu yang meliputi neroticism yang terdiri atas efikasi diri dan harga
diri yang rendah, irasional, self handicapping dan depresi, agreeableness,
extraversion, serta conscientiousness. Kedua adalah karakteristik tugas dimana di
dalamnya termasuk timing of rewards and punishments dan task aversiveness.
Berdasarkan uraian penjelasan sebelumnya, peneliti memilih task aversiveness
sebagai prediktor utama dalam prokrastinasi akademik.
Peneliti memilih task aversiveness karena individu cenderung melakukan
penundaan dalam penyelesaian tugas atau kewajiban dan biasanya dilakukan pada
tugas-tugas yang dianggap tidak sesuai, tidak menyenangkan, dan berpotensi
menurunkan semangat dalam menjalani hari. Alasan tersebut didukung oleh
Solomon dan Rothblum (1984) dalam penelitiannya dimana ditemukan bahwa task
aversiveness teridentifikasi sebagai prediktor utama dari prokrastinasi. Senada
dengan penelitian tersebut Afzal dan Jami (2018) juga menjelaskan melalui hasil
penelitiannya bahwa dari 200 mahasiswa dari berbagai jenjang pendidikan
menunjukkan hasil bahwa task aversiveness muncul menjadi salah satu prediktor
paling signifikan terhadap prokrastinasi akademik.
Menurut Ferrari, Mason dan Hammer (2006) task aversiveness adalah
karakteristik tugas yang diinterpretasikan oleh individu sebagai sebuah kesulitan,
tidak menyenangkan, tidak memberikan sensasi atau perasaan senang serta
membutuhkan effort yang lebih besar karena tugas tersebut tidak memiliki
kejelasan dalam penyelesaiannya. Selanjutnya, Blunt dan Pychyl (2000)
mendefinisikan task aversiveness sebagai perasaan berupa ketidaknyamanan atau
kurangnya kesenangan terhadap karakteristik tugas yang dipicu oleh berbagai
faktor dengan ciri perasaan boredom, frustration, dan resentment pada tugas yang
harus diselesaikan.
Terdapat tiga dimensi yang berhubungan dengan task aversiveness menurut
Blunt dan Pychyl (2000) antara lain a.) boredom yaitu penilaian individu tentang
sejauh mana ia merasa tugasnya tersebut terasa membosankan, b.) frustration
dimana ketika individu sibuk oleh emosi yang tidak relevan dengan tugas yang
sedang ia selesaikan, maka individu tidak akan mampu untuk fokus menyelesaikan
tugas tersebut, c.) resentment yakni seseorang tidak suka untuk turut serta dalam
kegiatan individu lain dimana dalam sisi yang lain merupakan bentuk respon
penghindaran dari aktivitas yang dijalani.
Penelitian yang dilakukan oleh Kogoya dan Jannah (2021) menunjukkan
sebuah hasil dimana 106 responden (65,8%) dari total 161 responden mengatakan
bahwa penundaan yang dilakukan dipicu oleh beberapa karakteristik tugas.
Individu biasanya melakukan dengan cepat berbagai tugas harian yang dianggap
menyenangkan dan berusaha menghindari yang tidak menyenangkan atau paling
tidak mengerjakannya dengan keengganan pada saat terakhir (Milgram, 1987).
Merujuk dari penelitian tersebut terdapat salah satu aspek task aversiveness yang
berhubungan secara signifikan dengan prokrastinasi akademik yaitu boredom.
Menurut Blunt dan Pychyl (2000), individu menganggap setiap tugasnya sangat
membosankan dan memilih untuk menundanya untuk melakukan tugas lain yang
lebih menyenangkan, sementara individu juga memilih tidak menyelesaikan
tugasnya dan mementingkan kegiatan yang dapat menghibur diri seperti bekerja
dan kegiatan yang bersifat hiburan lainnya (Ghufron & Risnawita, 2012).
Selanjutnya Sheldon dan Kasser (dalam Blunt & Pychyl, 2000) menjelaskan
bahwa frustration menyebabkan individu melakukan prokrastinasi akademik lebih
cepat karena ketika individu kesulitan mengelola rasa frustasinya terhadap tugas,
biasanya akan lebih cepat menemukan kegiatan lain yang lebih menyenangkan.
Oleh karena itu prokrastinasi akademik muncul dalam diri mahasiswa yang bekerja
karena banyaknya stressor yang hadir dalam lingkungan pekerjaannya yang tidak
mampu untuk dikelola dengan baik sehingga menyebabkan banyak tugas
terbengkalai (Bakunas, 2001). Selain itu, resentment terjadi pada mahasiswa yang
bekerja dimana juga dapat berpotensi menjadi seorang prokrastinator ketika ia sadar
bahwa terdapat tugas yang harus ia selesaikan, akan tetapi menundanya karena
menurutnya banyak hal lain yang lebih penting (Burka & Yuen, dalam Putri &
Edwina, 2020).
Task aversiveness berkorelasi positif yang signifikan dengan prokrastinasi
akademik melalui penelitian Solomon dan Rothblum (1984) dimana terdapat
beberapa komponen dalam task aversiveness yang dapat memicu terjadinya
prokrastinasi akademik. Hal tersebut diperkuat oleh Qomariyah (2016) dalam
penelitiannya yang berjudul “efikasi diri, ketidaknyamanan terhadap tugas, dan
konformitas teman sebaya sebagai prediktor prokrastinasi akademik”. Persamaan
penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah penggunaan variabel
ketidaknyamanan terhadap tugas dan prokrastinasi akademik, sementara
perbedaannya terletak pada subjek penelitian dimana penelitian tersebut
menggunakan subjek mahasiswa tingkat akhir dan penelitian ini menggunakan
mahasiswa bekerja part time. Penelitian tersebut menunjukkan hasil dimana
semakin tinggi task aversiveness semakin tinggi pula prokrastinasi akademik yang
dimilikinya, dimana mahasiswa bekerja merasakan ketidaknyamanan terhadap
berbagai macam tugas yang harus diselesaikan, dimana mahasiswa dituntut untuk
mampu menguasai diri, memanajemen waktu dan mengelola emosi dengan baik.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas dapat disimpulkan bahwa
mahasiswa yang bekerja memiliki kendala mulai dari sulitnya membagi waktu dan
tanggung jawab antara kewajiban untuk belajar dan menyelesaikan studi dengan
komitmen di tempat kerja. Hal tersebut dapat menyebabkan mahasiswa yang
bekerja menunda-nunda setiap tugas atau pekerjaan yang ada dan memilih untuk
mengerjakan aktifitas yang lebih menyenangkan, padahal aktifitas bekerja dapat
mengasah kemampuan mahasiswa untuk belajar sesuatu di luar kegiatan
perkuliahan dengan seimbang. Keengganan mahasiswa bekerja paruh waktu dalam
menyelesaikan tugas-tugas dan kewajibannya berpotensi merugikan dirinya sendiri
dan lembaga pendidikan terkait. Keengganan tersebut dapat muncul karena adanya
karakteristik tugas yang dipersepsikan sebagai sebuah kesulitan, tidak
menyenangkan, tidak memberikan sensasi atau perasaan senang serta
membutuhkan effort yang lebih besar karena tugas tersebut tidak memiliki
kejelasan dalam cara penyelesaiannya. Oleh sebab itu, peneliti memilih judul
“Pengaruh Task Aversiveness terhadap Prokrastinasi Akademik pada
Mahasiswa Bekerja Paruh Waktu”.
11
oleh mahasiswa menjadi terbuang dan tidak adanya output atas pekerjaannya.
Selain itu stres dan disfungsi psikologis individu juga menjadi dampak dari adanya
prokrastinasi. Pada kondisi tersebut, mahasiswa sering menghadapi tugas disertai
tenggat waktu yang terbatas sehingga muncul perasaan tertekan. Kemudian, Knaus
(dalam Ghufron, 2003) berpendapat bahwa pada mahasiswa yang bekerja
prokrastinasi akademik berdampak pada menurunnya performa akademik, stres
yang tinggi, menyebabkan penyakit, serta timbulnya kecemasan
Solomon dan Rothblum (1984) menjelaskan bahwa mahasiswa melakukan
prokrastinasi akademik pada berbagai macam tugas atau pekerjaan mulai dari
menulis, belajar dalam persiapan ujian, membaca, melakukan tugas administratif
dan sisanya adalah aktifitas perkuliahan secara umum. Lebih lanjut, Dinata dan
Supriyadi (2019) menambahkan bahwa perguruan tinggi juga mendapatkan
dampak negatif dari perilaku prokrastinasi yang dilakukan oleh mahasiswa.
Semakin banyaknya mahasiswa yang menunda untuk menyelesaikan tugas akhir
untuk menyelesaikan studi dengan alasan apapun akan menurunkan tingkat
perguruan tinggi tersebut yang berakibat dalam turunnya akreditasi suatu perguruan
tinggi.
Berdasarkan pemaparan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
prokrastinasi akademik merupakan perilaku menunda tugas yang berhubungan
dengan bidang akadmik,yakni tugas kuliah sebagai akibat adanya persepsi tidak
menyenangkan terhadap tugas kuliah tersebut. Apabila berlangsung dalam kurun
waktu yang lama dapat menjadi sebuah kebiasaan.
2.1.2 Aspek-aspek Prokrastinasi Akademik
Ferrari, Johnshon, dan McCown (1995) memandang prokrastinasi akademik
sebagai sebuah perilaku penundaan dimana didalamnya terdapat beberapa aspek,
antara lain:
1. Penundaan untuk memulai dan menyelesaikan tugas
Penundaan yang dimaksud adalah untuk memulai maupun menyelesaikan
tugas yang dihadapi. Seorang prokrastinator paham tentang tugas atau pekerjaan
yang ia miliki harus segera diselesaikan, tetapi lebih memilih menunda-nunda
untuk mulai mengerjakan atau menunda-nunda untuk menyelesaikan jika sudah
mulai dikerjakan sebelumnya.
2. Keterlambatan dalam mengerjakan tugas
Individu yang melakukan prokrastinasi memerlukan waktu yang lebih
lama dari pada waktu yang dibutuhkan pada umumnya dalam mengerjakan
tugas. Seorang prokastinator menghabiskan waktu yang dimilikinya untuk
mempersiapkan diri secara berlebihan. Selain itu, juga melakukan hal-hal yang
tidak dibutuhkan dalam penyelesaian suatu tugas, tanpa memperhitungkan
keterbatasan waktu yang dimilikinya. Kadang-kadang tindakan tersebut
mengakibatkan individu tidak berhasil menyelesaikan tugasnya secara memadai.
Kelambanan, dalam arti lambatnya kerja individu dalam melakukan suatu tugas
dapat menjadi ciri yang utama dalam prokrastinasi akademik.
3. Kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual
Seorang prokrastinator mempunyai kesulitan untuk melakukan sesuatu
sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Seorang
prokrastinator sering mengalami keterlambatan dalam memenuhi batas waktu
yang telah ditentukan, baik oleh oranglain, maupun rencana yang telah dia
tentukan sendiri. Individu mungkin telah merencanakan mulai mengerjakan
tugas pada waktu yang telah ia tentukan sendiri. Akan tetapi, ketika saatnya tiba
dia tidak juga melakukannya sesuai dengan apa yang telah direncanakan
sehingga menyebabkan keterlambatan ataupun kegagalan untuk menyelesaikan
tugas secara memadai.
4. Melakukan aktivitas yang lebih menyenangkan
Melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan daripada melakukan
tugas yang harus dikerjakan. Individu yang melakukan prokrastinasi dengan
sengaja tidak segera melakukan tugasnya. Akan tetapi, menggunakan waktu
yang dia miliki untuk mengerjakan aktivitas lain yang dipandang lebih
menyenangkan dan mendatangkan hiburan, seperti membaca (koran, majalah,
atau buku cerita lainnya), menonton, mengobrol, jalan- jalan, mendengarkan
musik, dan sebagainya sehingga menyita waktu yang dia miliki untuk
mengerjakan tugas yang harus diselesaikannya.
Kemudian menurut McCloskey (2011) menyatakan bahwa dalam
prokrastinasi meliputi empat aspek, antara lain:
a. Rasa malas
Rasa malas adalah suatu perasaan seseorang enggan untuk melakukan
sesuatu yang seharusnya atau sebaiknya dia lakukan. Mahasiswa yang memiliki
rasa malas untuk mengerjakan skripsinya akan menghambat menyelesaikan
skripsinya tepat waktu karena rasa malas untuk memulai atau mengerjakan
skripsi tersebut.
b. Gangguan
Banyak gangguan yang terjadi pada mahasiswa yang sedang mengerjakan
skrispi, misalnya gangguan mood untuk memulai mengerjakan skripsi, atau
gangguan dari lingkungan sekitarnya yang tidak nyaman.
c. Kepercayaan tentang kemampuan
Mahasiswa yang kurang memiliki kepercayaan atas kemamampuannya
untuk mengerjakan skripsi akan menghambat penyelesaian skripsinya tersebut,
karena mahasiswa tersebut tidak yakin bahwa ia mampu untuk mengerjakan
skripsinya dengan baik.
Penelitian ini mengac pada aspek yang dikembangkan oleh Ferrari,
Johnshon, dan McCown (1995) bahwa prokrastinasi akademik memiliki empat
aspek atara lain penundaan unuk memulai dan menyelesaikan tugas,
keterlambatan dalam mengerjakan tugas, kesenjangan waktu antara rencana dan
kinerja actual, serta melakukan aktivitas yang lebih menyenangkan.
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prokrastinasi Akademik
Noran (dalam Akinsola, dkk., 2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa
hal yang dapat memicu terjadinya prokrastinasi akademik. Beberapa pemicunya
adalah sebagai berikut:
1. Manajemen waktu
Individu yang melakukan prokrastinasi menunjukkan bahwa individu
tidak mampu mengelola waktu dengan bijak. Hal ini menyiratkan ketidakpastian
prioritas, tujuan dan objektivitas sang pelaku. Karena ketiakpastian itulah, para
prokrastinator tidak tahu tujuan mana yang harus dicapai terlebih dahulu,
sehingga sering mengerjakan aktivitas lain disamping tujuan utamanya. Hal itu
membuatnya tidak fokus dalam menyelesaikan tugas, yang akhirnya dapat
membuat pekerjaan menjadi berantakan dan tidak dapat selesai tepat pada waktu
yang telah ditentukan
2. Memiliki tingkat kesadaran yang rendah
Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi atau memiliki tingkat kesadaran
yang rendah adalah alasan kedua untuk melakukan penundaan. Perbedaan itu
mungkin disebabkan oleh distorsi pada lingkungan, seperti kebisingan, meja
belajar yang berantakan atau mengerjakan tugas di tempat tidur.
3. Ketakutan dan kecemasan terkait kegagalan
Individu dalam kategori ini akan menghabiskan lebih banyak waktu hanya
untuk mengkhawatirkan apa yang akan terjadi daripada memikirkan cara untuk
menyelesaikannya
4. Kurang yakin terhadap kemampuan yang dimiliki
Kurang yakin terhadap kemampuan yang dimiliki ini adalah alasan lain
untuk menunda-nunda. Individu yang cenderung menunda pekerjaan jika kurang
percaya diri dalam melaksanakan pekerjaan tersebut ia takut terjadi kesalahan.
Siswa yang berkarakter moody merupakan orang yang hampir sering menunda
pekerjaan. Harapan yang tidak realistis dan sikap yang terlalu perfeksionis juga
memungkinkan menjadi alasan terjadinya perilaku prokrastinasi.
Menurut Steel (2007) menjelaskan bahwa prokrastinasi akademik
dipengaruhi oleh dua faktor, meliputi:
1. Perbedaan individu
Faktor perbedaan individu meliputi beberapa hal antara lain efikasi diri
dan harga diri yang rendah, irasional, self handicapping dan depresi,
agreeableness, extraversion, serta conscientiousness.
2. Karakteristik tugas
Faktor karakteristik tugas meliputi timing of rewards dan punishment,
serta task aversiveness.
2.1.4 Karaktristik Prokrastinasi Akademik
Menurut Young & Fritzche (2002), adapun karakteristik dari orang yang
melakukan prokrastinasi akademik (perilaku menunda) sebagai berikut:
a. Kurang dapat mengatur waktu.
b. Percaya diri yang rendah.
c. Menganggap diri terlalu sibuk jika harus mengerjakan tugas.
d. Keras kepala, dalam arti menganggap orang lain tidak dapat memaksanya dalam
mengerjakan sebuah tugas.
e. Memanipulasi tingkah laku orang lain dan menganggap sebuah pekerjaan tidak
dapat dilakukan tanpanya.
f. Menjadikan penundaan sebagai coping untuk menghidari tekanan.
g. Merasa dirinya sebagai korban yang tidak memahami mengapa tidak dapat
mengerjakan sesuatu yang dapat dikerjakan orang lain.
Sehingga karakteristik ini menunjukan bahwa mahasiswa yang melakukan
prokrastinasi akademik akan muncul rasa bersalah dalam dirinya. Sebab dengan
melakukan prokrastinasi akademik mahasiswa atau individu tersebut akan menjadi
sebuah tekanan serta permasalahan dalam dirinya.
Permasalahan mahasiswa bekerja part time: Steel (2007) menjelaskan bahwa prokrastinasi
Sulit membagi waktu antara tugas kuliah dan akademik di picu oleh dua faktor antara lain:
pekerjaan a. Perbedaan individu, meliputi efikasi diri dan
a. Cenderung menunda tugasnya sebagai Prokrastinasi Akademik harga diri yang rendah, irasional, self
mahasiswa handicapping dan depresi, agreeableness,
b. Bermalas-malasan dalam megerjakan extraversion, serta conscientiousness.
tugasnya b. Karakteristik tugas, meliputi timing of rewards and
c. Penurunan aktivitas belajar punishments dan task aversiveness.
Task Aversiveness
Ferrari, Johnson, dan McCown (1995) Blunt dan Pychyl (2000) menyatakan bahwa
terdapat beberapa aspek dalam prokrastinasi terdapat tiga dimensi task aversiveness antara
akademik, antara lain: lain:
a. Penundaan untuk memulai dan a. Boredom
menyelesaikan tugas b. Frustration
b. Keterlambatan dalam mengerjakan tugas c. Resentment.
c. Kesenajngan waktu antara rencana dan
kinerja aktual
d. Melakukan aktivitas yang lebih
menyenangkan
28
29
paradigm, serta sikap individu atau sekumpulan individu tentang fenomena sosial.
Penggunaan skala likert dapat diturunkan menjadi indikator variabel yang menjadi
titik tolak dalam penyusunan butir-butir instrument yang berupa pertanyaan atau
pernyataan. Skala likert ini kemudian disajikan dalam bentuk pernyataan favorable
dan unfavorable. Pada pernyataan favorable skor Sangat Setuju (SS) adalah 5,
Setuju (S) adalah 4, Ragu – ragu (R) adalah 3, Tidak Setuju (TS) adalah 2, dan
Sangat Tidak Setuju (STS) adalah 1. Sedangkan pertanyaan unfavorable skor
Sangat Setuju (SS) adalah 1, Setuju (S) adalah 2, Ragu – ragu (R) adalah 3, Tidak
Setuju adalah 4, dan Sangat Tidak Setuju (STS) adalah 5.
Tabel 3.1 Skoring skala Task aversiveness dan Prokrasinasi akademik
Bentuk pernyataan
Favorable Unfavorable
Setuju 4 Setuju 2
Ragu-ragu 3 Ragu-ragu 3
Total 24
Total 32
Dikatakan valid apabila data memiliki nilai koefisien ≥ 0,30 dengan signifikansi
0,05 (Sugiyono, 2015). Menurut Azwar (2011), sebaliknya apabila jumlah yang
diinginkan dapat mempertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria 0,30
menjadi 0,25 atau paling tidak disarankan 0,20, maka jumlah aitem yang diinginkan
dapat tercapai (Herawati & Edi, 2016).
3.5.2 Uji Reliabilitas
Reliablitas menurut Herawati dan Edi (2016) adalah rangkaian indikator
gagasan laten yang konsisten dalam pengukurannya. Sementara Azwar (2018)
menjelaskan bahwa reliabilitas merupakan tingkat reliable/kepercayaan pada hasil
dari suatu pengukuran. Nurmally (dalam Widodo, dkk., 2010) menjelaskan bahwa
suatu variabel dapat dikatakan reliable apabila variabel tersebut memiliki nilai
Cronbach’s Alpha > 0,6.
3.5.3 Uji Asumsi
1. Uji Normalitas
Sugiyono (2017) menjelaskan bahwa uji ini dilakukan agar diketahui apakah
sampel yang diambil berasal dari populasi berdistribusi normal atau tidak. Herawati
dan Edi (2016) menjelaskan apabila dasar pengambilan keputusan dalam uji
normalitas adalah nilai signifikansi > 0,05 maka dapat dikatakan data tersebut
berdistribusi normal, dan sebaliknya apabila nilai signifikansinya < 0,05 maka data
tersebut tidak berdistirbusi normal. Dalam menguji alat ukur peneliti menggunakan
uji normalitas Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui distribusi data dikatakan
normal atau tidak.
2. Uji Linearitas
Herawati dan Edi (2016) menjelaskan bahwa uji linearitas dilakukan
bertujuan agar diketahui apakah ditemukan adanya korelasi yang linear secara
signifikan atau tidak pada variabel yang diteliti. Dasar pengambilan keputusannya
adalah jika nilai signifikansi > 0,05 maka hubungan antara dua variabel dapat
dikatakan linear, dan sebaliknya jika nilai signifikansinya < 0,05 maka hubungan
antara dua variabel dapat dikatakan bersifat tidak linear.
3. Uji Heteroskedastisitas
37
Laki-laki 46 47,5%
2 Jenis Kelamin 97
Perempuan 51 52,5%
38
39
3 32 33%
4 Semester 5 29 29,9% 97
7 36 37,1%
Madura 29 29,9%
Barista 15 15,5%
Waitress/Pelayan 12 12,4%
Lainnya 40 38%
Berikut ini merupakan tabel aitem skala prokrastinasi akademik setelah dilakukan
uji validitas.
Tabel 4.3 Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Prokrastinasi Akademik
Aitem
No. Aspek-Aspek Indikator Perilaku Jumlah
Fav Unfav
Total 16 16 32
Total 11 16 27
Total 12 12 24
Total 8 9 17
0.812 27
,716 17
Setelah melakukan uji deskriptif ditemukan hasil bahwa pada skala task
aversiveness didapatkan skor minimum 22 dan maksimum 69 dengan nilai rata-rata
(mean) sebesar 54,24 dan nilai standar deviasi sebesar 8,655. Pada skala
prokrastinasi akademik didapatkan skor minimum 33 dan skor maksimum 107
dengan nilai rata-rata (mean) sebesar 83,55 dan nilai standar deviasi sebesar 14,041.
Deskripsi data penelitian meliputi uraian tentang gambaran umum terhadap
subjek yang diteliti. Terdapat didalamnya, deskripsi yang dilakukan akan
memberikan gambaran mengenai kategorisasi data penelitian. Menurut Azwar
(2012) kriteria kategorisasi yang dipakai pada penelitian telah dibagi menjadi 3
kriteria yaitu rendah, tinggi dan sedang. Rincian pengkategorian dapat diperoleh
dengan rentang nilai berikut:
Tabel 4.11 Rumus Batas Kategorisasi
Kategori Batas Kategorisasi
Tinggi X ≥ (µ + 1 . σ)
Sedang (µ - 1 . σ) ≤ X < (µ + 1 . σ)
Rendah X < (µ - 1 . σ)
49
Keterangan :
X = Skor subjek
µ = Mean atau Rata-rata
σ = Standar Deviasi
1. Interpretasi Skala Task Aversiveness
Untuk mengetahui kategori tingkatan pada variabel task aversiveness dari
terendah, sedang, hingga tinggi maka didapatkan hasil analisis sebagai berikut:
Kategori tinggi:
Pedoman : X > (µ + 1 . σ)
= X ≥ (54,24 + 1 x 8,655)
= X ≥ (54,24 + 8,655)
= X ≥ 62,895
= X ≥ 63
Kategori sedang:
Pedoman : (µ - 1 . σ) ≤ X ≤ (µ + 1 . σ)
= (54,24 - 1 x 8,655) ≤ X ≤ (54,24 + 1 x 8,655)
= (54,24 - 8,655) ≤ X ≤ (54,24 + 8,655)
= 45,585 ≤ X ≤ 62,895
= 46 ≤ X ≤ 63
Kategori rendah:
Pedoman: X ≤ (µ - 1 . σ)
= X ≤ (54,24 - 1 x 8,655)
= X ≤ (54,24 - 8,655)
= X ≤ 45,585
= X < 46
= X ≥ (83,55 + 1 x 14,041)
= X ≥ (83,55 + 14,041)
= X ≥ 97,591
= X ≥ 98
Kategori sedang:
Pedoman : (µ - 1 . σ) ≤ X ≤ (µ + 1 . σ)
= (83,55 - 1 x 14,041) ≤ X ≤ (83,55 + 1 x 14,041)
= (83,55 - 14,041) ≤ X ≤ (83,55 + 14,041)
= 69,509 ≤ X ≤ 97,591
= 70 ≤ X < 98
Kategori rendah:
Pedoman: X ≤ (µ - 1 . σ)
= X ≤ (83,55 - 1 x 14,041)
= X ≤ (83,55 - 14,041)
= X ≤ 69,509,
= X < 70
Apabila data tidak berdistribusi normal, maka analisis data yang digunakan
termasuk uji statistik non-parametrik (Santoso, 2019).
Berdasarkan hasil uji linearitas pada tabel 4.17 didapatkan bahwa pada
variabel task aversiveness memiliki suatu hubungan yang linear dengan variabel
prokrastinasi akademik dengan nilai F deviation from linearity sebesar 1,419
dengan signifikansi sebesar 0,120 yang mana menunjukkan nilai lebih dari 0,05
(0,120 > 0,05). Dengan demikian hasil menunjukkan bahwa uji linieritas terdapat
hubungan yang linier antara task aversiveness dengan prokrastinasi akademik.
Kemudian dilanjutkan dengan uji asumsi klasik selanjutnya.
nilai signifikansi 0,000. Nilai signifikansi 0,000 < 0,05 artinya hipotesis diterima,
maka terdapat pengaruh task aversiveness terhadap prokrastinasi akademik pada
mahasiswa bekerja paruh waktu.
Berdasarkan jenis kelamin, untuk kategori yang tinggi task aversiveness lebih
banyak pada jenis kelamin perempuan, kemudian pada kategori sedang cukup
berimbang. Sementara itu, dilihat dari kategori task aversiveness rendah dikatakan
seimbang.
57
Berdasarkan usia, untuk kategori yang tinggi task aversiveness lebih banyak
dialami oleh mahasiswa bekerja paruh waktu yang berusia remaja akhir dibanding
usia dewasa awal. Sementara, kategori rendah lebih banyak pada usia dewasa awal.
Tabel 4.23 Analisis Crosstabulation Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Kategori
Rendah Sedang Tinggi Total
Jenis Pekerjaan Barista 0 12 3 15
Guru Les 2 20 4 26
Admin 0 6 1 7
Waiter 1 9 2 12
Front Office 1 2 0 3
Marketing 1 7 1 9
Lainnya 5 16 4 25
Total 10 72 15 97
Berdasarkan pekerjaan, untuk kategori yang tinggi task aversiveness lebih
banyak dirasakan oleh mahasiswa bekerja paruh waktu sebagai guru les dan barista,
dan lainnya. Sementara kategori rendah lebih banyak pada mahasiswa bekeja
sebagai lainnya seperti driver, editor konten, front office, dan SPG.
2. Analisis Crosstabulation Prokrastinasi Akademik
Tabel 4.24 Analisis Crosstabulation Berdasarkan Jenis Kelamin
Kategori
Rendah Sedang Tinggi Total
Jenis Kelamin Laki-laki 4 36 6 46
Perempuan 8 34 9 51
Total 12 72 15 97
4.3 Pembahasan
Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh task aversiveness terhadap
prokrastinasi akademik pada mahasiswa bekerja paruh waktu. Berdasarkan uji
statistic yang telah dilakukan dengan menggunakan uji regresi linear sederhana
diperoleh nilai F sebesar 116,877 dengan nilai signifikansi 0,000 yang artinya
hipotesis diterima atau dengan kata lain terdapat pengaruh task aversiveness
terhadap prokrastinasi akademik pada mahasiswa bekerja paruh waktu. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Linra, Nadjamuddin
dan Fakhri (2016) bahwa terdapat hubungan positif antara task aversiveness dengan
prokrastinasi akademik pada mahasiswa semester akhir. Individu yang memiliki
task aversiveness yang tinggi cenderung akan memiliki prokrastinasi akademik
yang tinggi juga. Begitu pula sebaliknya, individu yang memiliki task aversiveness
yang rendah cenderung memiliki prokrastinasi yang rendah juga.
Temuan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Kogoya dan Jannah (2021)
yang menjelaskan bahwa dari total 161 responden, sebanyak 106 responden
(65,8%) melakukan prokrastinasi akademik dipicu karena adanya karakteristik pada
tugas. Individu biasanya mengerjakan dengan cepat berbagai tugas harian yang
59
paruh waktu di Universitas Trunojoyo Madura berada pada kategori sedang yang
berjumlah 72 subjek. Individu yang masuk dalam kategori task aversiveness sedang
menandakan bahwa mahasiswa yang bekerja paruh waktu cenderung memiliki
perasaan negative atau ketidaksenangan terhadap tugas atau pekerjaan yang sedang
dihadapi (Blunt & Pychyl, 1999).
Rohcaini dan Leonardi (2022) menjelaskan bahwa tingkat task aversiveness
pada mahasiswa yang berada dalam tingkatan sedang menandakan bahwa
mahasiswa cenderung cukup terganggu akan adanya tugas akademik yang
sebenarnya merupakan manifestasi dari frekuensi meunda yang seringkali
dilakukan hingga pada akhirnya bosan dan menghasilkan persepsi bahwa tugas
adalah suatu hal yang tidak menyenangkan. Dalam menghadapi tugas yang dinilai
mengganggu, kognisi individu berperan bagaimana individu akan menyelesaikan
tugas tersebut meskipun tugas tersebut dinilai menganggu. Sedangkan secara
emosi, ketika individu menghadapi tugas yang menganggu, ia merasa tidak nyaman
dan merasa tidak senang (Premadyasari, 2012).
Kemudian pada analisis deskriptif terhadap aspek-aspek task aversiveness
menggambarkan bahwa aspek yang menyumbang persentase tertinggi merupakan
aspek resentment sebesar 43,74%. Penyebab tingginya persentase aspek tersebut
karena individu cenderung menunda pada suatu hal atau kegiatan yang tidak disukai
sehingga individu tidak turut serta pada suatu hal atau kegiatan tersebut dimana
dalam sisi lain merupakan respon penghindaran dari aktivitas yang dijalani ole
individu lain (Blunt & Pychyl, 2000).
Pada variabel prokrastinasi akademik juga dilakukan uji analisis deskriptif
yang menghasilkan kategorisasi yang menggambarkan bahwa terdapat 15 subjek
(15,5%) memiliki skor prokrastinasi akademik pada kategori tinggi, terdapat 70
subjek (72,2%) memiliki skor prokrastinasi akademik pada kategori sedang, serta
terdapat 12 subjek (12,4%) memiliki skor prokrastinasi akademik pada kategori
rendah. Maka dapat dilihat bahwa prokrastinasi akademik pada mahasiswa yang
bekerja paruh waktu di Universitas Trunojoyo Madura berada pada kategori sedang
yang berjumlah 70 subjek. Individu yang masuk dalam kategori prokrastinasi
akademik sedang menandakan bahwa individu cenderung melakukan penundaan
62
dalam menyelesaikan tugas yang sejatinya merupakan prioritas tinggi tanpa adanya
alasan yang mendasar dan masuk akal (Ferrari, 2001).
Kecenderungan pada penundaan oleh Adenia, Mustami’ah, dan Arya (2021)
dipersepsikan sebagai hal yang mengganggu dan membosankan sehingga memilih
untuk menunda dalam menyelesaikan suatu tugas. Lebih lanjut, individu yang
menganggap tugas sebagai hal yang membuat tidak nyaman, dan terlalu takut untuk
gagal hingga membuatnya kehilangan motivasi dan menurunkan kepercayaan diri,
maka lebih tinggi kemungkinannya dalam menjadi pelaku prokrastinasi akademik.
Saman (2017) menjelaskan hal yang sama bahwa pada mahasiswa yang memiliki
prokrastinasi akademik sedang menyadari penuh bahwa tugas akademik penting
dan akan langsung mulai untuk mengerjakan tugas tersebut untuk bisa segera
dikumpulkan. Sementara itu, sulitnya menemukan ide-ide dan referensi untuk
memulai mengerjakan tugas akademik, bukan menjadi alasan untuk menunda
menyelesaikan tugas bahkan responden membiasakan diri untuk mengerjakan tugas
tersebut tepat waktu. Selain itu, mahasiswa pada tingkat prokrastinasi akademik
sedang menujukan perilaku responden yang berleha-leha dalam mengerjakan tugas
kuliah. Anggapan responden bahwa alokasi waktu yang diberikan masih cukup
banyak, sehingga responden memilih untuk menunda mengerjakan.
Kemudian juga didapatkan hasil penelitian bahwa aspek yang menyumbang
presentase tertinggi merupakan aspek Penundaan untuk memulai dan
menyelesaikan tugas dengan nilai persentase sebesar 27,16%. Penyebab tingginya
persentase aspek tersebut karena seorang prokrastinator paham tentang tugas atau
pekerjaan yang ia miliki harus segera diselesaikan, tetapi lebih memilih menunda-
nunda untuk mulai mengerjakan atau menunda-nunda untuk menyelesaikan jika
sudah mulai dikerjakan sebelumnya (Ferrari, dkk., 1995).
Djamarah (2002) mengemukakan bahwa banyak mahasiswa yang mengeluh
karena tidak dapat membagi waktu kapan harus memulai dan mengerjakan sesuatu
sehingga waktu yang seharusnya dapat bermanfaat terbuang dengan percuma.
Adanya kecenderungan untuk tidak segera memulai mengerjakan tugas kuliah
merupakan suatu indikasi dari perilaku menunda dan kelalaian dalam mengatur
waktu dan merupakan faktor penting yang menyebabkan individu menunda dalam
63
untuk dikerjakan, tugas kuliah sulit untuk diselesaikan, bahkan menganggap tugas
akademik merupakan suatu tantangan bagi mahasiswa itu sendiri.
Berdasarkan jenis pekerjaan, untuk kategori yang tinggi task aversiveness
lebih banyak dirasakan oleh mahasiswa bekerja paruh waktu sebagai guru les dan
barista. Hasil tersebut sejalan dengan Maghfiroh, Sumiati, dan Zulaihati (2022)
yang menjelaskan bahwa mahasiswa yang bekerja paruh waktu cenderung memiliki
persepsi yang negatif tentang tugas akademiknya. Dibandingkan menyelesaikan
tugas akademiknya, mahasiswa memilih untuk bekerja karena mendapatkan
pemasukan. Kemudian juga diperkuat oleh Triyono dan Khairi (2018) yang
menjelaskan bahwa ketika individu memiliki pekerjaan yang melibatkan interaksi
dengan orang lain, individu membutuhkan tenaga ekstra dalam menjalankan
pekerjaannya. Menjadi guru les bagi mahasiswa tentu saja berdampak pada
terbengkalainya tugas-tugas akademiknya, selain itu stress yang muncul dari
pekerjaan tersebut juga menjadikan mahasiswa bermalas-malasan.
Analisis tambahan juga dilakukan pada skala prokrastiansi akademik.
Berdasarkan jenis kelamin, untuk kategori yang tinggi prokrastinasi akademik pada
jenis kelamin perempuan, kemudian pada kategori sedang cukup berimbang. Hasil
ini sejalan dengan Lubis dan Meliala (2022) yang menjelaskan bahwa prokrastinasi
yang tinggi pada perempuan disebabkan karena tingkat ketakutan dan kecemasan
terkait kegagalan yang tinggi. Perempuan cenderung menghabiskan lebih banyak
waktu hanya untuk mengkhawatirkan apa yang akan terjadi daripada memikirkan
cara untuk menyelesaikannya. Selain itu, beberapa mahasiswa perempuan yang
bekerja paruh waktu juga kurang yakin dengan kemampuannya sehingga cenderung
menunda pekerjaan jika kurang percaya diri dalam melaksanakan pekerjaan
tersebut ia takut terjadi kesalahan. Siswa yang berkarakter moody merupakan orang
yang hampir sering menunda pekerjaan. Harapan yang tidak realistis dan sikap yang
terlalu perfeksionis juga memungkinkan menjadi alasan terjadinya perilaku
prokrastinasi (Steel, 2007).
Berdasarkan usia, untuk kategori yang tinggi prokrastinasi akademik lebih
banyak dialami oleh mahasiswa bekerja paruh yang berusia remaja akhir dibanding
usia dewasa awal. Hasil temuan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Tjundjing
65
dan Kartadinata (2007) yang mengungkapkan bahwa alasan paling dominan dalam
prokrastinasi adalah keengganan akan tugas (seperti kemalasan, merasa
kewalahan), tidak mampu mengatur waktu dengan baik dan sulit untuk mengambil
keputusan. Khoirunnisa, et. al. (2021) menambahkan bahwa pada fase remaja akhir,
individu sulit memanajemen waktu dengan baik. Hal ini menyiratkan
ketidakpastian prioritas, tujuan dan objektivitas sang pelaku. Karena ketiakpastian
itulah, para prokrastinator tidak tahu tujuan mana yang harus dicapai terlebih
dahulu, sehingga sering mengerjakan aktivitas lain disamping tujuan utamanya. Hal
itu membuatnya tidak fokus dalam menyelesaikan tugas, yang akhirnya dapat
membuat pekerjaan menjadi berantakan dan tidak dapat selesai tepat pada waktu
yang telah ditentukan.
Berdasarkan jenis pekerjaan, untuk kategori yang tinggi prokrastinasi
akademik lebih banyak dirasakan oleh mahasiswa bekerja paruh waktu sebagai
barista dan guru les. Wicaksono (2018) menggambarkan bahwa menjadi barista
membutuhkan waktu untuk berlatih dengan intensif. Berlatih tersebut meliputi
teknik meracik bahan-bahan minuman, teknik membuat latte art dan cara
menggunakan alat-alat di kafe. Waktu yang dibutuhkan dalam berlatih tersebut oleh
Young dan Fritzche (2022) akan membuat aktivitas lainnya menjadi terhambat
karena ketidakmampuan individu dalam mengatur waktu. Ketika sudah intensif
belajar sebagai barista, individu akan menganggap dirinya menjadi terlalu sibuk
dan sulit untuk beristirahat jika dibarengi dengan mengerjakan tugas akademik.
Kemudian, pada mahasiswa bekerja paruh waktu sebagai guru les juga
menunjukkan karakteristik procrastinator yakni menganggap pekerjaan sebagai
guru les tidak dapat dilakukan tanpa kehadirannya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan temuan hasil penelitian yang telah dilakukan dan uraian
pembahasan di atas, diperoleh nilai F sebesar 116,877 dengan nilai signifikansi
sebesar 0,000 (p<0,05) maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis diterima
yang artinya terdapat pengaruh task aversiveness terhadap prokrastinasi akademik
pada mahasiswa bekerja paruh waktu. Berdasarkan uji korelasi ditemukan nilai
koefisien korelasi sebesar 0,743 yang artinya bahwa task aversiveness memiliki
hubungan yang positif dan isgnifikan dengan prokrastinasi akademik, hal ini dapat
diartikan bahwa semakin tinggi task aversiveness semakin tinggi pula prokrastinasi
akademiknya. Berdasarkan uji hipotesis ditemukan nilai R Square sebesar 0,552
atau 55,2% yang artinya task aversiveness mempengaruhi prokrastinasi akademik
sebesar 55,2% dan sisanya yaitu 44,8% dipengaruhi oleh faktor lain selain task
aversiveness.
Sebagian besar mahasiswa bekerja paruh waktu memiliki task aversiveness
dalam kategori sedang, artinya mahasiswa bekerja paruh waktu cenderung memiliki
merasa terganggu akan hadirnya suatu tugas atau pekerjaan sehingga menjadikan
individu enggan menyelesaikannya, sebagian penyebabnya bisa datang dari
persepsi buruk tentang tugas atau pekerjaan tersebut dan menganggap tugas
tersebut membosankan. Mahasiswa bekerja paruh waktu juga memiliki
prokrastinasi akademik yang sedang, artinya individu cenderung melakukan
penundaan dalam menyelesaikan tugas yang berhubungan dengan bidang
akadmik,yakni tugas kuliah sebagai akibat adanya persepsi tidak menyenangkan
terhadap tugas kuliah tersebut. Apabila berlangsung dalam kurun waktu yang lama
dapat menjadi sebuah kebiasaan.
68
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat saran yang
diberikan peneliti untuk beberapa pihak terkait dengan harapan dapat menjadi
manfaat yaitu:
1. Bagi subjek penelitian
Peneliti menyarankan kepada mahasiswa bekerja paruh waktu agar lebih
dapat meningkatkan kemampuannya dalam memanajemen diri terutama pada
manajemen waktu. Mahasiswa bekerja paruh waktu dapat melakukan journaling
atau scheduling untuk menuliskan tugas-tugas apa saja yang harus diselesaikan
beserta tenggat waktu pengumpulannya. Hal tersebut dapat dilakukan agar tidak
terjadi kesulitan atau kebingungan dalam menyeimbangkan waktu antara bekerja
dan tugas akademik sehingga untuk meminimalisir terjadinya prokrastinasi
akademik.
2. Bagi orang tua mahasiswa
Diharapkan bagi orang tua mahasiswa apabila sudah mengetahui bahwa
mahasiswa memutuskan bekerja paruh waktu agar senantiasa mengingatkan untuk
tidak melupakan tugas akademiknya untuk mengantisipasi atau menghindari
penundaan dalam mengerjakan tugas perkuliahan. Sebagian mahasiswa
membutuhkan atensi dan perhatian lebih dari orang tua, bukan hanya sekadar
keuangan tetapi lebih pada ikatan antara orang tua dan anak.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian dengan permasalahan
yang sama disarankan untuk menambah atau menganalisis variabel-variabel lain
seperti stres akademik, motivasi berprestasi atau dukungan sosial yang juga yang
berkontribusi pada prokrastinasi akademik. Peneliti selanjutnya disarankan agar
dapat menambah jumlah subjek uji coba agar dapat diperoleh lebih banyak item-
item valid dan lebih menyeimbangkan jumlah mahasiswa dari masing-masing
fakultas.