Anda di halaman 1dari 21

HUBUNGAN ANTARA SELF-REGULATED LEARNING DENGAN PRESTASI

AKADEMIK SISWA DI SMK MUHAMMADIYAH 1 TAMAN SIDOARJO

1. Latar Belakang Masalah

Di dunia pendidikan, khususnya pada jenjang Pendidikan SMK, Prestasi


merupakan sebuah hal yang sangat penting. Setiap siswa diharapkan mampu mencapai
prestasi yang sudah distandarkan. Hal tersebut dikarenakan skor prestasi akademik yang
tinggi masih dianggap sebagai faktor yang penting untuk menentukan keberhasilan siswa
baik untuk jenjang yang lebih tinggi ataupunn juga sebagai landasan karir di masa depan.
Undang - Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang tujuan
pendidikan nasional dan pasal 15 yang menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan adalah
pendidikan formal menengah yang mempersiapkan siswa untuk bekerja di bidang
tertentu. Hal ini berarti, selain belajar pelajaran umum, siswa SMK juga belajar keahlian
khusus yang ia pilih. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat di tarik kesimpulan bahwa
siswa SMK mempunyai tuntutan tambahan daripada siswa yang bukan SMK, jika siswa
yang bukan SMK hanya dituntut untuk berhasil dalam hal akademik, maka siswa SMK
juga dituntut untuk berhasil dalam praktek yang sesuai dengan jurusannya sebagai bekal
untuk berhasil dalam dunia kerja.
Hendriks, dkk (2011) mengatakan bahwa prestasi akademik merupakan nilai
siswa selama periode tertentu. Nilai disini yang dimaksud adalah nilai dari hasil ujian di
sekolah yang dianggap cukup mampu untuk mengukur prestasi akademik siswa.
Sedangkan slavin (2014) berpendapat bahwa prestasi akademik merupakan sebuah hasil
dari evaluasi dan penilian terhadap performa siswa melalui penilaian dan kuis penilaian
tertulis, berupa angka atau nilai.
Sobur (2016) menjelaskan bahwa prestasi akademik adalah sebuah perubahan
pada hal kecakapan tingkah laku atau kemampuan yang bisa bertambah dalam kurun
waktu yang tidak disebabkan oleh proses pertumbuhan, tetapi disebabkan karena adanya
proses belajar. Prestasi akademik dipandang sebagai bukti sebuah usaha yang diperoleh
siswa yang di tuliskan dalam bentuk angka. Faktor-faktor dari prestasi akademik adalah
faktor internal dan faktor eksternal (Sobur, 2016). Adapun faktor yang bersumber dari
dalam diri siswa atau faktor internal dari prestasi akademik adalah faktor fisiologis dan
faktor psikologis, termasuk di dalamnya adalah self-regulated learning. Hal ini sama
dengan yang dikatakan Chung (2002) yang mengatakan bahwa belajar tidak hanya
dipengaruhi oleh aspek eksternal saja, melainkan juga dipengaruhi oleh aspek yang
berasal dari dalam diri sendiri (self-regulated). Oleh sebab itu, belajar harus dipahami
sebagai sebuah proses yang aktif, konstruktif dan self-regulated.
Zimmerman (1990) menjelaskan bahwa selfregulated learning mempunyai tiga
aspek yaitu yang pertama adalah penggunaan berbagai macam strategi regulasi diri, yang
kedua adalah responsivitas terhadap umpan balik tentang keefektivan proses belajar dan
yang ketiga adalah interdependensi proses motivasi. Regulasi belajar digambarkan
sebagai sebuah strategi yang digunakan siswa untuk mengelola kognisinya (menggunakan
strategi kognitif dan metakognitif) dan juga penggunaan strategi untuk mengelola sumber
ilmu pengetahuan (Pintrich, 1999).
Self-regulated learning adalah sebuah proses dimana siswa mengaktifkan,
kognisinya, perilakunya dan perasaannya secara berurutan dan mampu mengorientasi
pada pencapaian tujuan. Siswa yang belajar secara selfregulated learning akan
mentransformasikan kemampuan – kemampuan mentalnya menjadi sebuah keterampilan
– keterampilan berupa strategi akademik (Zimmerman, 2002).
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti ditemukan kebiasaan – kebiasaan siswa
yang kurang baik diantaranya seperti mengerjakan PR dalam kelas sebelum pelajaran
dimulai dan menjadikan ruang UKS sebagai tempat untuk membolos pelajaran karena
lupa mengerjakan tugas. Dari hasil wawancara beberapa wali kelas diketahui bahwa
prestasi akdemik siswa banyak yang dibawah KKM. Hal ini terjadi salah satunya adalah
karena kurang aktifnya siswa di dalam kelas. Dari hasil wawancara beberapa siswa juga
diketahui bahwa kebanyakan dari mereka menggunakan hampir semua waktunya dirumah
untuk bermain. Berdasarkan fenomena diatas, kebiasaan – kebiasaan yang telah
dipaparkan diatas dapat dihilangkan jika siswa dapat mencapai kemandirian dalam
belajar.
Pintrich, Roeser, dan De Groot (1994) mengungkapkan jika siswa yang prestasi
akademiknya tinggi lebih banyak memanfaattkan strategi-strategi yang ada pada self-
regulated learning daripada siswa yang mempunyai prestasi rendah. Hal ini karena self–
regulated learning mempunyai sebuah keunggulan atau nilai positif yaitu berada pada
penentuan tujuan, perencanaan, dan memonitor diri dimana ketiga hal positif tersebut
merupakan aspek penting bagi prestasi siswa. Oleh karena itu, siswa harus memiliki
kemampuan self–regulated learning untuk menunjang keberhasilan proses belajarnya.
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMATANGAN KARIR
PADA SISWA KELAS XI SMK YAYASAN PHARMASI SEMARANG

2. Latar Belakang Masalah


Terdapat tiga tugas perkembangan penting remaja yaitu pembentukan identitas
karir, pemilihan nilai-nilai hidup, dan pembentukan identitas seksual (Papalia, Olds, &
Feldman, 2009). Remaja membentuk identitas karir dengan cara melakukan pemilihan
karir dan persiapan diri untuk bekerja demi mencapai kemandirian ekonomis (Hurlock,
2003). Pilihan karir remaja erat kaitannya dengan kematangan karir, perkembangan karir
berjalan seiring pertambahan usia dan mulai mengalami dinamika yang penting pada
masa SMA (Miller & Mitchell, dalam Wijaya, 2008). Kematangan karir menurut Super
(dalam Winkel & Hastuti, 2012) adalah keberhasilan individu mencapai tugas-tugas
perkembangan karir sesuai dengan tahapan tertentu. Remaja usia 15 – 24 tahun telah
memasuki tahap eksplorasi. Pada tahap eksplorasi remaja mulai merencanakan karir yang
sesuai dengan minat, nilai dan kemampuan yang dimiliki serta memikirkan alternatif
pilihan karir (Super, dalam Sharf, 2010).
Remaja beranggapan sekolah merupakan bagian dari usaha untuk mempersiapkan
karir dengan sungguh-sungguh (Mighwar, 2006). Maka dari itu Sekolah Menengah
Kejuruan adalah salah satu wadah pendidikan formal yang dijalani oleh remaja usia 15 –
18 tahun. Sekolah Menengah Kejuruan merupakan bagian dari sistem pendidikan
nasional yang bertujuan mempersiapkan siswa-siswa yang memiliki keterampilan dan
pengetahuan sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja serta mampu mengembangkan
potensi diri dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi (Wakhirudin, 2009). Namun
survei Angkatan Kerja Nasional tahun 2013 – 2017 mencatat pengangguran lulusan
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) meningkat selama lima tahun terakhir (BPS, 2017).
Pada tahun 2016 pengangguran paling besar juga terjadi pada lulusan Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) di Jawa Tengah sebanyak 271.828 jiwa (BPS, 2016). Pengangguran ini
disebabkan oleh kurangnya perencanaan karir, kualitas lulusan yang tidak sesuai dengan
standar pekerjaan, dan permintaan kerja dari siswa lulusan SMK melebihi lapangan kerja
yang tersedia (Oebadillah, 2018). Selain itu fakta yang didapatkan melalui penelitian
yang dilakukan oleh Prahesty dan Mulyana (2013) menyatakan rata-rata siswa SMK
memiliki kematangan karir yang lebih rendah dibanding siswa SMA dan MA karena
beberapa siswa SMK mengaku merasa ragu-ragu apakah pilihan karirnya sesuai dengan
jurusan yang dipilih saat bersekolah atau malah sebaliknya. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Muhajirin (2014) juga menunjukan bahwa sebagian besar siswa SMK
mengalami kesulitan dalam melakukan pengambilan keputusan karir. Hal ini menunjukan
bahwa siswa SMK belum siap mengambil keputusan karir yang nantinya akan
berpengaruh pada rendahnya kematangan karir. Ketidaksiapan ini akan menjadi
penghambat dalam tugas perkembangan remaja dalam mempersiapkan karir (Santrock,
2007).
Shertzer dan Stone (dalam Winkel & Hastuti, 2012) berpendapat bahwa
kematangan karir dipengaruhi faktor internal salah satunya adalah faktor kepribadian
meliputi sifat-sifat kepribadian seperti konsep diri. Konsep diri adalah gambaran
deskriptif dan evaluatif tentang diri sendiri (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Super
menyatakan bahwa masa remaja adalah masa dimana individu mulai membangun konsep
diri tentang karir, remaja mengimplementasikan konsep dirinya dalam memilih karir.
Seseorang mewujudkan konsep diri dalam suatu bidang jabatan yang paling
memungkinkan untuk mengekspresikan diri sendiri. Seseorang akan mendapatkan hasil
yang baik dalam berkarir jika orang tersebut mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan
karakteristik dirinya (Winkel & Hastuti, 2012).
Pengaruh Kemandirian terhadap Kematangan Karir
Siswa Kelas XII SMKN di Kota Bandung

3. Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan suatu negara yang berkembang, seiring berjalannya waktu
perubahan terjadi pada Indonesia. Perubahan yang sangat dirasakan saat ini adalah
perubahan dalam bidang pendidikan dan perekonomian, dimana keduanya akan saling
mempengaruhi. Pada dasarnya pendidikan yang diambil seseorang akan erat kaitannya
dengan karir dimasa depannya.
Kematangan karir sangat penting bagi siswa SMK, karena salah satu permasalahan
yang akan dihadapi setelah lulus yaitu menyangkut pemilihan karir dan pekerjaan.
Tingkat kematangan karir akan menetukan kualitas pemilihan karir dan persiapan diri
memasuki karir yang diminatinya. Kematangan karir adalah kemampuan individu untuk
membuat rencana karir, mencari informasi mengenai dunia kerja, menggunakan informasi
pekerjaan yang telah diperoleh untuk merencanakan karir, menggunakan informasi
pekerjaan untuk diri sendiri serta mulai menetapkan bidang pekerjaan. Untuk melewati
tahapan tersebut remaja harus memiliki kemandirian agar dapat menemukan tujuan karir
yang akan dipilih berdasarkan informasi yang telah didapatkan. Kemandirian remaja
ditunjukkan dengan tingkah laku yang ditampilkan adalah atas keinginannya sendiri serta
bertanggung jawab atas keputusan yang telah dibuatnya.
Super mengatakan kematangan karir yang baik dimulai pada saat siswa kelas XII
karena siswa berada dalam tahap eksplorasi, dimana siswa mulai mengidentifikasi
pekerjaan dan mengimplementasikan pemilihan karir melalui pendidikan dan pelatihan
sesuai minatnya sehingga dapat memasuki pekerjaan sesuai pilihan dan minatnya. (dalam
Antos Riady, 2014:02 dalam Fatmasari, 2017). Dengan demikian, siswa kelas XII SMK
seyogyanya sudah cukup mandiri dalam mengambil keputusan karirnya.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini sebagai berikut: “1. Bagaimana gambaran kemandirian siswa kelas XII
SMKN di Kota Bandung ? 2. Bagaimana gambaran kematangan karir siswa kelas XII
SMKN di Kota Bandung ? 3. Seberapa besar pengaruh kemandirian terhadap kematangan
karir siswa kelas XII SMKN di Kota Bandung ?” Selanjutnya, tujuan dalam penelitian ini
yaitu untuk menguji pengaruh kemandirian terhadap kematangan karir siswa kelas XII
SMKN di Kota Bandung.
Hubungan Antara Efikasi Diri Dengan Penyesuaian Diri Santri Baru Di
Pondok Tahfidzul Qur’an Di Kecamatan Sirampog Kab. Bumiayu

4. Latar Belakang Masalah


Menghafal Al-Qur’an merupakan tradisi yang telah lama dilakukan di berbagai
wilayah nusantara. Awal mula terjadinya tradisi menghafal Al-Qur’an ini dilakukan para
ulama timur tengah melalui para guru, selanjutnya menyebar dan banyak diminati
masyarakat Indonesia (Lutfy, 2013). Pondok pesantren menurut Wahid (2001) merupakan
tempat tinggal sekaligus lembaga pendidikan para santri dibawah bimbingan Kyai.
Pondok pesantren merupakan wadah bagi orang tua yang mengharapkan putraputri
mereka menjadi tahfidz atau penghafal Al-Qur’an. Kurikulum yang ditawarkan pondok
pesantren berbeda dengan kurikulum yang ditawarkan sekolah umum. Pondok pesantren
membekali murid-murid didik yang biasa disebut santri dengan ilmu-ilmu agama.
Harapan pondok pesantren saat santri hidup bermasyarakat santri memiliki pengetahuan
yang luas, serta keimanan dan taqwa..
Penyesuaian diri merupakan proses mental dan perilaku umtuk mendorong
seseorang melakukan adaptasi dengan keinginan yang ada di dalam diri (Schneiders,
1964). Penyesuaian diri secara umum adalah reaksi individu terhadap rangsangan yang
terbentuk dari dalam diri maupun situasi yang bersumber dari lingkunganya. Penyesuaian
diri penting dalam kehidupan manusia karena perlu dilakukan agar kehidupan yang
dijalani seimbang dan tidak menimbulkan tekanan dalam diri masingmasing individu.
Sa'idah (2017) menyatakan bahwa beberapa santri baru di pondok pesantren Darut Taqwa
Gresik mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan pondok pesantren. Hal
ini didasari sulitnya santri baru melakukan sosialisasi dengan baik, mereka terlebih dulu
merasa putus asa dan tidak yakin terhadap dirinya sendiri bahwa mereka mampu
bersosialisasi dengan baik.
Hoerjdan (1987) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai usaha untuk mengatasai
sebuah kesulitan atau hambatan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
penyesuaian diri merupakan proses perubahan dalam diri individu, dimana individu
tersebut mepelajari sikap baru agar dapat beradaptasi dengan keadaan yang berbeda dari
keaadaan sebelumnya sehingga tercapai tujuan akhir yang diharapkan dan terhindar dari
konflik dan frustasi. faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diridapat disimpulkan
penyesuaian diri dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu : keadaan fisik,
perkembangan dan kematangan, kebudayaan, keadaan lingkungan, tingkat religiusitas, ,
teman sebaya, pengajar, dalam faktor keadaan psikologis terdapat variabel efikasi diri
atau keyakinan diri, lingkungan sekolah atau pondok pesantren.
Bandura (2009) merupakan tokoh yang pertama kali mengungkapkan teori efikasi
diri. Efikasi sendiri menurut Bandura adalah kemampuan yang hanya dapat dirasakan
oleh individu untuk mengatasi situasi tertentu yang berhubungan dengan kemampuan
untuk melakukan suatu perilaku sesuai dengan tugas atau situasi tertentu. Keyakinan diri
adalah sebagai penilaian individu terhadap keyakinan dan kemampuan diri sendiri dengan
menunjukan perilaku yang dibutuhkan dalam suatu tugas yang dihadapi. Efikasi diri
adalah kemampuan individu meyakini diri dapat memecahkan masalah yang dihadapi.
Efikasi diri merupakan keyakinan terhadap kemampuan seseorang untuk mengatur
tindakan yang akan dilakukan dengan tujuan mencapai hasil yang diinginkan (Alwisol
2004). Keyakinan yang mempengaruhi tindakan tertentu harus selaras dengan usaha dan
ketekunan dalam menghadapi tantangan serta kegagalan yang akan dihadapi (Chemers,
Hu, & Garcia, 2001). Mahendrani (2014) mengungkapkan bahwa efikasi diri merupakan
keyakinan yang dimiliki oleh seseorang individu dalam memahami kemampuan yang
dimiliki untuk mencapai tujuan dan mengatasi hambatan dalam menyelesaikan tugas
tertentu. Bandura menyatakan bahwa efikasi diri dapat menentukan perilaku yang
muncul, bagaimana individu mampu menghadapi permasalahan yang menimpa,
mengalami berbagai kesuksesan dan kegagalan dalam mengemban tugas yang diberikan
menjadi salah satu penentu kehidupan di masa mendatang (Friedman & Schustack, 2006).
Hubungan Stres Akademik dan Self-Regulated Learning
Dengan Kecanduan Jejaring Sosial

5. Latar Belakang Masalah


Internet merupakan salah satu teknologi informasi yang berkembang dengan
sangat pesat dan telah menjadi kebutuhan pada masa ini, hal ini karena penggunanya
dapat menemukan dan mengakses informasi dari seluruh dunia dengan cepat dan mudah
(Basnur dan Dana, 2010). Buente dan Alice (2008) dalam studinya tentang tujuan
penggunaan internet pada warga Amerika yang dilakukan antara Maret 2000 hingga
November 2004, mendapatkan hasil bahwa penggunaan internet dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa tujuan yaitu sebagai media informasi, komunikasi, hiburan dan
transaksi.
Internet pun sudah merambah ke berbagai rentang usia, tak terkecuali pada
remaja, hal ini berdasarkan hasil survey dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) pada tahun 2016 yang bertujuan untuk mengetahui penetrasi dan
perilaku pengguna internet Indonesia, menyebutkan bahwa sekitar 24,4 juta dari total
132,7 juta pengguna internet di Indonesia berusia 10-24 tahun (APJII, 2016). Bermain
internet merupakan salah satu aktivitas yang saat ini banyak digemari oleh remaja,
terutama untuk mencari informasi dan menjalin hubungan dengan orang-orang dari
berbagai tempat (Ningtyas, 2012). Imran (dalam Widiantari dan Yohanes, 2013)
menyebut salah satu layanan internet yang biasa diakses untuk saling berkomunikasi dan
berinteraksi diantara sesama pengguna internet disebut dengan jejaring sosial.
Hasil survey selanjutnya dari APJII (2016) mengatakan bahwa salah satu jenis
konten di internet yang paling banyak diakses adalah media sosial dengan persentase
sebesar 97,4%, dimana jejaring sosial adalah bagian dari media sosial (Mayfield, 2008).
Situs jejaring sosial merupakan situs yang paling diminati pengguna internet di seluruh
dunia (Cam dan Onur, 2012). Pada dasarnya, kehadiran internet memiliki berbagai
manfaat penting, namun penggunaan yang kurang bijak dalam hal mengakses internet
dapat menyebabkan kecanduan (Hur, 2006). Di dalam internet, penggunanya dapat
mengakses berbagai layanan yang berpotensi menjadi kecanduan layanan internet secara
umum maupun kecanduan layanan internet secara spesifik atau pada salah satu jenis
layanan yang sering mereka akses (Kuss dan Mark, 2011). Secara khusus, Young (dalam
Soetjipto, 2005) berpendapat bahwa kecanduan internet digolongkan menjadi lima jenis,
yakni computer addiction (kecanduan game komputer), information overload (kecanduan
dalam mencari informasi dari internet), net compulsions (kecanduan jual-beli atau
perjudian online), cybersexual addiction (kecanduan mengakses situssitus dewasa) dan
cyber-relationship addiction (kecanduan menjalin hubungan secara online). Salah satu
jenis kecanduan internet adalah cyber relationship addiction yang bermakna kecanduan
individu untuk melakukan hubungan pertemanan melalui internet, bentuknya dapat
berupa kecanduan jejaring sosial, karena tujuan dan motivasi utama individu
menggunakan jejaring sosial adalah untuk membangun dan mempertahankan hubungan
secara online (Kuss dan Mark, 2011).
Kecanduan jejaring sosial adalah bagian dari kecanduan internet yang dapat
diartikan sebagai penggunaan internet yang berlebihan terutama dalam mengakses situs
jejaring sosial dan dapat mengganggu kegiatan sehari-hari, sosial, atau pekerjaan individu
(Kirik, Ahmet, Ahmet dan Mehmet, 2015).
Menurut Kuss dan Mark (2011), berbagai macam fitur yang terdapat pada situs
jejaring sosial dapat menjadi salah satu penyebab kecanduan jejaring sosial, terutama
meningkatnya waktu dalam ber-internet, khususnya mengakses situs jejaring sosial pada
remaja. Hasil screening menyebutkan durasi online sebagian besar subjek berkisar mulai
dari 5 jam sampai lebih dari 7 jam dalam sehari, bahkan 60% dari mereka mengaku
bahwa sering online lebih lama dari yang direncanakan.
Al-Absi (2007) berpendapat bahwa salah satu faktor yang dapat membuat
kecanduan adalah stres. Remaja memiliki risiko lebih besar dalam mengakses layanan
internet secara berlebihan, penyebabnya adalah rasa ingin mengatasi tekanan psikologis,
sehingga internet menjadi sebuah hiburan (Kim, 2013). Menurut Bian dan Louis (2014),
individu yang melampiaskan rasa stres dengan cara menggunakan internet biasanya juga
aktif dalam situs jejaring sosial yang digunakan sebagai tempat untuk menyampaikan
keluh kesah.
Finkeilstein, Laura dan Elisabeth (2004) menemukan bahwa sumber stress yang
paling sering dihadapi para remaja adalah hal-hal yang berhubungan dengan akademik,
teman sebaya, dan hal-hal pribadi. Stres akademik merupakan bentuk stres yang paling
sering dialami oleh para siswa, baik di tingkat sekolah ataupun di perguruan tinggi (Gaol,
2016). Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya tuntutan akademik yang harus dihadapi,
misalnya ujian, tugas sekolah, presentasi di depan kelas, dan lain-lain (Gaol, 2016).
Stres akademik didefinisikan sebagai hasil kombinasi dari tuntutan akademik yang
melebihi sumber daya individu yang tersedia untuk menghadapi tuntutan tersebut (Wilks,
2008). Selain stres akademik, remaja dengan kinerja akademik yang buruk cenderung
mengalami kecanduan pada layanan internet, termasuk kecanduan jejaring sosial (Song,
2010). Penggunaan situs jejaring sosial yang berlebihan oleh remaja, dapat menurunkan
prestasi akademis mereka (Rouis, Moez dan Esmail, 2011). Selain kinerja akademik yang
buruk, penggunaan internet yang berlebihan, termasuk mengakses jejaring sosial,
berkaitan dengan longgarnya peraturan di rumah tentang durasi penggunaan internet
(Mythily, Qiu danWinslow, 2000).
Seperti individu pecandu alkohol yang meningkatkan konsumsi alkoholnya
menjadi lebih banyak untuk mencapai kepuasan, individu yang kecanduan pada layanan
internet rutin menghabiskan waktu yang semakin banyak pula untuk kegiatan online-nya
(Young, 2004). Individu yang kecanduan jejaring sosial, tidak dapat mengendalikan
waktu yang mereka habiskan untuk online (Turel dan Muhammet, 2015).
Maka, untuk mencapai kinerja akademik yang lebih baik, siswa perlu regulasi diri
yang baik agar dapat menghindari dirinya dari perilaku kecanduan jejaring sosial,
sebagaimana yang dikatakan oleh Chung (2000) bahwa proses belajar tidak hanya
dikontrol oleh aspek eksternal saja, melainkan juga dikontrol oleh aspek internal yang
diatur sendiri (self-regulated learning). Regulasi diri dalam belajar atau self regulated
learning adalah suatu kegiatan pengaturan proses-proses kognitif yang dilakukan oleh diri
sendiri untuk mencapai kesuksesan tujuan belajar (Ormrod, 2009). Regulasi diri
merupakan penggunaan suatu proses yang mengaktivitasi pemikiran, perilaku, dan
perasaan yang terus menerus dalam upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(Sofia, Mulyana, Firma dan Verlanda, 2017).
HUBUNGAN SELF-REGULATED LEARNING
DENGAN PROKRASTINASI AKADEMIK PADA SISWA AKSELERASI

6. Latar Belakang Masalah


Mengikuti arus zaman yang terus melaju pesat, harus diikuti juga dengan
kemampuan intelektual yang tinggi dan mencetak generasi-generasi baru yang juga
dituntut untuk memiliki kemampuan kognitif dan mental yang tinggi agar dapat bertahan
dan bersaing untuk mencapai sukses. Salah satu antisipasi atau cara yang ditempuh
pemerintah Indonesia untuk membentuk generasi yang unggul adalah dengan
mengadakan terobosan dalam dunia pendidikan, yaitu dengan membentuk program
percepatan atau biasa disebut akselerasi (Hawadi, 2004).
Kelas akselerasi merupakan kelas yang memberlakukan percepatan dalam masa
studi dan kurikulumnya sehingga siswa dengan syarat tertentu saja yang dapat menjadi
siswa akselerasi. Seperti kemampuan intelegensi diatas 130, memiliki dan pengikatan
pada tugas yang baik (Depdiknas, 2007). Program akselerasi dilakukan oleh peserta didik
yang memiliki kemampuan luar biasa (unggul) dalam rangka mencapai target kurikulum
Nasional dengan mempertahankan mutu pendidikan sehingga mencapai hasil yang
optimal (Syamril & Nuryana, 2008).
Program percepatan belajar adalah salah satu program layanan pendidikan khusus
bagi peserta didik yang oleh Renzulli (dalam Hawadi, 2004) telah diidentifikasi memiliki
kemampuan intelektual umum pada taraf cerdas, memiliki kreativitas dan keterikatan
terhadap tugas di atas rata-rata, untuk dapat menyelesaikan program pendidikan sesuai
dengan kecepatan belajar mereka. Sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti
dengan R guru BK di SMA Negeri 1 Samarinda pada tanggal 16 November 2013, di
SMA Negeri 1 Samarinda sendiri telah menetapkan beberapa tahapan yang harus dilalui
siswa untuk masuk dalam kelas akselerasi yaitu berupa tes akademik yakni mengerjakan
soal matematika, fisika, kimia, Biologi, bahasa Indonesia dan bahasa inggris, tujuannya
adalah untuk mengetahui sejauh mana pemahaman calon siswa akslerasi terhadap mata
pelajaran tersebut serta tes wawancara dengan kriteria penilaian tangguh dan mandiri,
bertanggung jawab, menetapkan tujuan yang realistis dengan tingkat risiko sedang, suka
belajar dan memiliki orientasi tugas yang baik, konsentrasi baik, mempunyai hasrat untuk
meningkatkan diri, mempunyai hasrat untuk bekerja sebaik-baiknya, mempunyai hasrat
untuk berhasil bidang akademis. Melalui hal tersebut sudah dapat dipastikan bahwa
siswasiswi pada kelas akselerasi memiliki beban tugas yang lebih besar terhadap diri
sendiri dan tugas-tugas sekolahnya dibandingkan siswa-siswi di kelas lain.
Siswa akselerasi adalah siswa yang memiliki inteligensi diatas rata-rata. Dengan
demikian prestasi akademiknya berbeda dengan siswa reguler pada umumnya. Namun
pada kenyataannya banyak siswa akselerasi yang memiliki prestasi akademik yang biasa
biasa saja bahkan rendah, tidak sedikit siswa program akselerasi yang dipindahkan ke
kelas regular. Menurut data yang didapat melalui sesi wawancara dengan R guru BK
kelas akselerasi di SMA Negeri 1 Samarinda pada tanggal 17 November 2013,
menjelaskan bahwa pada tahun 2011 pernah terjadi pergeseran drastis pada kelas
akselerasi, dari 26 siswa dalam satu kelas hanya tersisa 17 orang saat diadakan
perpindahan kelas hal ini terjadi karena nilai mata pelajaran yang menurun dan
keterlambatan dalam pengumpulan tugas yang sering dilakukan. Hal ini tentu menjadi
sebuah permasalahan pada program kelas akselerasi karena pada hakikatnya siswa-siswi
akselerasi dituntut untuk mampu mekasimalkan kecerdasan istimewa dan bakat istimewa
yang dimiliki.
Menurut Fasikhah dan Fatimah (2013) permasalahan tersebut berdampak buruk
terhadap siswasiswi akselerasi diantaranya adalah kurangnya kemampuan siswa dalam
menyelesaikan tanggung jawab terhadap diri sendiri, tugas-tugas sekolah dan juga
kegiatan didalam maupun diluar sekolah yang berakibat pada penurunan kualitas dan
kuantitas siswa akselerasi terutama dalam penelitian ini adalah siswa akselerasi di SMA
Negeri 1 Samarinda yang diharapkan mampu mencetak siswa-siswi berprestasi dan
terpilih setiap tahunnya. Savira dan Suharsono (2013). Menjelaskan bahwa ketika siswa
akselerasi dengan berbagai harapan yang ada memiliki pengaturan diri yang buruk dalam
belajar, maka akan mengakibatkan tersia-sianya potensi yang dimiliki. Tidak terutup
kemungkinan dapat berdampak negatif pada prestasi belajar yang diperolehnya, bahkan
dapat menjadi seorang underachiever (berprestasi rendah).
Menurut Santrock (2007) siswa yang memiliki kemampuan self-regulated learning
menunjukan karateristik mengatur tujuan belajar untuk mengembangkan ilmu dan
meningkatkan motivasi, dapat mengendalikan emosi sehingga tidak mengganggu
kegiatan pembelajaran, memantau secara periodic kemajuan target belajar,
mengevaluasinya dan membuat adaptasi yang diperlukan sehingga menunjang dalam
prestasi, oleh karena itu kemampuan self-regulated learning sangat penting dimiliki oleh
pelajar terutama siswa akselerasi, agar memiliki tanggung jawab yang besar terhadap diri
dan perilaku demi tercapainya tujuan yang telah ditargetkan.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan 7 siswa akselerasi semuanya
mengakui adanya kesulitan mengatur diri dalam belajar. Siswa A menyatakan sering
mengalami kelelahan akan jadwal belajar yang padat sehingga sering membuat mereka
melakukan penundaan dalam memulai mengerjakan tugas, siswa B mengaku tidak
memiliki waktu yang cukup untuk memahami pelajaran dengan baik dan mengevaluasi
tugas sebelum dikumpulkan, Siswa C mengaku sering melakukan penundaan karena
melakukan aktifitas lain selain aktifitas sekolah karena bosan dengan kegiatan belajar
yang ada, hal senada juga diungkapkan ke empat siswa akselerasi lainnya yang mengakui
sulitnya mengatur diri dalam belajar sehingga mengakibatkan sering terjadinya
penundaan dalam memulai mengerjakan maupun menyelesaikan tugas sekolah atau
prokrastinasi akademik.
Saaat ini prokrastinasi adalah masalah umum yang terjadi di dunia pendidikan dan
sesuatu yang mengancam bagi pelakunya. Prokrastinasi patut diwaspadai terlebih pada
siswa dengan potensi unggul seperti peserta akselerasi, sebab siswa yang berpotensi
intelektual atau berbakat secara akademik sangat diharapkan dapat menjalankan aktifitas
akademik dengan lebih produktif dan hasil maksimal. Setiap individu khususnya pelajar
terutama mereka yang tengah menyandang status sebagai siswa-siswi akseleresai atau
percepatan harusnya memiliki kemampuan meregulasi diri yang baik dalam
kehidupannya dan dapat mengendalikan diri baik berupa pikiran, perasaan dan perilaku
serta bertanggung jawab terhadap perilakunya untuk mencapai tujuan yang telah
ditargetkan tanpa melakukan penundaan terhadap tugas-tugas yang diberikan.
Jurnal Penelitian dan Pendidikan IPS (JPPI) Volume 11 No 2 (2017) 213-235

7. Latar Belakang Masalah


Adanya kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak
akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna
jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang
beroreantasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka
pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan
jangka panjang .
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dalam penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi
siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja
dan mengalami. Bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi
pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai
tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi
informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah team yang bekerja bersama untuk
menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari
menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola
dengan pendekatan kontekstual.
Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang
belajar sebagai berikut. (1) Proses belajar: a) Belajar tidak sekedar menghafal. Siswa
harus mengkontruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri, b) Anak belajar dari
mengalami. Anak mencari sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru dan bukan
diberi begitu saja oleh guru, c) Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki
seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang
sesuatu persoalan, d) Pengetahuan tidak dapat dipisah-[pisahkan menjadi fakta-fakta atau
proposisi yang terpisah. Tetapi mencerminkan ketrampilan yang dapat diterapkan, e)
Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru, f) Siswa perlu
dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan
bergelut dengan ide-ide, g) Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan
struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan
ketrampilan seseorang. (1) Transfer belajar: a) Siswa belajar dari mengalami sendiri,
bukan dari pemberian orang lain, b) Ketrampilan dan pengetahuan itu deperluas dari
konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit), c) Penting bagi siswa tahu untuk apa dia
belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan ketrampilan itu.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
diberlakukan bahwa Standar Kompetensi Lulusan Satuan pendidikan (SKL-SP) pada
sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah, sebagai berikut: 1). Menjalankan ajaran agama
yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan anak, 2). Mengenal kekurangan dan
kelebihan diri sendiri, 3). Mematuhi aturan- aturan sosial yang berlaku dalam
lingkungannya, 4). Menghargai keberagaman agama, suku, ras, dan golongan sosial
ekonomi di lingkungan sekitarnya, 5). Menggunakan informasi tentang lingkungan
sekitar secara logis, kritis, dan kreatif, 6). Menunjukkan kemampuan berfikir logis, kreatif
dan kreatif dengan bimbingan guru/pendidik, 7). Menunjukkan rasa keingintahuan yang
tinggi dan menyadari potensi, 8). Menunjukkan kemampuan memecahkan masalah
sederhana dalam kehidupan seharihari, 9). Mununjukkan kemampuan mengenali gejala
alam dan sosial lingkungan sekitar, 10). Menunjukkan kecintaan dan kepedulian terhadap
lingkungan, 11). Menunjukkan kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa, negara dan
Tanah Air Indonesia, 12). Menunujukkan kemampuan untuk melakukan kegiatan seni
dan budaya lokal, 13). Menunjukkan kebiasaan hidup bersih, shat, bugar, aman, dan
memanfaatkan waktu luang, 14). Berkomunikasi secara jelas dan santun, 15).
Bekerjasama dalam kelompok, tolong menolong, dan menjaga diri sendiri dalam
lingkungan keluarga dan teman sebaya, 16). Menunjukkan kegemaran membaca dan
menulis, 17). Menunjukkan ketrampilan menyimak, berbicara, membaca, menulis dan
berhitung.
Sedangkan berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) terbaru tahun 2012,
bahwa standar kompetensi lulusan di SD/MI Tahunmenetapkan bahwa mutu lulusan
merupakan bagian penting dalam pemenuhan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan
yaitu: Standar kompetensi lulusan, Standar isi, Standar proses, Standar pendidikan dan
tenaga kependidikan, Standar sarana dan prasaran, Standar pengelolaan, Standar
Pembiyaan Pendidikan, Standar penilaian pendidikan. Tinggi rendah mutu lulusan
ditentukan oleh tinggi rendahnya sumber daya manajemen. Manajemen dalam
menentukan kurikulum, pendidik, proses pembelajaran, penilaian, sarana,dan prasarana
yang diperlukan sekolah dapat menunujang keberhasilan mutu lulusan yang tinggi.
Menurut Sardiman dalam Susanto (2013: 57) menyatakan bahwa minat timbul
tidak secara tiba-tiba atau spontan, melainkan timbul akibat dari partisipasi, pengalaman,
kebiasaan pada waktu belajar atau bekerja. Jadi, jelas bahwa, minat akan selalu terkait
dengan persoalan kebutuhan dan keinginan. Dalam kaitannya dengan belajar, Hansen
dalam Susanto (2013: 57) menyebutkan bahwa minat belajar siswa erat hubungannya
dengan kepribadian, motivasi, ekspresi dan konsep diri atau identifikasi, faktor keturunan
dan pengaruh eksternal atau lingkungan. Dalam praktiknya, minat atau dorongan dalam
diri siswa terkait dengan apa dan bagaimana siswa dapat mengaktualisasikan dirinya
melalui belajar. Dimana identifikasi diri memiliki kaitan dengan peluang atau hambatan
siswa dalam mengekspresikan potensi atau kreatifitas dirinya sebagai perwujudan arti
minat spesifik yang dia miliki. Adapun faktor keturunan dan pengaruh eksternal atau
lingkungan lebih berkaitan dengan perubahanperubahan yang terjadi dari minat siswa
akibat dari pengaruh situasi kelas, sistem, dan dorongan keluarga.
The perception of attachment effect in parents and peers
on aggressive behavior in male adolescents

8. Latar Belakang Masalah


The case of child abuse is an interesting topic to investigate because it has
increased almost every year. Data record from the Indonesia Child Protection
Commission, the number of child abuse cases in 2011 were 2178 cases. It increases to
3512 cases in 2012. In 2013, there were 4311 cases, and it increases to 5066 cases in 2014
(Setyawan, 2015). Observation made by KPAI in 2012 from 9 provinces found around
78.3 percent of children under 18 years old, were perpetrators of violence (Tim Liputan
Kemenpppa, 2016). In September 2016, there was a fight between junior high school
students in Ternate that ended up stabbing action made by his friend. The initial cause of
the fight was a misunderstanding (Yamin, 2016).
The authors also found a similar phenomenon in Panti Sosial Marsudi Putra
(PSMP) Antasena Magelang. Based on an interview with one of the residents there, GL
(13 years old) on December 18th, 2016, states that there had been a fight between
residents on Thursday, December 15th, 2016. The interviewee said that the fight occurred
because of misunderstanding. Fortunately, the fight was found out by the institution
officer so the victim, JF, immediately taken to the clinic and did not suffer any serious
injuries. Based on an interview with the victim, JF confirmed that there had been fought
and he became the wrong target victim.
The explanation above shows that child abuse cases are increasingly worrying. It
is because violence cases committed by adolescent’s cause injuries, even hospital
treatment for the victims. The violence perpetrator must also be held accountable for their
actions by following the judicial process, in which they are often being pressured by
justice system. In addition, they also lose their opportunity to go to school because they
are most likely expelled. Such event is contrary to Law No. 17 of 2007, which states that
adolescents are the nation’s succession generation, so they are expected to be able build
positive self-potential through formal and nonformal education (Undang-Undang
Republik Indonesia, 2007). However, the fact is adolescents doing some actions that can
reduce their qualities through acts of violence.
Violence is a form of aggressive behavior. A high level of aggressive behavior in
adolescents does not suddenly appear, but it is preceded by aggressive behavior from
childhood. Parents who ignore emotional and physical needs and tend to hurt their
children, speak rudely, and threaten them, will trigger children’s aggression. Children will
feel unloved and tend to develop negative beliefs towards their parents and others such as
hostile intentions (Ul-Morshed, Nirobe, & Naz, 2015).
Aggressive behavior is an act of hurting others (Dodge, Coie, & Lynam, 2007). A
similar statement is also proposed by Bukhori (2005) that aggressiveness is behavior
aimed at human or inanimate objects which intend to harm and hurt both physically and
psychologically. There are two motives for individuals doing aggression. First, an
unpleasant event tends to be interpreted negatively and resulting anger called reactive
aggression. Second, for achieving a certain goal or called proactive aggression, individual
assumes that aggressive response is an appropriate response (Crick & Dodge, 1996).
Although individual motives differ for aggressive behavior, form of behavior remains the
same, namely open (physically and verbally) (Dodge et al., 2007). Physical aggression is
an act of harming by doing physical actions, while verbal aggression is an act of harming
by verbal expression (Eliani, Yuniardi, & Masturah, 2018).
Aggressive behavior in adolescents occurs due to failure and inability to process
social information (Bukhori, 2008). Dodge (in Shaffer, 2009) explained that aggressive
behavior in adolescent through five stages in processing social information, namely
receiving cues (encoding), interpretation of social information by seeing others having
hostile intentions, seek and choose responses based on the scheme, and establish
aggressive behavior as appropriate behaviors. According to this model, individuals
choose solutions aggressively based on aggressive schemes obtained from their past
experience, namely when children learn their first social interaction.
Family environment, especially parents have an important role in childhood
development. Interaction occurs between children and parents will form an emotional
bond called attachment. High level of attachment is characterized by adolescents feeling
safe because both parents have high concern for them such as closeness, empathy, more
affection, warm emotions, giving encouragement for their autonomy and independence,
not behaving overprotective (Guarnieri, Ponti, & Franca, 2010). A high level of
attachment is a reflection of positive interactions between children and parents. It
accommodates children's emotional needs. When children’s emotional needs are fulfilled,
they will not experience emotional deficiency which can lead to negative behavior
(Mortazavi, Sohrabi, & Hatami, 2012).
Attachment form from children's relationship with their first attached figure and it
is mother. Initial experience to attached figures facilitates informing individual mental
image and others, as referred to the internal working model. This mental model tends to
be persistent and used as a behavior basis (Bowlby, 1969).
A low level of attachment is a reflection of negative interactions between parents
and children. Negative interaction is such as exposure to violence perpetrated by parents
against their children, both physically and verbally. Attachment experience facilitates
forming a negative mental model that is used to predict and interpret others’ behavior
(Collins & Read, 1990) and as behavior basis (Colin, 1996).
Based on Bowlby’s attachment theory framework (in Armsden & Greenberg,
1987), there are three aspects of attachment, namely communication, trust, and alienation.
The ability of attached figures who are responsive to adolescent needs when they feel
depressed will build their trust in the attached figures. Attached figures’ responsiveness
performed by good communication makes adolescents not to feel strange (Laumi &
Adiyanti, 2012).
Adolescents’ attachment refers to not only aspects of parent-child relationships,
but is also associated with adolescents’ relationships with their peers. Closeness,
togetherness, and openness to peers who reach their peak in adolescents, make
relationships with their peers can be considered as type of attachment relationships
(Collins & Laursen, 2004). Adolescents develop attachment relationships with their peers
as emotional supporters (Nelis & Rae, 2009) so peers’ refusal in adolescents makes them
aggressive, antisocial, isolated, and unhappy (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
A high level of secure attachment to peers is when adolescents feel that peers are
always there for them when it is needed (Nickerson & Nagle, 2005), made by friendship
(Guarnieri et al., 2010). A high level of secure attachment to peers is associated with
positive social competence, and low level of school regulation’s violations (Gullone &
Robinson, 2005). The existence of positive social competence tends to make children
interpreting their friends because they tend to assume that their friend’s negative behavior
is temporary and can be forgiven (Trentacosta & Fine, 2010).
Based on previous research, a low level of attachment to peer’s influences
adolescents’ aggressive behavior in cyberspace. Adolescent with low level of attachment
to peers tends to have low empathy so they tend to hurt their friends (Wright et al., 2015).
Based on the explanation above, this study examines if there is influence
perception of attachment to father, mother, and peers to aggressive behavior in male
adolescents. Aggressive behavior in adolescents is manifestation of attachment to parent.
Low level of perception of attachment to parent, will form negative mental model towards
themselves and others so adolescent will see themselves as worthless, and see others as
negative and has hostile intentions (Simons, Paternite, & Shore, 2001). Because of
negative mental model existence, adolescent will see their peers having hostile intentions
so they tend to have low level of attachment qualities towards peers. Low quality of
attachment to peers is associated with low level of empathy and caring so adolescents will
tend to hurt their friends (Nikiforou, Georgiou, & Stavrinides, 2013).
THE RELATIONSHIP BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND
STUDENTS ENGLISH ACHIEVEMENTAT X MIA AND IIS OF SMA NEGERI 8
BENGKULU

9. Latar Belakang Masalah


School as formal institution is a place to achieve the goal of education. Through
the school, students learn many things. In formal education, study shows the changes that
are positive so that at a later stage the skills, expertise and new knowledge will be
obtained.The results of the learning process are reflected in academic achievement.
However, in order to achieve satisfy academic achievement, the students need a learning
process.
Learning process that occurs in individual was an important thing, because
through studying, individual was familiar with their environment and tried to adapt the
surrounding environment. According to Irwanto (1997) learning is a process of change
has not been able to be able and occur within a specified period. By learning, students can
realize ideals expected.
In the process of teaching and learning in schools, frequently there were students
who cannot achieve equal learning achievement with their intelligence capabilities. There
were students who had high intelligence capability but earned relatively low learning
achievement. While, there were students who despite has relatively low intelligence
capabilities but can achieve relatively high academic achievement. That was why the
level of intelligence was not the only factor that determined the success of a person,
because there were any other factors that influence. According to Goleman (2016),
intelligence quotient (IQ) only accounted for 20% of our success, while 80% is the
contribution factors other forces, such as emotional intelligence or Emotional Quotient
(EQ), the ability to motivate, overcoming frustration, impulse control, set the mood
(mood), empathy and the ability to work together.
In the process of student learning, the intelligence was indispensable. IQ cannot
function properly without the participation of emotional appreciation ofthe subjects
presented in school, but usually the intelligence is complementary. The balance between
IQ and EQ is the key to success for students at school (Goleman, 2016). Education in
schools was not only necessary to develop rational intelligence, but also need to develop
emotional intelligence students.
Based on researchers observation on one-month teaching practice or internship 3
at SMAN 8 Bengkulu, researcher found that the academic achievement in the school was
generally good. Besides that, the learning situation had been created well. Many facilities
which used to support learning process were available, such as free internet connection,
library, science laboratory, music room, and the other facilities. The researcher
experience in teaching at that school, researcher taught one class of MIA and two classes
of IIS. MIA is mathematics and natural science, while IIS is the social sciences.The
researcher found that there were significant differences in students learning. The students
of X MIA have high motivation to study, it can be seen from the students participation in
learning process. Most students’ were active in learning process, they were eager to ask
and answer the question from the teacher. Unfortunately, most students of X IIS had low
motivation to study, there were many students who came late and did not make the
assigments. Also most students of X IIS have low score in mid-test and final test. Based
on that experience, the researcher concluded that there was another factor which
influences students in learning. The researcher guesses that factor was emotional
intelligence.
According to Yusuf (2004), there are positive and negative emotions. First,
positive emotions will affect students to focus on the learning activities, like take notice
the teacher's explanations, reading a book, active in discussions, doing task, and
discipline in learning. Positive emotions can be same like feelings of happy, spirited or
curiosity. Second, negative emotions, so the learning process will experience an obstacle.
Student cannot focus to learn so that most likely will have failed in their learning.
Negative emotions can be unhappy, disappointed and not excited.
Moreover, before conducting this research, there were some researches which are
closely related to this research. First, the research was conducted by Guna (2012) who
investigated the correlation between Emotional Intelligence and Students’ Achievement.
The subject of this research was 10th grade in SMA Negeri 3 Salatiga. The result of the
correlation test, it could be concluded that there was no correlation between EI and
students' achievement. Second, the research was conducted by Azimifar (2013) who
investigated the relationship between emotional intelligence and academic achievement.
The result revealed no statistically significant correlations between student scores on the
SEI-YV and the achievement tests among Iranian students at elementary schools. Both
researches had the different result may be due to the different subject of the research. For
that reason, the researcher conducted or did a research about the relationship between
emotional intelligence and English students achievement.
Based on the explanation above it was found that emotional intelligence and
students’ achievement had no significant correlation. So, the researcher wanted to
investigate whether or not there was a relationship between emotional intelligence and
students achievement of High School students in Bengkulu. The researcher conducted a
research at the first grade students of Senior High School Number 8 Bengkulu. The
researcher also had an access to this School because the researcher have done the
internship III there.
The title of this research was “The Relationship Between Emotional Intelligence
and Students English Achievement”. This research was continuing the study of the
relationship between emotional intelligence and English students achievement in order to
find out whether or not emotional intelligence had a significant relationship and English
students achievement.
THE RELATIONSHIP OF STAFF JOB SATISFACTION AND INTENTION TO
LEAVE FROM A HOSPITAL

10. Latar Belakang Masalah

Human resource is one of the vital assets in an organization since organizational


success is mostly determined by the element of human (Ardana, Mujiati and Utama,
2012). Every organization has a goal that must be achieved, and one of the parties that
carry out the role is employees. According to Mangkuprawira (2007), employees have
material and non-material needs that must be valued by their organization. The material
needs can be in the form of compensation and career received while the non-material
needs can be in the form of respect for the staffs as members of the social system of the
organization. If these needs are met, the staffs will be satisfied and organizational goals
can be carried out effectively and efficiently. This is why the organization is required to
provide guarantees for the staff job satisfaction.
Job satisfaction is a general attitude of an individual towards his work (Robbin
and Timothy, 2008). Job satisfaction is a general attitude towards someone's work that
shows the difference between the number of awards received and the number of awards
he should receive. A person with a high level of job satisfaction will hold positive
feelings towards his work. On the other hand, someone with a low level of job
satisfaction will show negative attitudes towards his job. In general, when talking about
staff’s attitudes, it will refer to the staff’s job satisfaction (Robbins & Coulter 2012).
Staff’s job satisfaction also has an impact on organizational productivity (Sari,
Armanu and Afnan, 2016). According to Putra (2017), when an individual works in an
organization, the results of the work completed will affect the level of organizational
productivity. Therefore, these individuals must maintain their job satisfaction to improve
their productivity. The statement is in accordance with the research of Harrisma and
Witjaksono (2013), stating that job satisfaction has a positive and significant effect on
work productivity. Job satisfaction is influenced by many factors. According to Nasution,
Musnadi and
Faisal (2018), work involvement, workload and organizational culture have a
significant and positive effect on staff job satisfaction. In the end, job satisfaction brings
positive and significant effect on staff performance (Nasution, Musnadi and Faisal, 2018).
The discrepancy of staffs' expectations and reality of the working conditions in the
organization can lead to job dissatisfaction.
Employees with high stress of work can also experience job dissatisfaction
(Damar, Yasa, and Sitiari, 2017). Job dissatisfaction can trigger the staffs' desire to quit
the work, or commonly called, intention to leave. This is in accordance to the result of
Putra`s research (2017) which states that job satisfaction has a positive effect on intention
to leave. In addition, employees who have high commitment to the organization may
change the other employees' intention to move out or leave the organization (Ayu, 2016).
Job satisfaction is also able to increase the employee motivation to work, so the
probability to be consistent with work goals is even greater (Indy and Handoyo, 2013).
The existence of work motivation can also improve employee work performance (Putra
and Wikansari, 2017).
The staffs with intention to leave may execute turnover in their organization.
Turnover is a permanent dismissal of a staff from the company which may be done either
by the staff himself, or by the company (Robbins and Timothy, 2008). Turnover occurs
because of three factors i.e. company factors, personal factors, and external
environmental factors. The company factors include company size, policy, job
characteristics, job security, organizational culture, organizational learning culture, job
involvement, perceived organizational support and psychological atmosphere. While
personal factors affecting turnover can be in the form of age, gender, education, skill,
interest, behavioural control, health, marital status, family size, work period, workload,
work commitment, job satisfaction and intention to leave. Lastly, the external
environmental factors include hospital location, hospital competitors, job availability and
employment opportunities outside the profession.
One of the personal factors that cause turnover is the intention to leave of the
staff. The turnover process is basically initiated by a staff's desire to quit the organization,
or simply called, intention to leave. Intention to leave is the staff's motive to get out of the
organization deliberately (Ayu, 2016). Berry & Morris (2008) argued that intention to
leave refers to the voluntary intention of an employee to leave the organization. This is
evidenced by the emergence of the intention to leave before the employee actually leaves
the organization.
An employee with the intention to leave has great possibility to do turnover. The
intention to leave is marked by a variety of things related to the staff's behavior, such as
increased attendance, laziness to work, and increased courage to oppose superiors.
According to Harnoto (2002), each sign can be used as a reference to predict the intention
to leave of employees in an organization.
Intention to leave can occur through a psychological process (Mangkuprawira,
2007). Initially, an employee feels a decline in the level of job satisfaction. Soon after,
low job satisfaction will decrease motivation which is characterized by the emegence of
stress, physical illness, laziness to work, decreasing work quality, diminishing personal
communication and ignorance towards his work tasks. The employee will start to
contemplate about finding alternative employment. The employee will compare the
alternative job with his current job and make decision to stay or to leave the company.
The last stage is the action decided by the employee to stay or leave the organization.
According to Mathis and Jackson (2009), there are several components
determining the intention to leave, whether a staff stay or leave the organization, namely
organizational components, staff relations, career opportunities, awards and design of
tasks and jobs. Meanwhile, according to Mobley (1986), the factors that determine the
intention to leave are organizational factors, individual factors, external factors and
internal factors. Organizational factors include job category, size of the organization, size
of the work unit, salary and workload. On the other hand, individual factors cover age,
work period, gender, education, geographic data, personality, interest and talent. Internal
factors include organizational culture, leadership style, job satisfaction, compensation and
career development. For the last, external factorsconsist of environmental and individual
aspects. From the theory explanation, it can be seen that satisfaction influences staff’s
intention to leave. An employee who has the intention to leave the organization will likely
to execute turnover.
Every organization needs to know and understand the causes of turnover since
turnover induces costs for the organization (Putra, 2017). Those costs consist of
promotion costs, recruitment fees and staff coaching costs. When an organization
experience a turnover, the organization has lost some staffs and should replace them with
new ones to keep the organization running. This can lead to an adverse impact to the
organization (Putra, 2017).
Turnover does not only cause loss by the emersion of the costs, but also brings
other damages to the organization. These damages may include production loss during the
staff turnover, accidents caused by the inexperienced new staffs, not optimal use of
production equipment, and overtime work that has to be done by the staffs who still
remain in the organization to avoid production delays. Therefore, a high turnover rate in
an organization needs to be handled seriously since it can threaten the survival of the
organization.
Surabaya Orthopaedic and Traumatology Hospital were established in 2010.
Health services provided by the hospital are in the form of specialization and subspecialty
in the field of traumatology and Orthopaedic that is supported by radiology specialists,
Medical Rehabilitation, and Medical and Surgical Support. According to the Law of
Ministry of Health of Republic of Indonesia Number 44 of 2009, hospital is a health
service institution that performs individual health services completely by providing
inpatient, outpatient, and emergency services. In providing a complete health service, the
hospital is required to have qualified human resources. Therefore, the hospital is required
to manage its human resources very well since they play an important role in the success
of hospital services and has become one of the factors that shows the competitive
advantage of the hospital (Ayu, 2016).
However, Surabaya Orthopaedic and Traumatology Hospital still has some
constraints regarding its human resource assets or staffs in its operation. In the period
from January to June of 2012, the employee turnover rate is 26,92% or increasing reached
1,39% from the previous period. It is caused by changing number of employee by
addition of 28 staffs and reduction of 14 staffs. It means that the number of the staffs
who left the hospital was half of the number of the staffs recruited. The study conducted
by Ayu (2016) shows that the level of Staff turnover of the Surabaya Orthopaedic and
Traumatology Hospital in 2012 reached 88%. According to these data, it can be
concluded that the turnover rate of Surabaya Orthopaedic and Traumatology Hospital
staffs in 2012 was high and the hospital staffs intention to leave was quite high. Turnover
in health care organizations is a serious challenge to the efficiency and effectiveness of
every health care system since it brings negative impact.
Using previous study result descriptions as bases, this study aims to examine the
relationship of job satisfaction and intention to leave of the Surabaya Orthopaedic and
Traumatology Hospital staffs. Researchers choose to study the intention to leave due to
the fact that there is high intention to leave of Orthopaedic and Traumatology Hospital
staffs. Besides, the employee turnover rate in the first semester of 2012 was 26.92% while
the total employee turnover rate in 2012 was 88%. Job satisfaction is studied since staff
job satisfaction is the fundamental factor that affect intention to leave and hospital
productivity. This research uses quantitative study approach so that in-depth interviews
are not conducted to present in-depth information about a relationship or phenomenon.
This has become a limitation for the study and will be written as a suggestion for the
future researchers.

Anda mungkin juga menyukai