HUBUNGAN ANTARA SELF-REGULATED LEARNING DENGAN PRESTASI
AKADEMIK SISWA DI SMK MUHAMMADIYAH 1 TAMAN SIDOARJO
1. Latar Belakang Masalah
Di dunia pendidikan, khususnya pada jenjang Pendidikan SMK, Prestasi
merupakan sebuah hal yang sangat penting. Setiap siswa diharapkan mampu mencapai prestasi yang sudah distandarkan. Hal tersebut dikarenakan skor prestasi akademik yang tinggi masih dianggap sebagai faktor yang penting untuk menentukan keberhasilan siswa baik untuk jenjang yang lebih tinggi ataupunn juga sebagai landasan karir di masa depan. Undang - Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang tujuan pendidikan nasional dan pasal 15 yang menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan adalah pendidikan formal menengah yang mempersiapkan siswa untuk bekerja di bidang tertentu. Hal ini berarti, selain belajar pelajaran umum, siswa SMK juga belajar keahlian khusus yang ia pilih. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat di tarik kesimpulan bahwa siswa SMK mempunyai tuntutan tambahan daripada siswa yang bukan SMK, jika siswa yang bukan SMK hanya dituntut untuk berhasil dalam hal akademik, maka siswa SMK juga dituntut untuk berhasil dalam praktek yang sesuai dengan jurusannya sebagai bekal untuk berhasil dalam dunia kerja. Hendriks, dkk (2011) mengatakan bahwa prestasi akademik merupakan nilai siswa selama periode tertentu. Nilai disini yang dimaksud adalah nilai dari hasil ujian di sekolah yang dianggap cukup mampu untuk mengukur prestasi akademik siswa. Sedangkan slavin (2014) berpendapat bahwa prestasi akademik merupakan sebuah hasil dari evaluasi dan penilian terhadap performa siswa melalui penilaian dan kuis penilaian tertulis, berupa angka atau nilai. Sobur (2016) menjelaskan bahwa prestasi akademik adalah sebuah perubahan pada hal kecakapan tingkah laku atau kemampuan yang bisa bertambah dalam kurun waktu yang tidak disebabkan oleh proses pertumbuhan, tetapi disebabkan karena adanya proses belajar. Prestasi akademik dipandang sebagai bukti sebuah usaha yang diperoleh siswa yang di tuliskan dalam bentuk angka. Faktor-faktor dari prestasi akademik adalah faktor internal dan faktor eksternal (Sobur, 2016). Adapun faktor yang bersumber dari dalam diri siswa atau faktor internal dari prestasi akademik adalah faktor fisiologis dan faktor psikologis, termasuk di dalamnya adalah self-regulated learning. Hal ini sama dengan yang dikatakan Chung (2002) yang mengatakan bahwa belajar tidak hanya dipengaruhi oleh aspek eksternal saja, melainkan juga dipengaruhi oleh aspek yang berasal dari dalam diri sendiri (self-regulated). Oleh sebab itu, belajar harus dipahami sebagai sebuah proses yang aktif, konstruktif dan self-regulated. Zimmerman (1990) menjelaskan bahwa selfregulated learning mempunyai tiga aspek yaitu yang pertama adalah penggunaan berbagai macam strategi regulasi diri, yang kedua adalah responsivitas terhadap umpan balik tentang keefektivan proses belajar dan yang ketiga adalah interdependensi proses motivasi. Regulasi belajar digambarkan sebagai sebuah strategi yang digunakan siswa untuk mengelola kognisinya (menggunakan strategi kognitif dan metakognitif) dan juga penggunaan strategi untuk mengelola sumber ilmu pengetahuan (Pintrich, 1999). Self-regulated learning adalah sebuah proses dimana siswa mengaktifkan, kognisinya, perilakunya dan perasaannya secara berurutan dan mampu mengorientasi pada pencapaian tujuan. Siswa yang belajar secara selfregulated learning akan mentransformasikan kemampuan – kemampuan mentalnya menjadi sebuah keterampilan – keterampilan berupa strategi akademik (Zimmerman, 2002). Berdasarkan hasil pengamatan peneliti ditemukan kebiasaan – kebiasaan siswa yang kurang baik diantaranya seperti mengerjakan PR dalam kelas sebelum pelajaran dimulai dan menjadikan ruang UKS sebagai tempat untuk membolos pelajaran karena lupa mengerjakan tugas. Dari hasil wawancara beberapa wali kelas diketahui bahwa prestasi akdemik siswa banyak yang dibawah KKM. Hal ini terjadi salah satunya adalah karena kurang aktifnya siswa di dalam kelas. Dari hasil wawancara beberapa siswa juga diketahui bahwa kebanyakan dari mereka menggunakan hampir semua waktunya dirumah untuk bermain. Berdasarkan fenomena diatas, kebiasaan – kebiasaan yang telah dipaparkan diatas dapat dihilangkan jika siswa dapat mencapai kemandirian dalam belajar. Pintrich, Roeser, dan De Groot (1994) mengungkapkan jika siswa yang prestasi akademiknya tinggi lebih banyak memanfaattkan strategi-strategi yang ada pada self- regulated learning daripada siswa yang mempunyai prestasi rendah. Hal ini karena self– regulated learning mempunyai sebuah keunggulan atau nilai positif yaitu berada pada penentuan tujuan, perencanaan, dan memonitor diri dimana ketiga hal positif tersebut merupakan aspek penting bagi prestasi siswa. Oleh karena itu, siswa harus memiliki kemampuan self–regulated learning untuk menunjang keberhasilan proses belajarnya. HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMATANGAN KARIR PADA SISWA KELAS XI SMK YAYASAN PHARMASI SEMARANG
2. Latar Belakang Masalah
Terdapat tiga tugas perkembangan penting remaja yaitu pembentukan identitas karir, pemilihan nilai-nilai hidup, dan pembentukan identitas seksual (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Remaja membentuk identitas karir dengan cara melakukan pemilihan karir dan persiapan diri untuk bekerja demi mencapai kemandirian ekonomis (Hurlock, 2003). Pilihan karir remaja erat kaitannya dengan kematangan karir, perkembangan karir berjalan seiring pertambahan usia dan mulai mengalami dinamika yang penting pada masa SMA (Miller & Mitchell, dalam Wijaya, 2008). Kematangan karir menurut Super (dalam Winkel & Hastuti, 2012) adalah keberhasilan individu mencapai tugas-tugas perkembangan karir sesuai dengan tahapan tertentu. Remaja usia 15 – 24 tahun telah memasuki tahap eksplorasi. Pada tahap eksplorasi remaja mulai merencanakan karir yang sesuai dengan minat, nilai dan kemampuan yang dimiliki serta memikirkan alternatif pilihan karir (Super, dalam Sharf, 2010). Remaja beranggapan sekolah merupakan bagian dari usaha untuk mempersiapkan karir dengan sungguh-sungguh (Mighwar, 2006). Maka dari itu Sekolah Menengah Kejuruan adalah salah satu wadah pendidikan formal yang dijalani oleh remaja usia 15 – 18 tahun. Sekolah Menengah Kejuruan merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang bertujuan mempersiapkan siswa-siswa yang memiliki keterampilan dan pengetahuan sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja serta mampu mengembangkan potensi diri dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi (Wakhirudin, 2009). Namun survei Angkatan Kerja Nasional tahun 2013 – 2017 mencatat pengangguran lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) meningkat selama lima tahun terakhir (BPS, 2017). Pada tahun 2016 pengangguran paling besar juga terjadi pada lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Jawa Tengah sebanyak 271.828 jiwa (BPS, 2016). Pengangguran ini disebabkan oleh kurangnya perencanaan karir, kualitas lulusan yang tidak sesuai dengan standar pekerjaan, dan permintaan kerja dari siswa lulusan SMK melebihi lapangan kerja yang tersedia (Oebadillah, 2018). Selain itu fakta yang didapatkan melalui penelitian yang dilakukan oleh Prahesty dan Mulyana (2013) menyatakan rata-rata siswa SMK memiliki kematangan karir yang lebih rendah dibanding siswa SMA dan MA karena beberapa siswa SMK mengaku merasa ragu-ragu apakah pilihan karirnya sesuai dengan jurusan yang dipilih saat bersekolah atau malah sebaliknya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Muhajirin (2014) juga menunjukan bahwa sebagian besar siswa SMK mengalami kesulitan dalam melakukan pengambilan keputusan karir. Hal ini menunjukan bahwa siswa SMK belum siap mengambil keputusan karir yang nantinya akan berpengaruh pada rendahnya kematangan karir. Ketidaksiapan ini akan menjadi penghambat dalam tugas perkembangan remaja dalam mempersiapkan karir (Santrock, 2007). Shertzer dan Stone (dalam Winkel & Hastuti, 2012) berpendapat bahwa kematangan karir dipengaruhi faktor internal salah satunya adalah faktor kepribadian meliputi sifat-sifat kepribadian seperti konsep diri. Konsep diri adalah gambaran deskriptif dan evaluatif tentang diri sendiri (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Super menyatakan bahwa masa remaja adalah masa dimana individu mulai membangun konsep diri tentang karir, remaja mengimplementasikan konsep dirinya dalam memilih karir. Seseorang mewujudkan konsep diri dalam suatu bidang jabatan yang paling memungkinkan untuk mengekspresikan diri sendiri. Seseorang akan mendapatkan hasil yang baik dalam berkarir jika orang tersebut mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan karakteristik dirinya (Winkel & Hastuti, 2012). Pengaruh Kemandirian terhadap Kematangan Karir Siswa Kelas XII SMKN di Kota Bandung
3. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan suatu negara yang berkembang, seiring berjalannya waktu perubahan terjadi pada Indonesia. Perubahan yang sangat dirasakan saat ini adalah perubahan dalam bidang pendidikan dan perekonomian, dimana keduanya akan saling mempengaruhi. Pada dasarnya pendidikan yang diambil seseorang akan erat kaitannya dengan karir dimasa depannya. Kematangan karir sangat penting bagi siswa SMK, karena salah satu permasalahan yang akan dihadapi setelah lulus yaitu menyangkut pemilihan karir dan pekerjaan. Tingkat kematangan karir akan menetukan kualitas pemilihan karir dan persiapan diri memasuki karir yang diminatinya. Kematangan karir adalah kemampuan individu untuk membuat rencana karir, mencari informasi mengenai dunia kerja, menggunakan informasi pekerjaan yang telah diperoleh untuk merencanakan karir, menggunakan informasi pekerjaan untuk diri sendiri serta mulai menetapkan bidang pekerjaan. Untuk melewati tahapan tersebut remaja harus memiliki kemandirian agar dapat menemukan tujuan karir yang akan dipilih berdasarkan informasi yang telah didapatkan. Kemandirian remaja ditunjukkan dengan tingkah laku yang ditampilkan adalah atas keinginannya sendiri serta bertanggung jawab atas keputusan yang telah dibuatnya. Super mengatakan kematangan karir yang baik dimulai pada saat siswa kelas XII karena siswa berada dalam tahap eksplorasi, dimana siswa mulai mengidentifikasi pekerjaan dan mengimplementasikan pemilihan karir melalui pendidikan dan pelatihan sesuai minatnya sehingga dapat memasuki pekerjaan sesuai pilihan dan minatnya. (dalam Antos Riady, 2014:02 dalam Fatmasari, 2017). Dengan demikian, siswa kelas XII SMK seyogyanya sudah cukup mandiri dalam mengambil keputusan karirnya. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: “1. Bagaimana gambaran kemandirian siswa kelas XII SMKN di Kota Bandung ? 2. Bagaimana gambaran kematangan karir siswa kelas XII SMKN di Kota Bandung ? 3. Seberapa besar pengaruh kemandirian terhadap kematangan karir siswa kelas XII SMKN di Kota Bandung ?” Selanjutnya, tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk menguji pengaruh kemandirian terhadap kematangan karir siswa kelas XII SMKN di Kota Bandung. Hubungan Antara Efikasi Diri Dengan Penyesuaian Diri Santri Baru Di Pondok Tahfidzul Qur’an Di Kecamatan Sirampog Kab. Bumiayu
4. Latar Belakang Masalah
Menghafal Al-Qur’an merupakan tradisi yang telah lama dilakukan di berbagai wilayah nusantara. Awal mula terjadinya tradisi menghafal Al-Qur’an ini dilakukan para ulama timur tengah melalui para guru, selanjutnya menyebar dan banyak diminati masyarakat Indonesia (Lutfy, 2013). Pondok pesantren menurut Wahid (2001) merupakan tempat tinggal sekaligus lembaga pendidikan para santri dibawah bimbingan Kyai. Pondok pesantren merupakan wadah bagi orang tua yang mengharapkan putraputri mereka menjadi tahfidz atau penghafal Al-Qur’an. Kurikulum yang ditawarkan pondok pesantren berbeda dengan kurikulum yang ditawarkan sekolah umum. Pondok pesantren membekali murid-murid didik yang biasa disebut santri dengan ilmu-ilmu agama. Harapan pondok pesantren saat santri hidup bermasyarakat santri memiliki pengetahuan yang luas, serta keimanan dan taqwa.. Penyesuaian diri merupakan proses mental dan perilaku umtuk mendorong seseorang melakukan adaptasi dengan keinginan yang ada di dalam diri (Schneiders, 1964). Penyesuaian diri secara umum adalah reaksi individu terhadap rangsangan yang terbentuk dari dalam diri maupun situasi yang bersumber dari lingkunganya. Penyesuaian diri penting dalam kehidupan manusia karena perlu dilakukan agar kehidupan yang dijalani seimbang dan tidak menimbulkan tekanan dalam diri masingmasing individu. Sa'idah (2017) menyatakan bahwa beberapa santri baru di pondok pesantren Darut Taqwa Gresik mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan pondok pesantren. Hal ini didasari sulitnya santri baru melakukan sosialisasi dengan baik, mereka terlebih dulu merasa putus asa dan tidak yakin terhadap dirinya sendiri bahwa mereka mampu bersosialisasi dengan baik. Hoerjdan (1987) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai usaha untuk mengatasai sebuah kesulitan atau hambatan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan proses perubahan dalam diri individu, dimana individu tersebut mepelajari sikap baru agar dapat beradaptasi dengan keadaan yang berbeda dari keaadaan sebelumnya sehingga tercapai tujuan akhir yang diharapkan dan terhindar dari konflik dan frustasi. faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diridapat disimpulkan penyesuaian diri dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu : keadaan fisik, perkembangan dan kematangan, kebudayaan, keadaan lingkungan, tingkat religiusitas, , teman sebaya, pengajar, dalam faktor keadaan psikologis terdapat variabel efikasi diri atau keyakinan diri, lingkungan sekolah atau pondok pesantren. Bandura (2009) merupakan tokoh yang pertama kali mengungkapkan teori efikasi diri. Efikasi sendiri menurut Bandura adalah kemampuan yang hanya dapat dirasakan oleh individu untuk mengatasi situasi tertentu yang berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan suatu perilaku sesuai dengan tugas atau situasi tertentu. Keyakinan diri adalah sebagai penilaian individu terhadap keyakinan dan kemampuan diri sendiri dengan menunjukan perilaku yang dibutuhkan dalam suatu tugas yang dihadapi. Efikasi diri adalah kemampuan individu meyakini diri dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Efikasi diri merupakan keyakinan terhadap kemampuan seseorang untuk mengatur tindakan yang akan dilakukan dengan tujuan mencapai hasil yang diinginkan (Alwisol 2004). Keyakinan yang mempengaruhi tindakan tertentu harus selaras dengan usaha dan ketekunan dalam menghadapi tantangan serta kegagalan yang akan dihadapi (Chemers, Hu, & Garcia, 2001). Mahendrani (2014) mengungkapkan bahwa efikasi diri merupakan keyakinan yang dimiliki oleh seseorang individu dalam memahami kemampuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan dan mengatasi hambatan dalam menyelesaikan tugas tertentu. Bandura menyatakan bahwa efikasi diri dapat menentukan perilaku yang muncul, bagaimana individu mampu menghadapi permasalahan yang menimpa, mengalami berbagai kesuksesan dan kegagalan dalam mengemban tugas yang diberikan menjadi salah satu penentu kehidupan di masa mendatang (Friedman & Schustack, 2006). Hubungan Stres Akademik dan Self-Regulated Learning Dengan Kecanduan Jejaring Sosial
5. Latar Belakang Masalah
Internet merupakan salah satu teknologi informasi yang berkembang dengan sangat pesat dan telah menjadi kebutuhan pada masa ini, hal ini karena penggunanya dapat menemukan dan mengakses informasi dari seluruh dunia dengan cepat dan mudah (Basnur dan Dana, 2010). Buente dan Alice (2008) dalam studinya tentang tujuan penggunaan internet pada warga Amerika yang dilakukan antara Maret 2000 hingga November 2004, mendapatkan hasil bahwa penggunaan internet dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tujuan yaitu sebagai media informasi, komunikasi, hiburan dan transaksi. Internet pun sudah merambah ke berbagai rentang usia, tak terkecuali pada remaja, hal ini berdasarkan hasil survey dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016 yang bertujuan untuk mengetahui penetrasi dan perilaku pengguna internet Indonesia, menyebutkan bahwa sekitar 24,4 juta dari total 132,7 juta pengguna internet di Indonesia berusia 10-24 tahun (APJII, 2016). Bermain internet merupakan salah satu aktivitas yang saat ini banyak digemari oleh remaja, terutama untuk mencari informasi dan menjalin hubungan dengan orang-orang dari berbagai tempat (Ningtyas, 2012). Imran (dalam Widiantari dan Yohanes, 2013) menyebut salah satu layanan internet yang biasa diakses untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi diantara sesama pengguna internet disebut dengan jejaring sosial. Hasil survey selanjutnya dari APJII (2016) mengatakan bahwa salah satu jenis konten di internet yang paling banyak diakses adalah media sosial dengan persentase sebesar 97,4%, dimana jejaring sosial adalah bagian dari media sosial (Mayfield, 2008). Situs jejaring sosial merupakan situs yang paling diminati pengguna internet di seluruh dunia (Cam dan Onur, 2012). Pada dasarnya, kehadiran internet memiliki berbagai manfaat penting, namun penggunaan yang kurang bijak dalam hal mengakses internet dapat menyebabkan kecanduan (Hur, 2006). Di dalam internet, penggunanya dapat mengakses berbagai layanan yang berpotensi menjadi kecanduan layanan internet secara umum maupun kecanduan layanan internet secara spesifik atau pada salah satu jenis layanan yang sering mereka akses (Kuss dan Mark, 2011). Secara khusus, Young (dalam Soetjipto, 2005) berpendapat bahwa kecanduan internet digolongkan menjadi lima jenis, yakni computer addiction (kecanduan game komputer), information overload (kecanduan dalam mencari informasi dari internet), net compulsions (kecanduan jual-beli atau perjudian online), cybersexual addiction (kecanduan mengakses situssitus dewasa) dan cyber-relationship addiction (kecanduan menjalin hubungan secara online). Salah satu jenis kecanduan internet adalah cyber relationship addiction yang bermakna kecanduan individu untuk melakukan hubungan pertemanan melalui internet, bentuknya dapat berupa kecanduan jejaring sosial, karena tujuan dan motivasi utama individu menggunakan jejaring sosial adalah untuk membangun dan mempertahankan hubungan secara online (Kuss dan Mark, 2011). Kecanduan jejaring sosial adalah bagian dari kecanduan internet yang dapat diartikan sebagai penggunaan internet yang berlebihan terutama dalam mengakses situs jejaring sosial dan dapat mengganggu kegiatan sehari-hari, sosial, atau pekerjaan individu (Kirik, Ahmet, Ahmet dan Mehmet, 2015). Menurut Kuss dan Mark (2011), berbagai macam fitur yang terdapat pada situs jejaring sosial dapat menjadi salah satu penyebab kecanduan jejaring sosial, terutama meningkatnya waktu dalam ber-internet, khususnya mengakses situs jejaring sosial pada remaja. Hasil screening menyebutkan durasi online sebagian besar subjek berkisar mulai dari 5 jam sampai lebih dari 7 jam dalam sehari, bahkan 60% dari mereka mengaku bahwa sering online lebih lama dari yang direncanakan. Al-Absi (2007) berpendapat bahwa salah satu faktor yang dapat membuat kecanduan adalah stres. Remaja memiliki risiko lebih besar dalam mengakses layanan internet secara berlebihan, penyebabnya adalah rasa ingin mengatasi tekanan psikologis, sehingga internet menjadi sebuah hiburan (Kim, 2013). Menurut Bian dan Louis (2014), individu yang melampiaskan rasa stres dengan cara menggunakan internet biasanya juga aktif dalam situs jejaring sosial yang digunakan sebagai tempat untuk menyampaikan keluh kesah. Finkeilstein, Laura dan Elisabeth (2004) menemukan bahwa sumber stress yang paling sering dihadapi para remaja adalah hal-hal yang berhubungan dengan akademik, teman sebaya, dan hal-hal pribadi. Stres akademik merupakan bentuk stres yang paling sering dialami oleh para siswa, baik di tingkat sekolah ataupun di perguruan tinggi (Gaol, 2016). Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya tuntutan akademik yang harus dihadapi, misalnya ujian, tugas sekolah, presentasi di depan kelas, dan lain-lain (Gaol, 2016). Stres akademik didefinisikan sebagai hasil kombinasi dari tuntutan akademik yang melebihi sumber daya individu yang tersedia untuk menghadapi tuntutan tersebut (Wilks, 2008). Selain stres akademik, remaja dengan kinerja akademik yang buruk cenderung mengalami kecanduan pada layanan internet, termasuk kecanduan jejaring sosial (Song, 2010). Penggunaan situs jejaring sosial yang berlebihan oleh remaja, dapat menurunkan prestasi akademis mereka (Rouis, Moez dan Esmail, 2011). Selain kinerja akademik yang buruk, penggunaan internet yang berlebihan, termasuk mengakses jejaring sosial, berkaitan dengan longgarnya peraturan di rumah tentang durasi penggunaan internet (Mythily, Qiu danWinslow, 2000). Seperti individu pecandu alkohol yang meningkatkan konsumsi alkoholnya menjadi lebih banyak untuk mencapai kepuasan, individu yang kecanduan pada layanan internet rutin menghabiskan waktu yang semakin banyak pula untuk kegiatan online-nya (Young, 2004). Individu yang kecanduan jejaring sosial, tidak dapat mengendalikan waktu yang mereka habiskan untuk online (Turel dan Muhammet, 2015). Maka, untuk mencapai kinerja akademik yang lebih baik, siswa perlu regulasi diri yang baik agar dapat menghindari dirinya dari perilaku kecanduan jejaring sosial, sebagaimana yang dikatakan oleh Chung (2000) bahwa proses belajar tidak hanya dikontrol oleh aspek eksternal saja, melainkan juga dikontrol oleh aspek internal yang diatur sendiri (self-regulated learning). Regulasi diri dalam belajar atau self regulated learning adalah suatu kegiatan pengaturan proses-proses kognitif yang dilakukan oleh diri sendiri untuk mencapai kesuksesan tujuan belajar (Ormrod, 2009). Regulasi diri merupakan penggunaan suatu proses yang mengaktivitasi pemikiran, perilaku, dan perasaan yang terus menerus dalam upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sofia, Mulyana, Firma dan Verlanda, 2017). HUBUNGAN SELF-REGULATED LEARNING DENGAN PROKRASTINASI AKADEMIK PADA SISWA AKSELERASI
6. Latar Belakang Masalah
Mengikuti arus zaman yang terus melaju pesat, harus diikuti juga dengan kemampuan intelektual yang tinggi dan mencetak generasi-generasi baru yang juga dituntut untuk memiliki kemampuan kognitif dan mental yang tinggi agar dapat bertahan dan bersaing untuk mencapai sukses. Salah satu antisipasi atau cara yang ditempuh pemerintah Indonesia untuk membentuk generasi yang unggul adalah dengan mengadakan terobosan dalam dunia pendidikan, yaitu dengan membentuk program percepatan atau biasa disebut akselerasi (Hawadi, 2004). Kelas akselerasi merupakan kelas yang memberlakukan percepatan dalam masa studi dan kurikulumnya sehingga siswa dengan syarat tertentu saja yang dapat menjadi siswa akselerasi. Seperti kemampuan intelegensi diatas 130, memiliki dan pengikatan pada tugas yang baik (Depdiknas, 2007). Program akselerasi dilakukan oleh peserta didik yang memiliki kemampuan luar biasa (unggul) dalam rangka mencapai target kurikulum Nasional dengan mempertahankan mutu pendidikan sehingga mencapai hasil yang optimal (Syamril & Nuryana, 2008). Program percepatan belajar adalah salah satu program layanan pendidikan khusus bagi peserta didik yang oleh Renzulli (dalam Hawadi, 2004) telah diidentifikasi memiliki kemampuan intelektual umum pada taraf cerdas, memiliki kreativitas dan keterikatan terhadap tugas di atas rata-rata, untuk dapat menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar mereka. Sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan R guru BK di SMA Negeri 1 Samarinda pada tanggal 16 November 2013, di SMA Negeri 1 Samarinda sendiri telah menetapkan beberapa tahapan yang harus dilalui siswa untuk masuk dalam kelas akselerasi yaitu berupa tes akademik yakni mengerjakan soal matematika, fisika, kimia, Biologi, bahasa Indonesia dan bahasa inggris, tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana pemahaman calon siswa akslerasi terhadap mata pelajaran tersebut serta tes wawancara dengan kriteria penilaian tangguh dan mandiri, bertanggung jawab, menetapkan tujuan yang realistis dengan tingkat risiko sedang, suka belajar dan memiliki orientasi tugas yang baik, konsentrasi baik, mempunyai hasrat untuk meningkatkan diri, mempunyai hasrat untuk bekerja sebaik-baiknya, mempunyai hasrat untuk berhasil bidang akademis. Melalui hal tersebut sudah dapat dipastikan bahwa siswasiswi pada kelas akselerasi memiliki beban tugas yang lebih besar terhadap diri sendiri dan tugas-tugas sekolahnya dibandingkan siswa-siswi di kelas lain. Siswa akselerasi adalah siswa yang memiliki inteligensi diatas rata-rata. Dengan demikian prestasi akademiknya berbeda dengan siswa reguler pada umumnya. Namun pada kenyataannya banyak siswa akselerasi yang memiliki prestasi akademik yang biasa biasa saja bahkan rendah, tidak sedikit siswa program akselerasi yang dipindahkan ke kelas regular. Menurut data yang didapat melalui sesi wawancara dengan R guru BK kelas akselerasi di SMA Negeri 1 Samarinda pada tanggal 17 November 2013, menjelaskan bahwa pada tahun 2011 pernah terjadi pergeseran drastis pada kelas akselerasi, dari 26 siswa dalam satu kelas hanya tersisa 17 orang saat diadakan perpindahan kelas hal ini terjadi karena nilai mata pelajaran yang menurun dan keterlambatan dalam pengumpulan tugas yang sering dilakukan. Hal ini tentu menjadi sebuah permasalahan pada program kelas akselerasi karena pada hakikatnya siswa-siswi akselerasi dituntut untuk mampu mekasimalkan kecerdasan istimewa dan bakat istimewa yang dimiliki. Menurut Fasikhah dan Fatimah (2013) permasalahan tersebut berdampak buruk terhadap siswasiswi akselerasi diantaranya adalah kurangnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan tanggung jawab terhadap diri sendiri, tugas-tugas sekolah dan juga kegiatan didalam maupun diluar sekolah yang berakibat pada penurunan kualitas dan kuantitas siswa akselerasi terutama dalam penelitian ini adalah siswa akselerasi di SMA Negeri 1 Samarinda yang diharapkan mampu mencetak siswa-siswi berprestasi dan terpilih setiap tahunnya. Savira dan Suharsono (2013). Menjelaskan bahwa ketika siswa akselerasi dengan berbagai harapan yang ada memiliki pengaturan diri yang buruk dalam belajar, maka akan mengakibatkan tersia-sianya potensi yang dimiliki. Tidak terutup kemungkinan dapat berdampak negatif pada prestasi belajar yang diperolehnya, bahkan dapat menjadi seorang underachiever (berprestasi rendah). Menurut Santrock (2007) siswa yang memiliki kemampuan self-regulated learning menunjukan karateristik mengatur tujuan belajar untuk mengembangkan ilmu dan meningkatkan motivasi, dapat mengendalikan emosi sehingga tidak mengganggu kegiatan pembelajaran, memantau secara periodic kemajuan target belajar, mengevaluasinya dan membuat adaptasi yang diperlukan sehingga menunjang dalam prestasi, oleh karena itu kemampuan self-regulated learning sangat penting dimiliki oleh pelajar terutama siswa akselerasi, agar memiliki tanggung jawab yang besar terhadap diri dan perilaku demi tercapainya tujuan yang telah ditargetkan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan 7 siswa akselerasi semuanya mengakui adanya kesulitan mengatur diri dalam belajar. Siswa A menyatakan sering mengalami kelelahan akan jadwal belajar yang padat sehingga sering membuat mereka melakukan penundaan dalam memulai mengerjakan tugas, siswa B mengaku tidak memiliki waktu yang cukup untuk memahami pelajaran dengan baik dan mengevaluasi tugas sebelum dikumpulkan, Siswa C mengaku sering melakukan penundaan karena melakukan aktifitas lain selain aktifitas sekolah karena bosan dengan kegiatan belajar yang ada, hal senada juga diungkapkan ke empat siswa akselerasi lainnya yang mengakui sulitnya mengatur diri dalam belajar sehingga mengakibatkan sering terjadinya penundaan dalam memulai mengerjakan maupun menyelesaikan tugas sekolah atau prokrastinasi akademik. Saaat ini prokrastinasi adalah masalah umum yang terjadi di dunia pendidikan dan sesuatu yang mengancam bagi pelakunya. Prokrastinasi patut diwaspadai terlebih pada siswa dengan potensi unggul seperti peserta akselerasi, sebab siswa yang berpotensi intelektual atau berbakat secara akademik sangat diharapkan dapat menjalankan aktifitas akademik dengan lebih produktif dan hasil maksimal. Setiap individu khususnya pelajar terutama mereka yang tengah menyandang status sebagai siswa-siswi akseleresai atau percepatan harusnya memiliki kemampuan meregulasi diri yang baik dalam kehidupannya dan dapat mengendalikan diri baik berupa pikiran, perasaan dan perilaku serta bertanggung jawab terhadap perilakunya untuk mencapai tujuan yang telah ditargetkan tanpa melakukan penundaan terhadap tugas-tugas yang diberikan. Jurnal Penelitian dan Pendidikan IPS (JPPI) Volume 11 No 2 (2017) 213-235
7. Latar Belakang Masalah
Adanya kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang beroreantasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang . Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dalam penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami. Bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah team yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut. (1) Proses belajar: a) Belajar tidak sekedar menghafal. Siswa harus mengkontruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri, b) Anak belajar dari mengalami. Anak mencari sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru dan bukan diberi begitu saja oleh guru, c) Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan, d) Pengetahuan tidak dapat dipisah-[pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah. Tetapi mencerminkan ketrampilan yang dapat diterapkan, e) Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru, f) Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, g) Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan ketrampilan seseorang. (1) Transfer belajar: a) Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain, b) Ketrampilan dan pengetahuan itu deperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit), c) Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan ketrampilan itu. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 diberlakukan bahwa Standar Kompetensi Lulusan Satuan pendidikan (SKL-SP) pada sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah, sebagai berikut: 1). Menjalankan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan anak, 2). Mengenal kekurangan dan kelebihan diri sendiri, 3). Mematuhi aturan- aturan sosial yang berlaku dalam lingkungannya, 4). Menghargai keberagaman agama, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi di lingkungan sekitarnya, 5). Menggunakan informasi tentang lingkungan sekitar secara logis, kritis, dan kreatif, 6). Menunjukkan kemampuan berfikir logis, kreatif dan kreatif dengan bimbingan guru/pendidik, 7). Menunjukkan rasa keingintahuan yang tinggi dan menyadari potensi, 8). Menunjukkan kemampuan memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan seharihari, 9). Mununjukkan kemampuan mengenali gejala alam dan sosial lingkungan sekitar, 10). Menunjukkan kecintaan dan kepedulian terhadap lingkungan, 11). Menunjukkan kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa, negara dan Tanah Air Indonesia, 12). Menunujukkan kemampuan untuk melakukan kegiatan seni dan budaya lokal, 13). Menunjukkan kebiasaan hidup bersih, shat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang, 14). Berkomunikasi secara jelas dan santun, 15). Bekerjasama dalam kelompok, tolong menolong, dan menjaga diri sendiri dalam lingkungan keluarga dan teman sebaya, 16). Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis, 17). Menunjukkan ketrampilan menyimak, berbicara, membaca, menulis dan berhitung. Sedangkan berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) terbaru tahun 2012, bahwa standar kompetensi lulusan di SD/MI Tahunmenetapkan bahwa mutu lulusan merupakan bagian penting dalam pemenuhan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan yaitu: Standar kompetensi lulusan, Standar isi, Standar proses, Standar pendidikan dan tenaga kependidikan, Standar sarana dan prasaran, Standar pengelolaan, Standar Pembiyaan Pendidikan, Standar penilaian pendidikan. Tinggi rendah mutu lulusan ditentukan oleh tinggi rendahnya sumber daya manajemen. Manajemen dalam menentukan kurikulum, pendidik, proses pembelajaran, penilaian, sarana,dan prasarana yang diperlukan sekolah dapat menunujang keberhasilan mutu lulusan yang tinggi. Menurut Sardiman dalam Susanto (2013: 57) menyatakan bahwa minat timbul tidak secara tiba-tiba atau spontan, melainkan timbul akibat dari partisipasi, pengalaman, kebiasaan pada waktu belajar atau bekerja. Jadi, jelas bahwa, minat akan selalu terkait dengan persoalan kebutuhan dan keinginan. Dalam kaitannya dengan belajar, Hansen dalam Susanto (2013: 57) menyebutkan bahwa minat belajar siswa erat hubungannya dengan kepribadian, motivasi, ekspresi dan konsep diri atau identifikasi, faktor keturunan dan pengaruh eksternal atau lingkungan. Dalam praktiknya, minat atau dorongan dalam diri siswa terkait dengan apa dan bagaimana siswa dapat mengaktualisasikan dirinya melalui belajar. Dimana identifikasi diri memiliki kaitan dengan peluang atau hambatan siswa dalam mengekspresikan potensi atau kreatifitas dirinya sebagai perwujudan arti minat spesifik yang dia miliki. Adapun faktor keturunan dan pengaruh eksternal atau lingkungan lebih berkaitan dengan perubahanperubahan yang terjadi dari minat siswa akibat dari pengaruh situasi kelas, sistem, dan dorongan keluarga. The perception of attachment effect in parents and peers on aggressive behavior in male adolescents
8. Latar Belakang Masalah
The case of child abuse is an interesting topic to investigate because it has increased almost every year. Data record from the Indonesia Child Protection Commission, the number of child abuse cases in 2011 were 2178 cases. It increases to 3512 cases in 2012. In 2013, there were 4311 cases, and it increases to 5066 cases in 2014 (Setyawan, 2015). Observation made by KPAI in 2012 from 9 provinces found around 78.3 percent of children under 18 years old, were perpetrators of violence (Tim Liputan Kemenpppa, 2016). In September 2016, there was a fight between junior high school students in Ternate that ended up stabbing action made by his friend. The initial cause of the fight was a misunderstanding (Yamin, 2016). The authors also found a similar phenomenon in Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Antasena Magelang. Based on an interview with one of the residents there, GL (13 years old) on December 18th, 2016, states that there had been a fight between residents on Thursday, December 15th, 2016. The interviewee said that the fight occurred because of misunderstanding. Fortunately, the fight was found out by the institution officer so the victim, JF, immediately taken to the clinic and did not suffer any serious injuries. Based on an interview with the victim, JF confirmed that there had been fought and he became the wrong target victim. The explanation above shows that child abuse cases are increasingly worrying. It is because violence cases committed by adolescent’s cause injuries, even hospital treatment for the victims. The violence perpetrator must also be held accountable for their actions by following the judicial process, in which they are often being pressured by justice system. In addition, they also lose their opportunity to go to school because they are most likely expelled. Such event is contrary to Law No. 17 of 2007, which states that adolescents are the nation’s succession generation, so they are expected to be able build positive self-potential through formal and nonformal education (Undang-Undang Republik Indonesia, 2007). However, the fact is adolescents doing some actions that can reduce their qualities through acts of violence. Violence is a form of aggressive behavior. A high level of aggressive behavior in adolescents does not suddenly appear, but it is preceded by aggressive behavior from childhood. Parents who ignore emotional and physical needs and tend to hurt their children, speak rudely, and threaten them, will trigger children’s aggression. Children will feel unloved and tend to develop negative beliefs towards their parents and others such as hostile intentions (Ul-Morshed, Nirobe, & Naz, 2015). Aggressive behavior is an act of hurting others (Dodge, Coie, & Lynam, 2007). A similar statement is also proposed by Bukhori (2005) that aggressiveness is behavior aimed at human or inanimate objects which intend to harm and hurt both physically and psychologically. There are two motives for individuals doing aggression. First, an unpleasant event tends to be interpreted negatively and resulting anger called reactive aggression. Second, for achieving a certain goal or called proactive aggression, individual assumes that aggressive response is an appropriate response (Crick & Dodge, 1996). Although individual motives differ for aggressive behavior, form of behavior remains the same, namely open (physically and verbally) (Dodge et al., 2007). Physical aggression is an act of harming by doing physical actions, while verbal aggression is an act of harming by verbal expression (Eliani, Yuniardi, & Masturah, 2018). Aggressive behavior in adolescents occurs due to failure and inability to process social information (Bukhori, 2008). Dodge (in Shaffer, 2009) explained that aggressive behavior in adolescent through five stages in processing social information, namely receiving cues (encoding), interpretation of social information by seeing others having hostile intentions, seek and choose responses based on the scheme, and establish aggressive behavior as appropriate behaviors. According to this model, individuals choose solutions aggressively based on aggressive schemes obtained from their past experience, namely when children learn their first social interaction. Family environment, especially parents have an important role in childhood development. Interaction occurs between children and parents will form an emotional bond called attachment. High level of attachment is characterized by adolescents feeling safe because both parents have high concern for them such as closeness, empathy, more affection, warm emotions, giving encouragement for their autonomy and independence, not behaving overprotective (Guarnieri, Ponti, & Franca, 2010). A high level of attachment is a reflection of positive interactions between children and parents. It accommodates children's emotional needs. When children’s emotional needs are fulfilled, they will not experience emotional deficiency which can lead to negative behavior (Mortazavi, Sohrabi, & Hatami, 2012). Attachment form from children's relationship with their first attached figure and it is mother. Initial experience to attached figures facilitates informing individual mental image and others, as referred to the internal working model. This mental model tends to be persistent and used as a behavior basis (Bowlby, 1969). A low level of attachment is a reflection of negative interactions between parents and children. Negative interaction is such as exposure to violence perpetrated by parents against their children, both physically and verbally. Attachment experience facilitates forming a negative mental model that is used to predict and interpret others’ behavior (Collins & Read, 1990) and as behavior basis (Colin, 1996). Based on Bowlby’s attachment theory framework (in Armsden & Greenberg, 1987), there are three aspects of attachment, namely communication, trust, and alienation. The ability of attached figures who are responsive to adolescent needs when they feel depressed will build their trust in the attached figures. Attached figures’ responsiveness performed by good communication makes adolescents not to feel strange (Laumi & Adiyanti, 2012). Adolescents’ attachment refers to not only aspects of parent-child relationships, but is also associated with adolescents’ relationships with their peers. Closeness, togetherness, and openness to peers who reach their peak in adolescents, make relationships with their peers can be considered as type of attachment relationships (Collins & Laursen, 2004). Adolescents develop attachment relationships with their peers as emotional supporters (Nelis & Rae, 2009) so peers’ refusal in adolescents makes them aggressive, antisocial, isolated, and unhappy (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). A high level of secure attachment to peers is when adolescents feel that peers are always there for them when it is needed (Nickerson & Nagle, 2005), made by friendship (Guarnieri et al., 2010). A high level of secure attachment to peers is associated with positive social competence, and low level of school regulation’s violations (Gullone & Robinson, 2005). The existence of positive social competence tends to make children interpreting their friends because they tend to assume that their friend’s negative behavior is temporary and can be forgiven (Trentacosta & Fine, 2010). Based on previous research, a low level of attachment to peer’s influences adolescents’ aggressive behavior in cyberspace. Adolescent with low level of attachment to peers tends to have low empathy so they tend to hurt their friends (Wright et al., 2015). Based on the explanation above, this study examines if there is influence perception of attachment to father, mother, and peers to aggressive behavior in male adolescents. Aggressive behavior in adolescents is manifestation of attachment to parent. Low level of perception of attachment to parent, will form negative mental model towards themselves and others so adolescent will see themselves as worthless, and see others as negative and has hostile intentions (Simons, Paternite, & Shore, 2001). Because of negative mental model existence, adolescent will see their peers having hostile intentions so they tend to have low level of attachment qualities towards peers. Low quality of attachment to peers is associated with low level of empathy and caring so adolescents will tend to hurt their friends (Nikiforou, Georgiou, & Stavrinides, 2013). THE RELATIONSHIP BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND STUDENTS ENGLISH ACHIEVEMENTAT X MIA AND IIS OF SMA NEGERI 8 BENGKULU
9. Latar Belakang Masalah
School as formal institution is a place to achieve the goal of education. Through the school, students learn many things. In formal education, study shows the changes that are positive so that at a later stage the skills, expertise and new knowledge will be obtained.The results of the learning process are reflected in academic achievement. However, in order to achieve satisfy academic achievement, the students need a learning process. Learning process that occurs in individual was an important thing, because through studying, individual was familiar with their environment and tried to adapt the surrounding environment. According to Irwanto (1997) learning is a process of change has not been able to be able and occur within a specified period. By learning, students can realize ideals expected. In the process of teaching and learning in schools, frequently there were students who cannot achieve equal learning achievement with their intelligence capabilities. There were students who had high intelligence capability but earned relatively low learning achievement. While, there were students who despite has relatively low intelligence capabilities but can achieve relatively high academic achievement. That was why the level of intelligence was not the only factor that determined the success of a person, because there were any other factors that influence. According to Goleman (2016), intelligence quotient (IQ) only accounted for 20% of our success, while 80% is the contribution factors other forces, such as emotional intelligence or Emotional Quotient (EQ), the ability to motivate, overcoming frustration, impulse control, set the mood (mood), empathy and the ability to work together. In the process of student learning, the intelligence was indispensable. IQ cannot function properly without the participation of emotional appreciation ofthe subjects presented in school, but usually the intelligence is complementary. The balance between IQ and EQ is the key to success for students at school (Goleman, 2016). Education in schools was not only necessary to develop rational intelligence, but also need to develop emotional intelligence students. Based on researchers observation on one-month teaching practice or internship 3 at SMAN 8 Bengkulu, researcher found that the academic achievement in the school was generally good. Besides that, the learning situation had been created well. Many facilities which used to support learning process were available, such as free internet connection, library, science laboratory, music room, and the other facilities. The researcher experience in teaching at that school, researcher taught one class of MIA and two classes of IIS. MIA is mathematics and natural science, while IIS is the social sciences.The researcher found that there were significant differences in students learning. The students of X MIA have high motivation to study, it can be seen from the students participation in learning process. Most students’ were active in learning process, they were eager to ask and answer the question from the teacher. Unfortunately, most students of X IIS had low motivation to study, there were many students who came late and did not make the assigments. Also most students of X IIS have low score in mid-test and final test. Based on that experience, the researcher concluded that there was another factor which influences students in learning. The researcher guesses that factor was emotional intelligence. According to Yusuf (2004), there are positive and negative emotions. First, positive emotions will affect students to focus on the learning activities, like take notice the teacher's explanations, reading a book, active in discussions, doing task, and discipline in learning. Positive emotions can be same like feelings of happy, spirited or curiosity. Second, negative emotions, so the learning process will experience an obstacle. Student cannot focus to learn so that most likely will have failed in their learning. Negative emotions can be unhappy, disappointed and not excited. Moreover, before conducting this research, there were some researches which are closely related to this research. First, the research was conducted by Guna (2012) who investigated the correlation between Emotional Intelligence and Students’ Achievement. The subject of this research was 10th grade in SMA Negeri 3 Salatiga. The result of the correlation test, it could be concluded that there was no correlation between EI and students' achievement. Second, the research was conducted by Azimifar (2013) who investigated the relationship between emotional intelligence and academic achievement. The result revealed no statistically significant correlations between student scores on the SEI-YV and the achievement tests among Iranian students at elementary schools. Both researches had the different result may be due to the different subject of the research. For that reason, the researcher conducted or did a research about the relationship between emotional intelligence and English students achievement. Based on the explanation above it was found that emotional intelligence and students’ achievement had no significant correlation. So, the researcher wanted to investigate whether or not there was a relationship between emotional intelligence and students achievement of High School students in Bengkulu. The researcher conducted a research at the first grade students of Senior High School Number 8 Bengkulu. The researcher also had an access to this School because the researcher have done the internship III there. The title of this research was “The Relationship Between Emotional Intelligence and Students English Achievement”. This research was continuing the study of the relationship between emotional intelligence and English students achievement in order to find out whether or not emotional intelligence had a significant relationship and English students achievement. THE RELATIONSHIP OF STAFF JOB SATISFACTION AND INTENTION TO LEAVE FROM A HOSPITAL
10. Latar Belakang Masalah
Human resource is one of the vital assets in an organization since organizational
success is mostly determined by the element of human (Ardana, Mujiati and Utama, 2012). Every organization has a goal that must be achieved, and one of the parties that carry out the role is employees. According to Mangkuprawira (2007), employees have material and non-material needs that must be valued by their organization. The material needs can be in the form of compensation and career received while the non-material needs can be in the form of respect for the staffs as members of the social system of the organization. If these needs are met, the staffs will be satisfied and organizational goals can be carried out effectively and efficiently. This is why the organization is required to provide guarantees for the staff job satisfaction. Job satisfaction is a general attitude of an individual towards his work (Robbin and Timothy, 2008). Job satisfaction is a general attitude towards someone's work that shows the difference between the number of awards received and the number of awards he should receive. A person with a high level of job satisfaction will hold positive feelings towards his work. On the other hand, someone with a low level of job satisfaction will show negative attitudes towards his job. In general, when talking about staff’s attitudes, it will refer to the staff’s job satisfaction (Robbins & Coulter 2012). Staff’s job satisfaction also has an impact on organizational productivity (Sari, Armanu and Afnan, 2016). According to Putra (2017), when an individual works in an organization, the results of the work completed will affect the level of organizational productivity. Therefore, these individuals must maintain their job satisfaction to improve their productivity. The statement is in accordance with the research of Harrisma and Witjaksono (2013), stating that job satisfaction has a positive and significant effect on work productivity. Job satisfaction is influenced by many factors. According to Nasution, Musnadi and Faisal (2018), work involvement, workload and organizational culture have a significant and positive effect on staff job satisfaction. In the end, job satisfaction brings positive and significant effect on staff performance (Nasution, Musnadi and Faisal, 2018). The discrepancy of staffs' expectations and reality of the working conditions in the organization can lead to job dissatisfaction. Employees with high stress of work can also experience job dissatisfaction (Damar, Yasa, and Sitiari, 2017). Job dissatisfaction can trigger the staffs' desire to quit the work, or commonly called, intention to leave. This is in accordance to the result of Putra`s research (2017) which states that job satisfaction has a positive effect on intention to leave. In addition, employees who have high commitment to the organization may change the other employees' intention to move out or leave the organization (Ayu, 2016). Job satisfaction is also able to increase the employee motivation to work, so the probability to be consistent with work goals is even greater (Indy and Handoyo, 2013). The existence of work motivation can also improve employee work performance (Putra and Wikansari, 2017). The staffs with intention to leave may execute turnover in their organization. Turnover is a permanent dismissal of a staff from the company which may be done either by the staff himself, or by the company (Robbins and Timothy, 2008). Turnover occurs because of three factors i.e. company factors, personal factors, and external environmental factors. The company factors include company size, policy, job characteristics, job security, organizational culture, organizational learning culture, job involvement, perceived organizational support and psychological atmosphere. While personal factors affecting turnover can be in the form of age, gender, education, skill, interest, behavioural control, health, marital status, family size, work period, workload, work commitment, job satisfaction and intention to leave. Lastly, the external environmental factors include hospital location, hospital competitors, job availability and employment opportunities outside the profession. One of the personal factors that cause turnover is the intention to leave of the staff. The turnover process is basically initiated by a staff's desire to quit the organization, or simply called, intention to leave. Intention to leave is the staff's motive to get out of the organization deliberately (Ayu, 2016). Berry & Morris (2008) argued that intention to leave refers to the voluntary intention of an employee to leave the organization. This is evidenced by the emergence of the intention to leave before the employee actually leaves the organization. An employee with the intention to leave has great possibility to do turnover. The intention to leave is marked by a variety of things related to the staff's behavior, such as increased attendance, laziness to work, and increased courage to oppose superiors. According to Harnoto (2002), each sign can be used as a reference to predict the intention to leave of employees in an organization. Intention to leave can occur through a psychological process (Mangkuprawira, 2007). Initially, an employee feels a decline in the level of job satisfaction. Soon after, low job satisfaction will decrease motivation which is characterized by the emegence of stress, physical illness, laziness to work, decreasing work quality, diminishing personal communication and ignorance towards his work tasks. The employee will start to contemplate about finding alternative employment. The employee will compare the alternative job with his current job and make decision to stay or to leave the company. The last stage is the action decided by the employee to stay or leave the organization. According to Mathis and Jackson (2009), there are several components determining the intention to leave, whether a staff stay or leave the organization, namely organizational components, staff relations, career opportunities, awards and design of tasks and jobs. Meanwhile, according to Mobley (1986), the factors that determine the intention to leave are organizational factors, individual factors, external factors and internal factors. Organizational factors include job category, size of the organization, size of the work unit, salary and workload. On the other hand, individual factors cover age, work period, gender, education, geographic data, personality, interest and talent. Internal factors include organizational culture, leadership style, job satisfaction, compensation and career development. For the last, external factorsconsist of environmental and individual aspects. From the theory explanation, it can be seen that satisfaction influences staff’s intention to leave. An employee who has the intention to leave the organization will likely to execute turnover. Every organization needs to know and understand the causes of turnover since turnover induces costs for the organization (Putra, 2017). Those costs consist of promotion costs, recruitment fees and staff coaching costs. When an organization experience a turnover, the organization has lost some staffs and should replace them with new ones to keep the organization running. This can lead to an adverse impact to the organization (Putra, 2017). Turnover does not only cause loss by the emersion of the costs, but also brings other damages to the organization. These damages may include production loss during the staff turnover, accidents caused by the inexperienced new staffs, not optimal use of production equipment, and overtime work that has to be done by the staffs who still remain in the organization to avoid production delays. Therefore, a high turnover rate in an organization needs to be handled seriously since it can threaten the survival of the organization. Surabaya Orthopaedic and Traumatology Hospital were established in 2010. Health services provided by the hospital are in the form of specialization and subspecialty in the field of traumatology and Orthopaedic that is supported by radiology specialists, Medical Rehabilitation, and Medical and Surgical Support. According to the Law of Ministry of Health of Republic of Indonesia Number 44 of 2009, hospital is a health service institution that performs individual health services completely by providing inpatient, outpatient, and emergency services. In providing a complete health service, the hospital is required to have qualified human resources. Therefore, the hospital is required to manage its human resources very well since they play an important role in the success of hospital services and has become one of the factors that shows the competitive advantage of the hospital (Ayu, 2016). However, Surabaya Orthopaedic and Traumatology Hospital still has some constraints regarding its human resource assets or staffs in its operation. In the period from January to June of 2012, the employee turnover rate is 26,92% or increasing reached 1,39% from the previous period. It is caused by changing number of employee by addition of 28 staffs and reduction of 14 staffs. It means that the number of the staffs who left the hospital was half of the number of the staffs recruited. The study conducted by Ayu (2016) shows that the level of Staff turnover of the Surabaya Orthopaedic and Traumatology Hospital in 2012 reached 88%. According to these data, it can be concluded that the turnover rate of Surabaya Orthopaedic and Traumatology Hospital staffs in 2012 was high and the hospital staffs intention to leave was quite high. Turnover in health care organizations is a serious challenge to the efficiency and effectiveness of every health care system since it brings negative impact. Using previous study result descriptions as bases, this study aims to examine the relationship of job satisfaction and intention to leave of the Surabaya Orthopaedic and Traumatology Hospital staffs. Researchers choose to study the intention to leave due to the fact that there is high intention to leave of Orthopaedic and Traumatology Hospital staffs. Besides, the employee turnover rate in the first semester of 2012 was 26.92% while the total employee turnover rate in 2012 was 88%. Job satisfaction is studied since staff job satisfaction is the fundamental factor that affect intention to leave and hospital productivity. This research uses quantitative study approach so that in-depth interviews are not conducted to present in-depth information about a relationship or phenomenon. This has become a limitation for the study and will be written as a suggestion for the future researchers.