Anda di halaman 1dari 17

1.

(1893-ARTICLE TEXT-3113-1-10-20170915)

PENGARUH PENERAPAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DAN MINAT


BELAJAR SISWA TERHADAP PRESTASI BELAJAR ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
KELAS V DI SDN GUGUS SEKOLAH LUMBANG KABUPATEN PASURUAN

Latar Belakang Masalah

Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan konsep belajar


yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dalam penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran
diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan
siswa bekerja dan mengalami. Bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran
lebih dipentingkan daripada hasil.

Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai
berikut. (1) Proses belajar: a) Belajar tidak sekedar menghafal. Siswa harus mengkontruksikan
pengetahuan di benak mereka sendiri, b) Anak belajar dari mengalami. Anak mencari sendiri pola-pola
bermakna dari pengetahuan baru dan bukan diberi begitu saja oleh guru, c) Para ahli sepakat bahwa
pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam
tentang sesuatu persoalan, d) Pengetahuan tidak dapat dipisah-[pisahkan menjadi fakta-fakta atau
proposisi yang terpisah. Tetapi mencerminkan ketrampilan yang dapat diterapkan, e) Manusia
mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru, f) Siswa perlu dibiasakan memecahkan
masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, g) Proses belajar
dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan
organisasi pengetahuan dan ketrampilan seseorang. (1) Transfer belajar: a) Siswa belajar dari mengalami
sendiri, bukan dari pemberian orang lain, b) Ketrampilan dan pengetahuan itu deperluas dari konteks
yang terbatas (sedikit demi sedikit), c) Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia
menggunakan pengetahuan dan ketrampilan itu.

Menurut Sardiman dalam Susanto (2013: 57) menyatakan bahwa minat timbul tidak secara tiba-
tiba atau spontan, melainkan timbul akibat dari partisipasi, pengalaman, kebiasaan pada waktu belajar
atau bekerja. Jadi, jelas bahwa, minat akan selalu terkait dengan persoalan kebutuhan dan keinginan.
Dalam kaitannya dengan belajar, Hansen dalam Susanto (2013:57) menyebutkan bahwa minat belajar
siswa erat hubungannya dengan kepribadian, motivasi, ekspresi dan konsep diri atau identifikasi, factor
keturunan dan pengaruh eksternal atau lingkungan. Dalam praktiknya, minat atau dorongan dalam diri
siswa terkait dengan apa dan bagaimana siswa dapat mengaktualisasikan dirinya melalui belajar. Dimana
identifikasi diri memiliki kaitan dengan peluang atau hambatan siswa dalam mengekspresikan potensi
atau kreatifitas dirinya sebagai perwujudan arti minat spesifik yang dia miliki. Adapun faktor keturunan
dan pengaruh eksternal atau lingkungan lebih berkaitan dengan perubahanperubahan yang terjadi dari
minat siswa akibat dari pengaruh situasi kelas, sistem, dan dorongan keluarga.
2. (3575-9389-1-PB)

HUBUNGAN SELF-REGULATED LEARNING DENGAN PROKRASTINASI


AKADEMI PADA SISWA AKSELERASI

Latar Belakang Masalah

Kelas akselerasi merupakan kelas yang memberlakukan percepatan dalam masa studi dan
kurikulumnya sehingga siswa dengan syarat tertentu saja yang dapat menjadi siswa akselerasi. Seperti
kemampuan intelegensi diatas 130, memiliki dan pengikatan pada tugas yang baik (Depdiknas, 2007).
Program akselerasi dilakukan oleh peserta didik yang memiliki kemampuan luar biasa (unggul) dalam
rangka mencapai target kurikulum Nasional dengan mempertahankan mutu pendidikan sehingga
mencapai hasil yang optimal (Syamril & Nuryana, 2008).

Program percepatan belajar adalah salah satu program layanan pendidikan khusus bagi peserta
didik yang oleh Renzulli (dalam Hawadi, 2004) telah diidentifikasi memiliki kemampuan intelektual
umum pada taraf cerdas, memiliki kreativitas dan keterikatan terhadap tugas di atas rata-rata, untuk dapat
menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar mereka. Sesuai dengan hasil
wawancara yang dilakukan peneliti dengan R guru BK di SMA Negeri 1 Samarinda pada tanggal 16
November 2013, di SMA Negeri 1 Samarinda sendiri telah menetapkan beberapa tahapan yang harus
dilalui siswa untuk masuk dalam kelas akselerasi yaitu berupa tes akademik yakni mengerjakan soal
matematika, fisika, kimia, Biologi, bahasa Indonesia dan bahasa inggris, tujuannya adalah untuk
mengetahui sejauh mana pemahaman calon siswa akslerasi terhadap mata pelajaran tersebut serta tes
wawancara dengan kriteria penilaian tangguh dan mandiri, bertanggung jawab, menetapkan tujuan yang
realistis dengan tingkat risiko sedang, suka belajar dan memiliki orientasi tugas yang baik, konsentrasi
baik, mempunyai hasrat untuk meningkatkan diri, mempunyai hasrat untuk bekerja sebaik-baiknya,
mempunyai hasrat untuk berhasil bidang akademis. Melalui hal tersebut sudah dapat dipastikan bahwa
siswasiswi pada kelas akselerasi memiliki beban tugas yang lebih besar terhadap diri sendiri dan tugas-
tugas sekolahnya dibandingkan siswa-siswi di kelas lain.

Siswa akselerasi adalah siswa yang memiliki inteligensi diatas rata-rata. Dengan demikian
prestasi akademiknya berbeda dengan siswa reguler pada umumnya. Namun pada kenyataannya banyak
siswa akselerasi yang memiliki prestasi akademik yang biasa biasa saja bahkan rendah, tidak sedikit siswa
program akselerasi yang dipindahkan ke kelas regular. Menurut data yang didapat melalui sesi
wawancara dengan R guru BK kelas akselerasi di SMA Negeri 1 Samarinda pada tanggal 17 November
2013, menjelaskan bahwa pada tahun 2011 pernah terjadi pergeseran drastis pada kelas akselerasi, dari 26
siswa dalam satu kelas hanya tersisa 17 orang saat diadakan perpindahan kelas hal ini terjadi karena nilai
mata pelajaran yang menurun dan keterlambatan dalam pengumpulan tugas yang sering dilakukan. Hal
ini tentu menjadi sebuah permasalahan pada program kelas akselerasi karena pada hakikatnya siswa-siswi
akselerasi dituntut untuk mampu mekasimalkan kecerdasan istimewa dan bakat istimewa yang dimiliki.

Menurut Fasikhah dan Fatimah (2013) permasalahan tersebut berdampak buruk terhadap
siswasiswi akselerasi diantaranya adalah kurangnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan tanggung
jawab terhadap diri sendiri, tugas-tugas sekolah dan juga kegiatan didalam maupun diluar sekolah yang
berakibat pada penurunan kualitas dan kuantitas siswa akselerasi terutama dalam penelitian ini adalah
siswa akselerasi di SMA Negeri 1 Samarinda yang diharapkan mampu mencetak siswa-siswi berprestasi
dan terpilih setiap tahunnya. Savira dan Suharsono (2013). Menjelaskan bahwa ketika siswa akselerasi
dengan berbagai harapan yang ada memiliki pengaturan diri yang buruk dalam belajar, maka akan
mengakibatkan tersia-sianya potensi yang dimiliki. Tidak terutup kemungkinan dapat berdampak negatif
pada prestasi belajar yang diperolehnya, bahkan dapat menjadi seorang underachiever (berprestasi
rendah).

Menurut Santrock (2007) siswa yang memiliki kemampuan self-regulated learning menunjukan
karateristik mengatur tujuan belajar untuk mengembangkan ilmu dan meningkatkan motivasi, dapat
mengendalikan emosi sehingga tidak mengganggu kegiatan pembelajaran, memantau secara periodic
kemajuan target belajar, mengevaluasinya dan membuat adaptasi yang diperlukan sehingga menunjang
dalam prestasi, oleh karena itu kemampuan self-regulated learning sangat penting dimiliki oleh pelajar
terutama siswa akselerasi, agar memiliki tanggung jawab yang besar terhadap diri dan perilaku demi
tercapainya tujuan yang telah ditargetkan.

Saaat ini prokrastinasi adalah masalah umum yang terjadi di dunia pendidikan dan sesuatu yang
mengancam bagi pelakunya. Prokrastinasi patut diwaspadai terlebih pada siswa dengan potensi unggul
seperti peserta akselerasi, sebab siswa yang berpotensi intelektual atau berbakat secara akademik sangat
diharapkan dapat menjalankan aktifitas akademik dengan lebih produktif dan hasil maksimal. Setiap
individu khususnya pelajar terutama mereka yang tengah menyandang status sebagai siswa-siswi
akseleresai atau percepatan harusnya memiliki kemampuan meregulasi diri yang baik dalam
kehidupannya dan dapat mengendalikan diri baik berupa pikiran, perasaan dan perilaku serta bertanggung
jawab terhadap perilakunya untuk mencapai tujuan yang telah ditargetkan tanpa melakukan penundaan
terhadap tugas-tugas yang diberikan.
3. (4259-8470-2-PB)

PENGARUH MEDIA PEMBELAJARAN TERHADAP MUTU PEMBELAJARAN PADA


SEKOLAH DASAR BERAKREDITASI A

Latar Belakang Masalah

Proses pembelajaran merupakan proses transformasi informasi baik ilmu pengetahuan maupun
materi pembelajaran yang disampaikan guru ataupun sumber lain kepada siswa atau pun penerima
informasi lain melalui alat atau media tertentu (Kwartolo, 2005; Muhammad, 2011; Wijanarko &
Purnomo, 2014). Penyampaian informasi atau pesan dalam pembelajaran dapat dilakukan dalam berbagai
cara baik secara verbal maupun non verbal sehingga informasi atau pesan yang disampaikan guru dapat
diterima dengan baik oleh siswa, akan tetapi tidak dapat dipungkiri kemungkinan kegagalan penerimaan
informasi atau pesan bisa saja terjadi dalam proses pembelajaran, untuk itu penggunaan media
pembelajaran yang tepat dapat membantu proses penyampaian informasi atau pesan dalam pembelajaran
berlangsung secara efektif (Criticos, 1996; Gagne, 1985; Sadiman, dkk.,1990).

Berdasarkan hal di atas, salah satu faktor penentu berhasil atau tidak berhasilnya proses
pembelajaran berlangsung adalah media pembelajaran. Banyak upaya yang dilakukan guna meningkatkan
mutu pembelajaran. Akan tetapi dalam prakteknya penggunaan media pembelajaran kerap kali
mendapatkan kendala seperti terbatasnya jumlah media dan kemampuan memaksimalkan pemanfaatan
media (Maila, 2014; Obeidat & Al-Share, 2012). Berdasarkan hal tersebut, keberadaan media ini menjadi
penting adanya, karena pendekatan, metode atau strategi apapun yang digunakan dalam pembelajaran
tidak akan memberikan manfaat dan makna apapun terhadap peningkatan mutu pembelajaran selama
dalam penggunaan dan pemanfaatan media pembelajaran tidak optimal(Haryoko, 2010; Sunaengsih,
2015; Nurseto, 2011).

Pandangan masyarakat sekarang ini, memperlihatkan suatu fakta kalau mutu pembelajaran pada
sekolah terakreditasi A jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan mutu pembelajaran pada sekolah
dasar yang ada di Indonesia dengan nilai akreditasi lebih rendah. Ketersediaan media pembelajaran yang
memadai pada sekolah terakreditasi A menjadi salah satu penyebab timbulnya pandangan tersebut. Ini
pun yang menjadi salah satu latar belakang peneliti untuk menganalisa bagaimana media pembelajaran
berpengaruh terhadap mutu pembelajaran yang ada di Sekolah terakreditasi A dengan judul penelitian
Pengaruh Media Pembelajaran Terhadap Mutu Pembelajaran Pada Sekolah Dasar Terakreditasi A.

Adapun tujuan penelitian ini untuk melakukan kajian tentang pengaruh media pembelajaran
terhadap mutu pembelajaran di SDN Dr. Cipto Kota Bandung. Adapun tujuan dari penelitian ini secara
khusus yaitu untuk mengetahui: Pertama deskripsi penggunaan media pembelajaran di SDN Dr. Cipto
Kota Bandung; kedua, deskripsi mutu pembelajaran di SDN Dr. Cipto Kota Bandung; ketiga, pengaruh
media pembelajaran terhadap mutu pembelajaran di SDN Dr. Cipto Kota Bandung.
4. (871-1770-1-SM)

PENGARUH KETERLIBATAN AYAH TERHADAP CYBERBULLYING REMAJA


PENGGUNA INSTAGRAM

Latar Belakang Masalah

Cyberbullying atau perundungan dalam dunia maya adalah kegiatan membahayakan yang
dilakukan dengan sengaja dan berulang melalui komputer, ponsel, dan perangkat elektronik lainnya
(Sameer & Hinduja, 2010). Banyak ahli yang mendefinisikan tentang cyberbullying. Menurut Donegan
(2012), cyberbullying adalah perilaku kekerasan yang terjadi di dunia maya. Aktivitas tersebut dilakukan
menggunakan media elektronik, seperti pesan instan, surat elektronik, chat rooms, websites, game online,
situs jejaring sosial, atau pesan teks (Kowalski & Limber, 2013).

Instagram adalah aplikasi media sosial berbagi foto secara bebas (Al-Kandari, Melkote, & Sharif,
2016). Instagram adalah sebuah platform media sosial berbasis gambar dengan lebih dari 80 juta gambar
diunggah ke aplikasi tersebut per harinya (dalam Fardouly, Willburger, & Vartanian, 2017).
Instagrammers dapat menentukan profil akun mereka menjadi akun pribadi atau akun publik yang dapat
dilihat oleh pengikut (followers) akun mereka. Followers mereka dapat melihat feeds foto dan
menggunakan tombol suka (like), memberikan komentar serta mengekspresikan perasaan dan opini
mereka pada foto-fotonya.

Penggunaan Instagram membawa beberapa masalah bagi penggunanya. Bahkan Instagram


dikategorikan sebagai media sosial yang berpengaruh buruk terhadap kesehatan mental penggunanya
(Royal Society For Public Health, 2017). Instagram membawa beberapa dampak negatif bagi
penggunanya seperti cemas berlebihan, depresi, rasa takut tertinggal tren/berita (FOMO : Fear of Missing
Out). Instagram tak luput dimanfaatkan oleh orangorang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan
tindak kejahatan, seperti perundungan maya atau cyberbullying (Royal Society For Public Health, 2017).

Karakterisitik untuk pelaku cyberbullying adalah dengan menghina dan mengejek pada saat
korbannya menggunggah foto atau menggunggah status. (Wiryada, Martiarini, Budiningsih, 2017),
memiliki tingkat empati yang rendah (Doane, Pearson, & Kelly, 2014), agresif secara verbal (Roberto,
Eden, Savage, Ramos-Salazar, & Deiss, 2014), dan cenderung memiliki tingkat psikotik yang tinggi
(Ozden & Icellioglu, 2014). Mereka yang berada di kelompok pelaku sekaligus korban (dan terutama
kelompok pelaku sekaligus korban cyberbullying) paling banyak memiliki skor negatif pada segi
kesehatan psikologis, fisik, kesehatan, dan kinerja akademis. Efek tersebut juga menyebabkan korban
cyberbullying memiliki karakteristik yang juga mengalami kekerasan di sekolah, memiliki self-esteem
yang rendah, memiliki gangguan kecemasan, mengalami isolasi sosial, mengalami penurunan prestasi
akademik dan kehadiran di sekolah, depresi, serta kecenderungan bunuh diri (Runk, 2006).

Keterlibatan orang tua dan melakukan pengasuhan adalah tugas yang dilakukan oleh suami-istri
yang telah menjadi ayah dan ibu. Ikatan ayah dan ibu dengan anak akan memberikan warna tersendiri,
umumnya ibu memerankan sosok yang memberikan perlindungan dan keteraturan, sedangkan ayah
membantu anak bereksplorasi dan menyukai tantangan. Pada ibu, anak dapat belajar seperti kelembutan,
kontrol emosi dan kasih sayang, sedangkan pada ayah anak belajar ketegasan, sifat maskulin,
kebijaksanaan, keterampilan kinestetik dan kemampuan kognitif. Peran ayah juga membantu anak bersifat
tegar, kompetitif, menyukai tantangan dan senang bereksplorasi.

Peran ayah memiliki peran penting untuk mengatasi distress dan ketidakbahagiaan anak yang
mengalami bullying. Hal itu ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan Flouri & Buchanan (2002), figur
ayah dapat mengatasi ketidakbahagiaan di masa remaja. Menurut Amato (dalam Flouri & Buchanan,
2002), kedekatan dengan ayah telah terbukti memberikan kontribusi yang unik untuk kebahagiaan dan
kepuasan hidup anak. Amato (dalam Flouri & Buchanan, 2002) menunjukkan bahwa untuk kepuasan
hidup, kebahagiaan, dan tekanan psikologis, kedekatan dengan ayah menghasilkan hubungan yang
signifikan independen daripada kedekatan dengan ibu. Selain itu, penelitian yang dilakukan Hwang dan
Lamb (dalam Flouri & Buchanan, 2002) menunjukkan bahwa anak-anak dengan hubungan baik dengan
ayah mereka cenderung lebih memiliki kondisi psikologis yang baik, menjadi individu yang lebih baik di
sekolah, menjadi individu yang kurang terlibat dalam perilaku antisosial, dan memiliki hubungan intim
yang lebih sukses. Menurut Langos (2012), ada empat aspek utama dalam perilaku cyberbullying yaitu :

1. Repetisi (repetition) yaitu sebuah jalan perilaku yang bertentangan dengan satu insiden;

2. Ketidakseimbangan Kekuatan (Power Imbalance) yaitu keadaan dimana pelaku menunjukkan


kekuasaan atas target;

3. Niat untuk menyakiti (Intention to harm) yaitu perilaku harus dimaksudkan melakukan tindakan yang
bukan sebuah kecelakaan;

4. Agresi yaitu perilaku yang melibatkan kejahatan pada pihak aggressor.

Dalam perilaku cyberbullying, ada 4 peran yang tercipta, yaitu pelaku, korban, pelaku sekaligus
korban, dan individu yang tidak terlibat dalam kedua peran tersbut atau biasa disebut dengan not involved
(Kowalski & Limber, 2013). Pembagian peran ini hampir sama dengan peran yang tercipta dalam
bullying tradisional, yang membedakannya adalah media yang digunakan untuk melakukan bullying yaitu
melaui media elektronik.

Pengukuran keterlibatan ayah menggunakan teori yang diciptakan oleh Finley dan Schwartz
(2004) dengan pendekatan melalui persepsi anak terhadap keterlibatan ayahnya. Pendekatan tersebut
terbagi ke dalam dua domain yaitu Father Nurturance dan Father Involvement.

Father Nurturance menunjukkan persepsi anak terhadap kualitas afeksi di dalam hubungan antara
dirinya dengan ayahnya. Persepsi anak menunjukkan apakah tercipta hubungan yang hangat dan perasaan
diterima oleh ayahnya. Pengukuran pada kualitas afeksi didasarkan sembilan item yang dibuat oleh Finley
dan Schwartz (2004).

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengembangan teori
mengenai keterlibatan ayah dan cyberbullying pada remaja pengguna media sosial Instagram baik yang
menjadi pelaku atau yang menjadi korban cyberbullying. Selain itu, penulis juga berharap dapat
memberikan manfaat praktis mengenai gambaran pengaruh keterlibatan ayah dengan cyberbullying
remaja pengguna media sosial Instagram dan diharapkan masyarakat dan orangtua dapat membantu
mencegah dan mengurangi dampak dari cyberbullying yang dialami remaja.
5. (7365-13044-1-SM)

HUBUNGAN SIBLING RELATIONSHIPS DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA


SISWA SMP N 1 BUKIT TINGGI

Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan hal yang fundamental di Indonesia dan merupakan salah satu faktor
penunjang untuk memperlihatkan kewibawaan suatu bangsa. Pendidikan yang baik maka akan
melahirkan generasi penerus bangsa yang kompeten dibidangnya. Hal ini dapat menjadikan kondisi
bangsa mengalami perubahan dan perbaikan dengan adanya penerus bangsa yang cakap dalam berbagai
bidang (Putri, 2018).

Menurut Syah (2012) prestasi belajar merupakan pengungkapan hasil belajar yang didalamnya
terdapat perubahan psikologis sebagai akibat dari pengalaman dan proses belajar siswa. Hasil belajar
biasanya diukur dengan menggunakan tes, ujian, dan ulangan untuk melihat keberhasilan dalam proses
belajar mengajar. Maka siswa yang memilki prestasi belajar yang tinggi dapat meningkatkan
kepercayaan dirinya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Tripathy dan Srivastava (2017) menyatakan
bahwa prestasi belajar memiliki hubungan dengan kepercayaan diri siswa. Prestasi belajar juga
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik itu internal maupun eksternal. Salah satu faktor eksternal yang
mempengaruhi prestasi belajar adalah hubungan dengan keluarga.

Hal ini sesuai dengan penelitian Pajoluk (2013) menyatakan bahwa selain orangtua dan teman
sebaya yang dekat dengan mereka, relasi saudara juga sebagai predictor dalam pencapaian akademik.
Berdasarkan penelitian Herrick (2008) mendapatkan hasil bahwa sibling relationship sangat penting
dalam sistem keluarga karena sangat berpengaruh pada intelektual, emosional, dan sosial terhadap
anggota keluarga. Hubungan dengan keluarga yang bisa selalu memberikan dukungan adalah ketika
hubungan tersebut memiliki jangka panjang yang cukup lama atau bahkan hubungan itu adalah hubungan
terlama dibandingkan dengan hubungan sosial dalam keluarga lainnya. Penelitian yang dilakukan
McHale, Updegraff, dan Whiteman (2012) menyatakan bahwa sibling relationship dapat memberikan
pengaruh langsung seperti berbagi saran dalam setiap masalah atau keterlibatan sehari-hari, sebagai
model pembelajaran sosial, saudara bisa memberikan saran dan perkembangan yang positif dalam
penilaian masalah.

Penelitian akhir-akhir ini menemukan secara konsisten bahwa sibling relationship atau hubungan
saudara menjadikan saudara lainnya sebagai role model dalam hidupnya (Brim dalam McHale,
Updegraff, & Whiteman, 2012). Sehingga apapun yang dikerjakan dan dilakukan saudara khususnya
saudara yang lebih tua menjadi contoh bagi saudara lainnya. Penelitian lain mengindikasikan bahwa
saudara memiliki banyak kesamaan yang signifikan dalam hal hasil akhir akademik, dan pekerjaan
(Lewin, Hops, Davis, & Dishion, 1993). Saudara dapat memberikan dampak bagi satu sama lain baik itu
perilaku, prestasi akademik, belajar maupun perkembangan selama rentang kehidupan, yang mana hal ini
tidak ada sangkutannya dengan faktor genetis mereka.
6. (3234-6921-1-SM)

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANGTUA DENGAN KEMATANGAN EMOSI


REMAJA

Latar Belakang Masalah

Remaja yang dalam bahasa latin disebut adolescence yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh
menjadi dewasa”. Istilah remaja mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan emosional,
mental, sosial dan fisik, dimana masa remaja merupakan masa transisi dalam rentang kehidupan manusia
yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Ali & Asrori, 2010: 9).Masa remaja dimulai
sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada sekitar usia 18 hingga 22 tahun (Santrock, 2007: 20).

Masa remaja merupakan titik puncak emosionalitas, dimana terjadi perkembangan emosi yang
tinggi, salah satunya terdapat pada pertumbuhan fisik remaja, terutama organ-organ seksual yang
mempengaruhi berkembangnya emosi atau perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan baru yang dialami
sebelumnya, seperti perasaan cinta, rindu, dan keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan jenis
(Yusuf, 2012: 197).

Murray (1997 : 1) mendefinisikan kematangan emosi sebagai suatu kondisi mencapai


perkembangan pada diri individu dimana individu mampu mengarahkan dan mengendalikan emosi yang
kuat agar dapat diterima oleh diri sendiri maupun orang lain. Menurut Murray (dalam Kapri & Rani,
2014: 360) seorang remaja dikatakan telah memiliki kematangan emosi bila ia memiliki karakteristik
kematangan emosi berikut (1) mudah mengalirkan cinta dan kasih sayang; (2) mampu untuk menghadapi
kenyataan; (3) kemampuan menilai secara positif pengalaman hidup; (4) mampu berfikir positif mengenai
diri pribadi; (5) penuh harapan; (6) ketertarikan untuk memberi; (7) kemampuan untuk belajar dari
pengalaman; (8) kemampuan menangani permusuhan konstruktif; (9) berfikir terbuka.

Pembentukan kematangan emosi tidak lepas dari peranan pola asuh orangtua, karena orangtua
adalah orang pertama yang memiliki peranan dalam mengatur dan mendidik seorangremaja untuk
memperoleh kematangan emosi yang baik. Hurlock (1980: 115) mengatakan bahwa masalah emosi yang
terjadi pada remaja dapat diakibatkan salah satunya oleh pola asuh orangtua.

Orangtua yang authoritative akan memiliki sikap “acceptance” dan kontrol yang tinggi terhadap
remaja, bersikap responsif terhadap kebutuhan remaja, mendorong remaja untuk menyatakan pendapat
atau pertanyaan dan memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk
(Baumrind dalam Yusuf, 2012: 52).

Pola asuh orangtua yang authoritative akan berdampak kepada kematangan emosi remaja, hal ini
dikarenakan remaja yang diasuh dengan pola asuh authoritative akan memiliki kemampuan dapat
menghindari permusuhan karena pola asuh orangtua yang selalu menjelaskan mengenai dampak
perbuatan baik dan buruk kepada dirinya, remaja mudah mengalirkan cinta dan kasih sayang karena sikap
responsif dan “acceptance” yang diterima remaja dari kedua orangtuanya, serta remaja mampu berfikir
positif mengenai diri pribadinya. Hal ini sesuai dengan penelitian Baumrind (1991: 62) yang mengatakan
bahwa remaja yang diasuh menggunakan pola asuh authoritative akan memiliki sikap optimis, berprestasi
di sekolah, bertanggung jawab, serta lebih berkompeten dibandingkan teman-temannya. Sementara itu,
orangtua yang authoritarian akan memiliki sikap “acceptance” yang rendah namun kontrolnya tinggi
terhadap remaja, suka menghukum secara fisik, bersifat mengomando, bersikap kaku (keras), dan
cenderung emosional serta bersikap menolak (Baumrind dalam Yusuf, 2012: 52).

Pola asuh authoritarian yang diterapkan orangtua akan berdampak kurang baik pada kemampuan
remaja dalam melakukan pengontrolan emosi. Hal ini dikarenakan, pola asuh yang diterima remaja di
rumah cenderung emosional dan keras sehingga remaja akan merasa tidak nyaman, akan mengalami
tekanan, mudah mengalami stres, memiliki sikap pencemas, emosi yang tidak stabil, penakut, pendiam
serta tertutup, dan remaja yang diasuh menggunakan pola asuh authoritarian lebih mudah terpengaruh
untuk melakukan pelanggaran norma sehingga tingkat kematangan emosi remaja sangatlah rendah. Hal
ini sesuai dengan penelitian Baumrind (1991: 62) yang mengatakan bahwa remaja yang diasuh
menggunakan pola asuh authoritarian akan susah dalam mengontrol emosinya, kurang memiliki prestasi
di sekolah, dan cenderung terjerumus ke dalam perilaku negatif.

Selain itu, remaja yang diasuh dengan gaya pengasuhan authoritarian punya potensi untuk tidak
mudah mengalirkan cinta serta kasih sayang dikarenakan sikap kaku yang diterima remaja dari kedua
orangtua. Remaja juga kurang dapat mengatur hidupnya untuk masa depan karena masa depan remaja
berada ditangan kedua orangtuanya.

Orangtua yang permissive akan memiliki sikap “acceptance” yang tinggi namun kontrolnya
rendah terhadap remaja dan memberikan kebebasan kepada remaja untuk menyatakan dorongan atau
keinginannya (Baumrind dalam Yusuf, 2012: 52). Pola asuh permissive yang diterapkan orangtua akan
membuat remaja memiliki kontrol emosi yang rendah dan kecenderungan memiliki perilaku agresif, hal
ini dikarenakan kontrol perilaku orangtua yang rendah terhadap remaja dan membuat remaja tidak
memiliki rasa takut akan melanggar peraturan. Sehingga akan berdampak seringnya remaja mengalami
permusuhan baik itu di sekolah, di rumah maupun di lingkungan masyarakat.

Berdasarkan ketiga pola asuh orangtua, yaitu pola asuh orangtua yang authoritative, authoritarian,
dan permissive. Pola asuh yang authoritative merupakan pola asuh yang dapat menimbulkan sikap
kematangan emosi pada remaja sedangkan pola asuh authoritarian dan permissive merupakan pola asuh
yang kurang dapat menimbulkan sikap kematangan emosi pada remaja.

Berdasarkan uraian yang peneliti kemukakan di atas maka “Ada Hubungan Antara Pola Asuh
Orangtua Dengan Kematangan Emosi”. Secara rinci hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
(1) Ada hubungan positif antara pola asuh orangtua yang authoritative dengan kematangan emosi remaja;
(2) Ada hubungan negatif antara pola asuh orangtua yang authoritarian dengan kematangan emosi remaja;
(3) Ada hubungan negatif antara pola asuh orangtua yang permissive dengan kematangan emosi remaja.
7. (878-1705-1-PB)

KORELASI PERAN KELUARGA TERHADAP PENYESUAIAN DIRI REMAJA

Latar Belakang Masalah

Keluarga adalah suatu unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan
beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling
ketergantungan, mulai dari anak bergantung kepada ibu, ayah kakak, abang maupun sebaliknya
kesemuanya saling membutuhkan. Yusuf menyatakan keluarga merupakan lingkungan pertama dan
utama bagi anak, sehingga kedudukan keluarga dalam perkembangan psikologis anak sangatlah dominan.

Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu menjadi bagian dari lingkungan tertentu
dimanapun individu berada, ia akan berhadapan dengan harapan dan tuntutan tertentu dari lingkungan
yang harus dipenuhinya. Di samping itu individu juga memiliki kebutuhan, harapan, dan tuntutan di
dalam dirinya, yang harus diselaraskan dengan tuntutan dari lingkungan. Bila individu mampu
menyelaraskan kedua hal tersebut, maka dikatakan bahwa individu tersebut mampu menyesuaikan diri.
Jadi, penyesuaian diri dapat dikatakan sebagai cara tertentu yang di lakukan oleh individu untuk bereaksi
terhadap tuntutan dalam diri maupun situasi eksternal yang di hadapi.

Proses perkembangan penyesuaian diri remaja ditandai dengan muncul dinamika perkembangan
dalam keluarga yang sangat tinggi, membawa implikasi imperatif akan pentingnya intervensi pendidikan
yang dilakukan secara sistematis dengan sungguh-sungguh, dan terkoordinir guna membantu proses
perkembangan remaja agar berkembang kearah yang lebih baik. Peran pendidikan yang dapat dilakukan
orangtua antara lain, dalam kehidupan keluarga mesti terciptanya suatu interaksi yang bersifat edukatif,
orangtua dapat memberi stimulus agar terhindar dari identitas yang negatif pada diri remaja yang
sesungguhnya, dan orang tua dapat dijadikan sebagai model bagi remaja dalam segala tingkah laku yang
menyilang sehingga dapat mengganggu proses perkembangan penyesuaian diri. Selain perubahan yang
terjadi dalam diri remaja, terdapat pula perubahan dalam lingkungan seperti sikap orang tua atau anggota
keluarga lain, guru, teman sebaya, maupun masyarakat pada umumnya. Kondisi ini merupakn reaksi
terhadap pertumbuhan remaja. Remaja dituntut untuk ,mampu menampilkan tingkah laku yang dianggap
pantas atau sesuai bagi orag-orang seusianya. Adanya perubahan baik di dalam (introvert) maupun dari
luar (extrovert) dirinya itu membuat kebutuhan remaja semakin meningkat terutama kebutuhan sosial dan
kebutuhan psikologisnya.

Individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri
sebagai individu yang unik dan tidak tergantung pada orang tua merupakan ciri-ciri masa remaja awal
(12-15 tahun). Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya
konformitas yang kuat dengan teman sebaya.3 Schaneiders juga mengatakan bahwa individu yang dapat
menyesuaikan diri dengan baik adalah individu yang mempunyai keterbatasan pada dirinya, belajar untuk
bereaksi terhadap dirinya dan lingkungan dengan cara yang matang, bermanfat, efesien, dan memuaskan,
serta dapat menyelesaikan konflik, frustasi, maupun kesulitan-kesulitan pribadi dan sosial tanpa
mengalami gangguan tingkah laku.

Pendidikan merupakan salah satu cara individu menyesuaikan diri selama periode penyesuaian
diri itu, ada masa dimana individu tidak begitu saja dilepaskan dari pengaruh luar, sehingga dibentuklah
usaha dalam cara mengatur pengaruh luar itu dengan sebaikbaiknya, disesuaikan dengan sifat-sifat kodrat
anak didik yang dikenal dengan nama sekolah. Sedangkan selama hidup manusia dihadapkan dengan
proses penyesuaian diri terhadap keadaan baru, perubahan suasana dan kebutuhan baru. Pengalaman-
pengalaman pahit dan manis menjadi suatu pelajaran bagi usaha penyesuaian diri agar anak didik pada
usia selanjutnya mampu mengadakan penyesuaian diri secara layak dan sehat. Pendidik berkewajiban
melatih anak didik menyadari kemampuannya, mengadakan penyesuaian diri terhadap pengaruh dan
tuntutan luar melalui cara yang benar agar dapat hidup dengan harmonis.

Tindak kriminal penyalah gunaan narkotika, seks bebas, aborsi dan tawuran adalah beberapa
contoh dari kegagalan penyesuaian diri terhadap tekanan dan frustasi yang dialami dari lingkungan.
Karena tuntutan dari kemiskinan yang dideritanya, seorang individu mampu melakukan tindak kriminal
seperti mencuri, menodong bahkan membunuh. Begitu pula dengan perubahan yang dialami oleh
seseorang dalam lingkungannya, perubahan tersebut akan menjadi sumber stres dan ia dituntut untuk
menyesuaikan diri sehingga terbentuk kembali keharmonisan antara kebutuhan dirinya dan tuntutan
lingkungan.

Hasil observasi awal terdapat beberapa remaja yang mengalami kegagalan dalam penyesuaian
dirinya, seperti tidak mampu melakukan penampilan nyata, tidak mampu menyesuaikan diri dengan
berbagai kelompok, tidak bisa berinteraksi sosial dengan masyarakat, tidak bisa menerima keadaan
dirinya. Kegagalan tersebut diprovokasi oleh masalah dengan keluarga seperti, status ekonomi orang tua
menengah ke bawah, orang tua yang sangat sibuk bekerja, orang tua yang kurang perhatian kepada anak-
anaknya, orang tua yang terlalu otoriter sehingga menyebabkan anak kurang memiliki harga diri, tidak
percaya diri, prestasi belajar rendah, kurang dapat bergaul dengan teman, mengalami kendala saat
penyesuaian diri dengan teman yang status ekonomi orang tuanya menengah ke atas, anak menjadi nakal,
sikap bermusuhan, gelisah, dan agresif.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan betapa pentingnya peran keluarga terhadap
penyesuaian diri remaja. Keluarga mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam membantu proses
penyesuaian diri remaja untuk bisa berinteraksi dengan teman-teman di sekolah serta menjalin hubungan
dengan orang-orang dewasa di luar lingkungan rumah dan sekolah, yaitu lingkungan masyarakat baik
dalam hal negatif maupun positif.
8. (4725-8817-1-SM)

THE RELANTIONSHIP BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND STUDENTS


ENGLISH ACHIEVEMENTANT X MIA AND IIS OF SMA NEGERI 8 BENGKULU

Latar Belakang Masalah

School as formal institution is a place to achieve the goal of education. Through the school,
students learn many things. In formal education, study shows the changes that are positive so that at a
later stage the skills, expertise and new knowledge will be obtained.The results of the learning process are
reflected in academic achievement. However, in order to achieve satisfy academic achievement, the
students need a learning process.

In the process of teaching and learning in schools, frequently there were students who cannot
achieve equal learning achievement with their intelligence capabilities. There were students who had high
intelligence capability but earned relatively low learning achievement. While, there were students who
despite has relatively low intelligence capabilities but can achieve relatively high academic achievement.
That was why the level of intelligence was not the only factor that determined the success of a person,
because there were any other factors that influence. According to Goleman (2016), intelligence quotient
(IQ) only accounted for 20% of our success, while 80% is the contribution factors other forces, such as
emotional intelligence or Emotional Quotient (EQ), the ability to motivate, overcoming frustration,
impulse control, set the mood (mood), empathy and the ability to work together.

Based on researchers observation on one-month teaching practice or internship 3 at SMAN 8


Bengkulu, researcher found that the academic achievement in the school was generally good. Besides
that, the learning situation had been created well. Many facilities which used to support learning process
were available, such as free internet connection, library, science laboratory, music room, and the other
facilities.

The researcher experience in teaching at that school, researcher taught one class of MIA and two
classes of IIS. MIA is mathematics and natural science, while IIS is the social sciences. The researcher
found that there were significant differences in students learning. The students of X MIA have high
motivation to study, it can be seen from the students participation in learning process. Most students’
were active in learning process, they were eager to ask and answer the question from the teacher.
Unfortunately, most students of X IIS had low motivation to study, there were many students who came
late and did not make the assigments. Also most students of X IIS have low score in mid-test and final
test. Based on that experience, the researcher concluded that there was another factor which influences
students in learning. The researcher guesses that factor was emotional intelligence.

According to Yusuf (2004), there are positive and negative emotions. First, positive emotions will
affect students to focus on the learning activities, like take notice the teacher's explanations, reading a
book, active in discussions, doing task, and discipline in learning. Positive emotions can be same like
feelings of happy, spirited or curiosity. Second, negative emotions, so the learning process will
experience an obstacle. Student cannot focus to learn so that most likely will have failed in their learning.
Negative emotions can be unhappy, disappointed and not excited.
Based on the explanation above it was found that emotional intelligence and students’
achievement had no significant correlation. So, the researcher wanted to investigate whether or not there
was a relationship between emotional intelligence and students achievement of High School students in
Bengkulu. The researcher conducted a research at the first grade students of Senior High School Number
8 Bengkulu. The researcher also had an access to this School because the researcher have done the
internship III there.
9. (124-455-1-PB)

CHILDREN RESILIENCE IN DEALING WITH PARENTAL DIVORCE BASED ON


THE ABILITY TO REGULATE EMOTIONS AND OPTIMISM

Latar Belakang Masalah

Individuals often face wih bitter events and discouraging events in life and the ability to learn
anddeal eith these painful experiencesis essential for the overall wellbeing of a person (Albuquerque,
Almeida, Cunha, Medureira & Andrade, 2015). For instance, resilient, people are able to take lessons
behind the problems whichoccur and regain normalcy (Dawson & Pooley, 2013). These individuals also
have the willingness to learn and adapt to conditions (ifdil & Taufik, 2012) As opposed to those a low
level of resilience as a dynamic process which included a positive adaptation supported by the condition
around the individual such as family, colleagues and the surrounding community.

Family problem is one of the conditions requiring students to be resilient. in general, a family is
the primary development environment since children start life and grow from the existing relantionship.
For instance, the links which benefit children include the interrelation between parents and children, and
father, mother and child interactions with other family members living together (omoruyi, 2014). In the
family, the child obtains the primary education from the parents, the basis for development and life in the
future. For this reason, parents play a critical role in the development of children (Aressa, Nirwana, &
Bentri, 2016). Family conditions characterized bydisputes compromisesthe role of parents in this regard
(Savitri, 2016). If a conflict between parents is not addressed, it might lead to divorce. Separation of
parents is more damaging to children and family relationshipssince the adjustment period for divorce is
longer and more difficult for the child than compared to the death of the parent. Most children go through
five stages in this adjustment, includingrejection of divorce, anger directed at those involved in the
situation, bargaining to unite parents, depression, and ultimately acceptance (Hurlock, 2011). Besides,
separation caused by divorce is a severe problem since childrentend to be different in peer groups.

The impact of parental divorce is very diverse and complex (Cui, Fincham, & Durtschi, 2011).
According to Stahl, it has a negative impact, such as making an academic failure, irregularities in eating
and sleeping, suicide, juvenile delinquency, drug abuse, fears of family loss, feeling guilty, angry, and
depression (Aminah, Andayani, & Karyanata, 2012; Nadeak, 2014). The signs of depression in
adolescents according to (Ramadhani & Retnowati, 2013) includechanges in mood or loss of interest in
all activities, sadness, looking unhappy, fussy, complaining, and irritable. This is in line with Brooks
(2011) explaining that in case a divorce occurs, achild experiencesan emotional reaction whichusually
happens irrespective of the age, including sadness, fear, depression, anger, and confusion. Symptoms of
depression, stress, anxiety, and other psychological disorders arise sincechildren are not in a position to
manage their emotionseffectively. However, in the face of parental separation, each child is expected to
demonstrate the ability to regulate emotions.

Furthermore, children from divorced families tend to experience academicdifficulties, external


issues, such as voicing feelings and delinquency, and internal problems, includinganxiety and depression.
Besides, they often show a lack of social responsibility, poorintimate relationships, dropping out of
school, dealing with antisocial peers, have a lowlevel of self-worth. According to Aziz (2015); Pratama,
Syahniar, & Karneli (2016), victims of broken homesfearteachers since they are considered harmful and
aggressive, violating school rules, speaking harshly, resisting/opposing, not moral orpolite, lazy to go to
school, like being truant, do not like learning, oftenmake noise andseek attention, anddisturb friends and
teachers. Furthermore, children lose concentration during learning as a result of the separation between
parents, leading to anacademic failure (Rahmi, Mudjiran, & Nurfarhanah, 2014; Tumiyem, Daharnis, &
Alizamar, 2015). These impacts show theoptimism for adolescents is low due to the lack of acceptance of
divorce by their parents.
10. (EJ800299)

FIRST LOVE : A CASE STUDY IN QUANTITATIVE APPROPRIATION OF SOCIAL


CONCEPTS

Latar Belakang Masalah

Studying love, not in the least its first occurrences, constitutes an interesting phenomenological
oxymoron. Who would ever need to define, delimit, its enchanting appeal, its poetic necessity, its
humanizing agency? Moreover, who could ever “measure” its occurrences, render it commensurable?

A range of approaches to love-related phenomena does allow an analysis of Western love’s


discursive association to its timing as normal, appropriate, or possible: psychoanalysis, human ethology,
ethnology, psychoneuroendocrinology, symbolic interactionism, linguistics, and social constructionism
(Janssen, 2003, II, ch. 15). In this paper I propose a critique of the exacting science of “first love,”
arguing that this informs a more general critique of the milestone trope in developmental studies. My
objections can be formulated as follows. First, chronometric approaches by definition propose to
neutralize the highly idiosyncratic status culturally reserved for mental states per se and for highly
invested autobiographical markers more specifically, and (thus) these approaches seem to antagonize (or
in fact ignore) the widely recognized charisma and humanizing properties of “personal” milestones in
Western developmental theory. “First love” arguably qualifies triply here.

Second, the motivated, occasioned nature of research may be obscured by implicit or explicit
claims to objectivity. This may entail, as will be suggested below, the tacit introduction of exclusions,
centric operationalizations, and a reductive evaluation of scientific salience.

Lastly, the quantitative paradigm fails to address any existing developmental, ethnographic,
ethnolinguistic, and discursive ambiguities of love, as well as of the eventual connotation of its “first
occurrence.” In other words, it fails to address the process and performance of biography, in which, for
instance, psychological states are “worked up” as salient events and as markers of existential or social
“growth,” “ascent,” or “development.” Clearly being-in-love is not as unproblematically eventful as a
(first) kiss (Regan, Shen, de la Peña, & Gosset, 2007). Thus, quantification may paradoxically render
problematic any attempt to compare the “timing” of personal events, at least as studied through diverse
research schemes.

My objections, then, take issue with the commonly made distinction of qualitative findings and
quantitative data or givens, and the proposition that the former may supplement, “broaden the evidence
base” of (e.g., Barbour, 2000), or ideally be “incorporated” (Pearson, 2004) in, quantitative overviews.
Qualitative research may, more radically, suggest that research results are neither simply found
(encountered) or given (collected), more specifically that quantitative aggregation of results as such
entails the methodological proposition or tacit acceptance or assumption of conventional ways of
representation. Representation is left out of the analysis. That is to say; what is being pinpointed in time
may be crucially entangled with the act (in research contexts we must say: occasion, or better:
occasioning) of the pinpointing, and thus with its context, format, purpose. The value of qualitative
approaches focusing on narrative-in-context, and narrative-in-action allows the emergence of objective
ontologies of what is pinpointable, and what properties facilitate anchorage-in-time. Asking for being-in-
lovefor-the-first-time, are we “getting at” affective, experiential, cognitive, relational, existential,
mnemic, discursive, biographic, or yet other processes? Standardizing the process of chronometry in life
narratives does not so much compromise validity as evade the establishment of what there is to be
measured; what processes and what applications of time may be triggered by researcher occasioning of
temporal anchoring. Qualitative research, and in a more general sense Western philosophy, has long
focused on exactly these questions (What is an event? What is time? How do we relate to events and
time?).

Below, I briefly identify quantitative studies, propose a critique, and inform this critique with
ethnographic research from a range of sources. It is not among my intentions to advance a full meta-
review or more inclusive developmental theory of love, or of love in the occidental reading, other than
hinting at its widely tolerated scientific containments. Methodologically, in qualitative data the essentially
quantitative question of timing breaks down into a range of observations that deconstruct its being
answered in conventional ways, for instance in terms of “mean age” among mean ages. This paper then is
an appraisal of how quantitative operations envelop social interaction. As suggested above, this makes the
study of research on love’s timing coextensive with appraisals of the medicalization, sexualization,
developmentalization, and sociologization of 20th century “human” or “individual” trajectories. I
introduce these historical strands of confinements below, followed by an appraisal of actual studies, and a
limited exposé of qualitative findings.

Anda mungkin juga menyukai