Anda di halaman 1dari 13

LATAR BELAKANG

Pada media sosial, individu dapat terhubung dengan teman dan bertemu teman baru.
Interaksi online sering dianggap sebagai keuntungan dari aktivitas sosial offline
sehingga beberapa orang cenderung memanipulasi informasi yang mereka kirim
secara online untuk membuat identitas dirinya yang sebagian atau bahkan sama
sekali berbeda dari identitas mereka di dunia offline, yang mana disebut sebagai
rekonstruksi identitas online (Hu et al., 2015). 
Beberapa orang membangun kembali identitas mereka secara online karena
arogansi (kesombongan) ingin menarik perhatian dan mendapatkan kekaguman dari
orang lain. Misalnya, orang miskin bisa berpura-pura kaya dengan memposting foto
dirinya memakai jam tangan mahal. Sejumlah orang ingin memperoleh peningkatan
modal sosial secara online. Mengatur ulang identitas online mereka dapat memberi
mereka kesempatan baru untuk berteman dengan orang-orang dari berbagai latar
belakang. Masalah penghapusan dan privasi juga merupakan alasan penting untuk
restrukturisasi identitas online.
Mengingat bahwa beberapa aspek identitas tidak berwujud (seperti keyakinan dan
nilai), orang biasanya mengkomunikasikan identitas mereka melalui representasi diri
yang terkandung. Misalnya, seseorang dapat mengungkapkan keyakinannya dengan
mengutip kalimat bermakna di profil online. (contohnya seseorang yang sering
postingan kajian/nasehat kerohanian di medsos, jadi darisana kita bias menentukan
bahwasanya wujud keyakinan seseorang)
Telah dikemukakan bahwa budaya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
representasi diri online seseorang (Chu & Choi, 2010; Cooley & Smith, 2013; Kim
& Papacharissi, 2003; Rui & Stefanone, 2013; C. Zhao & Jiang, 2011). Misalnya,
pengguna Singapura disarankan untuk berbagi lebih banyak foto di media sosial,
sedangkan pengguna Amerika lebih sering memperbarui profil mereka dengan
konten berbasis teks (Rui & Stefanone, 2013). Studi sebelumnya juga menemukan
bahwa pengguna Amerika memposting lebih banyak foto acara sosial (seperti pesta)
untuk menunjukkan hubungan mereka dengan banyak teman, sedangkan pengguna
Rusia lebih cenderung memposting foto pribadi dengan anggota keluarga (Cooley
& Smith, 2013). Perbedaan budaya jelas terlihat dalam perilaku yang terkait dengan
rekonstruksi identitas online, tetapi sedikit upaya yang telah dilakukan untuk
menyelidiki dampak budaya terhadap motif rekonstruksi identitas online. Oleh
karena itu, lebih banyak perhatian harus diberikan untuk mengeksplorasi apakah
orang-orang dari berbagai negara memiliki motivasi yang berbeda saat mereka
memikirkan kembali identitas mereka di media sosial. Selain itu, penelitian
sebelumnya tentang perbedaan budaya terutama berfokus pada pola konsumsi
(misalnya intensitas konsumsi) dan perilaku representasi diri (misalnya strategi
manajemen profil dan strategi presentasi diri) pada bentuk platform di jaringan
sosial.
Penelitian ini meneliti tentang Tionghoa, maka Tiongkok dipilih sebagai salah
satu negara target dalam penelitian ini. Selain itu, sebagai negara berkembang
dengan jumlah penduduk Tionghoa tertinggi, Malaysia dipilih sebagai negara
sasaran lain. Warga Malaysia-Tionghoa menyumbang 22,8% dari total populasi
Malaysia (Departemen Statistik Malaysia [DOSM], 2019). Selain itu, China dan
Malaysia memiliki tingkat perkembangan ekonomi dan perkembangan media sosial
yang sama. Kekayaan nasional dipertimbangkan ketika memilih negara sasaran
karena budaya nasional banyak hubungannya dengan kekayaan nasional (Baptista &
Oliveira, 2015). Selain itu, 65% populasi Tionghoa dan 75% populasi Malaysia
secara aktif menggunakan media sosial (We Are Social, 2018). Kesamaan tingkat
perkembangan ekonomi dan laju penggunaan media sosial menjadi alasan
pengambilan sampel dalam membandingkan perilaku pengguna media sosial China
dan Malaysia. 
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa orang mungkin didorong oleh
motivasi seperti vanity, hubungan sosial, dishinbisi dan masalah privasi saat mereka
mengkonstruksikan identitas mereka secara online (Hu et al., 2015). Perbandingan
kelompok etnis yang berbeda mungkin menawarkan wawasan yang lebih dalam
tentang pengaruh budaya. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba menjawab
pertanyaan penelitian berikut: 
Hipotesis 1: Apa perbedaan motivasi antara pengguna jaringan sosial Cina dan
Malaysia dalam rekonstruksi identitas online? 
Hipotesis 2: Apa perbedaan motivasi antara pengguna dari kelompok etnis yang
berbeda (Malaysia-Melayu, Malaysia-Cina, dan Cina dari Cina)?

TINJAUAN PUSTAKA
Motivasi untuk Rekonstruksi Identitas Online 
Media sosial memberikan kesempatan yang baik untuk membuat dan mengelola
identitas online. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa orang sengaja
meningkatkan citra diri mereka di media sosial dengan strategi presentasi diri yang
positif. Seperti disebutkan di atas, orang mungkin merekonstruksi identitas online
berdasarkan ide mereka sendiri, dan mereka mungkin didorong oleh berbagai faktor,
seperti arogansi, hubungan sosial, dishinbisi dan masalah privasi (Hu et al., 2015). 
Vanity telah didefinisikan sebagai "perhatian yang berlebihan, dan / atau
pandangan positif (dan mungkin meningkat) dari penampilan fisik atau pencapaian
pribadi seseorang" (Netemeyer et al., 1995). Ini dapat dibedakan menjadi dua jenis:
arogansi fisik dan arogansi prestasi. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa
orang dengan latar belakang budaya berbeda dalam arogansi fisik dan arogansi
berprestasi. Orang-orang dari China dan India memiliki perhatian yang lebih besar
terhadap penampilan fisik daripada orang Amerika dan Selandia Baru, sementara
penilaian diri tentang pencapaian profesional lebih tinggi di budaya Barat daripada di
budaya Timur. Seiring pertumbuhan ekonomi, kesombongan menjadi semakin
menonjol di negara-negara Asia. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa
kesombongan dan pencapaian fisik adalah prediktor penting dari niat konsumen
China untuk membeli merek mewah (Hung et al., 2011). Begitupun dengan wanita
Malaysia yang lebih menyukai produk yang menunjukkan status sosial (Chui &
Samsinar, 2011).

Latar Belakang Kebudayaan Tionghoa dan Malaysia 


Pada akhir tahun 2018, penduduk Tiongkok berjumlah hampir 1,4 miliar. Penduduk
Tionghoa terdiri dari berbagai etnis. Sebagai kelompok besar, suku Han
menyumbang lebih dari 91% dari total populasi (Biro Statistik Nasional [NBS],
2019). Sebanyak 55 kelompok etnis lainnya merupakan sisa populasi  (NBS, 2019).
Bahasa resmi Tiongkok adalah Mandarin, yang dituturkan oleh sebagian besar
Tiongkok (Odinye, 2015). Untuk Malaysia, populasinya mencapai 32,58 juta pada
kuartal kedua 2019 (DOSM, 2019). Kelompok etnis utama adalah Malaysia-
Indonesia (juga dikenal sebagai penduduk asli,Aborigin Malaysia), Cina-Malaysia
dan Malaysia-India. Malaysia-Melayu menyumbang 69,3% dari total populasi,
sedangkan Cina Malaysia dan India, Malaysia masing-masing menyumbang 22,8%
dan 6,9% (DOSM, 2019). Orang dari berbagai etnis lebih menyukai bahasa ibu atau
bahasa Inggris. Misalnya, orang Malaysia-Melayu berbicara dalam Bahasa Melayu
(Melayu), sedangkan orang Malaysia-Cina lebih memilih bahasa Mandarin, Kanton,
Hakka, dan orang-orang India berbicara bahasa Tamil (Tamam, 2011; Wan Jafar,
2014). 
Kerangka Dimensi Budaya 
Berbagai teori telah dikemukakan oleh para peneliti sebelumnya untuk
mengoperasionalkan budaya. Hofstede adalah peneliti pertama yang mengukur
budaya nasional dengan enam dimensi budaya, yaitu individualisme versus
kolektivisme, kekuatan jarak, maskulinitas versus feminitas, penghindaran
ketidakpastian, orientasi jangka anjang versus jangka pendek, dan perpanjangan
versus pengekangan (Hofstede, 1980; Hofstede et al. ., 2010).
Individualisme versus kolektivisme berarti "sejauh mana orang-orang dalam
masyarakat bersatu menjadi kelompok" (Hofstede, 2011). Di negara-negara dengan
tingkat individualisme yang tinggi, orang-orang lebih memilih untuk bertindak
sebagai individu. Seorang individu harus menjaga dirinya dan keluarganya. Di
negara-negara dengan tingkat individualisme rendah (yaitu, tingkat kolektivisme
tinggi), orang berhubungan erat dengan suatu kelompok (seperti kerabat dan teman).
Anggota dalam suatu kelompok diharapkan untuk menjaga satu sama lain dan setia
kepada kelompok tersebut
Maskulinitas versus feminitas didefinisikan sebagai "sejauh mana nilai-nilai
maskulin lebih besar daripada nilai-nilai feminin" (Hofstede, 2011). Di negara
dengan maskulinitas tinggi, nilai yang dominan adalah maskulin (seperti ketegasan,
daya saing, kesuksesan, dan ambisi). Orang-orang menekankan pada pencapaian
dan kinerja. Dalam masyarakat dengan maskulinitas rendah (yaitu feminitas tinggi),
nilai yang dominan adalah feminitas (seperti merawat orang lain, hubungan pribadi
yang hangat, kualitas hidup, dan kesopanan). Orang lebih  menyukai suasana yang
bersahabat dan kerjasama (Hofstede, 2001).
Penghindaran ketidakpastian telah didefinisikan sebagai “sejauh mana budaya
memprogram anggotanya untuk merasa tidak nyaman atau nyaman dalam situasi
yang tidak terstruktur” (Hofstede, 2011). Di negara-negara dengan tingkat
penghindaran ketidakpastian yang tinggi, individu merasa terancam oleh ambiguitas
dan berusaha menghindarinya; sebaliknya, di negara-negara dengan tingkat
penghindaran yang tidak pasti, individu merasa nyaman dengan situasi yang ambigu
dan menerima ketidakpastian (Hofstede, 2011).
Orientasi jangka panjang versus jangka pendek mengacu pada sejauh mana orang
fokus pada masa depan (Hofstede, 2011). Di negara-negara yang berorientasi
jangka panjang, nilai-nilai yang berfokus pada masa depan (misalnya, berhemat dan
ketekunan).Orang membangun rencana untuk masa depan. Di negara-negara yang
berorientasi jangka pendek, nilai-nilai difokuskan pada masa lalu dan sekarang
(misalnya, penghormatan terhadap tradisi dan ketahanan dan stabilitas pribadi).
Orang-orang memiliki sikap yang mencurigakan terhadap perubahan sosial, lebih
fokus pada pencapaian hasil yang cepat (Hofstede et al., 2010). 
Indulgensi versus pengekangan diri didefinisikan sebagai tingkat "kepuasan
keinginan dasar dan alami manusia yang terkait dengan menikmati hidup dan
bersenang-senang" (Hofstede, 2011). Dalam masyarakat dengan keinginan tinggi,
kontrol kepuasan keinginan dasar relatif lemah. Orang lebih fokus pada waktu
senggang dan cenderung optimis. Pada masyarakat dengan elongasi rendah
(pengekangan tinggi), kontrol untuk memenuhi kebutuhan relatif kuat. Orang
merasa dibatasi oleh norma sosial yang ketat dan merasa bahwa waktu senggang
tidak penting (Hofstede et al., 2010). 
Studi lintas budaya yang ada tentang media sosial telah secara ekstensif meneliti
perbedaan budaya dari perspektif individualisme versus kolektivisme. Namun,
individualisme versus kolektivisme hanyalah salah satu dari enam dimensi dalam
kerangka dimensi budaya (Hofstede et al., 2010). Oleh karena itu, ada kebutuhan
untuk memperhitungkan dimensi budaya yang tersisa saat menyelidiki perilaku
orang di media sosial dalam konteks lintas budaya. 

Menggunakan Kerangka Dimensi Budaya pada Tahapan yang Berbeda 


Meskipun kerangka dimensi budaya pada awalnya dikembangkan berdasarkan data
yang berhubungan dengan pekerjaan dan awalnya diterapkan pada manajemen
sumber daya manusia, sekarang secara luas dirujuk dalam psikologi, sosiologi, bisnis,
pemasaran, dan pengelolaan studi, pada khususnya. sambil memeriksa perbedaan
budaya dalam emosi, sikap, perilaku, dan prestasi kerja seseorang (Taras et al., 2010).
Kerangka kerja ini telah digunakan di berbagai tingkat (yaitu, tingkat negara bagian,
tingkat kelompok / organisasi, dan tingkat individu). Misalnya, di tingkat nasional,
penelitian sebelumnya menemukan bahwa jarak kekuasaan dan individualitas terkait
erat dengan tingkat pengembangan sistem pemerintahan (F. Zhao, 2011). Selain itu,
ditemukan bahwa budaya nasional sangat berhubungan dengan laju pemanfaatan
teknologi informasi (TI) (Erumban & de Jong, 2006). Tingkat pemanfaatan TI lebih
tinggi di negara-negara dengan tingkat penghindaran ketidakpastian dan / atau jarak
kekuasaan yang lebih rendah (Erumban & de Jong, 2006). 
Beberapa penelitian lain juga telah menggunakan kerangka dimensi budaya di
tingkat kelompok / organisasi (Choi et al., 2016; Magnusson et al., 2014). Misalnya,
telah disarankan agar anggota grup Korea mengirim pesan lebih sering 
satu sama lain daripada anggota grup Amerika, dan konten pesan lebih bersahabat
(Choi et al., 2016). Magnusson dkk. (2014) mendalilkan bahwa nilai budaya
individualistik dan maskulin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kolaborasi
antara divisi penjualan dan departemen organisasi lainnya. 
Dalam konteks lintas budaya, Chiu dan Kosinski (1999) menemukan bahwa
perawat dari budaya individualistik (yaitu, Australia dan Amerika) menunjukkan
kepuasan kerja yang lebih jelas dan stres kerja yang lebih rendah daripada perawat
dari budaya kolektivistik (yaitu, Singapura dan Hong Kong) . 
Penelitian Hipotesis
Vanity (Maskulinitas vs Feminimitas)
Menurut Srite dan penelitian Karahanna (2006) ini, orang yang berorientasi pada
maskulinitas lebih cenderung pada nilai-nilai maskulin (misalnya, prestasi).
Perilaku mereka termotivasi untuk mencapai tujuan kerja mereka (Hofstede et al.,
2010; Srite & Karahanna, 2006), seperti prestasi, ketegasan, kemajuan, daya saing,
dan pendapatan. Sebaliknya, orang yang berorientasi feminitas lebih menekankan
pada nilai feminitas (misalnya, daya tarik fisik; Hofstede et al., 2010). Perilaku
mereka biasanya didorong untuk memenuhi tujuan pribadinya (Srite & Karahanna,
2006), seperti kepuasan hidup, hubungan yang ramah anak, dan lingkungan kerja
yang ramah. Membentuk kembali identitas di media sosial memenuhi kebutuhan
orang akan prestasi dan daya tarik fisik (Hu et al., 2015). Telah dikemukakan bahwa
penampilan fisik berkaitan dengan ciri-ciri feminin, sedangkan prestasi dan kinerja
adalah keunggulan maskulinitas (Fiore et al., 2008; Mankowski & Maton, 2010).
Menurut karya Hofstede et al. (2010), rata-rata orang Tionghoa lebih menyukai nilai
maskulin daripada orang Malaysia, sedangkan orang Malaysia lebih mendukung
nilai feminin daripada orang Tionghoa. Oleh karena itu, kami membuat hipotesis
sebagai berikut: 

Hipotesis 1 (H1): Jika dibandingkan dengan konsumen Malaysia, konsumen Cina


cenderung tidak didorong oleh kesombongan fisik selama rekonstruksi identitas
online.

Hipotesis 2 (H2): Jika dibandingkan dengan konsumen Malaysia, konsumen Cina


lebih cenderung didorong oleh kesombongan pencapaian selama rekonstruksi
identitas online. 
Hubungan Sosial (Individualis vs Kolektivis)
Atas dasar kerangka dimensi budaya, Srite dan Karahanna (2006) berpendapat
bahwa orang-orang yang berorientasi individu lebih menekankan pada tugas-tugas
pribadi, dan mereka "lebih memilih untuk bertindak sebagai individu daripada
sebagai anggota kelompok" (Srite & Karahanna, 2006). Sebaliknya, orang yang
berorientasi kolektivisme lebih memperhatikan untuk menjaga keharmonisan dalam
kelompok dan membangun hubungan kapal dengan orang lain (Srite & Karahanna,
2006). Orang kolektivis cenderung lebih saling bergantung dan lebih
memperhatikan 
hubungan interpersonal (Hofstede et al., 2010). Hubungan sosial terletak pada
hubungan yang longgar antara individu dengan latar belakang yang berbeda
(Putnam, 2000). Sangat mudah untuk menjalin hubungan seperti itu dengan orang
asing di media sosial (Ellison et al., 2007). Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa ada hubungan positif  antara kolektivisme dan perkembangan
sosial online (Lin et al., 2012). Menurut studi Hofstede et al. (2010), Cina memiliki
tingkat kolektivisme yang lebih tinggi dari Malaysia.
Pada media sosial, bagi orang yang menganggap identitas online mereka sebagai
jembatan modal sosial, mereka termotivasi untuk berteman dengan pengguna online
lainnya (Hu et al., 2015). Menjadi lebih kolektif dan berorientasi jangka panjang
(Hofstede et al., 2010), orang Cina cenderung lebih menekankan pada modal sosial
yang menjembatani daripada orang Malaysia. Identitas online yang dibangun kembali
dapat menyederhanakan proses untuk mendapatkan modal sosial yang menjembatani
(Hu et al., 2015). Oleh karena itu, kami mengemukakan hal-hal berikut: 

Hipotesis 3 (H3): Jika dibandingkan dengan konsumen Malaysia, konsumen Cina


lebih cenderung termotivasi dengan menjembatani modal sosial selama rekonstruksi
identitas online. 

Dishinbisi
Komunitas Tionghoa lebih dikendalikan daripada komunitas Malaysia dalam
beberapa aspek. Misalnya, orang Cina mungkin merasa bahwa perilaku mereka
dibatasi oleh aturan dan norma sosial yang ketat (Hofstede et al., 2010). Lingkungan
online yang santai (misalnya, media sosial) membuat individu merasa tidak terlalu
stres, yang memungkinkan mereka untuk berperilaku dan mengekspresikan diri
dengan bebas. Orang yang merasa terkekang dapat memanfaatkan efek disinhibisi
dan mengungkapkan perasaan tertindas (Suler, 2004). Selain itu, orang Tionghoa
tidak menerima ketidaksetaraan dalam distribusi kekuasaan seperti yang dilakukan
orang Malaysia (Hofstede et al., 2010). Kemungkinan besar orang Cina memiliki
masyarakat yang lebih hierarkis daripada masyarakat Malaysia. Di internet, orang
melihat tingkat pengawasan yang lebih rendah dan merasa bahwa perilaku online
mereka terputus dari kehidupan nyata mereka (Selwyn, 2008); Oleh karena itu,
individu dapat memanfaatkan penghambat efek negatif dan melepaskan emosi
negatifnya (Suler, 2004).
Dengan identitas yang direkonstruksi, orang cenderung merasa tidak terlalu dibatasi
dan bebas untuk berperilaku sesuai dengan keinginan mereka (Hu et al., 2015). Lebih
dikendalikan oleh norma-norma sosial dan kurang toleran terhadap ketidaksetaraan
dalam distribusi kekuasaan, efek di sini secara online (baik efek jinak maupun
beracun) mungkin lebih menarik bagi orang Cina daripada orang Malaysia. Oleh
karena itu, kami membuat hipotesis sebagai berikut: 

Hipotesis 4 (H4): Jika dibandingkan dengan konsumen Malaysia, konsumen Cina


lebih cenderung didorong oleh penyangkalan yang tidak berbahaya selama
rekonstruksi identitas online.

Hipotesis 5 (H5): Jika dibandingkan dengan konsumen Malaysia, konsumen Cina


lebih cenderung didorong oleh perilaku dishinbisi selama rekonstruksi identitas
online. 

Masalah Privasi 
Orang yang lebih menghindari ketidakpastian cenderung lebih cemas, kurang bersedia mengambil
risiko, dan lebih peduli atas hasil dari perilaku mereka (Hofstede et al., 2010; Srite & Karahanna,
2006). Berbagi informasi pribadi di media sosial dapat menyebabkan hasil yang tidak pasti.
Informasi pribadi dapat diakses oleh pihak ketiga yang tidak berwenang atau disalahgunakan oleh
individu jahat (Gross & Acquisti, 2005). Mengingat bahwa orang yang menghindari ketidakpastian
kurang toleran terhadap situasi ambigu, Milberg et al. (1995) mengemukakan bahwa mereka
cenderung memiliki kepedulian yang lebih besar terhadap privasi. Cao dan Everard (2008) juga
menyarankan bahwa ketidakpastian penghindaran secara positif terkait dengan masalah privasi dan
kesadaran orang. Dengan merekonstruksi identitas online, orang dapat menjaga keamanan informasi
pribadi mereka (Hu et al., 2015), dan karenanya mengurangi ketidakpastian interaksi online.
Menurut Hofstede et al. (2010), orang Malaysia memiliki tingkat penghindaran yang tidak pasti lebih
tinggi daripada orang Cina. Menjadi kurang toleran terhadap situasi yang tidak pasti, kemungkinan
besar orang Malaysia merasa lebih terancam oleh masalah privasi daripada orang China. Karenanya,
kami mengemukakan hal-hal berikut: 

Hipotesis 6 (H6): Jika dibandingkan dengan pengguna China, pengguna Malaysia lebih cenderung
termotivasi oleh masalah privasi selama rekonstruksi identitas online.

Metode Penelitian
Subjek Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan survei online yang di posting di
media sosial yang dapat menjangkau sebanyak mungkin pengguna. Mengingat bahwa orang
Tionghoa dan orang Malaysia menggunakan bentuk media sosial yang berbeda, kuesioner survei
hanya mengukur persepsi orang tentang motivasi untuk rekonstruksi identitas online secara umum.
Peserta diminta untuk menjawab pertanyaan survei berdasarkan pengalaman mereka secara
keseluruhan menggunakan formulir media sosial, tidak terbatas pada yang spesifik. Survei itu adalah
anonymous. Hanya beberapa informasi pribadi yang sangat dasar yang diperlukan, seperti jenis
kelamin dan rentang usia. Responden yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 815 responden
(418 Cina dan 397 Malaysia). Sampel Tionghoa terdiri dari 217 (51,9%) responden laki-laki dan 201
(48,1%) responden perempuan, sedangkan sampel Malaysia terdiri dari 187 (47,1%) laki-laki dan
210 (52,9%) perempuan.

Alat Ukur

Skala Vanity berisi delapan item-empat item untuk tuujuan fisik dan empat item lainnya untuk tujuan
prestasi (Netemeyer et al., 1995). Item untuk menjembatani modal sosial diadaptasi dari Williams
(2006). Skala disinhibisi berisi empat item — dua item untuk disinhibisi dan dua item untuk disinhibisi
toksik (Denollet, 2005; Stunkard & Messick, 1985). Masalah privasi dinilai oleh tiga item yang
diadaptasi dari Son dan Kim (2008).  

Hasil 
Pengujian Hipotesis 
Untuk mendapatkan gambaran keseluruhan tentang perbedaan budaya, pertama-tama kami
menganalisis data yang dikumpulkan dari China dan Malaysia secara keseluruhan. Setelah ini, kami
membagi sampel Malaysia menjadi tiga kelompok: Malaysia-Melayu, Malaysia-Cina, dan Lainnya
(yaitu, Malaysia-India dan Malaysia Lainnya). Kami kemudian menganalisis data yang dikumpulkan
dari peserta Tionghoa, Tionghoa Malaysia, dan Melayu Malaysia untuk memeriksa apakah orang dari
kelompok etnis yang berbeda memiliki motivasi yang berbeda. Peneliti menggunakan uji parametrik
dalam penelitian ini. T Analisis data dilakukan dengan uji dan ANOVA.
Gambar 1. Peserta China
Catatan. PVan = physical vanity; AVan = achievement vanity; BSC = bridging social capital; BDis = benign disinhibition; TDis
= toxic disinhibition; PC = privacy concerns.

Gambar 2. Peserta Malaysia


Catatan. PVan = physical vanity; AVan = achievement vanity; BSC = bridging social capital; BDis = benign disinhibition; TDis
= toxic disinhibition; PC = privacy concerns.

Seperti yang ditunjukkan pada tabel, peserta Malaysia mendapat skor lebih tinggi secara signifikan
pada semua item kesombongan fisik daripada peserta Cina. Ini menunjukkan bahwa, dibandingkan
dengan peserta China, peserta Malaysia lebih cenderung merekonstruksi identitas mereka untuk
meningkatkan daya tarik fisik mereka di media sosial. Oleh karena itu, H1 didukung. Namun, tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam pencapaian, kecuali bahwa peserta China menunjukkan perhatian
yang lebih besar dalam membandingkan kesuksesan mereka sendiri dengan kesuksesan orang lain.
Jadi, H2 tidak didukung. Selain itu, peserta China mendapat skor yang jauh lebih tinggi pada semua
item modal sosial yang menjembatani daripada peserta Malaysia, yang menunjukkan bahwa peserta
China lebih cenderung termotivasi dengan menjembatani modal sosial selama rekonstruksi identitas di
media sosial, yang bertujuan untuk bertemu teman baru dan membangun berbagai hubungan sosial
baru. Oleh karena itu, H3 didukung. Selain itu, peserta Cina mencetak secara signifikan lebih tinggi
pada semua item disinhibisi daripada peserta Malaysia, menunjukkan bahwa peserta Cina lebih
cenderung termotivasi oleh efek penghambatan online (baik disinhibisi rendah dan tinggi)
ketika  merekonstruksi identitas mereka secara online. Oleh karena itu, H4 dan H5 didukung.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan peserta China, peserta Malaysia mendapat skor yang jauh
lebih tinggi pada item masalah privasi, menunjukkan bahwa peserta Malaysia  lebih cenderung
merekonstruksi identitas mereka untuk tujuan melindungi privasi mereka di media sosial. Oleh karena
itu, H6 didukung. Selain memeriksa perbedaan antara Cina peserta dan Malaysia, pengukuran berulang
satu ANOVA arah dilakukan untuk memeriksa apakah peserta dari negara yang sama menimbang
motivasi ini secara berbeda dan motivasi mana yang lebih penting bagi mereka. Hasil
penelitian  menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam bobot motivasi dalam sampel Cina,
F(3.278, 1366.877) = 44.259,  p < .001, η = 0.096. Secara khusus, peserta Tionghoa memiliki skor
2

rata-rata yang jauh lebih tinggi dalam menjembatani modal sosial  daripada motivasi lain (seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1), sehingga menunjukkan bahwa menjembatani modal sosial lebih penting
daripada motivasi lain bagi peserta Tionghoa ketika mereka merekonstruksi identitas online mereka. 
Diskusi 
Selain itu, orang Tionghoa dan Malaysia sangat ingin memamerkan pencapaian mereka di media
sosial. Peserta China ditemukan menggunakan strategi kompetensi dalam presentasi diri online untuk
menunjukkan kemampuan, pencapaian, dan kinerja mereka (Chu & Choi, 2010), sedangkan
pengguna Malaysia cenderung mempromosikan pencapaian mereka di media sosial untuk
membangun citra diri yang positif ( Abdullah et al., 2014). 
Selain itu, peserta China lebih cenderung termotivasi oleh disinhibisi (baik disinhibisi rendah
maupun tinggi) daripada peserta Malaysia selama rekonstruksi identitas online. Studi sebelumnya
menunjukkan bahwa orang merasa kurang terhambat saat online dan mengekspresikan diri dengan
bebas (Bargh et al., 2002; Lapidot-Lefler & Barak, 2015) dan disinhibisi toksik online dikaitkan
secara positif dengan perilaku cyberbullying secara keseluruhan (Udris, 2014). 
Selain itu, ada perbedaan signifikan dalam masalah privasi. Peserta Malaysia lebih cenderung
termotivasi oleh masalah privasi daripada peserta China selama rekonstruksi identitas di media
sosial. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa orang dengan tingkat penghindaran ketidakpastian
yang tinggi menunjukkan preferensi yang lebih menonjol untuk stabilitas, prediktabilitas,
penghindaran risiko yang lebih besar, dan ketidaknyamanan dengan masa depan yang tidak diketahui
(Hofstede, 1980). Temuan penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang mendalilkan
bahwa individu dari budaya yang menghindari ketidakpastian lebih tinggi (misalnya, orang
Malaysia) lebih sensitif terhadap potensi kerugian (Bontempo et al., 1997) dan merasakan tingkat
risiko yang lebih tinggi ( Al Kailani & Kumar, 2011). 
Perbedaan motivasi antara peserta Tionghoa-Tionghoa dan peserta Tionghoa-Malaysia hampir
konsisten dengan sampel antara Tionghoa dan Malaysia (secara keseluruhan). Namun, perbedaan
motivasi untuk rekonstruksi identitas antara peserta Melayu-Malaysia dan peserta Malaysia-
Tionghoa tidak konsisten dan tidak menonjol seperti yang antara sampel Tionghoa dan Malaysia
(secara keseluruhan). Persamaan antara peserta Malaysia-Tionghoa dan seluruh sampel Malaysia
dapat dijelaskan oleh upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Malaysia untuk meningkatkan
kerukunan dan persatuan semua kelompok etnis, seperti menyeimbangkan disparitas ekonomi dan
hak politik (Tamam, 2009). Dalam lingkungan sekolah yang multi etnis, siswa mampu memahami
dan berkomunikasi dengan teman sebayanya dari kelompok etnis lain (Tamam, 2009). Dalam sebuah
studi tentang identitas nasional, hampir 40% dari peserta Malaysia-Cina membobotkan identitas
nasional mereka (orang Malaysia) di atas identitas rasial (orang Malaysia-Cina; Tamam, 2011).
Meskipun pemerintah Malaysia berupaya untuk mempromosikan persatuan kelompok etnis yang
berbeda, beberapa mendasar perbedaan antara orang Tionghoa Malaysia dan Melayu Malaysia sulit
untuk diintegrasikan, seperti bahasa dan agama (Noor & Leong, 2013). Meskipun sebagian besar
orang Melayu Malaysia mempraktikkan Islam, orang Tionghoa Malaysia menganut agama yang
berbeda (seperti Budha, Taoisme, atau agama rakyat tradisional Tionghoa lainnya; Keshavarz &
Baharudin, 2009).

Kritik dan Saran


Pertemuan face to face tidak lagi menjadi suatu hal yang penting bagi kaum muda,
mereka lebih banyak menggunakan media sosial dalam berkomunikasi satu sama lain
serta digunakan sebagai sarana mencari informasi. Namun, sebagian orang cenderung
memanipulasi informasi yang mereka kirim secara online untuk membuat identitas
virtual yang sebagian atau bahkan sama sekali berbeda dari identitas mereka di dunia
offline, yang mana disebut sebagai rekonstruksi identitas online (Hu et al., 2015).
menuut Hofstede et al., 2010 rekonstruksi identitas online ini dikarenakan beberapa
faktor, yang diantaranya : berdasarkan ide mereka sendiri dan adanya faktor seperti
arogansi, hubungan sosial, dishinbisi dan masalah privasi
Menurut Hofstede et al., 2010, ada 4 faktor terjadinya rekonstruksi online, yaitu :
a) Arogansi (kesombongan) : Sikap arogansi terbagi atas 2 yaitu maskulinitas dan
feminimitas. Maskulinitas adalah orang yang berorientasi pada prestasi,
ketegasan, kemajuan, daya saing, dan pendapatan. Sebaliknya, orang yang
berorientasi feminitas lebih menekankan pada nilai feminitas seperti daya tarik
fisik. Perilaku mereka termotivasi untuk mencapai tujuan kerja mereka
b) Menjembatani model sosial (hubungan sosial) : Hubungan sosial terbagi atas 2
yaitu individualisme dan kolektivisme. Individualisme adalah orang-orang yang
berorientasi pada tugas-tugas pribadi, dan mereka/lebih memilih untuk bertindak
sebagai individu daripada sebagai anggota kelompok. Sebaliknya, orang yang
berorientasi kolektivisme lebih memperhatikan untuk menjaga keharmonisan
dalam kelompok dan membangun hubungan erat dengan orang lain
c) Dishinbisi : Lingkungan dengan norma sosial yang ketat memungkinkan individu
untuk berperilaku dan mengekspresikan diri dengan tidak bebas. Orang yang
merasa terkekang dapat memanfaatkan efek disinhibisi dan mengungkapkan
perasaan tertindas
d) Masalah pribadi : Orang yang lebih menghindari ketidakpastian cenderung lebih
cemas, kurang bersedia mengambil risiko, dan lebih peduli atas hasil dari perilaku
mereka. Berbagi informasi pribadi di media sosial dapat menyebabkan hasil yang
tidak pasti. Informasi pribadi dapat diakses oleh pihak ketiga yang tidak
berwenang atau disalahgunakan oleh individu jahat

Berdasarkan dari landasan di atas, penulis menemukan menemukan bahwa


peserta China lebih cenderung termotivasi oleh disinhibisi (baik disinhibisi rendah
maupun toksik) daripada peserta Malaysia selama rekonstruksi identitas online.
Temuan mengenai disinhibisi toksik sejalan dengan temuan survei yang dilakukan
di 25 negara, yang menunjukkan bahwa tingkat penindasan siber di kalangan remaja
jauh lebih tinggi di Cina daripada di Malaysia (Microsoft, 2012), dan disinhibisi
toksik online dikaitkan secara positif dengan perilaku cyberbullying secara
keseluruhan (Udris, 2014).
Terjadi indoktrinisasi pada cara berpikir masyarakat china. Kaum minoritas
di wilayah Malaysia, karena masyarakat minoritas namun, kalau di China mereka
terkekang karena dari kecil sudah diterapkan aturan dan hukum dan perundang-
undangan yang dimana mereka memiliki sistem pemerintahan sosialis sehingga
mereka tidak memiliki hak suara area mengenai aspek kehidupan mereka.
Ditemukan juga bahwa subjek Tionghoa, memiliki hasil yang tinggi pada
menjembatani modal sosial daripada motivasi lainnya, karena hal ini didasari oleh
masyarakat Tionghoa yang mengacu pada hubungan pribadi dengan keluarga,
kenalan, dan orang asing, sangat penting bagi orang Tionghoa. Oleh karena itu,
kemungkinan besar orang Tionghoa cenderung lebih fokus pada upaya
perkembangan sosial daripada orang Malaysia. 

Untuk masyarakat Malaysia, di antara semua motivasi yang disebutkan di atas,


mereka lebih fokus pada masalah privasi dikarenakan masyarakat Malaysia
memiliki perhatian terhadap masalah privasi saat menggunakan layanan online dan
merasa rentan tentang kehilangan informasi cenderung memiliki kekhawatiran yang
lebih besar terhadap privasi. Telah terjadi indoktrinasi yang dilakukan oleh orangtua
kepada anaknya membuat suatu prasangka muncul. sebuah proses yang dilakukan
berdasarkan satu sistem nilai untuk menanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir,
perilaku dan kepercayaan tertentu.

Indoktrinasi penanaman nilai -> prasangka -> diskriminasi

Merujuk pada metode dan analisis penelitian ini menyajikan tinjauan literatur yang
baik dan menyajikan hasil uji analisis statistik yang lengkap dari berbagai alat ukur
yang digunakan untuk pengumpulan data. Salah satu kelebihan lainnya adalah alat
ukur menunjukkan hasil psikometris yang baik dalam konstruksi alat ukurnya serta
menganalisis data menggunakan uji t dan anova dan menggunakan grafik pada
analisis data sehingga memudahkan pembaca untuk memahami hasil komparasinya.

Dalam pengambilan sampling diharapkan dapat menggeneralisasi temuan


untuk populasi yang lebih luas. Data dalam penelitian ini dikumpulkan pada titik
waktu tertentu; dengan demikian, keterbatasan studi cross-sectional harus
dipertimbangkan saat menggeneralisasi temuan. Peneliti selanjutnya dapat
merancang studi longitudinal untuk memeriksa apakah motivasi orang berubah
seiring waktu. Pada saat yang sama, mereka dapat mengukur hasil rekonstruksi
identitas online dengan membandingkan status peserta sebelum dan sesudah
rekonstruksi identitas online. Studi longitudinal semacam itu dapat mengungkapkan
apakah orang memperoleh apa yang mereka inginkan (misalnya, modal sosial yang
lebih menjembatani) setelah merekonstruksi identitas online mereka.
Pada hasil demografi, peneliti juga dapat menambahkan pembahasan dalam
menjabarkan informasi kaitan antara gender dengan ke 4 dimensi dengan tujuan agar
hasil penelitian ini memiliki informasi lebih rinci, karena wanita dan pria berperilaku
berbeda karena peran yang mereka ikuti biasanya terkait dengan kebutuhan yang
berbeda. Untuk tampil peran mereka dengan sukses, wanita dan pria diharapkan
memperoleh keterampilan dan sumber daya khusus (Eagly, Wood, & Diekman,
2000).

Pembelajaran yang Diperoleh


Berdasarkan dari penelitian ini, hal yang dapat diketahui adalah karakteristik yang di
miliki oleh masyarakat China dan Malaysia. Penelitian ini memberikan informasi
faktor-faktor yang mempengaruhi rekonstruksi identitas online pada masyarakat
China dan Malaysia. Kelebihan yang dimiliki pada penelitian ini adalah studi
komparasi pada dua budaya dan terdapat perbedaan di antara kedua budaya ini.
Dengan penelitian ini, kita dapat mempelajari pembelajaran lintas budaya yang dapat
mengetahi informasi tentang tentang etnis budaya china dan Malaysia yang berguna
untuk bahan informasi tentang budaya
Mampu memahami proses konsep dishinbisi dalam konteks berkaitan dengan
indoktrinasi penanaman nilai-nilai, prasangka serta diskriminasi kelompok.

Referensi
Eagly, A. H., Wood, W., & Diekman, A. B. (2000). Social role theory of sex differences and
similarities: A current appraisal. In T. Eckes & H. M. Trautner (Eds.), The developmental
social psychology of gender (pp. 123–174). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates
Publishers.

Anda mungkin juga menyukai