Anda di halaman 1dari 13

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN PERENCANAAN KARIR

SEMINAR PROPOSAL

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Metode Riset Bimbingan dan Konseling
Dosen Pengampu : Dr. Aam Imaddudin, M.Pd

Disusun oleh:

Ai Siti Mu’arofah C2086201018

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul
“HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN PERENCANAAN KARIR”

Adapun proposal skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat guna mencapai gelarsarjana
Bimbingan dan Konseling pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Tasikmalaya.

Penulis juga menyadari bahwa penulisan proposal skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna. Meskipun demikian, penulis berusaha semaksimal mungkin agar penyusunan
proposal skripsi ini berhasil dengan sebaik-baiknya sehingga dapat diterima dan disetujui pada
sidang seminar proposal skripsi.

Bersama ini pula dengan segala kerendahan hati, penulis menghantarkan banyak
terimakasih kepada pihak yang mendukung :

1. Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat berupa kekuatan dan kelancaran
dalam bertindak dan berpikir untuk penyusunan proposal skripsi ini.
2. Orang tua, saudara beserta teman-teman dekat saya yang selalu memberikan do’a,
semangat dan dukungan materi dalam penyusunan proposal

Akhirnya penulis menyadari sepenuhnya bahwa proposal skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, karena ini penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang membangun
diri segala pihak.

Tasikmalaya, 3 November 2023

Ai Siti Mu’arofah
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Remaja adalah periode antara anak-anak dan dewasa. Remaja menghadapi
tantangan perkembangan sebagai individu yang sedang mengalami proses peralihan, yang
membantu mereka lebih siap untuk memenuhi tuntutan dan harapan peran sebagai orang
dewasa. Salah satu fenomena perkembangan kognitif yang terjadi pada masa remaja
adalah orientasi masa depan atau karier. Menurut Elizabeth B. Hurlock (dalam Desmita,
2008:199), “Remaja mulai memikirkan tentang masa depan mereka secara sungguh-
sungguh”. Siswa yang duduk dibangku SMA sudah mulai merencanakan masa depan
atau karier yang sesuai dengan yang mereka harapkan sebelum mereka benar-benar
menginjak dunia kerja (lulus SMA).
Secara umum hal-hal yang menjadi permasalahan karir secara umum bagi peserta
didik SMA adalah kurangnya pemahaman untuk mengenal diri yaitu mengetahui potensi
dan mewaspadai kelemahannya, serta pemahaman mengenai bagaimana strategi meniti
karier mulai dari awal karier sampai dengan bagaimana upaya untuk meraih puncak karir
yang dicita-citakan. Peserta didik kurang memahami cara memilih program studi yang
cocok dengan kemampuan dan minat, belum memiliki pilihan perguruan tinggi atau
lanjutan pendidikan tertentu setelah lulus, belum memiliki gambaran tentang
karakteristik, persyaratan, kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam
pekerjaan serta prospek pekerjaan untuk masa depan kariernya.
Menurut teori perkembangan Ginzberg (dalam Munandir, 1996:90), "siswa SMA
berada pada masa tentatif di mana siswa harus sudah mampu memikirkan atau
merencanakan karier mereka berdasarkan minat, kapasitas atau kemampuan, dan nilai-
nilai atau potensi yang mereka miliki." Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
banyak siswa belum memiliki pemahaman yang jelas tentang jurusan apa yang akan
mereka pilih untuk kuliah. Remaja masih belum cukup memahami informasi yang
mereka dapatkan saat menentukan karir mereka, tetapi informasi ini dapat membantu
mereka memilih jalur karir mereka (Desmita, 2009). Remaja juga kurang yakin akan
berbagai pilihan jalur karir yang tersedia dan kurang yakin dengan kemampuan mereka.
Namun, peneliti menemukan bahwa pengaruh orang tua terhadap pilihan jurusan
pendidikan di perguruan tinggi membuat remaja percaya bahwa pilihan jurusan tersebut
tidak sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan mereka. Studi lain menunjukkan
bahwa remaja mengalami kesulitan dan keraguan saat membuat keputusan karir.
dikarenakan rendahnya efikasi diri dalam mengambil keputusan karir (Darmasaputro &
Gunawan, 2018).
Perencanaan karir merupakan suatu proses dalam mempersiapkan karir
dimasa depan dengan mempertimbangkan serta mengukur tingkat pemahaman
individu terhadap macam-macam jenis pencarian informasi dan meninjau segala sasaran,
peluang dan kendala yang ada sehingga menemukan keberhasilan didunia kerja.
Siswa sekolah menengah atas (SMA) termasuk individu yang memiliki rentang usia
15-18 tahun. Dengan rentang usia tersebut siswa SMA termasuk dalam usia remaja
yang memiliki berbagai tugas perkembangan, salah satunya adalah tugas untuk
merencanakan dan mepersiapkan masa depannya. Siswa SMA sudah harus tahu apa
yang akan ia lakukan setelah lulus dari SMA apakah kuliah, bekerja, atau
mengambil kursus. Dan mereka juga harus sudah mengetahui bidang apa yang akan ia
dalami sesuai dengan minat yang ada dalam dirinya. Perencanaan karier, menurut
Chetana dan Mohapatra, adalah upaya seseorang untuk mengidentifikasi keterampilan,
pengetahuan, dan kemampuan mereka untuk melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk mencapai tujuan profesionalnya (Hastini, Chairoel, & Fitri, 2021).
Perencanaan karier yang baik dan matang untuk siswa memungkinkan mereka bergerak
ke arah karier yang lebih terarah dan siap. Perencanaan karir seorang siswa sangat terkait
dengan kepribadiannya, salah satunya adalah keyakinan diri (self efficacy).
Menurut Bandura (1977) efikasi diri adalah keyakinan seseorang tentang
kemampuan mereka untuk mengorganisasi dan menyelesaikan tugas yang diperlukan
untuk mencapai hasil tertentu. Keyakinan bahwa seseorang dapat mengendalikan keadaan
dan mencapai hasil positif disebut sebagai efikasi diri. Menurut Bandura (Santrock,
2007). Orang yang efikasi dirinya rendah akan percaya pada kemampuan mereka untuk
mengatur dan menyelesaikan tugas yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu dalam
berbagai bentuk dan tingkat kesulitan, sedangkan orang yang efikasi dirinya tinggi akan
percaya sebaliknya. Mereka yang memiliki tingkat efikasi diri rendah, misalnya, mungkin
tidak mau berusaha belajar untuk berhasil dalam ujian karena mereka tidak percaya
bahwa belajar akan membantu mereka. Taylor & Betz (1983), mendefinisikan efikasi diri
dalam pengambilan keputusan karir sebagai keyakinan seseorang untuk dapat sukses
dalam menilai diri dengan tepat, mengumpulkan informasi bidang kerja, menyeleksi
tujuan, membuat perencanaan karir dan memecahkan permasalahan yang berkaitan
dengan karir. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti tersebut,
terdapat kesesuaian antara penyebab kebingungan siswa dalam menentukkan pilihan
program studinya, dengan rendahnya efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir.
Kebingungan siswa akan bakat, minat, serta kemampuan yang dimilikinya, kurangnya
informasi tentang prospek karir yang dimilikinya, menjadi indikator adanya
permasalahan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir yang dimiliki oleh siswa.
Efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir yang tinggi juga dapat mendorong
individu,untuk mencari berbagai solusi yang akan dihadapinya dalam proses pengambilan
keputusan karir (Ardiyanti, 2014). Dengan demikian, efikasi diri menjadi penting untuk
diperhatikan dalam pengambilan keputusan karir pada siswa.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan oleh salah satu guru BK di
SMAN 1 Tunggang pada kelas XII masalah yang sering dihadapi oleh para siswa yang
berkaitan dengan perencanaan karier yaitu dimana para siswa masih kebingungan tentang
jurusan apa yang nanti akan dimabil setelah mereka masuk kejenjang perguruan tinggi.
Dari permasalahan yang dihadapi para siswa kelas XII SMA N1 Tuntang dapat diketahui
bahwa penulis bisa melakukan penelitian tentang hubungan antara self efficacy dengan
perencanaan karier siswa kelas XII SMA N1 Tuntang. Dengan rumusan masalah pada
penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara self efficacy dengan perencanaan karier
siswa kelas XII SMA N 1 Tuntang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan signifikansi self efficacy dengan perencanaan karier siswa kelas XII SMAN 1
Tuntang
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Dari latar belakang di atas menggambarkan hubungan antara self efficacy dengan
perencanaan karir. Banyak remaja kurangnya pemahaman untuk mengenal diri yaitu
mengetahui potensi dan mewaspadai kelemahannya, remaja masih belum cukup
memahami informasi yang mereka dapatkan saat menentukan karir mereka, remaja
kurang yakin akan berbagai pilihan jalur karir yang tersedia dan kurang yakin dengan
kemampuan mereka. Kondisi ini menunjukkan bahwa rendahnya self efficacy dalam
perencanaan karir. Maka dari itu, remaja yang mengalami kesulitan dalam perencanaan
karir dan memliki efficacy yang rendah diperlukan intervensi layanan karir.

C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, maka rumusan
masalah penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara self efficacy dengan
perencanaan karier ?”
D. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah ada hubungan antara self
efficacy dengan perencanaan karir
E. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
baru bagi perkembangan ilmu pengetahuan mengenai self efficacy khususnya
dibidang perencanaan karir
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
peran self efficacy dalam perencanaan karir yang baik sehingga dapat menjadi
masukan peserta didik dalam mempersiapkan karirnya
F. SISTEMATIK PENULISAN
Untuk memahami lebih jelas laporan ini, maka yang tertera dalam proposal
penelitian ini dikelompokkan menjadi beberapa sub bab dengan sistematika penulisan
sebagai berikut :
1. Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini memaparkan mengenai latar belakang masalah penelitian, identifikasi
masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian
dan sistematika penulisan.
2. Bab II Landasan Teori
Dalam bab ini memaparkan tentang landasan teoritis mengenai self efficacy dan
perencanaan karir
3. Bab III Metodologi Penelitian
Dalam bab ini memaparkan mengenai metode penelitian, rancangan lokasi dan subjek
penelitian.
4. Daftar pustaka
Daftar pustaka berisikan sumber-sumber karya tulis ilmiah dan data faktual yang
digunakan dalam penyusunan proposal penelitian ini.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Self efficacy
Menurut Bandura (1997), self efficacy berasal dari proses kognitif seperti
keputusan, keyakinan, atau harapan tentang sejauh mana seseorang memperkirakan
kemampuan dirinya untuk melakukan tugas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk
mencapai hasil yang diinginkan. Merideth (2007) menyatakan bahwa self efficacy adalah
penilaian seseorang akan kemampuan mereka sendiri untuk memulai dan berhasil
menyelesaikan tugas yang ditetapkan pada tingkat yang ditetapkan.
Berdasarkan pengertian- pengertian para ahli dapat disimpulkan bahwa self
efficacy merupakan suatu kepercayaan diri seseorang atas kemampuannya untuk
merencankan, bertindak, dan dapat bertahan dalam menghadapi kesulitan untuk bisa
mencapai suatu keberhasilan.
1. Dimensi Self Efficacy
Konsep self efficacy yang digambarkan oleh Bandura (1997) terdiri dari
tiga aspek, yaitu:
a. Tingkat (level)
Dimensi ini menunjukkan seberapa sulit tugas itu ketika seseorang
merasa mampu menyelesaikannya. Self efficacy seseorang mungkin
terbatas pada tugas-tugas yang mudah, sedang, atau bahkan paling sulit
jika tugas-tugas disusun menurut tingkat kesulitan. Ini sesuai dengan
batas kemampuan mereka untuk memenuhi tuntutan perilaku yang
dibutuhkan pada masing-masing tingkat kesulitan. Pemilihan tingkah
laku yang akan dicoba atau dihindari dipengaruhi oleh aspek ini. Individu
akan menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang berada di luar
batas kemampuan mereka. Dengan kata lain, dimensi ini mengacu pada
tingkat kesulitan tugas yang dianggap dapat dilakukan dan diselesaikan
oleh seseorang.
b. Kekuatan (strength)
Di sini kita melihat tingkat kekuatan dari keyakinan dan harapan
seseorang tentang kemampuan mereka. Pengharapan yang lemah mudah
digoyahkan oleh pengalaman yang tidak mendukung. Sebaliknya,
pengharapan yang teguh mendorong seseorang untuk terus berusaha.
Terlepas dari kemungkinan bahwa pengalaman yang kurang membantu
Dimensi ini mengacu pada derajat kemantapan seseorang terhadap
keyakinan yang telah mereka buat. Kemantapan ini menentukan
ketahanan dan keuletan seseorang dalam pekerjaan. Dimensi ini
merupakan keyakinan individu untuk mempertahankan perilaku tertentu.
c. Generalisasi (generality)
Dimensi ini berkaitan dengan luas bidang tingkah laku di mana
individu tersebut merasa yakin terhadap kemampuannya. Apakah terbatas
pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada serangkaian aktivitas
dan situasi yang berbeda.
Menurut dimensi generalitas, kemampuan diri seseorang tidak
terbatas pada situasi yang spesifik atau tertentu saja. Sebaliknya, dimensi
ini juga mengacu pada berbagai situasi di mana evaluasi kemampuan diri
seseorang dapat diterapkan.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy
Bandura (1977) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi self-efficacy pada diri individu antara lain:
a. Budaya

Budaya mempengaruhi self efficacy melalui nilai (values),


kepercayaan (beliefs), dalam proses pengaturan diri (self-regulatory
process) yang berfungsi sebagai sumber penilaian self-efficacy dan juga
sebagai konsekuensi dari keyakinan akan self efficacy

b. Gender
Berdasarkan perbedaan gender, self-efficacy juga berpengaruh. Hal
ini dapat dilihat dari penelitian Bandura (1997), yang menunjukkan bahwa
wanita lebih efektif dalam menjalankan peran mereka. Dibandingkan
dengan pria yang bekerja, wanita yang bekerja dan juga ibu rumah tangga
akan lebih percaya diri.
c. Sifat dari tugas yang dihadapi
Penilaian seseorang terhadap kemampuan dirinya sendiri
dipengaruhi oleh seberapa kompleks tugasnya. Tugas yang lebih sulit akan
membuat penilaian mereka lebih rendah, sedangkan tugas yang lebih
mudah dan sederhana akan membuat penilaian mereka lebih tinggi.
d. Intensif eksternal

Insentif yang diperoleh seseorang juga dapat mempengaruhi self-


efficacy seseorang, menurut Bandura (1997). Insentif yang diberikan
orang lain yang merefleksikan keberhasilan seseorang adalah salah satu
faktor yang dapat meningkatkan self-efficacy seseorang.

e. Status atau peran individu dalam lingkungan

Status yang lebih tinggi akan memberikan derajat kontrol yang


lebih besar, yang berarti mereka memiliki self-efficacy yang lebih tinggi.
Di sisi lain, status yang lebih rendah akan memberikan derajat kontrol
yang lebih rendah, yang berarti mereka memiliki self-efficacy yang lebih
rendah.

f. Informasi tentang kemampuan diri


Individu yang memperoleh informasi positif tentang dirinya
menunjukkan self-efficacy tinggi, sementara individu yang memperoleh
informasi negatif menunjukkan self-efficacy rendah.
3. Indikator Self Efficacy
Sebagaimana dinyatakan oleh Bandura (1997), keyakinan seseorang
tentang efikasi dirinya berasal dari empat sumber:
1. Pengalaman yang telah dilalui (enactive mastery experience)
Karena itu didasarkan pada pengalaman pribadi seseorang, yang terdiri dari
apa yang mereka lakukan dan tidak lakukan, informasi ini sangat berdampak pada
self-effikasi seseorang. Pengalaman yang menghasilkan kesuksesan akan
meningkatkan efikasi diri seseorang, sedangkan pengalaman yang menghasilkan
kegagalan akan mengurangi efikasi diri seseorang. Setelah efikasi diri yang kuat
berkembang melalui berbagai keberhasilan, efek buruk dari kegagalan umumnya
akan berkurang. Bahkan kegagalan dapat diatasi dengan upaya tertentu, yang
dapat meningkatkan motivasi diri apabila seseorang mengetahui melalui
pengalaman bahwa tantangan yang paling sulit pun dapat diatasi dengan usaha
terus-menerus (Ghufron & Rini, 2011: 78). Keberhasilan akan memberikan
dampak yang berbeda-beda, tergantung pada bagaimana keberhasilan itu dicapai
(Alwisol, 2012: 288):
1) Semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan membuat efikasi semakin
tinggi
2) Kerja sendiri, lebih meningkatkan efikasi dibanding kerja kelompok,
dibantu orang lain.
3) Kegagalan menurunkan efikasi, kalau orang merasa sudah berusaha
sebaik mungkin.
4) Kegagalan dalam suasana emosional/stress, dampaknya tidak seburuk
kalau kondisinya optimal
5) Kegagalan sesudah orang memiliki keyakinan efikasi yang kuat,
dampaknya tidak seburuk kalau kegagalan itu terjadi pada orang yang
keyakinan efikasinya belum kuat.
6) Orang yang biasa berhasil, sesekali gagal tidak mempengaruhi efikasi.
2. Pengalaman orang lain (vicarious experience).
Melihat apa yang telah dicapai oleh orang lain berdampak pada self-efficacy juga.
Dalam situasi seperti ini, proses modeling juga dapat bermanfaat untuk meningkatkan
produktivitas seseorang. Ketika seseorang memiliki kemampuan untuk melakukan
sesuatu, ia mungkin ragu untuk melakukannya. Namun, ketika ia melihat orang lain yang
berhasil atau mampu melakukan hal yang sama, ia akan lebih efektif. Selain itu, orang
lain dapat menjadi pengukur seberapa baik dia mengerjakan tugas. Tidak selalu mungkin
untuk mengetahui apakah sesuatu dilakukan dengan baik atau tidak. Oleh karena itu,
melihat hasil orang lain adalah cara terbaik untuk menilai kemampuan seseorang.
Sebaliknya, pengalaman orang lain juga dapat melemahkan kepercayaan seseorang
dalam melakukan sesuatu. Ini terjadi ketika mereka melihat seseorang yang memiliki
kemampuan sama atau lebih tinggi daripada mereka yang gagal (Bandura, 1997: 87).
Pengamatan terhadap keberhasilan orang lain dengan kemampuan yang
sebanding akan meningkatkan efisiensi diri mereka dalam melakukan tugas yang
sama. Sebaliknya, pengamatan terhadap kegagalan orang lain akan menurunkan
penilaian mereka tentang kemampuan mereka, yang pada gilirannya akan
mengurangi jumlah upaya yang dilakukan (Ghufron & Rini, 2011: 78).
3. Persuasi verbal (verbal persuasion)
Merupakan penguatan yang didapatkan dari orang lain bahwa seseorang
mempunyai kemampuan untuk meraih apa yang ingin dilakukannya. Efikasi diri
seseorang akan meningkat ketika dia sedang menghadapi kesulitan, terdapat orang
yang meyakinkannya bahwa ia mampu menghadapi tuntutan tugas yang ada
padanya. Verbal persuasion mungkin tidak terlalu kuat dalam mempengaruhi self-
efficacy, namun ini dapat menjadi pendukung sejauh persuasi verbal tersebut
diberikan dalam konteks yang realistik.
Orang yang mendapatkan persuasi verbal bahwa mereka mempunyai
kemampuan untuk melakukan sesuatu kemungkinan akan mengerahkan usaha
yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang mendapatkan perkataan yang
meragukan dirinya. Persuasi, atau bujukan, yang meningkatkan keefektifan diri
seseorang mendorong seseorang untuk berusaha lebih keras (Bandura, 1997: 93).
4. Keadaan fisiologis dan emosi (physiological and affective states)
Keadaan fisik yang tidak mendukung seperti stamina yang kurang, kelelahan,
dan sakit merupakan faktor yang tidak mendukung ketika seseorang akan
melakukan sesuatu. Karena kondisi ini akan berpengaruh pada kinerja seseorang
dalam menyelesaikan tugas tertentu. Kondisi mood juga mempengaruhi pendapat
seseorang terhadap efikasi dirinya. Oleh karena itu self-efficacy dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan kesehatan dan kebugaran fisik dan
mengurangi tingkat stress dan kecendrungan emosi negatif (Bandura, 1997: 101).
Emosi yang kuat biasanya akan mengurangi performa; saat seseorang mengalami
ketakutan yang kuat, kecemasan akut, atau tingkat stress yang tinggi,
kemungkinan akan mempunyai ekpektasi efikasi yang rendah (Feist&Feist, 2010:
215).
Sejauh mana self-efficacy dalam suatu kegiatan dipengaruhi oleh keadaan
emosi yang diikutinya. Jika Anda mengalami emosi yang kuat, seperti takut,
cemas, atau stres, Anda dapat mengalami penurunan self-efficacy. Namun, ada
kemungkinan bahwa Anda dapat meningkatkan self-efficacy dengan sedikit emosi
(Alwisol, 2012: 289).
B. Perencanaan Karir

Anda mungkin juga menyukai