Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peran pendidikan dalam rangka mencerdaskan bangsa sangat penting

dan memiliki posisi yang strategis. Salah satu aspek penting dalam

penyelenggaraan pendidikan yang bermutu adalah terpenuhinya tenaga

pendidik yang berkompeten dan berkarakter. Konselor sebagai pendidik

profesional, saat ini dan kedepan memiliki peran yang sangat penting dalam

kerangka sistem pendidikan nasional. Konselor sebagai pengampu pelayanan

ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan konseli, turut berperan

dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu untuk

mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman

dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab (Depdiknas, 2008).

Konselor memiliki peran dalam mengembangkan aspek-aspek pribadi,

sosial, belajar (akademik) dan karir siswa. Dalam penyelenggaraan layanan

bimbingan dan konseling, konselor menggunakan khasanah teoritik, prosedur,

dan teknik pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan sebagai

konteks, kemampuan menyelenggarakan pelayanan yang mendidik dengan

merancang program layanan yang memfasilitasi penumbuhan karakter serta

soft skills disamping pembentukan hard skills, kesemuanya termasuk yang

khas diperlukan untuk penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang

1
2

memandirikan baik terbentuk sebagai dampak langsung dari tindakan

pembelajaran (instructional effects) maupun sebagai dampak tidak langsung

atau dampak pengiring (nurturant effects) dari akumulasi pengalaman belajar

yang dihayati oleh peserta didik sepanjang rentang proses pembelajaran

(Depdiknas, 2008) . Dengan demikian menunjukkan bahwa layanan

bimbingan dan konseling yang diberikan oleh konselor memberikan dampak

langsung dari tindakan pembelajaran (instructional effects) maupun sebagai

dampak pengiring (nurturant effects) terhadap perkembangan peserta didik.

Peran bimbingan dan konseling di sekolah diharapkan dapat

membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam berbagai segi kehidupan

agar dapat mencapai prestasi belajar yang maksimal. Layanan bimbingan dan

konseling di sekolah menyediakan layanan konseling bagi siswa dari berbagai

latar belakang. Tantangan-tantangan yang mungkin dihadapi oleh konselor di

sekolah menurut Gibson & Mitchell (2008) dapat meliputi: motivasi

akademik, perkembangan keterampilan studi yang tepat, perkembangan

komunikasi. Aspek yang dibahas dalam penelitian ini juga merupakan aspek-

aspek yang sering dialami siswa di sekolah sehingga menghambat studi dan

prestasi akademiknya.

Pelayanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan oleh konselor

di sekolah sangat penting. Hal tersebut sudah terbukti dari hasil penelitian

Hussain (2006) yang menyimpulkan bahwa layanan bimbingan secara

signifikan berpengaruh terhadap sikap belajar, kebiasaan belajar, dan prestasi

akademik siswa sekolah menengah. Prestasi akademik merupakan hasil akhir

yang didapat dari proses pembelajaran. Prestasi akademik penting


3

diperhatikan karena dapat menggambarkan apakah hasil pendidikan atau

pembelajaran yang ditempuh siswa selama ini baik, cukup atau kurang. Lebih

lanjut Setyawati (2014) menyimpulkan bahwa prestasi akademik adalah

produk akhir dari pengalaman belajar yang menggambarkan tingkat perolehan

atau penguasaan pengetahuan ataupun keterampilan pada siswa setelah

mengalami proses pendidikan/pembelajaran atau latihan.

Pengembangan prestasi akademik siswa merupakan suatu hal yang

tidak dapat diabaikan oleh konselor. Menurut Modo (2013), siswa yang

memperoleh layanan bimbingan dan konseling mendapatkan nilai prestasi

akademik yang lebih baik daripada siswa yang tidak mendapatkan layanan

bimbingan dan konseling. Dengan demikian pengembangan prestasi akademik

dapat ditunjang dengan pemberian layanan bimbingan dan konseling. Sejalan

dengan pendapat Modo (2013), Sink & Stroh (2003) menyatakan bahwa

program bimbingan dan konseling di sekolah yang komprehensif, berbasis

manfaat nyata kepada siswa dalam hal peningkatan prestasi akademik.

Selanjutnya dari hasil penelitian Hussain (2006) yang berjudul Effects of

Guidance Services on Study Attitudes, Study Habits and Academic

Achievement of Secondary School Students menunjukkan bahwa layanan

bimbingan dan konseling memiliki tingkat signifikansi yang tinggi dan

memiliki hubungan terhadap sikap belajar, kebiasaan belajar siswa dan

prestasi akademik siswa.

Prestasi akademik merupakan tolok ukur berhasil atau tidaknya siswa

di bidang akademik, bahkan menjadi bagian dari penentu kelulusan siswa dari

sebuah jenjang pendidikan. Pencapaian prestasi akademik pada umumnya


4

dipandang sebagai perwujudan dari pencapaian pengetahuan atau skill yang

dikembangkan dalam mata pelajaran sekolah (Busari, 2000), tetapi disisi lain,

keberhasilan dan kegagalan siswa merupakan suatu peristiwa yang potensial

dihadapi siswa sepanjang perjalanan pendidikannya.

Pencapaian prestasi akademik sebagai tolok ukur keberhasilan siswa di

bidang akademik bisa mempengaruhi keberhasilan siswa selanjutnya. Siswa

yang berhasil memperoleh prestasi akademik yang tinggi, rasa percaya diri

maupun motivasinya akan terpupuk, sedangkan siswa yang mengalami

kegagalan diharapkan akan tetap tekun, pantang menyerah dan berjuang lebih

keras. Namun demikan, ada juga siswa yang tidak mampu menghadapi

kegagalan. Mereka cenderung agresif atau depresif, putus asa, membolos, atau

lebih tragis bunuh diri (Setyawati, 2014).

Prestasi akademik di suatu sekolah atau lembaga pendidikan menjadi

sangat penting untuk dikaji sebab prestasi akademik merupakan kriteria

keberhasilan proses belajar pembelajaran di lembaga pendidikan tersebut.

Menurut Damrongpanit, Reungtragul & Pittayanon (2010) prestasi akademik

menjadi penting sebab menjadi petunjuk meningkatnya kualitas dalam

pendidikan nasional suatu bangsa. Masyarakat kebanyakan berpendapat

bahwa prestasi akademik yang rendah lebih banyak ditentukan oleh faktor

inteligensi, bakat, minat, serta dukungan dari keluarga, lingkungan sekolah

atau lingkungan masyarakat.

Proses pencapaian standart kualifikasi siswa dalam belajar tentunya

tidak mudah dan memerlukan banyak hal yang mendukung baik faktor

internal maupun ekternal. Hal yang sangat mendasar dalam mempengaruhi


5

keberhasilan siswa adalah faktor internal, karena seseorang akan lebih

memelihara pola perilaku dalam mencapai tujuan jika perilakunya didasarkan

oleh motivasi yang bersifat internal. Adanya motivasi internal menunjukkan

bahwa seseorang berperilaku demi suatu ganjaran yang intrinsik. Hal ini

berkebalikan dengan motivasi eksternalyang mana seseorang berperilaku

karena tuntutan dari luar dirinya, seperti menghindari hukuman, mendapatkan

ganjaran atau menyenangkan orang lain (Rothman dkk, 2011).

Salah satu dari faktor internal adalah faktor psikologis, banyak faktor

psikologis yang dapat mengantarkan seseorang dalam meraih prestasi

akademik dan beberapa hal lainnya adalah keterampilan mengembangkan

daya cipta atau pemikiran kreatif agar menjadi individu yang kreatif (Gie,

2003). Keterampilan berpikir kreatif dibutuhkan peserta didik dalam berbagai

disiplin ilmu, menuju pemenuhan akan kebutuhan intelektualnya dan

mengembangkannya sebagai individu berpotensi.

Pengembangan keterampilan berpikir kreatif memang perlu dilakukan

karena keterampilan ini merupakan salah satu keterampilan yang dibutuhkan

dunia kerja (Career Center Maine Department of Labor USA, 2004). Tak

diragukan lagi bahwa keterampilan berpikir kreatif juga menjadi penentu

keunggulan suatu bangsa. Daya kompetitif suatu bangsa sangat ditentukan

oleh kreativitas (keterampilan berpikir kreatif) sumber daya manusianya.

Siswa masa depan adalah siswa yang dapat mengembangkan keterampilan

berpikir kreatif. Keterampilan berpikir kreatif termasuk pada higher order of

thinking (HOT) yang merupakan salah satu komponen dalam isu kecerdasan

abad ke-21. Pink (2006: 72-73) mengungkapkan bahwa Abad ke 21 adalah era
6

konseptual yang membutuhkan konsep tingkat tinggi (high concept), dengan

ciri-ciri penguasaan pemikiran otak kanan sebagai karakteristik berpikir

kreatif (creative thinking).

Pengembangan kemampuan berpikir kreatif adalah kunci keberhasilan

dalam pendidikan (Alrubaie & Daniel, 2014: 80). Selanjutnya Fisher (2006: 5)

menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif sangat penting untuk

keberhasilan dalam belajar dan sukses dalam hidup. Artinya peningkatan

berpikir kreatif merupakan bagian penting bagi siswa dan memiliki banyak

manfaat, salah satu diantaranya dapat meningkatkan prestasi akademik.

Prestasi akademik yang dimiliki siswa adalah gambaran kualitas pendidikan

suatu sekolah. Sebagian siswa mempunyai prestasi akademik yang rendah,

sehingga perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan prestasi akademik

tersebut.

Peningkatan prestasi akademik siswa merupakan tanggung jawab

semua komponen yang ada di sekolah. Konselor sebagai komponen yang

merupakan student helper, diharapkan dapat memberikan kontribusi dengan

mengembangkan berbagai soft skill siswa, yang nanti berdampak pada

peningkatan prestasi akademik. Berpikir kreatif merupakan salah satu soft skill

yang penting dikembangkan untuk meningkatkan prestasi akademik siswa, hal

ini sesuai dengan pendapat Wang (2011: 1) yang menjelaskan:

The positive relationship between creative thinking and academic


achievement provides confidence for educators that achievement test can
assess knowledge and skills, but also can be possible predictors for
creative performance. This study confirms the argument that academic
achievement can be improved with the enhancement of creative thinking
abilities.
7

Hasil penelitian selanjutnya mengenai keterkaitan berpikir lateral

dengan prestasi akademik, diungkapkan oleh Anwar et al. (2012: 44)

berdasarkan penelitian terhadap 256 orang siswa, terdapat hubungan yang

signifikan antara tingkat berpikir lateral dengan prestasi akademik siswa.

Cetinka (2012: 3) menjelaskan bahwa berpikir lateral memiliki peran yang

penting dan memberi kontribusi mendorong berkembangnya bakat yang luar

biasa bagi siswa. Siswa sebagai individu yang berkembang dalam kehidupan

tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang dihadapinya, permasalahan

tersebut membutuhkan alternatif solusi yang tepat dan baik. Gardner (1993)

dan Sternberg (2004: 6) menyatakan bahwa individu memerlukan suatu

ketrampilan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapinya.

Keterampilan siswa dalam memecahkan masalah sangat ditentukan oleh

keterampilan berpikir yang dimilikinya.

Keterampilan berpikir lateral sebagai keterampilan untuk melihat

bermacam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah merupakan

bentuk pemikiran yang sampai saat ini kurang mendapat perhatian dalam

pendidikan. Di sekolah, yang terutama dilatih adalah penerimaan

pengetahuan, ingatan, dan penalaran (berpikir logis). Penekanan lebih

dilakukan pada hafalan dan pencarian satu jawaban yang benar terhadap soal

yang diberikan. Proses-proses pemikiran tinggi, termasuk berpikir jarang

dilatih (Munandar, 2009). Proses pembelajaran belum sepenuhnya diarahkan

untuk mengaktifkan peserta didik dalam membangun pengetahuan dan

mengembangkan keterampilan berpikir, seperti halnya memahami makna


8

yang dipelajari, menggunakan konsep untuk memecahkan masalah sehari-hari,

menganalisis, mensintesis, maupun melakukan evaluasi untuk refleksi.

Kemampuan mengambil perspektif dari orang lain adalah suatu

kemampuan untuk mengambil peran orang lain dan bagaimana seseorang

bereaksi secara kognitif terhadap situasi masalah yang muncul sehingga dapat

menyelesaikan konflik dirinya dengan orang lain secara efektif. Semakin baik

keterampilan memproses informasi sosial maka akan semakin mudah bagi

anak untuk membentuk hubungan suportif dengan orang lain, yang berarti

akan menambah luas jaringan sosial sebagai media pengembangan

keterampilan sosialnya. Keterampilan sosial anak dipengaruhi oleh

kemampuan sosial kognitif yaitu keterampilan memproses semua informasi

yang ada dalam proses sosial yaitu kemampuan mengenali isyarat sosial,

menginterpretasi isyarat sosial dengan cara yang tepat dan bermakna

(Robinson & Garber, 1995).

Hasil penelitian tentang pentingnya kemampuan mengambil

perspektif dari orang lain yang dilakukan oleh Weil (2011) terbukti penting

dalam berbagai interaksi sosial dan interpersonal. Pemahaman yang lebih baik

dari proses yang terlibat dalam membangun hubungan dapat bermanfaat

dalam berbagai bahasa dan keterampilan sosial. Namun pada kenyataannya

kemampuan mengambil perspektif dari orang lain, meskipun begitu

penting bagi hubungan manusia dan untuk kesuksesan hidup, tidak dianggap

sebagai keterampilan yang penting untuk dikembangkan. Karena tidak

dianggap sebagai keterampilan yang penting sebagaimana orang tua

mengajarkan kemandirian kepada anak, maka orang dewasa, orang tua atau
9

guru jarang mengajarkan secara eksplisit di rumah atau sekolah (Johnson,

2009).

Thompson dalam Galinsky (2010) bahwa pentingnya kemampuan

mengambil perspektif dari orang lain bagi anak untuk membantu anak

membentuk perspektif tentang diri dan orang lain berdasarkan pengalaman,

anak-anak yang belajar tentang kemampuan mengambil perspektif dari

orang lain mempunyai penyesuaian diri yang lebih baik, membantu anak

memahami apa yang diinginkan dan diharapkan oleh guru di sekolah.

Berdasarkan beberapa fakta empiris hasil penelitian yang sudah

dilakukan oleh beberapa ahli maka manfaat yang didapatkan apabila seorang

anak memiliki kemampuan mengambil perspektif dari orang lain yaitu

dapat membantunya dalam penyelesaian konflik dan menjalin hubungan yang

lebih baik dengan orang lain. Sedangkan anak-anak yang memiliki

kemampuan mengambil perspektif dari orang lain rendah berdasarkan

hasil penelitian Downs & Smith, 2004; Perner, 1988, 1991, Frith, 1992, Klin,

Schultz, & Cohen, 2000 (dalam Weil, 2011) anak-anak yang tidak

mengembangkan kemampuan mengambil perspektif dari orang lain tidak

dapat membaca isyarat-isyarat sosial, mengalami kesulitan menjalin

persahabatan, tidak mengerjakan pekerjaan dan kekurangan pengendalian diri.

Senada dengan pendapat tersebut Gopnik (dalam Galinsky.2010) bahwa

kemampuan mengambil perspektif dari orang lain merupakan

keterampilan dasar untuk masa depan anak-anak, karena jika orang tua, guru,

atau orang dewasa ingin sukses di masa depan maka perlu memahami orang

lain yang ada disekitar lingkungannya.


10

Selain kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan mengambil

perspektif dari orang lain, motivasi berprestasi juga sangat berpengaruh

terhadap keberhasilan berprestasi seseorang. Ardhana (1990) menjelaskan

bahwa motivasi berprestasi merupakan suatu faktor penting untuk mencapai

prestasi, baik dalam berprestasi akademik maupun dalam bidang lain,

sedangkan Slavin (1994) mengungkapkan bahwa satu jenis motivasi paling

penting dalam pendidikan adalah motivasi berprestasi (achievement

motivation).

Salah satu jenis motivasi yang mendorong seseorang untuk

meningkatkan kualitas diri dan mencapai standart keunggulan tertentu adalah

motivasi berprestasi. Menurut McClelland (1987) motivasi berprestasi

merupakan motivasi yang mendorong individu untuk mencapai kesuksesan

dalam berkompetisi dengan standart keunggulan tertentu (standart of

exellence). Oleh karena itu, jika motivasi berprestasi siswa tinggi maka

prestasi akademik siswa akan tinggi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh McCormick dan Carrol

(2003) terhadap mahasiswa Universitas Saint Louis, menunjukkan bahwa rata-

rata 30% dari jumlah mahasiswa tingkat pertama gagal untuk lulus ke tingkat

berikutnya, selain itu 50% dari jumlah mahasiswa gagal untuk menyelesaikan

masa studinya di perguruan tinggi dalam jangka waktu lima tahun. Salah satu

penyebabnya adalah rendahnya motivasi berprestasi pada mahasiswa tersebut.

Fenomena-fenomena di lapangan masih menunjukkan indikasi bahwa

motivasi berprestasi siswa rendah. Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Inayah (2013) di SMPN 1 Tarakan pada kelas 7-9 sebanyak
11

233 siswa ditemukan masih terdapat 113 subjek yang memiliki motivasi

berprestasi rendah. Hal ini menunjukkan hampir 50% siswa terindikasi

memiliki motivasi berprestasi rendah.

Konsep motivasi berprestasi pertama kali dikemukakan oleh Henry A.

Murray tahun 1938 dalam taksonomi dua puluh kebutuhan. Motivasi

berprestasi menurut Murray (dalam Schunk, Pintrich & Meece, 2008: 171)

adalah kebutuhan menyelesaikan hal sulit, menguasai, mengungguli,

menandingi dan melampaui individu lain serta mengatasi hambatan dan

mencapai standar yang tinggi. McClelland (1987) memberikan karakteristik

individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi yakni: (1) menyukai tugas

yang memiliki tingkat kesulitan moderat; (2) mengambil tanggung jawab

pribadi terhadap kinerjanya; (3) mencari umpan balik untuk kinerja yang

dilakukan; (4) memiliki daya inovasi yang tinggi dalam menyelesaikan tugas.

Motivasi yang rendah dapat menurunkan prestasi akademik. Motivasi

berprestasi yang rendah bisa mengakibatkan siswa menghindari pelajaran,

prestasi belajar tidak maksimal, suka menunda menyelesaikan tugas, mudah

menyerah ketika mengalami kegagalan, dan menghindari umpan balik dari

guru.

Motivasi berprestasi dapat menunjang kesuksesan dalam belajar.

Motivasi berprestasi dalam diri seseorang melibatkan proses yang

memberikan energi, mengarahkan dan mempertahankan perilaku. Perilaku

termotivasi adalah perilaku yang mengandung energi, memiliki arah dan dapat

dipertahankan. Motivasi sebagai faktor yang berpengaruh menjadi dorongan

langsung pada faktor tingkah laku lain seperti : minat, kebutuhan nilai, sikap,
12

aspirasi dan insentif. Motivasi sebagai faktor pendorong untuk melakukan

suatu kegiatan sangat penting dalam kegiatan belajar siswa. Hasil penelitian

(d’Ailly, 2003) menyimpulkan kontribusi motivasi eksternal dengan prestasi

belajar adalah 0,66 sedangkan sumbangan motivasi internal terhadap hasil

belajar adalah 0,89. Hasil menggambarkan pentingnya motivasi dalam belajar

terutama motivasi internal yang berkontribusi positif terhadap hasil belajar.

Menurut Fortier, Vallerand & Guay (1995) motivasi berprestasi memberikan

kontribusi terhadap prestasi akademik sebesar 0,532 hasil ini tidak jauh

berbeda dengan pendapat sebelumnya.

Menurut McClellland (1987) seseorang dianggap mempunyai motivasi

untuk berprestasi jika dia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya

dan berprestasi lebih baik dari prestasi orang lain. Seseorang yang memiliki

motivasi berprestasi tinggi akan selalu melakukan yang terbaik, memiliki

kepercayaan terhadap kemampuan untuk bekerja mandiri dan bersikap

optimis, memiliki ketidak puasan terhadap prestasi yang telah diperoleh serta

mempunyai tanggungjawab yang besar atas perbuatan yang dilakukan

sehingga seseorang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi. Menurut

Lundeto (2008) pada umumnya seseorang yang mempunyai motivasi

berprestasi tinggi akan lebih berhasil dalam menjalankan kehidupan atau tugas

dibandingkan dengan orang yang mempunyai motivasi berprestasi rendah.

Senada dengan itu, Elliot & Sheldon (1997) menyatakan bahwa

seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan mengarahkan usaha

untuk mencapai keberhasilan dan mencapai semua aspirasinya dalam hidup.

Menurut Dweck & Grant (2003) siswa yang tidak memiliki arah dan tujuan
13

yang jelas maka hal itu akan berpengaruh pada motivasi dan kinerja. Oleh

karena itu, penting kiranya siswa mendapatkan bantuan agar memiliki

orientasi tujuan yang jelas agar bisa meningkatkan motivasi berprestasi

sehingga akan berdampak pada prestasi akademik. Banyak masyarakat masih

beranggapan bahwa permasalahan mengenai motivasi berprestasi siswa di

sekolah hanya bisa ditangani oleh guru mata pelajaran.

Motivasi berprestasi erat kaitannya dengan konsep diri akademik.

Siswa sebagai objek dan subjek dalam proses pembelajaran melakukan

aktivitas (perilaku) belajar. Perilaku belajar yang dilakukan tentu dipengaruhi

oleh karakteristik siswa sebagai wujud dari konsep dirinya. Menurut Rogers

(dalam Burns, 1993), konsep diri menjadi penentu (determinant) yang paling

penting dari respon individu terhadap lingkungannya, artinya apabila konsep

diri siswa positif maka perilaku belajar akan dipengaruhi ke arah positif.

Sebaliknya bila konsep diri siswa negatif dalam belajar, maka perilaku

belajarnya akan mewujudkan perilaku yang negatif, misalnya malas, tidak

membuat tugas, tidak mendengarkan penjelasan guru, tidak mau masuk

sekolah, dan bahkan suka menyendiri.

Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa kesuksesan prestasi

akademik siswa salah satu faktor yang berkontribusi adalah konsep diri

akademik. Shavelson,dkk dalam Skoe & Lippe (2005) menyimpulkan bahwa

konsep diri akademik mempunyai korelasi tinggi antara 0,50-0,80 terhadap

prestasi belajar. Siswa yang memiliki konsep diri positif memandang dirinya

dapat berprestasi pada konteks akademik di dalam lingkungan belajar dan

mereka merasa nyaman dalam lingkungan sosial di kelas. Konsep diri siswa
14

sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajarnya. Menurut

Bloom, Byrne, Hansford & Hattie, Marsh dan Willie dalam (Hamachek, 1995)

bahwa ada hubungan antara prestasi akademik siswa dengan konsep diri siswa

yang bergerak antara 0,77-0,96. Hal ini berarti bahwa konsep diri akademik

sangat menentukan kesuksesan seseorang siswa dalam berprestasi di sekolah,

hubungan ini dapat dikatakan hubungan yang kuat.

Penilitian ini akan dilaksanakan di SMPN se-kota Malang. Pemilihan

siswa SMP dikarenakan siswa SMP adalah siswa yang berada pada usia

belasan tahun termasuk ke dalam fase remaja awal. Masa remaja adalah masa

dimana individu berada dalam proses akhir menuju kematangan secara fisik,

mental, emosional dan sosial. Remaja mempunyai kesempatan untuk mencoba

bertingkah laku baru dan mencari identitas dirinya. Bagi seorang remaja, masa

ini adalah masa yang penuh dengan sebuah pertanyaan-pertanyaan tentang

kehidupan yang harus dijawab. Hall (dalam Hurlock,1999) memandang bahwa

masa remaja sebagai masa “storm and stress”. Hall menyatakan bahwa selama

masa remaja banyak masalah yang dihadapi karena remaja itu berupaya

menemukan jati dirinya. Usaha penemuan jati diri remaja dilakukan dengan

berbagai pendekatan agar dapat mengaktualisasikan diri dengan baik.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti “Model Teoritik

Prestasi Akademik Siswa SMPN Kota Malang”.


15

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, dapat

dirumuskan beberapa permasalahan.

1. Bagaimana pengaruh antar konstruk (motivasi berprestasi, konsep diri

akademik, keterampilan berpikir kreatif, kemampuan mengambil

perspektif dari orang lain dan prestasi akademik) yang dibangun dalam

model tersebut ? dapat dirinci menjadi rumusan masalah sebagai berikut;

a. Apakah motivasi berprestasi memiliki pengaruh langsung terhadap

prestasi akademik ?

b. Apakah konsep diri akademik memiliki pengaruh langsung terhadap

prestasi akademik ?

c. Apakah konsep diri akademik memiliki pengaruh tidak langsung

terhadap prestasi akademik melalui motivasi berprestasi ?

d. Apakah keterampilan berpikir kreatif memiliki pengaruh langsung

terhadap prestasi akademik ?

e. Apakah kemampuan mengambil perspektif dari orang lain memiliki

pengaruh langsung terhadap prestasi akademik ?

2. Apakah model teoritik prestasi akademik siswa SMPN kota Malang yang

telah dibangun dapat dibuktikan secara empiris ?

C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka hipotesis di

dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :


16

1. Motivasi berprestasi, konsep diri akademik, keterampilan berpikir kreatif,

dan kemampuan mengambil perspektif dari orang lain memiliki pengaruh

terhadap prestasi akademik.

a. Terdapat pengaruh langsung antara motivasi berprestasi dengan

prestasi akademik

b. Terdapat pengaruh langsung antara keterampilan berpikir lateral

dengan prestasi akademik

c. Terdapat pengaruh langsung antara konsep diri akademik dengan

prestasi akademik

d. Terdapat pengaruh langsung antara kemampuan mengambil perspektif

dari orang lain dengan prestasi akademik

e. Terdapat pengaruh tidak langsung antara konsep diri akademik dengan

prestasi akademik melalui motivasi berprestasi

2. Model teoritik prestasi akademik siswa SMPN kota Malang yang telah

dibangun dapat dibuktikan secara empiris

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

a. Penelitian ini akan memberikan kontribusi terhadap kebutuhan profesi

Bimbingan dan Konseling akan akuntabilitas dalam upaya

mengembangkan The Student Success Skill (keterampilan untuk

sukses pada siswa).


17

2. Kegunaan Praktis

a. Penelitian ini akan memperoleh instrumen berupa skala pengukuran

motivasi berprestasi, konsep diri akademik, keterampilan berpikir

lateral dan kemampuan mengambil perspektif orang lain. Diharapkan

instrumen tersebut bisa dimanfaatkan untuk melakukan asesmen

dalam layanan Bimbingan dan Konseling

b. Hasil penelitian ini dapat memberi wawasan yang berguna dan

digunakan sebagai bahan rujukan dalam mencari cara, strategi, dan

pengembangan program-program dalam peningkatan mutu pelayanan

pendidikan di satuan pendidikan SMPN di Kota Malang pada

umumnya dan meningkatkan prestasi akademik siswa pada

khususnya.

c. Penelitian ini dapat menjadi masukan dalam menentukan arah

penyusunan, pengembangan dan implementasi program bimbingan

dan konseling kepada siswa, terutama bagi siswa yang memiliki

prestasi akademik rendah yang disebabkan oleh rendahnya motivasi

berprestasi, konsep diri akademik, keterampilan berpikir lateral dan

kemampuan mengambil perspektif orang lain.

E. Asumsi Penelitian

1. Motivasi Berprestasi, Keterampilan Berpikir Lateral, Kemampuan

Mengambil Perspektif Orang Lain, dan Konsep Diri Akademik dapat

diukur melalui instrumen yang dirancang dan dikembangkan

berdasarkan pendapat ahli tentang konsep-konsep tersebut dan


18

direspon oleh siswa. Sedangkan prestasi akademik dapat

diadministrasikan menggunakan alat berupa format isian.

2. Setiap individu memiliki motivasi berprestasi, keterampilan berpikir

lateral, kemampuan mengambil perspektif orang lain, dan konsep diri

akademik yang mempengaruhi cara berpikir dan perilaku siswa dalam

mencapai tujuan pendidikan yang dapat dilihat melalui prestasi

akademik.

3. Prestasi akademik merupakan tolok ukur bagi penguasaan materi yang

dicapai siswa selama proses pembelajaran di sekolah yang dinyatakan

dalam wujud nilai yang diperoleh melalui tes/ulangan harian. Tes hasil

belajar yang diberikan oleh guru dipandang sebagai alat ukur yang

telah memenuhi standar validitas dan reliabilitas, sehingga dapat

digunakan untuk mengungkapkan prestasi akademik siswa.

F. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan mengingat banyak sekali faktor-

faktor yang mempengaruhi prestasi akademik siswa. Faktor tersebut

dikelompokkan menjadi dua kelompok besar faktor internal dan faktor

eksternal, namun dalam penelitian ini yang diteliti hanyalah sebagian kecil

dari faktor internal sedangkan faktor eksternal tidak dibahas oleh peneliti.
19

G. Definisi Operasional

1. Model Teoritik adalah model yang disusun dari konsep teori yang

berfungsi untuk menjelaskan cara melihat fenomena empiris yang

diukur kelayakannya secara statistik.

2. Konsep Diri Akademik yaitu serangkaian kesimpulan berupa

pernyataan yang diambil siswa tentang dirinya, keinginan-keinginan

dan harapan-harapan siswa yang berkaitan dengan kegiatan

akademiknya. Konsep diri yang digunakan sebagai acuan penelitian ini

dikategorikan menjadi dua indikator yaitu percaya diri akademik dan

usaha akademik. Instrumen yang digunakan untuk mengungkap

konsep diri akademik dikembangkan sendiri dengan menggunakan

skala Likert dengan self report yang bergerak antara 1-4.

3. Motivasi Berprestasi adalah usaha dan keyakinan individu untuk

mewujudkan tujuan akademik dengan standar keberhasilan tertentu

dan mampu mengatasi segala rintangan yang menghambat pencapaian

tujuan dengan ciri-ciri yaitu; (a) kemampuan untuk melakukan tugas

akademik yang menantang untuk diselesaikan; (b) kemampuan untuk

bertanggungjawab terhadap kinerja; (c) kemampuan mencoba cara-


20

cara baru dalam melakukan sesuatu; (d) kemampuan mencari umpan

balik pada setiap hasil kinerja yang dilakukan. Instrumen yang

digunakan untuk mengungkap motivasi berprestasi menggunakan skala

yang dikembangkan sendiri dengan memberikan skor menggunakan

skala Likert dengan self report yang bergerak antara 1-4 .

4. Kemampuan Mengambil Perspektif Orang Lain adalah kemampuan

untuk mengakui, memahami, mengadopsi, dan menggeneralisasikan

sudut pandang dari orang lain, sehingga dapat mendorong individu

untuk mengembangkan perilaku secara efektif. Tahapan dari

mengambil perspektif dari orang lain, yaitu (a) mengakui setiap

individu memiliki sudut pandang yang berbeda-beda sesuai dengan

kepentingan yang dimiliki oleh diri sendiri; (b) merenungkan perilaku

yang ditunjukkan oleh diri sendiri akan berdampak terhadap perilaku

yang ditunjukkan oleh orang lain; (c) mengamati dan

menggeneralisasikan bahwa perilaku yang ditunjukkan oleh orang lain

dapat berpengaruh terhadap perilaku individu; (d) individu mendeteksi

tindakan tertentu dapat berakibat pada prilaku yang ditunjukkan orang

lain; (e) menginterpretasikan peristiwa yang terjadi sebagai wujud

interaksi antara perilaku dan sistem sosial yang bergantung pada

kerangka dan orientasi pengamat; dan (f) pemahaman baru mengenai

konflik, yang mudah dipahami oleh masing-masing individu.

Instrumen yang digunakan untuk mengungkap kemampuan mengambil

perspektif orang lain dikembangkan sendiri dengan menggunakan

skala Likert dengan self report yang bergerak antara 1-4.


21

5. Berpikir Lateral yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses dari

cara berpikir untuk melihat hal-hal dengan cara yang berbeda.

Pemecahan masalah dengan cara membantu menciptakan ide-ide baru,

produk baru, proses baru, dan layanan baru secara kreatif. Berpikir

lateral adalah jenis baru dari pemikiran yang melengkapi berpikir

analitis dan kritis. Secara teknis berpikir lateral siswa merupakan skor

yang dicapai siswa berdasarkan hasil penilaian (judgement) dari ahli

(expert) yang terentang dengan nilai 0-1. Nilai 1 untuk respon kategori

benar, nilai 0 untuk kategori salah. Instrumen berpikir lateral

diadaptasi dari Lateral Thinking Test from University of Kent Careers

and Employability Service.

6. Prestasi Akademik merupakan hasil pencapaian siswa dalam proses

pembelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam wujud nilai atau

angka dari kegiatan penilaian yang dilakukan melalui sistem ujian

tengah semester (UTS). Indikator untuk mengukur siswa yang

memiliki prestasi akademik tinggi dan rendah dapat dilihat dari rata-

rata nilai yang diukur dari hasil tes baik formatif maupun sumatif

untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,

IPA, dan IPS.

Anda mungkin juga menyukai