Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I

PENDAHULUAN

Sekolah merupakan salah satu bentuk lembaga penddikan yang


bertanggungjawab mendewasakan siswa. Selama proses belajar di sekolah akan terjadi
interaksi antara siswa dengan lingkungan sosial maupun non sosial. Melalui proses
interaksi itulah siswa diharapkan akan mencapai kedewasaan. Di sekolah, interaksi
tersebut banyak diwujudkan dalam kegiatan belajar mengajar.

Dalam proses belajar atau proses interaksi antara siswa dengan lingkungan
sekolah, siswa sering menghadapi berbagai masalah. Ketika siswa menghadapi
masalah, maka pihak sekolah perlu mengadakan usaha untuk membantu
memecahkannya. Peranan bimningan dan penyuluhan menjadi sangat penting karena
masalah-masalah yang dihadapi siswa sering tidak hanya terbatas pada masalah
pelajaran, tetapi juga masalah lain menyangkut totalitas keprobadian siswa.

Berdasarkan pengalaman dan hasl pemelitian, salah satu masalah di sekolah


adalah sering dialami oleh siswa adalah rasa minder. (Eddy Hendrarno, Supriyo,
Sugiyo, 1983, h.68). Selama PPL di SMA 7 Semarang, Agusutus s/d Juli 1988, penulis
mencoba mengadakan survai dengan menyebarkan angket untuk mengidentifikasi
masalah-masalah yang dialami siswa. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang merasa
rendah diri atau minder ternyata tergolong cukup tinggi frekuensinya. Ada sekitar
40,42% dari seluruh responden (188 siswa) yang mengalaminya.

Dengan demikian, dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi belajar


siswa, maka masalah kepercayaan diri adalah salah satu hal yang perlu diperhatikan.
Oleh karena itulah penulis tertarik untuk mempelajari lebih mendalamtentang masalah
kepercayaan diri. Pada kesempatan ini penulis mengangkat judul:

“STUDI PERBANDINGAN TINGKAT KEPERCAYAAN DIRI ANTARA SISWA


BERPRESTASI BELAJAR TINGGI DAN SISWA BERPRESTASI BELAJAR
RENDAH DI SMAN 7 SEMARANG TAHUN AJARAN 1988/1989”

A. Alasan pemilihan judul


Beberapa alasan yang mendorong penulis untk meneliti masalah kepercayaan
diri dengan judul di atas adalah:
2

1. Kepercayaan diri merupakan faktor yang penting dalam proses pendidikan


dan pembangunan di Indonesia dewasa ini. Hal tersebut tersurat dan
tersirat dalam TAP MPR RI NO.II/MPR/1988 tentang GBHN yaitu
sebagai berikut:
Pendidikan masional berdasarkan pencasila, bertujuan untuk
meningkatkan kwalitas manusia Indonesia..............................................
Sejalan dengan itu dikembangkan iklim belajar dan mengajar yang dapat
menumbuhkan rasa percaya pada diri sendiri serta sikap dan perilaku
inovatif dan kreatif. (Ketetapan-ketetapan MPR RI, 1988, h.67).
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian dari upaya
pengembangan sumber daya manusia diarahkan pada peningkatan harkat,
martabat serta kepercayaan pada diri sendiri. (ketetapan-ketetapan MPR
RI, 1988, h.59-60).
2. Hasil belajar siswa adalah penting dan perlu diperhatikan oleh guru
maupun pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pendidikan di sekolah,
sebab hasil belajar siswa dapat memberikan gambaran penting tentang
sejauh mana keberhasilan dari proses pendidikan yang telah berlangsung.
Oleh karena itu segala faktor yang berpengaruh terhada prestasi belajar
baik yang berlangsung maupun tidak langsung (eksplisit maupun implisit)
perlu dideteksi dan diprediksi sehingga bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Termasuk salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalh kepercayaan
siswa terhadap diri sendiri. Sebab menjadikan siswa optimis dalam
hidupnya bahwa ia akan mampu menyelesaikan tugas-tugas atau kesulitan-
kesulitan yang dihadapinya. Dengan kepercayaan diri siswa akan berani
menghadapi dan mengatasi hambatan-hambatan dalam tugas belajar,
sehingga dapat diperkirakan ia akan mampu mencapai prestasi belajar
yang optimal.
3. Dari studi pendahuluan yang penulis lakukan di SMAN 7 Semarang,
ternyata frekwensi siswa yang merasa rendah diri adalah cukup tinggi
yaitu sebanyak 40,42% dari seluruh responden. Masalah ini kiranya belum
terpecahkan secara memadai. Sebagai calon konselor, penulis terpanggil
untuk meneliti mengingat masalah rendah diri cukup penting dalam
kaitannya dengan prestas belajar.
4. SMAN 7 Semarang penulis melaksanakan PPL di SMA tersebut sehingga
sedikit banyak penulis telah mengenal situasi dan kondisi sekolah. Di
samping itu letak SMAN 7 relatif dekat dan mudah dijangkau.
3

5. Sepanjang pengetahuan penulis sampai saat ini belum ada penelitian


terhadap probelamtika khususnya tentang kepercayaan diri di SMAN 7
Smenarang pada ajaran 1998/1989.
B. Penegasan istilah.
Agar terhindar dari kesimpangsiuran dan salah tafsir, penulis akan
memberikan batasan arti tentang judul skripsi perbandingan.
1. Studi perbandingan.
Penelitian yang dilakukan dengan cara membandingkan persamaan dan
perbedaan berbagai fenonema untuk mencari faktor apa atau situasi
bagaimana yang menyebabkan timbulnya atau suatu peristiwa tentu.
(Mohammad Ali, 1982, h.123).
Dalam hal ini yang menjadi fenomena adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi beljar, sedangkan yang dicari adalah ada tidaknya
perbedaan tingkat kepercayaan diri, dan peristiwa tertentu adalah prestasi
belajar tinggi dan rendah. Jadi yang dimaksud studi perbandingan dalam
skripsi ini adalah penelitian dengan cara membandingkan tingkat
kepercayaan diri dalam kaitannya dengan prestasi belajar tinnga dan
rendah dicapai oleh siswa. Atau secara lebih tegas dapat dikatakan sebagai
kegiatan membandingkan tingkat kepercayaan diri antara siswa yang
berpretasi belajar tinggi dan siswa yang berprestasi belajar rendah untuk
mengetahui ada tidaknya perbedaan di antara kedua kelompok itu.
2. Kepercayaan diri.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa kepercayaan diri ditandai dengan:
a. Aspek kognitif: adanya pandagan realistis, positif, rasional dan optimis
terhadap diri sendiri, problema atau situasi-situasi tertentu di luar
dirinya.
b. Aspek afektif: adana rasa percaya atau kepercayaan terhadap
kemampuan diri sendiri, adanya rasa harga diri dan rasa aman atau hati
yang tenang.
c. Aspek psikomotor: adanya kecenderungan bertindak tanpa ragu-ragu
ataupun rasa rendah diri sehingga dapat bergaul denganw ajar dan siap
menerima akibat yang mungkin terjadi, antara lain berupa kegagalan,
kritik dan kesulitan-kesulitan.
4

3. Berprestasi belajar tinggi dan rendah.


Prestasi belajar adalah prestasi yang berupa nilai yang dicapai oleh setiap
siswa yang tercantum dalam rapor. Prestasi belajar yang akan dianalisis
nanti adalah jumlah nilai dari setiap bidang studi yang ditempuh siswa
pada semester gasal tahun ajaran 1988/1989.
Berprestasi belajar tinggi adalah para siswa yang memperoleh nilai
termasuk dalam kelompok tinggi yaitu nilai termasuk dalam kelompok
tinggi yaitu nilai yang berada di atas desil delapa (D8) dari distribusi niali
dalam kelas yang bersangkutan.
Berprestasi belajar rendah adalah para siswa yang memperoleh nilai
termasuk dalam kelompok rendah yatu nilai yang berada di bawah desil
dua (D2) dari distru=ibusi milai dalam kelas yang bersangkutan.
4. Siswa.
Adalah murid atau seseorang yang sedang menempuh masa belajar pada
semester gasal, di kelas I dan II SMAN 7 Semarang tahun ajaran
1988/1989.
5. SMA Negeri 7.
Adalah Sekolah Menengah Atas Negeri 7 yang berlokasi di Kalipancur,
Manyaran, Semarang pada tahun ajaran 1988/1989.
C. Permasalahan.
Menurut Drs. Dewa Ketut Sukardi, “salah satu kebutuhan yang harus
dipenuhi agar anak dapat belajar dengan baik adalah adanya kepercayaan terhadap
kemampuan sendiri dalam belajar.” (Dewa Ketut Sukardi, 1983, h.81). “Seseorang
yang cukup memiliki harga diri akan lebih percaya diri serta lebih mampu, maka juga
lebih prosuktif. Sebaliknya, jika harga dirinya kurang maka anakan diliputi rasa
rendah diri serta rasa tidak berdaya ....” (Frank G. Goble, 1987, h.76).
Penelitian yang dilakukan oleh Drs. Edy Purwanto menunjukkan bahwa ada
korelasi yang signifikan antara kepercayaan diri dengan motivasi berprestasi siswa.
Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa siswa yang tingkat kepercayaan dirinya
tinggi, maka akan cenderung memiliki motivasi berprestasi tinggi sehingga akhirnya
akan mencapai prestasi belajar yang tinggi pula.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa kepercayaan diri
memegang peranan penting dalam belajar.
5

Namun pada sisi lain D.H Gulo mengemukakan pendapat yang agak
kontrasiktif tentang kepercayaan diri yait sebagai berikut:
Kepercayaan diri yang berlebihan tidak selalu berarti positif. Ini ummnya
dapat menjurus pada usaha yang tidak kenal lelah. Orang yang terlalu percaya diri
sering tidak hati-hati dan seenaknya. Tingkah lakunya sering menyebabkan
konflik dengan orang lain. seseorang yang bertindak dengan keperayaan diri yang
berlebihan sering memberikan kesan kejam dan lebih banyak mempunyai lawan
daripada teman. (D.H. Gulo, 1984, h.16).

Berdasarkan pendapat tersebut, maka siswa yang telah memiliki kepercayaan diri
yang tinggi atau bahkan terlalu tinggi masih ada kemungkinan bagi dia untuk
mengalami kegagalan dalam belajar. Dengan kalimat lain, para siswa yang gagal
dalam mencapai prestasi belajar tinggi (prestasi belajarnya rendah) belum tentu
mereka memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah pula. Sebab melalui
mekanisme kompensasi, para siswa yang berprestasi belajar rendah mungkin akan
berusaha keras agar berprestasi dalam bidang lain, misalnya dalam kegiatan ekstra
kulikuler, sehingga ia tetap merasa berharga dana memiliki kepercayaan diri.
Dengan adanya konradiksi di atas dan kenyataan bahwa cukup banyak siswa
yang merasa rendah diri, timbul pertanyaan :bagaimanakah prestasi belajar mereka
yang merasa rendah diri dan merasa percaya diri? Pada sisi lain penulis menemukan
kenyataan bahwa prestasi belajar siswa dalam suatu kelas tertentu bervariasi
menurut jenjang atau tingkatan-tingkatan. Tingkatan prestasi itu bila diklasifikasikan
akan terdiri dari kelompo berprestasi Tinggi, Agak Tinggi, Sedang, Agak Rendah
dan Rendah. Dengan kenyataan terakhir ini, sekarang timbul pertanyaan probelmatis
yaitu: bagaimanakah tingkat kepercayaan diri para siswa yang termasuk kelompok
berpretasi belajar Tinggi dan Rendah, adakah sama atau berbeda? Telah diketahui
bahwa banyak faktor yang ikut berperan dalam pencapaian prestasi belajar. Apabila
dilakukan kontrol terhadap berbagai faktor tersebut, maka timbul pertanyaan : masih
adakah perbedaan atau persamaan tingkat kepercayaan diri antara kedua kelompok
tersebut?
Berdasarkan uraian di atas, maka timbul permasalahan yang dapat
dirumuskan dalam pertanyaan dasar atau basic question sebagai berikut : “Adakah
perbedaan tingkat kepercayaan diri antara siswa yang berprestasi belajar ringgi
dengan siswa yang berprestasi berlajar rendah naik dalam kondisi dikontrol maupun
tidak?”.
D. Hipotesis.
6

Hipotesis yang diajukan penelitian ini:


1. Tanpa dilakukan kontrol terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi belajar,
ada perbedaan tingkat kepercayaan diri antara siswa yang berprestasi belajar
tinggi dan siswa yang berprestasi belajar rendah.

Hipotesis tersebut dapat dibagi lagi menjadi beberapa sub hipotesis, yaitu:

a. Ada perbedaan tingkat kepercayaan diri pada aspek kognitif antara siswa yang
berprestasi belajar tinggi dan siswa yang berprestasi belajar rendah.
b. Ada perbedaan tingkat kepercayaan diri pada aspek afektif antara siswa yang
berprestasi belajar tinggi dan siswa yang berprestasi belajar rendah.
c. Ada perbedaan tingkat kepercayaan diri pada aspek psikomotorik antara siswa
yang berprestasi belajar tinggi dan siswa yang berprestasi belajar rendah.
2. Selanjutnya hipotesis kedua adalah :
Dengan dilakukan kontrol terhadap berbadagi faktor yang mempengaruhi belajar,
ada perbedaan tingkat kepercayaan diri antara siswa yang berprestasi belajar
tinggi dan siswa yang berprestasi belajar rendah.
E. Tujuan penelitian.
Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan yang signifikan tingkat kepercayaan diri antara siswa yang berprestasi
belajar tinggi dan siswa yang berprestasi belajar rendah, baik jika dilakukan kontrol
terhadap berbagai faktir yang mempengaruhi belajar maupun tidak.
F. Sumber-sumber pemecahan masalah.
1. Sumber teoritis.
Adalah sumber-sumber yang penulis peroleh dari literatur ilmiah dalam
perpustakaan.
2. Sumber empiris.
Adalah sumber-sumber yang penulis peroleh dari lapangan selama penulis
mengadakan penelitian yang berupa data empiris.
G. Sistematika skripsi.
Untuk memmberikan gambaran menyeuruh tentang isi skripsi ini, penulis akan
mengemukakan sistematika sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, berisi tentnag alasan pemilihan judul, penegasan istilah,
permasalahn, hipotesis, tujuan penelitian, sumber-sumber pemecahan, hipotesis,
tujuan penelitian, sumber-sumber pemecahan masalah dan sistematika skripsi.
7

Bab II Landasan teori, membahas secara teoritis tentang masalah-masalah


yang berkaitan dengan kepercayaan diri dan prestasi belajar. Pada kepercayaan diri
akan dibahas mengenai pengertian kepercayaan diri, pertumbuhan kepercayaan diri,
aspek-aspek kepercayaan diri dan manfaat kepercayaan diri. Pada prestasi belajar
akan dibahas mengenai pengertian prestasi belajar dan faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar serta usaha penulis untuk mengontrol faktor-faktor
tersebut. kemudian akan dibahas pula mengenai kaitan antara kepercayaan diri dengan
prestasi belajar. Bagian akhir bab ini adalah hipotesis yang penulis ajukan sebagai
suatu kesimpulan sementara yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini.
Bab III Pertanggungjawaban metodologi, akan membahas mengenai
penetapan metode penelitian, populasi dan sampel penelitian, metode pengumpulan
data, validitas dan reliabilitas alat pengumpul data serta metode analisis data yang
digunakan.
Bab IV Laporan hasil penelitian, akan membahas mengenai pelaksanaan
penelitian dan analisis data hasil penelitian.
Bab V Kesimpulan dan saran, aka membahas mengenai kesimpulan hasil
penelitian serta saran-saran dari penulis.
Selanjutnya marilah kita ikuti bab dua yang akan membahas lebih lanjut
tentang landasan teori.

BAB II
LANDASAN TEORI

Kerangka teroritis atau landasan teroi mempunyai peranan besar dalam


pelahiran hipotesis-hipotesis yang signifikan, maupun dalam penafsiran data yang
8

diperoleh dalam rangka pengujian hipotesis tersebut. Landasan teori merupakan


landasan bagi proses penelitian, landasan dalam menyusun strategi penelitian. Dengan
demikian landasan teori merupakan titik tolak bagi peneliti utnuk berpikir, bersikap
menyusun hipotesis, membuat keputusan dan menentukan kesimpulan.

Tidak semua teroi relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Oleh
karena itu peneliti harus selektif dalam menyusun landasan teori bagi penelitian yang
dilakukan. Landasan teori yang baik dan tepat akan menunjang keberhasilan penelitian.

Adapun landasan teoritis yang akan dibahas dalam bab ini adalah :

A. Masalah kepercayaan diri (self-confidence) :


1. Pengetian kepercayaan diri.
2. Pertumbuhan kepercayaan diri.
3. Aspek-aspek kepercayaan diri.
4. Manfaat kepercayaan diri.
B. Masalah prestasi belajar :
1. Pengertian prestasi belajar.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar.
C. Kaitan antara kepercayaan diri dan prestasi belajar.

A. Masalah kepercayaan diri.


Dalam kehidupan sehari-hari, kata kepercayaan diri atau rasa percaya diri
sangat sering digunakan oleh masyarakat. Kita tentu tidak merasa sering lagi
mendengarkan kata-kata pemberi semangat dari orang-orang di sekitar kita,
misalnya : “jangan menyerah, percayalah pada dirimu sendiri” atau “percayalah pada
diri sendiri ketika kamu melkaukan tugas-tugas berat”. Bahkan para wakil rakyat
Indonesia yang duduk di MPR telah menyebutkan kata ‘kepercayaan pada diri
sendiri’ atau ‘rasa percaya pada diri snediri’. Hal itu tersurat dalam TAP MPR No.
II/MPR/1988, tentang GBHN, sebagai berikut:
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk
meningkatkan kwlitas manusia Indonesia........................................................
............................................................................................................................
Sejalan dengan itu dikembangkan iklim belajar dan mengajar yang dapat
menumbuhkan rasa percaya pada diri sendiri serta sikap dan perilaku inovatif
dan kreatif. (Ketetapan-ketetapan MPR RI, 1988 h.67).
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian dari upaya
pengembangan sumber daya manusia diarahkan pada peningkatkan harkat,
9

martabat manusia serta kepercayaan pada diri sendiri. (Ketetapan-ketetapan


MPR RI, 1988, h 59-60).
Ada orang yang telah disebut bahwa ia mempunyai kepercayaan diri, di sisi
lain ada pula orang yang disebut kurang mempunyai kepercayaan pada diri sendiri atau
disebut pula bahwa ia mempunyai rasa rendah diri. Kepercayaan diri akan tercermin
pada bagaimana pandangan seseorang terhadap diri sendiri, suasana hati atau perasaan
dan tindakan atau perilakunya. Dalam skripsi ini, penulis akan membahas masalah
kepercayaan diri dengan menyoroti bagaimana pandangan, suasana hati atau perasaan
dan tindakan atau perilaku orang yang memiliki kepercayaan diri.

1. Pengertian kepercayaan diri.


Berikut ini penulis memaparkan beberapa pendapat para ahli tentang
kepercayaan diri. Menurut Edieh G. Neisser, “Secara formal dapat digambarkan
bahwa rasa percaya diri itu merupakan gabungan dari pandangan positif terhadap
diri sendiri, harga diri dan rasa aman.” (Edieh G. Neisser, 1981-1982, h.3).
pendapat Neisser ini, menurut penulis, menngandung dua aspek kepercayan diri
yaitu kognitif dan afektif. Aspek kognitif berupa pandangan positif terhdapa diri
sendiri, sedangkan aspek afektif berupa rasa aman dan rasa harga diri. Dalam hal ini
Neisser tampaknya menekankan integrasi atau gabungan dari kedua aspek tersebut.
“Percaya diri itu bukanlah sombong. Sombong adalah penilaian orang
terhadap dirinya sendiri melebihi daripada hakekatnya. Lawannya adalah rendah
diri yaitu penlaian terhadap diri sendiri yang kurang daripada kenyataan” (A.A El-
Quussy, jilid II, 1974, h.143). Pendapat ini lebih menekankan bagaimana seseorang
menilai atau memandang dirinya. Orang yang percaya pada diri sendiri ternyata
harus realistis, apa adanya, yakni tidak memandang lebih tinggi atau sebaliknya
lebih rendah daripada kenyataan dirinya.
Dr. Zakiah Deradjat dalam buku ‘Kesehatan Mental’ mengemukakan bahwa,
“Kepercayaan kepada diri akan menyebabkan orang optimis dalam hidup, setiap
persoalan dan problem yang akan datang dihadapi dengan hati tenang sehingga
penganalisaan terhadap problem tersebut dapat dilakukan.” (Zakiah Deradjat, 1983,
h.25)
Pendapat ini menekankan bagaimana seseorang berbuat ketika menghadapi suatu
masalah. Secara kognitif, tampak bahwa orang yang percaya diri akan memandang
problema dengan optimis dan mampu manganalisis problema tersebut dengan
10

rasional, sedang secara afektif tampak bahwa ia menghadapi problema dengan


keadaan hati yang tenang.
“Self-confidence: confidence in one’s ownjudgment, ability, power,
ect.”(Miyamoto, S.F and Dornbusch, 1959, h.399). Terjemahan pendapat ini
sebagai berikut : “Kepercayaan pada diri sendiri adalah kepercayan seseorang atas
keputusan, kemampuan, kekuatan dirinya sendiri dan sebagainya”. Inti sari
pendapat ini menekankan pada aspek afektif yaitu adanya kepercayaan atau rasa
percaya terhadap ‘milik’ dirinya sendiri.
Sedangkan menurut Drs. Edy Purwanto, “kepercayaan diri adalah
kecenderunggan bertindak tanpa memiliki keragu-raguan diri ataupun perasaan
rendah diri, dan siap menerima akibat dari tindakan yang dilakukan.” (Edy
Purwanti, tesis, 1986, h.5). Menurut penulis, pendapat ini lebih menekankan pada
aspek psikomotorik atau perilaku yaitu kecenderung tindakan yang mantap tanpa
rendah diri sehingga dapat bergaul dengan wajar dan kesiapan menerima segala
akibat yang mungkin terjadi, yang anatara lain berupa kegagalan, ketitik dan
kesulitan-kesulitan.
Berdasarkan empat pendapat di atas, maka penusli dapat mengambil
kesimpulan bahwa kepercayaan diri itu ditandai dengan:
a. Aspek kognitif : adanya pandangan realistis positif rasional, dan optimis
terhadap diri sendiri problema atau situasi-situai tertentu di laur dirinya.
b. Aspek afektif : adanya rasa percaya atau kepercayaan terhadap kemampuan diri
sendiri, adanya rasa harga diri dan rasa aman atau hati yang tenang.
c. Aspek psikomotorik : adanya kecenderungan bertindak tanpa ragu-ragu ataupun
rasa rendah diri sehingga dapat bergaul dengan wajar, dan siap menerima akibat
yang mungkin terjadi, yang antara lain berupa kegagalan, kritik, dan kesulitan-
kesulitan.

Dari kesimpulan di atas, maka kepercayaan diri dapat disoroti dari tiga aspek
yaitu kognitif, afektif dan psimotorik.

2. Pertumbuhan kepercayaan diri.


Manusia adalah makhluk sosial dan sekaligus makhluk individual. Sebagai
makhluk sosial, ia tidak dapat hidup tanpa berhubungan dengan orang lain, sebab ia
membutuhkan orang lain. Ia hidup dalam kelompok-kelompok sosial. Kelompok
yang pertama da utama dijumpai oleh anak adalah keluarga, kemudian meluas ke
11

teman sebaya di sekitar rumah, teman-teman di sekolah dan masyarakat. Dalam


kelompok-kelompok sosial, setiap anggota berinteraksi dengan anggota lainnya.
Melalui interaksi, setiap anggota disamping memenuhi kebuthan-kebutuhan dirinya,
juga terjadi proses saling mempengaruhi antara satu terhadap yang lainnya.
Sebagai makhluk individual, maka jenis dan kwalitas pengaruh yang diterima
seseorang akan berbeda dengan orang lainnya meskipun ia hidup dalam satu
kelompok sosial, misalnya dalam satu keluarga. Dalam hal ini mungkun ia bisa
terpengaruh secara positif atau negatf. Berbagai pengaruh dari kelompok sosial
akan tercermin pada bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri, keadaan hati
atau perasaan dan tingkah laku sehari-hari dalam kehidupan sosialnya.
Bagaimana proses pengaruh kelompok sosial terhadap seseorang? Pertama
seseorang mambayangkan bagaimana ia tampak pada orang lain, ia melihat sekilas
seperti pada cermin, misalnya ia membayangkan bahwa dirinya jelek. Kedua, ia
membayangkan atau memperhatikan bagaimana orang lain menilai penampilan
dirinya, ia mungkin berkata pada dirinya sendiri (self-talk) bahwa orang lain
menganggap ia tidak menarik, jelek, maka ia akan memandang atau menilai bahwa
dirinya tidak menarik, jelek. Ketiga, bayangan-bayangan penilaian orang lain
dankata-katanya terhadap dirinya sendiri (self-talk) akan mempengaruhi keadaan
hati atau perasaan dirinya, ia mungkin merasa sedih, malu atau kecewa. Keempat,
keadaan hati atau perasaan itu akan mempengaruhi tingkah laku dalam pergaulan
sosialnya, mungkin ia menarik diri, tidak mau bercakap-cakap dengan orang lain,
dan sebagainya.
Melalui proses penilaian orang lain dan penilaian terhadap diri sendiri, maka
seseorang akan membentuk konsep diri. Dalam hal ini E.B. Hurlock
mengemukakan bahwa, ”Penilaian sosial pada gilirannya merupakan dasar bagi
penilaian diri. Dengan jalan ini kelompok sosial mempengaruhi konsep diri.” (E.B.
Hurlock, 1976, h.262). Sejalan dengan Hurlock, Travers mengemukakan bahwa,
“Penilaian terhadap anak yang dilakukan orang oleh orang penting (significant
others) akan didengar anak dan membentuk penilaian diri.” (Travers 1977, h.376).
Selanjutnya, “Penilaian diri membentuk inti dari konsep dirinya.” (E.B Hurlock,
1976, h.225).
Menurut Travers, “Konsep diri adalah apa yang diperoleh seseorang dari jenis
pernyataan-pernyataan (statement) orang tersebut terhadap dirinya sendiri yang
bersifat individual.” (Travers, 1977, h.376). Dengan demikian jenis penilaian oleh
12

orang penting (significant others) dalam kelompok sosial, akan menentukan jenis
penilaian diri, selanjutnya akan menentukan pula jenis konsep diri yang dipunyai
seseorang. Karena penilaain itu diterima secara individual, maka konsep diri yang
dipunyai seseorang akan bersifat individual pula. Artinya konsep diri dua orang
tidak bisa sama persis, meskipun mereka hidup dalam kelompok sosial misalnya
keluarga.
Selanjutnya, dalam konsep diri akan tersirat bagaimana kepercayaan seseorang
terhadap diri sendiri. orang yang mempunyai konsep diri positif akan cenderung
mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri, sebaliknya orang yang mempunyai
konsep diri buruk atau negatif akan cenderung kurang percaya diri. Dalam hal ini
E.B. Hurlock mengemukakan bahwa, “Jika orang lain menilai bahwa ia baik
(berkualitas) sebagai pemimpin, dan mereka memilihnya untuk memegang peran
itu, maka ia akan menerima pandangan bahwa dirinya adalah betul-betul baik. ini
memberikan kepercayaan kepada diri sendiri ...” (E.B. Hurlock, 1976, h.255).
Pada bagian lain, hurlock mengemukakan, “Karena konsep diri yang bruuk
(negetif), maka orang menjadi kurang percaya diri dan kurang menghargai diri.”
(E.B. Hurlock, 1976, h.238).
Penilaian orang lain dan penilaian diri sendiri timbul bersama-sama dengan
pengalaman keberhasilan dan kegagalan seseorang. Ketika seorang anak berhasil
menyelesaikan suatu tugas dengan baik, misalnya mengerjakan PR, maka ia akan
merasa senang, disamping itu orang-orang disekitarnya juga akan merasa senang.
Orang-orang sekitar akan menilai anak itu baik, bagus pekerjaaannya. Di sisi lain, ia
juga menilai dirinya sendiri sebagai baik, bagus pekerjaannya. Kedua penilaian
‘bagus’ tersebut akan menumbuhkan kepercayaan kepada diri sendiri.
Sebaliknya, seandainya anak gagal menyelesaikan tugas dengan baik, maka
orang-orang sekotar akan menilai rendah anak itu, mereka kecewa. Mungkin
mereka menilai bahwa anak itu bodoh, tidak bisa bekerja. Di sisi lain, karena
pengaruh orang sekitar, maka anak menilai dirinya rendah. Mungkin ia menilai
bahwa ia bodoh tidak dapat dipercaya. Penilaian-penilaian demikian akan
menumbuhkan rasa kurang percaya diri anak tersebut.
3. Aspek-aspek kepercayaan diri.
Penulis akan mencoba mendiskripsikan ‘sosok’ kepercayaan diri atau orang
yang memiliki kepercayaan sdiri.
13

Penulis mengakui bahwa pembagian menurut aspek kognitif, afektif dan


psikomotorik bukanlah pembagian yang tegas. Mungkin seklai terjadi semacam
tumpang tindih yang bersifat saling melengkapi antara satu aspek dengan aspek
lainnya. Hal itu tentu bisa kita mengerti karena kepribadian manusia adalah sangat
kompleks. Pembahasan secara aspek per aspek di sini juga bukan dimaksudkan
untuk ‘memecah’ totalitas kepribadian manusia, melainkan sebagai uoaya untuk
memahami masalah kepercayaan diri secara lebih detail, tanpa mengabaikan
integritas dari aspek-aspek tersebut.
a. Aspek kognitif.
1) Pandangan reaslistis terhadap diri sendiri.
“Percaya diri itu bukanlah sombong. Sombong adalah penilaian
orang terhadap dirinya sendiri melebihi daripada hakekatnya.
Lawannya adalah rendah diri yaitu penlaian terhadap diri sendiri
yang kurang daripada kenyataan” (A.A El-Quussy, jilid II, 1974,
h.143). Pada bagian lain Quussy juga mengemukakan,
“Membesarkan diri dengan jalan dusta (tidak relistis), adalah salah
satu cara untuk menutupi rasa rendah.” (A.A. El-Quussy, jilid II,
1974, h.153).
Sedangkan E.B Hurlock mengemukakan, “jika seeorang telah
realistis terhadap kemampuan dirinya, tetapi ia ditekan oleh orang
tuanya, guru atau orang lain untuk bekerja lebih keras daripada
kemampuannya, maka ia akan bertambah perasaan renah dirinya.”
(E.B. Hurlock, 1976, h.212).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka bisa ditarik
kesimpulan bahwa orang yang mempunyai kepercayaan diri sendiri
harus mempunyai pula pandangan yang realistis terhadap diri
sendiri. artinya ia mau dan mampu melihat dirinya sendiri secara
apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dengan
demikian ia kaan mampu pula menerima diri secara apa adanya,
mau mengakui kekurangan atau kelemahan atau keterbatasan
dirinya. Ia tidak perlu berdusta atau membesar-besarkan diri untuk
menutupi kekurangan, kelemahan atau keterbatasan dirinya.
2) Pandangan positif terhadap diri sendiri.
14

Dalam halaman terdahulu telah dikemukakan bahwa orang


yang mempunyai konsep diri positif akan cenderung mempunyai
kepercayaan kepada diri sendiri. sebaliknya orang yang mempunyai
konsep diri negatif atau buruk akan cenderung kurang percaya
kepada diri sendiri. Dalam hal ini Travers mengemukakan pendapat
sebagai berikut:
Seseorang dapat digambarkan telah mempunyai konsep
diri positif jika ia membuat pertanyaan-pertanyaan (statement)
yang bersifat positif terhadap dirnya, tentang apa yang ia
mampu kerjakan, tentangpenghargaan terhadap diri sendiri
sebagai manusia sukses dan tentang harapan-harapan atas
kemampuan dirinya untuk memenangkan masa depan. (Travers,
1977, h.376).
Dengan menyimak pendapat Travers tersebut di atas, maka
pernyataan-pernyataan yang bersifat positif pada dasarnya
merupakan refleksi dari pandangan orang tersebut terhadap dirinya
sendiri. dalam hal ini ia memandang dari sutu positif, ia mempunyai
pandangan yang positif terhadap diri sendiri. ia memandang bahwa
dirinya mempunyai kemampuan untuk mencapai keberhasilan.
Mugnkin ia mempunyai kekurangan-kekurangan, tetapi ia tidak
membesar-besarkan kekurangan tersebut sebagai suatu malapetaka
bagi dirinya. Adanya kekurangan pada dirinya tetap ia pandang dari
sudut posisitf, ia mampu mengambil hikmah atau manfaat dari
kekurangan tersebut.
3) Kemampuan berfikir secara rasional.
“Kepercayaan kepada diri sendiri akan menyebabkan orang
optimis dalam hidup, setiap persoalan dan problem yang akan
datang dihadapi dengan hati tenang sehingga penganalisaan
terhadap problem itu dapat dilakukan,” (Zakish Daradjat, 1983,
h.25). Dengan demikian kemampuan seseorang berfikir secara
rasional untuk menganalisis probelma mempunyai kaitan erat
dengan kepercayaan diri. Orang yang cara berfikirnya cenderung
didominasi oleh perasaan, maka akan kurang mampu melihat
realitas secara luas. Misalnya seseorang yang melihat orang lain
banyak mencapai keberhasilan, sedangkan ia sendiri mengalami
kegagalan; jika ia berfikir kurang rasional, maka ia secara emosioal
15

akancenderung berkesimpulan bahwa dirinya lemah dan tidak


berdaya. Sebaliknya orang yang mampu berfikir rasional akan
meninjau kegagalan secara lebih luas,. Ia akan meninjau kembali
setiap atau langkah yang telah ditempuh, mungkin kurang tepat,
kurang bersungguh-sungguh atau mungkin kemampuannya kurang
dalam bidang-bidang tersebut.
4) Cita-cita/harapan/keinginan yang realistis.
“Tingkat aspirasi (harapan) yang tinggi yang tidak realistis
pasti membawa seseorang merasa bahwa dirinya gagal, sebab
prestasinya tidak memenuhi harapan dirinya dan orang lain.
Selanjutnya ini akan membawa perasaan rendah diri.” (E.B.
Hurlock, 1976, h.212). “Adalah tanda adanya kompleks rendah diri
ketika seorang laki-laki atau gadis berputus asa memenuhi ungkapan
bahwa ‘setiap orang mampu mengerjakan segala sesuatu’, dan
ketika ia merasa tidak mampu mencapai cita-cita yang berguna
dalam hidupnya.” (H.L. Ansbacher and Rowena R.Ansbacher, 1958,
h.400). Dengan menyimak kedua pendapat tersebut di atas, maka
bisa disimpulkan bahwa cita-cita/harapan/keinginan yang realistis
erat kaitannya dengan kepercayaan diri. Orang yang percaya diri
sellau melihat kemampuannya, kemudian menentukan
cita-cita/harapan/keinginan yang realistis sesuai dengan tingkat
kemampuannya tersebut. sehingga kemungkinan besar ia akan lebih
banyak mencapai keberhasilan daripada kegagalan. Ia tidak
mempunyai ambisi yang berlebihan untuk mencapai cita-cita.
5) Pandangan optimis dalam hidup/terhadap masa depan.
“Kepercayaan diri akan menyebabkan orang optimis dalam
hidup .....” (Zakiah Deradjat, 1985, h.83). sedangkan Mustofa Fahmi
mengemukakan pendapat sebagai berikut:
Orang yang keadaannya dan kemampuannya
memungkinkannya untuk mengatasi hambatan yang
dihadapinya, dan yang dapat memenuhi kebutuhanna, akan
mencapai bagian besar dari kepercayaan diri. Pandangannya
terhadap berbagai keadaan akan penuh optimis dan
menyenangkan.”
(Mustofa Fahmi, Jilid I, 1977, h,10).
16

Dalam hal ini E.B. Hurlock mengemukakan bahwa, “Dia puas


dengan kehidupannya, optimis terhadap rencanan masa depannya,
dan percaya akan adanya kesempatan baginya untuk sukses.” (E.B.
Hurlock, 1976, h.243). “Pribadi yang penuh kepercayaan berharap
akan mencapai cita-citanya, akan terlibat aktif dalam tugas-tugasnya
dan berusaha keras untuk mencapainya.” (E.B Hurlock, 1976,
h.264)

Dengan menyimak pendapat pada ahli tersebut diatas, maka


bisa diambil kesimpulan bahwa orang yang percaya kepada dirinya
sendiri akan mempunyai pandangan optimis dalam hidup terhadap
masa dean, termasuk ketika menghadapi kesulitan-kesulitan atau
situasi-situasi yang tidak menentu. Ia percaya bahwa ada
kesempatan baginya untuk berhasil. Ia akan terlibat aktif dalam
tugas-tugas dan berusaha keras untuk mencapai cita-citanya.

b. Aspek Afektif
1) Percaya akan memapuan diri sendiri untuk mencapai keberhasilan.
Kepercayaan diri erat kaitannya pula dengan perasaan bahwa ia
mampu mengerjakan atau menyelesaikan sesuatu. “.... anak yang
mengetahui bahwa ia dapat (mampu) mengerjakan sesuatu dengan
baik, atau yang mengetahui bahwa ia dipercaya ia dapat (mampu)
menyumbangkan sesuatu, akan merasa percaya kepada dirinya
sendiri.” (Edish G. Neisser, 1981-1982, h.49). Dalam hal ini El-
Quussy mengemukakan bahwa, “..... kemampuan anak berdiri
sendiri wakt makan, akan memberikan kepadanya rasa percaya
kepada diri sendiri ...” (A.A El-Quussy, Jilid II, 1974, h.31).
Dengan demikian orang yang percaya kepada diri sendiri juga
percaya akan kemampuannya untuk mencapai keberhasilan, mampu
mengerjakan sesuatu dengan baik. sehingga ia tidak terlalu
bergantung pada orang lain.
Sebaliknya orang yang kurang percaya kepada dirinya sendiri
kurang percaya kepada kemampuan dirinya. Ia merasa lemah, tidak
sempurna dan tidak berguna dalam hal ini. E.B. Hurlock
mengemukakakn, “.... orang yang mempunyai konsep diri yang
17

buruk menderita perasaan rendah diri yang semuanya bersumber


dari keyaknan bahwa ia gagal (tidak mampu) dalam apa saja yang ia
lakukan.” (E.B. Hurlock, 1976, h.238). “Perasaan rendah diri
menguasai kehidupan psikologis dan dapat dengan mudah
dimengerti sebagai perasaan ketidak mampuan dan ketidak
sempurnaan ...”. (H.L Ansbacher and R.R Ansbacher, 1958, h.117).
Sedangkan Sumadi Suryabrata mengemukakan pendaoat bahwa,
“rasa diri kurang atau rasa rendah diri timbul karena perasaan
kurang berharga atau kurang mampu dalam segala bidang
penghidupan apa saja.” (Sumadi Suryabrata, 1982, h.220).
2) Rasa harga diri yang cukup.
Maslow menemukan bahwa setiap orang memiliki kebutuhan
yang bertingkat. Salah satu kebutuhan yang sangat penting adalah
kebutuhan akan penghargaan, yaitu meliputi harga diri dan
penghargaan dari orang lain. dalam hal ini H.J Kalusmaier dan W.
Goodwin dalam buku ‘Learning and Human Abilities,
mengemukakan bahwa:
Kebutuhan harga diri memerlukan pengakuan
penerimaan yang jelas sebagai manusia berharga. Pemuasan
kebutuhan ini akan diikuti oleh perasaan percaya, rasa berharga,
rasa kuat (mampu) dan rasa berguna (usefullness). Sedangkan
rintangan terhadap kebutuhan ini akan menghasilkan perasaan
rendah diri, rasa lemah atau tidak berdaya. (H.J. Kalusmeier and
W. Goodwin, 1966, h.426).
Agak sejalan dengan Klausmeier dan Goodwin, Mustofa Fakmi
mengemukakan pendapat sebagai berikut:

Pemuasan kebutuhan akan rasa berhasil menjadikannya


merasa cukup. Arti rasa cukup di sini adalah bahwa orang
menganggap dirinya patut dihargai, Ia percaya kepada dirinya
dan menghargai dirinya. Lawan dari itu adalah rasa kurang atau
tidak cukup, yaitu kurang merasakan harga dirinya atau
penilaian kepada dirinya rendah ...” (Mustofa Fahmi, Jilid III,
h.186)
Bahkan secara lebih tegas lagi Frank G. Goble mengemkakan
bahwa, “Seseorang yang mempunyai cukup harga diri akan lebih
percaya diri serta lebih mampu, maka akan lebih roduktif.” (Frank
G. Goble, 1987, h.76).
18

Dengan memperhatikan pendapat-pendapat tersebut di atas,


maka dapat disimpulkan bahwa orang yang mempunyai
kepercayaan diri akan mempunyai rasa harga diri yang cukup.
Kebutuhan akan harga dirinya bisa terpuaskan. Ia percaya bahwa
dirinya berharga karena dapat memberikan ‘sesuatu’ kepada dirinya
sendri dan orang lain, ia merasa dirinya berguna. Harga diri disini
bukanlah bersumber dari keinginan yang berlebihan untuk
mendapatkan sanjungan atau mencapai kemashuran, tetapi
berdasarkan suatu realitas yang wajar, bukan khayalan. Oleh karena
itu ia tidak menilai dirinya lebih rendah dari realitas yang
sebenarnya. Ia sama sekali tidak menganggap bahwa dirinya lemah,
tidak berdaya, tidak berguna, tidak sempurna dan sebenarnya.
Mungkin ia menyadari akan kekurangan atau kelemahan dirinya,
akan tetapi perasaan (harga dirinya) tidak terlalu terganggu oleh
kekurangan atau kelemahan tersebut.

3) Cenderung lebih merasa aman/tenang.


“Rasa aman adalah permulaan dari kepercayaan diri” (A.A El-
Quussy, jilid I, 1974 h. 219). Pada bagian lain El-Quussy
mengemukakan bahwa, “rasa aman merupakan dasar bagi dorongan
menghadang. Suksesnya di sini akan memberikan kepercayaan diri,
sehingga ia semakin cenderung untuk menghadang lagi.” (A.A El-
Quussy, jilid I, 1974, h.116),
Masih sejalan dengan pendapat tersebut, E.B Hurlock,
mengemukakan, “Kelebihan dari kasih sayang, kebahagiaan,
kesenangan dan cinta, pada sisi lain, adalah membawa pada
perasaan aman yang membantu seseorang untuk mendekati
permasalahannya dengan kepercayaan diri ...,” (E.B Hurlock, 1976,
h, 208).
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa orang-yang percaya kepada dirinya sendiri akan
cenderung lebih merasa aman atau tenang meskipun mungkin ia
menghadapi kesulitan dan juga mempunyai kekurangan atau
kelemahan. Dalam hal ini ia tidak mudah menjadi cemas oleh
19

karena kesulitan-kesulitan yang ia hadapi. Kiranya rasa aman atau


tenang merupakan konsekwensi logis dari sendiri, cita-cita yang
realisis, kemampuan berfikir rasional, dan optimisme dalam hidup
atau terhadap masa depan; rasa percaya akan kemamuan dirinya dan
adanya rasa harga diri yang cukup.
Sebaliknya adanya perasaan tidak aman atau kecemasan dapat
merupakan indikator rasa rendah diri atau kurang percaya kepada
dirinya sendiri. “Sebagian orang yang merasa aman menjadi pemalu
dan menarik diri” (Frank G. Goble, 1987, h.128). “Kalau kita
ambilcemas misalnya .... disamping timbul persoalan yang
berhubungan dengan makan itu sendiri .... juga timbul problema lain
yaitu kurang percaya kepada diri sendiri.” (A.A El-Quussy, Jilid II,
1974, h.31). dalam kaitannya dengan keadaan emosi orang tua, El-
Quussy mengemukakan “Kecemasan si ibu berpindah kepada
anaknya melalui sugesti dan simpati, sehingga anak menjadi
pencemas dan hilang kepercayaannya kepada diri sendiri.”(A.A El-
Quussy, jilid I 1974, h.231).
c. Aspek Psikomotorik.
Aspek ini merupakan perwujudan dari daua aspek terdahulu yaitu
kognitif dan afektif. Apabila secara konsisten orang telah memiliki
kemampuan-kemampuan seperti yang telah diuraikan di muka, maka
tingkah laku atau tindakan orang itu akan menunjukkan bahwa ia
percaya kepada diri sendiri. pada aspek ini dapat dengan mudah
dibedakan antara orang yang percaya diri dan kurang percaya diri, sebab
aspek ini merupakan aspek perilaku yang dapa diobservasi.
1) Bertindak secara mantap, tidak ragu-ragu ataupun rendah diri.
Orang yang mempunyai kepercayaan diri akan bertindak secara
mantap, tidak ragu-ragu ataupun rendah diri. Ia bebas untuk menjadi
dirinya yang asli, kreatif, berani dan tidak terlalu terbelenggu oleh
tekanan-tekanan sosial. Apabila dihadapkan pada situasi sulit atau
tidak menentu, maka secara realistis, rasiona, optimis, tenang dan
mantap ia akan menghadapinya tanpa ragu-ragu. Ia segera mampu
mengambil keputusan dan tidakan sesuai dengan keputusan yang
diambilnya.
20

Ia tidak membuang-buang waktu membuat seribu satu perhitungan


terhadap segala urusan kecil maupun besar.
Sebaliknya, orang yang kurang percaya kepada diri sendiri
cenderung menampilkan perilaku yang diwarnai oleh keraguan. Ia
canggung, malu-malu, takut salah, selalu dibayang-bayangi adanya
bahaya, tidak dapat berfikir bebas. Oleh karena itu ia menjadi terlalu
hati-hati dalam bertindak, atau bahkan tidak berbuat apa-apa ketika
menghadapi kesulitan.
2) Bergaul dengan wajar.
Hilangnya kepercayaan kepada diri sendiri menyebabkan
seseorang kurang mampu membina persahabatan dengan teman-
temannya. ia merasa dirinya dibenci, disisihkan dan berprasangka
bahwa setiap orang tidak menukai dirinya. Oleh karen itu
perilakunya dalam pergaulan sehari-hari menjadi tidak wajar.
Mungkin ia menarik diri atau mengisolasikan diri dari pergaulan. Ia
menjadi pemurung, tidak berani tampil bersama teman-teman.
Menurut E.B. Hurlock, “Kesengajaan isolasi (menarik diri) sering
kali membentuk konpleks rendah diri.” (E.B Hurlock, 1976 h. 243).
Mungkin pula ia mengekspresikan diri dalam ciri-ciri perilaku
orang yan menyukai mempunyai kompleks superior. Hal ini ia
lakukan sebagai usaha percobaan-percobaan untuk meyakinkan
dirinya dan orang lain, bahwa dia mempunyai kemampuan yang
lebih besar daripada kenyataan. Seringkali perilaku yang ditampilkan
yaitu bergaya besar, agresif, mengkritik, menghina, menarik erhatian,
berpura-pura, berbuat yang aneh-aneh dan sebagainya. Semua itu
tentunya juga merupakan usaha untuk menutupi kelemahan dan
kekurangan percayaannya kepada diri sendiri. “Kurang percaya diri
dengan berbagai faktor penyebabkannya akan menimbulkan
kelakuan menarik diri atau negatif ...” (A.A. El-Quussy, jilid 1974, h.
144)

Anda mungkin juga menyukai