Anda di halaman 1dari 78

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam

kemajuan suatu bangsa. Dengan adanya pendidikan maka akan

tercipta sumber daya manusia yang berkualitas. Banyak upaya

yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas

sumber daya manusia di Indonesia secara berkelanjutan, salah

satunya dengan cara menyempurnakan kembali kualitas

pendidikannya. Dalam menyempurnakan hal tersebut diperlukan

keseimbangan antara kualitas pendidik dan peserta didik. Pendidik

sendiri bertugas untuk memberikan metode, model serta strategi

pembelajaran yang berkualitas dan cocok dengan kondisi kelas dan

peserta didik. Dijelaskan dalam Qur‟an Surah Al-„Alaq ayat 1

sampai dengan 5, Allah Subhanahu Wa Ta‟ala telah berfirman:

َ‫) اِ ْق َرأْ َو َربُّك‬٢( ‫ق‬


ٍ َ‫سانَ ِم ْن َعل‬ ْ ‫اِ ْق َرأْ ِباس ِْم َر ِبّكَ الَّذ‬
ِ ْ َ‫) َخلَق‬١( َ‫ِي َخلَق‬
َ ‫اْل ْن‬

)٥( ‫سانَ َمالَ ْم َي ْعلَ ْم‬ ِ ْ ‫علَّ َم‬


َ ‫اْل ْن‬ َ )٤( ‫ي َعلَّ َم ِب ْالقَلَ ِم‬
ْ ‫) الَّ ِذ‬٣( ‫اْل ْك َر ُم‬
َْ

Artinya:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan


2

Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan

pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

(QS. Al-A‟laq (96) : 1-5)

Sedangkan untuk peserta didik diharapkan dapat memahami,

memerhatikan serta mempelajari apa yang sedang pendidik

jelaskan di kelas. Dalam belajar dan pembelajaran terdapat

beberapa mata pelajaran yang sulit untuk diajarkan pada peserta

didik dan dinilai oleh peserta didik sulit untuk dibahas atau

dipelajari, salah satu dari mata pelajaran tersebut ialah matematika.

Matematika adalah ilmu yang pembahasannya berkaitan dengan

pola atau keteraturan. Contohnya seperti tuntutan untuk

memanfaatkan penalaran induktif pada awal proses pembelajaran,

perubahan pengertian matematika di atas bertujuan agar para

siswa belajar mengolah dan menelaah ide-ide baru, mampu

menyesuaikan diri terhadap perubahan, mampu menangani

ketidakpastian, mampu menemukan keteraturan, dan mampu

memecahkan masalah tidak lazim. Pada pengertian ini dapat kita

ketahui bahwa salah satu fungsi dari matematika ialah mampu

memecahkan masalah tidak lazim, yang dapat diartikan bahwa

dapat menyelesaikan masalah yang sulit atau rumit.

Dalam pembelajaran matematika pun siswa dituntut untuk

dapat menyelesaikan masalah yang terdapat pada materi-materi

yang tersedia pada pembelajaran matematika. Namun pada


3

kenyataannya, banyak siswa yang bermasalah dalam

menyelesaikan soal-soal yang disediakan oleh pengajar. Banyak

diantaranya merasa kurang termotivasi dalam mengerjakan tugas

matematika, beberapa juga tak menyukai materi-materi yang rumit

dan banyak lagi keluhan-keluhan yang sering dilontarkan oleh

siswa. Pada saat menyelesaikan soal matematika selain

dibutuhkannya penguasaan materi serta pemahaman materi yang

matang, dibutuhkan juga kepercayaan diri dalam mengerjakannya.

Self-efficacy (Jatisunda, 2017: 25) ialah suatu aspek

psikologis yang mampu memberikan pengaruh signifikan terhadap

keberhasilan siswa dalam menyelesaikan tugas dan pertanyaan-

pertanyaan pemecahan masalah dengan baik. Maka dari itu jika

siswa memiliki self-efficacy yang rendah pada dirinya sudah pasti

akan menghambat proses pembelajaran dikelas yang dibimbing

oleh guru. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang

dilakukan oleh Fatiya, Sugeng serta Budijanto (2016) yang meneliti

tentang Pengaruh Kebiasaan Belajar dan Self-Efficacy Terhadap

Hasil Belajar Geografi di SMA dari hasil penelitiannya mengatakan

bahwa self-efficacy secara signifikan berpengaruh terhadap hasil

belajar siswa dengan sumbangan efektif sebesar 15.80%. Faktor

keyakinan pada siswa dalam menyelesaikan masalah matematis

sangat berpengaruh besar terhadap munculnya kecemasan

matematika pada siswa. Maka jika self-efficacy yang diperoleh


4

siswa rendah maka akan berpengaruh pada hasil belajarnya dan

hal yang lebih ditakutkan akan menimbulkan mathematics anxiety

(kecemasan matematika) yang diciptakan secara spontan oleh

siswa tersebut. Mathematics anxiety sendiri dapat menghambat

dirinya untuk mengeksplorisasikan diri dalam mempelajari

matematika.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widodo dan Arif

(2018) yang meneliti tentang Disposisi Psikologis Siswa;

Kecemasan Matematika Versus Kebahagiaan Belajar Pada

Tingkatan Pendidikan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan tingkat kecemasan dalam tiap tingkatan

pendidikan dan siswa SMA memiliki tingkat kecemasan yang tinggi

dibandingkan SD serta SMP dan pada penelitian ini disebutkan

bahwa kecemasan matematika dan kebahagiaan belajar memiliki

hubungan yang signifikan. Maka dari itu saya mencoba melakukan

observasi serta melakukan wawancara pada beberapa guru dan

murid di salah satu MAN di daerah Bekasi. Dari hasil observasi dan

wawancara secara tak terstruktur dengan guru dan beberapa siswa

di MAN 1 Kota Bekasi maka didapati hasil bahwa siswa seringkali

tak yakin atau kurang percaya diri dalam meyelesaikan soal

matematika, beberapa diantaranya menyukai matematika tetapi

mereka masih ragu dan merasa cemas atas hasil penyelesaian

matematis yang diselesaikan terutama pada saat menyelesaikan


5

latihan soal dengan materi-materi yang menggunakan metode

penyelesaian berupa grafik ataupun persamaan. Beberapa siswa

sering kebingungan dan merasa pusing pada saat menyelesaikan

masalah matematis di beberapa materi matematika terutama materi

yang rumit yang menyebabkan beberapa diantaranya menjadi tidak

menyukai mata pelajaran matematika. Kemudian, jika guru

membuka sesi tanya jawab untuk mengerjakan beberapa soal di

papan tulis yang dimana siswa tersebut dapat memperoleh poin

penambahan nilai didalamnya banyak siswa yang merasa takut

atau panik bahkan merasa cemas dan memilih untuk tidak

mengajukan diri.

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain:

penelitian yang dilakukan oleh Winda, Yuli (2014) yang berjudul

Hubungan antara Self-Efficacy dan Kecemasan saat Presentasi

pada Mahasiswa Universitas Esa Unggul, hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan

antara self-efficacy dengan kecemasan. Hal tersebut dimaksudkan

semakin tinggi self-efficacy yang dimiliki mahasiswa saat presentasi

maka semakin rendah kecemasan yang dimiliki mahasiswa.

Demikian pula sebaliknya semakin rendah self-efficacy yang dimiliki

oleh mahasiswa saat presentasi maka semakin tinggi kecemasan

yang dimiliki mahasiswa. Berdasarkan hasil kategorisasi tingkat

self-efficacy diperoleh bahwa mahasiswa dengan tingkat self-


6

efficacy sedang lebih mendominasi bila dibandingkan dengan

tingkat self-efficacy tinggi dan rendah. Namun demikian mahasiswa

dengan self-efficacy tinggi cenderung lebih banyak bila

dibandingkan dengan mahasiswa yang memiliki self-efficacy

rendah.

Kemudian penelitian lainnya, ialah penelitian yang dilakukan

oleh Wagetama, Agoes dan Debora (2017) yang berjudul

Hubungan Antara Kecemasan Matematika dan Self-Efficacy

dengan hasil belajar matematika siswa SMA X Kota Palangka Raya

hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan positif antara self-efficacy dengan hasil belajar

matematika siswa SMA.

Kemudian penelitian relevan lainnya yaitu penelitian yang

dilakukan oleh Sakarti (2018) yang berjudul Hubungan Kecemasan

dan Kemampuan Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika

hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif

antara kecemasan dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan

masalah matematika. ini dimaksudnya ialah, semakin besar tingkat

kecemasan siswa, maka akan mempengaruhi kemampuannya

dalam menyelesaikan masalah akan menjadi semakin rendah.

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin menganalisa

self-efficacy serta mathematics anxiety yang terdapat pada siswa

serta menemukan hubungan self-efficacy dan Mathematics Anxiety


7

yang sering muncul pada siswa terhadap kemampuan pemecahan

masalah matematis. Oleh karena itu, peneliti mengambil judul

Hubungan Self-Efficacy dan Mathematics Anxiety Siswa Terhadap

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah dijabarkan diatas,

dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Keyakinan diri siswa sering tak menentu dan sering menurun

pada saat menyelesaikan soal matematis.

2. Beberapa siswa menyukai matematika tetapi mereka masih

ragu dan cemas atas hasil penyelesaian matematis yang di

selesaikan terutama pada saat menyelesaikan latihan soal

dengan materi yang menggunakan metode penyelesaian

berupa grafik ataupun persamaan.

3. Banyak siswa tidak suka dengan materi rumit yang terdapat

pada mata pelajaran matematika.

4. Beberapa siswa sering kebingungan pada saat menyelesaikan

masalah matematis di beberapa materi matematika.

C. Batasan Masalah

Agar penelitian ini tidak dilakukan terlalu meluas maka

penelitian ini akan dibatasi dan difokuskan untuk menganalisa self


8

efficacy dan mathematics anxiety yang ada pada siswa terhadap

pemecahan masalah matematis yang terdapat pada materi turunan

fungsi aljabar serta menganalisa hubungan antara self-efficacy dan

mathematics anxiety siswa terhadap pemecahan masalah

matematis materi turunan fungsi aljabar.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan

masalahnya dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana hubungan self-efficacy siswa terhadap

kemampuan pemecahan masalah matematis?

2. Bagaimana hubungan mathematics anxiety siswa terhadap

kemampuan pemecahan masalah matematis?

3. Apakah terdapat hubungan self efficacy dan mathematics

anxiety siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah

matematis?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian

ini ialah agar dapat mengetahui:

1. Bagaimana hubungan self-efficacy siswa terhadap

kemampuan pemecahan masalah matematis.

2. Bagaimana hubungan mathematics anxiety siswa terhadap

kemampuan pemecahan masalah matematis.


9

3. Apakah terdapat hubungan self efficacy dan mathematics

anxiety siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah

matematis

F. Manfaat penelitian

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan

sebagai sumber informasi dalam pengajaran dikelas agar

guru yang mengajar dapat mengantisipasi siswa lebih dalam

lagi pada saat pembelajaran matematika berlangsung

dengan menganalisa serta mengetahui hubungan self-

efficacy dan mathematics anxiety yang terdapat pada

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan

oleh para pengelola lembaga kependidikan yaitu kepala

sekolah serta guru dan juga acuan untuk para orang tua

yang dimana hasil penelitian ini dapat mengetahui hubungan

self efficacy dan kecemasan yang dimiliki siswa untuk

informasi dasar, yang dimana hal tersebut diharapkan dapat

memberikan informasi positif untuk mengatasi self-efficacy

dan mancegah adanya mathematics anxiety siswa dengan


10

cara menciptakan suasana belajar yang menyenangkan

serta dapat memacu keberanian siswa dan membangun

keyakinan diri serta selalu memberi motivasi yg baik pada

siswa.
11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa

a. Matematika

Matematika menurut Depdiknas tahun 2006 merupakan

ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi

modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin

dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di

bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini

dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori

bilangan, aljabar, analisis, teori peluang. dam matematika

diskrit. Oleh karena itu, untuk menguasai dan memanfaatkan

teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika

yang kuat sejak dini.

Pada Undang-undang RI No. 20 Th. 2003 tentang

Sisdiknas (system pendidikan nasional) dalam pasal 37 sudah

menunjukkan pentingnya matematika dalam pengembangan

berpikir siswa yang mewajibkan matematika sebagai salah

satu mata pelajaran wajib bagi siswa pada jenjang pendidikan

dasar dan menengah, yang selanjutnya kita katakan sebagai

matematika sekolah. Matematika merupakan disiplin ilmu


12

yang mempunyai sifat khusus jika dibandingkan dengan

disiplin ilmu yang lain. Menurut Soejadi (Chairani, 2016)

matematika sekolah tidaklah sepenuhnya sama dengan

matematika sebagai ilmu, karena memiliki perbedaan antara

lain dalam hal (1) penyajian, (2) pola pikirnya, (3) keterbatasan

semestanya, dan (4) tingkat keabstrakannya.

Yustinus pun juga menegaskan gagasannya tentang

matematika (2017: 1) bahwa matematika menurutnya adalah

produk dari pikiran manusia, utamanya berpusat pada ide-ide,

proses, dan pemberian alasan atau penjelasan. Maka dari

itulah, matematika sesungguhnya lebih dari aritmatika, yang

mana merupakan ilmu tentang angka dan pengkomputasian;

lebih dari Aljabar, yang mana merupakan pembahasan dari

symbol-simbol dan hubungan-hubungannya; lebih dari

Geometri, yang merupakan pembelajaran tentang bentuk dan

ukuran dan jarak. Ilmu matematika lebih dari trigonometri,

yang mana menghitung jarak dari banyak bintang dan osilasi.

Matematika lebih dari statistika ilmu tentang pengumpulan dan

pengolahan data serta analisisnya. Matematika juga lebih dari

kalkulus, studi yang menjelaskan perubahan, hal-hal tak

terhingga. Jadi bisa disimpulakan bahwa matematika

merupakan sebuah pola piker, sebuah jalan, metode

pengaturan dari bukti-bukti logis.


13

Kemudian, menurut Hudojo (dalam Chairani, 2016)

matematika berkenaan dengan ide-ide/konsep-konsep abstrak

yang tersusun secara hierarkis dan penalaran deduktif. Hal ini

tentu saja membawa akibat kepada bagaimana proses belajar

mengajar dikelas. Kemudian Hudojo menegaskan juga

matematika sebagai ilmu mengenai struktur dan hubungan-

hubungannya dengan symbol-simbol yang diperlukan. Simbol-

simbol dala metematika penting untuk membantu

memanipulasi aturan dengan perasi yang ditetapkan.

Simbolisasi menjamin adanya komunikai dan mampu

memberikan keterangan untuk membentuk suatu konsep

baru. konsep baru terbentuk karena adanya pemahaman

terhadap konsep sebelumnya sehingga konsep-konsep

matematika tersusun secara hierarkis. Sehingga untuk

mempelajari suatu konsep B seseorang perlu untuk

memahami konsep A terlebih dahulu.

Maka bisa diambil kesimpulkan bahwa matematika

adalah sebuah pola atau sebuah jalan yang berpusat pada

ide-ide atau konsep-konsep abstrak dimana dibutuhkan

pemberian alasan atau penjelasan didalamnya.


14

b. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

1) Pengertian Pemecahan Masalah Matematis

Menurut Polya dalam (Akbar, Hamid, Bernard dan

Sugandi, 2018) mengatakan bahwa pemecahan masalah

adalah suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari suatu

tujuan yang tidak begitu mudah yang akan segera

dicapai. Maksud dari perkataan Polya tersebut ialah

suatu permasalahan yang harus dicari jalan keluarnya

dengan berbagai cara penyelesaian tersebut akan dilalui

dengan jalan yang tak mudah dikarenakan penalaran

sungguh penting pada pemecahan masalah, meski tak

mudah jika memaksimalkan fokus dan penalaran yang

sudah di dapat maka akan mendapat hasil yang

maksimal pula.

Kemampuan pemecahan masalah harus di dukung

oleh kemampuan penalaran, yaitu kemampuan melihat

hubungan sebab akibat yang membutuhkan pemikiran

kreatif untuk mempelajari atau memahami bidang-bidang

baru serta temuan-temuan baru. pentingnya kemampuan

pemecahan matematis yaitu merupakan hal penting

yang harus dimiliki seseorang. Hal tersebut sesuai

dengan apa yang dikatakan oleh Fauziah (dalam

Damayanti, 2017), yaitu:


15

a) Kemampuan pemecahan masalah meupakan suatu

kegiatan yang penting dalam pengajaran

matematika bahkan bisa disebut jantungnya

matematika;

b) Pemecahan masalah dapat meliputi metode,

prosedur dan strategi atau cara yang merupakan

proses penting atau inti dan utama dalam kurikulum

matematika; dan

c) Pemecahan masalah ialah kemampuan dasar

dalam pembelajaran matematika.

Lalu, menurut Stace (dalam Mugiono, 2019)

mengemukakan bahwa pemecahan masalah bisa

diartikan sebagai keterampilan yang penting dalam

kehidupan seseorang yang dapat melibatkan berbagai

proses termasuk menganalisis, menafsirkan, penalaran,

memprediksi, mengevaluasi, dan merefleksikan proses

kegiatan. Pengertian tersebut dimaksudkan, pemecahan

masalah dapat disebut keterampilan karena untuk

memecahkan masalah maka harus melewati proses

menganalisis, menafsirkan, penalaran, memprediksi,

mengevaluasi serta merefleksikan persoalan-persoalan

yang terdapat dalam pemecahan masalah.


16

National Council of Teacher of Mathematics

mengemukakan bahwa pemecahan masalah bukan

hanya tujuan dari pembelajaran matematika tetapi juga

sarana utama dalam penerapannya. Pemecahan

masalah adalah bagian tingkat lanjut dari matematika,

bukan bagian yang terisolasi dari program matematika.

siswa sangat membutuhkan peluang untuk merumuskan,

menghadapi dan memecahkan masalah kompleks yang

melibatkan sejumlah besar upaya. Siswa juga dihimbau

untuk merefleksikan pemikiran mereka selama

menyelesaikan masalah sehingga mereka dapat

menerapkan dan menyesuaikan strategi yang bisa di

kembangkan dengan permasalahan yang lain dengan

konteks yang berbeda. Sedangkan menurut solso (dalam

Chairani, 2016) pemecahan masalah adalah suatu

pemikiran yang terarah secara langsung untuk

melakukan suatu solusi atau jalan keluar untuk suatu

masalah yang spesifik.

Dapat disimpulkan bahwa pengertian pemecahan

masalah matematis ialah suatu proses pembelajaran

matematika yang dimana siswa dihimbau untuk

mengidentifikasi secara langsung unsur yang tidak

diketahui atau yang sedang ditanyakan, dengan cara


17

menelaah unsur yang dibutuhkan dengan menari solusi

atau jalan keluar yang tepat. Maka dari itu pemecahan

masalah sangat berpengaruh dalam mengembangkan

pemikiran atau pemahaman siswa pada proses

pembelajaran matematika berlangsung.

2) Indikator pemecahan masalah

Shadiq mengemukakan (Astriyani, 2016)

pemecahan masalah merupakan kompetensi strategi

yang ditunjukkan peserta didik dalam memahami,

memilih pendekatan dan strategi pemecahan masalah,

menggunakan model untuk menyelesaikan masalah.

Indikator yang menunjukkan pemecahan masalah,

antara lain:

a) Menunjukkan pemecahan masalah.

b) Mengoordinasi data dan memilih informasi yang

relevan dalam pemecahan masalah.

c) Menyajikan masalah secara matematika dalam

berbagai bentuk.

d) Memilih pendekatan dan metode pemecahan

masalah dengan tepat.

e) Mengembangkan strategi pemecahan masalah.

f) Membuat dan menafsirkan model matematika dari

suatu masalah.
18

g) Menyelesaikan masalah yang tidak rutin.

3) Teknik Pemecahan Masalah

Adapun tehnik pemecahan masalah dalam

matematika merupakan suatu tehnik dalam proses

pembelajaran matematika untuk menemukan jalan

penyelesaian dari suatu masalah matematis. Polya

(Kurniawan, 2012) mengemukakan ada empat tahap

dalam menemukan jalan pemecahan masalah, yaitu: (1)

Memahami permasalahan, (2) merencanakan

penyelesaian, (3) mejalankan rencana penyelesaian dan

(4) memeriksa kembali penyelesaian.

Tahap 1, teknik memahami masalah. Seseorang

siswa yang dikatakan memahami suatu masalah berarti

mengetahui apa yang diketahui, apa yang tidak

diketahui, apa yang ditanyakan, apa yang merupakan

datanya dan apa yang merupakan kondisi dari suatu

masalah tersebut, bagaimana diagram dan notasi yang

sesuai dari permasalahan tersebut. Tahap 2, tehnik

dalam membuat rencana. Seorang siswa yang mampu

membuat atau merumuskan suatu rencana, berarti ia

mampu menemukan huabungan di antara data, apa

yang diketahui dan tidak diketahui. Tahap 3, tehnik


19

menjalankan rencana/melakukan perhitungan. Tahap 4,

tehnik memeriksa kembali hasil yang diperoleh. Pada

saat siswa mampu meninjau kembali kembali hasil

pekerjaannya, maka ia memeriksa hasil yang diperoleh,

ia akan mencari argument untuk memeriksanya,

kemudian apakah hasil yang ada dapat digunakan untuk

masalah yang lain.

4) Model Pemecahan Masakah

Salah satu model dalam proses pemecahan

masalah dikemukakan oleh Gick (dalam Chairani, 2016)

dapat di lihat di gambar berikut.

Gambar 2.1. Model Proses Pemecahan Masalah oleh

Gick (dalam Chairani, 2016)


20

Model pada gambar diatas, mengidentifikasikan

suatu urutan dasar untuk tiga aktivitas berpikir dalam

pemecahan masalah, yaitu:

a) Menyatakan permasalahan (represent problem)

termasuk mengaitkan konteks pengetahuan yang

tepat, dan mengidentifikasi tujuan dan kondisi awal

yang relevan dengan permasalahan.

b) Pencarian slusi (solution search) termasuk dan

mengembangkan rencana aksi untuk mencapai

tujuan.

c) Mengimplementasikan pemecahan (implement

solution) mencakup melaksanakan rencana

tindakan dan mengevaluasi hasilnya.

Selanjutnya menurut Polya (dalam Chairani, 2016)

beliau mengemukakan empat Langkah dalam model

pemecahan masalah yaitu:

a) Memahami masalah (understanding the problem),

yaitu kemampuan memahami prinsip dari

permasalahan misalnya hal apa yang belum

diketahui, data dan kondisi. Untuk menjawab

petanyaan tentang; apa yang diketahui dan apa

yang ditanyakan (what are the unknown?), data apa


21

saja yang tersedia (what are the data?), apa syarat-

syaratnya, apakah data tersebut memenuhi

kondisi? (what is the condition?), apakah kondisi

tersebut cukup untuk mendapatkan yang belum

diketahui?, atau belum cukup?, apakah tidak

kontradiksi? Gambarkan, perkenalkan notasi yang

dapat dimanfaatkan.

b) Memikirkan rencana (devising plan), meliput

berbagai usaha untuk menemukan hubungan

masalah dengan masalah lainnya atau hubungan

antara data dengan hal yang tidak diketahuinya,

dan sebagainya. Perencanaan juga meliputi

rencana untuk melakukan perhitungan, rencana ide

yang mungkin dimanfaatkan, mengaitkan materi

yang sudah diketahui dengan masalah yang

dihadapi. Beberapa pertanyaan yang sering

digunakan pada waktu memikirkan perencanaan

pemecahan antara lain,

Do you know a related problem?. Look at the

unknown. Try to think of a familiar problem having

the same or a similar unknown? Here is a problem

related to yours before and solved before. Could

you use it? If you cannot solve the proposal


22

proposed problem try to solve first some related

problem. Did you used all the data? Did you use the

whole condition?

c) Melaksanakan rencana (carrying out the plan),

termasuk mempersentasikan setiap langkah proses

pemecahan, apakah langkah yang dilakukan sesuai

dengan rencana, sudah benar atau masih

meragukan? Meyakinkan diri sendiri kebenaran dari

setiap langkah yang dilakukan. Perbaiki apabila

masih ada kesalahan denga memperhatikan data

dan apa yang harus diperoleh.

d) Melihat kembali (looking back), meliputi pengujian

terhadap proses pemecahan masalah yang telah

dilakukan. Dimulai dari langkah-langkah

pemecahan, kelengkapannya dan kebenarannya.

Kemungkinan dapat ditemukan suatu pemecahan

yang baru dan lebih baik.

Menurut Chairini (2016) dari beberapa model

proses pemecahan masalah diatas, Model Polya

merupakan model yang banyak dipilih para peneliti

berdasarkan berbagai pertimbangan sebagai berikut: (1)

Tahapan pada Model Polya secara implisit sudah


23

menggambarkan tahapan pemecahan masalah

berdasarkan beberapa pendapat para ahli, (2) Tahap-

tahap pada model Polya sederhana, jelas serta mudah

dipahami, (3) Tahapan model Polya menunjukkan

keterkaitan antara proses kognisi siswa dengan

pengalaman metakognisi. Keterkaitan tersebut dijelaskan

sebagai berikut.

Pada langkah pertama Polya menunjukkan bahwa

seseorang memerlukan kesadaran dalam pikirannya

(awareness about cognition) dan persepsinya tentang

situasi yang dihadapinya termasuk di dalamnya cara

mengatur cara kognisi nya. Kemudian langkah kedua,

seseorang haruslah memiliki kemampuam untuk

mengungkapkan kembali berbagai hal yang ada

dipkirannya, dengan strategi metakognisi seseorang

dapat mengatur proses kognisinya agar ia dapat

mengungkapkan pemahaman dan pengetahuan yang

sudah dimilikinya dan akan digunakan untuk

memecahkan masalah, hal ini terkait dengan

pengetahuan metakognisi. Selanjutnya langkah ketiga,

yaitu melakukan control dan memonitor aktivitas proses

kognisi (control of regulation cognition process) pada

saat pelaksanaan pemecahan masalah dilakukan, dan


24

langkah keempat yaitu kesdaran melakukan analisis dan

evaluasi proses kognisinya sehingga masalah dapat

diselesaikan. Jadi selama melakukan langkah

pemecahan masalah matematika berdasarkan model

Polya, seseorang dapat mengembangkan proses

metakognisi untuk mengontrol dan memonitor

ketercapaian tujuan kognisi.

Beberapa strategi kognisi yang dapat digunakan

dalam proses pemecahan masalah matematika menurut

Sobel (Chairani, 2016: 75) yaitu: menebak, mengecek

dan merevisi (guess, check, revise), mensketsa gambar

(draw a picture), menggunakan objek-objek (use

objects), memilih sesuatu operasi (choose an operation),

menyelesaikan masalah sederhana (solve a simpler

problem), membuat table (make a table), memperhatikan

pola (look for a pattern), membuat daftar (make an

organized list), menulis suatu persamaan (write an

equation), menggunakan penalaran logika (use logical

reasoning), dan bekerja mundur (work backward).

Maka dapat disimpulkan menurut berbagai teori

para ahli diatas bahwa model pemecahan masalah yang

berpengaruh pada proses pembelajaran yang ada ialah,

(1) Memahami permasalahan yang ada pada masalah


25

yang akan diselesaikan, (2) Memikirkan solusi untuk

permasalahan yang ada, (3) Menyusun rencana

penyelesaian untuk memenuhi solusi yang ada, (4)

Melaksanakan perencanaan yang telah dipikirkan atau

disusun, (5) Memerhatikan kembali atau bisa diartikan

juga untuk merevisi kembali jawaban atau solusi pada

permasalahan yang ada apakah sudah tepat atau belum.

2. Self-Efficacy

Menurut Subaidi (2016) Self-efficacy adalah hal penting

bagi setiap orang untuk menghadapi suatu masalah yang

dihadapi. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa self-efficacy

sangat mempengaruhi kehidupan. Self-efficacy juga sangat

mempengaruhi kepercayaan diri, sedangkan kepercayaan diri

adalah satu diantara aspek-aspek kepribadian yang penting dalam

kehidupan manusia, yang terbentuk melalui proses belajar dalam

interaksinya dengan lingkungan. Kepercayaan diri merupakan

aspek kepribadian manusia yang berfungsi penting untuk

mengaktualisasikan potensi yang dimiliki manusia.

Lalu menurut Zimmerman, Sebastian, dan Robert (Hamdi

dan Abadi, 2014) self-efficacy ialah variabel penting bagi siswa

untuk evaluasi karena memfokuskan perhatian pada keyakinan

mereka tentang efektifitas metode pembelajaran mereka.


26

Kemudian definisi self-efficacy menurut Bandura (Subaidi, 2016)

adalah keyakinan seorang individu mengenai kemampuannya

dalam mengorganisasi dan menyelesaikan suatu tugas yang

diperlukan untuk mmencapai hasil tertentu.

Sedangkan menurut Hamdi dan Abadi (2014: 81) self-

efficacy ialah sebagai keyakinan yang dapat mendorong atau

mengarahkan sesorang untuk menemukan solusi dalam sebuah

situasi dan mampu menghasilkan sikap positif dari situasi yang

terjadi tersebut. Terdapat definisi lain juga menurut Ormrod

(Amelia, 2018) Self-efficacy ialah penilaian seseorang tentang

kemampuannya untuk menjalankan perlaku tertentu atau untuk

mencapai tujuan tertentu. Self-efficacy adalah suatu komponen

dari keseluruhan perasaan dari diri seseorang. Ini mungi hampir

sama dengan konsep lain seperti konsep diri (self-concept) dan

harga diri (self-esteem), tapi terdapat sifat-sifat penting yang

membedakannya dari kesua konsep tersebut.

Maka dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan

bahwa self-efficacy ialah suatu penilaian seseorang terhadap

kemampuannya agar dapat menjalankan perilaku tertentu sebagai

bentuk keyakinan atau kepercayaan yang dapat mendorong atau

mengarahkan seseorang agar dapat menemukan solusi dari

situasi tertentu dan kemudian mampu menghasilkan sikap positif

dari situasi yang sedang terjadi tersebut. Jadi self-efficacy penting


27

serta berkaitan dengan proses belajar-mengajar yang terjadi di

kelas.

1) Faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy

Menurut Bandura (dalam Subaidi, 2016) menyatakan

bahwa ada empat sumber utama yang mempengaruhi self-

efficacy seseorang yaitu:

a) Pengalaman keberhasilan seseorang dalam menghadapi

tugas tertentu pada waktu tertentu pada waktu

sebelumnya. Apabila seseorang pernah mengalami

keberhasilan dimasa lalu maka semakin tinggi pula self-

efficacy, sebaliknya apabila seseorang mengalami

kegagalan dimasa lalu maka semakin rendah pula self-

efficacy orang tersebut.

b) Pengalaman orang lain. Indivisu yang melihat orang lain

berhasil dalam melakukan aktifitas yang sama dan

memiliki kemampuan yang sebanding dapat

meningkatkan self-efficacy nya, sebaliknya jika orang

yang dilihat gagal maka self-efficacy individu tersebut

menurun.

c) Persuasi verbal, yaitu informasi tentang kemampuan

seseorang yang disampaikan secara verbal oleh orang

yang berpengaruh sehingga dapat meningkatkan


28

keyakinan bahwa kemampuan-kemampuan yang dimiliki

dapat membantu untuk mencapai apa yang diinginkan.

d) Kondisi fisiologis yaitu keadaan fisik (sakit, rasa lelah dan

lain-lain) dan kondisi emosional (suasana hati, stress dan

lain-lain). Keadaan yang menekan tersebut dapat

mempengaruhi keyakinan akan kemampuan dirinya dalam

menghadapi tugas. Jika da hal negative, seperti lelah,

kurang sehat, cemas atau tertekan, akan mengurangi

tingkat self-efficacy seseorang. Sebaliknya, jika seseorang

dalam kondisi prima, hal in akan berkontribusi positif

bagiperkembangan self-efficacy.

2) Indikator self-efficacy

Menurut Bandura (dalam Subaidi, 2016) dimensi-dimensi

Self-efficacy yang digunakan sebagai idikator dasar terhadap

self-efficacy individu adalah:

a) Magnitude/Level (Tingkat Kesulitan)

Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas yang

diyakini oleh seseorang untuk dapat diselesaikan. Jika

individu dihadapkan pada masalah atau tugas-tugas yang

disusun menurut tingkat kesulitan tertentu maka self-

efficacy nya akan jatuh pada tugas-tugas yang mudah,

sedang, dan sulit sesuai dengan batas kemampuan yang


29

dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang

dibutuhkan bagi masing-masing tingkat tersebut. Dimensi

kesulitan memiliki implikasi terhadap pemilihan tingkah

laku yang dicoba atau yang akan dihindari. Individu akan

mencoba tingkah laku yang dirasa mampu dilakukan dan

akan menghindari tingkah laku yang dirasa berada diluar

batas kemampuannya.

b) Strength (Tingkat Kekuatan)

Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan atau

kelemahan keyakinan individu tentang kemampuan yang

dimilikinya. Individu dengan self-efficacy kuat

kemampuannya cenderung pantang menyerah dan ulet

dalam meningkatkan usahanya walaupun menghadapi

rintangan. Sebaliknya individu dengan self-efficacy lemah

kemampuannya cenderung mudah terguncang oleh

hambatan kecil dalam menyelesaikan tugasnya.

c) Generality (Generalisasi)

Dimensi ini merupakan dimensi yang berkaitan dengan

keluasan bidang tugas yang dilakukan. Dala mengatasi

atau menyelesaikan masalah/tugas-tugasnya, beberapa

individu memiliki keyakinan terbatas pada suatu aktifitas

dan situasi tertentu dan beberapa menyebar pada

serangkaian aktifitas dan situasi yang bervariasi.


30

Tabel 2.1. Dimensi beserta Indikator Self-Efficacy

Dimensi Indikator
Magnitude/Level Keyakinan dalam menyelesaikan tugas
(Tingkat Kesulitan) Keyakinan dalam menghadapi kesulitan
Keyakinan diri akan usaha yang telah
Strength(Tingkat dilakukan
Kekuatan)
keyakinan memeproleh hasil yang positif
Keyakinan diri pada seluruh proses
Generality pembelajaran
(Generalisasi) keyakinan dalam menghadapi keadaan dan
situasi yang beragam

3. Mathematics Anxiety (Kecemasan Matematika)

a. Hakikat Kecemasan Matematika

Gangguan kecemasan (Musrikah, 2016) merupakan

gangguan mental paling umum atau sering terjadi. Gangguan

tersebut mencakup sekumpulan kondisi yang menetapkan

kecemasan ekstrem atau patologis sebagai gangguan

suasana hati atau emosi yang sifatnya principal. Gangguan

kecemasan yang bisa dipahami sebagai padanan patologis

dari kekuatan abnormal, tetapi melalui gangguan suasana

hati, dan juga pikiran, perilaku, dan aktivitas psikologis.

Menurut Ollendick (Sakarti, 2018) kecemasan adalah

keadaan emosi tidak menyenangkan yang meliputi :

interpretasi subjektif dan rangsangan fisiologis. Reaksi badan


31

secara fisiologis misalnya bernapas lebih cepat, muka menjadi

merah, jantung berdebat-debar, dan berkeringat.

Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb kecemasan adalah

respon terhadap situasi tertentu yang mengancam dan

merupakan hal yang normal yang terjadi menyertai

perkembangan, perubahan, pengalaman baru dan arti hidup.

Pada kadar yang rendah kecemasan dapat membantu

individu untuk bersiaga mengambil langkah mencegah bahaya

atau untuk memperkecil dampak bahaya tersebut. kecemasan

dalam taraf tertentu dapat mendorong atau meningkatkan

performa tertentu. (Musrikah, 2016).

Selain itu, menurut Anita (Oktavia, 2018)

mengemukakan bahwa kecemasan yang dialami oleh siswa

pada mata pelajaran matematika sering disebut sebagai

kecemasan matematika (Mathematics Anxiety). Kecemasan

terhadap matematika tidak bisa dikatakan sebagai hal biasa,

karena ketidak mampuan siswa dalam beradaptasi pada

pelajaran menyebabkan siswa mengalami kesulitan-kesulitan

serta timbulnya fobia terhadap matematika yang akhirnya

mempengaruhi hasil belajar dan prestasi siswa dalam

matematika menjadi rendah.


32

Maka dari berbagai definisi diatas dapat dimaknai bahwa

kecemasan matematika (mathematics anxiety) adalah

sekumpulan kondisi dimana dapat mengganggu suasana hati

seseorang, pikiran, perilaku serta aktivitas psikologis yang

dapat mengganggu prestasi matematika seseorang. Jika hal

tersebut terjadi pada seorang siswa maka siswa tersebut akan

terganggu pada saat proses mengenal atau proses belajar

matematika dikelas.

b. Penyebab Kecemasan

Dari berbagai teori yang menyebabkan muculnya

kecemasan ialah teori yang di kemukakan oleh Struart dan

Sundeen (Satriyani, 2016), yaitu sebagai berikut:

1) Teori Psikoanalitis

Kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi pada

dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id

mewakili dorongan insting dan impuls primitive,

sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan

dikendalikan oleh norma budaya. Ego berfungsi

menengahi tuntunan dari dua elemen yang bertentangan

tersebut, dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego

bahwa ada bahaya.


33

2) Teori Interpersonal

Kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap

ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. Kecemasan

juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti

perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan

kerentanan tertentu.

3) Teori Perilaku

Kecemasan merupakan produk tekanan mental yaitu

segala sesuatu yang mengganggu kemampuan individu

untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kecemasan

dianggap sebagai suatu dorongan yang dipelajari

berdasarkan keinginan dalam diri untuk menghindari

kepedihan. Para ahli meyakini bahwa adanya hubungan

timbal balik antara konflik dan kecemasan, yaitu konflik

menimbulkan kecemasan, dan kecemasan menimbulkan

perasaan tidak berdaya, yang pada halnya meningkatkan

konflik yang dirasakan.

4) Teori Keluarga

Teori keluarga menunjukan bahwa gangguan kecemasan

biasanya terjadi dalam keluarga. Gangguan kecemasan

juga menjadi tindih antara gangguan kecemasan dengan

depresi.
34

5) Teori Biologis

Teori biologis menunjukkan bahwa kesehatan umum

individu dan riwayat kecemasan pada keluarga memiliki

efek nyata sebagai predisposisi kecemasan. Kecemasan

mungin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya

menurunkan kemampuan individu untuk mengatasi

stressor.

Adapun komponen kecemasan menurut Principle od

Psychotherapy : an Experimental Approach (1996) (dalam

Musrikah, 2016). Maher menyebutkan 3 komponen dari

kecemasan yang kuat, yaitu:

1) Emosional: orang tersebut mempunyai ketakutan yang

amat sangat dan secara sadar.

2) Kognitif: ketakutan yang luas dan sering berpengaruh

terhadap kemampuan berpikir jernih, memecahkan

masalah, dan mengatasi tuntutan lingkungan.

3) Psikologis: tanggapan tubuh terhadap rasa takut berupa

pengerasan diri untuk bertindak, baik tindakan itu

dikehendaki atau tidak. Pergerakan tersebut merupakan

hasil kerja sistem saraf otonom yang mengendalikan

berbagai otot dan kelenjar tubuh. Pada saat pikiran

dijangkiti rasa takut, sistem saraf otonom menyebabkan

tutbuh bereaksi secara mendalam. Jantung berdetak lebih


35

keras, nadi dan napas bergerak meningkat, biji mata

membesar, proses pencernaan dan yang berhubungan

dengan usus berhenti, pembuluh darah mengerut,

tekanan darah meningkat kelenjar adrenal melepas

adrenalin ke dalam darah.

c. Karakteristik Kecemasan

Musrikah (2016) menjelaskan bahwa kecemasan

memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan takut dan

kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak

menyenangkan, kecemasan seringkali disertai dengan gejala

fisik yaitu sakit kepala, jantung berdebar cepat, dada terasa

sesak, sakit perut, tidak tenang, dan tidak duduk diam. Takut

dan cemas ialah dua emosi yang berfungsi sebagai tanda

akan adanya bahaya, rasa takut muncul jika terdapat jika

terdapat ancaman jelas dan nyata. Sedangakan kecemasan

muncul jika bahaya berasal dari dalam diri, tidak jelas atau

menyebabkan konflik individu.

Lalu dikelompokkan secara lebih rinci oleh Stuart

(Satriyani, 2016) menurutnya kecemasan dapat diekspresikan

secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku.


36

1) Gejala kecemasan fisiologis, diantaranya adalah

kardiovaskular (jantung berdebar dan terdapat rasa ingin

pingsan), pernapasan (sesak napas, tekanan pada dada

dan sensasi tercekik, neuromuscular (insomnia, mondar-

mandir, dan wajah tegang), gastrointestinal (nafsu makan

hilang, mual, dan diare), saluran pekemihan (tidak dapat

menahan kncing), dan kulit (berkeringat, wajah memerah,

dan rasa panas dingin pada kulit).

2) Gejala kecemasan perilaku yang meliputi kognitif dan

afektif. Perilaku kognitif diantaranya adalah perhatian

terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah memberikan

penilaian, hambatan berpikir, kehilangan objektivitas,

bingung, takut, dan mimpi buruk. Perlaku afektif

diantaranya adalah mudah terganggu, tidak sabar,

gelisah, tegang, gugup, khawatir, rasa bersalah dan malu.

d. Kecemasan serta Konflik di Dalamnya

Menurut Horney (Musrikah, 2016), semua orang

mengalami creature anxiety, perasaan kecemasan yang

normal muncul pada masa bayi, ketia bayi yang lahir dalam

keadaan tak berdaya dan rentan itu dihadapkan dengan

kekuatan alam yang keras dan tidak bisa dikontrol. Bimbingan

yang penuh kasih dayang dan cinta pada awal kehidupan


37

membantu bayi belajar menangan situasi bahaya itu.

Sebaliknya, tanpa bimbingan yang memadai akan

mengembangkan basic anxiety, basic hostility, dan terkadang

neurotics distress.

1) Kecemasan Dasar dan Permusuhan Dasar

Kecemasan dasar berasal dari takut, suatu peningkatan

yang berbahaya dari perasaan tak berteman dan tak

berdaya dalam dunia enuh ancaman. Kecemasan dasar

selalu dibarengu oleh permusuhan dasar, berasal dari

perasaan marah, suatu predisposisi untuk mengantisipasi

bahaya dari orang lain untuk mengantisipasi bahaya dari

orang lain dan untuk mencurigai orang lain itu. Bersama-

sama, kecemasan dan permusuhan membuat orang yakin

bahwa dirinya harus dijaga untuk melindungi

keamanannya. Kecemasan dan permusuhan cenderung

dibendung, atau dikeluarkan dari kesadaran, karena

menunjukkan rasa takut bisa membuka kelemahan diri,

menunjukkan rasa marah beresiko hokum dan kehilangan

cinta dan keamanan. Ini dimaksud beberapa orang yang

mengalami kecemasan selalu menutup diri dalam hal

yang dirasakan olehnya untuk terlihat lebih kuat. Sejak

dilahirkan, bayi membutuhkan kehangatan dan kasih

sayang untuk dapat menghadapi tekanan lingkungan. Jika


38

kehangatan cinta dan kasih sayang ini tidak cukup

diperoleh, maka bayi menjadi marah dan muncul

perasaan permusuhan karena diperlakukan dengan cara

salah itu, tetapi kemarahan harus direpres agar perolehan

cinta dan rasa aman yang hanya sedikit itu tidak hilang

sama sekali dan perasaan menjadi kacau, muncul

kecemasan dasar dan kemarahan dasar, maka kebutuhan

cinta dan kasih sayang semakin besar, kemungkinan akan

semakin banyak kebutuhan kasih sayang yang tidak

terpenuhi, sehingga semakin kuat pula perasaan marah

yang timbul, dan perasaan permusuhan menjadi semakin

kuat, sehingga represi harus semakin kuat dilakukan agar

perolehan kasih sayang yang hanya sedikit tersebut tidak

hilang, sehingga tegangan perasaan kacau, marah, gusar,

mengamuk semakin kuat kembali ke keadaan tersebut

membuat kecemasan dasar dan permusuhan dasar

semakin kuat. Teori horney menyebutkan bahwa neurosis

didasarkan pada konsep gangguan psikis yang membuat

orang terkunci dalam lingkaran yang membuat tingkah

laku tertekan dan tidak produktif terus-menerus semakin

parah.
39

2) Konflik Intrapsikis

Kecenderungan neurotic yang timbul dari kecemasan

dasar, berkembang dari hubungan anak dengan orang

lain. Dinamika kejiwaan terjadi menekankan pada konflik

budaya dan hubungan antar pribadi. Untuk dapat

memahami konflik intrapsikis yang ssarat dengan

dinamika diri, perlu dipahami empat gambaran diri yang

dijelaskan oleh Horney.

a) Diri rendah: konsep yang salah tentang kemampuan

diri, keberhagaan dan kemenarikan diri, yang

didasarkan pada evaluasi orang lain yang

mempercayainya, khususnya orang tuanya.

b) Diri nyata: pandangan subjektif bagaimana diri yang

sebenarnya, mencakup potensi untuk berkembang,

kebahagiaan, kekuatan, kemauan, dan keinginan

untuk merealisasikan diri yaitu keinginan spontan

menyatakan diri yang sebenarnya.

c) Diri ideal: pandangan subjektif mengenai diri yang

seharusnya, suatu usaha untuk menjadi sempurna

dalam bentuk khayalan, sebagai kompensasi

perasaan tidak mampu dan tidak dicintai.

d) Diri aktual: berada dengan real self yang subjektif,

aktual self adalah kenyataan obyektif diri seseorang ,


40

fisik dan mental apa adanya, tanpa dipengaruhi oleh

persepsi orang lain.

Konflik intrapsikis yang terpenting adalah antara

gambaran diri ideal dengan diri sendiri yang dipandang

rendah. Membangun diri ideal merupakan usaha untuk

menyelesaikan konflik dengan membuat gambaran bagus

mengenai diri sendiri. Diri rendah adalah kecenderungan

kuat dan irasional untuk merusak gambaran nyata diri.

3) Diri Ideal (Ideal Self)

Horney yakin bahwa manusia kalau mendapat lingkungan

yang disiplin dan hangat, akan mengembangkan perasaan

aman dan percaya diri dan kecenderungan untuk bergerak

menuju realisasi diri. Celakanya, pengaruh negatif pada

awal perkembangan sering merusak kecenderungan alami

menuju realisasi diri, yang membuat orang lain merasa

terisolr, inferior, dan asing dengan dirinya sendiri.

Sesudah mengalami perasaan negatif itu, orang sangat

menginginkan memperoleh perasaan identitas yang baik.

Hal tersebut dilakukan dengan menciptakan gambaran dir

ideal, suatu pandangan yang sangat positif mengenai diri

yang hanya muncul dalam khayalan/benak diri kita sendiri.

Ketika gambaran diri ideal menjadi semakin kuat,

pengidap neurotik mulai percaya bahwa gambaran ideal


41

itu nyata. Mereka kehilangan sentuhan dengan diri

mereka yang sebenarnya dan memakai diri ideal sebagai

standar evaluasi diri. Horney mengemukakan ada tiga

aspek diri ideal neurotic, yakni pencarian keagungan pada

neurotik, penuntut yang neurotik, dan kebanggaan

neurotik.

4) Menghina Diri (Despise Self)

Orang neurtik yang mencari keagungan tidak pernah

merasa puas dengan dirinya sendiri. Karena mereka

akhirnya menyadari bahwa dirinya tidak cocok dengan diri

ideal yang mereka dambakan. Mereka kemudian mulai

membenci dan memandang rendah dirinya sendiri.

a) Menuntut kebutuhan kepada diri tanpa ukuran:

merupakan contoh pemaksaan dari seharusnya.

Orang memunculkan kebutuhan diri yang tidak pernah

berhenti.

b) Meyalahkan diri tanpa ampun: orang neurotic yang

terus menerus mencaci maki dirinya sendiri.

Menyalahkan diri bentuknya bermacam-macam, mulai

dari ekspresi luar biasa hebat, misalnya merasa

bertanggung jawab terhadap bencana alam, sampai

menanyai secermat-cermatnya kebaikan dari motivasi.


42

c) Menghina diri: diekspresikan dalam wujud

memandang kecil, meremehkan, meragukan,

mencemarkan, dan menertawakan diri sendiri.

Menghina diri mencegah yang bersangkutan dari

perjuangan untuk maju atau berprestasi.

d) Frustasi diri: perbedaan antara disiplin diri yang sehat

dengan frustasi diri yang neurotic adalah; disiplin yang

sehat menunda atau mendahulukan aktivitas yang

menyenangkan dalam rangka mencapai tujuan yang

masuk akal, sedang frustasi diri dan dilakukan untuk

mengaktualisasi gambaran diri yang rendah.

e) Menyiksa diri: pada dasarnya semua mekanisme diri-

rendah mengandung makna menyiksa diri sendiri.

Namun ini menjadi kategori terpisah atau tujuan

utama neurotic itu membahayakan atau menyakiti diri

sendiri.

f) Tingkah laku dan dorongan merusak diri: bisa disikal

atau psikologikan, disadari atau tidak disadari, akut

atau krinik, benar-benar dilakukan atau hanya dalam

imajinasi. Makan terlalu banyak , pemabuk, pecandu

narkotik, bekerja terlalu keras, pengemudi ugal-

ugalan, dan bunuh diri merupakan ekspresi merusak

diri secara fisik.


43

e. Tingkat Kecemasan

Stuart dan Laraia (dalam Sucianti, 2018) menjelaskan bahwa

terdapat 4 tingkatan kecemasan, yaitu:

1) Kecemasan ringan

Kecemasan ini berkaitan dengan ketegangan yang di

alami dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan

siswa menjadi waspada serta meningkatan lahan

persepsinya. Kecemasan secara tidak langsung dapat

memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan

serta kreativitas. Ciri-ciri dan gejala yang ditimbulkan

antara lain: perhatian meningkat, lebih waspada, sadar

akan stimulus internal dan eksternal, mampu mengatasi

masalah secara efektif serta terjadi peningkatan

kemampuan dalam hal belajar.

2) Kecemasan sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk

memusatkan pada hal yang penting dan dapat

mengesampingkan hal yang lain, sehingga individu

tersebut dapat mengalami perhatian yang selektif

namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.

Reaksi fisiologis: sering mengambil napas pendek, nadi

serta tekanan darah meningkat, mulut menjadi kering,

mudah gelisah, konstipasi. Sedangkan respon kognitif


44

yaitu lahan persepsi menyempit, rangsang luar tidak

mampu dterima, berfokus pada apa yang menjadi

perhatiannya.

3) Kecemasan berat

Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi

individu. Individu cenderung untuk memfokuskan pada

sesuatu yang terinci dan spesifik serta tidak dapat

berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditunjukkan

untuk mengurangi ketegangan pada siswa memerlukan

banyak arahan untuk dapat memusatkan pada suatu

area lain. Ciri-ciri dan gejala yang di alami ialah

persepsinya sangat kurang, berfokus pada hal yang

detail, rentang perhatian sangat terbatas, tidak dapat

berkonsentrasi atau tidak dapat menyelesaikan

masalah dengan terakomodir, serta tidak dapat belajar

secara efektif.

4) Panik

Pada tingkatan ini, kecemasan dapat dihubungkan

dengan rasa takur serta terror. Karena mengalami

kehilangan kendali, siswa yang mengalami panic tidak

mampu melakukan sesuatu walaupun dengan

pengarahan. Panik dapat menyebabkan peningkatan

aktivitas motorik, menunrunnya kempuan


45

berkomunikasi dengan orang lain, persepsi yan

menyimpang, serta kehilangan ikiran yang rasional atau

tidak focus. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan

kehidupan, dan jika berlangsung dalam waktu yang

lama maka akan terjadi kelelahan yang sangat bahkan

kematian. Ciri-ciri dan gejala dari tingkat panik yaitu

tidak dapat fokus dalam melaksanakan atau

mengerjakan sesuatu.

f. Indikator Kecemasan Matematika

Berdasarkan uraian diatas, maka kecemasan

matematika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sikap

siswa serta reaksi emosional yang dapat di perlihatkan atau

dirasakan siswa saat mengikuti pembelajaran atau saat

berinteraksi dengan matematika. instrument tes yang akan

digunakan untuk mnegukur kecemasan matematika ialah

intrumen kecemasan matematika yang diadaptasikan dari

penelitian Satriyani dengan judul penelitian Pengaruh

Kecemasan Matematika (Mathematics Anxiety) dan Gender

Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa

(2016), yang akan saya sajikan pada tabel 2.2.


46

Tabel 2.2 . Faktor dan Indikator Kecemasan Matematika

Siswa

Faktor Kecemasan Indikator

Kognitif (Berpikir) Kemampuan diri

Kepercayaan diri

Sulit Konsentrasi

Takut gagal

Afektif (Sikap) Gugup

Kurang senang

Gelisah

Fisiologis (Reaksi kondisi fisik) Rasa mual

Berkeringat dingin

Jantung berdebar

Sakit kepala

Sumber: Penelitian Satriyani pada tahun 2016

4. Materi Turunan Fungsi Aljabar

a. Definisi Turunan Fungsi Aljabar

Pada gambar 2.2 dibawah ini, nilai x mengalami perubahan

yang besarnya ( ) . Nilai fungsi juga dapat

mengalami perubahan yang besarnya ( ) ( )


47

Gambar 2.2. Grafik Turunan

Laju perubahan fungsi ( ) atau ( ) di ,

ditulis ( ), disebut turunan atau derivative di . Turunan

( ) di dirumuskan sebagai berikut:

( ) ( )
( )

b. Sifat-Sifat Turunan Fungsi Aljabar

Dimisalkan bilangan real, dan konstanta real, ( ) dan

( ) mempunyai turunan yaitu ( ) dan ( ).

Jika turunan dari ( ) adalah ( ), maka berlaku sifat-sifat

sebagai berikut.
48

1) ( ) , maka turunannya ( )

2) ( ) , maka turunannya ( )

3) ( ) maka turunannya ( )

4) ( ) ( ), maka turutannya ( ) ( )

5) ( ) ( ) ( ), maka turunannya ( ) ( )

( )

6) ( ) ( ) ( ), maka turunannya ( ) ( ) ( )

( ) ( )

( ) ( ) ( ) ( ) ( )
7) ( ) , maka turunannya ( )
( ) * ( )+

8) ( ) * ( )+ , maka turunannya

( ) * ( )+ ( )

B. Kerangka Berpikir

Banyak hal yang dapat dihubungkan dengan kecemasan

matematika (mathematics anxiety) pada siswa. Diantaranya efikasi diri

(self-efficacy). Disekolah sering ditemukan permasalahan ketakutan

siswa pada matematika yang bisa menimbulkan tidak fokusnya siswa

pada saat pembelajaran matematika berlangsung. hal tersebut dapat

berpengaruh pada proses pembelajaran matematika disekolah

terutama saat siswa dalam proses menyelesaikan atau memecahkan

masalah matematis.

Kecemasan matematika (mathematics anxiety) seperti yang

dijelaskan para tinjauan pustaka bahwa ini disebabkan oleh beberapa


49

aspek yaitu konflik emosional, penolakan interpersonal, tekanan

mental, lingkungan keluarga, serta kesehatan atau kondisi yang

dialami siswa terdapat gangguan. Sedangkan self-efficacy berkaitan

dengan keyakinan diri siswa pada saat melakukan suatu tugas. Kedua

hal tersebut bisa berkaitan jika dikaitan dengan emosi yang didapati

pada siswa yang mengalami suatu peristiwa tertentu. Beberapa siswa

banyak yang tak yakin dengan kemampuan diri nya maka hal tersebut

akan berdampak pada psikologisnya, dan secara tidak sadar ia telah

memunculkan kecemasan pada dirinya sendiri.


50

Keyakinan diri siswa kadang menurun. Siswa yang suka


matematika terkadang masih merasa cemas saat mengerjakan soal
terutama materi yang menggunakan grafik atau persamaan.
Beberapa diantaranya tidak suka materi rumit. Beberapa siswa ada
juga yang bingung serta merasa pusing saat mengerjakan soal.

Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa

Hubungan Hubungan

Self- Mathematics
Efficacy Anxiety

Hubungan Self-Efficacy dan


Mathematics Anxiety
terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah Siswa

Gambar 2.3 . Kerangka Berpikir

C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas maka

hipotesis penelitian dalam penelitian ini, yaitu terdapat hubungan self-


51

efficacy dan mathematics anxiety siswa terhadap kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa.


52

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kota

Bekasi merupakan salah satu sekolah menengah atas negeri

islami yang telah terakreditasi A di daerah Bekasi Utara, Bekasi.

Madrasah Aliyah Negeri 1 Kota Bekasi ini beralamatkan di Jalan

Markisa Raya II No. 3, RT.004/RW.007, Teluk Pucung, Bekasi

Uatara, Kota Bekasi, Jawa Barat. Pada siswa kelas XI MIA

semester genap tahun pelajaran 2020-2021.

Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas beberapa

pertimbangan yaitu belum adanya penelitian yang sama pada

sekolah tersebut dan data yang diperlukan oleh peneliti untuk

penelitian ini memungkinkan untuk diperolehnya di sekolah

tersebut.

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, terhitung

mulai dari bulan Maret 2020 sampai dengan bulan Mei 2020

dengan rincian pelaksanaan yang tertera pada tabel 3.1.


53

Tabel 3.1

Waktu Penelitian

2020 2021
No Kegiatan
Juli Agust Sept Feb Mar Apr Mei
1 Observasi
2 BAB I
3 BAB II
4 BAB III
5 Instrumen
6 Uji Instrumen
7 Pengumpulan
Data
8 BAB IV
9 BAB V
10 Uji Referensi
11 Daftar Pustaka
12 Lampiran
13 Sidang
14 Revisi

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini ialah metode

kuantitatif dengan teknik studi korelasional yang merupakan bagian

dari jenis penelitian kuantitatif yaitu memusatkan perhatian pada

pengumpulan data dalam kondisi waktu dari kedua variabel yang akan

diteliti. Variabel yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu variabel

bebas (X) adalah self-efficacy dan mathematics anxiety, lalu untuk

variabel terikat (Y) adalah kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa.
54

C. Variabel dan Definisi Operasional Variabel

Variabel penelitian menurut Sugiyono (2013: 61) ialah suatu

atribut, sifat, nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang memiliki variasi

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian

akan ditarik kesimpulannya. Variabel penelitian memiliki beberapa

macam bentuk variabel, beberapa diantaranya ialah variabel

independen (variabel bebas) dan variabel dependen (variabel terikat).

Pada penelitian ini, peneliti mengidentifikasikan dua variabel yang

saling bersangkutan dalam penelitian ini ialah sebagai berikut:

1. Variabel Bebas atau biasa disebut X adalah self-efficacy dan

mathematics anxiety.

2. Variabel Terikat atau biasa disebut Y adalah kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa.

D. Populasi dan Sampel (Teknik Sampling)

1. Populasi

Menurut Apriyanto dan Iswadi (2017: 23) populasi ialah

kesekuruhan subjek atau objek yang akan diteliti dan hal tersebut

berada disuatu wilayah yang sedang/akan diteliti. Sedangkan

menurut Sugiyono (2013: 117) populasi merupakan wilayah

generalisasi yang terdiri atas: objek atau subjek yang mempunyai

kualitas dan karakteristik tertentu yang sudah ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian akan ditarik kesimpulannya.


55

Jadi bisa diartikan populasi ini tidak hanya berlaku pada manusia,

tetapi juga ojek dan benda lain yang terdapat disekitar wilayah

penelitian. Populasi juga bukan janya sekedar jumlah yang ada

pada objek atau subjek yang akan dipelajari atau diteliti, tetapi

meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh subjek/objek

tersebut. Misalnya akan dilakukan penelitian di sekolah Y, maka

sekolah Y ini merupakan populasi. Maka dalam penelitian ini yang

menjadi populasi ialah MAN 1 Kota Bekasi. Populasi tersebut juga

mempunyai yang namanya populasi karakteristik. Populasi

karakteristik ialah populasi dalam jumlah/kuantitas maka populasi

karakteristik yang terdapat pada penelitian ini ialah seluruh siswa/i

Madrasah Aliyah Negeri 1 Kota Bekasi

2. Sampel

Menurut Apriyanto dan Iswadi (2017: 24) sampel ialah

sebagian dari populasi yang terpilih dari populasi dan dalam

pengambilan sampel ada beberapa cara yang harus digunakan.

Lalu, sampel menurut Sugiyono (2013: 118) merupakan bagian

dari jumah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.

Bila populasi pada penelitian besar, dan peneliti tidak mungkin

mempelajari semua yang terdapat pada populasi, misalnya karena

keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat

menggunakan sampel yang terdapat pada populasi tersebut. Apa


56

yang diperoleh dari sampel tersebut, maka akan diberlakukan

untuk populasi. Sebelum menentukan sampel maka tentukan

teknik sampling yang akan digunakan, teknik sampling (Sugiyono,

2013: 118) merupakan teknik pengambilan sampel. Maka teknik

sampling yang akan digunakan pada penelitian ini ialah Sampling

Purposive. Teknik Sampling Purposive ialah teknik penentuan

sampel dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang

dimaksudkan disini yaitu dikarenakan peneliti ingin meneliti tingkat

kecemasan dan efikasi diri yang ada pada siswa, peneliti

memutuskan untuk menjadikan kelas XI MIA 1 sebagai sampel.

Dikarenakan ketakutan atau kecemasan sering terjadi pada siswa

yang baru memasuki lingkungan baru dan keyakinan diri pada

siswa pun lebih mudah dilihat dan di prediksi pada tingkatan

tersebut.

E. Pengukuran dan Pengamatan Variabel Penelitian

1. Instrumen Tes

Instrumen penelitian yang akan digunakan untuk

mengetahui hubungan self-efficacy dan mathematics anxiety

terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa

dalam penelitian ini adalah tes dalam bentuk essay. Materi yang

akan di tes yaitu turunan fungsi aljabar. Maka disusun kisi-kisi


57

soal terlebih dahulu, adapun kisi-kisi instrument kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa terdapat pada tabel 3.2

dibawah ini.

Tabel 3.2

Kisi-kisi Intrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis

N Indikator Kemampuan Indikator No Jumlah


o Pemecahan Masalah Pembelajaran Soal Soal
Matematis
1* 2* 3* 4* 5* 6* 7*
1 Menjelaskan
pengertian
turunan.
2 Mengidentifikasi
fakta pada sifat-
sifat turunan
fungsi aljabar.
3 Menjelaskan
penerapan
turunan fungsi 1,2,3,
5
aljabar. 4,5
4 Menggunakan
prosedur untuk
menentukan
turunan fungsi
aljabar
menggunakan
definisi atau
sifat-sifat
turunan fungsi.
Total 5 5
58

Keterangan:

Menunjukkan pemecahan masalah.

Mengoordinasi data dan memilih informasi yang relevan

dalam pemecahan masalah.

Menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai

bentuk.

Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah

dengan tepat.

Mengembangkan strategi pemecahan masalah.

Membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu

masalah.

Menyelesaikan masalah yang tidak rutin.

Pengukuran tes pada penelitian ini akan menggunakan

rubrik penskoran yang dilakukan oleh Asep Amam (2017: 44),

cara penilaiannya dilakukan pada satu buah soal yang memilki

karakteristik soal pemecahan masalah lengkap atau pada satu

soal yang hanya memuat satu indikator dari indikator soal

pemecahan masalah matematis. Berikut rubrik penskoran


59

kemampuan pemecahan masalah matematis pada penelitian ini

yang terdapat pada tabel 3.3.

Tabel 3.3

Rubrik Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis

Membuat
Melakukan Memeriksa
Skor Memahami Rencana
Perhitungan Kembali
Pemecahan
Salah Tidak ada Tidak Jika tidak
menginterpretasi rencana atau melakukan menuliskan
atau salah sama membuat perhitungan. kesimpulan
sekali. rencana yang dan
0 tidak relevan. melakukan
pengecekan
terhadap
proses juga
hasil jawaban.
Salah Membuat Melaksanakan Jika
menginterpretasi rencana prosedur yang menuliskan
sebagian soal pemecahan benar dan kesimpulan
dan mengabaikan yang tidak mungkin dan
kondisi soal. dapat menghasilkan melakukan
dilaksanakan, jawaban yang pengecekan
sehingga benar tetapi terhadap
tidak dapat salah proses dengan
dilaksanakan. perhitungan. kurang tepat.
1 Atau jika
hanya
menuliskan
kesimpulan
saja atau
melakukan
pengecekan
terhadap
proses dengan
tepat saja.
60

Membuat
Melakukan Memeriksa
Skor Memahami Rencana
Perhitungan Kembali
Pemecahan
Memahami Membuat Melakukan Jika
masalah soal rencana yang proses yang menuliskan
selengkapnya. benar tapi benar dan kesimpulan
salah dalam mendapatkan dan
2 hasil atau hasil yang melakukan
tidak ada benar. pengecekan
hasilnya. terhadap
proses dengan
tepat.
Membuat
rencana
3 benar tetapi
belum
lengkap.
Membuat
rencana
sesuai
dengan
4 prosedure
dan
mengarah
pada solusi
yang benar.
Total
2 4 2 2
Skor

2. Instrumen Kuesioner (Angket)

Pada penelitian ini, peneliti juga menggunakan kuesioner

atau angket untuk mengukur bagaimana self-efficacy dan

mathematics anxiety siswa terhadap mata pelajaran matematika

dengan memberikan beberapa pertanyaan. Instrument ini dibuat

berdasarkan indikator-indikator self-efficacy dan mathematics

anxiety siswa terhadap mata pelajaran matematika yang telah di


61

bahas pada bab II sebelumnya. Berikut merupakan kisi-kisi

instrumen self-efficacy dan mathematics anxiety.

1) Self-efficacy

Tabel 3.4

Kisi-kisi Instrumen Self-efficacy

Dimensi Indikator Nomor Jumlah


Pertanyaan
Positif Negatif
(+) (-)
Keyakinan 1, 5 10, 15 4
dalam
menyelesaikan
Magnitude/Level
tugas
(Tingkat
Keyakinan 2, 6 11, 20 4
Kesulitan)
dalam
menghadapi
kesulitan
Keyakinan diri 4, 16 19, 24 4
akan usaha
yang telah
Strength(Tingkat dilakukan
Kekuatan) keyakinan 7, 18, 23 14, 3 5
memperoleh
hasil yang
positif
Keyakinan diri 13, 9 8, 25 4
pada seluruh
proses
pembelajaran
Generality keyakinan 17, 21 12, 22 4
(Generalisasi) dalam
menghadapi
keadaan dan
situasi yang
beragam
Jumlah 13 12 25
62

2) Mathematics Anxiety

Tabel 3.5

Kisi-kisi Instrumen Mathematics Anxiety

Faktor Indikator Nomor Pertanyaan Jumlah


Positif Negatif
(+) (-)
Kognitif Kemampuan
(Berpikir) diri 1, 25, 40 3, 23 5
Kepercayaan 22, 32,
diri 2, 8 21 5
Sulit
konsentrasi 4, 10 28, 36 4
Takut gagal 5, 38, 35 13, 19 5
Afektif (sikap) Gugup 6, 26 17 3
Kurang
senang 7, 39 37, 30 4
Gelisah 9, 29, 24 20 4
Fisiologis Rasa mual 11 16 2
(Reaksi Berkeringat
kondisi fisik) dingin 15, 18 33 3
Jantung
berdebar 12 34 2
Sakit kepala 14, 31 27 3
Jumlah 23 17 40

Angket atau kuesioner yang digunakan dalam penelitian

ini berupa angket tertutup yang akan disajikan dalam bentuk

pertanyaan. Responden diminta untuk dapat memilih kategori

jawaban dengan memberikan tanda centang ( ) pada kolom

yang disediakan. Angket menggunakan skala Likert dengan 4

alternatif pilihan jawaban. Skor untuk setiap butir soal terdapat

pada tabel 3. Dibawah ini.


63

Tabel 3.6

Skor untuk Butir Soal pada Skala Likert

Skor Pertanyaan Skor Pertanyaan


Jawaban
Positif Negatif

Sangat Sesuai 4 1

Sesuai 3 2

Tidak Sesuai 2 3

Sangat Tidak
1 4
Sesuai

(Sugiyono, 2013: 135)

3. Uji Analisis Instrumen

Sebelum instrumen pada penelitian ini digunakan,

instrumen tersebut dianalisis terlebih dahulu. Analisis butir

instrumen pada penelitian ini terdiri dari uji validitas dan uji

reliabilitas.

a. Uji Validitas

Arikunto (dalam Riduwan, 2015: 97) mengatakan

bahwa yang dimaksud dengan validitas ialah suatu ukuran

yang dapat menunjukkan tingkat kehandalan atau kesahihan

suatu alat ukur. Menurut Sugiyono (2013: 173) instrumen

yang dikatakan valid berarti alat ukur yang digunakan untuk

mendapatkan data itu valid, sehingga dapat diartikan


64

instrumen tersebut bisa digunakan untuk mengukur apa yang

hendak diukur dalam penelitian. Kemudian menurut Jihad

(2013: 179) sebelum instrumen ini akan dipakai haruslah

diuji coba terlebih dahulu, dengan dilakukannya pengujian

validitas yang terdiri dari validitas isi, validitas prediksi dan

validitas empiris.

Validitas isi berkaitan dengan mampu atau tidaknya

instrument ini untuk mengukur ketercapaian tujuan yang

telah dirumuskan. Tujuan ini bisa tercapai jika setiap butir

instrument mampu mengukur indikator yang berkaitan

dengan penelitian. Untuk dapat mengetahui validitas isi,

maka dilakukan pengecekan oleh pakar atau para ahli dalam

bidang ini. Sementara validitas empiris dapat dilakukan

melalui hasil tes uji coba. Teknik yang akan digunakan

validitas empiris ialah Kolerasi Pearson Product Momen

Pearson (Jihad, 2013: 179). Berikut rumus Korelasi Pearson

Product Momen:

( )( )
√* ( ) +* ( ) +
65

Keterangan:

= Koefisien korelasiantar variabel X dan variabel Y, dua

variabel yang dikorelasikan

= Jumlah responden

= Skor variabel (jawaban responden)

= Skor total dari variabel (jawaban responden)

Distrbusi Pearson Product Momen untuk dan

derajat kebebasan ( ), dengan kaidah keputusan.

1) Jika berarti valid, dan sebaliknya

2) Jika berarti tidak valid

(Riduwan, 2015: 98)

b. Uji Reliabilitas

Teknik pengukuran reliablitas yang digunakan adalah

teknik Alpha Cronbach, Rumus yang akan digunkan sebagai

berikut (Riduwan, 2015: 115).

( )( )

Keterangan:

: Nilai reliabilitas

: Jumlah varians skor tiap-tiap item


66

: Varians total

: Jumlah item

Menentukan nilai varians total:

( )

Keterangan:

: Varians skor tiap-tiap item

: Jumlah kuadrat item

( ) : Jumlah item dikuadratkan

: Jumlah responden

Menurut Gilford (Sundayana, 2014: 70) koefisien

reliabilitas yang dihasilkan akan kita interpretasikan dengan

menggunakan kriteria, yang tertera pada tabel 3.7.

Tabel 3.7

Klasifikasi Koefisen Reliabilitas

Koefisien Reliabilitas (r) Interpretasi

Sangat Rendah

Rendah

Sedang/Cukup

Tinggi

Sangat Tinggi
67

Kriteria suatu instrument penelitian dikatakan reliable

dengan menggunakan tenik ini jika koefisien reliabilitas

( ).

F. Teknik Pengumpulan Data

Dalam suatu penelitian terdapat dua hal utama yang akan

mempengaruhi kualitas data hasil penelitan yaitu kualitas instrument

penelitian, dan kualitas pengumpulan data. Pengumpulan data dapat

dilakukan dalam berbaga setting, berbagai sumber, dan berbagai

cara. Maka dalam penelitian ini, untuk mendapatkan data-data

tersebut, peneliti menempuh beberapa teknik pengumpulan data,

yaitu:

1. Kuesioner (Angket)

Kuesioner (Sugiyono, 2013: 199) ialah salah satu teknik

pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi

seperangkat pertanyaan atau pertanyaan tertulis kepada

responden untuk dijawabnya. Dalam hal ini Sugiyono juga

berpendapat bahwa teknik pengumpulan jenis angket/kuesioner

ini ialah teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu

dengan pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa

diharapkan responden. Selain itu, kuesioner cocok digunakan bila

jumlah responden cukup besar dan tersebar dalam wilayah yang


68

luas. Kuesioner/angket dapat berupa pertanyaan-pertanyaan

tertutup atau terbuka.

2. Tes

Tes (Margono, 2010: 170) ialah perangkat rangsangan

(stimuli) yang diberikan kepada seseorang dengan maksud untuk

mendapat jawaban yang bisa dijadikan dasar bagi penetapan skor

angka. Teknik penegumpulan data ini mempunyai dua jenis tes

yang sering dipergunakan sebagai alat ukur penelitian yaitu tes

lisan dan tes tulis. Pada penelitian ini akan menggunakan tes tulis

untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah siswa.

3. Wawancara Tak Terstruktur

Wawancara tidak terstruktur (Sugiyono, 2013: 197) ialah

wawancara yang bebas dimana peneliti tidak perlu menggunakan

pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan

lengkap untuk pengumpulan datanya. Wawancara tidak

terstruktur, biasa digunakan dalam penelitian pendahuluan atau

untuk penelitiian yang lebih mendalam tentang responden.

Wawancara yang dmaksudkan pada peneltian ini hanya sebagai

pelengkap data saja pada penelitian yang akan dilakukan.


69

G. Teknik Analisis Data

Analisis data menurut Sugiono (2013: 207) merupakan kegiatan

setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul.

Maka analisis data ini sangat penting dimana hasil atau ketentuan

atau kesimpulan suatu peneltian dapat ditentukan. Uji Hipotesis yang

akan digunakan ialah Analisis korelasi. Analisis korelasi digunakan

untuk mencari arah dan kuatnya hubungan antara dua variabel atau

lebih. Pada penelitan ini, penelitian dikelompokkan menjadi dua

kelompok variabel penelitian, yaitu variabel bebas biasa disebut X

adalah self-efficacy dan mathematics anxiety dan variabel terikat biasa

disebut dengan Y adalah kemampuan pemecahan matematis siswa.

1. Korelasi Pearson

Korelasi menurut Irianto (2015 :133) ialah suatu hubungan

antara satu variabel dengan variabel lainnya. Hubungan antara

variabel tersebut bisa secara korelasional serta bisa juga secara

kausal. Jika hubungan tersebut tidak memperlihatkan sifat sebab-

akibat, maka korelasi tersebut dikatakan korelasional, maksudnya

ialah sifat hubungan variabel satu dengan variabel lainnya tidak

jells mana variabel sebab mana variabel akibat. Sebaliknya, jika

hubungan tersebut menunjukkan sifat sebab-akibat, maka

korelasinya dikatakan kausal, maksudnya ialah jika variabel yang

satu merupakan sebab, maka variabel lainnya merupakan


70

akibatnya. Korelasi pearson ini sering digunakan oleh peneliti

(terutama peneliti yang mempunyai data-data interval) ialah

korelasi pearson atau Product Moment Correlation.

Dikarenakan dalam penelitian ini menggunakan variabel X

dan variabel Y maka rumus untuk menghitung adanya hubungan

antara kedua variabel, maka rumus koefisien korelasinya akan

menggunakan rumus Product Moment Pearson, yang rumusnya

sebagai berikut:

( )( )
√* ( ) +* ( ) +

Keterangan:

= koefisien korelasi product momen

= jumlah skor sebaran x

= jumlah skor sebaran y

= jumlah skor yang dikuadrat dalam sebaran x

= jumlah skor yang dikuadrat dala sebaran y

(Apriyanto & Iswadi, 2017: 46)


71

2. Korelasi Ganda

Korelasi ganda secara simultan menunjukkan hubungan

diantara variabel-variabel bebas secara bersama-sama dengan

variabel terikatnya, jelas hal tersebut berbeda dengan korelasi

parsial. Desain penelitian dan rumus koefisien korelasi ganda

ialah sebagai berikut:

a. Gambar desain penelitian korelasi ganda dengan dua variabel

bebas

X 𝑟𝑋 𝑌
𝜀
𝑟𝑋 𝑋 𝑌
𝑟𝑋 𝑋
Y

X 𝑟𝑋 𝑌

Gambar 3.1. Desain Penelitian Korelasi Ganda (Sundayana,

2014)

Keterangan:

Koefisien korelasi ganda (simultan) antara variabel

dan degan variabel .

Koefisien korelasi sederhana antara variabel

dengan variabel .
72

Koefisien korelasi sederhana antara variabel

dengan variabel .

Koefisien korelasi sederhana antara variabel

dengan variabel .

b. Rumus koefisien korelasi ganda:

Kolerasi ganda antara variabel dan secara

bersama-sama dengan

Koefisien korelasi ini sebelum digunakan untuk

kesimpulan harus diuji terlebih dahulu keberartiannya. Adapun

langkah-langkah pengujian keberartian koefisien korelasi

ganda:

1) Menentukan nilai dengan rumus:

( ) ( )

2) Menentukan nilai dengan rumus:

( ) ( )
73

3) Kriteria keberartian:

Jika maka koefisien korelasi ganda

tersebut tidak berarti atau tidak bermakna.

(Sundayana, 2014: 228)


74

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Padillah, A. Hamid, M. Bernard, & A. I. Sugandi. (2018). Analisis

Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematik Siswa

Kelas XI SMA Putra Juang dalam Materi Peluang. Journal

Cemdekia: Jurnal Pendidikan Matematika 2(1):144-153.

Amam, Asep. (2017). Penilaian Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis Siswa SMP. Jurnal Teori dan Riset Matematika

(TEOREMA) 2(1):39-46.

Amalia, Dea. (2018). Analisis Self-Efficacy (Efikasi Diri) Siswa pada

Pembelajaran Matematika ditinjau dari Hasil Belajar. Skripsi

Program Sarjana Pendidikan Matematika Program Sarjana

Universitas Muhammadiyah Jakarta (tidak dipublikasikan).

Apriyanto & Iswadi. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif. Yogyakarya:

Penerbit WR.

Astriyani, Arlin. (2016). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah

Peserta Didik Dengan Penerapan Model Pembelajaran Problem

Posing. Fibonacci 2(1):23-32.

Chairani, Zahra. (2016). Metakognisi Siswa dalam Pemecahan Masalah

Matematika. Yogyakarta: Deepublish.

Damayanti, Aulia. (2017). Perbandingan Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematika Siswa yang Rendah, Sedang, dan Tinggi


75

Setelah Menggunakan Strategi Student Team Achievement

Division (STAD) dengan Chance of Pairs. Program Studi

Pendidikan Matematika. Program Sarjana Universitas

Muhammadiyah Jakarta (tidak dipublikasikan)

Disai, W.I., A. Dariyo, dan D. Basaria. (2017). Hubungan Antara

Kecemasan Matematika dan Self-Efficacy dengan Hasil Belajar

Matematika Siswa SMA X Kota Palangka Raya. Jurnal Muara Ilmu

Sosial, Humaniora, dan seni 1(2):556-568.

Hamdi, Syukrul & A. M. Abadi. (2014). Pengaruh Motivasi, Self-Efficacy

dan Latar Belakang Pendidikan terhadap Prestasi Matematika

Mahasiswa PGSD STKIP-H dan PGMI IAIH. Jurnal Riset

Pendidikan Matematika 1(1):77-87.

Jatisunda, M. G. (2017) Hubungan Self-Efficacy Siswa SMP dengan

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. Jurnal THEOREMS

(The Original Research of Mathematics) 1(2):24-30.

Margono, S. (2010). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka

Cipta.

Mugiono. (2019). Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematika dengan Menggunakan Media Pembelajaran Alat

Peraga Tiga Dimensi Berbantuan Kartu Soal. Program Studi

Pendidikan Matematika. Program Sarjana Universitas

Muhammadiyah Jakarta (tidak dipublikasikan)


76

Musrikah. (2016). Pengaruh Kecemasan dan Kecerdasan Matematis

terhadap Prestasi Matematika Mahasiswa Pendidikan Guru

Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) IAIN Tulungangung. Jakarta: Alim‟s

Publishing.

Oktaviani, Melisa Putri. (2018). Tingkat Efikasi Diri dalam Belajar Siswa

SMK. Program Sarjana Pendidikan Bimbingan dan Konseling

Program Sarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (tidak

dipublikasikan)

Oktavia, Putri Dinah. (2018). Analisis Kecemasan Siswa dalam Menjawab

Soal Matematika ditinjau dari Kepercayaan Diri. Program Studi

Pendidikan Matematika. Program Sarjana Universitas

Muhammadiyah Jakarta (tidak dipublikasikan)

Riani, W.S., dan Y.A. Rozali. (2014). Hubungan antara Self-Efficacy dan

Kecemasan Saat Presentasi Pada Mahasiswa Universitas Esa

Unggul. Jurnal Psikologi 12(1):1-9.

Rosyida, F., S. Utaya, dan Budijanto. (2016). Pengaruh Kebiasaan Belajar

dan Self-efficacy Terhadap Hasil Belajar Geografi di SMA. Jurnal

Pendidikan Geografi 21(2):17-28.

Sakarti, Hanuri. (2018). Hubungan Kecemasan dan Kemampuan Siswa

dalam Menyelesaikan Masalah Matematika. Jurnal Pendidikan

Informatika dan Sains 7(1):28-41.


77

Satriyani. (2016). Pengaruh Kecemasan Matematika (Mathematics

Anxiety) dan Gender terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis Siswa. Skripsi Program Sarjana Pendidikan Matemattika

Program Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta (tidak dipublikasikan)

Subaidi, Agus. (2016). Self-efficacy Siswa dalam Pemecahan Masalah

Matematika. Sigma 1(2):64-68.

Sucianti, Ignatia Dita. (2018). Penyusunan Skala Kecemasan Aspek

Kognitif untuk Siswa Kelas V Sekolah Dasar. Program Sarjana

Pendidikan Guru Sekolah Dasar Program Sarjana Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta (tidak dipublikasikan)

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D. Bandung: ALFABETA.

Sundayana, Rostina. (2014). Statistika Penelitian Pendidikan. Bandung:

Alfabeta.

The National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and

Standards for School Mathematics.

Winarso, Widodo & A.A. Haqq. (2018). Disposisi Psikologis Siswa;

Kecemasan Matematika Versus Kebahagiaan Belajar Pada

Tingkatan Pendidikan. Dalam B. Manfaat (Editor). Seminar Hasil


78

Penelitian 2018. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada

Masyarakat. Cirebon, 4 Desember 2018.

Yustinus. (2017). Strategi Pemecahan Masalah Matematika. Salatiga:

Widya Sari Press Salatiga.

Anda mungkin juga menyukai