Anda di halaman 1dari 14

MATHEMATICS SELF-EFFICACY, ADVERSITY QUOTIENT IN MATHEMATICS

LEARNING

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan dan Pembelajaran
Matematika

Dosen Pengampu : Naili Lumaati Noor, M.Pd.

Disusun Oleh :

1. Belva Badralena (2210610035)


2. Zumi’atul afifah (2210610046)

Kelas : B3TMR

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA 2023


DAFTAR ISI

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Matematika mata pelajaran penting yang harus diajarkan di semua tingkat


pendidikan, dari dasar hingga menengah. Matematika dianggap sebagai salah satu
mata pelajaran yang paling menantang baik disekolah dasar maupun sekolah
menengah karena siswa seringakali mendapat nilai buruk di mata pelajaran tersebut.
Matematika meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir logis, rasional, kritis,
akurat, efektif, dan efisien. Dengan demikian, jika prestasi belajar siswa rendah, maka
kemampuan berpikir logis, rasional, kritis, menyeluruh, efektif, dan efisien juga
rendah. Kurangnya keterampilan tersebut akan berdampak pada kemampuan bangsa
untuk berkembang secara ekonomi.

Namun demikian, hasil ujian nasional pada tahun 2015 dan 2016 menunjukkan
bahwa hasil prestasi belajar siswa SMP masih rendah dan cenderung menurun, pada
nilai mereka masing masing adalah 56,28 pada tahun 2015 dan 50,24 pada tahun 2016
(Puspendik, 2016), nilai tersebut lebih rendah dibandingkan tiga mata pelajaran lain
seperti Bahasa Indonesia (70,75), Bahasa Inggris (57,17), dan IPA (56,27).
Berdasarkan hasil survei tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa banyak faktor
yang mempengaruhi prestasi belajar matematika siswa, baik internal maupun
eksternal. Faktor internal meliputi motivasi berprestasi, konsep diri, kesiapan belajar
mandiri, dan efikasi akademik. Ada faktor lain yang juga berperan penting yakni
Adversity quontient.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah,


yaitu:
1. Definisi
2. Indikator
3. Peran dalam pembelajaran
4. Faktor yang mempengaruhi
5. Pendekatan cara untuk mengukur (dengan mengeksplorasi penelitian-
penelitian yang terkait)

C. Tujuan

1
1. Untuk mengetahui definisi
2. Untuk mengetahui indikator
3. Untuk mengetahui peran dalam pembelajaran
4. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
5. Untuk mengetahui pendekatan cara untuk mengukur (dengan
mengeksplorasi penelitian-penelitian yang terkait)

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi

Self efficacy (efikasi diri) merupakan penilaian seseorang terhadap kemampuan


dirinya dalam merencakan dan melaksankan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu
(Mukhid, 2009).1 Dalam konteks akademik, efikasi diri mencerminkan seberapa
percaya diri siswa dalam melakukan tugas tertentu (Perez & Ye, 2013). 2 Efikasi diri
berperan dalam motivasi akademik dan motivasi belajar (terutama kemampuan siswa
dalam mengelola aktivitas belajarnya), dan resistensi terhadap belajar (Zimmerman,
2000).3

Efikasi diri dalam matematika digambarkan sebagai efikasi diri matematika


individu adalah kepercaan dirinya dalam menyelesaikan berbagai tugas, mulai dari
memahami konsep hingga pemecahan masalah dalam matematika (Mei, 2009). 4
Tinggi efikasi matematika akan mendorong tercapainya hasil belajar yang baik, dan
ketika siswa mempunyai hasil belajar yang baik maka mereka akan lebih termotivasi
dalam proses belajar. Harapan efikasi yang lebih tinggi dapat memberikan hasil yang

1
Mukhid, A. (). Self-efficacy: perspektif teori kognitif sosial dan implikasinya terhadap pendidikan. Journal
Tadris, 4(1), 106-122
2
Perez, E. D., & Ye, Y. (2013). The relationship between mathematics self-efficacy and mathematics
achievement of mathayomsuksa 2009students in the english program of st. Joseph bangna school. Assumption
Journal, 5(2), 82-92
3
Zimmerman, B. J. (2000). Self efficacay: An essential motive to learn. Contenporary educational Psychology,
25, 82-9.
4
May, D. K. (2009). Mathematics self-efficacy and anxiety questionnaire. (Doctor of Philosophy Disertation,
University of Georgia)

2
lebih baik sehingga meningkatkan motivasi belajar matematika (Zimmerman,dkk,
2011).5

Siswa yang memiliki efikasi diri yang kuat akan mampu bertahan dalam
menyelesaikan tugas yang sulit dan menyukai tugas-tugas yang menantang. Hal itu
didukung dalam penelitian yang dilakukan oleh Roick & Ringeisen (2017) yang
menemukan bahwa efikasi diri berpengaruh langsung dan signifikan terhadap variabel
prestasi belajar, seorang siswa yang memiliki keyakinan yang tinggi terhadap
kemampuan dirinya akan berusaha menguasai materi dan menaklukan soal ujian yang
diberikan. Keyakinan yang dimiliki dengan diperkuat dengan usaha belajar inilah
yang akan meningkatkan prestasi belajar, akan tetapi apabila keyakinan ini tidak
diikuti dengan tindakan yang nyata, maka tidak akan mempengaruhi prestasi belajar.

Sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Altun &Erden (2013)
yang mengemukakan bahwa efikasi diri mampu mendorong siswa termotivasi belajar,
mencoba dan mengerjakan latihan soal, percaya diri bahwa dirinya dapat mengerjakan
soal sekalipun soal tersebut sulit, tetap bertahan dan tertantang harus bisa melewati
dan soal yang sulit tersebut. Selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Ayotola,
& Adedeji, (2009) yang mengemukakan bahwa efikasi diri juga dapat membuat
seseorang lebih mudah dan lebih merasa mampu mengerjakan soal-soal matematika
yang dihadapinya, bahkan soal matematika yang lebih rumit atau spesifik sekalipun.

Untuk dapat mengoptimalkan potensi yang ada dalam suatu model pembelajaran,
seorang siswa harus memiliki motivasi yang tinggi dan tidak mudah menyerah jika
menghadapi kesulitan. Hal inilah yang sering disebut dengan Adversity Quotient
(AQ). Oleh karena itu, tujuan penelitian ini juga untuk mengetahui mana yang
memberikan prestasi belajar matematika lebih baik antara siswa dengan tipe AQ
quitters, campers, atau climbingers.

Kesulitan dapat didefinisikan dalam banyak hal seperti kesulitan, kegagalan,


masalah, atau bahkan kemalangan. Adversity quotient merupakan ketangguhan dan
kemampuan bertahan seseorang dalam menghadapi perubahan yang terus-menerus,
stres dan kesulitan atau kesusahan hanyalah ukuran bagaimana siswa menyikapi
kesulitan.

5
Zimmerman, M., Bescherer, C., & Spannagel, C. (2011). A questionaire for surveying mathematics self-
efficacy expectations of future teachers. Accessed on 14 July 2017

3
Adversity dalam matematika diartikan sebagai kesulitan belajar dalam memahami
matematika yang menunjukkan betapa besarnya perjuangan siswa dalam belajar,
mempunyai semangat untuk berjuang sendiri, dalam cara seberapa besar siswa ingin
memperbaiki diri.

Ada tiga tipe AQ, yakni tipe quitters, tipe campers, dan tipe pendaki. Siswa
dengan tipe quitters mempunyai anggapan bahwa matematika itu rumit,
membingungkan, dan memusingkan. Motivasi mereka sangat buruk, sehingga ketika
mereka menemukan sedikit kesulitan dalam memecahkan masalah matematika
mereka menyerah dan berhenti tanpa mengeluarkan usaha apapun. Siswa dengan tipe
campers adalah siswa yang tidak mau mengambil resiko besar dan merasa puas
dengan kondisi atau keadaan yang dicapai. Siswa tipe ini cenderung menyerah lebih
awal, kurang berusaha dalam belajar. Dalam pembelajaran matematika, siswa dengan
tipe campers tidak berusaha semaksimal mungkin, mereka berusaha untuk selalu
hanya berada pada zona aman, dan selalu sederhana. Siswa dengan tipe pendaki
adalah siswa yang mempunyai tujuan atau sasaran. Untuk mencapai tujuan tersebut,
mereka mampu bekerja secara gigih. Selain itu, mereka juga mempunyai keberanian
dan disiplin yang tinggi.

Secara garis besar, Adversity quotient adalah kemampuan seseorang untuk


bertahan dan mengatasi kesulitan serta mampu melebihi harapan atas kinerja dan
potensinya.

B. Indikator
1. Self-Efficacy
Menurut Bandura (1997: 42-43), dimensi-dimensi Self-Efficacy yang
digunakan sebagai dasar bagi pengukuran terhadap Self-Efficacy individu
adalah :
a. Magnitude
Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas yang
diyakini oleh seseorang untuk dapat diselesaikan. Jika individu
dihadapkan pada masalah atau tugas-tugas yang disusun menurut
tingkat kesulitan tertentu maka Self-Efficacy nya akan jatuh pada
tugas-tugas yang mudah, sedang, dan sulit sesuai dengan batas

4
kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang
dibutuhkan bagi masing-masing tingkatnya tersebut. Dimensi
kesulitan memiliki implikasi terhadap pemilihan tingkah laku yang
dicoba atau yang akan dihindari. Individu akan mencoba tingkah
laku yang dirasa mampu dilakukan dan akan menghindari tingkah
laku yang dirasa berada di luar batas kemampuannya.
b. Strenght
Diimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kelemahan
keyakinan individu tentang kemampuan yang dimilikinya. Individu
dengan SelfEfficacy kuat mengenai kemampuannya cenderung
pantang menyerah dan ulet dalam meningkatkan usahanya walaupun
menghadapi rintangan. Sebaliknya individu dengan Self-Efficacy
lemah cenderung mudah terguncang oleh hambatan kecil dalam
menyelesaikan tugasnya.
c. Generality
Dimensi ini merupakan dimensi yang berkaitan dengan
keluasan bidang tugas yang dilakukan. Dalam mengatasi atau
menyelesaikan masalah/tugas-tugasnya, beberapa individu memiliki
keyakinan terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu dan
beberapa menyebar pada serangkaian aktivitas dan situasi yang
bervariasi.6

2. Adversity Quotient
Menurut Nikam & Uplane (2013) Adversity Quotient mempunyai
empat komponen yaitu kendali atau control (C), pengakuan atau ownership
(O), jangkauan atau reach (R), dan daya tahan atau endurance (E). keempat
komponen tersebut dijelaskan masing-masing sebagai berikut
a. Kendali atau control (C)
Mengukur derajat kendali peserta didik dalam keadaan yang
kurang baik atau dalam kesulitan. Semakin tinggi skor pada dimensi
control (C) semakin besar kemungkinannya siswa memiliki tingkat
kendali yang kuat atas masalah yang dihadapi. Sebaliknya semakin
rendah skor pada dimensi control (C) semakin besar kemungkinan

6
Agus Subaidi,”Self-Efficacy Siswa dalam Pemecahan Masalah Matematika”,∑igma,Vol.1 No.2(Maret 2016),66.

5
peserta didik merasa bahwa masalah yang dihadapi di luar
kendalinya.
b. Pengakuan dan ownership (O)
Mengukur besarnya tanggung jawab dan asal-usul timbulnya
kesulitan yang dialami oleh siswa. Komponen ownership
digabungkan dengan origin sehingga disebut O2. Semakin besar O2
kemungkinannya peserta didik memandang bahwa penyebab
kesulitan berasal dari luar. Sedangkan apabila skor O2 semakin
rendah, semakin besar kemungkinannya siswa menganggap bahwa
penyebab kesulitan itu adalah dirinya sendiri.
c. Jangkauan atau reach (R)
Mengukur derajat sejauh mana siswa melihat kesulitan akan
menjangkau aspek-aspek dalam kehidupan. AQ yang rendah akan
kesulitan dalam mengkaitkan aspek-aspek lain dalam kehidupan
sehingga mudah panik, sulit tidur, menjaga hubungan dengan orang
lain dan pengambilan keputusan yang ia lakukan tidak tepat.
d. Daya tahan atau endurance (E)
Mengukur persepsi berapa lama kesulitan akan berlangsung
dan berapa lama penyebab kesulitan berlangsung. Semakin tinggi
skor E peserta didik, semakin besar kemungkinan peserta didik itu
menganggap kesulitan dan penyebab kesulitan tidak akan
berlangsung lama.7

C. Peran dalam Pembelajaran


1. Self-Efficacy

Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ferdyansyah (2020)


menyatakan bahwa self efficacy berdampak postif terhadap pembelajaran
siswa di sekolah. Karena siswa yang memiliki self efficacy akan yakin
terhadap kemampuan diri sendiri, terus berusaha dan tidak mudah menyerah
dalam mencapai suatu tujuan, serta tidak akan menghindari kegiatan belajar.
Selain itu memiliki self efficacy juga dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Oktariani (2018) dalam

6
jurnal penelitiannya mengemukakan bahwa diantara aspek kehidupan yang
dipengaruhi oleh self efficacy yaitu prestasi, dengan memiliki self efficacy
seorang siswa akan merasa bahwa dia yakin terhadap kemampuannya,
sehingga siswa tersebut akan lebih siap untuk menerima pembelajaran dan
akan lebih giat berusaha untuk mendapatkan nilai bagus, dan tidak mudah
putus asa apabila sedang menghadapi kesulitan.

2. Advercity Quetient
Siswa yang mempunyai adversity quotient yang tinggi semakin besar
kemungkinan siswa memiliki tingkat kendali yang kuat atas permasalahan
matematika yang dihadapi. Bagi siswa yang memiliki adversity quotient
yang tinggi cenderung menempatkan rasa bersalah dan melihat dirinya
sebagai penyebab kesulitan dalam pembelajaran matematika. Rasa bersalah
dapat membantu siswa untuk belajar dengan cenderung merenungkan diri,
belajar menyesuaikan tingkah laku, dan melakukan perbaikan diri. Serta
bertanggung jawab terhadap hasil baik atau buruk dari setiap perbuatan yang
menjadi tanggung jawab dan tidak menyalahkan orang lain dan
menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapi. Selain itu, siswa dengan
adversity quotient yang tinggi mengaitkan kesulitan hanya pada situasi
tersebut saja, tidak menganggap kesulitan dapat menembus semua aspek
kehidupan lain. Serta kesulitan yang dihadapi akan segera berlalu.
Siswa yang memiliki adversity quotient yang rendah cenderung
menganggap kesulitan yang muncul akan terus menerus terjadi, sehingga
mereka terus dibayangi hambatan-hambatan yang sering kali muncul. Setiap
kesulitan, penyebabnya juga dianggap sebagai sesuatu yang terus akan
muncul kembali di masa yang mendatang.8

D. Faktor yang Mempengaruhi


1. Self-Efficacy

Menurut Bandura (1997: 80-115) menyatakan bahwa ada empat sumber


utama yang mempengaruhi Self-Efficacy seseorang yaitu:

8
Sulastri Nas,” Pengaruh Adversity Quotient, Motivasi Belajar, dan Persepsi Siswa Tentang Cara Mengajar Guru
Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IX SMPN Se-Kecamatan Wara Utara Kota
Palopo”,Pedagogy,Vol.3 NO.2,hal117-119.

7
a. Pengalaman keberhasilan seseorang dalam menghadapi tugas
tertentu pada waktu sebelumnya. Apabila seseorang pernah
mengalami keberhasilan dimasa lalu maka semakin tinggi pula Self-
Efficacy, sebaliknya apabila seseorang mengalami kegagalan dimasa
lalu maka semakin rendah pula SelfEfficacy orang tersebut.
b. Pengalaman orang lain. Individu yang melihat orang lain berhasil
dalam melakukan aktifitas yang sama dan memiliki kemampuan
yang sebanding dapat meningkatkan Self-Efficacy nya, sebaliknya
jika orang yang dilihat gagal maka Self-Efficacy individu tersebut
menurun.
c. Persuasi verbal, yaitu informasi tentang kemampuan seseorang yang
disampaikan secara verbal oleh orang yang berpengaruh sehingga
dapat meningkatkan keyakinan bahwa kemampuan-kemampuan yang
dimiliki dapat membantu untuk mencapai apa yang diinginkan.
d. Kondisi fisiologis yaitu keadaan fisik (sakit, rasa lelah dan lain-lain)
dan kondisi emosional (suasana hati, stress dan lain-lain). Keadaan
yang menekan tersebut dapat mempengaruhi keyakinan akan
kemampuan dirinya dalam menghadapi tugas. Jika ada hal negatif,
seperti lelah, kurang sehat, cemas, atau tertekan, akan mengurangi
tingkat Self-Efficacy seseorang. Sebaliknya, jika seseorang dalam
kondisi prima, hal ini akan berkontribusi positif bagi perkembangan
Self-Efficacy9
2. Advercity Quetient
Tedapat banyak faktor yang bisa mempengaruhi tinggi rendahnya
Adversity Quotient peserta didik. Azzura (2017) faktor yang berpengaruh
padaAdversity Quotient adalah kualitas kerja, kemuan, bakat, kecerdasan,
kesehatan jasmani dan rohani, karakteristik, genetika, pengetahuan, dan self
–eficacy. Sultoni (2013)menyatakan jika faktor yang
mempengaruhiAdversity Quotient terdiri dari faktor internal yang terdiri dari
genetika, keyakinan, bakat, hasrat atau kemauan, karakter, kinerja,
kecerdasan, kesehatan, adapun faktor Eksternalnya adalah pendidikan dan
lingkungan sekitar.Dampak yang ditimbulkan jika Adversity Quotient

9
Agus Subaidi,”Self-Efficacy Siswa dalam Pemecahan Masalah Matematika”,∑igma,Vol.1 No.2(Maret 2016),65-
66.

8
peserta didik rendah yaitu prestasi peserta didik yang rendah, kinerja,
motivasi, dan energy menurun. Menurunkan produktifitas, vitalitas, dan
kreatifitas. Melemahnya kemauan belajar peserta didik, menghilangkan
keberanian mengambil resiko, melemahnya keuletan dan ketekunan, serta
dapat mengganggu kesehatan dari peserta didik.10

E. Pendekatan Cara Untuk mengukur (dengan mengeksplorasi penelitian-


penelitian terkait)

Penelitian ini menggunakan desain survei deskriptif, yaitu desain non-


eksperimmental yang digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab dan akibat.
Desain ini dipilih untuk tujuan penelitian karena mengamati penharuh efikasi diri dan
adversity quotient terhadap prestasi belajar matenatika kemudian menggunakan hasil
tersebut untuk memprediksi konstribusi masing masing variabel independen terhadap
variabel dependen. Survei deskriptif dipilih karena alasan ekonomi sehingga peneliti
menggunakan sampel yang mewakili populasi besar yang tidak mungkin diteliti.
Sampel penelitian ini ditentukan dengan teknik probabilitas samping, dengan
menggunakan tabel agka acak. Setelah jumlah sampel ditentukan, peneliti melakukan
survei kepada subjek yang telah mendapat izin tertulis dari Kepala Sekolah. Dalam
melakuakan survei peneliti dibantu oleh guru mata pelajaran. Agar tidak mengganggu
proses pembelajaran, survei dilakukan sepuluh menit sebelum kelas berakhir.
Sebelum menyebarkan survei kepada subjek, peneliti menjelaskan tujuan penelitian
dan pengisian instrumen. Penekiti meminta subjek untuk mengisi instrmen secara
lengkap dan obyektif, tanpa dipengaruhi oleh teman, atau faktor lain. Para peneliti
juga menegaskan bahwa, semua informasi yang diberikan oleh subjek hanya akan
digunakan untuk tujuan penelitian dan tidak mempengaruhi nilai mereka. Penjelasan
ini dilakukan secara lisan dan tertulis dalam pengenalan survei.
Instrumen penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data adalah skala efikasi
diri dan adversity quotient yang berbentuk skala likert. Yang pertama diadaptasi oleh
teori Guilford (Apollo, 2005) yang mengukur kepercayaan diri terhadap kemampuan
seseorang, kemampuan sosialisasi dan ketenangan sikap. Yang terakhir ini diadaptasi
dari karya Scoltz (2000) yang terdiri dari empat dimensi, yaitu kontrol, asal dan
kepemilikan, jangkauan dan daya tahan. Data prestasi belajar matematika siswa
10
Ni Wayan Serianti , Ni Ketut Suarni ,Ketut Gading,” Adversity Quotient Scale Development Of Vocational
School Student Pengembangan Skala Adversity Qutient Peserta Didik Smk”,Jurnal Bimbingan Konseling
Indonesia, Vol.1 No.1(2020)40.

9
diperoleh dari hasil tes sekolah pada semester 1. Alasan penggunaan hasil tes sekolah
adalah karena cukup menggambarkan prestasi akademik siswa selama satu semester.
Skala efikasi diri memiliki 42 item, dan reliabilitas internalnya adalah 0,893.
Skala adversity quotient berjumlah 39 item, dan reliabilitas internalnya sebesar 0,891.
Masing-masing skala mempunyai empat pilihan jawaban yaitu Sangat Tidak Setuju,
Tidak Setuju, Setuju, dan Sangat Setuju. Dalam penelitian ini peneliti sengaja
menghilangkan pilihan ketiga (pilihan netral) untuk menghindari kecenderungan
subjek mengisi pilihan netral.
Pada langkah selanjutnya, peneliti meninjau skala revisi dan memberikannya
kepada sepuluh siswa kelas IX MTs Pembangunan UIN Jakarta yang tidak terpilih
sebagai subjek penelitian ini. Tujuan dari uji coba ini adalah untuk menentukan
berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengisi skala dan untuk memastikan tidak
ada pernyataan pada skala yang mempunyai interpretasi ganda atau sulit untuk
dipahami. Para siswa studi percontohan tidak mengajukan pertanyaan tentang
instrumen dan menghabiskan waktu sekitar 15 hingga 20 menit untuk mengisi kedua
skala tersebut.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

11
DAFTAR PUSTAKA

Ayotola & Adedeji, (2009) The relationship between mathematics self-efficacy and
achievement in mathematics

Dewanto et al.,( 2019) The experiment of TAPPS, TSTS, and DL learning models viewed through
adversity quotient in mathematics learning achievement

Masitoh & Fitriyani, (2018) Improving students’ mathematics self-efficacy through problem based
learning

Nas Sulastri , Pengaruh Adversity Quotient, Motivasi Belajar, dan Persepsi Siswa Tentang
Cara Mengajar Guru Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IX SMPN Se-
Kecamatan Wara Utara Kota Palopo

Suryadi & Santoso, (2017) Self-Efficacy, Adversity Quotient, and Students’ Achievement in
Mathematics

Subaidi Agus,(2016) Self-Efficacy Siswa dalam Pemecahan Masalah Matematika.

Wahyuningtyas et al., (2020) The increasing of math adversity quotient in mathematics


cooperative learning through metacognitive

Widyarti, (2020) Unnes Journal of Mathematics Education Research Student's Creative Thinking Skills
Viewed by Adversity Quotient and Mathematics Anxiety in Grade VIII

Zubaidah Amir et al., (2021) The role of cognitive activation in predicting mathematics self-efficacy and anx

12

Anda mungkin juga menyukai