Psikologis
Abstrak
Pasien sakit kritis sering mengalami kurang tidur, ditandai dengan sering adanya
gangguan dan kehilangan ritme sirkadian, dan kurangnya waktu yang dihabiskan
dalam tahap tidur restoratif. Faktor yang terkait dengan gangguan tidur di unit
perawatan intensif (ICU) diantaranya disinkroni pasien-ventilator, obat-obatan,
interaksi perawatan pasien, dan kebisingan dan cahaya lingkungan. Bidang perawatan
kritis semakin berfokus pada luaran fisik dan psikologis pasien setelah penyakit kritis,
sehingga memahami dampak potensial dari gangguan tidur terkait ICU terhadap
pemulihan pasien adalah bidang penelitian yang penting. Tinjauan ini merangkum
literatur tentang pola dan pengukuran tidur pada orang sakit kritis, penyebab
fragmentasi tidur di ICU, dan implikasi potensial dari gangguan tidur terkait ICU
pada pemulihan pasien dari penyakit kritis. Dengan latar belakang informasi ini,
strategi untuk mengoptimalkan tidur di ICU juga dibahas.
Kata kunci: tidur kurang tidur; unit perawatan intensif; kesehatan mental; luaran
Latar Belakang
Tidur yang buruk sering terjadi di unit perawatan intensif (ICU). Meskipun
penelitian puluhan tahun menggambarkan adanya kurang tidur pada pasien ICU,
sebagian besar ICU telah membuat beberapa perubahan untuk meningkatkan kualitas
tidur pasien. Kelambanan untuk mengubah praktik klinis ini mungkin sebagian besar
disebabkan oleh kurangnya penelitian tentang efek negatif dari kurang tidur pada
hasil perawatan kritis, dan penelitian minimal mengenai efektivitas intervensi untuk
dapat mempermudah pasien tidur di ICU. Namun, penelitian semacam itu mulai
muncul dan semakin penting di ICU. Tinjauan ini memberikan gambaran luas tentang
tidur normal dan tidur pada pasien sakit kritis, faktor-faktor yang mempengaruhi tidur
di ICU, dan konsekuensi dari gangguan tidur terkait ICU pada pemulihan fisik dan
psikologis dari penyakit kritis.
Tidur Normal
Tidur adalah proses fisiologis dan perilaku kompleks yang penting untuk
istirahat, perbaikan, kesejahteraan, dan kelangsungan hidup.1,2 Tidur didefinisikan
sebagai terlepasnya keadaan kognitif dan sensorik yang periodik dan reversibel dari
lingkungan eksternal.3 Kualitas dan karakteristik tidur bervariasi pada pasien yang
sakit kritis, sehingga pemahaman tentang tidur normal diperlukan untuk sepenuhnya
mengevaluasi kelainan tidur di ICU.
Susunan Tidur
Tidur dibagi menjadi nonrapid eye movement (NREM) dan rapid eye
movement (REM), masing-masing ditentukan oleh proses fisiologis,
elektroensefalografi (EEG), dan sifat perilaku yang unik (Gambar 1). Periode tidur
manusia normal terdiri dari periode empat sampai enam kali 90- sampai 100-menit
selama NREM dan REM bergantian dalam mode siklus.3,4 NREM dibagi menjadi tiga
tahap — N1, N2 dan N3 — yang masing-masing menyumbang sebanyak 2% untuk
5%, 45% hingga 55%, dan 15% hingga 20% dari total periode tidur. Tahap N1, atau
"tidur ringan", menandai masuknya tidur dari keadaan terjaga atau terbangun dan
ditandai dengan gelombang theta tegangan rendah (4-8 Hz) pada EEG. Dibandingkan
dengan N1, tahap N2 ditandai dengan gelombang amplitude yang lebih lambat, lebih
tinggi dengan K-kompleks dan sleep spindle pada EEG. Selama tahap N3, terdapat
ambang yang sangat tinggi untuk dapat terbangun dengan gelombang delta amplitudo
tinggi (0,5-2 Hz) pada EEG. Karena alasan ini, tahap N3 disebut sebagai "gelombang
lambat" atau "tidur nyenyak/dalam" (dan sebelumnya dikenal sebagai tahap 3 dan 4
di bawah sistem Rechtschaffen dan Kales). 4 Tahap N3 perannya penting peran dalam
proses restoratif, seperti konsolidasi memori.
Gambar 1. Hipnogram orang dewasa sehat yang menunjukkan transisi tahapan tidur. REM
menunjukkan tidur rapid eye movement.
REM mengisi 20% hingga 25% dari total periode tidur dan terdiri dari REM
tonik, yang terjadi sepanjang periode REM, dan intermittent bursts of phasic REM.
REM tonik ditandai dengan atonia otot rangka dan amplitudo tegangan rendah,
frekuensi beta campuran dan gelombang theta "saw tooth" pada EEG. REM fasik
ditandai dengan gerakan mata yang cepat, bersama dengan variabilitas otonom dan
otot somatic berkedut. Otak sangat aktif selama tidur REM dan berhubungan dengan
mimpi dan pembelajaran persepsi.3,5
Ritme Sirkadian
Siklus sleep-wake diatur oleh dua proses yang seimbang dan berlawanan. Pendorong
untuk tidur, yang meliputi kantuk, onset tidur, dan promosi tidur dimodulasi oleh
homeostat tidur (process S). process S terutama dipicu oleh neurotransmiter adenosin,
produk akhir metabolisme ATP (energi) yang meningkat sebagai fungsi saat
terbangun. Transisi dari bangun ke tidur terjadi pada ambang homeostatis tertentu.
Sekresi harian melatonin oleh kelenjar pineal juga berperan dalam promosi tidur.
Bangun, di sisi lain, didorong oleh pacemaker sirkadian (process C). Terletak di
nukleus suprakiasma, process C dimodulasi oleh jalur saraf yang menghamba
pelepasan melatonin melalui paparan cahaya terang. Beberapa faktor lainnya yang
relevan secara klinis yaitu neurotransmiter yang meningkatkan kesadaran termasuk
orexin (juga dikenal sebagai hypocretin), asetilkolin, serotonin, norepinefrin,
dopamin, dan histamin.
Tubuh mengalami konstelasi perubahan fisiologis selama tidur yang berperan penting
dalam pertumbuhan dan homeostasis. Perubahan ini sangat signifikan pada pasien
dengan hemodinamik tidak stabil, gangguan mekanisme pertahanan, dan keterbatasan
cadangan fisiologis; karenanya, perubahan ini mungkin sangat penting pada pasien
dengan penyakit kritis yang mungkin menderita konsekuensi berat dari fluktuasi
fisiologis yang tiba-tiba.
Termoregulasi
Suhu tubuh dan termoregulasi diatur, sebagian, oleh: tidur dan ritme sirkadian. Pada
subjek normal, suhu tubuh inti mencapai puncaknya di sore hari dan menurun
sebelum onset tidur. Sensitivitas suhu menurun selama NREM, dan REM ditandai
dengan poikilotermia (variasi suhu tubuh berdasarkan lingkungan) dan hilangnya
respon kompensasi total, seperti menggigil dan berkeringat. Suhu tubuh mencapai
titik nadir selama bagian akhir tidur, diikuti kenaikan suhu sebelum terbangun.
Fisiologi Pernapasan
Selama tidur, kontrol volunter terhadap pernapasan hilang dan hypocix dan
hypercapnic ventilator drive berkurang.6 Daya tanggap terhadap kadar oksigen
rendah dan karbon dioksida yang tinggi paling rendah selama REM dibandingkan
dengan tidur NREM. Respirasi sangat bervariasi pada setiap tahap tidur. Transisi dari
terbangun ke N1 ditandai dengan penurunan ventilasi semenit karena variasi volume
tidal dan laju pernapasan.11 Saat tidur NREM berlangsung, hipoventilasi dan
peningkatan 3 hingga 7 mmHg kadar PCO2 arteri terjadi sebagai akibat dari beberapa
faktor, termasuk relaksasi otot pernapasan, peningkatan resistensi jalan napas, dan
penurunan dorongan pernapasan sentral Ventilasi semenit juga menurun pada N2 dan
N3. Selama tidur REM, laju pernapasan dan volume tidal mengalami variasi yang
luas, dengan peningkatan variabilitas selama rentetan REM fasik.
Fisiologi Kardiovaskular
Fisiologi Gastrointestinal
Fisiologi Endokrin
Hormon pertumbuhan dan prolaktin, hormon anabolik diperlukan untuk diferensiasi
dan proliferasi sel, mengikuti siklus sleep-wake dan ditekan selama pembatasan
tidur.15 Hormon pertumbuhan (GH) memuncak selama tahap awal N3, sementara
prolaktin (PRL) memuncak selama paruh kedua periode tidur. Berbeda dengan GH
dan PRL, kortisol dan hormon tiroid berfluktuasi dengan ritme sirkadian. Kadar
kortisol meningkat pada dini hari, puncaknya di pagi hari, dan menurun menjelang
malam hari, mencapai titik nadir setelah permulaan tidur. Thyroid-stimulating
hormone (TSH) mengikuti ritme sirkadian yang serupa, memuncak sebelum onset
tidur dan menurun perlahan saat tidur. Sekresi TSH dihambat oleh tidur N3 dan
meningkat dengan kurang tidur.16
Tidur di ICU
Pasien sakit kritis mengalami kualitas tidur yang buruk dan secara konsisten
melaporkan persepsi kualitas tidur buruk di ICU dibandingkan dengan di rumah.17,18
Survei pada penyintas ICU menunjukkan bahwa kurang tidur dan ketidakmampuan
untuk tidur berada pada 3 peringkat teratas sumber utama kecemasan dan stres selama
menginap di ICU (bersama dengan rasa sakit dan intubasi).
Laporan kualitas tidur yang buruk oleh pasien ICU didukung oleh berbagai
penelitian polisomnografi (PSG) 24 jam.18,22-28 Pasien dewasa yang sakit kritis tidur
terfragmentasi dibandingkan dengan orang dewasa yang sehat, dengan sekitar 50%
tidur terjadi selama siang hari.18,29-31 Freedman et al menunjukkan bahwa pasien ICU
mengalami 41 ± 28 periode tidur per 24 jam, dengan setiap periode tidur rata-rata 15
± 9 menit (Gambar 2).30 Polisomnografi pada pasien ICU ditandai dengan
peningkatan waktu terbangun dan dominasi tahap N1 dan N2, dengan kekurangan
atau tidak adanya N3 dan REM. Berarti total waktu tidur pada pasien sakit kritis
sebanding dengan orang dewasa yang sehat tetapi menunjukkan adanya variasi antar
pasien. 30-33
Singkatnya, pasien ICU umumnya mengalami gangguan tidur ringan
dengan kurangnya tidur N3 dan REM restoratif.
Gambar 2. Fragmentasi tidur pada 5 pasien yang sakit kritis. Area hitam mewakili tidur dan
area putih mewakili kondisi saat bangun. Diambil dari American Thoracic Society. Freedman NS,
Gazendam J, Leval L, et al.30
Pengukuran tidur pada pasien sakit kritis tetap menjadi penghalang penting
untuk penelitian besar tentang gangguan tidur terkait ICU. 34 Polisomnografi,
merupakan standar emas dan banyak digunakan sebagai modalitas pengukuran tidur,
melibatkan electroencephalogram (EEG), rekaman elektromiogram (EMG), dan
elektrookulogram (EOG), yang memerlukan: peralatan rumit, teknisi terampil, dan
interpretasi oleh ahli tidur.
Dibandingkan dengan PSG, aktigrafi dan BIS telah diteliti sebagai alat yang
lebih layak untuk pengukuran tidur objektif pada pasien ICU. Aktigrafi melibatkan
perangkat jam tangan otomatis yang mengevaluasi gerakan pasien untuk mengukur
periode sleep-wake dan efisiensi tidur.37 Aktigrafi secara luas dianggap sebagai
alternatif berbiaya rendah dan minimal invasif untuk pengukuran sleep-wake. Namun,
aktigrafi 24 jam pada pasien ICU telah terbukti secara konsisten melebih-lebihkan
total waktu tidur dibandingkan dengan PSG.33,37 Perbedaan ini kemungkinan
disebabkan oleh ketidakmampuan aktigrafi untuk menguraikan antara tidur dan
terbangun tanpa bergerak pada sebagian besar pasien ICU yang tidak aktif dan
terbaring di tempat tidur.33,37
Kebisingan
Kebisingan derajat tinggi sering terjadi di ICU. Kebisingan biasanya dilaporkan oleh
pasien ICU sebagai pengganggu tidur yang signifikan dan paling sering disebabkan
oleh percakapan staf, alarm, overhead pages, telepon, dan televisi.26,50,51
Environmental Protetion Agency merekomendasikan tingkat kebisingan rumah sakit
maksimum 45 desibel (dB) di siang hari dan 35 dB di malam hari. 52 Di ICU, derjat
kebisingan puncak siang dan malam hari secara rutin melebihi 80 dB, merupakan
ambang batas yang terkait dengan gangguan tidur pada sakit kritis pasien. 22,30,32,53-56
Namun, rekaman PSG 18 hingga 24 jam pada pasien ICU menghubungkan hanya
11% hingga 18% kondisi terstimulasi dan 17% hingga 24% terbangun karena
kebisingan lingkungan.30,32,55 Menariknya, subyek yang sehat mengalami lebih banyak
waktu terbangun karena kebisingan ketika dipaparkan dengan kondisi ICU,
menunjukkan bahwa pasien yang sakit kritis mungkin lebih sensitive terhadap
kebisingan lingkungan saat mereka pulih.32,57
Memang, interaksi pasien sering diperlukan untuk pasien ICU yang tidak
stabil secara fisiologis. Namun, perawat telah melaporkan bahwa faktor yang dapat
dimodifikasi, seperti waktu kunjungan, mandi, pergantian pasien, dan penggantian
linen, sering mencegah pasien ICU untuk mendapatkan konsolidasi tidur.59
Cahaya
Cahaya memainkan peran penting dalam sinkronisasi ritme sirkadian. Kadar cahaya
1500 lux dapat mengganggu tidur dan 100 hingga 500 lux diperlukan untuk menekan
sekresi melatonin (cahaya dalam ruangan normal ~ 180 lux). 60,61 Meskipun cahaya
dapat mengganggu tidur pada pasien ICU, penyintas ICU melaporkan bahwa cahaya
lebih tidak mengganggu tidur dibandingkan kebisingan dan aktivitas perawatan
pasien.51 Laporan ini didukung oleh pengukuran cahaya berkelanjutan di 4 ICU, di
mana: rata-rata tingkat nokturnal maksimum 128 hingga 1445 lux cukup tinggi untuk
menekan melatonin, tetapi di bawah ambang batas yang diperlukan untuk
mengganggu tidur.61 Tidak bergantung pada kadar cahaya, sekresi nokturnal
melatonin pada pasien ICU terganggu atau ditekan, menunjukkan bahwa faktor lain
selain terang dan gelap mempengaruhi ritme sirkadian pada populasi ini.62,63
Ventilasi Mekanis
Selama dekade terakhir, dampak mode ventilasi pada tidur telah mendapat
perhatian khusus. Parthasarathy dan Tobin termasuk yang pertama meneliti hubungan
antara susunan tidur dan mode ventilator. 65 Studi mereka didasarkan pada teori bahwa
pressure support ventilation (PSV) menyebabkan hiperventilasi dan penurunan kadar
PCO2, sehingga berpotensi menyebabkan apnea sentral dan terstimulasi saat tidur.
Para peneliti melakukan pengukuran PSG pada satu malam pada 11 pasien sakit kritis
yang menerima ventilasi mekanik, bergantian 2 jam masing-masing PSV, bantuan
assit control ventilation (ACV), dan PSV plus ventilasi dead space. Seperti yang
diperkirakan, PSV menyebabkan lebih banyak terstimulasi dan terbangun per jam
daripada ACV (79 ± 7 vs. 54 ± 7, P < .05). Penambahan dead space
(mempertahankan kadar PCO2) yang lebih tinggi secara signifikan mengurangi
gangguan tidur (P <.01) dan apnea sentral (P <.01). Toublanc dkk menambahkan
temuan ini, menunjukkan bahwa pasien yang menerima PSV pada tingkat tekanan
yang lebih rendah (6 cmH2O) juga mengalami gangguan tidur yang signifikan
dibandingkan dengan mereka yang menerima ACV.72 Namun, kualitas tidur tidak
berbeda ketika Cabello dkk membandingkan PSV yang disesuaikan dengan dokter,
PSV yang disesuaikan secara otomatis, dan ACV, kemungkinan karena kecocokan
dapat lebih mencocokkan pengaturan ventilator dengan mekanika pasien.55 Oleh
karena itu, menyesuaikan ventilator untuk memaksimalkan kenyamanan pasien
mungkin lebih bergantung pada pengaturan ventilator dan bukan mode ventilator,
tetapi jawaban akhir tetap tidak pasti.
Penelitian yang lebih baru berfokus pada gangguan tidur dan disinkroni
pasien-ventilator dengan penelitian proportional-assist ventilation (PAV).66,73 Tidak
seperti PSV, di mana tekanan yang sama diberikan pada setiap napas, PAV
menyesuaikan aliran dan volume berdasarkan resistensi pernapasan, elastisitas, dan
upaya inspirasi. Dalam penelitian crossover yang membandingkan PSV dan PAV,
PAV dikaitkan dengan peningkatan sinkronisasi pasien-ventilator, volume tidal, dan
ventilasi semenit, mengakibatkan penurunan terstimulasi saat tidur dan peningkatan
tidur REM dan N3.66 Namun, ketika diterapkan hanya pada mereka yang memiliki
sinkronisasi pasien-ventilator yang baik, PAV tidak menghasilkan peningkatan
kualitas tidur yang signifikan dibandingkan dengan PSV.73
Ada sedikit data yang menggambarkan tidur pada pasien ICU yang menerima
non-invasive positive pressure (NPPV). PSG 24 jam awal pada 4 pasien yang
menerima NPPV menunjukkan sering terbangun dan tidur REM dan N3 hampir tidak
ada.74 Namun, pada pasien dengan hipoventilasi (misalnya sindrom hipoventilasi
obesitas, penyakit neuromuskular, PPOK), NPPV nokturnal dapat meningkatkan
kualitas tidur sambil mencegah hipoventilasi yang memburuk.
Singkatnya, evaluasi mode ventilasi dan kualitas tidur masih merupakan
bidang yang baru muncul, dan keputusan harus terindividualisasi untuk
mengoptimalkan mekanika pasien-ventilator.
Obat-Obatan
Beberapa obat ICU yang umum digunakan memiliki efek mendalam pada
kuantitas dan kualitas tidur (Tabel 1).76,77 Agen ini bekerja melalui berbagai jalur
neurotransmitter, reseptor, dan modulator. Meskipun interaksi obat-obatan ini dengan
tidur sulit untuk diteliti pada pasien ICU, efeknya pada subyek normal telah
dijelaskan dengan baik. Penghentian obat juga dapat mengubah susunan tidur dan
memicu delirium dan harus dihargai pada setiap pasien yang menggunakan obat
jangka panjang yang mempengaruhi tidur.
Sedasi digunakan pada banyak pasien ICU, terutama pada mereka yang
membutuhkan ventilasi mekanik. Terlepas dari sifat sedatif, ansiolitik, dan
analgesiknya, benzodiazepin dan opiat berpotensi mengganggu tidur. Benzodiazepin
memberikan sedasi melalui jalur GABA-ergic tetapi meningkatkan N2 dan
mengurangi tidur N3 pada dosis rendah pada subyek dalam keadaan sehat. 78,79
Opiat
seperti fentanil dan morfin meningkatkan onset tidur pada orang dewasa sehat, tetapi
menghambat REM, sangat menekan N3, memprovokasi terbangun saat malam hari,
dan dapat memicu apnea sentral.80-84 Baik benzodiazepin dan opiat berhubungan
dengan delirium pada pasien sakit kritis, bahkan pada dosis rendah.1,85.
Terakhir, penggunaan obat di luar label dengan efek samping penenang untuk
mengobati insomnia pada pasien ICU juga dapat mengganggu kualitas tidur. 90 Obat-
obatan seperti diphenhydramine bersifat deliriogenik.91 Selain itu, antidepresan
penenang seperti trazodone (bantuan tidur yang paling biasa diresepkan di Amerika
Serikat91), amitryptyline, dan mirtazapine belum diteliti untuk digunakan pada
insomnia dan memiliki potensi efek samping yang penting termasuk hipotensi,
aritmia, dan sindrom antikolinergik. Penggunaan obat-obatan ini untuk memicu tidur
telah dihalangi oleh panel konsensus NIH mengenai insomnia kronis. Mengingat
banyaknya digunakan obat penenang di ICU, hanya ada sedikit data mengenai
penggunaan obat penenang untuk mengatasi insomnia. Namun, mengingat efek obat
yang biasa digunakan dalam ICU (misalnya, benzodiazepin, narkotika, dan propofol)
pada delirium, obat-obatan ini tidak boleh digunakan untuk mengobati insomnia.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami potensi risikonya dan manfaat
dari obat-obatan yang mempromosikan tidur yang lebih baru di ICU.
Kurang tidur di ICU dapat diperburuk oleh faktor-faktor yang melekat pada
penyakit kritis. Nyeri, gejala yang sangat umum pada pasien yang sakit kritis,
berkontribusi terhadap terbangun selama tidur.92-95 Kecemasan dan stres karena
ketidakbiasaan dengan lingkungan ICU, ketidakmampuan untuk berbicara, atau
penyakit juga dapat berkontribusi pada kurangnya tidur.93,94,96
Penyakit yang sudah ada sebelumnya juga dapat menyebabkan kualitas tidur
yang buruk di ICU. PPOK misalnya, adalah komorbiditas umum mekanika pasien
ICU berventilasi dan terkait dengan latensi tidur yang berkepanjangan dan penurunan
total waktu tidur.99 Hipoventilasi dan hipoksia terkait tidur pada PPOK memicu
kondisi terstimulasi saat tidur dan mengganggu tidur REM dan N3. 99-105 Pasien stroke
dan pasien gagal jantung kongestif (CHF) dengan fungsi sistolik ventrikel kiri yang
turun sering menunjukkan pernapasan Cheyne-Stokes di malam hari, yang sangat
mengganggu tidur.106,107 Akhirnya, gangguan tidur seperti apnea tidur obstruktif dan
sindrom hipoventilasi obesitas meningkat prevalensinya pada populasi ICU dan dapat
menyebabkan fragmentasi tidur yang berat.108,109
Gangguan Ventilasi
Ada sedikit data mengenai efek kurang tidur pada sistem pernapasan pada pasien
sakit kritis. Namun, penelitian pada pasien non-ICU telah menunjukkan bahwa
perubahan pernapasan dapat terjadi setelah kurang tidur sedikit saja. 110 Misalnya,
setelah 1 malam tanpa tidur, pasien PPOK mengalami penurunan FEV1 dan FVC
yang signifikan, dan penurunan tekanan inspirasi maksimal.111 Selain itu, peserta
sehat dengan 24 sampai 30 jam kurang tidur menunjukkan peningkatan kelelahan otot
pernapasan yang signifikan112 dan penurunan 17% hingga 24% respon ventilasi
terhadap hiperkapnea, menunjukkan adanya peran potensial dari kurang tidur dalam
mekanisme kemoreseptor ventilasi;113-116 namun, hasil ini tidak didukung secara
universal.117 Akhirnya, gangguan tidur menyebabkan kolapsnya saluran napas atas
yang lebih besar, yang dapat memicu apnea obstruktif dan berpotensi menyebabkan
masalah setelah ekstubasi.118,119 Meskipun belum diteliti, data ini mungkin
menunjukkan bahwa gangguan tidur berkepanjangan dan berkelanjutan yang khas
pada pasien ICU mungkin memiliki efek merugikan pada pernapasan, terutama pada
pasien dengan morbiditas paru yang sudah ada sebelumnya dan kesulitan menyapih
dari ventilasi mekanik.
Gangguan Kardiovaskular
Hubungan antara kurang tidur dan morbiditas kardiovaskular sudah diteliti tetapi
masih kurang dipahami.120 Penelitian telah menunjukkan bahwa subyek normal
dengan tidur mengalami peningkatan simpatis dan penurunan tonus parasimpatis, dan
peningkatan
Gangguan Imunologi
Hubungan antara kekebalan dan tidur pada manusia kurang jelas dan lebih
kompleks lagi.128,129 Sejumlah penelitian telah menunjukkan adanya respons yang
dilemahkan terhadap vaksinasi130,131 dan gangguan pada penanda dan modulator
kekebalan setelah kekurangan tidur. Namun, temuan tersebut memiliki relevansi
klinis yang dipertanyakan karena datanya tidak konsisten dan/atau kurangnya korelasi
mikrobiologis atau morbiditas. Kurang tidur selama dua malam (63 jam terjaga) pada
subyek normal menyebabkan penurunan linier pada sel T-helper dan peningkatan
leukosit, monosit, dan aktivitas natural killer cell,132 tetapi kurang tidur dalam 1
malam, pembatasan tidur gelombang lambat selektif, atau pembatasan tidur
berkepanjangan tidak menghasilkan hasil yang serupa.127,133 Demikian pula, natural
killer cell mencapai titik nadir setelah 1 malam tanpa tidur tetapi meningkat secara
substansial selama malam kedua dari kurang tidur.132 Kurang tidur sebagian dapat
menekan sekresi IL-2,133, juga sitokin pro-inflamasi lainnya seperti molekul adhesi
antar sel 1 (ICAM-1), E-selectin, interleukin (IL)-1β, IL-6, dan TNF-α distimulasi
setelah 1 malam tanpa tidur.125,134 Data ini menunjukkan bahwa durasi kurang tidur
mempengaruhi imunitas seluler dan fungsi sitokin, tetapi mekanisme dan implikasi
klinis tidak diketahui. Jelas, kesenjangan pengetahuan yang signifikan tetap perlu
diisi mengenai fisiologi tidur dan imun sebelum mekanisme serupa dapat dijelaskan
pada sakit kritis.
Ada sedikit data yang dipublikasikan tentang efek gangguan tidur terkait ICU
pada hormon pertumbuhan (GH) atau prolaktin (PRL). Penelitian telah menunjukkan
bahwa tingkat GH dan PRL meningkat di awal penyakit kritis. 144 Akan tetapi,
beberapa hari setelah timbulnya penyakit kritis, baik GH dan PRL turun dan mungkin
memainkan peran dalam pengecilan otot dan gangguan kekebalan. 144 Efek inhibisi
kuat dari kurang tidur terhadap pelepasan GH dan PRL dapat mempengaruhi proses
ini, terutama selama penyakit kritis yang berkepanjangan dan tidur yang terkait
fragmentasi, yang menjadi jalan menarik untuk penelitian masa depan.137
Delirium
Hubungan antara kurang tidur dan delirium di ICU penting untuk diketahui.
Sebagian besar pasien ICU mungkin mengalami kurang tidur dan delirium, terutama
di antara mereka yang berusia lanjut dan / atau berventilasi mekanis. 161 Delirium
secara independen terkait dengan kematian pasien, peningkatan biaya dan lamanya
menginap, dan gangguan kognitif jangka panjang.161-165
Gangguan Psikiatri
Gangguan stres pasca trauma (PTSD), salah satu gangguan kejiwaan yang
paling umum terjadi setelah penyakit kritis, ditandai dengan gejala membayangkan
kembali kejadian traumatis, penghindaran, mati rasa, dan hiperstimulasi mengenai
peristiwa traumatis.174 Sebuah tinjauan sistematis 12 penelitian PTSD terkait ICU
menegaskan bahwa 10% hingga 39% (median 19%) dari 1104 penyintas ICU
menderita gejala PTSD yang signifikan secara klinis selama 2 tahun setelah keluar
dari ICU.175 Prevalensi gejala PTSD terkait ICU yaitu hingga 45% pada saat keluar
ICU dan 24% pada saat 8 tahun setelah keluar dari ICU. 176 Prediktor PTSD karena
ICU diantaranya lamanya menginap, durasi ventilasi mekanik, gangguan kejiwaan
yang sudah ada sebelumnya, delirium, blokade neuromuskular, dan penggunaan
sedasi, khususnya benzodiazepin.175
Depresi juga umum terjadi setelah penyakit kritis dan berhubungan dengan
gangguan kualitas hidup dan keterlambatan kembali bekerja.177 Sebuah tinjauan
sistematis dari 14 penelitian depresi pasca-ICU menunjukkan adanya depresi yang
signifikan secara klinis pada 28% pasien dalam tahun pertama keluar dari ICU. 177
Pada penyintas ARDS, prevalensi depresi setinggi 46% pada 1 tahun 178 dan 23% pada
2 tahun179 setelah keluar dari ICU. Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa
depresi yang sudah ada sebelumnya 180 dan fungsi fisik yang buruk,180 bersama dengan
hipoglikemia terkait ICU,181 sedasi berlebihan,182 dan delirium,183 mungkin
berhubungan dengan depresi setelah keluar dari ICU.
Efek kuat dari kuantitas dan kualitas tidur terhadap mood didukung oleh
penelitian puluhan tahun.186 Beberapa penelitian telah menunjukkan gejala depresi120
dan tingkat kelelahan, kecemasan, dan stress yang meningkat187 pada subyek sehat
yang menjalani pembatasan tidur total atau parsial. Mekanisme yang mendasari
antara kurang tidur dan depresi tidak dipahami dengan baik; namun, berteori bahwa
aktivasi simpatik selama terstimulasi saat tidur berpotensi menyebabkan respons stres
yang mendasari PTSD dan gangguan kecemasan nonspesifik. Demikian juga,
gangguan tidur pada orang sakit kritis dapat berkontribusi pada gangguan psikiatri
pasca-ICU, tetapi hubungan yang tepat mungkin sulit untuk dipahami pada pasien
dengan beberapa komorbiditas dan stresor terkait ICU. Penelitian mungkin justru
perlu berfokus pada efek promosi tidur di ICU pada hasil psikologis pasca-ICU.
Disfungsi Kognitif
Banyak penelitian menggambarkan berbagai defisit neurokognitif jangka
pendek dan panjang setelah penyakit kritis, termasuk gangguan memori, perhatian,
konsentrasi, bahasa, kecepatan perhatian, kemampuan visuospasial, dan fungsi
eksekutif (misalnya, pengambilan keputusan, organisasi, dan perencanaan). 189
Patofisiologi defisit ini belum sepenuhnya dijelaskan, tetapi beberapa mekanisme
telah diusulkan, termasuk hipoksemia, hipotensi, delirium, obat penenang, dan
hiperglikemia.173
Kesimpulan
Penyakit kritis ditandai dengan tidur yang sangat abnormal, dengan gangguan yang
sering, perubahan ritme sirkadian, dan pengurangan tidur N3 dan REM restoratif.
Gangguan ini disebabkan oleh faktor-faktor yang melekat pada penyakit kritis, seperti
tingkat keparahan penyakit dan ventilasi mekanis, obat penenang, dan faktor
lingkungan seperti kebisingan, cahaya, dan interaksi perawatan pasien. Meskipun
penelitian selama beberapa dekade pada subyek yang sehat menunjukkan banyak
gangguan fisiologis dan psikologis setelah kurang tidur, tetap terdapat kelangkaan
data mengenai kontribusi relatif dari gangguan tidur terkait ICU terhadap pemulihan
dari penyakit kritis, termasuk penyapihan dari ventilasi mekanis, gangguan
kardiovaskular, mekanisme pertahanan inang, serta kondisi kognisi dan fisik serta
kesehatan mental pasca-ICU. Dengan pengetahuan kita saat ini tentang kualitas tidur
yang buruk pada penyakit kritis, dan implikasi potensialnya, optimalisasi tidur di ICU
adalah langkah yang perlu dilakukan sebagai luaran penelitian yang dilakukan di
bidang perawatan kritis.