Anda di halaman 1dari 8

Materi Kuliah Umum "Land Economics and Real Estate"

Pengelolaan Sumber Daya Lahan Untuk Mewujudkan Pembangunan


Perkotaan yang Inklusif dan Berkelanjutan
Oleh: A.Yunastiawan Eka Pramana, S.T., M.Sc.
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
Institut Teknologi Nasional Yogyakarta

Dipaparkan di Universitas Hindu Indonesia, Denpasar, Bali, Indonesia


Pada Tanggal 17 Oktober 2019

A.Pendahuluan

Kota yang inklusif dan berkelanjutan merupakan salah satu tujuan utama pembangunan
perkotaan, yang tertuang di dalam komitmen The New Urban Agenda. Komitmen yang disepakati
dalam forum Habitat III di Quito, Ekuador tahun 2016 yang lalu ini memberikan penekanan pada
prinsip "left no one behind" di dalam upaya pembangunan kawasan perkotaan. Isu hunian yang
layak serta aksesibilitas terhadap layanan dasar menjadi isu yang penting di dalam mewujudkan
komitmen untuk menciptakan kawasan perkotaan yang inklusif dan berkelanjutan.

UN Habitat memprediksi 60% dari populasi dunia akan tinggal di kawasan perkotaan (UN Habitat,
2016b). Dengan keterbatasan daya tampung dan daya dukung yang dimiliki oleh suatu kota, laju
urbanisasi yang terjadi di kota-kota di negara sedang berkembang berpotensi menimbulkan
berbagai masalah yang pada ujungnya menyebabkan perkembangan kawasan perkotaan tidak
berkelanjutan (UN Habitat, 2016a). Sumber daya yang ada di kawasan perkotaan, khususnya
sumber daya lahan yang bersifat sangat terbatas perlu dikelola sedemikian rupa, sehingga
perkembangan fisik perkotaan tidak menjadi sebuah "race to the bottom", melainkan bergerak
menuju terwujudnya kota yang inklusif dan berkelanjutan.

Isu pengelolaan sumber daya lahan menjadi salah satu isu yang penting untuk mewujudkan kota
yang inklusif dan berkelanjutan. Mekanisme pasar lahan yang mengalokasikan sumber daya
lahan yang ada untuk dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan seringkali tidak dapat bekerja
secara efektif dan efisien. Kegagalan mekanisme pasar lahan dalam mengalokasikan sumber
daya yang ada ini terwujud melalui pertumbuhan permukiman-permukiman informal hingga
persoalan housing backlog, yang saat ini menjadi salah satu isu nasional yang mendesak untuk
ditangani.

Tulisan ini mencoba menguraikan sebuah argumen mengenai pentingnya pengelolaan sumber
daya lahan yang ada, khususnya di kawasan perkotaan agar tujuan pembangunan perkotaan
untuk menciptakan kota yang inklusif dan berkelanjutan dapat terwujud. Tulisan ini dibagi ke
dalam tiga tema besar, yakni karakteristik ekonomi sumber daya lahan, alokasi sumber daya
lahan oleh industri real estate, serta permasalahan dan solusi yang dihadapi di dalam
pengelolaan sumber daya lahan untuk menciptakan kota yang inklusif dan berkelanjutan.

B.Karakteristik Ekonomi Sumber Daya Lahan

Halaman 1 dari 8
Sumber daya lahan merupakan sumber daya yang memiliki karakteristik yang berbeda
dibandingkan dengan sumber daya lainnya (Alexander, 2014). Sumber daya lahan memiliki
karakteristik utama sebagai sumber daya yang bersifat tetap (fix), tidak dapat dipindahkan
(immovable), tidak dapat tergantikan (non-substitutability), dan memiliki eksternalitas yang tinggi
(Jacobus, 2010).

Sumber daya lahan merupakan sumber daya yang tidak dapat diproduksi. Hal ini menyebabkan
sumber daya lahan menjadi sumber daya yang sifatnya sangat terbatas. Upaya untuk
"memproduksi" lahan melalui reklamasi, misalnya, tidak mampu meningkatkan volume supply
lahan secara signifikan. Karena sifatnya yang demikian, maka nilai dari suatu bidang lahan lebih
banyak ditentukan oleh sisi permintaan (demand) dibandingkan penawaran (supply) (Evans,
2004). Suatu bidang lahan dapat memiliki nilai yang lebih tinggi apabila bidang lahan tersebut
lebih banyak diminati dibandingkan dengan bidang lahan lainnya.

Lahan juga merupakan sumber daya yang tidak dapat dipindahkan secara fisik. Apabila
seseorang membeli sebidang lahan seluas 100 m2 di lokasi yang berjarak kurang lebih 1 km dari
tempat tinggalnya, misalnya, maka si pembeli tersebut tidak bisa kemudian membawa bidang
lahan yang telah dibeli ke tempat ia tinggal. Oleh sebab itu, beberapa ahli berpendapat bahwa
kepemilikan terhadap suatu bidang lahan tidak dapat diartikan sebagai kepemilikan fisik,
melainkan kepemilikan atas seperangkat hak yang melekat pada suatu bidang lahan.
Seperangkat hak tersebut meliputi: hak untuk menggunakan, hak untuk mengambil manfaat
ekonomi, hak untuk melakukan perubahan di atas suatu bidang lahan, hak untuk mengalihkan
hak atas suatu bidang lahan, dan hak untuk membatasi akses orang lain terhadap suatu bidang
lahan (Payne, 1997). Ragam status kepemilikan lahan pada dasarnya merupakan kombinasi dari
beberapa atau seluruh hak yang melekat atas suatu bidang lahan tersebut.

Karakteristik sumber daya lahan yang bersifat tidak dapat dipindahkan menyebabkan suatu
bidang lahan pada dasarnya bersifat unik dan tidak dapat tergantikan secara fisik oleh bidang
lahan yang lain. Meskipun secara nilai ekonomi maupun aksesibilitas suatu bidang lahan dapat
digantikan oleh bidang lahan yang lain, namun terdapat satu faktor yang menyebabkan suatu
bidang lahan tidak dapat tergantikan, yakni faktor lokasi. Lokasi suatu bidang lahan bersifat unik,
dalam artian tidak ada dua bidang lahan yang lokasinya dapat saling bertumpukan. Setiap bidang
lahan menempati lokasi yang berbeda dengan bidang lahan yang lain di atas permukaan bumi.
Faktor lokasi ini oleh Alexander dibedakan menjadi dua, yakni faktor lokasi absolut dan faktor
lokasi relatif (Alexander, 2014). Faktor lokasi absolut menjelaskan kedudukan suatu bidang lahan
terhadap fitur-fitur fisik alamiah rupa bumi. Sementara faktor lokasi relatif menjelaskan kedudukan
suatu bidang lahan terhadap fitur-fitur buatan manusia, seperti kedudukan suatu bidang lahan
terhadap fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, atau fasilitas komersial yang dibuat oleh
manusia.

Sifat keempat dari sumber daya lahan adalah memiliki eksternalitas yang tinggi. Pemanfaatan
terhadap suatu bidang lahan secara langsung ataupun tidak langsung pasti memberikan dampak
bagi bidang lahan yang ada di sekitarnya. Sebagai ilustrasi, ketika di atas suatu bidang lahan
yang awalnya kosong kemudian diubah menjadi cafe atau restoran oleh pemiliknya, maka
aktivitas yang dilakukan dengan memanfaatkan bidang lahan tersebut pasti memberikan dampak

Halaman 2 dari 8
kepada pengguna lahan di sekitarnya, seperti kebisingan dan peluang ekonomi untuk melakukan
aktivitas pendukung bagi keberadaan restoran dan cafe tersebut.

Karakteristik sumber daya lahan yang demikian menimbulkan konsekuensi mengenai bagaimana
sumber daya tersebut dialokasikan melalui mekanisme pasar lahan. Konsekuensi tersebut
secara umum meliputi dua hal, yakni terkait bagaimana nilai lahan diciptakan serta dimensi
spekulatif dari pasar lahan.

Nilai lahan merupakan hasil dari konstruksi sosial (Alterman, 2012). Jika pada komoditas lain,
nilai suatu komoditas ditentukan dari nilai faktor-faktor produksi yang menjadi input bagi proses
produksi komoditas tersebut, maka hal ini tidak berlaku bagi sumber daya lahan. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, sumber daya lahan tidak dapat diproduksi, sehingga mengukur nilai lahan
berdasarkan faktor-faktor yang terlibat di dalam proses produksi menjadi tidak relevan. Nilai lahan
lebih merupakan hasil dari konstruksi sosial. Tiap-tiap kelompok masyarakat memiliki konstruksi
yang berbeda mengenai nilai lahan. Bagi masyarakat di Eropa, lahan-lahan yang berada di
sekitar taman kota cenderung memiliki nilai lebih tinggi. Kondisi berbeda terjadi di Indonesia,
dimana lahan-lahan yang berada di sekitar taman kota belum tentu memiliki nilai lebih tinggi.

Sebagai sebuah hasil dari konstruksi sosial, nilai lahan, dan nilai properti pada umumnya,
ditentukan oleh faktor-faktor yang secara implisit membentuk nilai bagi suatu bidang lahan
(Rosen, 1974). Bagi masyarakat di Indonesia, bidang-bidang lahan yang berada di sisi jalan
utama dianggap memiliki keuntungan apabila lahan tersebut dipergunakan untuk menjalankan
usaha. Dalam kasus ini, keberadaan jalan utama memberikan eksternalitas positif bagi bidang-
bidang lahan yang terletak di sisi kiri dan kanannya, dimana eksternalitas positif tersebut di-
internalisasi ke dalam nilai lahan yang lebih tinggi dibandingkan bidang-bidang lahan yang tidak
berbatasan langsung dengan jalan utama.

Faktor-faktor yang secara implisit memberikan pengaruh bagi nilai lahan menurut Alterman
setidaknya terdiri dari dua hal: investasi publik oleh pemerintah berupa penyediaan dan
peningkatan infrastruktur serta peraturan terkait penggunaan lahan yang diberlakukan oleh
pemerintah (Alterman, 2012). Penyediaan infrastruktur, khususnya infrastruktur transportasi
publik mampu meningkatkan aksesibilitas suatu bidang lahan. Tingginya tingkat aksesibilitas
suatu bidang lahan membuat potensi perputaran uang di bidang lahan tersebut semakin tinggi,
sehingga tingkat permintaan terhadap bidang lahan tersebut juga ikut meningkat. Mengingat nilai
lahan lebih banyak digerakkan dari sisi permintaan (demand), maka peningkatan aksesibilitas
terhadap suatu bidang lahan dapat menyebabkan kenaikan nilai pada bidang lahan tersebut
(Efthymiou & Antoniou, 2013). Peraturan terkait penggunaan lahan dapat memberikan pengaruh
terhadap nilai lahan secara positif (windfall) maupun negatif (wipeout). Pemberlakuan Urban
Growth Boundary pada kawasan perkotaan yang tumbuh cepat, misalnya, dapat meningkatkan
nilai lahan pada wilayah yang berada di dalam Urban Growth Boundary tersebut (Brueckner,
2006). Penetapan UGB membatasi supply lahan yang dapat dikembangkan, sekaligus
meningkatkan demand terhadap lahan-lahan yang ada di dalam UGB, sehingga nilai lahan pada
area-area tersebut meningkat. Upaya pemerintah untuk melakukan upzoning pada suatu
kawasan, misalnya, dapat mengarahkan pelaku usaha dan pengembang untuk beraktivitas di
kawasan tersebut. Sebagai dampaknya, demand terhadap kawasan-kawasan yang mengalami

Halaman 3 dari 8
upzoning meningkat, dan dengan demikian memberikan efek positif berupa peningkatan nilai
lahan pada kawasan tersebut (Zhou, McMillen, & McDonald, 2008).

Sementara karakteristik sumber daya lahan yang bersifat terbatas dan tidak dapat diproduksi
menyebabkan supply lahan untuk penggunaan spesifik merupakan sebuah sumber daya yang
langka. Tanpa adanya suatu kondisi force majeur yang cukup berarti, nilai lahan pada kawasan-
kawasan dengan tingkat demand yang tinggi akan mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Kondisi inilah yang seringkali menempatkan sumber daya lahan sebagai obyek investasi dan
spekulasi. Akuisisi terhadap suatu bidang lahan seringkali bukan dilakukan dengan tujuan untuk
mengalokasikan bidang lahan tersebut ke dalam penggunaan yang sesuai dengan prinsip "the
highest and best use". Akuisisi yang dilakukan lebih bertujuan spekulatif, dimana pemilik lahan
menunda pemanfaatan atas suatu bidang lahan dan berharap akan terjadinya kenaikan nilai
terhadap lahan tersebut di masa yang akan datang (Balchin, Paul N, Isaac, David, Chen, 2000).
Dengan demikian, pada suatu waktu, pemilik lahan dapat melepaskan lahan yang dimilikinya
kepada orang lain dengan mendapatkan keuntungan berupa kenaikan nilai dibandingkan ketika
ia melakukan akuisisi terhadap lahan tersebut.

Rencana pengembangan fasilitas publik skala besar serta kebijakan pemerintah untuk
berinvestasi melalui penyediaan infrastruktur sering menyebabkan lahan-lahan di sekitarnya
menjadi obyek spekulasi. Kasus yang terjadi di Yogyakarta bagian utara, dapat memberikan
ilustrasi bagi kondisi ini. Rencana pembangunan Kampus Universitas Islam Indonesia di bagian
utara Yogyakarta pada medio 1990-an telah mendorong akuisisi lahan-lahan di sekitar calon
lokasi pembangunan kampus oleh spekulan. Lahan-lahan tersebut kemudian dijual kembali
kepada investor yang melihat peluang bisnis berupa penyediaan hunian bagi mahasiswa dengan
harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan ketika akuisisi lahan pertama kali dilakukan. Kasus
serupa terjadi pada rencana pembangunan kampus baru Universitas Respati di Kawasan Tajem
dan kampus baru Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Pajangan, Kabupaten Bantul.

Kebijakan pemerintah dalam bidang penataan ruang juga seringkali menimbulkan perilaku
spekulatif. Dalam kasus yang ditemui di bagian utara Yogyakarta, lahan-lahan yang berada di
kawasan hijau yang diperuntukkan bagi aktivitas pertanian namun berada di kawasan yang
berkembang dengan cepat telah diakuisisi oleh spekulan-spekulan lahan. Kondisi saat ini belum
memungkinkan spekulan tersebut untuk mendapatkan kenaikan nilai dari bidang lahan yang
dimiliki, mengingat pengembangan fisik tidak dapat dilakukan pada bidang-bidang lahan tersebut.
Namun spekulan pemilik lahan di kawasan tersebut menanti pergantian kepemimpinan di daerah
untuk mendapatkan nilai optimal dari lahan yang dimiliki, karena menurut spekulan pemilik lahan
tersebut, setiap pergantian kepemimpinan sering diikuti oleh pergantian kebijakan, yang
diharapkan mampu membuat pengembang diijinkan untuk mengembangkan kawasan di
kawasan hijau tersebut (Pramana, 2017).

C.Alokasi Sumber Daya Lahan Oleh Pasar Real Estate

Definisi real estate pada dasarnya merujuk pada definisi real property (realty). Real estate dapat
dipahami sebagai kepemilikan terhadap suatu bidang lahan beserta pengembangan ataupun
perubahan yang dilakukan di atasnya. Dalam perkembangannya, istilah real estate ini lebih
banyak dipahami dalam konteksnya sebagai sebuah industri. Industri real estate adalah sebuah

Halaman 4 dari 8
aktivitas ekonomi yang dilakukan untuk mengoptimalkan nilai (value) dari suatu properti, baik
berupa lahan, bangunan komersial, hunian, maupun bangunan untuk kepentingan industri.

Kajian di dalam bidang real estate secara umum berbicara mengenai bagaimana sumber daya
lahan yang bersifat terbatas dialokasikan oleh pelaku-pelaku dalam pasar real estate untuk
mengoptimalkan nilai dari sumber daya lahan yang ada serta mempelajari faktor-faktor yang
berpengaruh di dalam upaya untuk melakukan optimalisasi terhadap nilai sumber daya lahan
yang ada. Di dalam proses alokasi sumber daya lahan, khususnya di kawasan perkotaan inilah
berlaku prinsip kompetisi, dimana kompetisi ini dilakukan untuk mengalokasikan sumber daya
lahan yang ada sesuai dengan prinsip "the highest and best use". Berdasarkan prinsip ini, sumber
daya lahan yang ada akan dialokasikan oleh pelaku dalam pasar lahan yang mampu memberikan
penawaran tertinggi untuk mendapatkan keuntungan maupun kegunaan maksimum dengan
memanfaatkan suatu bidang lahan (Balchin, Paul N, Isaac, David, Chen, 2000; Evans, 2004).

Aplikasi prinsip the highest and best use ini dapat diilustrasikan sebagai berikut. Suatu bidang
lahan terletak di sekitar stasiun kereta api. Karena kedekatannya dengan simpul transportasi,
maka bidang lahan tersebut memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi. Tingginya tingkat
aksesibilitas pada bidang lahan tersebut dapat memberikan keuntungan baik bagi pelaku aktivitas
komersial maupun bagi pekerja yang sering melakukan perjalanan ulang alik (commuting) ke
tempat ia bekerja. Bagi pekerja yang melakukan commuting, keinginannya untuk mengakuisisi
bidang lahan tersebut dibatasi oleh pendapatan yang ia terima setiap bulan. Sementara bagi
pelaku aktivitas komersial, tingginya aksesibilitas kawasan tersebut membuat ia yakin bahwa
aktivitas komersial yang dijalankan di bidang lahan tersebut akan mampu menghasilkan
perputaran uang yang tinggi sehingga dalam tempo beberapa tahun, biaya yang akan dihabiskan
untuk melakukan akuisisi lahan dapat terpenuhi. Pada skenario ini, pelaku aktivitas sektor
komersial memenangi persaingan dengan pekerja yang melakukan commuting, sehingga bidang
lahan tersebut kemudian dialokasikan untuk aktivitas komersial.

Ilustrasi yang lain dari prinsip ini adalah pada kawasan-kawasan pertanian yang terletak di daerah
pinggiran kota yang tumbuh dengan cepat. Desakan laju urbanisasi menyebabkan tingginya
permintaan lahan untuk pengembangan perumahan. Dengan lokasi yang dekat dengan pusat
kota, maka lahan-lahan pertanian tersebut menjadi incaran bagi pengembang sebagai lokasi
pengembangan perumahan. Pengembang perumahan melihat lahan-lahan pertanian tersebut
memiliki nilai yang lebih untuk dimanfaatkan sebagai lokasi perumahan dibandingkan ketika lahan
tersebut tetap digunakan untuk aktivitas pertanian. Penawaran yang diberikan pengembang
untuk mengubah lahan pertanian tersebut menjadi perumahan akan lebih tinggi dibandingkan
nilai ekonomi yang dihasilkan apabila lahan tersebut tetap digunakan untuk aktivitas pertanian.
Dalam kasus ini, the highest and best use dari bidang-bidang lahan tersebut bergeser dari
aktivitas pertanian menjadi lokasi bagi pengembangan perumahan.

Prinsip kompetisi dalam pasar real estate, ditambah dengan karakteristik sumber daya lahan
seperti yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, menimbulkan konsekuensi terkait
bagaimana sumber daya lahan yang ada dialokasikan untuk berbagai kepentingan. Karakteristik
pasar real estate yang melibatkan sumber daya yang bersifat langka, serta dimensi spekulatif
dalam pasar real estate yang seringkali disebabkan oleh informasi yang bersifat asimetris antar
pihak-pihak yang terlibat transaksi membuat mekanisme dalam pasar real estate menjadi

Halaman 5 dari 8
mekanisme pasar yang tidak sempurna. Kondisi ini ditambah lagi dengan kecenderungan pelaku
dalam pasar real estate untuk melakukan kapitalisasi investasi yang dilakukan oleh sektor publik
untuk mendapatkan keuntungan, semisal pengembang yang menjual properti dengan nilai yang
lebih tinggi karena berlokasi di sekitar akses jalan tol, dimana seharusnya keuntungan yang
timbul dari investasi publik tersebut dikembalikan kepada publik.

Dengan kondisi demikian, maka kinerja pasar real estate memerlukan intervensi dari sektor
publik. Hal ini agar sumber daya yang ada dalam pasar real estate, berupa lahan dan properti
lainnya, dapat dialokasikan secara berkeadilan. Intervensi sektor publik utamanya perlu dilakukan
untuk dua tujuan, yakni agar pertambahan nilai yang dihasilkan dari investasi yang dilakukan oleh
sektor publik, berupa penyediaan infrastruktur maupun peraturan terkait guna lahan, dapat
diserap dan dipergunakan kembali oleh publik, serta untuk memastikan akses terhadap sumber
daya tersebut bagi kelompok-kelompok masyarakat yang secara ekonomi dan finansial
terpinggirkan.

D.Alokasi Sumber Daya Lahan Untuk Pembangunan yang Inklusif dan Berkelanjutan

Karakteristik sumber daya lahan dan mekanisme pasar real estate yang mengalokasikan sumber
daya lahan tersebut seringkali menimbulkan permasalahan, seperti terbatasnya akses
masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah terhadap hunian layak, spekulasi lahan, serta
perkembangan fisik perkotaan yang tidak terkendali. Dalam kasus di Indonesia, pemahaman
terhadap mekanisme pasar real estate ini perlu menjadi pertimbangan di dalam upaya
mewujudkan kota yang inklusif dan berkelanjutan. Perspektif ekonomi lahan menjadi salah satu
aspek yang juga patut untuk mendapatkan perhatian di dalam upaya penataan ruang.

Pemerintah dan sektor swasta seringkali berkejaran di dalam proses alokasi sumber daya lahan
di kawasan perkotaan. Proses penyusunan dan pengesahan dokumen rencana tata ruang yang
memerlukan waktu yang panjang seringkali menyediakan celah yang memungkinkan sektor
swasta untuk bergerak lebih cepat dalam memanfaatkan sumber daya lahan yang ada.
Pemangku kepentingan dalam penataan ruang perlu untuk memahami situasi ini, dan melakukan
langkah yang tepat, sehingga kota-kota di Indonesia tumbuh secara inklusif dan berkelanjutan.

Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan oleh sektor publik di dalam melakukan
intervensi terhadap pasar real estate di antaranya:

1. Internalisasi dampak dari investasi sektor publik, khususnya berupa penyediaan dan
pengembangan infrastruktur transportasi di dalam dokumen rencana tata ruang. Prinsip
yang berlaku secara umum adalah bahwa upaya sektor publik untuk meningkatkan
aksesibilitas suatu kawasan melalui pengembangan infrastruktur transportasi dapat
meningkatkan demand terhadap kawasan tersebut, yang direfleksikan melalui
peningkatan nilai lahan di suatu kawasan. Dalam studi yang dilakukan oleh Debrezion,
dkk, area dalam radius 400 meter dari simpul transportasi publik merupakan area yang
mendapatkan pengaruh yang signifikan dari keberadaan simpul transportasi publik
tersebut. Dengan kondisi ini, ketika pemerintah menetapkan untuk melakukan investasi
berupa pembangunan stasiun atau terminal bus, misalnya, peraturan yang mengatur
pemanfaatan lahan pada kawasan yang berada dalam radius 400 meter dari simpul-
simpul transportasi publik tersebut perlu untuk segera dibuat. Hal ini penting untuk

Halaman 6 dari 8
mengantisipasi perkembangan fisik pada area-area di sekitar simpul transportasi publik
yang kemungkinan besar akan terjadi seiring dengan peningkatan tingkat aksesibilitas di
kawasan tersebut.
2. Menerapkan inclusionary zoning khususnya bagi kawasan-kawasan hunian dengan
tingkat permintaan yang tinggi. Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah memiliki
peraturan terkait hunian berimbang dengan prinsip 1:2:3. Prinsip tersebut berarti dalam
setiap pengembangan 1 unit rumah untuk masyarakat berpenghasilan tinggi harus
dikembangkan pula 2 unit rumah untuk masyarakat berpenghasilan menengah dan 3 unit
rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Pentingnya prinsip penyediaan hunian
berimbang ini terkait dengan upaya untuk menjamin akses masyarakat berpenghasilan
rendah terhadap hunian yang layak pada kawasan-kawasan yang memiliki nilai ekonomi
tinggi. Pemerintah daerah perlu untuk mendorong pengembang perumahan untuk
menyediakan hunian sesuai dengan prinsip hunian berimbang melalui penetapan
peraturan daerah mengenai hunian berimbang.

E.Penutup

Sumber daya lahan merupakan sumber daya yang bersifat langka. Hal ini harus disadari oleh
seluruh pemangku kepentingan sehingga kompetisi di dalam pemanfaatan sumber daya lahan
ini tidak membawa suatu kota ke dalam "race to the bottom". Keterbatasan sumber daya lahan
ini perlu untuk dikelola dan menjadi pertimbangan penting di dalam upaya penataan ruang.
Intervensi sektor publik di dalam pemanfaatan sumber daya lahan ini perlu dilakukan, untuk
memastikan peraturan terkait alokasi sumber daya lahan di kawasan perkotaan telah
mempertimbangkan aspek demand dan supply dalam pemanfaatan lahan, serta untuk menjamin
akses masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah terhadap sumber daya lahan yang ada.
Dengan pengelolaan yang baik, maka sumber daya lahan dapat menjadi kunci di dalam
mewujudkan pembangunan perkotaan yang inklusif dan berkelanjutan.

F.Referensi

Alexander, E. R. (2014). Land-property markets and planning: A special case. Land Use Policy,
41, 533–540. https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2014.04.009

Alterman, R. (2012). Land Use Regulations and Property Values: The Windfalls Capture Idea
Revisited. In G. J. Brooks, Nancy; Donaghy, Kieran; Knaap (Ed.), The Oxford handbook of
urban economics and planning (pp. 755–786). Oxford: Oxford University Press.

Balchin, Paul N, Isaac, David, Chen, J. (2000). Urban Economics: A Global Perspective. London:
Palgrave Macmillan.

Brueckner, J. K. (2006). Government Land-Use Interventions : An Economic Analysis by.

Efthymiou, D., & Antoniou, C. (2013). How do transport infrastructure and policies affect house
prices and rents? Evidence from Athens, Greece. Transportation Research Part A: Policy
and Practice, 52, 1–22. https://doi.org/10.1016/j.tra.2013.04.002

Evans, A. W. (2004). Land Values, Rents and Demand. In Economics, Real Estate, and the
Supply of Land (pp. 11–29). Oxford: Blackwell Publishing.

Halaman 7 dari 8
Jacobus, C. J. (2010). Real Estate Principles. Mason, US: Cengage Learning.

Payne, G. (1997). Urban Land Tenure and Property Rights in Developing Countries.
Warwickshire, UK: Practical Action Publishing.

Pramana, A. Y. E. (2017). Analisis Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Nilai Lahan di Kawasan
Perkotaan Yogyakarta Studi Kasus Kecamatan Ngaglik , Kabupaten Sleman , Daerah
Istimewa. In Prosiding Seminar Nasional XII “Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2017 (pp. 405–413). Yogyakarta: Sekolah Tinggi Teknologi Nasional.

Rosen, S. (1974). Hedonic Prices and Implicit Markets: Product Differentiation in Pure
Competition. Journal of Political Economy, 34–55.

UN Habitat. (2016a). Urbanization and Development. Emerging Future.

UN Habitat. (2016b). World Cities Report 2016. Urbanization and Development: Emerging
Futures.

Zhou, J., McMillen, D. P., & McDonald, J. F. (2008). Land values and the 1957 comprehensive
amendment to the Chicago zoning ordinance. Urban Studies, 45(8), 1647–1661.
https://doi.org/10.1177/0042098008091495

Halaman 8 dari 8

Anda mungkin juga menyukai