Anda di halaman 1dari 5

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Sumber Daya Alam

“ Literatur Review: Mengukur Kelangkaan SDA Berdasarkan Nilai sewa””

Dosen Pengampu :

1. Dr. M. Ridwansyah, S.E., M.Sc.

2. Syafi’i, S.E., M. E.

Disusun Oleh Kelompok 7 :

Melsi Devinti (C1A018008)


Heny Fitriani (C1A018067)
Puspa Wazi (C1A018087)
Helza Wahyuni (C1A018091)

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS JAMBI

2020/2021
Judul : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TANAH
SEBAGAI DASAR PENILAIAN NILAI JUAL OBYEK PAJAK (NJOP) PBB DI KOTA
SEMARANG

Penulis : Adrian Sutawijaya

Sumber : file:///C:/Users/HP/Downloads/625-620-1-PB%20(1).pdf

Hasil Review Jurnal :

Tanah merupakan sumber daya yang menyediakan ruang dan dapat memenuhi segala
kebutuhan makhluk hidup. Pada dasarnya ruang yang tersedia sangat terbatas, pada saat yang sama
kebutuhan akan lahan untuk perumahan, pertanian, dan industri semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Inilah mengapa pengembangan teoritis nilai tanah diperlukan.

Nilai Tanah

Menurut definisi, nilai tanah diartikan sebagai nilai kekuatan tanah untuk ditukar dengan
komoditas lain. Misalnya, lahan dengan produktivitas rendah (seperti padang rumput) memiliki nilai
relatif rendah karena pembatasan penggunaannya. Pada saat yang sama, nilai pasar tanah
didefinisikan sebagai harga (diukur dalam satuan mata uang) yang diharapkan oleh pembeli dan
penjual (Shenkel 1988: 31). Nilai sebidang tanah tercermin dalam aliran keuntungan yang diperoleh
dari penggunaan tanah tersebut. Keunggulan tersebut terkait dengan dampak lingkungan dan dapat
dibagi menjadi faktor manusia dan faktor non manusia. Faktor manusia terkait dengan perilaku
peningkatan nilai tanah secara artifisial (seperti bangunan gedung).

Faktor non-manusia pada eksternalitas pembebasan lahan. Jika faktor eksternal positif, seperti
kedekatan dengan pusat ekonomi, tidak ada banjir, kepadatan penduduk, dan fasilitas jalan raya, maka
tanah akan memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan tanah tanpa faktor eksternal, padahal luas
dan bentuk tanahnya adalah sama. Jika tanah terkena pengaruh eksternal negatif, seperti dekat dengan
sampah, jauh dari kota / pusat ekonomi, dan tidak ada banjir, maka nilai tanah akan lebih rendah
daripada tanah tanpa pengaruh eksternal negatif (Pearce dan Turner). 1990: 78).

Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa nilai tanah merupakan ukuran produksi tanah
atau kemampuannya untuk memberikan manfaat ekonomi secara langsung. Dalam pasar real estate,
nilai tanah sama dengan harga pasar tanah, misalnya harga pasar tanah tinggi maka nilai tanah juga
tinggi, begitu pula sebaliknya.

Teori Permintaan Tanah

Model teoritis kebutuhan tanah yang awalnya dikembangkan oleh von Tunen (1826) adalah
model sewa tanah di sektor pertanian, model tersebut menunjukkan bahwa terdapat suatu lokasi
sentral (kota) yang dikelilingi oleh dataran yang luas, dan kebutuhan pangan kota sangat banyak.
disediakan oleh daerah sekitarnya. Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah:

1. Hanya ada satu kota tanpa pertanian, dan pertanian tidak mencukupi.
2. Lahan di sekitar perkotaan hanya digunakan untuk pertanian, dan kurva penawarannya sama
sekali tidak elastis.
3. Biaya transportasi sebanding dengan jarak ke kota.
4. Produksi pertanian memiliki skala keluaran tetap.

Asumsi ini mengesampingkan intensitas penanaman, menambah atau mengurangi biaya


pengangkutan per mil, dan perbedaan kualitas dan kesuburan tanah. Jika melihat definisi dari sewa
ekonomi, yaitu selisih antara pendapatan total dan biaya yang dikeluarkan, maka petani akan
memutuskan apakah akan menanam tanah. Semua tanah yang ada akan menerima rente ekonomi,
tetapi tanah yang dekat dengan pusat kota akan menerima pendapatan lebih, sehingga meningkatkan
harga tanah di sekitar kota.

Von Thunen (1826) membahas hubungan antara lokasi yang jauh dari pusat kota dengan nilai
sewa tanah, sehingga semakin jauh lokasi dari pusat kegiatan komersial maka semakin murah nilai
sewanya. Rente ekonomi untuk setiap jarak berbeda-beda, yaitu petani yang lahannya dekat dengan
pusat kota akan mendapatkan lebih banyak surplus dari hasil penjualan hasil pertanian, melebihi
ongkos angkut, dan berujung pada persaingan perebutan lokasi lahan di dekat kota. pusat. Karena
persaingan ini, pemilik tanah akan menentukan sewa tanah yang relevan berdasarkan jarak antara
lokasi pertanian dan pusat kota. Pada jarak kritis, nilai sewa lahan menjadi nol, karena petani tidak
memiliki rente ekonomi. Kondisi rente ekonomi yang positif merupakan kondisi yang diharapkan
petani untuk memperoleh lahan pertanian yang akan menciptakan sewa lahan yang positif (Prasetyo
Soepono 1998: 43-59).

Pola Nilai Ekonomis Lahan Kota

Menurut teori ini, jika lokasinya lebih dekat dengan perkotaan maka nilai ekonomis tanah
tersebut akan semakin tinggi. Karena secara umum semakin dekat dengan pusat kota maka semakin
tinggi tingkat sarana dan prasarana, dan oleh karena itu semakin tinggi pula nilai strategis dan nilai
produksi dari tanah tersebut. Sebaliknya, jika lokasinya jauh dari kota maka nilai dan harga tanah
akan semakin rendah. Alasannya, meskipun semua fasilitas terkait mengalami penurunan kualitas
lahan, dan lokasinya semakin dekat dengan pinggiran kota / luar kota, namun kualitas lahan semakin
tinggi. Dengan upaya seperti pembangunan jalan atau infrastruktur lain untuk meningkatkan
aksesibilitas, harga tanah akan meningkat.
Metode yang digunakan untuk mengestimasi nilai tanah dalam penelitian ini adalah metode
harga hedonis yang dikembangkan oleh Rosen. Rosen (Rosen) mendefinisikan bahwa harga suatu
barang akan tergantung pada tingkat kenikmatan atau manfaat yang diberikan barang tersebut. Harold
Brodsky (1977) juga mengusulkan metode ini, yaitu nilai tanah mencerminkan kenikmatan yang
diharapkan (harga hedonis). Dalam mengestimasi harga hedonis diperlukan beberapa variabel seperti
variabel lingkungan, variabel aksesibilitas dan atribut (Damayanti dan Alfian Syah 1998: 29).

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengembangan pendekatan di
atas, dengan menggunakan salah satu metode kuadrat terkecil biasa, jika diterapkan dalam model
struktural akan diperoleh sebagai berikut :

LnNT = β0 + β1 1Nkp + 1nJR + β3 1nLJ + β4 D4 + β5 D5 + β6 D6 + ei

Dimana:

LnNT = Nilai Tanah (rupiah)

LnKP = Kepadatan penduduk (orang)

LnJR = Jarak tanah ke pusat kota (km)

LnLJ = Lebar Jalan (meter)

D4 = Variabel dummy kondisi jalan (Aspal /tidak) 1 jika ada, 0 jika tidak

D5 = Variabel dummy ketersediaan sarana transportasi angkutan umum bus/angkot (ada/tidak) 1 jika
ada, 0 jika tidak

D6 = Variabel dummy lingkungan bebas banjir 1 jika bebas banjir, 0 jika banjir

ei = Nilai variabel gangguan

Hal ini terlihat dari hasil pengujian yang ditandai pada model regresi nilai tanah bahwa semua
variabel yang dimasukkan ke dalam model konsisten dengan hasil regresi. Tanda positif dari variabel
kepadatan penduduk menunjukkan bahwa kepadatan penduduk menyebabkan terbatasnya ruang atau
lokasi lahan untuk pemukiman manusia dan manfaat lainnya, sehingga kepadatan penduduk akan
meningkatkan persaingan untuk memiliki sebidang tanah.

Untuk lebar jalan variabel dengan tanda positif, artinya semakin lebar jalan di depan atribut
lahan maka semakin tinggi nilainya. Hal ini dimungkinkan karena lebar jalan di depan aset tanah
menjadikannya lokasi yang sangat strategis dan aksesibilitas yang cukup tinggi dibandingkan dengan
lahan yang terletak di jalan-jalan kecil dan gang-gang. Dekat dengan pusat kota dengan tanda
sebaliknya berarti semakin dekat jarak tanah dengan pusat kota maka semakin tinggi nilainya. Hal
tersebut dapat dilakukan karena selain kemudahan transportasi, lokasinya juga dinilai memiliki
kepentingan yang strategis karena aksesnya yang mudah ke pusat kota.

Variabel ketersediaan sarana transportasi positif ini dikarenakan berkaitan dengan kemudahan
dalam melakukan aktivitas atau mobilitas sehingga keberadaan alat angkut tersebut memiliki nilai
tanah yang bernilai atau berharga.

Terakhir, ada variabel lingkungan bebas banjir yang berdampak positif pada lokasi lahan.
Artinya, lahan di lingkungan bebas banjir pasti lebih berharga dibanding lahan yang sering terkena
banjir.

Hal ini menunjukkan bahwa faktor kepadatan penduduk, jarak ke pusat kota, lebar jalan,
kondisi jalan, ketersediaan sarana transportasi angkutan umum bus/angkot, dan yang terakhir adalah
faktor lingkungan yang bebas banjir sangat berpengaruh terhadap nilai tanah di Kota Semarang
sebagai lokasi obyek penelitian.

Anda mungkin juga menyukai