Anda di halaman 1dari 8

 Dinamika Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan adalah suatu aktivitas manusia pada lahan yang langsung berhubungan dengan
lokasi dan kondisi lahan. Pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan terbaik dalam bentuk
pengalokasian fungsi tertentu, sehingga dapat memberikan gambaran secara keseluruhan bagaimana
daerah pada suatu kawasan tersebut seharusnya berfungsi. Pemanfaatan lahan di kota selalu dihubungkan
dengan penilaian yang bertumpu pada ekonomis atau tidaknya jika sebidang tanah dimanfaatkan baik
untuk rumah tinggal maupun melakukan usaha di atas tanah tersebut. Penggunaan lahan perkotaan
menunjukan pembagian dalam ruang dan peran kota. Misalnya kawasan perumahan, kawasan tempat
bekerja, kawasan pertokoan dan juga kawasan rekreasi, pemanfaatan lahan untuk fasilitas transportasi
cenderung mendekati jalur transportasi barang dan orang sehingga dekat dengan jaringan transportasi
serta dapat dijangkau dari kawasan permukiman dan tempat berkerja serta fasilitas pendidikan. Sementara
fasilitas rekreasi, terutama untuk skala kota atau regional, cenderung menyesuaikan dengan potensi alam
seperti pantai, danau, daerah dengan topografi tertentu, atau flora dan fauna tertentu.

Penggunaan lahan pada suatu kota umumnya berbentuk tertentu dan pola perkembangannya dapat
diestimasikan. Keputusan-keputusan pembangunan kota biasanya berkembang bebas, tetapi diupayakan
sesuai dengan perencanaan penggunaan lahan. Motif ekonomi adalah motif utama dalam pembentukan
struktur penggunaan tanah suatu kota dengan timbulnya pusat-pusat bisnis yang strategis. Selain motif
bisnis terdapat pula motif politik, bentuk fisik kota, seperti topografi, drainase. Meskipun struktur kota
tampak tidak beraturan, namun kalau dilihat secara seksama memiliki keteraturan pola tertentu.
Bangunan-bangunan fisik membentuk zona-zona intern kota. Teori-teori struktur kota yang ada
digunakan mengkaji bentuk- bentuk penggunaan lahan yang biasanya terdiri dari penggunaan tanah untuk
perumahan, bisnis, industri, pertanian dan jasa.

 Aksesbilitas

Aksesibilitas merupakan konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tata guna lahan secara
geografis dengan sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya. Aksesibilitas merupakan suatu
ukuran kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan mudah atau
susah nya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan transportasi. Aksesibilitas berkaitan dengan
jarak satu lokasi daerah dengan daerah lain terutama jarak ke pusat-pusat pelayanan publik. Selain itu
aksesibilitas ini juga berkaitan dengan biaya dan waktu. Aksesibilitas wilayah dapat diukur dengan
beberapa variabel, yakni variabel ketersediaan jaringan jalan, jumlah alat transportasi yang dapat
digunakan, panjang jalan, lebar jalan, serta kualitas jalan. Aksesibilitas pada suatu daerah sangat terkait
dengan sistem transportasi, dengan unsur-unsur aksesibilitas yakni diantaranya infrastruktur yang berupa
jaringan jalan dan sarana-sarana yang dapat digunakan. Pernyataan mudah maupun susah merupakan hal
yang sangat subjektif, maka dari itu diperlukan juga alat terukur (kuantitatif) yang dapat menghitung
suatu ukuran aksesibilitas. Aksesibilitas yang baik diharapkan dapat mengatasi hambatan-hambatan
terkait mobilitas, baik itu mobilitas fisik, misalnya akses jalan raya, gedung, kantor, pertokoan, sekolah,
lokasi industri, pusat kebudayaan, serta rekreasi ataupun aktivitas non fisik seperti halnya kesempatan
untuk mendapat pekerjaan, mengakses informasi, memperoleh pendidikan, mendapat perlindungan dan
jaminan hukum. Pemahaman aksesibilitas dibagi dalam tiga pertanyaan menurut yakni : siapa/dimana,
apa, dan bagaimana.

 Siapa atau dimanakah orang itu berada; sehingga aksesibilitas merupakan bagian dari orang atau tempat.

 Apa peluang yang akan dicapai; diantaranya adalah fungsi tata guna lahan, aktivitas yang ada di
dalamnya, atau sumber daya yang diinginkan orang untuk memenuhi kebutuhannya.

 Bagaimana; ada beberapa faktor yang memisahkan orang dengan suatu tempat, seperti waktu, jarak,
biaya, informasi, dan faktor-faktor lain yang menghambat orang untuk mengakses suatu tempat.

Aksesibilitas ini berguna bagi para pelaku perjalanan itu sendiri. Manusia membuat suatu
prasarana tersebut untuk mempermudah aktivitas/kegiatannya. Dalam melakukan perjalanannya,
tergantung pada beberapa faktor. Faktor pertama yakni faktor tingkat penghasilan yang berhubungan
dengan kepemilikan kendaraan dan kemampuan untuk membayar. Faktor kedua ialah kepemilikan
kendaraan, yang dimana jika seseorang mempunyai kendaraan, maka orang tersebut akan memiliki
kesempatan lebih banyak untuk melakukan perjalanan dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki
kendaraan. Aktivitas pembangunan di suatu perkotaan digambarkan sebagai interaksi pusat aktivitas
sekunder dan tersier. Kegiatan produksi sekunder dan tersier tersebut yakni bisnis dan managemen yang
akan menempati lahan di pusat kota sedangkan daerah pinggiran menjadi lahan tempat tinggal dan juga
produksi primer serta sistem jaringan transportasi. Memperkirakan jumlah arus perjalanan yang timbul
dari adanya aktivitas suatu guna lahan, maka perlu konsep perencanaan 4 tahap sebagai berikut :

 Bangkitan perjalanan

 Sebaran perjalanan

 Pilihan moda transportasi yang digunakan

 Pilihan rute

Pergerakan yang terjadi dari interaksi pola guna lahan disebut sebagai kegiatan perangkutan,
yakni kegiatan yang terjadi dikarenakan terdapat perpindahan manusia dan barang dari satu tempat ke
tempat lain. Dari berbagai macam pergerakan tersebut, akan dapat membentuk sistem transportasi yang
mempengaruhi pola pengembangan lahan. Seluruh kegiatan yang berlangsung pada lahan yang dimaksud
akan menimbulkan arus perjalanan. Arus perjalanan yang efektif perlu didukung dengan aksesibilitas
melalui penyediaan sistem transportasi yang baik. Sistem transportasi di dalam perkotaan terdiri dari
berbagai macam kegiatan, seperti belanja, olahraga, bekerja, sekolah, dsb yang berlangsung di atas lahan
tertentu. Perkembangan guna lahan yang terbentuk tersebut menyebabkan jarak perjalanan dari rumah ke
tempat bekerja akan semakin jauh serta menyebabkan peningkatan tuntutan penyediaan kebutuhan sistem
transportasi yang lebih memadai untuk mengimbangi kebutuhan pergerakan di perkotaan. Interaksi yang
terjadi antara guna lahan dengan transportasi akan menghasilkan aliran manusia dan barang yang perlu
diatur agar tidak menyebabkan permasalahan lalu lintas. Dengan ini, pemahaman mengenai interaksi
guna lahan dengan transportasi perlu dilakukan agar memudahkan dalam merencanakan bentuk dan
lokasi transportasi serta kebutuhan lahan di masa yang akan datang.

 Teori Penggunaan Lahan Tradisional

Pada suatu kawasan pertanian yang luas, letak sebidang lahan amat mempengaruhi pola
kegunaannya. Letak di sini di peruntukan dalam hubungannya sebidang lahan dengan pusat pemasaran
dan tempat tinggal petani. Sebidang lahan yang terletak hampir dekat dengan pusat pemasaran dikatakan
mempunyai nilai yang tinggi dan amat menguntungkan jika diusahakan sepenuhnya. Sebaliknya lahan
yang jauh dari pusat pemasaran kurang menguntungkan jika di usahakan. Dalam kaitannya dengan letak
peranan transportasi menjadi sangat penting. Ini berarti semakin jauh dari pusat pemasaran semakin tinggi
biaya transportasi dan terjadi sebaliknya. Salah satu model yang paling banyak digunakan dalam tataguna
lahan pertanian adalah model Von Thunen.

Von Thunen adalah seorang yang berkebangsaan Jerman, telah mengusahakan lahan pertaniannya
selama 40 tahun. Berdasarkan pengalamannya dia mengemukan satu model atau teori tentang letak
tataguna lahan pertanian. Model tersebut menunjukkan adanya perbedaan tentang tataguna lahan dengan
bertambahnya jarak dari pasar. Ada dua hal yang dikemukan oleh Von Thunen yaitu:

1. Produktivitas suatu jenis tanaman akan berkurang atau menurun dengan bertambahnya jarak dari pasar.
Produktivitas diukur dari segi input pertanian, termasuk banyaknya tenaga buruh, modal, alat bajak, benih
dan sebagainya yang digunakan bagi setiap bidang lahan.

2. Jenis penggunaan lahan akan berbeda dengan bertambahnya jarak dari pasar. Von Thunen untuk
menguji teorinya mengajukan beberapa hipotesis.

Adapun hipotesis yang digunakan Von Thunen adalah sebagai berikut:


1. Ada sebuah negara terpencil yang hanya mempunyai sebuah pusat pasaran yang letaknya di tengah-
tengah.

2. Pusat pasaran tersebut hanya merupakan satu-satunya untuk memasarkan hasil pertanian di negara
tersebut. Produksi pertanian hanya merupakan satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan aktivitas kota
tersebut. Semua petani akan menerima harga penjualan sama dengan di pusat pasaran.

3. Wilayah di seluruh nagara itu adalah seragam dari segi kesuburan, iklim, topografi dan keadaan fisik
lainnya.

4. Setiap petani berusaha untuk memaksimumkan keuntungan dari aktivitas pertaniannya.

5. Transportasi ke kota hanya dengan kereta kuda atau berjalan kaki saja.

6. Biaya transportasi hanya ditentukan oleh jauhnya jarak perjalanan.

7. Tidak ada hubungan dengan penduduk di luar nagara itu dan nagara tersebut adalah tertutup dan
mampu memenuhi keperluannya sendiri.

Untuk menentukan nilai lahan Von Thunen menggunakan sewa lahan dari lokasi dimana lahan
berada. Von Thunen melihat berbagai tanaman yang dihasilkan oleh daerah-daerah subur dekat pusat
pasaran dan ditemukan sewa lahannya lebih tinggi dari daerah yang jauh dari pusat pasaran. Menurutnya
sewa lahan berkaitan dengan perlunya biaya transportasi dari daerah yang jauh ke pusat pasaran.
Pengaruh biaya transportasi dalam kaitannya dengan perpindahan produk adalah bahwa semakin jauh
lokasi lahan dari pasar akan menyebabkan semakin tingginya biaya transportasi. Jadi land rent
mempunyai hubungan terbalik dengan jarak lokasi lahan dengan pasar.

Zona Konsentris Menurut Von Thunen zona yang paling dekat kota pasaran mengusahakan
market gardening, berupa sayuran terutama kentang dan susu, karena dalam zona ini ada hasil perahan.
Pada zone ini membutuhkan tenaga buruh yang intensif dan ongkos transport yang tinggi dan hasil
pertanian ini lekas rusak atau busuk. Patani pada zona ini menghasilkan produk tertinggi per areal, tetapi
jika letak perusahaan makin jauh ke kota pasaran di pusat, maka dengan sendirinya hasilnya akan
menurun, sehingga mengusahakan produk lain agar tak rugi.

 Kritik Terhadap Teori Penggunaan Lahan Tradisional

Analisis lahan pertanian melalui pendekatan Von Thunen pernah sukses di berbagai skala, dari
jangkauan interkontinental hingga perusahaan pertanian setempat yang individualis. Namun demikian ada
beberapa kritik yang dilontarkan Chiholm yaitu:
1. Model Von Thunen merupakan suatu model keseimbangan yang sifatnya partial yang tak memuat
interelasi antara variabel yang telah dikhususkan; lagi pula jika membayangkan adanya perubahan untuk
masa mendatang tak mudah dilakukan perhitungannya.

2. Tak diperhitungkan beranekaragamnya luas perusahaan pertanian atau luas pasaran yang tak
menghasilkan ekonomi yang berskala produksi atau pasaran yang bersangkutan, karena itu dapat merusak
suatu pola yang tertata dari zona tataguna lahan. Sementara itu Johnson menekankan kelemahan Von
Thunen terletak pada keterkaitannya pada waktu.

Disamping itu juga pada keterkaitan antar wilayah. Pada masa itu sesuai dengan tata
pemerintahan semi feodal di Jerman Utara, memang diidealkan adanya satu pusat kota yang sekaligus
sebagai ibu kota daerah yang bersangkutan, yang mengelola segala usaha agraris di sekelilingnya. Jadi
tidak direstui munculnya kota-kota pada saat itu yang tersebar sebagai pendamping kota pusat, pada
gejala kemunculan tersebut dapat melahirkan economic utility. Von Thunen hanya melihat keuntungan
dari satu kota besar di pusat wilayah yang menjadi pusat pemerintahan, militer, pendidikan dan
kebudayaan yang sekaligus juga menjadi tempat berkumpulnya para rentenir, tuan tanah dan kaum kaya.
Tentunya kota semacam itu akan menarik para pedagang, seminan, pegawai dan buruh.

 Permukaan Penggunaan Lhan

Perubahan guna lahan di wilayah hulu diketahui sebagai salah satu penyebab peningkatan
limpasan udara permukaan, meningkatkan intensitas dan frekuensi banjir. Urbanisasi yang pesat pada
wilayah pinggiran kawasan metropolitan diketahui sebagai faktor pendorong terjadinya perubahan
permukaan guna lahan. Perubahan permukaan penggunaan lahan, baik yang disebabkan oleh peri-
urbanisasi atau urban sprawl, akan mempengaruhi limpasan air jika terjadi perubahan penggunaan lahan
yang mengakibatkan peningkatan pembangunan perkotaan. Perluasan kawasan perkotaan dan terbangun
menjadi kawasan yang sebelumnya belum berkembang merupakan fenomena yang umum terjadi di.
Deforestasi adalah fenomena lain yang diketahui berkontribusi terhadap perubahan limpasan. Kedua
penelitian tersebut menunjukkan peningkatan limpasan sebagai dampaknya. Karena peningkatan tingkat
limpasan air berpotensi mengakibatkan banjir di bagian hilir.

 Kepadatan Penduduk

Perubahan penggunaan lahan pada dasarnya tidak dapat dihindarkan dalam pelaksanaan
pembangunan. Pertumbuhan penduduk yang pesat serta bertambahnya tuntutan kebutuhan masyarakat
akan lahan, seringkali mengakibatkan benturan kepentingan atas penggunaan lahan serta terjadinya
ketidaksesuaian antara penggunaan lahan dengan rencana peruntukannya. Lahan itu bersifat terbatas dan
tidak bisa ditambah kecuali dengan kegiatan reklamasi, sehingga keterbatasan lahan di perkotaan
menyebabkan kota berkembang secara fisik ke arah pinggiran kota. Perubahan penggunaan lahan terjadi
karena adanya pertambahan penduduk dan adanya perkembangan tuntutan hidup, kebutuhan rumah, yang
membutuhkan ruang sebagai wadah semakin meningkat. Gerakan penduduk yang terbalik yaitu dari kota
ke daerah pinggiran kota termasuk wilayah desa, daerah pinggiran kota sebagai daerah yang memiliki
ruang relatif masih luas ini memiliki daya tarik bagi penduduk dalam memperoleh tempat tinggal.
Kepadatan penduduk secara umum dapat diartikan sebagai perbandingan antara jumlah penduduk dengan
luas tanah yang didiami dalam satuan luas. Kepadatan penduduk oleh faktor-faktor topografi, iklim, tata
air, aksesibilitas dan ketersediaan fasilitas hidup. Seiring dengan perkembangan perkotaan tersebut, maka
terjadi alih fungsi lahan yang awalnya merupakan lahan pertanian tidak terbangun menjadi daerah
terbangun (bulit up area). Perubahan ini menyebabkan peningkatan kepadatan penduduk dan kepadatan
pemukiman. Alih fungsi lahan pada dasarnya adalah perubahan penggunaan atau aktivitas terhadap suatu
lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk kemersial maupun Industri. Faktor peralihan
fungsi lahan suatu daerah mengalami perkembangan disebabkan karena adanya tinggi pertumbuhan
penduduk, pernyataan menyatakan semakin tinggi pertumbuhan penduduk maka kebutuhan lahan
semakin meningkat. Dengan meningkatnya alih fungsi lahan di Indonesia, pemerintah harus lebih
memperhatikan supaya kebutuhan pangan terpenuhi.

 Model Deskriptif Struktur Perkotaan


Susunan Penggunaan lahan pada suatu wilayah akan membentuk pola yang berbeda – beda antara
satu wilayah dengan wilayah lainnya. Adanya perbedaan luas daerah kota, unsur topografi, faktor social,
faktor budaya, faktor politik, dan faktor ekonomi. Pembahasan pola penggunaan lahan dan faktor – faktor
yang mempengaruhi terbentuknya pola tersebut terbagi menjadi :
1. Pola penggunaan lahan di kawasan perkotaan
2. Pola penggunaan lahan di kawasan perdesaan Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai
kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan social, dan kegiatan ekonomi.
Sementara itu, kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan social, dan kegiatan ekonomi.
A. Pola Penggunaan Lahan Di Kawasan Perkotaan Secara teoritis, terdapat 3 (tiga) model pola
penggunaan lahan di perkotaan, yaitu Concentric, Sektor, Multiplei Nuclei Concept.
1. Teori Jalur Sepusat (Concentric Zone Theory) Teori ini berawal dari penelitian pembangunan kota
Chicago oleh E.W. Burgess pada tahun 1925. Atas dasar kajiannya terhdap struktur kota atau model
Konsentris yang disebut juga “Zoning Model”. Model ini mencerminkan struktur pertumbuhan spatial
dari suatu kota berupa zona – zona yang konsentris. Menurut Burgess, kota Chicago meluas secara merata
dari suatu inti asli sehingga tumbuhlah zona – zona yang masing – masing meluas sejajar dengan
pentahapan kolonisasi ke arah zona yang letaknya paling luar. Dengan demikian, setiap saat dapat
ditemukan sejumlah zona yang letaknya konsentris sehingga strukturnya berbentuk gelang. Dengan
asumsi keterjangkauan adalah sama untuk segala arah (bentuk lingkaran).
Teori ini membagi 5 (lima) zona penggunaan lahan dalam kawasan perkotaan yaitu sebagai
berikut:
a. Pada lingkaran dalam terletak pusat kota (central business district atau CBD), yang terdiri atas:
bangunan – bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar dan toko pusat perbelanjaan.
b. Pada lingkaran tengah pertama terdapat jalur alih yaitu terdiriatas rumah – rumah sewaan, kawasan
industry, dan perumahan buruh yang relative sempit/kumuh. Zona ini disebut juga dengan zona peralihan
atau transition zone.
c. Pada lingkaran tengah kedua terletak jalur wisma buruh, yakni kawasan perumahan untuk tenaga kerja
pabrik. Penduduk zona ini terdiri dari buruh rendahan, banyak yang berasal dari zona peralihan dan
migran, serta buruh menengah. Pertimbangan pemilihan lokasi sebagai tempat tinggal adalah karena
dekat dengan tempat kerja. Kondisi rumah relative tidak berdempetan lagi. Zona ini disebut juga dengan
Zone of Working men’s home.
d. Pada lingkaran luar terdapat jalur mdyawisma, yakni kawasan perumahan yang luas untuk tenaga kerja
halus dan kaum madya (middle class). Zona ini disebut juga dengan Zone of better residences.
e. Di lingkaran luar terdapat jalur ulang – alik: sepanjang jalan besar terdapat perumahan masyarakat
golongan madya dan golongan atas. Zona ini disebut juga dengan Zone of Commuters. Secara singkat
pola penggunaan lahan jalur sepusat ini, dapat dilihat pada Gambar dibawah ini :

Anda mungkin juga menyukai