DISUSUN OLEH
1. Terdapat suatu daerah terpencil yang terdiri atas daerah perkotaan dengan
daerah pedalamannya yang merupakan satu-satunya daerah pemasok
kebutuhan pokok yang merupakan komoditi pertanian;
2. Daerah perkotaan tersebut merupakan daerah penjumlahan kelebihan
produksi daerah pedalaman dan tidak menerima penjualan hasil pertanian
dari daerah lain;
3. Daerah pedalaman tidak menjual kelebihan produksinya ke daerah lain,
kecuali ke daerah perkotaan tersebut;
4. Daerah pedalaman merupakan daerah berciri sama dan cocok untuk
tanaman dan peternakan dataran menengah;
5. Daerah pedalaman dihuni oleh petani yang berusaha untuk mempeoleh
keuntungan maksimum dan mampu untuk menyesuaikan hasil tanaman dan
peternakannya dengan peemintaan yang terdapat di daerah perkotaan;
6. Satu-satunya angkutan yang terdapat pada waktu itu adalah angkutan darat
berupa gerobak yang dihela oleh kuda;
7. Biaya angkutan ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan jarak
yang ditempuh. Petani mengangkut semua hasil dalam bentuk segar.
Von Thunen mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai
kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi).
Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan
makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan
sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan. Model
Von Thunen mengenai tanah pertanian ini, dibuat sebelum era industrialisasi, yang
memiliki asumsi dasar sebagai berikut :
a. Wilayah model yang terisolasikan (isolated state) adalah bebas dari pengaruh
pasar-pasar kota lain,
b. Wilayah model membentuk tipe permukiman perkampungan di mana
kebanyakan keluarga petani hidup pada tempat-tempat yang terpusat dan
bukan tersebar di seluruh wilayah,
c. Wilayah model memiliki iklim, tanah, topografi yang seragam, atau uniform
(produktivitas tanah secara fisik adalah sama),
d. Wilayah model memiliki fasilitas transportasi tradisional yang relatif
seragam,
e. Faktor-faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah
konstan
Teori Von Thunen yang masih relevan dengan kondisi sekarang contohnya adalah
kelangkaan persediaan sumber daya lahan di daerah perkotaan memicu berlakunya
hukum ekonomi supply and demand semakin langka barang di satu pihak semakin
meningkat permintaan di pihak lain akibatnya harga melambung. Demikian yang
terjadi terhadap lahan yang ada di daerah perkotaan, dimana nilai sewa atau beli
lahan yang letaknya dipusat kegiatan, semakin dekat ke pusat semakin tinggi nilai
sewa atau beli lahan tersebut.
Alfred Weber (1907 1933), memiliki teori yang menyebutkan bahwa lokasi
industri sebaiknya diletakkan di tempat yang memiliki biaya yang paling minimal.
Menurut teori Weber pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi
biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya
transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus minimum.
Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah
identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Dalam menjelaskan
keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku Weber menggunakan konsep segitiga
lokasi atau locational triangle untuk memperoleh lokasi optimum yang menunjukkan
apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau pasar.
Menurut Weber, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi lokasi industri,
yaitu faktor tenaga kerja dan biaya transportasi yang merupakan faktor regional
yang bersifat umum serta faktor deglomerasi/aglomerasi yang bersifat lokal dan
khusus. Weber berbasis kepada beberapa asumsi utama, antara lain:
Lokasi bahan baku ada di tempat tertentu begitu pula dengan situasi dan
ukuran tempat konsumsi, sehingga terdapat suatu persaingan sempurna
Ada beberapa tempat pekerja yang bersifat tak mudah bergerak
Central Place theory dikemukakan oleh Walter Christaller pada 1933. Teori ini
menyatakan bahwa suatu lokasi dapat melayani berbagai kebutuhan yang terletak
pada suatu tempat yang disebutnya sebagai tempat sentral. Tempat sentral tersebut
memiliki tingkatan-tingkatan tertentu sesuai kemampuannya melayani kebutuhan
wilayah tersebut. Bentuk pelayanan tersebut digambarkan dalam segi
enam/heksagonal. Teori ini dapat berlaku apabila memiliki karakteristik sebagai
berikut
1. Herarkri K 3
Merupakan pusat pelayanan pasar optimum dimana tempat sentral tersebut selalu
menyediakan kebutuhan barang-barang pasar untuk daerah disekitarnya.
2. Hierarki K 4
3. Hierarki K 7
Merupakan pusat pemerintahan optimum dimana tempat sentral tersebut
merupakan sebuah pusat pemerintahan
Teori pada prinsipnya bersifat statis dan tidak memikirkan pola pembangunan di
masa yang akan datang akan tetapi dasar tentang hierarki suatu pusat pelayanan
sangat membantu dalam hal perencanaan pembangunan sebuah wilayah/kota.
August Losch, adalah seorang ekonom Jerman dan menulis sebuah buku
berjudul The Economics of Location (1954). Dia merupakan orang pertama yang
mengembangkan teori lokasi dengan segi permintaan sebagai variabel utama
dengan memperhitungkan baik harga produk dan berapa biaya untuk
memproduksinya. Dimana Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat
berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari
tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk
mendatangi tempat penjual semakin mahal. Losch cenderung menyarankan agar
lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar. Teori ini bertujuan untuk
menemukan pola lokasi industri sehingga diketemukan keseimbangan spasial antar
lokasi. Losch berpendapat bahwa dalam lokasi industri yang tampak tak teratur
dapat diketemukan pola keberaturan.
Teori losch berasumsi suatu daerah yang homogen dengan distribusi sumber
bahan mentah dan sarana angkutan yang merata serta selera konsumen yang sama.
Kegiatan ekonomi yang terdapat di daerah tersebut merupakan pertanian berskala
kecil yang pada dasarnya ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan petani masing-
masing. Selain itu, untuk mencapai keseimbangan, ekonomi ruang losch harus
memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
1. Setiap lokasi industri harus menjamin keuntungan maksimum bagi penjual maupun
pembeli.
2. Terdapat cukup banyak usaha pertanian dengan penyebaran cukup merata
sehingga seluruh permintaan yang ada dapat dilayani.
3. Terdapat free entry dan tak ada petani yang memperoleh super-normal propfit
sehingga tak ada rangsangan bagi petani dari luar untuk masuk dan menjual barang
yang sama di daerah tersebut.
4. Daerah penawaran adalah sedemikian hingga memungkinkan petani yang ada
untuk mencapai besar optimum.
5. Konsumen bersikap indifferent terhadap penjual manapun dan satu-satunya
pertimbangan untuk membeli adalah harga yang rendah.
Pada teori Losch, wilayah pasar bisa berubah ketika terjadi inflasi (perubahan) harga.
Hal ini disebabkan karena produsen tidak mampu memenuhi permintaan yang
karena jaraknya jauh akan mengakibatkan biaya transportasi naik sehingga harga
jualnya juga naik, karena tingginya harga jual maka pembelian makin berkurang. Hal
ini mendorong petani lain melakukan proses produksi yang sama untuk melayani
permintaan yang belum terpenuhi.
Teori ini dikembangkan oleh ahli ekonomi Perancis Francois Perroux pada tahun
1955. Inti dari teori ini menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di tiap daerah
tidak terjadi di sembarang tempat melainkan di lokasi tertentu yang disebut kutub
pertumbuhan. Untuk mencapai tingkat pendapatan tinggi harus dibangun beberapa
tempat pusat kegiatan ekonomi yang disebut dengan growth pole (kutub
pertumbuhan). Pandangan Perroux mengenai proses pertumbuhan adalah teori tata
ruang ekonomi, dimana industri pendorong memiliki peranan awal dalam
membangun sebuah pusat pertumbuhan. Industri pendorong ini memiliki ciri-ciri
sebagai berikut
1. Tingkat konsentrasi tinggi
Secara geografis growth pole dapat digambarkan sebagai suatu lokasi yang memiliki
fasilitas dan kemudahan sehingga menimbulkan daya tarik bagi berbagai kalangan
untuk mendirikan berbagai macam usaha di daerah tersebut dan masyarakat senang
memanfaatkan fasilitas tersebut.
Secara fungsional growth pole dapat diartikan sebagai suatu lokasi konsentrasi
kelompok ekonomi (industri, bisnis dll) yang mengakibatkan pengaruh ekonomi ke
dalam maupun keluar wilayah tersebut.
Salah satu contoh wilayah perencanaan yang sesuai dengan pendapat Boudeville
dan Klassen di atas, yang lebih menekankan pada aspek fisik dan ekonomi, yang ada
di Indonesia adalah BARELANG (pulau Batam, P Rempang, P Galang) Daerah
perencanaan tersebut sudah lintas batas wilayah administrasi.
Wilayah perencanaan bukan hanya dari aspek fisik dan ekonomi, namun ada juga
dari aspek ekologis. Misalnya dalam kaitannya dengan pengelolaan daerah aliran
sugai (DAS). Pengelolaan daerah aliran sungai harus direncanakan dan dikelola mulai
dari hulu sampai hilirnya.Contoh wilayah perencanaan dari aspek ekologis adalah
DAS Cimanuk, DAS Brantas, DAS Citanduy dan lain sebagainya.
Konsep pusat pinggiran ini pertama-tama dikemukakan pada tahun 1949 oleh
pebrisch, seorang ahli ekonomi Amerika Latin. Tipe teori pembangunan ini mencoba
memberikan gambaran dan menerangkan tentang perbedaan pembangunan
(development), tetapi penekanannya dari aspek keruangan. Jadi konsep ini sesuai
dengan kajian geografi yang juga melihat sesuatu dari segi keruangan. Perbedaan
antara daerah pusat (C) dan daerah pinggiran ( P ) dapat dijumpai dalam beberapa
skala: di dalam region, anatar regions dan anatara negara ( pelabuhan dan daerah
pendukungnya: kota dan desa; negara maju dan negara sedang berkembang ).
Dari konsep ini kemudian berkembang menjadi beberapa pandangan teorits
mengenai perbedaan pembangunan yaitu kemajuan anatara pusat dan pinggiran
(Core-periphery), seperti teori polarisasi ekonomi dari Myrdal dan Hirscman, teori
pembangunan regional dan Friedmann dan pandangan Marxist.
Menurut Myrdal Core region adalah sebagai magnit yang dapat memperkuat
pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya, karena adanya sebab-sebab kumulatif ke
arah perkembangan ( Cumulative upward causation ): seperti arus buruh dari
pinggiran ke pusat ( P ke C ); tenaga trampil, modal dan barang-barang perdagangan
yang secara spontan berkembang didalam ekonomi pasar bebas untuk menunjang
pertumbuhan di suatu lokasi (wilayah ) tertentu.
Teori ini dikemukakan oleh Walter Isard (1956) yang mengembangkan logika
teori dasar Weber dengan menempatkan teori tersebut dalam konteks analisis
substitusi sehingga menjadi alat peramal yang tangguh (robust) namun sederhana.
Pendekatan Isard menggunakan asumsi bahwa lokasi dapat terjadi di titik-titik
sepanjang garis yang menghubungkan sumber bahan baku dengan pasar jika bahan
baku setempat adalah murni sehingga terdapat dua variabel, yaitu jarak dari pasar
dan jarak dari sumber bahan baku. Hubungan kedua variabel tersebut dapat
diplotkan dalam bentuk grafik dimana garis yang menghubungkan antara sumber
bahan baku dan pasar adalah tempat kedudukan titik-titik kombinasi antara bahan
baku dan pasar yang bersifat substitusi. Apabila ditambah lagi satu variabel baru
yakni penggunaan bahan baku kedua kedalam input produksi, maka terdapat 3 set
hubungan substitusi.
Alasan mengapa istilah satu variabel dibuat tetap hanyalah untuk mempermudah
pembuatan grafik dua dimensi. Penyelesaian masalah dalam penentuan lokasi dapat
dilihat secara bertahap melalui pasangan-pasangan dua sudut dari segitiga tersebut.
Titik biaya terendah diperoleh dengan mengidentifikasikan titik dimana jarak
tempuh total adalah terendah di setiap pasangan garis transformasi sehingga jarak
parsial dapat digunakan untuk menentukan lokasi optimal. Jadi, lokasi optimal
adalah lokasi dengan biaya transportasi beberapa substitusi lokasi yang paling
rendah.
Teori Hoover (1948), muncul sebagai kritik terhdap teori yang dikemukakan oleh
Weber tentang lokasi industri, khususnya yang menyangkut biaya transport yang
terendah di dalam segitiga lokasional. Hoover mengemukakakn lokasi pabrik atau
perusahaan dapat saja di titik pasar ataupun pada titik sumber bahan mentah, jadi
tidak hanya lokasi antaranya seperti pendapat Weber. Yang mendasari pendapat
Hoover juga biaya transpor, dengan memperhitungkan assembly cost ditambah
distribution cost .
Pada kasus industri yang berkiblat bahan mentah akan menempatkan lokasi industri
tersebut pada lokasi bahan mentah, begitu juag sebaliknya, industri yang berkiblat
pasar akan menempatkan industri pada lokasi pasar.
Pada kasus dimana pabrik ditemukan pada lokasi antara pasar dan sumber bahan
mentah, dapat diketahui industri tersebut memperhatikan non biaya transport.
Aspek lain yang penting dalam Teori Hoover adalah transhipment point sebagai
biaya tranpsort paling rendah. Sehubungan dengan itu perlu diketahui seluk beluk
biaya break of bulk point, tempat dimana cargo dipindahkan dari sarana transport
jenis yang satu ke jenis yang lain, misalnya tempat pelabuhan atau stasiun kereta
api.
Oleh karena itu proses timbal balik (mutual learning) antara klien dan perencana
merupakan faktor yang mendasar dalam konsep pluralisme, transactive, adcocacy,
dan perencanaan yang komunikatif. Dalam proses ini perencana belajar dari
pengalaman pribadi dan klien, sedangkan klien belajar dari kepakaran taknik dari
perencana. Dengan proses ini pengetahuan kedua belah pikah menjadi makin
bertambah
- Kaitan fungsi antar simpul (kota) serta besar pengaruh antar simpul dengan yang
lain
a) Bentuk Fisik
Seperti halnya dalam intraurban polisentris, pada interurban polisentris juga terjadi
fenomena cross commuting akibat terjadinya konsentrasi populasi penduduk dan
aktivitas ekonomi yang terdistribusi pada masing-masing pusat kota tanpa ada yang
menjadi pusat dominan dalam suatu wilayah interurban polisentris tersebut. Pola
komuting yang terjadi pun dapat berbentuk radial atau linier. Dalam melakukan
pergerakan cross commuting pada interurban polisentris lebih banyak menggunakan
moda transportasi kendaraan pribadi terutama mobil (Hall, 1993).
b) Kesatuan Politik
c) Hubungan Fungsional
Hal ini untuk memperkuat kedudukan kota-kota tersebut dengan fungsi kegiatan
yang spesifik, sehingga setiap kota dalam interurban polisentris ini menjadi lokasi
yang mempunyai competitive advantages (Krugman, 1991; Porter, 1990, 1998;
Moss-Kantor, 1995; Storper, 1995, 1997; Scott, 1998; Lawson, 1999). Namun,
beberapa pakar yang lain (Putnam, 1993; Saxenian, 1994; Scott, 2000; Gordon dan
McCann, 2000) mengungkapkan bahwa hal yang lebih penting adalah menjadikan
wilayah interurban polisentris mempunyai spesialisasi dan competitive advantages
dalam perekonomian dunia.
Oleh karena itu, menurut Yehezkel Dror (1968) gaya inkremental dalam pembuatan
keputusan cenderung menghasilkan kelambanan dan terpeliharanya status quo,
sehingga merintangi upaya menyempurnakan proses pembuatan keputusan itu
sendiri. Bagi sarjana seperti Dror yang pada dasamya merupakan salah seorang
penganjur teori rasional yang terkemuka model inkremental ini justru
dianggapnya merupakan strategi yang tidak cocok untuk diterapkan di negara-
negara sedang berkembang, sebab di negara-negara ini perubahan yang kecil-
kecilan (inkremental) tidaklah memadai guna tercapainya hasil berupa perbaikan-
perbaikan besar-besaran.
1. Paths
Merupakan suatu jalur yang digunakan oleh pengamat untuk bergerak atau
berpindah tempat. Menjadi elemen utama karena pengamat bergerak melaluinya
pada saat mengamati kota dan disepanjang jalur tersebut elemen-elemen
lingkungan lainnya tersusun dan dihubungkan. Path merupakan elemen yang paling
penting dalam image kota yang menunjukkan rute-rute sirkulasi yang biasanya
digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni jalan, gang-gang
utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran dan sebagainya. Path mempunyai
identitas yang lebih baik kalau memiliki identitas yang besar (misalnya ke stasiun,
tugu, alun-alun,dan lain-lain), serta ada/ penampakan yang kuat (misalnya fasade,
pohon, dan lain-lain), atau belokan yang jelas.
2. Edges
Merupakan batas, dapat berupa suatu desain, jalan, sungai, gunung. Edge memiliki
identitas yang kuat karena tampak visualnya yang jelas. Edge merupakan
penghalang walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk yang merupakan
pengakhiran dari sebuah district atau batasan sebuah district dengan yang lainnya.
Edge memiliki identitas yang lebih baik jika kontinuitas tampak jelas batasnya.
Demikian pula fungsi batasnya harus jelas : membagi atau menyatukan. Contoh :
adanya jalan tol yang membatasi dua wilayah yaitu pelabuhan dan kawasan
perdagangan.
3. Districts
Merupakan suatu bagian kota mempunyai karakter atau aktivitas khusus yang dapat
dikenali oleh pengamatnya. District memiliki bentuk pola dan wujud yang khas
begitu juga pada batas district sehingga orang tahu akhir atau awal kawasan
tersebut. District memiliki ciri dan karakteristik kawasan yang berbeda dengan
kawasan disekitarnya. District juga mempunyai identitas yang lebih baik jika
batasnya dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen, serta
fungsi dan komposisinya jelas. Contoh: kawasan perdagangan, kawasan
permukiman, daerah pinggiran kota, daera pusat kota.
4. Nodes
Merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis di mana arah atau aktivitasnya
saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas lain, misalnya persimpangan
lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, kota secara keseluruhan dalam
skala makro besar, pasar, taman, square, tempat suatu bentuk perputaran
pergerakan, dan sebagainya. Node juga merupakan suatu tempat di mana orang
mempunyai perasaan masuk dan keluar dalam tempat yang sama. Node
mempunyai identitas yang lebih baik jika tempatnya memiliki bentuk yang jelas
(karena lebih mudah diingat), serta tampilan berbeda dari lingkungannya (fungsi,
bentuk). Contoh: persimpangan jalan
5. Landmark
Merupakan simbol yang menarik secara visual dengan sifat penempatan yang
menarik perhatian. Biasanya landmark mempunyai bentuk yang unik serta terdapat
perbedaan skala dalam lingkungannya. Beberapa landmark hanya mempunyai arti di
daerah kecil dan hanya dapat dilihat di daerah itu, sedangkan landmark lain
mempunyai arti untuk keseluruhan kota dan bisa di lihat dari mana-mana. Landmark
adalah elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang mengenali suatu
daerah. Selain itu landmark bisa juga merupakan titik yang menjadi ciri dari suatu
kawasan. Contoh: patung Lion di Singapura, menara Kudus, Kubah gereja Blenduk.
Menurut Spiro Kostof (1991), Kota adalah Leburan Dari bangunan dan penduduk,
sedangkan bentuk kota pada awalnya adalah netral tetapi kemudian berubah
sampai hal ini dipengaruhi dengan budaya yang tertentu. Bentuk kota ada dua
macam yaitu geometri dan organik.Terdapat dikotomi bentuk perkotaan yang
didasarkan pada bentuk geometri kota yaitu Planned dan Unplanned.
Elemen-elemen pembentuk kota pada kota organik, oleh kostol dianalogikan secara
biologis seperti organ tubuh manusia, yaitu :
Dalam suatu kota organik, terjadi saling ketergantungan antara lingkungan fisik dan
lingkungan sosial. Contohnya : jalan-jalan dan lorong-lorong menjadi ruang komunal
dan ruang publik yang tidak teratur tetapi menunjukkan adanya kontak sosial dan
saling menyesuaikan diri antara penduduk asli dan pendatang, antara kepentingan
individu dan kepentingan umum. Perubahan demi perubahan fisik dan non fisik
(sosial) terjadi secara sepontan. Apabila salah satu elemnya terganggu maka seluruh
lingkungan akan terganggu juga, sehingga akan mencari keseimbangan baru.
Demikian ini terjadi secara berulang-ulang.
Prinsip Land Use adalah pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan
yang terbaik dalam mengalokasikan fungsi tertentu, sehingga kawasan tersebut
berfungsi dengan seharusnya.
Tata Guna Lahan merupakan rancangan dua dimensi berupa denah peruntukan
lahan sebuah kota. Ruang-ruang tiga dimensi (bangunan) akan dibangun di tempat-
tempat sesuai dengan fungsi bangunan tersebut. Sebagai contoh, di dalam sebuah
kawasan industri akan terdapat berbagai macam bangunan industri atau di dalam
kawasan perekonomian akan terdapat berbagai macam pertokoan atau pula di
dalam kawasan pemerintahan akan memiliki bangunan perkantoran pemerintah.
Kebijaksanaan tata guna lahan juga membentuk hubungan antara sirkulasi/parkir
dan kepadatan aktivitas/penggunaan individual.
Bentuk dan massa bangunan ditentukan oleh tinggi dan besarnya bangunan, KDB,
KLB, sempadan, skala, material, warna, dan sebagainya.
Prinsip-prinsip dan teknik Urban Design yang berkaitan dengan bentuk dan massa
bangunan meliputi:
- Urban Space, sirkulasi ruang yang disebabkan bentuk kota, batas, dan tipe-tipe
ruang.
- Urban Mass, meliputi bangunan, permukaan tanah dan obyek dalam ruang yang
dapat tersusun untuk membentuk urban space dan pola aktifitas dalam skala besar
dan kecil.
Building form and massing membahas mengenai bagaimana bentuk dan massa-
massa bangunan yang ada dapat membentuk suatu kota serta bagaimana hubungan
antar-massa (banyak bangunan) yang ada. Pada penataan suatu kota, bentuk dan
hubungan antar-massa seperti ketinggian bangunan, jarak antar-bangunan, bentuk
bangunan, fasad bangunan, dan sebagainya harus diperhatikan sehingga ruang yang
terbentuk menjadi teratur, mempunyai garis langit horizon (skyline) yang dinamis
serta menghindari adanya lost space (ruang tidak terpakai).
Building form and massing dapat meliputi kualitas yang berkaitan dengan
penampilan bangunan, yaitu : ketinggian bangunan, kepejalan bangunan, KLB, KDB,
garis sempadan bangunan, langgam, skala, material, tekstur, warna.
Sirkulasi kota meliputi prasarana jalan yang tersedia, bentuk struktur kota, fasilitas
pelayanan umum, dan jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat.
Semakin meningkatnya transportasi maka area parkir sangat dibutuhkan terutama di
pusat-pusat kegiatan kota (CBD).
Sirkulasi adalah elemen perancangan kota yang secara langsung dapat membentuk
dan mengkontrol pola kegiatan kota, sebagaimana halnya dengan keberadaan
sistem transportasi dari jalan publik, pedestrian way, dan tempat-tempat transit
yang saling berhubungan akan membentuk pergerakan (suatu kegiatan). Sirkulasi di
dalam kota merupakan salah satu alat yang paling kuat untuk menstrukturkan
lingkungan perkotaan karena dapat membentuk, mengarahkan, dan mengendalikan
pola aktivitas dalam suatu kota. Selain itu sirkulasi dapat membentuk karakter suatu
daerah, tempat aktivitas dan lain sebagainya.
Tempat parkir mempunyai pengaruh langsung pada suatu lingkungan yaitu pada
kegiatan komersial di daerah perkotaan dan mempunyai pengaruh visual pada
beberapa daerah perkotaan. Penyediaan ruang parkir yang paling sedikit memberi
efek visual yang merupakan suatu usaha yang sukses dalam perancangan kota.
Berbicara tentang ruang terbuka (open space) selalu menyangkut lansekap. Elemen
lansekap terdiri dari elemen keras (hardscape seperti : jalan, trotoar, patung,
bebatuan dan sebagainya) serta elemen lunak (softscape) berupa tanaman dan air.
Ruang terbuka biasa berupa lapangan, jalan, sempadan sungai, green belt, taman
dan sebagainya.
Dalam perencanan open space akan senantiasa terkait dengan perabot taman/jalan
(street furniture). Street furniture ini bisa berupa lampu, tempat sampah, papan
nama, bangku taman dan sebagainya.
Menurut Tracik (1986) dalam suatu lingkungan permukiman ada rangkaian antara
figure ground, linkage dan palce. Figure ground menekankan adanya public civics
space atau open space pada kota sebagai figure. Melalui figure ground plan dapat
diketahui antara lain pola atau tipologi, konfigurasi solid void yang merupakan
elemtal kawasan atau pattern kawasan penelitian, kualitas ruang luar sangat
dipengaruhi oleh figure bangunan-bangunan yang melingkupinya, dimana tampak
bangunan merupakan dinding ruang luar, oleh karena itu tata letak, bentuk dan
fasade sistem bangunan harus berada dalam sistem ruang luar yang membentuknya.
Komunikasi antara privat dan publik tercipta secara langsung. Ruang yang
mengurung (enclosure) merupakan void yang paling dominan, berskala manusia
(dalam lingkup sudut pandang mata 25-30 derajat) void adalah ruang luar yang
berskala interior, dimana ruang tersebut seperti di dalam bangunan, sehingga ruang
luar yang enclosure terasa seperti interior. Diperlukan keakraban antara bangunan
sebagai private domain dan ruang luar sebagai public dominan yang menyatu
1. Pusat-Pusat Pertumbuhan
2. Pengembangan Ekonomi Lokal
3. Strategi Pengembangan Ekonomi
Location Quotient Analysis (LQ)
Shift Share Analysis
4. Pembangunan Ekonomi Berbasis Wilayah
5. Pengembangan Wilayah Berbasis Kompetisi
Paradigma baru dalam strategi pengembangan wilayah adalah memenangkan
persaingan antar wilayah. Persaingan antar wilayah merupakan fenomena tersendiri
dalam dinamika perekonomian dewasa ini (Alkadri, 1999). Eksistensi suatu wilayah
akan ditentukan oleh kemampuan menciptakan basis keunggulan dalam persaingan
ekonomi antar wilayah.
Terdapat tiga pilar pengembangan wilayah, yaitu sumber daya alam, sumber daya
manusia dan teknologi. Ketiga pilar ini merupakan basis untuk memenangkan
persaingan antar wilayah. Sementara itu, ada pula tiga fenomena yang berperan
penting dalam peningkatan intensitas persaingan antar wilayah, yakni trend
perdagangan global (global trade), kemajuan teknologi (technology progress) dan
perubahan dalam sistem kemasyarakatan (society system).
Paradigma baru pembangunan harus dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi
tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang mempunyai daya saing yang tinggi. Porter
dalam Alkadri (1999) menggambarkan bahwa faktor keunggulan komperatif telah
dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun, setiap wilayah masih mempunyai
faktor keunggulan khusus, yaitu inovasi. Suatu wilayah bisa meraih keunggulan daya
saing melalui empat hal, yaitu :
a) Keunggulan faktor produksi,
b) Keunggulan inovasi,
c) Kesejahteraan masyarakat dan
d) Besarnya investasi.