Anda di halaman 1dari 33

MATA KULIAH : Teori Perencanaan

NAMA DOSEN : Jufriadi, ST., MSP

JENIS JENIS TEORI PERENCANAAN

DISUSUN OLEH

NAMA : FRANSISKUS OKTOVIANEY.LW

NIM : 45 12 042 076

JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BOSOWA 45
MAKASSAR
2014
1. Teori Von Thunen
Von Thunen adalah orang pertama yang membuat model analitik dasar dari
hubungan antara pasar, produksi, dan jarak. Lahir dengan nama lengkap Johann
Heinrich von Thunen, dialah yang pertama kali mengemukakan teori ekonomi lokasi
modern. Teori Von Thunen telah mulai dikenal sejak abad ke 19. teorinya mencoba
untuk menerangkan berbagai jenis pertanian dalam arti luas yang berkembang
disekeliling daerah perkotaan yang merupakan pasar komoditi pertanian tersebut. Ia
berpendapat bahwa bila suatu laboratorium dapat diciptakan berdasarkan atas
tujuh asumsi, maka daerah lokasi jenis pertanian yang berkembang akan mengikuti
pola tertentu. Ketujuh asumsi tersebut adalah:

1. Terdapat suatu daerah terpencil yang terdiri atas daerah perkotaan dengan
daerah pedalamannya yang merupakan satu-satunya daerah pemasok
kebutuhan pokok yang merupakan komoditi pertanian;
2. Daerah perkotaan tersebut merupakan daerah penjumlahan kelebihan
produksi daerah pedalaman dan tidak menerima penjualan hasil pertanian
dari daerah lain;
3. Daerah pedalaman tidak menjual kelebihan produksinya ke daerah lain,
kecuali ke daerah perkotaan tersebut;
4. Daerah pedalaman merupakan daerah berciri sama dan cocok untuk
tanaman dan peternakan dataran menengah;
5. Daerah pedalaman dihuni oleh petani yang berusaha untuk mempeoleh
keuntungan maksimum dan mampu untuk menyesuaikan hasil tanaman dan
peternakannya dengan peemintaan yang terdapat di daerah perkotaan;
6. Satu-satunya angkutan yang terdapat pada waktu itu adalah angkutan darat
berupa gerobak yang dihela oleh kuda;
7. Biaya angkutan ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan jarak
yang ditempuh. Petani mengangkut semua hasil dalam bentuk segar.
Von Thunen mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai
kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi).
Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan
makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan
sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan. Model
Von Thunen mengenai tanah pertanian ini, dibuat sebelum era industrialisasi, yang
memiliki asumsi dasar sebagai berikut :
a. Wilayah model yang terisolasikan (isolated state) adalah bebas dari pengaruh
pasar-pasar kota lain,
b. Wilayah model membentuk tipe permukiman perkampungan di mana
kebanyakan keluarga petani hidup pada tempat-tempat yang terpusat dan
bukan tersebar di seluruh wilayah,
c. Wilayah model memiliki iklim, tanah, topografi yang seragam, atau uniform
(produktivitas tanah secara fisik adalah sama),
d. Wilayah model memiliki fasilitas transportasi tradisional yang relatif
seragam,
e. Faktor-faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah
konstan
Teori Von Thunen yang masih relevan dengan kondisi sekarang contohnya adalah
kelangkaan persediaan sumber daya lahan di daerah perkotaan memicu berlakunya
hukum ekonomi supply and demand semakin langka barang di satu pihak semakin
meningkat permintaan di pihak lain akibatnya harga melambung. Demikian yang
terjadi terhadap lahan yang ada di daerah perkotaan, dimana nilai sewa atau beli
lahan yang letaknya dipusat kegiatan, semakin dekat ke pusat semakin tinggi nilai
sewa atau beli lahan tersebut.

a. Kelangkaan lahan di kota-kota besar seperti untuk pertokoan misalnya,


banyak sekali toko toko yang terletak di pusat kota biaya sewa atau beli
tanahnya lebih mahal dari biaya sewa atau beli rumah yang jauh dari pusat
perkotaan, bahkan harganya selalau naik, mengikuti perkembangan yang
terjadi dari tahun ketahunnya. Ini mengindikasikan bahwa teori Von Thunen
tentang alokasi lahan untuk kegiatan pertanian juga berlaku di daerah
perkotaan

2 . Teori Alfred weber (Lokasi optimum dan Aglomerasi lndustri)

Alfred Weber (1907 1933), memiliki teori yang menyebutkan bahwa lokasi
industri sebaiknya diletakkan di tempat yang memiliki biaya yang paling minimal.
Menurut teori Weber pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi
biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya
transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus minimum.
Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah
identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Dalam menjelaskan
keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku Weber menggunakan konsep segitiga
lokasi atau locational triangle untuk memperoleh lokasi optimum yang menunjukkan
apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau pasar.
Menurut Weber, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi lokasi industri,
yaitu faktor tenaga kerja dan biaya transportasi yang merupakan faktor regional
yang bersifat umum serta faktor deglomerasi/aglomerasi yang bersifat lokal dan
khusus. Weber berbasis kepada beberapa asumsi utama, antara lain:

 Lokasi bahan baku ada di tempat tertentu begitu pula dengan situasi dan
ukuran tempat konsumsi, sehingga terdapat suatu persaingan sempurna
 Ada beberapa tempat pekerja yang bersifat tak mudah bergerak

Dalam menyusun konsepnya, Weber melakukan penyederhanaan dengan


membayangkan adanya bentang lahan yang homogen dan datar, serta
mengesampingkan upah buruh dan jangkauan pasaran.
Dengan menggunakan ketiga asumsi di atas, maka biaya transportasi akan
tergantung dari dua hal, yaitu bobot barang dan jarak pengangkutan. Apabila yang
menjadi dasar penentu bukan bobot melainkan volume, maka yang menentukan
biaya pengangkutan adalah volume barang dan jarak pengangkutan. Pada
prinsipnya, yang harus diketahui adalah unit yang merupakan hubungan fungsional
dengan biaya serta jarak yang harus ditempuh dalam pengangkutan itu (memiliki
tarif sama). Di sini dapat diasumsikan bahwa harga satuan angkutan sama, sehingga
perbedaan biaya angkutan hanya disebabkan oleh perbedaan berat benda yang
diangkut dan jarak yang ditempuh.
Selain itu, Weber juga mengelompokkan industri menjadi dua, yaitu industri
yang weight losing (industri yang hasil produksinya memiliki berat yang lebih ringan
daripada bahan bakunya, misalnya industri kertas. Industri ini memiliki indeks
material <> 1). Dengan indeks material > 1, maka biaya transportasi bahan baku
menuju pabrik akan lebih mahal apabila dibandingkan dengan biaya transportasi
produk jadi menuju pasaran (market). Oleh karena itu, lokasi pabrik seharusnya
diletakkan di dekat sumber bahan baku (resources oriented). Sebaliknya, bagi
industri yang berjenis weight gaining, maka lokasi industri lebih baik diletakkan di
dekat pasar. Penggunaan kedua prinsip untuk menentukan lokasi industri di atas
akan mengalami kesulitan apabila berat benda yang masuk ke dalam perhitungan
tidak jauh berbeda.
Pada intinya, lokasi akan optimal apabila pabrik berada di sentral, karena
biaya transportasi dari manapun akan rendah. Biaya tersebut berkaitan dengan dua
hal, yaitu transportasi bahan mentah yang didatangkan dari luar serta transportasi
hasil produksi yang menuju ke pasaran.
Weber juga menjelaskan mengenai adanya gelaja aglomerasi industri. Gejala
aglomerasi merupakan pemusatan produksi di lokasi tertentu. Pemusatan produksi
ini dapat terjadi dalam satu perusahaan atau dalam berbagai perusahaan yang
mengusahakan berbagai produk. Gejala ini menarik industri dari lokasi biaya
angkutan minimum, karena membawakan berbagai bentuk penghematan ekstern
yang disebut Aglomeration Economies. Tentu saja perpindahan ini akan
mengakibatkan kenaikan biaya angkutan, sehingga dilihat dari segi ini tidak lagi
optimum. Oleh karena itu, industri tersebut baru akan pindah bila penghematan
yang dibawa oleh Aglomeration Economies lebih besar daripada kenaikan biaya
angkutan yang dibawakan kepindahan tersebut.
Perkembangan suatu kawasan (region) berasal dari satu titik, yaitu pusat
kota yang dalam tahap selanjutya bersifat menyebar. Setiap perkembangan yang
terjadi pada suatu kawasan, terutama dalam kaitannya dengan sektor industri, akan
memberikan pengaruh yang cukup besar dalam mendorong perkembangan sektor-
sektor lainnya. Maka, dapat dikatakan pula bahwa perkembangan suatu kawasan
mempunyai dampak terhadap perkembangan kota yang berada di sekitarnya.
Salah satu faktor yang juga mempengaruhi perkembangan kawasan industri
tersebut adalah terdapatnya sarana transportasi yang memadai. Peranan sarana
transportasi ini sangat penting bagi suatu kawasan untuk menyediakan aksesibilitas
bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari akan barang dan jasa, serta
untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi. Semakin kecil biaya transportasi
antara lokasi bahan baku menuju pabrik dan dari pabrik menuju pasaran (market),
maka jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut bahan baku maupun hasil
produksi juga akan semakin rendah.
Dengan memperhitungkan berat bahan baku = w (S1) ton yang akan
ditawarkan di pasar M, w (S1) dan w (S2) ton material yang berasal dari masing-
masing S1 dan S2 yang diperlukan, masalahnya berada dalam mencari lokasi pabrik
yang optimal P terletak di masing-masing jarak d (M), d (S1) dan d (S2). Beberapa
metodologi dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah seperti menggambarkan
sebuah analogi ke dalam sistem bobot dan pulleys (Varignon's solusi) atau
menggunakan trigonometri. Cara lain yang biasanya dipilih oleh para ahli geografi
adalah dengan SIG.
Teori Lokasi Weber ini bisa menjelaskan dengan sangat baik mengenai
indutri berat mulai revolusi industri sampai dengan pertengahan abad dua puluh.
Bahwa kegiatan yang lebih banyak menggunakan bahan baku cenderung untuk
mencari lokasi dekat dengan lokasi bahan baku, seperti pabrik alumunium lokasinya
harus dekat lokasi tambang dan dekat dengan sumber energi (listrik). Kegiatan yang
menggunakan bahan baku yang mudah ditemukan dimana saja seperti air,
cenderung dekat dengan lokasi pasar. Untuk menilai masalah ini, Weber
mengembangkan material index yang diperoleh dari berat input dibagi berat dari
produk akhir (output). Jika material indexnya lebih dari 1 maka lokasi cenderung
kearah dekat dengan bahan baku, jika kurang dari 1 maka penentuan lokasi industri
cenderung mendekati pasar.
Industri primer adalah Industri yang menghasilkan barang-barang tanpa
pengolahan lebih lanjut sehingga bentuk dari bahan baku/mentah masih
tampak.Contohnya : industri pengasinan ikan, penggilingan padi, anyaman. Jadi
industri primer ini aktivitasnya lebih banyak menggunakan bahan baku, sehingga
menurut teori webber lokasi industrinya yang tepat adalah dekat dengan bahan
baku.
Dan jika dihitung berdasarkan teori material indexnya weber misal : industri
pengasinan ikan, berat input (ikan segar) lebih berat dari berat ikan asin jadi
material idexnya lebih dari 1, maka menurut webber untuk menghemat biaya
transportasi dan untuk mendapatkan keuntungan maksimal maka lokasi industrinya
yang tepat adalah yang dekat dengan bahan baku.

3 . TeoriWalter Christaller Central Place Theory (Teori Tempat Sentral)

Central Place theory dikemukakan oleh Walter Christaller pada 1933. Teori ini
menyatakan bahwa suatu lokasi dapat melayani berbagai kebutuhan yang terletak
pada suatu tempat yang disebutnya sebagai tempat sentral. Tempat sentral tersebut
memiliki tingkatan-tingkatan tertentu sesuai kemampuannya melayani kebutuhan
wilayah tersebut. Bentuk pelayanan tersebut digambarkan dalam segi
enam/heksagonal. Teori ini dapat berlaku apabila memiliki karakteristik sebagai
berikut

1. wilayahnya datar dan tidak berbukit

2. tingkat ekonomi dan daya beli penduduk relatif sama

3. penduduk memiliki kesempatan yang sama untuk bergerak ke berbagai arah

Secara hierarki Central Place Theory dibagi menjadi 3 tingkatan pelayanan

1. Herarkri K 3

Merupakan pusat pelayanan pasar optimum dimana tempat sentral tersebut selalu
menyediakan kebutuhan barang-barang pasar untuk daerah disekitarnya.

2. Hierarki K 4

Merupakan pusat lalu lintas/transportasi maksimum dimana tempat sentral tersebut


menyediakan sarana dan prasarana lalu-lintas yang optimal.

3. Hierarki K 7
Merupakan pusat pemerintahan optimum dimana tempat sentral tersebut
merupakan sebuah pusat pemerintahan

Teori pada prinsipnya bersifat statis dan tidak memikirkan pola pembangunan di
masa yang akan datang akan tetapi dasar tentang hierarki suatu pusat pelayanan
sangat membantu dalam hal perencanaan pembangunan sebuah wilayah/kota.

4. Teori August Losch (Kerucut permintaan)

August Losch, adalah seorang ekonom Jerman dan menulis sebuah buku
berjudul The Economics of Location (1954). Dia merupakan orang pertama yang
mengembangkan teori lokasi dengan segi permintaan sebagai variabel utama
dengan memperhitungkan baik harga produk dan berapa biaya untuk
memproduksinya. Dimana Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat
berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari
tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk
mendatangi tempat penjual semakin mahal. Losch cenderung menyarankan agar
lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar. Teori ini bertujuan untuk
menemukan pola lokasi industri sehingga diketemukan keseimbangan spasial antar
lokasi. Losch berpendapat bahwa dalam lokasi industri yang tampak tak teratur
dapat diketemukan pola keberaturan.
Teori losch berasumsi suatu daerah yang homogen dengan distribusi sumber
bahan mentah dan sarana angkutan yang merata serta selera konsumen yang sama.
Kegiatan ekonomi yang terdapat di daerah tersebut merupakan pertanian berskala
kecil yang pada dasarnya ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan petani masing-
masing. Selain itu, untuk mencapai keseimbangan, ekonomi ruang losch harus
memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
1. Setiap lokasi industri harus menjamin keuntungan maksimum bagi penjual maupun
pembeli.
2. Terdapat cukup banyak usaha pertanian dengan penyebaran cukup merata
sehingga seluruh permintaan yang ada dapat dilayani.
3. Terdapat free entry dan tak ada petani yang memperoleh super-normal propfit
sehingga tak ada rangsangan bagi petani dari luar untuk masuk dan menjual barang
yang sama di daerah tersebut.
4. Daerah penawaran adalah sedemikian hingga memungkinkan petani yang ada
untuk mencapai besar optimum.
5. Konsumen bersikap indifferent terhadap penjual manapun dan satu-satunya
pertimbangan untuk membeli adalah harga yang rendah.
Pada teori Losch, wilayah pasar bisa berubah ketika terjadi inflasi (perubahan) harga.
Hal ini disebabkan karena produsen tidak mampu memenuhi permintaan yang
karena jaraknya jauh akan mengakibatkan biaya transportasi naik sehingga harga
jualnya juga naik, karena tingginya harga jual maka pembelian makin berkurang. Hal
ini mendorong petani lain melakukan proses produksi yang sama untuk melayani
permintaan yang belum terpenuhi.

5 . Teori Francois perroux (Kutub pertumbuhan)

Teori ini dikembangkan oleh ahli ekonomi Perancis Francois Perroux pada tahun
1955. Inti dari teori ini menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di tiap daerah
tidak terjadi di sembarang tempat melainkan di lokasi tertentu yang disebut kutub
pertumbuhan. Untuk mencapai tingkat pendapatan tinggi harus dibangun beberapa
tempat pusat kegiatan ekonomi yang disebut dengan growth pole (kutub
pertumbuhan). Pandangan Perroux mengenai proses pertumbuhan adalah teori tata
ruang ekonomi, dimana industri pendorong memiliki peranan awal dalam
membangun sebuah pusat pertumbuhan. Industri pendorong ini memiliki ciri-ciri
sebagai berikut
1. Tingkat konsentrasi tinggi

2. Tingkat Teknologi Maju

3. Mendorong perkembangan industri di sekitarnya

4. Manajemen yang professional dan modern

5. sarana dan prasarana yang sudah lengkap

Konsep Growth pole dapat didefinisikan secara geografis dan fungsional

Secara geografis growth pole dapat digambarkan sebagai suatu lokasi yang memiliki
fasilitas dan kemudahan sehingga menimbulkan daya tarik bagi berbagai kalangan
untuk mendirikan berbagai macam usaha di daerah tersebut dan masyarakat senang
memanfaatkan fasilitas tersebut.
Secara fungsional growth pole dapat diartikan sebagai suatu lokasi konsentrasi
kelompok ekonomi (industri, bisnis dll) yang mengakibatkan pengaruh ekonomi ke
dalam maupun keluar wilayah tersebut.

6. Teori Boudeville (Kutub pembangunan yang Terlokalisasikan)

Boudeville (dalam Glasson,1978) mendefinisikan wilayah perencanan (planning


region atau programming region) sebagai wilayah yang memperlihatkan koherensi
atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Wilayah perencanaan dapt dilihat
sebagai wilayah yang cukup besar untuk memungkinkan terjadinya perubahan-
perubahan penting dalam penyebaran penduduk dan kesempatan kerja, namun
cukup kecil untuk memungkinkan persoalan-persoalan perencanaannya dapat
dipandang sebagai satu kesatuan.

Klassen (dalam Glasson,1978) mempunyai pendapat yang hampir sama dengan


Boudeville,yaitu bahwa wilayah perencanaan harus mempunyai ciri-ciri:

 cukup besar untuk mengambil keputusan-keputusan investasi yang berskala


ekonomi,
 mampu mengubah industrinya sendiri dengan tenaga kerja yang ada,
 mempunyai struktur ekonomi yang homogen,
 mempunyai sekurang-kurangnya satu titik pertumbuhan (growthpoint).
 mengunakan suatu cara pendekatan perencanaan pembangunan,
 masyrakat dalam wilayah itu mempunyai kesadaran bersama terhadap
persoalan-persoalannya.

Salah satu contoh wilayah perencanaan yang sesuai dengan pendapat Boudeville
dan Klassen di atas, yang lebih menekankan pada aspek fisik dan ekonomi, yang ada
di Indonesia adalah BARELANG (pulau Batam, P Rempang, P Galang) Daerah
perencanaan tersebut sudah lintas batas wilayah administrasi.

Wilayah perencanaan bukan hanya dari aspek fisik dan ekonomi, namun ada juga
dari aspek ekologis. Misalnya dalam kaitannya dengan pengelolaan daerah aliran
sugai (DAS). Pengelolaan daerah aliran sungai harus direncanakan dan dikelola mulai
dari hulu sampai hilirnya.Contoh wilayah perencanaan dari aspek ekologis adalah
DAS Cimanuk, DAS Brantas, DAS Citanduy dan lain sebagainya.

7 . Teori Myrdal (Pusat pinggiran)

Konsep pusat pinggiran ini pertama-tama dikemukakan pada tahun 1949 oleh
pebrisch, seorang ahli ekonomi Amerika Latin. Tipe teori pembangunan ini mencoba
memberikan gambaran dan menerangkan tentang perbedaan pembangunan
(development), tetapi penekanannya dari aspek keruangan. Jadi konsep ini sesuai
dengan kajian geografi yang juga melihat sesuatu dari segi keruangan. Perbedaan
antara daerah pusat (C) dan daerah pinggiran ( P ) dapat dijumpai dalam beberapa
skala: di dalam region, anatar regions dan anatara negara ( pelabuhan dan daerah
pendukungnya: kota dan desa; negara maju dan negara sedang berkembang ).
Dari konsep ini kemudian berkembang menjadi beberapa pandangan teorits
mengenai perbedaan pembangunan yaitu kemajuan anatara pusat dan pinggiran
(Core-periphery), seperti teori polarisasi ekonomi dari Myrdal dan Hirscman, teori
pembangunan regional dan Friedmann dan pandangan Marxist.
Menurut Myrdal Core region adalah sebagai magnit yang dapat memperkuat
pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya, karena adanya sebab-sebab kumulatif ke
arah perkembangan ( Cumulative upward causation ): seperti arus buruh dari
pinggiran ke pusat ( P ke C ); tenaga trampil, modal dan barang-barang perdagangan
yang secara spontan berkembang didalam ekonomi pasar bebas untuk menunjang
pertumbuhan di suatu lokasi (wilayah ) tertentu.

8 . Teori Walter lsard (Masukan Transpor)

Teori ini dikemukakan oleh Walter Isard (1956) yang mengembangkan logika
teori dasar Weber dengan menempatkan teori tersebut dalam konteks analisis
substitusi sehingga menjadi alat peramal yang tangguh (robust) namun sederhana.
Pendekatan Isard menggunakan asumsi bahwa lokasi dapat terjadi di titik-titik
sepanjang garis yang menghubungkan sumber bahan baku dengan pasar jika bahan
baku setempat adalah murni sehingga terdapat dua variabel, yaitu jarak dari pasar
dan jarak dari sumber bahan baku. Hubungan kedua variabel tersebut dapat
diplotkan dalam bentuk grafik dimana garis yang menghubungkan antara sumber
bahan baku dan pasar adalah tempat kedudukan titik-titik kombinasi antara bahan
baku dan pasar yang bersifat substitusi. Apabila ditambah lagi satu variabel baru
yakni penggunaan bahan baku kedua kedalam input produksi, maka terdapat 3 set
hubungan substitusi.

Alasan mengapa istilah satu variabel dibuat tetap hanyalah untuk mempermudah
pembuatan grafik dua dimensi. Penyelesaian masalah dalam penentuan lokasi dapat
dilihat secara bertahap melalui pasangan-pasangan dua sudut dari segitiga tersebut.
Titik biaya terendah diperoleh dengan mengidentifikasikan titik dimana jarak
tempuh total adalah terendah di setiap pasangan garis transformasi sehingga jarak
parsial dapat digunakan untuk menentukan lokasi optimal. Jadi, lokasi optimal
adalah lokasi dengan biaya transportasi beberapa substitusi lokasi yang paling
rendah.

9 . Teori Hoover (Peranan Biaya Transpor Dalam pemilihan Lokasi INDUSTRI

Teori Hoover (1948), muncul sebagai kritik terhdap teori yang dikemukakan oleh
Weber tentang lokasi industri, khususnya yang menyangkut biaya transport yang
terendah di dalam segitiga lokasional. Hoover mengemukakakn lokasi pabrik atau
perusahaan dapat saja di titik pasar ataupun pada titik sumber bahan mentah, jadi
tidak hanya lokasi antaranya seperti pendapat Weber. Yang mendasari pendapat
Hoover juga biaya transpor, dengan memperhitungkan assembly cost ditambah
distribution cost .

Pada kasus industri yang berkiblat bahan mentah akan menempatkan lokasi industri
tersebut pada lokasi bahan mentah, begitu juag sebaliknya, industri yang berkiblat
pasar akan menempatkan industri pada lokasi pasar.

Pada kasus dimana pabrik ditemukan pada lokasi antara pasar dan sumber bahan
mentah, dapat diketahui industri tersebut memperhatikan non biaya transport.
Aspek lain yang penting dalam Teori Hoover adalah transhipment point sebagai
biaya tranpsort paling rendah. Sehubungan dengan itu perlu diketahui seluk beluk
biaya break of bulk point, tempat dimana cargo dipindahkan dari sarana transport
jenis yang satu ke jenis yang lain, misalnya tempat pelabuhan atau stasiun kereta
api.

10 . Teori John Friedmann (DaerahAl/ilayah inti)

John Friedmann (1987) memandang bahwa tidak efektifnya komunikasi dalam


proses perencanaan, dapat terjadi karena para perencana umumnya menganggap
dirinya superior dibandingkan masyarakat sebagai kliennya. Perencana merasa
bahwa dengan teknik-teknik yang dimilikinya mereka mampu memecahkan berbagai
masalah karena dapat melihat kerumitan masalah dengan lebih rasional. Sedangkan
masyarakat sebagai klien beranggapan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik,
karena sudah teruji secara alamiah. Dan permasalahan dapat dipecahkan karena
keterlibatan klien secara langsung. Karena adanya jurang pendapat ini, Friedmann
mengusulkan transactive sebagai jembatan penghubung, melalui apa yang disebut
sebagai the life of dialogue. The life of dialogue ini dapat terjadi dari hubungan
antara dua pihak, bila memiliki karakteristik: interaktif yang originalitas, tindakan
yang objective, dan bila ada konflik tidak dipandang sebagai kendala akan tetapi
dijadikan potensi komplementer. Dalam menjalankannya diperlukan eksistensi dan
substasi perencanaan yang sama, interest dan komitment yang setara, hubungan
timbal balik atau interaktif yang memadai, dan memiliki kerangka waktu (time
frame) yang equal (Friedmann 1987).

Oleh karena itu proses timbal balik (mutual learning) antara klien dan perencana
merupakan faktor yang mendasar dalam konsep pluralisme, transactive, adcocacy,
dan perencanaan yang komunikatif. Dalam proses ini perencana belajar dari
pengalaman pribadi dan klien, sedangkan klien belajar dari kepakaran taknik dari
perencana. Dengan proses ini pengetahuan kedua belah pikah menjadi makin
bertambah

11 . Teori Poernomosidi (Simpul Jasa Distribusi Menggunakan pendekatan Arus


Barang)
Poernomosidi Hadjisarosa menjelaskan Teori Simpul Jasa Distribusi yang telah
dikembbangkan dalam berbagai artikel dan Makala, misalnya Konsepsi Dasar
Penembangan Wilayah di Indonesia ( Makala di sajikan dalam symposium di
ITB,tanggal 21 Agustus 1980, dan dalam pertemuan antara ilmuan lembaga ilmu
pengetahuan Indonesia di Jakarta, Tanggal 24 Juni 1981 ). Poernomosidi
menjelaskan konsepnya sebagai berikut : Berkembangnya Wilayah ditandai oleh
terjadinya Pertumbuhan atau perkembangan sebagai akibat berlangsungnya
berbagai kegiatan usaha , baik sector Pemerintah maupun sector Swasta, yang pada
dasarnya bertujuan untuk menigkatkan pemenuhan kebutuhan. Berlangsungnya
kegiatan usaha tersebut ditunjang dari segi modal.
Dibandingkan dengan teori tempat sentral dan teori kutub pertumbuhan
ternyata teori Simpul Jasa Distribusi lebih akomodatif. Poernomosidi membantah
Teori tempat sentral yang beranggapan bahwa seluruh wilayah terbagi habis dan
seluruh bagian Wilayah tidak ada yang terlewatkan oleh jasa pelayanan. Dalam hal
ini Poernomosidi membedakan wilayah Adminnistratif dengan wilayah
pengembangan. Secara administratif, seluruh wilayah terbagi habis tetapi tidak
berarti seluruh Wilayah Administrasi otomatis tercakup dalam Wilayah
pengembangan, dalam kenyataannya bebrapa bagian Wilayah administrasi tidak
terjangkau oleh pelayanan jasa distribusi disebabkan hambatan hambatan
geografis atau karena belum tersedianya Prasarana prasarana perhubungan kea
tau dari bagian bagiian Wilayah tersebut.
Pada teori kutub pertumbuhan yang di ungkapkan oleh Perroux, Poernomosidi
mencoba membandingkan dengan teorinya di mana pada teori kutub pertumbuhan
tidak menjelaskan pertumbuhan secara Nasional. Sedangkan teori simpul yang
bertitik tolak pada pemahaman struktur wilayah tingkat Nasional ( SPWTN ) telah
mengungkapkan gambaran tentang penyebaran, orientasi dan tingkat
perkembangan masing masing satuan Wilayah Pengembangan ( SWP ) serta
hubungan ketergantungan antar (SWP ) melalui simpul simpulnya masing
masing.

12 . Teori Rahardjo Adisasmita (Simpul Jasa Distribusi Menggunakan pendekatan


Orientasi Pedagangan)
Rahardjo Adi Sasmita memperkuat teori simpul jara distribusi ini dengan teori arus
barang, bahwa pergerakan barang ditentukan oleh suatu kebputusan dalam
kegiatan perdagangan yang mempengaruhi intensitas kegiatan pada masing-masing
simpul. Dengan variable LDTR dan BFDR, untuk menyatakan beban simpul jasa,
berdasarkan orientasi, bobot dan jumlah pedagang, ia menjabarkan lebih jauh
mengenai:

- Kaitan fungsi antar simpul (kota) serta besar pengaruh antar simpul dengan yang
lain

- Gejala karakteristik penyebaran simpul

- Faktor penentu terjadinya sub ordinasi pada simpul

- Tingkat efisiensi pada masing-masing simpul.

13 . Teori Adam smith (perbedaan antara kota dan perdesaan)

Adam Smith dalam pemikirannya membagi pertumbuhan ekonomi menjadi


5 tahap, dimulai dari masa perburuan, masa beternak, masab e r c o c o k t a n a m ,
masa perdagangan, dan masa perindustrian. M e n u r u t A d a m
S m i t h , d a l a m p e r k e m b a n g a n n y a p e r t u m b u h a n ekonomi satu
masyarakat melalui proses pentahapan dari tahap yangpaling tradisional
(primitf) hingga tahap yang lebih maju (modern).
Padangan Adam Smith dalam teori pertumbuhan ekonomi,
yangmenjadi titik perhatiannya adalah pembagian kerja dan
investasi.A d a m S m i t h b e r p e n d a p a t b a h w a p e r t u m b u h a n
e k o n o m i a k a n bergerak dari masyarakat tradisonal menuju masyarakat
modern,namun pembagian kerja menjadi faktor lain yang turut
mendukungproses pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja menjadi masukan(input)
bagi proses produksi. Adam Smith berpendapat bahwa pembagian k e r j a
akan lebih efisien dan hasil produksi jauh lebih baik
d a n berkualitas dengan adanya peningkatan keterampilan tenaga
kerjadan penemuan mesin-mesin. Kedua yang menjadi fokus
perhatianA d a m S m i t h a d a l a h k e m a m p u a n i n v e s t a s i
dan menabungan.Kemampuan menabung oleh
m a s y a r a k a t d i p e n g a r u h i o l e h kemampuan menguasai sumber
daya. Artinya kelompok masyarakatyang menguasai sumberdaya dan
mengeksplorasi merupakan modaldalam investasi dan tabungan.Asumsinya bahwa
perkembangan ekonomi terjadi sebagai berikut :
Perkembangan ekonomi berlansgsung secara pentahapan.
Adanya pembangian kerja sebagai proses efisiensi kerja
denganp e n i n g k a t a n k e t e r a m p i l a n t e n a g a k e r j a d a n p e n e m u a n
m e s i n - mesin.
Kemampuan menabung menunjukkan kemampua
m a s y a r a k a t dalam menguasai sumber daya yang ada (sumber ekonomi).

14 . teori Archibugi ( Penerapan Komponen Perencanaan Wilayah )

Menurut Archibugi (2008) berdasarkan penerapan teori perencanaan wilayah


dapat dibagi atas empat komponen yaitu :
(a) Physical Planning(Perencanaan fisik).
Perencanan yang perlu dilakukan untuk merencanakan secara fisik pengembangan
wilayah. Muatan perencanaan ini lebih diarahkan kepada pengaturan tentang
bentuk fisik kota dengan jaringan infrastruktur kota menghubungkan antara
beberapa titik simpul aktivitas. Teori perencanaan ini telah membahas tentang kota
dan sub bagian kota secara komprehensif. Dalam perkembangannya teori ini telah
memasukkan kajian tentang aspek lingkungan. Bentuk produk dari perencanaan ini
adalah perencanaan wilayah yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Medan
dalam bentuk master plan
(tata ruang, lokasi tempat tinggal, aglomerasi, dan penggunaan lahan).
(b) Macro-Economic Planning(Perencanaan Ekonomi Makro).
Dalam perencanaan ini berkaitan perencanaan ekonomi wilayah. Mengingat
ekonomi wilayah menggunakan teori yang digunakan sama dengan teori ekonomi
makro yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi,
pendapatan, distribusi pendapatan, tenaga kerja, produktivitas,perdagangan,
konsumsi dan investasi.
Perencanaan ekonomi makro wilayah adalah dengan membuat kebijakan ekonomi
wilayah guna merangsang pertumbuhan ekonomi wilayah. Bentuk produk dari
perencanaan ini adalah kebijakan bidang aksesibilitas lembaga keuangan,
kesempatan kerja, tabungan).

(c)Social Planning (Perencanaan Sosial).


Perencanaan sosial membahas tentang pendidikan, kesehatan, integritas sosial,
kondisi tempat tinggal dan tempat kerja, wanita, anak-anak dan masalah kriminal.
Perencanaan sosial diarahkan untuk membuat perencanaan yang menjadi dasar
program pembangunan sosial di daerah. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah
kebijakan demografis.
(d)Development Planning(Perencanaan Pembangunan).
Perencanaan ini berkaitan dengan perencanaan program pembangunan secara
komprehensif guna mencapai pengembangan wilayah.

15 . Teori Fianstein dan Norman (Tiporogi perencanaan)


Fianstein dan Norman (1991) tipologi perencanaan dibagi atas empat macam
yang didasarkan pada pemikiran teoritis. Empat macam perencanaan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a)Traditional planning (perencanaan tradisional).
Pada jenis perencanaan ini perencana menetapkan maksud dan tujuan untuk
merubah sebuah sistem kota yang telah rusak. Biasanya pada konsep perencanaan
ini membuat kebijakan-kebijakan untuk melakukan perbaikan pada sistem kota.
Pada perencanaan tradisional memiliki program inovatif terhadap perbaikan
lingkungan perkotaan dengan menggunakan standar dan metode yang professional.
b)User-Oriented Planning (Perencanaan yang berorientasi pada pengguna). Konsep
perencanaan ini adalah membuat perencanaan yang bertujuan untuk
mengakomodasi pengguna dari produk perencaan tersebut, dalam hal ini
masyarakat Kota. Masyarakat yang menentukan produk perencanaan harus
dilibatkan dalam setiap proses perencanaan.
c)Advocacy Planning (Perencanaan Advokasi).
Pada perencanaan ini berisikan program pembelaan terhadap masyarakat yang
termarjinalkan dalam proses pembangunan kota dalam hal ini adalah masyarakat
miskin kota. Pada perencanaan advokasi akan memberikan perhatian khusus
terhadap melalui program khusus guna meningkatkan taraf hidup masyarakat
miskin.
d)Incremental Planning(Perencanaan dukungan).
Pada perencanaan yang bersifat dukungan terhadap sebuah proses pengambilan
keputusan terhadap permasalahan-permasalahan perkotaan. Produk perencanaan
ini bersifat analisis yang mendalam terhadap permasalahan dengan
mempertimbangkan dampak positif dan dampak negatif sebuah kebijakan

16 . Teori Glasson (Tipetipe perencanaan)


Menurut Glasson dalam buku Tarigan (2005) menyebutkan tipe-tipe perencanaan
terdiri dari; physical planning and economic planning, allocative and innovative
planning, multi or single objective planning dan indicative or imperative planning.
Selanjutnya menurut Tarigan (2005) di Indonesia juga dikenal jenis top-down and
bottom-up planning, vertical and horizontal planning, dan perencanaan yang
melibatkan masyarakat secara langsung dan yang tidak melibatkan masyarakat sama
sekali.
17 . Teori C.D. Harris dan FL. Ulman (Pusat Kegiatan Banyak/Multiple Nuclei)
Teori ini menggambarkan bahwa kota-kota besar akan mempunyai struktur yang
terbentuk atas sel-sel, dimana penggunaan lahan yang berbeda-beda akan
berkembang disekitar titik-titik pertumbuhan atau Nuclei didalam daerah
perkotaan. Perumusan ide ini pertamakali diusulkan oleh C.D Harris dan F.L
Ullmann tahun 1945. (Yunus 2002;44) Disamping menggabungkan ide-ide yang
dikemukakan teori konsentris dan teori sektor, teori pusat kegiatan banyak ini
masih menambahkan unsur-unsur lain. Yang perlu diperhatikan adalah Nuclei
yang mengandung pengertian semua unsur yang menarik fungsi-fungsi antara
lain pemukiman, perdagangan, industri, dll. Oleh karenanya teori ini mempunyai
struktur keruangan yang berbeda dengan teori konsentris dan teori sektoral.
18 . Teori Dixit (Model Struktur Kota)

19 . Teori Patrick Geddes (Pola Pemukiman dan Lingkungan Ekonomi Lokal)


Patrick Geddes (1968) mengemukakan the classic rule of thumb dalam
mendefinisikan batas dari suatu konurbasi, yang berbunyi broadly speaking, the
main limit of the modern city is that of the hour s journey or thereby, the maximum
which busy men [sic] can face without to great deduction from their day s work (hal.
41). Batasan ini sering dipakai oleh para peneliti dalam menentukan jarak antar
pusat dalam suatu interurban polisentris.

Dalam memahami karakteristik interurban polisentris, penelitian ini juga merujuk


kepada tulisan Kloosterman dan Musterd (2001) yang mengelompokkannya ke
dalam empat dimensi (seperti pada intraurban polisentris). Hal ini dilakukan untuk
mempermudah dalam membandingkan karakteristik di antara keduanya.

a) Bentuk Fisik

Seperti halnya dalam intraurban polisentris, pada interurban polisentris juga terjadi
fenomena cross commuting akibat terjadinya konsentrasi populasi penduduk dan
aktivitas ekonomi yang terdistribusi pada masing-masing pusat kota tanpa ada yang
menjadi pusat dominan dalam suatu wilayah interurban polisentris tersebut. Pola
komuting yang terjadi pun dapat berbentuk radial atau linier. Dalam melakukan
pergerakan cross commuting pada interurban polisentris lebih banyak menggunakan
moda transportasi kendaraan pribadi terutama mobil (Hall, 1993).

b) Kesatuan Politik

Kebijakan pengembangan interurban polisentris lebih rumit dibandingkan dengan


pengembangan intraurban polisentris. Hal ini karena interurban polisentris terdiri
atas kota-kota atau beberapa kotadiantaranya memiliki kewenangan politik masing-
masing, atau secara lebih sederhana, terdiri atas beberapa organisasi pemerintah
(kesatuan politik) yang independen. Sehingga untuk membuat kebijakan
pengembangannya diperlukan kesepakatan bersama di antara organisasi
pemerintah tersebut, yang biasanya melalui suatu perdebatan yang panjang.
Mengingat begitu rumitnya pembuatan suatu kebijakan pengembangan interurban
polisentris, maka perlu dibentuk suatu lembaga pada tingkat wilayah interurban,
yang beranggotakan perwakilan dari seluruh stakeholders (masyarakat, pemerintah,
dan swasta) dari semua kota dalam wilayah interurban tersebut, yang mempunyai
kewenangan untuk membuat kebijakan pengembangan yang diperlukan (Scott,
1998; Keating, 1999).

c) Hubungan Fungsional

Kota-kota dalam interurban polisentris mempunyai fungsi kegiatan yang berbeda,


misalnya ada yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat
industri manufaktur, pusat perumahan dan permukiman, ataupun mengemban
fungsi lainnya. Meskipun di antara kota-kota tersebut ada yang memiliki fungsi
kegiatan yang sama, biasanya salah satukotamempunyai intensitas kegiatan yang
lebih tinggi dibandingkotayang lain. Pengembangan suatu kegiatan pada salah
satukotadalam interurban polisentris perlu memperhatikan dan menyesuaikan
dengan fungsi kegiatan yang ada (Kloosterman dan Musterd, 2001).

Hal ini untuk memperkuat kedudukan kota-kota tersebut dengan fungsi kegiatan
yang spesifik, sehingga setiap kota dalam interurban polisentris ini menjadi lokasi
yang mempunyai competitive advantages (Krugman, 1991; Porter, 1990, 1998;
Moss-Kantor, 1995; Storper, 1995, 1997; Scott, 1998; Lawson, 1999). Namun,
beberapa pakar yang lain (Putnam, 1993; Saxenian, 1994; Scott, 2000; Gordon dan
McCann, 2000) mengungkapkan bahwa hal yang lebih penting adalah menjadikan
wilayah interurban polisentris mempunyai spesialisasi dan competitive advantages
dalam perekonomian dunia.

d) Hubungan Identitas dan Representasi Wilayah

Dalam interurban polisentris, pembangunan dan pengembangan pusat kegiatan


ekonomi (dan sosial budaya) yang baru lebih penting daripada mempertahankan
identitas lokal dan batas-batas historis (Scott, 1998; Macleod, 1998).

20 . Teori Aitai Etzioni (pengamatan Terpadu/Mixid scaning)


Penganjur teori ini adalah ahli sosiologi organisasi Amitai Etzioni. Etzioni setuju
terhadap kritik-kritik para teoritisi inkremental yang diarahkan pada teori rasional
komprehensif, akan tetapi ia juga menunjukkan adanya beberapa kelemahan yang
terdapat pada teori inkremental. Misalnya, keputusan-keputusan yang dibuat oleh
pembuat keputusan penganut model inkremental akan lebih mewakili atau
mencerminkan kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang kuat dan
mapan serta kelompok-kelompok yang mampu mengorganisasikan kepentingannya
dalam masyarakat, sementara itu kepentingan-kepentingan dari kelompok-
kelompok yang lemah dan yang secara politis tidak mampu mengorganisasikan
kepentingannya praktis akan terabaikan.

Lebih lanjut dengan memusatkan perhatiannya pada kepentingan/tujuan jangka


pendek dan hanya berusaha untuk memperhatikan variasi yang terbatas dalam
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada sekarang, maka model inkremental
cenderung mengabaikan peluang bagi perlunya pembaruan sosial (social inovation)
yang mendasar.

Oleh karena itu, menurut Yehezkel Dror (1968) gaya inkremental dalam pembuatan
keputusan cenderung menghasilkan kelambanan dan terpeliharanya status quo,
sehingga merintangi upaya menyempurnakan proses pembuatan keputusan itu
sendiri. Bagi sarjana seperti Dror yang pada dasamya merupakan salah seorang
penganjur teori rasional yang terkemuka model inkremental ini justru
dianggapnya merupakan strategi yang tidak cocok untuk diterapkan di negara-
negara sedang berkembang, sebab di negara-negara ini perubahan yang kecil-
kecilan (inkremental) tidaklah memadai guna tercapainya hasil berupa perbaikan-
perbaikan besar-besaran.

Model pengamatan terpadu juga memperhitungkan tingkat kemampuan para


pembuat keputusan yang berbeda-beda. Secara umum dapat dikatakan, bahwa
semakin besar kemampuan para pembuat keputusan untuk memobilisasikan
kekuasaannya guna mengimplementasikan keputusan-keputusan mereka, semakin
besar keperluannya untuk melakukan scanning dan semakin menyeluruh scanning
itu, semakin efektif pengambilan keputusan tersebul Dengan demikian, moder
pengamatan terpadu ini pada hakikatnya merupakan pendekatan kompromi yang
menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehensif dan moder inkremental
dalam proses pengambilan keputusan.
21 . Teori Kevin Lynch (Desain Ruang Kota)
Elemen pembentuk citra kota menurut Kevin Lynch adalah:

1. Paths

Merupakan suatu jalur yang digunakan oleh pengamat untuk bergerak atau
berpindah tempat. Menjadi elemen utama karena pengamat bergerak melaluinya
pada saat mengamati kota dan disepanjang jalur tersebut elemen-elemen
lingkungan lainnya tersusun dan dihubungkan. Path merupakan elemen yang paling
penting dalam image kota yang menunjukkan rute-rute sirkulasi yang biasanya
digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni jalan, gang-gang
utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran dan sebagainya. Path mempunyai
identitas yang lebih baik kalau memiliki identitas yang besar (misalnya ke stasiun,
tugu, alun-alun,dan lain-lain), serta ada/ penampakan yang kuat (misalnya fasade,
pohon, dan lain-lain), atau belokan yang jelas.

2. Edges

Merupakan batas, dapat berupa suatu desain, jalan, sungai, gunung. Edge memiliki
identitas yang kuat karena tampak visualnya yang jelas. Edge merupakan
penghalang walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk yang merupakan
pengakhiran dari sebuah district atau batasan sebuah district dengan yang lainnya.
Edge memiliki identitas yang lebih baik jika kontinuitas tampak jelas batasnya.
Demikian pula fungsi batasnya harus jelas : membagi atau menyatukan. Contoh :
adanya jalan tol yang membatasi dua wilayah yaitu pelabuhan dan kawasan
perdagangan.

3. Districts

Merupakan suatu bagian kota mempunyai karakter atau aktivitas khusus yang dapat
dikenali oleh pengamatnya. District memiliki bentuk pola dan wujud yang khas
begitu juga pada batas district sehingga orang tahu akhir atau awal kawasan
tersebut. District memiliki ciri dan karakteristik kawasan yang berbeda dengan
kawasan disekitarnya. District juga mempunyai identitas yang lebih baik jika
batasnya dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen, serta
fungsi dan komposisinya jelas. Contoh: kawasan perdagangan, kawasan
permukiman, daerah pinggiran kota, daera pusat kota.

4. Nodes

Merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis di mana arah atau aktivitasnya
saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas lain, misalnya persimpangan
lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, kota secara keseluruhan dalam
skala makro besar, pasar, taman, square, tempat suatu bentuk perputaran
pergerakan, dan sebagainya. Node juga merupakan suatu tempat di mana orang
mempunyai perasaan masuk dan keluar dalam tempat yang sama. Node
mempunyai identitas yang lebih baik jika tempatnya memiliki bentuk yang jelas
(karena lebih mudah diingat), serta tampilan berbeda dari lingkungannya (fungsi,
bentuk). Contoh: persimpangan jalan

5. Landmark

Merupakan simbol yang menarik secara visual dengan sifat penempatan yang
menarik perhatian. Biasanya landmark mempunyai bentuk yang unik serta terdapat
perbedaan skala dalam lingkungannya. Beberapa landmark hanya mempunyai arti di
daerah kecil dan hanya dapat dilihat di daerah itu, sedangkan landmark lain
mempunyai arti untuk keseluruhan kota dan bisa di lihat dari mana-mana. Landmark
adalah elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang mengenali suatu
daerah. Selain itu landmark bisa juga merupakan titik yang menjadi ciri dari suatu
kawasan. Contoh: patung Lion di Singapura, menara Kudus, Kubah gereja Blenduk.

22 . Teori Bryson (perencanaan Strategik)


Perencanaan strategis menurut John M. Bryson & Miftahudin adalah sekumpulan
konsep, prosedur dan alat-alat (sumber-sumber yang tersedia) sebagai upaya yang
konkrit dan disiplin untuk membuat satu keputusan dan tindakan dalam
melaksanakan perencanaan yang efektif dan effisien
23 . Teori Gordon (Perencanaan Strategi Untuk Pemerintah Lokal/Strategic
planning for
Local Government)
Strategic Planning memberikan arahan mengenai apa yang ingin dicapai oleh
di masa depan dan bagaimana cara mencapainya. Strategic planning penting karena
berpengaruh terhadap keberhasilan perencanaan dalam jangka panjang.
Perencanaan strategis secara eksplisit berhubungan dengan bagaimana pengelolaan
bagi sebuah perubahan, hal ini telah menjadi hasil penelitian beberapa ahli (e.g.,
Ansoff, 1965; Anthony,1965; Lorange, 1980; Steiner, 1979).Keuntungan
menggunakan tipe perencanaan strategis yaitu kita dapat melakukan, antara lain
(Gordon, 1993: 3-6):
1) Antisipasi terhadap masa depan,
terutama terhadap peluang dan permasalahan strategis. Bila jauh hari, kemungkinan
permasalahan dapat diantisipasi sebelum benar-benar terjadi, maka permasalahan
tersebut dapat diminimalkan dan dampaknya dapat dikendalikan. Bila peluang tidak
diantisipasi, maka kita akan kehilangan kesempatan dan mungkin problema muncul
karenanya.
2) Evaluasi diri.
Dengan perencanaan strategis, kita semua dapat bekerja bersama untuk
mengevaluasi diri, terutama tentang kekuatan dan kelemahan yang kita miliki.
Kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri akan membuat kita lebih realistis
dalam merencanakan masa depan kita.
3) Perumusan tujuan bersama melalui konsensus.
Dengan tipe perencanaan strategis yang menggaris bawahi pembangunan
konsensus antar stakeholders maka dapat dirumuskan ke arah mana kita akan
menuju dan dengan cara apa yang terbaik untuk sampai ke tujuan tersebut.
4) Alokasi sumberdaya.
Perencanaan strategis mengalokasikan sumberdaya dengan menetapkan prioritas
dalam perumusan strategi, terutama sumberdaya manusia dan prasarana. Alokasi
sumberdaya dilakukan antar bidang layanan perkotaan yang saling berkompetisi
dalam meningkatkan kualitas layanan.
5) Pemantapan tolok banding (benchmarks), yang berupa rumusan tujuan dan
sasaran.
Hasil implementasi atau tindakan dibandingkan dengan tolok banding keberhasilan.
Dengan menilai kinerja akan dapat ditarik "pelajaran" dari pengalaman dan masukan
balik diperlukan untuk meningkatkan kualitas rencana strategis dalam hal proses
maupun produknya.

24 . Teori Albert Hirschman (Konsep Dampak Tetesan Ke Bawah/Trickling-Down


Effect)
Dampak tetesan ke bawah (trickling down effect) dan dampak polarisasi (hirschman)
yang sama artinya dengan dampak penjabaran (spread effect) dan dampak
pengurasan (backwash effect; Gunar Myndal)

25 . Teori E.W. Burgess (Konsentris Struktur Kota)


Menurut Teori Konsentris (Burgess,1925) DPK atau CBD adalah pusat kota yang
letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat
kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan
derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua
bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan
kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau
WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan
peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse),
dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings).
Model zona konsentrik atau Teori konsentris adalah teori mengenai perencanaan
perkotaan yang dikembangkan oleh seorang sosiolog asal Amerika Serikat bernama
Ernest Burgess berdasarkan hasil penelitiannya terhadap kota Chicago yang
dilakukan pada tahun 1925.Burgess menyimpulkan bahwa wilayah perkotaan dapat
dibagi menjadi enam zona
Model yang paling terkenal dari area sosial urban ini direncanakan oleh E.W
Burgess di tahun 1923 dan telah dikenal sebagai Zona l atau Teori Konsentris. Model
ini didasarkan pada konsep bahwa perkembangan sebuah kota terjadi ke arah luar
dari area sentralnya, untuk membentuk serangkaian zona-zona konsentris. Zona ini
dimulai dengan Central Business District, yang dikelilingi dengan area transisi.
Kemudian zona transisi ini dikelilingi oleh zona perumahan pekerja. Lebih jauh dari
pusat kota adalah hunian yang lebih luas, ditempati oleh kelompok-kelompok kelas
menengah. Terakhir adalah zona komuter yang terletak di luar area built up kota,
batas terluarnya merupakan satu jam perjalanan dari pusat kota, dimana sejumlah
besar populasi zona ini bekerja.
26. Teori Homer Hoyt (Sektor Struktur Kota)
Teori Konsektoral (Griffin dan Ford, 1980). Teori Konsektoral dilandasi oleh strutur
ruang kota di Amerika Latin. Dalam teori ini disebutkan bahwa DPK atau CBD
merupakan tempat utama dari perdagangan, hiburan dan lapangan pekerjaan. Di
daerah ini terjadi proses perubahan yang cepat sehingga mengancam nilai historis
dari daerah tersebut. Pada daerah daerah yang berbatasan dengan DPK atau CBD
di kota-kota Amerika Latin masih banyak tempat yang digunakan untuk kegiatan
ekonomi, antara lain pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi
lemah dan sebagian lain dipergunakan untuk tempat tinggal sementara para
imigran.
27 . Teori spiro Kostof dan Gallion ( pertumbuhan Kota)

Menurut Spiro Kostof (1991), Kota adalah Leburan Dari bangunan dan penduduk,
sedangkan bentuk kota pada awalnya adalah netral tetapi kemudian berubah
sampai hal ini dipengaruhi dengan budaya yang tertentu. Bentuk kota ada dua
macam yaitu geometri dan organik.Terdapat dikotomi bentuk perkotaan yang
didasarkan pada bentuk geometri kota yaitu Planned dan Unplanned.

 Bentuk Planned (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota eropa abad


pertengahan dengan pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan
bentuk geometrik.
 Bentuk Unplanned (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota
metropolitan, dimana satu segmen kota berkembang secara sepontan
dengan bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi, sehingga
akhirnya kota akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian disebut
dengan organik pattern, bentuk kota organik tersebut secara spontan, tidak
terencana dan memiliki pola yang tidak teratur dan non geometrik.

Elemen-elemen pembentuk kota pada kota organik, oleh kostol dianalogikan secara
biologis seperti organ tubuh manusia, yaitu :

1. Square, open space sebagai paru-paru.

2. Center, pusat kota sebagai jantung yang memompa darah (traffic).


3. Jaringan jalan sebagai saluran arteri darah dalam tubuh.

4. Kegiatan ekonomi kota sebagai sel yang berfikir.

5. Bank, pelabuhan, kawasan industri sebagai jaringan khusus dalam tubuh.

6. Unsur kapital (keuangan dan bangunan) sebagai energi yang mengalir ke


seluruh sistem perkotaan.

Dalam suatu kota organik, terjadi saling ketergantungan antara lingkungan fisik dan
lingkungan sosial. Contohnya : jalan-jalan dan lorong-lorong menjadi ruang komunal
dan ruang publik yang tidak teratur tetapi menunjukkan adanya kontak sosial dan
saling menyesuaikan diri antara penduduk asli dan pendatang, antara kepentingan
individu dan kepentingan umum. Perubahan demi perubahan fisik dan non fisik
(sosial) terjadi secara sepontan. Apabila salah satu elemnya terganggu maka seluruh
lingkungan akan terganggu juga, sehingga akan mencari keseimbangan baru.
Demikian ini terjadi secara berulang-ulang.

28. Teori Shirvani (Elemen-Elemen Fisik Kota/Desain perkotaan)

Menurut Hamid Shirvani terdapat 8 elemen fisik perancangan kota, yaitu:

 Tata Guna Lahan (Land Use)

Prinsip Land Use adalah pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan
yang terbaik dalam mengalokasikan fungsi tertentu, sehingga kawasan tersebut
berfungsi dengan seharusnya.

(Sumber: Perancangan Kota, Urban Desain)

Tata Guna Lahan merupakan rancangan dua dimensi berupa denah peruntukan
lahan sebuah kota. Ruang-ruang tiga dimensi (bangunan) akan dibangun di tempat-
tempat sesuai dengan fungsi bangunan tersebut. Sebagai contoh, di dalam sebuah
kawasan industri akan terdapat berbagai macam bangunan industri atau di dalam
kawasan perekonomian akan terdapat berbagai macam pertokoan atau pula di
dalam kawasan pemerintahan akan memiliki bangunan perkantoran pemerintah.
Kebijaksanaan tata guna lahan juga membentuk hubungan antara sirkulasi/parkir
dan kepadatan aktivitas/penggunaan individual.

Terdapat perbedaan kapasitas (besaran) dan pengaturan dalam penataan ruang


kota, termasuk di dalamnya adalah aspek pencapaian, parkir, sistem transportasi
yang ada, dan kebutuhan untuk penggunaan lahan secara individual. Pada
prinsipnya, pengertian land use (tata guna lahan) adalah pengaturan penggunaan
lahan untuk menentukan pilihan yang terbaik dalam mengalokasikan fungsi
tertentu, sehingga dapat memberikan gambaran keseluruhan bagaimana daerah-
daerah pada suatu kawasan tersebut seharusnya berfungsi.

(Sumber: Tugas Perancangan Kota, Universitas Diponegoro)

 Bentuk dan Massa Bangunan (Building Form and Massing)

Bentuk dan massa bangunan ditentukan oleh tinggi dan besarnya bangunan, KDB,
KLB, sempadan, skala, material, warna, dan sebagainya.

Prinsip-prinsip dan teknik Urban Design yang berkaitan dengan bentuk dan massa
bangunan meliputi:

- Scale, berkaitan dengan sudut pandang manusia, sirkulasi, dan dimensi


bangunan sekitar.

- Urban Space, sirkulasi ruang yang disebabkan bentuk kota, batas, dan tipe-tipe
ruang.

- Urban Mass, meliputi bangunan, permukaan tanah dan obyek dalam ruang yang
dapat tersusun untuk membentuk urban space dan pola aktifitas dalam skala besar
dan kecil.

(Sumber: Perancangan Kota, Urban Desain)

Building form and massing membahas mengenai bagaimana bentuk dan massa-
massa bangunan yang ada dapat membentuk suatu kota serta bagaimana hubungan
antar-massa (banyak bangunan) yang ada. Pada penataan suatu kota, bentuk dan
hubungan antar-massa seperti ketinggian bangunan, jarak antar-bangunan, bentuk
bangunan, fasad bangunan, dan sebagainya harus diperhatikan sehingga ruang yang
terbentuk menjadi teratur, mempunyai garis langit horizon (skyline) yang dinamis
serta menghindari adanya lost space (ruang tidak terpakai).

Building form and massing dapat meliputi kualitas yang berkaitan dengan
penampilan bangunan, yaitu : ketinggian bangunan, kepejalan bangunan, KLB, KDB,
garis sempadan bangunan, langgam, skala, material, tekstur, warna.

(Sumber: Tugas Perancangan Kota, Universitas Diponegoro)

 Sirkulasi dan Perparkiran

Sirkulasi kota meliputi prasarana jalan yang tersedia, bentuk struktur kota, fasilitas
pelayanan umum, dan jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat.
Semakin meningkatnya transportasi maka area parkir sangat dibutuhkan terutama di
pusat-pusat kegiatan kota (CBD).

(Sumber: Perancangan Kota, Urban Desain)

Sirkulasi adalah elemen perancangan kota yang secara langsung dapat membentuk
dan mengkontrol pola kegiatan kota, sebagaimana halnya dengan keberadaan
sistem transportasi dari jalan publik, pedestrian way, dan tempat-tempat transit
yang saling berhubungan akan membentuk pergerakan (suatu kegiatan). Sirkulasi di
dalam kota merupakan salah satu alat yang paling kuat untuk menstrukturkan
lingkungan perkotaan karena dapat membentuk, mengarahkan, dan mengendalikan
pola aktivitas dalam suatu kota. Selain itu sirkulasi dapat membentuk karakter suatu
daerah, tempat aktivitas dan lain sebagainya.

Tempat parkir mempunyai pengaruh langsung pada suatu lingkungan yaitu pada
kegiatan komersial di daerah perkotaan dan mempunyai pengaruh visual pada
beberapa daerah perkotaan. Penyediaan ruang parkir yang paling sedikit memberi
efek visual yang merupakan suatu usaha yang sukses dalam perancangan kota.

(Sumber: Tugas Perancangan Kota, Universitas Diponegoro)

 Ruang Terbuka (Open Space)


Open space selalu berhubungan dengan lansekap. Lansekap terdiri dari elemen
keras dan elemen lunak. Open space biasanya berupa lapangan, jalan, sempadan,
sungai, taman, makam, dan sebagainya.

(Sumber: Perancangan Kota, Urban Desain)

Berbicara tentang ruang terbuka (open space) selalu menyangkut lansekap. Elemen
lansekap terdiri dari elemen keras (hardscape seperti : jalan, trotoar, patung,
bebatuan dan sebagainya) serta elemen lunak (softscape) berupa tanaman dan air.
Ruang terbuka biasa berupa lapangan, jalan, sempadan sungai, green belt, taman
dan sebagainya.

Dalam perencanan open space akan senantiasa terkait dengan perabot taman/jalan
(street furniture). Street furniture ini bisa berupa lampu, tempat sampah, papan
nama, bangku taman dan sebagainya.

29 . Teori Tracik ( Desain Spasial Kota )

Menurut Tracik (1986) dalam suatu lingkungan permukiman ada rangkaian antara
figure ground, linkage dan palce. Figure ground menekankan adanya public civics
space atau open space pada kota sebagai figure. Melalui figure ground plan dapat
diketahui antara lain pola atau tipologi, konfigurasi solid void yang merupakan
elemtal kawasan atau pattern kawasan penelitian, kualitas ruang luar sangat
dipengaruhi oleh figure bangunan-bangunan yang melingkupinya, dimana tampak
bangunan merupakan dinding ruang luar, oleh karena itu tata letak, bentuk dan
fasade sistem bangunan harus berada dalam sistem ruang luar yang membentuknya.

Komunikasi antara privat dan publik tercipta secara langsung. Ruang yang
mengurung (enclosure) merupakan void yang paling dominan, berskala manusia
(dalam lingkup sudut pandang mata 25-30 derajat) void adalah ruang luar yang
berskala interior, dimana ruang tersebut seperti di dalam bangunan, sehingga ruang
luar yang enclosure terasa seperti interior. Diperlukan keakraban antara bangunan
sebagai private domain dan ruang luar sebagai public dominan yang menyatu

Dalam ¡¨lingkage theory¡¨ sirkulasi merupakan penekanan pada hubungan


pergerakan yang meruakan kontribusi yang sangat penting.
30 . Teori Alkadei (Konsep pengembangan wilayah perkotaaan)

Konsep-Konsep Pengembangan Wilayah

1. Pusat-Pusat Pertumbuhan
2. Pengembangan Ekonomi Lokal
3. Strategi Pengembangan Ekonomi
 Location Quotient Analysis (LQ)
 Shift Share Analysis
4. Pembangunan Ekonomi Berbasis Wilayah
5. Pengembangan Wilayah Berbasis Kompetisi
Paradigma baru dalam strategi pengembangan wilayah adalah memenangkan
persaingan antar wilayah. Persaingan antar wilayah merupakan fenomena tersendiri
dalam dinamika perekonomian dewasa ini (Alkadri, 1999). Eksistensi suatu wilayah
akan ditentukan oleh kemampuan menciptakan basis keunggulan dalam persaingan
ekonomi antar wilayah.

Terdapat tiga pilar pengembangan wilayah, yaitu sumber daya alam, sumber daya
manusia dan teknologi. Ketiga pilar ini merupakan basis untuk memenangkan
persaingan antar wilayah. Sementara itu, ada pula tiga fenomena yang berperan
penting dalam peningkatan intensitas persaingan antar wilayah, yakni trend
perdagangan global (global trade), kemajuan teknologi (technology progress) dan
perubahan dalam sistem kemasyarakatan (society system).

Fenomena-fenomena tersebut menuntut adanya suatu paradigma baru dalam


pengembangan wilayah, jika tidak ingin tersisih dari persaingan. Pembangunan
ekonomi yang selama ini yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dengan
mengandalkan keunggulan komperatif berupa kekayaan alam yang melimpah dan
tenaga kerja yang murah, tidak akan menjamin keberlanjutan wilayah tersebut.

Paradigma baru pembangunan harus dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi
tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang mempunyai daya saing yang tinggi. Porter
dalam Alkadri (1999) menggambarkan bahwa faktor keunggulan komperatif telah
dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun, setiap wilayah masih mempunyai
faktor keunggulan khusus, yaitu inovasi. Suatu wilayah bisa meraih keunggulan daya
saing melalui empat hal, yaitu :
a) Keunggulan faktor produksi,
b) Keunggulan inovasi,
c) Kesejahteraan masyarakat dan
d) Besarnya investasi.

Anda mungkin juga menyukai