Anda di halaman 1dari 20

3.

PENGERTIAN TEORI LOKASI (RICHARDO, VON THUNEN DAN


HARGA DERIVASI TANAH)

3.1. Beberapa Teori Lokasi

Landasan dari teori lokasi adalah ruang. Yang dimaksud dengan ruang adalah
permukaan bumi baik yang ada di atasnya maupun yang ada di bawahnya. Lokasi
menggambarkan posisi pada ruang tersebut (dapat ditentukan bujur dan lintangnya).
Selanjutnya, studi tentang lokasi adalah melihat dekat dan jauhnya satu kegiatan dengan
kegiatan lain serta apa dampaknya atas kegiatan masing-masing karena lokasi yang
berdekatan dan berjauhan tersebut.
Teori lokasi merupakan ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan
ekonomi, ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber daya yang langka serta
pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain baik ekonomi
maupun sosial lain. Dalam upaya mempelajari lokasi dari berbagai kegitan, ahli ekonomi
regional dan geografi terlebih dahulu membuat asumsi bahwa ruang yang dianalisis adalah
datar dan kondisinya disemua arah adalah sama. Salah satu unsur ruang yang dapat
diperhitungkan adalah jarak. Jarak menciptakan ‘gangguan’ ketika manusia berhubungan
atau berpegian dari satu tempat ke tempat lainnya. Salah satu hal yang banyak dibahas
dalam teori lokasi adalah pengaruh jarak terhadap intensitas orang bepergian dari satu
lokasi kelokasi lainnya.
Walaupun teori yang menyangkut pola lokasi ini tidak berkembang tetapi telah ada
sejak awal abad ke-19. Secara empiris dapat diamati bahwa pusat-pusat pengadaan dan
pelayanan barang dan jasa yang umumnya adalah perkotaan (central places) dimana
perkotaan adalah wilayah yang padat penduduk yang terdapat tingkat penyelidikan
pelayanan yang berbeda-beda. Pelayanan masing-masing kota untuk tingkat yang berbeda
bersifat tumpang tindih, sedangkan untuk yang sentingkat walaupun tumpang tindih tetapi
tidak begitu besar. Keadaan ini bersifat universal dan dicoba dijelaskan oleh beberapa ahli
ekonomi dan geografi yang dirintis oleh Walter Christaller. Ahli ekonomi Von Thunen
melihat perbedaan penggunaan lahan dari sudut perbedaan jarak ke pasar yang tercermin
dalam sewa tanah. Weber secara khusus menganalisis lokasi industri. Ketiga tokoh diatas
dianggap pelopor atau pencipta landasan dalam hal teori lokasi. Tokoh yang muncul
belakangan pada umumnya memperdalam atau memodifikasi salah satu teori atau
menggabung pandangan dari tiga tokoh yang disebutkan di atas.

3.1.1. Pengertian Teori Lokasi

Teori lokasi adalah suatu teori yang dikembangkan untuk melihat dan
memperhitungkan pola lokasional kegiatan ekonomi termasuk industri dengan cara yang
konsisten dan logis, dan untuk melihat dan memperhitungkan bagaimana daerah-daerah
kegiatan ekonomi itu saling berhubungan (interrelated), dengan adanya teori lokasi yang
baik maka tata ruang yang ada juga akan menjadi teratur.

3.1.2. Sejarah Teori Lokasi

A. Sejarah Teori Lokasi Von Thunen


Menurut Von Thunen guna lahan kota dipengaruhi oleh biaya produksi, biaya
transportasi dan daya tahan hasil komoditi. Sehingga berpengaruh terhadap munculnya
pasar lahan yang kompetitif, sebab semakin kecil biaya produksi, rendahnya biaya
transportasi dan daya tahan hasil komoditi yang lama akan menyebabkan produk tersebut
mampu bersaing di pasaran.
Pada model Von Thunen hubungan antara transportasi dan lokasi aktivitas terletak
pada biaya transportasi dan biaya sewa lahan. Guna lahan akan menentukan nilai lahan,
melalui kompetisi antara pemakai lahan. Karenanya nilai lahan akan mendistribusikan guna
lahan menurut kemampuan untuk membayar sewa lahan, sehingga akan menimbulkan
pasar lahan yang kompetitif. Faktor lain yang menentukan tinggi rendahnya nilai lahan
adalah jarak terhadap pusat kota. Melalui adanya nilai lahan maka terbentuk zona-zona
pemakaian lahan seperti lahan untuk kegiatan industri, kegiatan komersil, serta lahan untuk
kegiatan pemerintahan. Selain memiliki pengaruh terhadap zona lahan, teori Von Thunen
juga berpengaruh terhadap struktur keruangan kota. Perkembangan kota yang didasarkan
terhadap penggunaan lahan kota memunculkan elemen-elemen baru dalam struktur
keruangan kota.
Teori lokasi ini pertama kali dikembangkan oleh Von Thunen pada tahun 1850.
Sebagai seorang ekonom bangsa Jerman, Von Thunen mengembangkan suatu teori lokasi
yang berorientasi kepada wilayah lokasi. Teori lokasi bertolak dari pengambilan keputusan
ekonomi yang berdasarkan pada penyebaran komoditas pertanian ke wilayah hinterland
(wilayah belakang) yang bersifat homogeny akibat adanya ketergantungan jarak dari lokasi
aktivitas ekonomi ke suatu pusat aktivitas ekonomi, sosial, maupun politik. Jauh dekatnya
jarak tempuh antara wilayah produksi atau bahan baku dengan pusat distribusinya di pasar
akan membentuk lingkar lokasi yang menjadi wilayah dimana lokasi tersebut merupakan
pusat aktivitas utama yang disebut dengan kota.
Teori lokasi Von Thunen yang berorientasi kepada daerah lokasi baru mulai
berkembang pada waktu Isard menguraikan teori lokasi industri pertanian. Melalui teorinya
ini, maka isard menyalur fungsi sewa tanah yang dapat dikembalikan ke lingkaran Von
Thunen. Dalam bentuk yang baru ini, maka manfaat teori Von Thunen mangkin tampak
terutama bagi landasan teori penggunaan tanah modern.
B. Sejarah Teori Lokasi Wlater Christaller
Menurut Christaller, tidak semua kota dapat menjadi pusat pelayanan. Dan pusat
pelayanan harus mampu menyediakan barang dan jasa bagi penduduk di daerah dan
kawasan sekitarnya. Christaller menyatakan bahwa dua buah pusat permukiman yang
memiliki jumlah penduduk sama tidak selalu menjadi pusat pelayanan yang sama
penting. Istilah kepusatan (centrality) digunakan untuk menggambarkan bahwa besarnya
jumlah penduduk dan pentingnya peran sebagai tempat terpusat (central place).
Pada teori Christaller menyebutkan sistem keruangan yang optimum berbentuk
heksagonal dengan pusat kegiatan terdapat di tengah pola. Namun Christaller juga
menyebutkan bahwa dalam struktur keruangan kota terdapat hirarki, dimana tempat
dengan hirarki yang teratas mampu memenuhi kebutuhan tempat di hirarki bawahnya.
Semakin tinggi jumlah hirarki kota maka jumlah kota semakin tinggi, begitupun sebaliknya.

3.1.3. Tokoh-Tokoh dalam Teori Lokasi

Teori Lokasi Von Thunen


Johan Heinrich Von Thunen (1783-1850) adalah seorang warga negara Jerman,
Von Thunen merupakan ahli ekonomi pertanian yang mengeluarkan teorinya dalam buku
“Der Isolirte Staat”. Von Thunen mengembangkan teori ini berdasarkan pengamatan di
sekitar tempat tinggalnya. Menurutnya pertanian merupakan komoditi yang cukup besar di
perkotaan. Dalam teori ini ia memperhatikan jarak tempuh antara daerah produksi dan
pasar, pola tersebut termasuk variabel keawetan, berat, dan harga dari berbagai komoditas
pertanian. Ia menggambarkan bahwa jenis penggunaan tanah yang ada di suatu daerah
dipengaruhi perbedaan ongkos transportasi tiap komoditas ke pasar terdekat.
Melalui teorinya, Von Thunen menciptakan bagaimana cara berfikir efektif yang
didasarkan atas penelitian dengan menambahkan unsur-unsur baru sehingga didapatkan
hasil yang mendekati konkret. Von Thunen berpendapat bahwa suatu pola produksi
pertanian berhubungan dengan pola tata guna lahan di wilayah sekitar pusat pasar atau
kota. Ia mengeluarkan asumsi-asumsi sebagai berikut:
1) Terdapat suatu daerah terpencil yang terdiri atas daerah perkotaan dengan daerah
pedalamanya yang merupakan satu-satunya daerah pemasok kebutuhan pokok yang
merupakan komoditi pertanian (Isolated Stated).
2) Daerah perkotaan hanya menjual kelebihan produksi daerah pedalaman, tidak
menerima penjualan hasil pertanian dari daerah lain (Single Market).
3) Daerah pedalaman hanya menjual kelebihan produksinya ke perkotaan, tidak ke daerah
lain (Single Destination).
4) Daerah pedalaman atau kota mempunyai ciri yang sama (homogen) dengan kondisi
geografis kota itu sendiri dan cocok untuk tanaman dan peternakan dataran menengah.
5) Daerah pedalaman dihuni oleh petani yang berusaha untuk memperoleh keuntungan
maksimum dan mampu untuk menyesuaikan hasil tanaman dan peternakannya dengan
permintaan yang terdapat di daerah perkotaan (Maximum Oriented).
6) Pada waktu itu hanya ada angkutan berupa gerobak yang dihela oleh kuda (One Moda
Transportation).
7) Biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak yang ditempuh. Semua biaya
transportasi ditanggung oleh petani. Petani mengangkut semua hasil dalam bentuk
segar. (Equidistant).

Teori Lokasi Wlater Christaller


Teori Christaller (1996) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota,
jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Menurut Christaller, pusat-pusat
pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola berbentuk heksagon (segi
enam). Keadaan seperti itu akan terlihat dengan jelas di wilayah yang mempunyai dua
syarat. Pertama, topografi yang seragam sehingga tidak ada bagian wilayah yang
mendapat pengaruh dari lereng dan pengaruh alam lain dalam hubungan dengan jalur
pengangkutan. Kedua, kehidupan ekonomi yang homogen dan tidak memungkinkan
adanya produksi primer, yang menghasilkan padi-padian, kayu atau batu bara.

3.1.4. Pengaruh Teori Lokasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi


Dewasa ini, perkembangan sektor industri di Indonesia menyebabkan terjadinya
percepatan munculnya bangunan industri, penambahan devisa negara, serta mengurangi
jumlah pengangguran. Namun hal tersebut jika tidak diimbangi dengan kebijakan-kebijakan
yang kuat, analisa lokasi khususnya lokasi industri yang tepat, maka keberadaan kawasan
industri disamping memberikan dampak positif juga akan mempengaruhi potensi, kondisi,
dan mutu sumber daya alam dan lingkungan sekitar (Anonim, 1993). Keberadaan sektor
industri tersebut tidak terlepas dari pemilihan lokasi yang didasarkan pada teori lokasi yang
telah berkembang mulai dari teori klasik, neo-klasik, sampai dengan teori lokasi modern.
Berikut pemaparan dari beberapa ahli tentang Teori Pusat Pertumbuhan:
a) Teori pusat pertumbuhan dikemukakan oleh Boudeville. Menurut Boudeville (ahli
ekonomi Prancis), pusat pertumbuhan adalah sekumpulan fenomena geografis dari
semua kegiatan yang ada di permukaan Bumi. Suatu kota atau wilayah kota yang
mempunyai industri populasi yang kompleks, dapat dikatakan sebagai pusat
pertumbuhan. Industri populasi merupakan industri yang mempunyai pengaruh yang
besar (baik langsung maupun tidak langsung) terhadap kegiatan lainnya.
b) Teori tempat sentral dikemukakan oleh Walter Christaller (1933), seorang ahli geografi
dari Jerman. Teori ini didasarkan pada lokasi dan pola persebaran permukiman dalam
ruang. Dalam suatu ruang kadang ditemukan persebaran pola permukiman desa dan
kota yang berbeda ukuran luasnya. Teori pusat pertumbuhan dari Christaller ini
diperkuat oleh pendapat August Losch (1945) seorang ahli ekonomi Jerman.
Keduanya berkesimpulan, bahwa cara yang baik untuk menyediakan pelayanan
berdasarkan aspek keruangan dengan menempatkan aktivitas yang dimaksud pada hirarki
permukiman yang luasnya meningkat dan lokasinya ada pada simpul-simpul jaringan
heksagonal. Lokasi ini terdapat pada tempat sentral yang memungkinkan partisipasi
manusia dengan jumlah maksimum, baik mereka yang terlibat dalam aktivitas pelayanan
maupun yang menjadi konsumen dari barang-barang yang dihasilkannya.

3.1.5. Kelebihan dan Kekurangan Teori Lokasi Von Thunen dan Wlater Christaller
Pada dasarnya teori pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Demikian dengan teori lokasi juga memiliki kelebihan dan kekurangan yang akan dijabarkan
dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Kelebihan dan Kekurangan Teori Lokasi Von Thunen dan Wlater Christaller
Teori Lokasi Kelebihan Kekurangan
Von Thunen • Menjadi acuan penting dalam • Kemajuan transportasi
pengembangan Wilayah terutama dapat menghemat
dalam menentukan berbagai banyak waktu dan biaya.
kegiatan perekonomian. • Ada beberapa daerah
• Dapat menentukan berbagai yang tidak hanya memiliki
Kawasan ( Zoning ) 1 merket center saja,
tetapi juga 2 market
center.
• Adanya berbagai bentuk
pengawetan, sehingga
mencegah resiko busuk
pada pengiriman jarak
jauh.
• Kondisi topografis setiap
daerah berbeda-beda,
sehingga hasil pertanian
yang akan dihasilkanpun
akan berbeda.
• Negara industri mampu
membentuk kelompok
produksi sehingga tidak
terpengaruh pada kota.
• Antara produksi dan
konsumsi telah terbentuk
usaha bersama
menyangkut
pemasarannya.
Wlater • Salah satu hal banyak dibahas • Jangkauan suatu barang
Christaller dalam teori lokasi adalah dan jasa tidak titentukan
pengaruh jarak terhadap lagi oleh biaya dan waktu.
intensitas orang bepergian dari • Dengan kemajuan
satu lokasi ke lokasi lainnya. teknologi yang semakin
Analisis ini dapat dikembangkan canggih, konsumen tidak
untuk melihat suatu lokasi yang selalu memilih tempat
memiliki daya tarik terhadap batas pusat yang paling dekat.
wilayah pengaruhnya, dimana Hal ini bisa disebabkan
orang masih ingin mendatangi oleh daya tarik atau
pusat yang memiliki daya tarik fasilitas sarana dan
tersebut. Hal ini terkait dengan prasarana tempat pusat
besarnya daya tarik pada pusat yang lebih jauh tersebut
tersebut dan jarak antara lokasi lebih besar dibandingkan
dengan pusat tersebut. dengan tempat pusat
• Terkait dengan lokasi maka salah yang terdekat.
satu faktor yang menentukan
apakah suatu lokasi menarik untuk
dikunjungi atau tidak adalah
tingkat aksesibilitas. Tingkat
aksesibilitas adalah tingkat
kemudahan untuk mencapai suatu
lokasi ditinjau dari lokasi lain di
sekitarnya
3.2. Aglomerasi dan Optimalisasi Kegiatan

3.2.1. Definisi Aglomerasi


Pengertian aglomerasi adalah konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di
kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of
proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja dan
konsumen adapun pengertian dari spasial dan kluster akan dibahas setelahnya (Kuncoro,
2002). Keuntungan-keuntungan dari konsentrasi spasial sebagai akibat dari ekonomi skala
(scale economies) disebut dengan ekonomi aglomerasi (aglomeration economies), sebab
konsentrasi tersebut akan mengakibatkan pembangunan ekonomi yang semakin maju
dengan produksi meningkat sesuai dengan permintaan yang juga meningkat. (Mills dan
Hamilton, 1989).
Pengelompokkan dari aktivitas ekonomi secara spasial dalam suatu lokasi tertentu
dan saling terkait. Hal ini dapat ditemui pada konsentrasi industri teknologi tinggi di Silicon
Valley (Ellison dan Glaeser, l997), konsentrasi spasial pada kota tepi air (Fujita dan Mori,
l996), kluster industri (Porter, l990-1998) serta aglomerasi perkotaan (Fujita dan Thiesse,
2002).
Pengertian ekonomi aglomerasi juga berkaitan dengan eksternalitas kedekatan
geografis dari kegiatan-kegiatan ekonomi, bahwa ekonomi aglomerasi merupakan suatu
bentuk dari eksternalitas positif dalam produksi yang merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya pertumbuhan kota. (Bradley and Gans, 1996). Ekonomi
aglomerasi diartikan sebagai penurunan biaya produksi karena kegiatan-kegiatan ekonomi
berlokasi pada tempat yang sama. Gagasan ini merupakan sumbangan pemikiran Alfred
Marshall yang menggunakan istilah localized industry sebagai pengganti dari istilah
ekonomi aglomerasi.
O’Sullivan (1996) membagi ekonomi aglomerasi menjadi dua jenis yaitu ekonomi
lokalisasi dan ekonomi urbanisasi. Dalam hal ini yang dimaksud dengan ekonomi
aglomerasi adalah eksternalitas positif dalam produksi yaitu menurunnya biaya produksi
sebagian besar perusahaan sebagai akibat dari produksi perusahaan lain meningkat.

3.2.2. Definisi Konsentrasi Spasial


Krugman (1998) menyatakan bahwa konsetrasi spasial merupakan aspek yang
ditekankan dari aktivitas ekonomi dan sangat penting dalam penentuan lokasi industri.
Dalam konsentrasi aktivitas ekonomi secara spasial terdapat 3 hal yang saling terkait yaitu
interaksi antara skala ekonomi, biaya transportasi dan permintaan. Untuk mendapatkan dan
meningkatkan kekuatan skala ekonominya, perusahaan-perusahaan cenderung
berkonsentrasi secara spasial dan melayani seluruh pasar dari suatu lokasi, sehingga
menemukan pangsa pasar adalah hal penting yang harus dilakukan oleh perusahaan saat
pertama kali membentuk usahanya. Sedangkan untuk meminimalisasi biaya transportasi,
perusahaan-perusahaan cenderung berlokasi pada wilayah yang memiliki permintaan lokal
yang besar, akan tetapi permintaan lokal yang besar cenderung berlokasi di sekitar
terkonsentrasinya aktifitas ekonomi seperti komplek industri maupun perkotaan.

3.2.3. Teori Lokasi


Menurut Weber (1909) ada 3 faktor yang menjadi alasan perusahaan pada industri
dalam menentukan lokasi, yaitu:
1. Perbedaan Biaya Trasportasi
Produsen cenderung mencari lokasi yang memberikan keuntungan berupa
penghematan biaya transportasi serta dapat mendorong efisiensi dan efektivitas produksi.
Dalam perspektif yang lebih luas, Coase (1937) mengemukakan tentang penghematan
biaya hansalci (biaya transportasi, biaya transaksi, biaya kontrak, biaya koordinasi dan
biaya komunikasi) dalam penentuan lokasi perusahaan.
2. Perbedaan Biaya Upah.
Produsen cenderung mencari lokasi dengan tingkat upah tenaga kerja yang lebih
rendah dalam melakukan aktivitas ekonomi sedangkan tenaga kerja cenderung mencari
lokasi dengan tingkat upah yang lebih tinggi. Adanya suatu wilayah dengan tingkat upah
yang tinggi mendorong tenaga kerja untuk terkonsentrasi pada wilayah tersebut. Fenomena
ini dapat ditemui pada kota-kota besar dengan keanekaragaman tinggi seperti Jakarta
maupun kota yang terspesialisasi.
3. Keuntungan dari Konsentrasi Industri Secara Spasial
Konsentrasi spasial akan menciptakan keuntungan yang berupa penghematan
lokalisasi dan penghematan urbanisasi. Penghematan lokalisasi tejadi apabila biaya
produksi perusahaan pada suatu industri menurun ketika produki total dari industri tersebut
meningkat (terjadi increasing reurn of scale). Hal ini terjadi pada perusahaan pada industri
yang berlokasi secara berdekatan. Penghematan urbanisasi terjadi bila biaya produksi
suatu perusahaan menurun ketika produksi seluruh perusahaan pada berbagai tingkatan
aktivitas ekonomi dalam wilayah yang sama meningkat. Penghematan karena berlokasi di
wilayah yang sama ini terjadi akibat skala perekonomian kota yang besar, dan bukan akibat
skala suatu jenis industri. Penghematan urbanisasi telah memunculkan perluasan wilayah
metropolitan (extended metropolitan regions).
Menurut tarigan (2012) studi tentang lokasi adalah melihat kedekatan atau jauhnya
satu kegiatan dengan kegiatan lain dan apa dampaknya atas kegiatan masing-masing
karena lokasi yang berdekatan atau berjauhan tersebut. Teori lokasi adalah ilmu yang
menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi
geografis dari sumber-sumber yang langka, serta hubungannya dengan pengaruhnya
terhadap lokasi berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial.
Marshall (1920) dalam perspekif yang sedikit berbeda tentang keuntungan
konsentrasi spasial mengemukakan pemikiran tentang ektenalitas positif dan menjelaskan
mengapa produsen cenderung berlokasi dekat dengan produsen lain (dorongan untuk
berlokasi dekat dengan perusahaan lain disebut dengan aglomerasi) Menurut Marshall,
konsentrasi spasial didorong oleh ketersediaan tenaga kerja yang terspesialisasi dimana
berkumpulnya perusahaan pada suatu lokasi akan mendorong berkumpulnya tenaga kerja
yang terspesialisasi, sehingga menguntungkan perusahaan dan tenaga kerja. Selain itu,
berkumpulnya perusahaan atau industri yang saling terkait akan dapat meningkatkan
efisiensi dalam pemenuhan kebutuhan input yang terspesialisasi yang lebih baik dan lebih
murah. Marshall menyatakan bahwa jarak yang tereduksi dengan adanya konsentrasi
spasial akan memperlancar arus informasi dan pengetahuan (knowledge spillover) pada
lokasi tersebut. Pandangan Marshall tentang industri yang terkonsentrasi disuatu tempat
dan saling terkait disebut industrial cluster atau industrial district. Kluster industri pada
dasarnya merupakan kelompok aktivitas produksi yang terkonsentrasi secara spasial dan
kebanyakan terspesialisasi pada satu atau dua industri utama saja.
Weber dalam Tarigan (2012) menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung
pada total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus
minimum. Tempat di mana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum akan
menghasilkan keuntungan yang maksimum. Dan melahirakan pendekatan biaya terendah
dan sering disebut sebagai “ kurva Isodapan Weber” Isodapan adalah kurva yang
menggambarkan berbagai lokasi dan industri dimana di dalam wilayah kurva tertutup
tersebut biaya transportasi adalah sama. Perbedaan isodapan satu dengan yang lain
adalah karena adanya pengaruh jarak dari titik T sehingga besarnya biaya transportasi
berubah, dimana semakin jauh dari titik T tentunya biaya transportasinya akan bertambah
besar.
Menurut Christaller (1996) dari berbagai jenis barang pada orde yang sama
cenderung akan bergabung pada pusat dari wilayahnya sehingga pusat tersebut akan
menjadi daerah konsentrasi (kota). Adanya lembaga pendidikan tinggi yang terkait dengan
kebutuhan akan tenaga kerja yang ada di suatu daerah jelas akan memicu dan akan
mempengaruhi luas range (luas jangkauan pasar maksimal) yang dimiliki oleh lembaga
yang bersangkutan. Berbagai macam lembaga pendidikan tinggi merupakan jenis jasa
dalam orde yang sama sehingga dengan demikian akan terjadi kecenderungan beralokasi
di titik central wilayahnya.
Menurut Pendekatan pasar Losch (1954) berpendapat bahwa lokasi penjualan
sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat dimaksimalkan, dimana
semakin jauh tempat penjual makan konsumen akan semakin malas membeli barang yang
ditawarkan begitu juga dengan halnya semakin dekat dan strategis lokasi lembaga
pendidikan tinggi yang mudah dijangkau semakin banyak pula orang yang berkeinginan
untuk mendaftar ke lembaga tinggi tersebut. Dimana biaya transportasi yang akan
dikeluarkan menjadi pertimbangan oleh pembeli/konsumen untuk mendatangi lokasi
tersebut. Losch cenderung menyarankan kepada pihak penjual untuk berlokasi dekat
dengan pasar.

3.2.4. Definisi Kluster


Porter (1998) menyatakan bahwa kluster adalah perusahaan-perusahaan yang
terkonsentrasi secara spasial dan saling terkait dalam industri. Perusahaan-perusahaan
industri yang terkonsentrasi secara spasial tersebut juga terkait dengan institusi-institusi
yang dapat mendukung industri secara praktis. Kluster meliputi kumpulan perusahaan dan
hal yang terkait dalam industri yang penting dalam kompetisi. Kluster selalu memperluas
aliran menuju jalur pemasaran dan konsumen tidak ketinggalan juga jalur menuju produsen
produk komplementer dan perusahaan lain dalam industri yang terkait baik terkait dalam
keahlian teknologi maupun input. Dalam kluster juga tercakup pemerintah dan institut lain,
kluster menginterpretasikan jaringan yang terbentuk dan menjadi semakin kokoh dengan
sendiri tidak hanya oleh perusahaan dalam kluster tetapi oleh organisasi lain yang terkait
sehingga menciptakan kolaborasi dan kompetisi dalam tingkatan yang tinggi sehingga
dapat meningkatkan dala saing berdasarkan keunggulan kompetitif.
Ada 3 bentuk kluster berdasarkan perbedaan tipe dari ekstemalitas dan perbedaan
tipe dari orientasi dan intervensi kebijakan (Koleh mainen, 2002).
1) The Industrisl Districts Cluster
Industrial districts cluster atau yang biasa disebut dengan Marshalian Industrial
District adalah kumpulan dari perusahaan pada industri yang terpesialisasi dan
terkonsentrasi secara spasial dalam suatu wilayah (Marshall, l920). Pandangan Marshal
mengenai industrial district masih relevan sampai saat ini dan secara empiris masih dapat
dijumpai. Dalam perpektif lebih modern (Krugman, 1998; Porter, 1990), industrial district
cluster berbasis pada ekstemalitas sebagai berikut:
a. Penurunan biaya transaksi (misalnya, biaya komunikasi dan transportasi)
b. Tenaga kerja yang terspesialisasi (misalnya, penurunan biaya rekuitmen tenaga kerja
yang terspesialisasi dan penurunan biaya untuk pengembangan sumber daya
manusia)
c. Ketersediaan sumber daya, input dan infrastruktur yang spesifik dan terspesialisasi
(misalnya pelayanan spesial dan tersedia sesuai dengan kebutuhan lokal)
d. Ketersediaan ide dan informasi yang maksimal (misalnya mobilitas tenaga keria,
knowledge spillover, hubungan informal antar perusahaan)
Industrialisasi district, terjadi secara alamiah dan bersifat "open membership".
Dalam industial distric tidak memerlukan investasi dalam membangun relationship, Hal ini
menunjukkan bahwa jenis kluster ini dapat muncul tanpa memerlukan usaha untuk
memunculkannya. Selain itu, ciri-ciri dari industrial district dapat teridentifikasikan dalam
area metropolitan dan kota-kota lain yang memprodusi jasa dalam skala yang tinggi
(Gordon dan McCann, 2000).
2) The Industrial Complex Cluster
Industrial complex cluster berbasis pada hubungan antar perusahaan yang
teridentifikasi dan bersifat stabil yang terwujud dalam perilaku spasial dalam suatu wilayah.
Hubungan antar perusahaan sengaja dimunculkan untuk membentuk jaringan
perdagangan dalam kluster. Model kompleks industri pada dasarnya lebih stabil dari pada
model distrik industri, karena diperlukannya investasi dalam menjalin hubungan antara
perusahaan-perusahaan dalam kluster ini, dimana hubungan yang terjadi berdasarkan atas
pertimbangan yang mantap dalam pengambilan keputusan.
Dengan kata lain kluster ini (komplek industri) tejadi karena perusahaan-
perusahaan ingin meminimalkan biaya transaksi spasial (biaya transportasi dan
komunikasi) dan memiliki tujuan-tujuan tertentu baik secara implist ataupun eksplisit
dengan menempatkan perusahaannya dekat dengan perusahaan-perusahaan lain. Dalam
beberapa kasus, terjadinya kluster industri didorong oleh adanya suatu perusahaan yang
mengekspor produk akhir ke pasar internasional, yang menjadi mesin penggerak bagi
perusahaan-perusahaan lain untuk berada pada kluster tersebut.
Komplek industri tidak terbangun secara alami dan berbasis pada hubungan saling
ketergantungan yang tidak simetris antara perusahaan besar dan kecil. Keadaan ini dapat
menghalangi penyerapan serta pengembangan inovasi dan menempatkan perusahaan
kecil pada kedudukan yang rendah dalam menciptakan investasi dalam penelitian dan
pengembangan serta pemasaran.
3) The Social Network Cluster
Social Network Cluster menekankan pada aspek sosial pada aktifitas ekonomi dan
norma-norma institusi dan jaringan. Model ini berdasarkan pada kepercayaan dan bahkan
hubungan informal antar personal, hubungan inter personal dapat menggantikan hubungan
kontrak pasar atau hubungan hirarki organisasi pada proses intemal dalam kluster.
Selama seratus tahun lebih, para pakar geografi, pakar ekonomi, perencana kota,
para ahli strategi bisnis, ilmuwan regional, dan para ilmuwan sosial lainnya telah mencoba
memberikan penjelasan tentang “mengapa” dan “di mana” aktivitas ekonomi berlokasi.
Ketimpangan distribusi kegiatan ekonomi secara regional dalam satu negara telah menjadi
perhatian utama. Inilah yang mendorong dilakukannya banyak penelitian dalam bidang ini
(Kuncoro, 2002).
Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama (driving force) di balik urbanisasi yang
cepat di kawasan Asia sejak dasawarsa 1980- an. Berbeda dalam kasus industri berbasis
sumber daya (resource-based industries), industri manufaktur cenderung berlokasi di
dalam dan di sekitar kota. Pertanian dan industri berdampingan, bahkan kadang berebut
lahan di seputar pusat-pusat kota yang pada gilirannya semakin mengaburkan perbedaan
baku antara desa dan kota (McGee, 1991). Industri cenderung beraglomerasi di daerah-
daerah dimana potensi dan kemampuan daerah tersebut memenuhi kebutuhan mereka,
dan mereka mendapat manfaat akibat lokasi perusahaan yang saling berdekatan. Kota
umumnya menawarkan berbagai kelebihan dalam bentuk produktifitas dan pendapatan
yang lebih tinggi, menarik investasi baru, teknologi baru, pekerja terdidik dan terampil dalam
jumlah yang jauh lebih tinggi dibanding perdesaan (Malecki, 1991).
Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila Aglomerasi (agglomeration), baik
aktivitas ekonomi dan penduduk di perkotaan, menjadi isu sentral dalam literatur geografi
ekonomi, strategi bisnis dan peningkatan daya saing nasional dan studi-studi regional.
(Krugman, 1998).
Persebaran sumberdaya yang tidak merata menimbulkan disparitas dalam laju
pertumbuhan ekonomi antardaerah. Ketidakmerataan sumber daya ini tercermin pada
konsentrasi kegiatan ekonomi yang terjadi pada daerah tertentu saja. Daerah-daerah
dimana konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi memperoleh manfaat yang disebut dengan
ekonomi aglomerasi (agglomeration economies). Seperti yang dikatakan oleh Bradley and
Gans (1996), bahwa ekonomi aglomerasi adalah eksternalitas yang dihasilkan dari
kedekatan geografis dari kegiatan ekonomi. Selanjutnya adanya ekonomi aglomerasi dapat
memberikan pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Sebagai akibatnya
daerah-daerah yang termasuk dalam aglomerasi pada umumnya mempunyai laju
pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang bukan aglomerasi.
Hubungan positif antara aglomerasi geografis dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan
pertumbuhan ekonomi telah banyak dibuktikan (Martin dan Octavianno, 2001). Aglomerasi
menghasilkan perbedaan spasial dalam tingkat pendapatan. Semakin teraglomerasi secara
spasial suatu perekonomian maka akan semakin meningkat pertumbuhannya. Daerah-
daerah yang banyak industri pengolahan tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah
yang hanya mempunyai sedikit industri pengolahan. Alasannya adalah daerah-daerah yang
mempunyai industri pengolahan lebih banyak mempunyai akumulasi modal. Dengan kata
lain, daerahdaerah dengan konsentrasi industri pengolahan tumbuh lebih cepat
dibandingkan dengan daerah yang tidak punya konsentrasi industri pengolahan. Dengan
adanya kenyataan seperti di atas maka penelitian ini akan menganalisis dampak
aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi regional (26 provinsi).

3.2.5. Pengertian Optimalisasi


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Optimalisasi adalah berasal dari kata
dasar optimal yang berarti terbaik, tertinggi, paling menguntungkan, menjadikan paling
baik, menjadikan paling tinggi, pengoptimalan proses, cara, perbuatan mengoptimalkan
(menjadikan paling baik, paling tinggi, dan sebagainya) sehingga optimalisasi adalah suatu
tindakan, proses, atau metodologi untuk membuat sesuatu (sebagai sebuah desain, sistem,
atau keputusan) menjadi lebih/sepenuhnya sempurna, fungsional, atau lebih efektif.
Optimalisasi adalah proses pencarian solusi yang terbaik, tidak selalu keuntungan
yang paling tinggi yang bisa dicapai jika tujuan pengoptimalan adalah memaksimumkan
keuntungan, atau tidak selalu biaya yang paling kecil yang bisa ditekan jika tujuan
pengoptimalan adalah meminimumkan biaya (Siringoringo, 2005).
Dukungan teknologi informasi secara terpadu guna mengintensifkan pajak mutlak
diperlukan dari sistem pelayanan pajak yang dilaksanakan cenderung tidak optimal,
Masalah ini tercermin pada sistem dan prosedur. Perlu adanya batasan waktu dan
penentuan tata cara pelaksanaan. Berhasil tidaknya proses pelaksanaan Menurut Edward,
yang dikutip oleh Abdullah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang merupakan syarat terpenting
berhasilnya suatu proses implementasi.
Faktor-faktor tersebut adalah :
a) Komunikasi, merupakan suatu program yang dapat dilaksanakan dengan baik apabila
jelas bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan
informasi dan konsistensi informasi yang disampaikan;
b) Resouces (sumber daya), dalam hal ini meliputi empat komponen yaitu terpenuhinya
lumlah staf dan kualitas mutu, informasi yang diperlukan guna pengambilan keputusan
atau kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas sebagai tanggung jawab dan
fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan;
c) Disposisi, Sikap dan komitmen daripada pelaksanaan terhadap program khususnya dari
mereka yang menjadi implemetasi program khususnya dari mereka yang menjadi
implementer program (Abdullah, 1987).
Berdasarkan pengertian konsep dan teori diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
optimalisasi adalah suatu proses, melaksanakan program yang telah direncanakan dengan
terencana guna mencapai tujuan/target sehingga dapat meningkatkan kinerja secara
optimal.
Ada tiga elemen permasalahan optimalisasi yang harus diidentifikasi, yaitu tujuan,
alternative keputusan, dan sumberdaya yang dibatasi.
1. Tujuan
Tujuan bisa berbentuk maksimisasi atau minimisasi. Bentuk maksimisasi digunakan
jika tujuan pengoptimalan berhubungan dengan keuntungan, penerimaan, dan sejenisnya.
Bentuk minimisasi akan dipilih jika tujuan pengoptimalan berhubungan dengan biaya,
waktu, jarak, dan sejenisnya. Penentuan tujuan harus memperhatikan apa yang
diminimumkan atau maksimumkan.
2. Alternatif Keputusan
Pengambilan keputusan dihadapkan pada beberapa pilihan untuk mencapai tujuan
yang ditetapkan. Alternatif keputusan yang tersedia tentunya alternatif yang menggunakan
sumberdaya terbatas yang dimiliki pengambil keputusan. Alternatif keputusan merupakan
aktivitas atau kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan.
3. Sumberdaya yang Dibatasi
Sumberdaya merupakan pengorbanan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan
yang ditetapkan. Ketersediaan sumberdaya ini terbatas. Keterlibatan ini yang
mengakibatkan dibutuhkanya proses optimalisasi.
Manfaat Optimalisasi:
a) Mengidentifiksi tujuan
b) Mengatasi kendala
c) Pemecahan masalah yang lebih tepat dan dapat diandalkan
d) Pengambilan keputusan yang lebih cepat.
Dalam proses produksi untuk mencapai optimalisasi banyak hal yang harus
diperhatikan terutama dalam menyusun rencana produksi ini akan menjadi landasan dalam
melakukan produksi. Optimalisasi proses produksi merupakan cara untuk memaksimalkan
hasil produksi (output).
Optimalisasi produksi dapat dicapai dengan meningkatkan produktivitas, sehingga
tingkat efisiensi akan menjadi tinggi, dan berdampak pada produk yang dihasilkan akan
menjadi tinggi dan berdampak pada produk yang dihasilkan akan menjadi tinggi sehingga
rencana produksi atau target produksi dapat dicapai dengan tepat. Optimalisasi adalah
usaha memaksimalkan kegiatan sehingga mewujudkan keuntungan yang diinginkan atau
dikehendaki
Dengan demikian, maka kesimpulan dari optimalisasi adalah sebagai upaya, proses, cara,
dan perbuatan untuk menggunakan sumber – sumber yang dimiliki dalam rangka mencapai
kondisi yang terbaik, paling menguntungkan dan paling diinginkan dalam batas – batas
tertentu dan kriteria tertentu.
3.3. Peran Aglomerasi Pengembangan Wilayah

Peran atau fungsi merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan. Selain itu peran
aglomerasi dapat juga dimaksudkan pada manfaat yang dihasilkan dari adanya aglomerasi
pada suatu wilayah. Aglomerasi Industri sendiri yaitu pemusatan industri di suatu kawasan
tertentu dengan tujuan agar pengelolanya dapat optimal.
Model aglomerasi industri yang berkembang akhir-akhir ini, dapat dikategorikan
menguntungkan, di antaranya adalah:
a) Mengurangi pencemaran atau kerusakan lingkungan, karena terjadi pemusatan
kegiatan sehingga memudahkan dalam penanganannya;
b) Mengurangi kemacetan di perkotaan, karena lokasinya dapat disiapkan di sekitar
pinggiran kota;
c) Memudahkan pemantauan dan pengawasan, terutama industri yang tidak mengikuti
ketentuan yang telah disepakati;
d) Tidak mengganggu rencana tata ruang;
e) Dapat menekan biaya transportasi dan biaya produksi serendah mungkin.
Aglomerasi akan menciptakan keuntungan yang berupa penghematan lokasi dan
penghematan urbanisasi. Penghematan lokasi terjadi apabila biaya produksi perusahaan
pada suatu industri menurun ketika produksi total dari industri tersebut meningkat terjadi
increasing return of scale. Hal ini terjadi pada perusahaan pada industri yang berlokasi
setara berdekatan.
Penghematan urbanisasi terjadi apabila biaya produksi suatu perusahaan menurun
ketika produksi seluruh perusahaan pada berbagai tingkatan aktivitas ekonomi dalam
wilayah yang sama meningkat. Penghematan karena berlokasi diwilayah yang sama ini
terjadi akibat skala perekonomian dan bukan akibat skala suatu jenis industri (Kuncoro,
2002). Penghematan urbanisasi telah memunculkan perluasan wilayah metropolitan
(extended metropolitan regions). Marshall menyatakan bahwa jarakyang tereduksi dengan
adanya aglomerasi akan memperlancar arus informasi dan pengetahuan (knowledge
spillover) pada lokasi tersebut (Kuncoro, 2002).
Perkembangan aglomerasi industri ini memicu perubahan kondisi spasial kawasan
sekitar. Beberapa akibat yang ditimbulkan dari perkembangan aglomerasi industri ini
adalah penambahan jaringan jalan untuk mendukung kemudahan aksesibilitas industri dan
tenaga kerja, penurunan pelayanan jalan menjadi lebih jenuh karena tingginya sirkulasi dan
mobilitas industri juga tenaga kerja, peningkatan sarana transportasi umum guna
mendukung mobilitas tenaga kerja, alih fungsi lahan tak terbangun menjadi lahan industri,
lahan permukiman, dan lahan perdagangan, peningkatan sarana permukiman guna
mendukung penyelenggaraan bermukim masyarakat dan tenaga kerja, serta peningkatan
bangunan permukiman bagi tenaga kerja industri.
Widarjono (1999) mengatakan bahwa penduduk relatif berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi regional suatu daerah. Pengaruh relatif tersebut tergantung pada
bagaimana penduduk yang berada di wilayah tersebut apakah bekerja secara efisien atau
tidak.
Sementara penelitian mengenai aglomerasi dan kemiskinan perkotaan dilakukan
oleh Siagian (2005). Aglomerasi program dan aktivitas pembangunan mengakibatkan
beberapa wilayah tumbuh sangat dinamis sementara daerah lainnya berjalan lamban.
Selain itu spesifikasi pembangunan yang dilakukan di kota besar didominasi oleh aktivitas
yang hanya dapat diberikan oleh kelompok masyarakat tertentu yang terbilang modern.
Dengan demikian, gerak para migran yang didominasi kaum marginal tidak mendapat
sambutan dari lembaga pengguna tenaga kerja yang ada di perkotaan (Siagian, 2005).
Dampak dari perkembangan aglomerasi industri teridentifikasi menjadi dampak
positif dan dampak negatif. Adapun dampak positif yang ditimbulkan adalah terjadinya
penambahan jaringan jalan di kawasan penelitian yang semakin meningkatkan dan
memudahkan aksesibilitas, peningkatan pelayanan sarana transportasi umum yang
mendukung kemudahan mobilitas tenaga kerja tanpa menggunakan kendaranaan motor
pribadi, serta peningkatan pelayanan sarana permukiman yang tercermin melalui
peningkatan jumlah sarana permukiman. Sementara, dampak negatif terlihat dari
penurunan tingkat pelayanan jaringan jalan yang cenderung mengarah pada taraf jenuh,
perubahan penggunaan lahan yang ditunjukkan dengan semakin berkurangnya lahan tidak
terbangun atau lahan terbuka, serta peningkatan bangunan permukiman yang semakin
menambah kepadatan bangunan di kawasan penelitian.
Selain dampak positif dan dampak negatif dari masing-masing sub-variabel
penelitian, dampak terbesar yang ditimbulkan dari perkembangan aglomerasi industri
adalah terkonsentrasinya aktivitas pada lokasi-lokasi tertentu. Konsentrasi tidak hanya
dikarenakan adanya aglomerasi industri, tetapi juga berakibat terhadap konsentrasi sarana
prasarana dan permukiman pada suatu kawasan tertentu. Hal ini memicu terciptanya pusat-
pusat pertumbuhan baru di kawasan penelitian yang berdampak terhadap struktur ruang
kawasan.
Sebagai contoh perkembangan aglomerasi industri Gondangrejo pada penelitian
Dampak Perkembangan Aglomerasi Industri Gondangrejo, Karanganyar terhadap
Perubahan Spasial (Darul, 2018) berakibat pada perubahan morfologi kota yang
menimbulkan perbedaan jelas antara kawasan mengalami pertumbuhan dengan kawasan
yang tidak mengalami pertumbuhan. Kawasan yang Darul Amal Sholihah dkk, dampak
perkembangan aglomerasi industri mengalami pertumbuhan ditandai dengan dominasi
industri, sarana perdagangan jasa, dan perumahan para pekerja. Sementara kawasan
yang tidak mengalami pertumbuhan ditandai dengan dominasi permukiman pedesaan.
Kedua kawasan yang memiliki perbedaan karakter ruang ini dihubungkan dengan kawasan
hijau yang berupa area persawahan
Pada penelitian tersebut diketahui bahwa perkembangan aglomerasi industri
Gondangrejo berdampak dalam membentuk struktur ruang wilayah kaitannya terhadap
pusat-pusat pertumbuhan wilayah. Selama kurun waktu tahun 2003 hingga tahun 2018,
perkembangan aglomerasi industri berdampak terhadap perkembangan sarana prasarana
yang berakibat terhadap tumbuhnya pusat-pusat kegiatan ekonomi baru di kawasan
penelitian. Antara pusat-pusat pertumbuhan juga berpengaruh terhadap perkembangan
zona-zona di kawasan penelitian. Zona-zona yang terbentuk di dalam kawasan penelitian
terbagi ke dalam zona utama yaitu pusat pertumbuhan kawasan yang dan zona penunjang
yang terdiri dari kawasan permukiman. Antara zona utama dan zona penunjang terdapat
border yang membatasi yaitu zona transisi dan lahan non-terbangun, sehingga terlihat jelas
perbedaan antara zona utama dengan zona penunjang. Selain itu, kawasan penelitian
didominasi dengan permukiman pedesaan, sehingga perkembangan aglomerasi di
kawasan penelitian menunjukkan perbedaan yang jelas antara zona utama dan zona-zona
penunjang melalui pola persebaran penggunaan lahan. Zona utama yang terdiri dari
industri dan perdagangan jasa memiliki pola linier, sementara zona penunjang yang terdiri
dari permukiman cenderung mengelompok-mengelompok berdasarkan batas administratif
dengan dibatasi lahan non-terbangun atau sawah (Darul, 2018).
Kenyataan yang terjadi di Indonesia dimana aglomerasi industri lebih terkonsentrasi
di wilayah barat merupakan cerminan pengaruh wilayah dan kebijakan pengembangan
wilayah yang selama ini diterapkan di Indonesia. Wilayah barat merupakan pusat
konsentrasi penduduk, dengan sendirinya pembangunan infrastruktur dan faktor-faktor
pendukung pertumbuhan ekonomi lainnya lebih diprioritaskan di wilayah barat.
Faktor endogen terkait sumberdaya manusia dan kelembagaan yang
memungkinkan terjadinya aglomerasi industri relatif tersedia di wilayah barat. Hal ini sesuai
dengan uraian Scott dan Storper (2003) tentang urgensi faktor endogen yang berpengaruh
terhadap pengembangan wilayah. Di sisi lain, wilayah timur tetap tertinggal karena potensi
wilayahnya diserap ke barat tanpa ada pengembalian pendapatan yang cukup untuk
melakukan pembangunan, selain kemungkinan disebabkan potensi kewilayahannya tidak
mendukung (ketersediaan sumberdaya manusia dan infrastruktur). Efek lebih lanjut dari
kebijakan ekonomi dan pembangunan wilayah yang tidak seimbang seperti di Indonesia
membuat efek negatif dari aglomerasi menjadi nampak, yaitu ketidak merataan spasial dari
pertumbuhan ekonomi (spatial inequality).
Disparitas ini nampak jelas jika kita melihat kembali adanya wilayah dengan
pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dan ada yang pertumbuhan dan
pendapatannya stagnan seperti Aceh. Sementara, sebagian wilayah lain ada yang
mempunyai pendapatan yang tinggi namun pertumbuhannya stagnan. Terlebih, jika dilihat
dalam lingkup nasional, industrialisasi di barat tetap tidak mampu mendongkrak
pertumbuhan ekonomi mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia belum menunjukkan
kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun.
3.4. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Aglomerasi Industri

Tumbuh dan berkembangnya suatu industri dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pengambilan bahan mentah, proses produksi, tenaga kerja, proses pemasaran. sarana dan
prasarana transportasi, dan jarak lokasi industri ke sumber bahan mentah atau ke pusat
pemasaran (Anjayani, 2009).
Faktor-faktor lain yang berpengaruh juga diantaranya adalah harga bahan,
perpajakan, iklim, persediaan air, limbah hasil produksi dan perundang-undangan yang
berlaku (Mulyo, 2015).
Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat, diantaranya adalah
sebagai berikut.
a. Sumber Daya Alam
Sumber daya alam merupakan salah satu faktor pokok dalam proses produksi suatu
industri. Sumber daya alam ini meliputi bahan mentah, sumber daya energi, ketersediaan air,
iklim, bentuk lahan dan pengolahan limbah.
b. Sosial Budaya
Kehidupan sosial dan budaya suatu masyarakat di daerah industri akan ikut
mempengaruhi kegiatan industri. Secara umum, masyarakat-masyarakat yang berada di
dekat lokasi industri akan menyambut baik dengan hadirnya industri di daerah atau di sekitar
daerah mereka, dengan alasan industri tersebut lapangan pekerjaan bagi mereka. Sedangkan
sebagian kecil penduduk lagi akan menyatakan kurang setuju dengan hadirnya industri di
daerah mereka, dengan alasan karena limbah industri menyebabkan rusaknya lingkungan
alam dan munculnya penduduk pendatang yang kadang-kadang membawa kebiasaan yang
kurang baik bagi penduduk setempat, sehingga anak-anak muda di daerah industri tersebut
ikut-ikutan terpengaruh.
Dari hal di atas penduduk yang setuju merupakan faktor pendorong tumbuhnya
industri karena menjadi tenaga kerja sekaligus ikut menjaga keberlangsungan industri,
sedangkan penduduk yang tidak setuju akan menjadi penghambat perkembangan suatu
industri.
c. Ekonomi
Ekonomi merupakan faktor yang sangat mempengaruhi suatu industri. Faktor ekonomi
yang berhubungan dengan industri adalah kegiatan manusia sebagai pangsa pasar, dan
penanaman modal. Proses-proses ini tentu saja dipengaruhi oleh sarana dan prasarana
pendukung pemasaran seperti transportasi dan komunikasi sehingga akan mempengaruhi
terhadap harga barang atau jasa. Jumlah penduduk yang banyak serta daya beli penduduk
yang tinggi disertai dengan sarana transportasi yang baik akan ikut berperan
dalamperkembangan suatu industri.
d. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi perkembangan industri diantaranya
adalah ketentuan penentuan tarif dan pajak, pembatasan ekspor dan impor, penentuan
jumlah industri, penentuan lokasi industri dan pengembangan kondisi iklim usaha (Sugiyanto
2008).
Di dalam operasinya, agar supaya industri dapat berfungsi sebagaimana mestinya
dan dapat menekan biaya produksi, teori lokasi untuk industri sangat menentukan. Apabila
setiap industri didukung oleh faktor-faktor yang telah dijelaskan di atas, sudah tentu akan
menguntungkan. Oleh karena lokasi ideal jarang ditemukan, penempatan lokasi industri harus
memilih di antara tempat-tempat yang paling menguntungkan (Anjayani, 2009).
Adanya pemilihan lokasi ini memungkinkan munculnya gejala aglomerasi industri.
Gejala aglomerasi industri adalah gejala terkonsentrasinya industri pada suatu wilayah
tertentu. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya kesamaan lokasi usaha yang didasarkan pada
salah satu faktor produksi, terkonsentrasinya beberapa faktor produksi pada suatu lokasi,
adanya kerjasama dalam menghasilkan suatu produk, kebutuhan sarana prasarana dan
bidang pelayanan lainnya yang lengkap, adanya wilayah pusat pertumbuhan industri yang
sesuai dengan tata ruang dan fungsi wilayah (Waluya, 2016).
Pemusatan industri dapat terjadi pada suatu tempat terkonsentrasinya beberapa
faktor industri, yaitu seperti pengambilan dan pengumpulan bahan mentah, tersedianya
tenaga kerja dan sumber energi serta pasar. Kemudian dalam perijinan, pajak yang relatif
murah dan penanggulangan limbah merupakan pendukung aglomerasi industri (Sugiyanto,
2008).
Gejala aglomerasi industri adalah gejala terkonsentrasinya industri pada suatu
wilayah tertentu. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya beberapa faktor, diantaranya adalah
sebagai berikut.
a. kesamaan lokasi usaha yang didasarkan pada salah satu faktor produksi.
b. terkonsentrasinya beberapa faktor produksi pada suatu lokasi.
c. adanya kerja sama dalam menghasilkan suatu produk.
d. kebutuhan sarana prasarana dan bidang pelayanan lainnya yang lengkap.
e. adanya wilayah pusat pertumbuhan industri yang sesuai dengan tata ruang dan fungsi
wilayah (Mulyo, 2015).
Semua faktor penyebab aglomerasi industri tersebut memiliki prinsip yang hampir
mirip, yaitu selalu untuk menekan biaya transport dan biaya produksi lainnya serendah
mungkin.

Anda mungkin juga menyukai