TEORITIS
1. Pendekatan Teori;
2. Rencana Pembangunan dan
Pengembangan Perumahan
dan Kawasan Permukiman
RP3KP
2. Lokasi Perumahan
Pemilihan dan penentuan sebuah lokasi perumahan bagi setiap individu berbeda-beda
sesuai dengan pertimbagan masing-masing setiap individu. Pemilihan lokasi perumahan
menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut (Richardson, 1978) :
a. Filter Down Theory
Teori ini muncul pada tahun 1920 oleh EW Burgess yang menerangkan pola
pemukiman di Chicago, sebagai CBD yang sangat pesat dan menjadi tidak menarik,
sehingga menyebabkan tanah menjadi mahal, macet dan polusi. Disisi lain berdasarkan
Hipotesis Tiebout (1956), menyebutkan bahwa seseorang memilih lokasi perumahan di
kota atau di kabupaten yang memiliki pajak atau pelayanan publiknya bagus.
b. Trade off Model oleh Alonso (1964) dan Solow (1972,1973)
Secara sederhana mengemukan adanya trade off aksesibilitas terhadap ruang yang
dipilih rumah tangga sebagai lokasi untuk properti perumahan. Model ini
mengasumsikan bahwa kota melingkar dengan sebuah pusat tenaga kerja dan
transportasi yang tersedia dimana-mana menjadi pertimbangan dalam pemilihan lokasi
untuk tempat tinggal. Rumah tangga akan bersedia membayar lebih untuk properti
dengan lokasi yang lebih dekat dengan CBD, karena biaya commuting lebih rendah.
c. Ellis (1967)
Menekankan pentingnya preferensi lingkungan dan karakteristik sekitar dalam memilih
lokasi perumahan.
d. Little (1974) dan Kirwan & Ball (1974)
Hasil penelitian menekankan bahwa adanya implikasi dari keinginan sebagian besar
keluarga untuk hidup dengan tetangga yang homogen.
e. Social Aglomeration Theory (1985),
Mengemukan bahwa orang memilih rumah dengan pertimbangan utama bahwa dia
akan nyaman bersama dengan kelompok sosial tertentu, dimana kelompok ini bisa
terbentuk berdasarkan ras, pendapatan, usia, dan lain sebagainya yang kemudian
timbul segregasi.
Dari beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa motif dan faktor
yang mempengaruhi pemilihan lokasi tempat tinggal. Beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam pemilihan lokasi tinggal (Catanese dan Synder, 1989) :
4. Tipologi Perumahan
Terdapat berbagai macam jenis dan tipe tempat tinggal manusia. Bertambahnya
penduduk dan semakin langkanya lahan yang tersedia untuk membangun rumah mendorong
manusia semakin kreatif dalam menciptakan jens-jenis hunian. Menurut Sadana, (2014:35-
46) jenis dan tipe-tipe rumah, sebagai berikut :
a. Rumah Sederhana
Rumah sederhana adalah tempat tinggal layak huni yang harganya terjangkau oleh
masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang. Terdapat dua tipe rumah paling umum
dipergunakan pada rumah sederhana, yaitu : rumah gandeng atau rumah kopel dan rumah
deret.
Rumah gandeng atau rumah kopel
Rumah gandeng atau rumah kopel adalah dua buah rumah yang bergandengan dan
masing-masing memiliki kapling sendiri. Pada rumah gandeng atau rumah kopel,
salah satu dinding bangunan induk saling menyatu.
Gambar 4
Rumah Gandeng/Kopel
Rumah deret
Rumah deret adalah beberapa rumah yang bergandengan antara satu unit dengan unit
lainnya. Pada rumah deret, salah satu atau kedua dinding bangunan induknya
menyatu dengan dinding bangunan induk lainnya. Dengan sistem rumah deret, unit-
unit rumah tersebut menjadi satu kesatuan namun memiliki kapling sendiri-sendiri.
Gambar 5
Rumah Deret
luar. Maisonet adalah rumah sederhana berlantai dua, dan berupa rumah deret (SNI 03-6981-
2004).
Maisonette merupakan fungsi hunian dengan ketinggian dua lantai, sehingga rumah
Maisonet menjadi tipe standar dari tempat tinggal bertingkat rendah dengan kapasitas hunian
yang tinggi. Guna memaksimalkan manfaat lahan, tata ruang Maisonette dibuat sederhana
untuk mengakomodasi kebutuhan secara minimal. Berbeda dengan apartemen atau rumah
susun yang memiliki pintu utama (entrance) untuk keluar masuk bangunan. Setiap unit
hunian pada bangunan Maissonette memiliki pintu masuk sendiri yang langsung
berhubungan dengan ruang luar, baik unit tersebut menempati semua tingkat maupun
masing-masing lantai ditempati oleh unit yang berbeda.
Maisonette umumnya berupa bangunan deret atau bangunan rapat. Maisonette
umumnya terletak di pusat kota dan berada di daerah dengan kategori Low Rise adalah daerah
yang hanya boleh dibangun sebanyak maksimal 4 tingkat. Dalam kasus tertentu Maisonette
dapat dibangun di kawasan konservasi, dengan harapan tidak merubah wajah kota. Panjang
suatu deretan rumah Maisonet maksimum 60 meter. Apabila berbentuk rumah gandeng dua,
maka panjang persil maksimum adalah 120 meter (SNI 03-6981-2004).
Gambar 6
Rumah Maisonet
d. Rumah Susun
Rumah susun atau disingkat rusun, pada dasarnya adalah apartemen versi sederhana.
Rumah susun adalah kelompok rumah yang dibangun sebagai bangunan gedung bertingkat.
Rumah susun dibangun dalam suatu lingkungan yang secara fungsional di susun dalam arah
horizontal maupun vertikal. Tiap-tiap satuan rumah susun dapat dimiliki dan digunakan
secara terpisah. Rumah susun juga dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan
tanah bersama (SNI 03-7013-2004).
Satu buah bangunan rumah susun yang terdiri dari empat lantai dapat berisi puluhan
unit hunian. Unit hunian pada rumah susun identik dengan rumah tinggal yang dibangun di
atas tanah. Bagi kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah membangun
rumah susun sederhana. Rumah susun sederhana dibangun dengan tujuan mewadahi aktivitas
menghuni yang paling pokok. Luas unit hunian pada rumah susun sederhana adalah minimal
18 m2 dan maksimal 36 m2 (SNI 03-7013-2004).
Banyaknya jumlah unit hunian dalam sebuah bangunan rumah susun menjadikan setiap
bangunan rumah susun sebagai suatu lingkungan perumahan. Berbeda dengan rumah yang
dibangun di atas tanah, pada rumah susun ratusan unit hunian dibangun di atas lahan yang
sempit. Akibatnya, banyak kebiasaan baru dalam bertempat tinggal yang memerlukan
penyesuaian diri. Perencanaan rumah susun harus memperhatikan faktor-faktor kenyamanan,
keamanan dan disesuaikan dengan perencanaan menyeluruh dari perencanaan lingkungan
rumah susun. Untuk mendukung kondisi hidup bermasyarakat di rumah susun, penyediaan
fasilitas-fasilitas lingkungan rumah susun harus memenuhi persyaratan sebagai berikut (SNI
03-7013-2004; SNI 03-2485-1992) :
Memberi rasa aman, ketenangan hidup, kenyamanan dan sesuai dengan budaya
setempat.
Menumbuhkan rasa memiliki dan merubah kebiasaan yang tidak sesuai dengan gaya
hidup di rumah susun.
Mengurangi kecenderungan untuk memanfaatkan atau menggunakan fasilitas
lingkungan bagi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
Menunjang fungsi aktivitas menghuni yang paling pokok baik dari segi besaran
maupun jenisnya sesuai dengan keadaan lingkungan yang ada.
Menampung fungsi-fungsi yang berkaitan dengan penyelenggaraan dan pengembangan
aspek-aspek ekonomi dan sosial budaya.
Pada dasarnya, unit-unit hunian rumah susun adalah rumah tinggal serupa dengan
rumah yang dibangun di atas tanah. Susunan ruang setiap unit hunian pada rumah susun
hampir sama dengan susunan ruang pada rumah sederhana di atas tanah. Perbedaan yang
tegas adalah setiap hunian tidak menghadap ke halaman dan jalan. Ada rumah susun, setiap
unit hunian menghadap sebuah koridor atau selasar yang digunakan bersama. Terdapat dua
macam tipe selasar atau koridor pada rumah susun, yaitu : selasar luar dan selasar dalam.
Gambar 7
Bangunan dan rumah merupakan wadah bagi manusia. Pada prinsipnya bangunan
yang dapat digunakan sepanjang operasional kehidupan manusia bisa dikategorikan
sesuai dengan fungsi masing- masing, yaitu : (1) Rumah pelayanan masyarakat
(sekolah, rumah sakit, dan lain-lain, (2) Fasilitas rekreasi atau hiburan, (3) Pusat
perbelanjaan, (4) Industri dan (5) Pusat transportasi.
• Network
Networks merupakan sistem buatan maupun alami yang menyediakan fasilitas
untuk operasional suatu wilayah permukiman. Untuk sistem buatan, tingkat
pemenuhannya bersifat relatif, dimana antara wilayah permukiman satu dengan
yang lainnya tidak sama. Sistem buatan yang keberadaannya diperlukan dalam
suatu wilayah, antara lain : (1) Sistem jaringan air bersih, (2) Sistem jaringan
listrik, (3) Sistem transportasi, (4) Sistem komunikasi, (5) Drainese dan air kotor
dan (6) Tata letak fisik.
2. Klasifikasi dan Tipe Permukiman
Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas
pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman,
pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan
kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan serta
peran masyarakat. Kawasan permukiman dapat dilihat dari klasifikasi permukiman dan tipe
permukiman, sebagai berikut :
a. Klasifikasi Fungsi Permukiman
Menurut Lewis Mumford (The Culture Of Cities, 1938) dalam Wesnawa, 2015:27)
mengemukakan 6 jenis Kota berdasarkan tahap perkembangan permukiman penduduk kota,
yakni :
1) Eopolis adalah tahap perkembangan desa yang sudah teratur dan masyarakatnya
merupakan peralihan dari pola kehidupan desa kearah kehidupan kota.
2) Tahap polis adalah suatu daerah kota yang sebagian penduduknya masih mencirikan
sifat-sifat agraris.
3) Tahap metropolis adalah suatu wilayah kota yang ditandai oleh penduduknya sebagian
kehidupan ekonomi masyarakat ke sektor industri
4) Tahap megapolis adalah suatu wilayah perkotaan yang terdiri dari beberapa kota
metropolis yang menjadi satu, sehingga membentuk jalur perkotaan.
5) Tahap tryanopolis adalah suatu kota yang ditandai dengan adanya kekacauan
pelayanan umum, kemacetan lalu-lintas dan tingkat kriminalitas yang tinggi.
6) Tahap necropolis (kota mati) adalah kota yang mulai ditinggalkan penduduknya.
b. Tipe Permukiman
Menurut Wesnasa (2015:32) mengemukakan tipe permukiman dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) tipe permukiman, yakni :
1) Tipe Permukiman berdasarkan waktu hunian
Ditinjau dari waktu hunian permukiman dapat dibedakan menjadi (a) permukiman
sementara dan (b) permukiman bersifat permanen.
a) Permukiman Sementara
Tipe permukiman sementara dapat dihuni hanya beberapa hari (rumah tenda
penduduk pengembara), dihuni hanya untuk beberapa bulan (kasus perumahan
peladang berpindah secara musiman), dan hunian hanya untuk beberapa tahun (kasus
perumahan peladang berpisah yang tergantung kesuburan tanah).
b) Permukiman Permanen
Tipe permanen, umumnya dibangun dan dihuni untuk jangka waktu yang tidak
terbatas. Berdasarkan tipe ini, sifat permukiman lebih banyak bersifat permanen.
Bangunan fisik rumah dibangun sedemikian rupa agar penghuninya dapat
menyelenggarakan kehidupannya dengan nyaman.
2) Tipe permukiman menurut karakteristik fisik dan nonfisik
Pada hakekatnya permukiman memiliki struktur yang dinamis, setiap saat dapat
berubah dan pada setiap perubahan ciri khas lingkungan memiliki perbedaan tanggapan. Hal
ini terjadi dalam kasus permukiman yang besar, karena perubahan disertai oleh pertumbuhan.
Sebagai suatu permukiman yang menjadi semakin besar, secara mendasar dapat berubah
sifat, ukuran, bentuk, rencana, gaya bangunan, fungsi dan kepentingannya. Jadi jika tempat
terisolasi sepanjang tahun kondisinya relatif tetap sebagai organisme statis suatu kota besar
maupun kecil akan menghindari kemandegan, kota akan berkembang baik kearah vertikal
maupun horizontal, fungsi baru berkembang dan fungsi lama menghilang, pengalaman sosial
dan transformasi ekonomi mengalami perkembangan pula. Pada akhirnya terpenting untuk
dipertimbangkan bahwa semua permukiman memiliki jati diri masing-masing secara khas,
baik tanpa fisik, peranan dan fungsi, sejarah, arsitektur dan perencanaan jalan pada setiap
permukiman memiliki keunikan sendiri.
3. Pola Sebaran Permukiman
Menurut Singh dalam Ritohardoyo (1989:54), pola permukiman dibedakan menjadi 3
(tiga) kelompok, yaitu :
a. Pola Permukiman Mengelompok
Pola permukiman mengelompok biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor permukaan lahan
yang datar, lahan subur, curah hujan realtif kurang, kebutuhan akan kerjasama, ikatan
sosial, ekonomi, agama, tipe pertanian, kurangnya keamanan waktu lampau, lokasi
industri dan mineral.
b. Faktor Kependudukan
Perkembangan penduduk yang tinggi, merupakan permasalahan yang memberikan
pengaruh yang sangat besar terhadap pembangunan permukiman. Jumlah penduduk yang
besar merupakan sumber daya dan potensi bagi pembangunan, apabila dapat diarahkan
menjadi manusia pembangunan yang efektif dan efisien. Tetapi sebaliknya, jumlah penduduk
yang besar itu akan merupakan beban dan dapat menimbulkan permasalahan bila tidak
diarahkan dengan baik. Disamping itu, penyebaran penduduk secara demografis yang tidak
merata, merupakan permasalahan lain yanag berpengaruh terhadap pembangunan perumahan.
c. Faktor Kelembagaan
Faktor kelembagaan berfungsi sebagai pemegang kebijaksanaan, pembinaan dan
pelaksanaan, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta, baik di pusat maupun di daerah.
Termasuk didalamnya adalah kebijaksanaan yang mengatur kawasan permukiman,
keberadaan lembaga-lembaga desa, karang taruna, kelompok wanita dan sebagainya.
d. Faktor Swadaya dan Peran Serta Masyarakat
Dalam rangka membantu golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, menengah
dan tidak tetap, perlu dikembangkan pembangunan perumahan secara swadaya masyarakat
yang dilakukan oleh berbagai organisasi non-pemerintah. Dalam hal ini dapat dinyatakan
bahwa masyarakat yang berpenghasilan tidak tetap serta amat rendah dan tidak
berkemampuan tersebut mampu membangun rumahnya sendiri dengan proses bertahap,
yakni mula-mula dengan bahan bangunan bekas atau sederhana, kemudian lambat laun
diperbaiki dengan bangunan permanen bahkan ada pula beberapa rumah yang sudah
bertingkat. Faktor swadaya dan peran serta masyarakat atau aspek sosial tersebut juga
meliputi kehidupan sosial masyarakat, kehidupan bertetangga, gotong royong dan pekerjaan
bersama lainnya.
e. Sosial dan Budaya
Faktor sosial budaya merupakan faktor internal yang mempengaruhi perkembangan
permukiman, terdiri atas sikap dan pandangan seseorang terhadap rumahnya, adat istiadat
suatu daerah, kehidupan bertetangga, dan proses modernisasi. Rumah tidak hanya sebagai
tempat berteduh dan berlindung terhadap bahaya dari luar, tetapi berkembang menjadi sarana
yang dapat menunjukkan citra dan jati diri penghuninya.
f. Ekonomi dan Keterjangkauan Daya Beli
Aspek ekonomi meliputi yang berkaitan dengan mata pencaharian. Tingkat
perekonomian suatu daerah akan mempengaruhi tingkat pendapatan seseorang. Makin tinggi
pendapatan sesorang, maka makin tinggi pula kemampuan orang tersebut dalam memiliki
rumah. Hal ini akan meningkatkan perkembangan permukiman di suatu daerah.
Keterjangkauan daya beli masyarakat terhadap suatu rumah akan mempengaruhi
perkembangan permukiman. Semakin murah harga suatu rumah di daerah tertentu, semakin
banyak pula orang yang membeli rumah, maka semakin berkembanglah permukiman yang
ada.
g. Sarana dan Prasarana
Kelengkapan sarana dan prasarana dari suatu perumahan dan permukiman dapat
mempengaruhi perkembangan permukiman di suatu wilayah. Dengan adanya sarana dan
prasarana yang memadai dapat memudahkan penduduknya untuk beraktivitas sehari-hari.
Semakin lengkap sarana dan prasarana yang tersedia, maka semakin banyak pula orang yang
berkeinginan bertempat tinggal di daerah tersebut.
h. Pertanahan
Kenaikan harga lahan sebagai akibat penyediaan kelangkaan lahan untuk permukiman,
menyebabkan timbulnya slum dan squatter.
i. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat meningkatkan perkembangan
perumahan dan permukiman. Dengan diciptakannya teknologi-teknologi baru dalam bidang
jasa konstruksi dan bahan bangunan, maka membuat pembangunan suatu rumah akan
semakin cepat dan dapat menghemat waktu. Sehingga semakin banyak pula orang-orang
yang ingin membangun rumahnya. Hal ini akan meningkatkan perkembangan permukiman.
Housing need lebih diartikan pada kebutuhan rumah secara kuantitas dan kualitas yang
perlu ditambahkan terhadap ketersediaan rumah yang telah ada (Acioly Jr. and
Horwood, 2011).
b. Menurut Liu, et al (1996), definisi housing need (kebutuhan rumah) adalah jumlah
rumah yang sudah tersedia atau rumah tangga baru yang membutuhkan rumah layak
huni. Penghuni dikatakan tinggal di dalam rumah layak huni bila penghuni tinggal di
dalam bangunan yang terbuat dari bahan-bahan bangunan permanen.
b. Menurut Pon Vajiranivesa (2008), housing demand (permintaan rumah) didefinisikan
sebagai jumlah rumah tangga yang mencari tempat tinggal. Pada sektor umum housing
need (kebutuhan rumah) sama dengan housing demand (permintaan rumah). Pada
sektor swasta, housing demand (permintaan rumah) lebih ditekankan pada
keterjangkauan. Permintaan rumah merupakan istilah yang digunakan untuk
menyatakan keinginan seseorang untuk membeli rumah, atau kemampuan secara
finansial seseorang untuk membeli satu rumah atau beberapa rumah.
Kebutuhan (need) diartikan bahwa setiap orang dianggap mempunyai tingkat
kebutuhan yang sama berdasarkan standar kelayakan penghunian rumah. Rumah dipandang
sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi keberlanjutan hidup setiap orang. Standar
kelayakan rumah dapat di tentukan oleh pemerintah. Permintaan perumahan (housing
demand) diartikan sebagai kebutuhan rumah sesuai dengan keinginan dan kondisi suatu
masyarakat, dimana setiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda secara
ekonomi.
2. Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Rumah
Permintaan perumahan menjadi peran penting dalam mempengaruhi nilai properti di
pasaran dalam jenis perumahan. Hal ini dikarenakan penawaran akan lahan untuk
membangun perumahan terbatas, sedangkan dari segi permintaan jumlahnya selalu
bertambah (Awang, 1997). Permintaan konsumen atas rumah di pengaruhi oleh beberapa
factor, yaitu :
a. Lokasi Rumah.
Semakin strategis rumah tersebut berarti semakin baik dan tingkat permintaan akan
rumah tersebut semakin tinggi. Jarak yang dekat dengan fasilitas umum, tempat
kerja, dan lain sebagainya menjadi salah satu alasan konsumen memlih lokasi rumah
tersebut.
b. Pertambahan penduduk
Dengan adanya pertumbuhan penduduk permintaan akan rumah meningkat, hal ini
dikarenakan pertumbuhan penduduk yang terjadi secara alami ataupun non alami
(urbanisasi) menyebabkan bertambahnya jumlah kepala keluarga dan anggota
keluarga. Hal ini secara otomatis akan meningkatkan jumlah permintaan akan
rumah.
c. Pendapatan Konsumen
Apabila pendapatan seseorang mengalami peningkatan dan tidak terjadinya inflasi
dalam perekonomian, maka permintaan akan sebuah rumah meningkat baik secara
kualitas maupun kuantitas.
d. Kemudahan Mendapatkan Pinjaman Pada Pasar Properti Perumahan,
Permintaan akan perumahan dipengaruhi oleh institusi keuangan atau kebijakan
pemerintah seperti perbankan. Apabila kemudahan peminjaman dapat diperoleh oleh
konsumen, maka permintaan akan rumah akan semakin bertambah. Dan begitu pula
sebaliknya, apabila persyaratan peminjaman ketat atau suku bunga meningkat, maka
permintaan akan rumah menurun.
e. Fasilitas dan Sarana Umum
Fasilitas disini termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosal, diantaranya yaitu
infrastruktur, sarana kesehatan, pendidikan, keagamaan, transportasi, dan lain
sebagainya. Fasilitas tersebut akan meningkatkan permintaan akan rumah di kawasan
tersebut.
f. Harga Pasar Rumah
Dalam teori permintaan dan penawaran, semakin tinggi harga sebuah barang, maka
akan mengakibatkan penurunan permintaan akan barang tersebut. Dan apabila harga
rumah meningkat, sementara harga rumah yang lain lebih rendah, maka konsumen
akan beralih ke rumah dengan harga yang lebih rendah.
g. Undang- undang
Jenis penggunaan lahan/tanah yang membatasi hak atas tanah turut menjadi faktor
yang dapat mempengaruhi permintaan akan rumah. Demikian pula dengan faktor lain
seperti pajak menjadi faktor pertimbangan dalam memilih atau menetapkan rumah.
3. Backlog
Backlog adalah salah satu indikator yang digunakan oleh Pemerintah untuk
mengukur jumlah kebutuhan rumah pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Backlog
dapat diukur dari dua perseptif, yaitu sisi penghuniaan maupun dari sisi kepemilikan.
Bahan bangunan tidak permanen, seperti atap atau dinding dari bambu rumbia.
Tidak memiliki pencahayaan matahari dan ventilasi udara.
Lantai dari tanah dan rumah lembab.
Letak rumah tidak beratur dan berdempetan.
b. Kondisi Lingkungan
Sarana dan prasarana buruk, lingkungan kumuh dan becek.
Saluran pembuangan air tidak memenuhi standard.
Jalan setapak tidak teratur.
Dekat tempat pembuangan sampah.
Dekat pabrik dengan polusi udara, air dan tanah yang berbahaya.
Rawan kebakaran dan longsor.
Rumah berada di pinggiran atau di atas kali, danau atau saluran pembuangan.
Rumah didirikan di atas tanah sengketa, tanah negara atau tanah adat.
Indikator penilaian dan standar minimal rumah layak huni di Indonesia sampai saat
ini belum ada disepakati dari beberapa lembaga yang menerbitkan ketentuan teknis tentang
rumah layak huni. Secara garis besar penilaian kelayakan tempat hunian dilakukan terhadap
fisik bangunan, sarana dan prasarana rumah. Konsep rumah layak huni yang diterbitkan oleh
beberapa lembaga dan pendekatan konsep dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5
Konsep Rumah Layak Huni
Konsep Rumah Layak Huni
No Badan Pusat Kemenpera MDGs
Statistik
1 Luas lantai Luas lantai hunian Luas lantai hunian
perkapita Kecukupan luas minimum tidak layak (padat), nilai skor = 1;
Perkotaan >4 m2 : 7,2 m2/orang syarat luas < 9m2
Perdesaan >10 sampai 12 m2/orang layak (konsep MDGs), nilai skor =
m2 0; syarat luas ≥ 9 m2
2 Jenis atap - Jenis atap terluas
Jenis atap rumah tidak layak, nilai skor = 1;
tidak syarat terbuat dari
terbuat dari ijuk/daun/lainnya
ijuk/daun layak (konsep MDGs), nilai skor =
0; syarat terbuat
bukan dari ijuk/daun/lainnya
• Permukiman Kumuh
1. Pengertian dan Karakteristik Permukiman Kumuh
Menurut Khomaruddin (1997) permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai suatu
lingkungan yang berpenghuni padat (melebihi 500 orang per Ha) dengan kondisi sosial
ekonomi masyarakat yang rendah, jumlah rumah yang sangat padat, ukuran rumah di bawah
standar, sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan serta
hunian yang dibangun di atas tanah milik negara atau orang lain dan diluar perundang-
undangan yang berlaku.
Gambaran lingkungan kumuh, adalah :
Lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya
berdesakan.
Luas rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni.
Rumah hanya sekedar tempat untuk berlindung dari panas dan hujan.
Hunian bersifat sementara dan dibangun di atas tanah bukan milik penghuni.
Lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur tanpa perencanaan.
Prasarana kurang (mck, air bersih, saluran buangan, listrik, jalan lingkungan).
Fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan).
Mata pencaharian yang tidak tetap dan usaha non formal.
Pendidikan masyarakat rendah.
Kedaan kumuh tersebut dapat mencerminkan keadaan ekonomi, sosial, dan budaya
para penghuni permukiman tersebut. Ciri-ciri kawasan kumuh dapat tercermin dari :
1) Penampilan fisik bangunannya yang miskin konstruksi, yaitu banyaknya
bangunan-bangunan temporer yang berdiri serta nampak tak terurus maupun
tanpa perawatan.
2) Pendapatan yang rendah mencerminkan status ekonomi masyarakatnya.
3) Kepadatan bangunan yang tinggi, dapat terlihat tidak adanya jarak antar
bangunan maupun siteplan yang tidak tersencana.
4) Kepadatan penduduk yang tinggi dan masyarakatnya yang heterogen.
5) Sistim sanitasi yang miskin atau tidak dalam kondisi yang baik.
6) Kondisi sosial yang tidak baik dapat dilihat dengan banyaknya tindak kejahatan
maupun kriminal.
2) Karakter lingkungan, yaitu tidak ada open space (ruang terbuka hijau) dan tidak
tersedia fasilitas untuk rekreasi keluarga, kepadatan penduduk yang tinggi dan
sarana prasarana yang tidak terencana dengan baik.
Perumahan dan pemukiman adalah dua hal yang tidak dapat kita pisahkan dan
berkaitan erat dengan aktivitas ekonomi, industrialisasi dan pembangunan. Pemukiman dapat
diartikan sebagai perumahan atau kumpulan rumah dengan segala unsur serta kegiatan yang
berkaitan dan yang ada di dalam pemukiman. Pemukiman dapat terhindar dari kondisi kumuh
dan tidak layak huni jika pembangunan perumahan sesuai dengan standar yang berlaku, salah
satunya dengan menerapkan persyaratan rumah sehat. Dalam pengertian yang luas, rumah
tinggal bukan hanya sebuah bangunan (struktural), melainkan juga tempat kediaman yang
memenuhi syarat-syarat kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan.
Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku
yang rendah di lihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain,
kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang sudah
mapan kepada golongan bawah yang belum mapan. Gambaran seperti itu diungkapkan oleh
Herbert J. Gans dengan kalimat :
”Obsolescence per se is not harmful and designation of an area as a slum for the reason
alone is merely a reflection of middle clas standards and middle alass incomes”.
Kumuh dapat ditempatkan sebagai sebab dan dapat pula ditempatkan sebagai akibat.
Ditempatkan dimanapun juga, kata kumuh tetap menjurus pada sesuatu hal yang bersifat
negatif.
Pemahaman kumuh dapat ditinjau dari :
a) Sebab Kumuh
Kumuh adalah kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup dilihat dari: (1) segi fisik,
yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam seperti air dan udara, (2) segi
masyarakat/sosial, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri seperti
kepadatan lalu lintas dan sampah.
b) Akibat Kumuh
Kumuh adalah akibat perkembangan dari gejala-gejala, antara lain : (1) kondisi
perumahan yang buruk, (2) penduduk yang terlalu padat, (3) fasilitas lingkungan yang
kurang memadai, (4) tingkah laku menyimpang, (5) budaya kumuh, (6) apati dan isolasi.
Pemukiman kumuh adalah pemukiman yang tidak layak huni karena tidak memenuhi
persyaratan untuk hunian, baik secara teknis maupun non teknis. Suatu pemukiman kumuh
Perumahan tidak layak huni adalah kondisi dimana rumah beserta lingkungannya
tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik, kesehatan
maupun sosial, dengan kriteria, antara lain:
1) Luas lantai perkapita di kota kurang dari 4 m 2 sedangkan di desa kurang dari 10
m2.
2) Jenis atap rumah terbuat dari daun dan lainnya.
3) Jenis dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang belum diproses.
4) Jenis lantai tanah.
5) Tidak mempunyai fasilitas tempat untuk Mandi, Cuci, Kakus (MCK).
Penetapan lokasi perumahan dan permukiman kumuh wajib memenuhi persyaratan :
1) Kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang
wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
2) Kesesuaian dengan rencana tata bangunan dan lingkungan.
3) Kondisi dan kualitas prasarana, sarana, dan utilitas umum yang memenuhi
persyaratan dan tidak membahayakan penghuni.
4) Tingkat keteraturan dan kepadatan bangunan.
5) Kualitas bangunan.
6) Kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.
Gamb
ar 8
Mekanisme Pengadaan Tanah
a) Pemberian Hak Atas tanah terhadap Tanah yang Langsung Dikuasai Negara
Terdiri dari :
• Tanah Negara yang tidak ada pemakainya.
• Tanah Negara bekas tanah hak yang dipakai oleh perseorangan (tanah garapan) atau
badan hukum (BUMN/BUMD).
• Tanah Negara yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat sebagai hak ulayat.
Penyelenggara dapat langsung mengajukan permohonan hak atas tanah tersebut kepada
negara, berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku. Mekanisme ini dilaksanakan melalui
mekanisme ganti rugi. Adapun pemberian hak atas tanah didasarkan pada Keputusan
Gubernur atau Bupati/Walikota tentang Penetapan Lokasi atau Izin Lokasi.
b) Konsolidasi tanah
Konsolidasi Tanah dilakukan dalam rangka penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan RTRW kabupaten/kota,
sebagai upaya penyediaan tanah untuk Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan
Kawasan Permukiman. Kosolidasi tanah dapat dilaksanakan bagi pembangunan Rumah
tunggal, Rumah deret, atau Rumah susun.
Konsolidasi tanah dilakukan untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal,
melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah. Kegiatan Konsolidasi
Tanah, meliputi penataan kembali bidang-bidang tanah termasuk hak atas tanah dan/atau
penggunaan tanahnya dengan dilengkapi Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum dengan
melibatkan partisipasi para pemilik tanah dan/atau penggarap tanah.
Adapun penetapan lokasi konsolidasi tanah yang terletak pada suatu kabupaten/kota
dilakukan oleh Bupati/Walikota. Konsolidasi tanah bagi pembangunan Perumahan dan
Kawasan Permukiman diutamakan bagi :
a) Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh.
b) Permukiman yang tumbuh pesat secara alami.
c) Permukiman yang mulai tumbuh.
d) Kawasan yang direncanakan menjadi permukiman baru.
e) Kawasan yang relatif kosong di bagian pinggiran kota yang diperkirakan akan
berkembang sebagai daerah Permukiman.
f) Pembangunan kembali Perumahan dan Kawasan Permukiman yang terkena
bencana alam, kebakaran, atau kerusuhan sosial.
c) Land Banking
Land Banking merupakan upaya-upaya dalam rangka praktek perolehan tanah dan
menyimpan tanah yang sudah diperoleh/dibebaskan untuk penggunaan pada masa yang akan
datang.
Adapun tujuan pelaksanaan land banking, diantaranya :
1) Memberikan jaminan ketersediaan tanah melalui upaya peningkatan daya guna dan
hasil guna tanah, dengan mengutamakan fungsi sosial tanah dalam konteks
pembangunan yang berkelanjutan.
2) Mendukung pengembangan kota baru dan penerapan kebijakan hunian berimbang.
3) Mengendalikan pengadaan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah secara adil dan wajar
dalam pelaksanaan pembangunan.
4) Menyediakan tanah siap bangun (secara fisik maupun administrasi).
5) Mengendalikan harga tanah (tidak terpengaruh dengan mekanisme pasar yang
diakibatkan pembangunan sektor properti oleh swasta, tidak terpengaruh dengan
spekulasi, dll), sehingga wajar untuk dibangun rumah bagi MBR dengan harga yang
terjangkau.
2. Pencadangan Tanah
Gambar 9
Tahapan Pencadangan Tanah
Pemerintah dalam proses pencadangan tanah memiliki peran dan kewenangan yang
berbeda antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota,
sebagai berikut :
1) Pemerintah Pusat
a) Merumuskan dan menetapkan kebijakan dan strategi nasional terkait
pencadangan lahan;
b) Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional terkait pencadangan
lahan;
c) Menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan
nasional terkait pencadangan lahan;
d) Mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung
terwujudnya upaya pencadangan lahan perumahan bagi MBR;
e) Menyelenggarakan sosialisasi kebijakan terkait pencadangan lahan.
f) Memfasilitasi pemberian bantuan prasarana, sarana, dan utilitas umum bagi
pemerintahan daerah yang telah melaksanakan upaya pencadangan lahan
perumahan bagi MBR
2) Peran Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota
dan kriteria antara lain klimatologi, topografi, geologi, hidrologi, sumber daya mineral/bahan
galian, bencana alam dan penggunaan lahan.
Adapun kriteria penentuan kelayakan lahan untuk permukiman berdasarkan pedoman
kriteria teknis kawasan budidaya, diantaranya :
Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan
1. Topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0 - 25%).
2. Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh penyelenggara dengan
jumlah yang cukup. Untuk air PDAM suplai air antara 60 liter/org/hari - 100
liter/org/hari.
3. Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi).
4. Drainase baik sampai sedang.
5. Tidak berada pada wilayah sempadan sungai/pantai/waduk/danau/ mata air/saluran
pengairan/rel kereta api dan daerah aman penerbangan.
6. Tidak berada pada kawasan lindung.
7. Tidak terletak pada kawasan budi daya pertanian/penyangga.
8. Menghindari sawah irigasi teknis.
Kriteria dan batasan teknis daya dukung lahan
1. Penggunaan lahan untuk pengembangan perumahan baru 40% - 60% dari luas lahan
yang ada dan untuk kawasan-kawasan tertentu disesuaikan dengan karakteristik serta
daya dukung lingkungan.
2. Kepadatan bangunan dalam satu pengembangan kawasan baru perumahan tidak
bersusun maksimum 50 bangunan rumah/ha dan dilengkapi dengan utilitas umum yang
memadai.
3. Memanfaatkan ruang yang sesuai untuk tempat bermukim di kawasan peruntukan
permukiman di perdesaan dengan menyediakan lingkungan yang sehat dan aman dari
bencana alam serta dapat memberikan lingkungan hidup yang sesuai bagi
pengembangan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan
hidup.
direncanakan berdasarkan frekuensi intensitas curah hujan 5 (lima) tahunan dan daya
resap tanah yang dapat berupa saluran terbuka maupun tertutup yang dilengkapi
dengan sumur resapan air hujan.
c. Prasarana air bersih yang memenuhi syarat kuantitas maupun kualitas, kapasitas
minimum sambungan rumah tangga 60 liter/orang/hari dan sambungan kran umum
umum 30 liter/orang/hari.
d. Sistem pembuangan sampah.
e. Penyediaan kebutuhan sarana pendidikan di kawasan peruntukan permukiman yang
berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah penduduk pendukung, luas
lantai dan luas lahan minimal, radius pencapaian serta lokasi dan penyelesaian.
f. Penyediaan kebutuhan sarana kesehatan di kawasan peruntukan permukiman yang
berkaitan dengan yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah
penduduk, luas lantai minimal, radius pencapaian serta lokasi dan penyelesaian.
g. Penyediaan kebutuhan sarana ruang terbuka, taman dan lapangan olah raga di kawasan
peruntukan permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah
penduduk pendukung, luas lahan minimal, radius pencapaian, dan kriteria lokasi dan
penyelesaian penyediaan kebutuhan sarana perdagangan dan niaga di kawasan
peruntukan permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah
penduduk pendukung, luas lantai dan luas lahan minimal radius pencapaian, serta
lokasi dan penyelesaian.
h. Penyediaan kebutuhan sarana perdagangan dan niaga di kawasan peruntukan
permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah penduduk
pendukung, luas lantai dan luas lahan minimal, radius pencapaian, serta lokasi
penyelesaian.
• Pembiayaan Perumahan dan permukiman
Pembiayaan perumahan formal adalah pembiayaan terkait dengan perumahan formal
yang berupa pembiayaan yang melibatkan pemerintah dan bank-bank tertentu (Kuswartojo).
Pembangunan perumahan di sektor formal merupakan kegiatan pembangunan perumahan
yang dilakukan oleh lembaga berbadan usaha, yaitu pemerintah atau swasta.Jika dari sisi
pemerintah, pemerintah memberi bantuan berupa bunga pinjaman ringan, tanah murah, dan
bahan murah. Pemerintah menjaga keselarasan pembangunan rumah dengan usaha
perencanaan kota. Sebagai contoh dari peran pemerintah dalam penyediaan perumahan
adalah melalui perumnas yang mempunyai :
1) Biaya Langsung
Biaya langsung merupakan biaya yang diperlukan untuk segala sesuatu yang
menjadi komponen permanen hasil akhir proyek. Dalam hal ini yaitu biaya untuk
membayar material, peralatan, upah pekerja termasuk mandor yang digunakan
langsung pada pelaksanaan konstruksi. Biaya langsung diajukan secara formal sebagai
salah satu item pembiayaan dan merupakan item utama dari pembiayaan. Dalam
masing-masing biaya langsung terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi harga satuan
material. Harga satuan upah, harga satuan peralatan sebagaimana di jelaskan dalam
bab Rencana Angaran Biaya Konstruksi
2) Biaya Tak Langsung
Biaya tak langsung merupakan biaya yang diperlukan untuk keperluan
kelangsungan manajemen, pengawasan mutu dan pembayaran material serta jasa untuk
pengadaan bagian proyek yang tidak akan menjadi produk/konstruksi permanen,
namun diperlukan dalam rangka proses pelaksanaan proyek.
Gambar 10
Komponen Pembiayaan Perumahan dan Permukiman
No Pihak Keterkaitan
Developer sebagai perencana dan pelaksana pembangunan
7 Masyarakat Berpartisipasi dalam melaksanakan pembangunan perumahan
dan permukiman secara swadaya
Merupakan konsumen dan pengguna kredit
Sumber : Sistem Pembiayaan Perumahan Formal Sederhana Perumnas Mojosongo, 2009
Pt =Po + r.t
Pt =Po (1 + r)t
bahwa penduduk (atau perubahan penduduk) pada suatu wilayah yang lebih kecil (wilayah
studi) merupakan proporsi dari penduduk (perubahan penduduk) dari wilayah yang lebih
luas, atau wilayah basis (base area). Model ini sederhana dan mudah dalam perhitungannya
serta membutuhkan data yang relative lebih sedikit. Meskipun demikian, model ini
membutuhkan proyeksi penduduk dari wilayah basis tersebut.
c. Model Polinomial
Asumsi dalam metode ini adalah kecenderungan dalam laju pertumbuhan penduduk
dianggap tetap atau dengan kata lain hubungan masa lampau digunakan untuk
memperkirakan perkembangan yang akan datang. Analisa ini digunakan apabila
menemukan pola pertambahan penduduk yang sifat datanya berfluktuasi dan data laju
pertumbuhan penduduk rata-rata kurang dari 2%. Adapun rumus yang digunakan adalah
sebagai berikut:
Pt = Po + (bxn)
Ket: Pt = Jumlah Penduduk proyeksi tahun t (jiwa)
Po = Jumlah Penduduk eksisting/tahun perhitungan dasar (jiwa)
b = Rata-rata pertambahan pednuduk (jiwa/tahun)
n = Selisih tahun proyeksi (t) dengan tahun dasar (o) (tahun)
di mana :
r = laju pertumbuhan KK
Pt = jumlah KK awal tahun t
P0 = jumlah KK tahun awal
t = periode waktu antara 0 dan t