Anda di halaman 1dari 47

PETROS-PETRODES

Menggali Kekayaan Rohani Gereja Katolik


 HOME
 BLOG DESCRIPTION

GEREJA YANG SATU, KUDUS, KATOLIK DAN APOSTOLIK


POPULAR POSTS


TANDA SALIB : "DALAM" ATAU "DEMI" ATAU "ATAS" ....

Setiap kali umat Katolik membuat tanda salib, selalu sambil berkata entah dalam hati maupun dalam suara
dengan bibir "Dalam nama B...


BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2017 (GAGASAN PENDUKUNG)

GAGASAN PENDUKUNG oleh Alfonsus Jehadut   Bulan Kitab Suci Nasional LEMBAGA BIBLIKA
INDONESIA 2017 6 Arus zaman dun...


"BIOGRAFI" ABRAHAM MENURUT KITAB KEJADIAN

Siapakah Abraham ? Bagi orang Yahudi, Abraham adalah bapa leluhur mereka ( bdk. Yes 51:2; Mat 3:9;
Luk 3:8; Yoh 8:33,39) dan bahkan “...


"RIWAYAT HIDUP" SANTO PAULUS

Santo Paulus adalah rasul agung dan bentara firman Allah. Ia dulu “menganiaya” Tuhan, tetapi kemudian
seluruh hidupnya dipersembahka...

BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2013 : KELUARGA BERSEKUTU DALAM SABDA

BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2013 KELUARGA BERSEKUTU DALAM SABDA “Oleh karena berkat-Mu
keluarga hamba-Mu ini diberkati untuk selama...


TIMOTIUS : SEJAK KECIL SUDAH AKRAB DENGAN KITAB SUCI

Timotius berasal dari Listra. Ia lahir dari keluarga yang ayahnya seorang Yunani dan ibunya seorang
Yahudi (Kis 16:1; 2Tim 1:5). Ia ...


BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2014 : KELUARGA BERIBADAH DALAM SABDA

BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2014 KELUARGA BERIBADAH DALAM SABDA “Saatnya akan datang
dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-p...


"BIOGRAFI" SINGKAT DAUD

Daud adalah raja terbesar orang Israel. Ia hidup sekitar tahun 1015-975 SM. Daud adalah anak bungsu
Isai, orang Benyamin. Ia diurapi se...

SUGGESTED LINK
Takhta Suci Vatikan
Hirarki Katolik 1
Hirarki Katolik 2

MY BLOG LIST
http://katekesekatolik.blogspot.com http://pope-at-mass.blogspot.com

PRINT

 Print this page


BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2018 : MEWARTAKAN
KABAR GEMBIRA DALAM KEMAJEMUKAN

GAGASAN PENDUKUNG
BULAN KITAB SUCINASIONAL 2018
“MEWARTAKAN KABAR GEMBIRA DALAM KEMAJEMUKAN”
V. Indra Sanjaya, pr

Pendahuluan

Dalam pertemuan nasional (Pernas) yang diadakan pada tanggal 18-22 Juli 2016 di Sawangan,
Bogor, Lembaga Biblika Indonesia (LBI) sepakat untuk mengusung sebuah tema besar
“Mewartakan Injil di tengah Arus Zaman” sebagai arahan selama 4 tahun ke depan. Tema itu
kemudian dijabarkan dalam 4 (empat) tema yang lebih spesifik yang akan direnungkan
terutama dalam Bulan Kitab Suci Nasional selama 4 tahun mendatang. Adapun keempat tema
itu adalah sebagai berikut:

Mewartakan Kabar Gembira dalam Gaya Hidup Modern (2017)

Mewartakan Kabar Gembira dalam Kemajemukan (2018)


Mewartakan Kabar Gembira dalam Krisis Lingkungan Hidup (2019)

Mewartakan Kabar Gembira dalam Krisis Iman dan Identitas Diri (2020)

Tema pertama sudah kita renungkan selama bulan September 2017. Sekarang ini kita
memasuki tema yang kedua, yaitu Mewartakan Kabar Gembira dalam Kemajemukan. 
Sebagaimana biasa, tema ini akan dibagi dalam 4 pertemuan mingguan dalam rangka Bulan
Kitab Suci Nasional. Tulisan ini, yang bisa diperlakukan sebagai Gagasan Pendukung, mau
menempatkan permenungan atas tema itu dalam konteks Gereja Indonesia. Oleh karena itu,
Gagasan Pendukung ini akan diawali dengan refleksi tentang Gereja Indonesia dan panggilan
mewartakan Injil sebelum nanti dilanjutkan dengan pembahasan bahan-bahan yang
merupakan barang khas Bulan Kitab Suci Nasional.

***

Amanat Agung: Mewartakan Kabar Sukacita

Kalau kita memeras seluruh Perjanjian Baru menjadi satu ayat, mungkin yang keluar adalah
satu nats terkenal dari Injil Yohanes. “Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia
telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya
tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3,16 TB2). Seluruh narasi kekristenan
sepanjang sejarah, tidak lain dan tidak bukan sebenarnya adalah kisah tentang penjabaran
nats pokok ini dalam sejarah yang selalu berubah. Kekristenan adalah kisah tentang Allah
yang begitu mengasihi dunia. Kekristenan adalah kisah tentang Allah yang mengaruniakan
Anak-Nya yang tunggal. Kekristenan adalah kisah tentang orang percaya dan membuat orang
percaya.

Untuk membuat “setiap orang” – artinya seluruh umat manusia, tidak hanya kini dan di sini,
tetapi juga yang kemudian dan di sana – percaya kepada Anak Tunggal Bapa, perlulah ada
gerakan yang membawa Dia kepada setiap makhluk mengarungi zaman. Seperti Paulus
berujar, “Bagaimana orang dapat percaya kepada Dia yang belum pernah mereka dengar?
Bagaimana orang mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan
bagaimana orang dapat memberitakan-Nya, jika tidak diutus?” (Rom 10,14-15). Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika Perjanjian Baru, khususnya keempat Injil, menempatkan karya
pewartaan Kabar Gembira kepada segala makhluk ini sebagai perutusan pokok dari Gereja
semesta. Hidup Gereja praktis tidak bisa dipisahkan dari karya pewartaan Injil atau Kabar
Gembira. Setelah Gereja sendiri lahir dari pewartaan Injil dari Yesus dan Keduabelas Rasul,
maka pada gilirannya, Gereja sendiri mesti mewartakan Injil “dengan mengutus para pewarta
Injil. Gereja meletakkan dalam bibir-bibir mereka Sabda yang menyelamatkan” (EN 15).

Setelah kisah kebangkitan dan penampakan Yesus kepada para murid, keempat Injil dengan
caranya masing-masing menyampaikan perintah perutusan. Injil Matius mempunyai Amanat
Agung yang menjadi misi Gereja sepanjang masa, “Karena itu, pergilah, jadikanlah semua
bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan
ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Ketahuilah,
Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman" (Mat 28,19-20). Perintah yang mirip bisa
kita temukan dalam Injil Markus. “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala
makhluk” (Mrk 16,15). Injil keempat memang tidak mempunyai perintah penginjilan dalam
bentuk yang eksplisit. Tetapi rumusan yang ada pada akhir Injil Yohanes sebenarnya
mengandaikan (akan) terjadinya karya pewartaan Injil. “Memang masih banyak tanda
mukjizat lain yang diperbuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tertulis dalam
kitab ini, tetapi hal-hal ini telah ditulis, supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak
Allah, dan supaya karena percaya, kamu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh 20,30-31
Terjemahan Pribadi). Dengan dicatat atau ditulis (Yun:graphein), kisah tentang Yesus menjadi
terbekukan, terbukukan dan terbakukan; dan dengan demikian tersedia bagi para pewarta
yang nantinya akan membawa kisah tersebut kepada setiap orang di setiap zaman dan tempat.

Lalu bagaimana dengan Injil ketiga, yaitu Injil Lukas? Injil ini merumuskannya dengan agak
berbeda. “Dalam nama-Nya berita tentang pertobatan untuk pengampunan dosa harus
disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. Kamulah saksi-saksi dari semuanya
ini” (Luk 24,47-48). Buku kedua Lukas, yaitu Kisah Para Rasul, menyatakannya dengan cara
yang agak berbeda, tetapi lebih terperinci. “Tetapi kamu akan menerima kuasa bilamana Roh
Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-saksi-Ku di Yerusalem dan di
seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi" (Kis 1,8). Pewartaan Kabar Sukacita
akan mulai dari Yerusalem, kemudian ke seluruh Yudea dan Samaria; dan dari situ “ke ujung
bumi,” sebuah lokasi yang tidak tahu di mana persisnya.

Dari Yerusalem ke Ujung Bumi

Kisah bagaimana para murid Kristus pertama melaksanakan tugas perutusan ini sebenarnya
diceritakan dalam Kisah Para Rasul. Kisah Para Rasul sebenarnya merupakan sebuah kisah
kesaksian tentang perkembangan Gereja dan perutusannya. Teks yang sudah dikutip di atas,
yaitu Kis 1,8 sebenarnya boleh dipandang sebagai teks programatis, yang merumuskan dengan
singkat program kerja Kisah Para Rasul. Dengan demikian, seluruh Kisah Para Rasul, tidak lain
dan tidak bukan sebenarnya hanyalah penjabaran dari program kerja itu.

Perutusan menjadi saksi Kristus sampai ke ujung bumi mengandaikan 3 (tiga) hal yang
masing-masing berkaitan satu sama lain.

a.     Ada gerakan ke luar Palestina

b.    Ada tokoh yang melaksanakan

c.     Ada pertemuan dengan budaya-budaya non-Yahudi

a.    Gerakan ke luar Palestina

Palestina bukan “ujung bumi”; demikian juga “ujung bumi” bukan Palestina. Artinya, kalau
tugas menjadi saksi Kristus mau dilaksanakan, maka mesti ada sebuah gerakan ke luar dari
Palestina. Harus ada gerakan jemput bola. Para pewarta tidak bisa hanya tinggal di Yerusalem
dan menunggu orang-orang dari “ujung bumi” untuk datang dan mendengarkan kisah tentang
Yesus. Mereka tidak bisa bersikap seperti para rabi Yahudi yang hanya menunggu sampai
mereka didatangi oleh anak-anak muda yang mau belajar tentang Taurat.

Memang ada kesempatan tertentu, seperti misalnya hari Pentakosta, di mana dikatakan
bahwa pada waktu itu “di Yerusalem tinggal orang-orang Yahudi yang saleh dari segala bangsa
di bawah kolong langit” (Kis 2,5). Tetapi hal ini tidak banyak artinya bagi pewartaan Injil,
karena yang datang ke sana adalah orang-orang Yahudi yang memang mempunyai kewajiban
untuk datang berziarah ke Yerusalem tiga kali dalam setahun (bdk. Ul 16,1-17; Kel 23,14-19).
Padahal yang dimaksud dengan pewartaan sampai ke ujung bumi adalah pewartaan yang juga
menjangkau orang non-Yahudi yang berada di dunia sana, di luar Palestina. Oleh karena itu,
memang tidak ada cara lain. Kalau kesaksian akan Yesus mau dialamatkan kepada mereka,
kegiatan misi keluar mesti dijalankan.

Dalam Kisah Para Rasul kita memang menemukan gambaran tentang gerakan misionaris ini.
Kita bisa amati beberapa teks tertentu. Khotbah Petrus pada hari Pentakosta (Kis 2,14-40) dan
di Serambi Salomo (Kis 3,11-26), serta juga di hadapan MahkamahAgama (Kis 4,1-22)
merupakan kesaksian para rasul pertama di Yerusalem. Kemudian pecahlah penganiayaan atas
jemaat. Penganiayaan ini memaksa orang Kristen untuk keluar dari Yerusalem.  “Pada waktu
itu mulailah penganiayaan yang hebat terhadap jemaat di Yerusalem. Mereka semua, kecuali
rasul-rasul, tersebar ke seluruh daerah Yudea dan Samaria” (Kis 8,1b). Tetapi penganiayaan ini
ternyata menjadi blessing in disguise, karena orang Kristen tidak hanya sekedar melarikan diri
dari Yerusalem, tetapi mereka juga memberitakan Injil di tempat mereka berada. “Mereka
yang tersebar itu menjelajahi seluruh negeri itu sambil memberitakan Injil” (Kis 8,4).
Mulai dari sini gerak keluar untuk mewartakan Injil berjalan terus semakin meluas,
meninggalkan pusatnya Yerusalem. Barnabas dan Saulus sampai di Antiokhia (Kis 11,19-30).
Gerakan mereka kemudian merambah ke beberapa provinsi Romawi di Asia Kecil (13,1-14,28;
15,40-16,8). Dari sana para misionaris awal ini menyeberang ke tanah Yunani, ke Makedonia
dan Akhaya (16,9-19.22). Kis mengakhiri narasi misionarisnya dengan menceritakan kisah
Paulus di Roma (Kis 27,1-28,31). Orang banyak menafsirkan bahwa Roma adalah “ujung bumi”.
OK lah...silakan saja. Yang jelas, menurut Rom 15,24.28 Paulus sebenarnya masih ingin
mengunjungi Spanyol.

b.   Sang Eksekutor

Program menjadi saksi Kristus sampai ke ujung bumi seperti digariskan oleh Kis 1,8
membutuhkan pelaksana. Siapa yang akan berangkat ke ujung bumi ini? Siapa orangnya? Ada
beberapa orang yang tampil sebagai pewarta Injil. Filipus, salah seorang dari tujuh diakon
(lihat Kis 6,5), membawa dan mewartakan Injil ke Samaria (Kis 8,4-25). Kemudian kita juga
temukan nama Barnabas (Kis 13,2) ditunjuk Allah untuk menjadi pewarta Kabar Sukacita.
Tetapi di antara semua itu, ada tokoh yang nengejutkan. Siapa yang menduga kalau sang
pelaksana karya misioner ini adalah seorang mantan “penganiaya jemaat” (bdk. Flp 3,6; 1Tim
1,13) yang bernama Paulus atau Saulus.

Sulit dibayangkan bahwa seorang “yang nafasnya penuh ancaman dan pembunuhan atas
murid-murid Tuhan” (bdk. Kis 9,1) ternyata kemudian berbalik 180 derajat menjadi seorang
pewarta iman yang tangguh. Hal ini hanya bisa terjadi jika memang ada suatu kekuatan besar
yang campur tangan dalam kehidupan Paulus. Kisah Para Rasul memang menceritakan
bagaimana Paulus mengalami sebuah pengalaman rohani yang mencekam, yang akhirnya
mengubah seluruh hidupnya. Sampai tiga kali pengalaman Paulus ini diceritakan dalam Kis
(Kis 9,1-19a; 22,6-16;  26,12-23). Tidak lain dan tidak bukan, Allah sendirilah yang campur
tangan di sini. “Orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku di
hadapan bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel” (Kis 9,15).

Dalam perjalanan selanjutnya, kita tetap melihat bagaimana Allah sendiri, melalui Roh Kudus,
mengarahkan semua perjalanan misi yang dilaksanakan oleh Paulus. Dalam Kis 13,2 Roh
Kudus berkata, “Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk tugas yang telah
Kutentukan bagi mereka." Karena disuruh Roh Kudus, mereka berangkat ke Seleukia dan dari
situ mereka berlayar ke Siprus (Kis 13,4). Narasi singkat dalam Kis 16,6-10 menggambarkan
bagaimana Roh secara eksplisit menentukan perjalanan misi mereka.

6 Mereka melintasi tanah Frigia dan tanah Galatia, karena Roh Kudus mencegah mereka untuk
memberitakan Injil di Asia. 7 Setibanya di Misia mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia, tetapi Roh
Yesus tidak mengizinkan mereka. 8 Setelah melintasi Misia, mereka sampai di Troas. 9 Pada malam
harinya tampaklah oleh Paulus suatu penglihatan: Ada seorang Makedonia berdiri di situ dan
memohon kepadanya, "Menyeberanglah kemari dan tolonglah kami!" 10 Setelah Paulus melihat
penglihatan itu, segeralah kami mencari kesempatan untuk berangkat ke Makedonia, karena dari
penglihatan itu kami menarik kesimpulan bahwa Allah telah memanggil kami untuk memberitakan
Injil kepada orang-orang di sana.

Kisah Para Rasul sendiri merekam kisah-kisah perjalanan misi Paulus untuk memberitakan
Injil.

  Perjalanan I                            : Kis 13,4-14,28            mungkin tahun 45-58

  Perjalanan II                          : Kis 15,36-18,23          mungkin tahun 48-50

  Perjalanan III                                     : Kis18,23-21,17            mungkin sekitar 52-58

  Perjalanan IV             (ke Roma)      : Kis 21,15-28,31           mungkin sekitar 60 M

Kisah perjalanan ini tidak terungkap dalam surat-surat Paulus. Tetapi sebenarnya hal ini tidak
amat mengherankan. Paulus banyak mendirikan jemaat di banyak tempat. Tetapi Paulus tidak
bisa terus bersama mereka. Oleh karena itu, tidak lama setelah jemaat setempat berdiri dan
pemimpin lokal ditunjuk, Paulus beranjak ke tempat lain untuk melanjutkan tugasnya
mewartakan Injil kepada segala bangsa. Kadang kala jemaat baru yang ia tinggalkan harus
berhadapan dengan beberapa hal yang ketika Paulus ada bersama mereka belum muncul
sebagai masalah. Karena tidak atau kurang tahu bagaimana memecahkan persoalan tersebut,
para pemimpin jemaat mungkin bertanya kepada Paulus yang sudah dalam perjalanan. Paulus
lalu menanggapinya dengan surat. Dengan demikian, isi surat Paulus memang sebenarnya
sangat terbatas, yaitu menanggapi persoalan yang dihadapi oleh jemaat dari sudut pandang
iman Kristiani. Satu kekecualian adalah Surat Roma, karena jemaat Roma tidak didirikan oleh
Paulus.

Dalam diri Paulus, tugas pewartaan ke ujung bumi mendapatkan pelaksananya. Tentu saja,
Paulus bukan satu-satunya misionaris abad pertama yang berkeliling mewartakan Injil. Tetapi
sebagaimana kita tahu, di balik semua itu, kita bertemu dengan Roh Kudus yang ternyata juga
memainkan peranan amat penting. Dialah kuasa dari tempat tinggi yang dianugerahkan
kepada para rasul agar mereka dapat menjalankan tugas pewartaannya (bdk. Luk 24,49; Kis
1,8).Kisah Para Rasul di satu pihak memang bercerita tentang Roh Kudus yang mendampingi
jemaat perdana; tetapi di lain pihak, juga merupakan kisah tentang perjalanan para rasul,
khususnya Paulus dalam mewujudkan karya pewartaan Injil ke dunia yang lebih luas.
c.    Pertemuan dengan Budaya Non-Yahudi

Paulus sendiri meyakini bahwa Allah menghendakinya untuk pergi mewartakan Injil kepada
bangsa-bangsa non-Yahudi.“...Allah, telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan
memanggil aku oleh anugerah-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya
aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi...” (Gal 1,15-16) atau kepada
“orang-orang yang tidak bersunat” (Gal 2,9). Situasi ini membawa tiga konsekwensi penting:
(1) Paulus harus pergi ke luar Palestina, (2) itu berarti bahwa dia harus bertemu dengan
budaya-budaya serta tradisi religius non-Yahudi, (3) maka metode pewartaannya pun mesti
berbeda.

Konsekwensi pertama sudah diuraikan di atas, maka tidak akan diulang di sini. Konsekwensi
kedua merupakan soal besar, dan sampai sekarang masih merupakan salah satu pokok diskusi
teologis dalam pemikiran tentang karya misioner. Berkaitan dengan hal ini, kekristenan awal
menghadapi persoalan yang khas. Pertama-tama mesti disadari bahwa jemaat Kristen awal
adalah orang-orang Yahudi yang tentu saja hidup menurut hukum dan budaya mereka. Di sini
segera muncul persoalan: apakah menurut tradisi hukum Yahudi, pertemuan antara para
pewarta yang adalah orang Yahudi dengan orang-orang non-Yahudi bisa dibenarkan atau
dimungkinkan? Apakah pertemuan seperti ini tidak membuat orang Yahudi menjadi najis?

Dua teks dari Kisah Para Rasul baik dikutip di sini. Dalam Kis 10 kita menemukan sebuah
kisah panjang yang dalam Alkitab kita diberi judul Petrus dan Kornelius. Kisah ini bisa dibagi
menjadi 4 bagian:

      Ay. 1-8 : Penglihatan Kornelius di Kaisarea.[1] Dalam penglihatan malaekat menyuruh


Kornelius untuk memanggil Petrus yang sedang berada di Yope.

      Ay. 9-18 : Penglihatan Petrus. Petrus melihat benda seperti kain lebar diturunkan ke tanah. Di
dalamnya terdapat pelbagai jenis binatang. Kita tidak tahu binatang apa saja yang ada di sana,
tetapi dari jawaban Petrus kita bisa menduga bahwa yang ada di sana adalah binatang najis.
Ketika Petrus diperintahkan untuk menyembelih dan memakannya, Petrus menolak karena
binatang itu haram. Tetapi suara dari sorga mengatakan, “Apa yang dinyatakan halal oleh
Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram” (ay. 15). Dikatakan bahwa hal itu terjadi sampai
tiga kali.

      Ay. 19-23 : Petrus dan utusan Kornelius. Saat Petrus sedang merenungkan pengalamannya,
utusan Kornelius datang dan mengutarakan maksudnya untuk membawa Petrus ke Kaisarea.

      Ay. 24-43 : Pertemuan Petrus dan Kornelius. Petrus sadar bahwa sebenarnya ia sebagai orang
Yahudi tidak boleh bergaul dengan orang non-Yahudi, tetapi karena Allah yang
memerintahkannya maka ia lakukan (ay. 28). Petrus akhirnya menyadari bahwa keselamatan
Allah melalui Yesus Kristus juga diperuntukkan bangsa-bangsa lain. “Bolehkah orang
mencegah untuk membaptis orang-orang ini dengan air, sedangkan mereka telah menerima
Roh Kudus sama seperti kita?” (ay. 47).

Pembaptisan Kornelius oleh Petrus merupakan peristiwa penting bagi perkembangan jemaat.
Petrus adalah wakil jemaat Yerusalem yang merupakan Gereja Induk. Sementara Kornelius
adalah seorang Roma, seorang non-Yahudi. Dalam Kis 11,1-18 diceritakan bahwa Petrus
mempertanggungjawabkan baptisan Kornelius di hadapan orang-orang bersunat di
Yerusalem. “Jadi, jika Allah memberikan karunia yang sama kepada mereka seperti kepada
kita pada waktu kita percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, bagaimana mungkin aku mencegah
Dia?” (ay. 17). Dengan demikian, pembaptisan Kornelius merupakan legitimasi dari Gereja
Induk untuk mewartakan kabar sukacita kepada bangsa-bangsa lain. Allah memang
menghendaki demikian. Dengan demikian, jalan menuju perutusan kepada bangsa-bangsa
mendapatkan lampu hijau dari Gereja Yerusalem.

Tidak hanya itu. Pengalaman Petrus yang mendapatkan penglihatan (ay. 9-18) memberi solusi
pada satu persoalan yang meski sederhana, tetapi bisa amat merepotkan. Ketika para pewarta
Kristen berangkat keluar meninggalkan dunia Yahudi dan masuk dunia asing, mau tidak mau
mereka juga harus hidup menurut gaya dunia asing itu. Bisa dibayangkan bahwa soal
makanan yang kosher menjadi persoalan tersendiri bagi mereka. Dalam situasi seperti itu,
suara dari surga pada ay. 15 memberikan pemecahan bagi persoalan makanan ini. Dengan
demikian, tidak ada lagi masalah bagi orang Kristen Yahudi untuk bertemu dan bergaul, atau
makan bersama dengan orang-0rang non-Yahudi.

Dengan demikian satu dimensi dari ketegangan antara budaya Yahudi dengan budaya asing
terselesaikan. Dari pihak hukum dan tradisi Yahudi kini tidak ada lagi keberatan untuk
menerima orang asing. Satu teks lagi yang juga mesti dipertimbangkan adalah Kis 15,1-21 yang
diberi judul Sidang di Yerusalem. Pertemuan ini seringkali disebut juga konsili pertama dalam
Gereja. Dalam pertemuan ini, sekali lagi konflik budaya menjadi pokok perdebatan.

Sampai saat itu kekristenan masih melekat kuat pada agama Yahudi dengan segala macam
tradisinya, termasuk Hukum Taurat. Di beberapa tempat – terutama di bagian awal Kis – kita
melihat bagaimana para rasul berkhotbah di Bait Suci. Tampaknya mereka masih berdoa di
Bait Suci walau kemudian mereka melanjutkan persekutuan mereka (memecahkan roti) di
rumah masing-masing. Oleh karena itu, ketika sekarang orang non-Yahudi akan menjadi
kristen, pertanyaan yang mendasar adalah: apakah mereka juga masih harus menjalankan
kewajiban-kewajiban Hukum Taurat? Secara konkret pertanyaannya adalah: apakah orang-
orang non-Yahudi yang menjadi Kristen harus juga menjalani sunat dan mengikuti Hukum
Musa? Inilah yang didiskusikan dalam Konsili Yerusalem ini.

Kita bisa mendengar gema pertentangan itu dalam Kis 15. Kita mendengar ada kelompok yang
mengatakan

"Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat
diselamatkan" (Kis 15,1)

"Orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa" (Kis 15,5)

Nanti Paulus masih harus berhadapan dengan masalah semacam ini seperti terungkap dalam
suratnya kepada jemaat Galatia.

Persoalan ini sebenarnya bukan sekedar persoalan budaya saja, tetapi juga mempunyai
implikasi amat penting bagi iman keyakinan Kristen. Yang menjadi pokok masalah adalah apa
atau siapakah yang sebenarnya memberi keselamatan? Kristus atau Hukum Taurat? Jika untuk
menjadi Kristen orang harus disunat, maka itu berarti bahwa Kristus belum cukup untuk
keselamatan manusia. Tetapi sebaliknya, jika keselamatan datang dari Kristus, maka Hukum
Taurat dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan apa-apa lagi. Pertentangan antara
Kristus dan Hukum Taurat seperti bisa kita lihat, juga mewarnai surat Galatia dan surat Roma.

Dalam Konsili Yerusalem, Petrus dengan jelas mengatakan,

7 "Hai Saudara-saudara, kamu tahu bahwa sejak semula Allah memilih aku dari antara kamu, supaya
dengan perantaraanku bangsa-bangsa lain mendengar berita Injil dan menjadi percaya. 8 Allah, yang
mengenal hati manusia, memberi kesaksian untuk mereka dengan mengaruniakan Roh Kudus kepada
mereka sama seperti kepada kita, 9 dan Ia sama sekali tidak membeda-bedakan antara kita dengan
mereka, sesudah Ia menyucikan hati mereka oleh iman. 10 Kalau demikian, mengapa kamu mau
mencobai Allah dengan meletakkan pada tengkuk murid-murid itu suatu gandar yang tidak
dapat dipikul, baik oleh nenek moyang kita maupun oleh kita sendiri? 11 Sebaliknya, kita percaya
bahwa melalui anugerah Tuhan Yesus Kristus kita akan diselamatkan sama seperti mereka juga."

Yakobus yang waktu itu menjadi pemimpin Gereja Yerusalem akhirnya memutuskan bahwa

“Sebab itu aku berpendapat bahwa kita tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi mereka dari bangsa-
bangsa lain yang berbalik kepada Allah, 20 tetapi kita harus menulis surat kepada mereka, supaya
mereka menjauhkan diri dari hal-hal yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari
daging binatang yang mati dicekik dan dari darah” (Kis 15,19-20)

            

Dengan Konsili Yerusalem ini, persoalan mengenai sunat bagi orang non-Yahudi praktis
selesai. Secara teologis dan teoretis, pewartaan kepada bangsa-bangsa lain dengan segala
konsekwensinya mendapat peneguhan dalam Konsili Yerusalem. Kini segalanya sudah siap.
Orang yang mendapatkan tugas sudah ada, restu dan lampu hijau dari Gereja Induk sudah
diberikan. Yang tersisa sekarang adalah pelaksanaannya.

Di sinilah konsekwensi yang ketiga perlu diperhatikan. Masuk ke dalam dunia yang sama
sekali berbeda, menuntut cara bergaul yang perbedaan juga. Lain ladang lain belalang, lain
lubuk lain ikannya, begitu kata orang. Ketika para pewarta masih berkeliling di sekitar tanah
Palestina, “di seluruh Yudea dan Samaria”, mereka tidak menemui banyak kesulitan berarti
karena mereka berhadapan dengan orang-orang yang mempunyai latar belakang kebudayaan
dan tradisi religius yang sama. Mari kita lihat. Pokok utama pewartaan Kristen kepada orang-
orang Yahudi adalah bahwa Yesus Kristus merupakan pemenuhan janji dan harapan Israel.
Hal ini bisa ditangkap dan dipahami, meskipun tidak selalu diterima, oleh orang-orang yang
ada di Yudea dan Samaria. Tetapi tidak demikian halnya ketika mereka berhadapan dengan
orang-orang non-Yahudi di tanah asing. Kitab Suci Ibrani tidak mereka kenal; Hukum Taurat
tidak mereka kenal. Pengharapan Israel akan mesias sang pembebas juga tidak mereka kenal.
Oleh karena itu, gagasan Yesus sebagai pemenuhan pengharapan Israel sama sekali tidak laku
‘dijual’ kepada bangsa-bangsa non-Yahudi karena mereka memang sama sekali tidak paham
tentang hal itu. Oleh karena itu supaya pewartaan Kabar Gembira bisa tetap berjalan, mesti
dicari jalan lain.

Kisah Para Rasul sebenarnya mempunyai sebuah kisah yang persis menggambarkan
pertemuan antara kekristenan yang baru muncul dan bergerak dengan alam pikir Yunani.
Dalam kisah itu, kita bisa merasakan strategi genius yang dijalankan Paulus ketika ia bermisi
di luar Palestina. Dalam Kis 17,16-34 kita melihat bagaimana Paulus berdebat dengan para
tokoh Yunani di Areopagus. Dalam konteks ini, Atena bisa dipandang pusat dari pewartaan ke
‘ujung bumi’, pusat dunia kafir! Ini adalah dunia non-Yahudi! Pertemuan bersejarah antara
Paulus dengan para filosof Atena ini bisa dipandang sebagai pertemuan simbolik antara
budaya Barat dengan budaya Timur.

Sebenarnya menarik kalau kita bisa menikmati pengalaman Paulus di Areopagus ini. Akan
tetapi karena perikopa ini akan digunakan sebagai bahan permenungan Minggu III BKSN
tahun 2018 ini, maka pembahasan atas perikop yang sangat inspiratif ini akan diletakkan agak
ke belakang.

Di Ujung Bumi: Gereja di Indonesia, Gereja di Asia

Tugas perutusan yang diserahkan oleh Yesus Kristus kepada murid-murid-Nya belum
berakhir. Dalam setiap dokumen Gereja yang dikeluarkan, ajakan untuk tetap mewartakan
Injil pasti terus dikumandangkan. Para murid Kristus di mana pun mereka berada terus
didorong untuk mewartakan Kabar Sukacita dalam konteks hidup mereka. Demikian juga
kita. Umat Kristiani di Indonesia juga tidak ketinggalan diajak untuk tetap bersemangat dalam
mewartakan Injil.

Kita berada di Asia, dan Gereja Asia mempunyai ciri khas tertentu. Dengan penduduk yang
mencapai dua per tiga dari enam miliar penduduk dunia, Asia merupakan benua yang paling
banyak dihuni. Asia juga merupakan benua yang luar biasa luas, merentang dari Terusan Suez
yang memisahkan benua Asia dan Afrika sampai dengan Selat Bering, Laut Jepang, dan Laut
Cina Timur; dari Siberia sampai dengan Samudera Hindia. Secara tradisional, Asia dibagi
menjadi 5 daerah[2]: Asia Tengah (misalnya, Tajikistan, Turkmekistan, Uzbekistan), Asia
Timur (seperti Cina, Jepang, Korea, Taiwan), Asia Selatan (India, Bangladesh, Pakistan, Nepal,
Srilangka), Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Thailand, Kambodia, Filipina, Laos, Vietnam),
dan Asia Barat yang mencakup negara-negara Timur Tengah.

Dari paparan ini, bisa dibayangkan bahwa Asia memang diwarnai oleh pluralisme. Ada
pluralisme dalam bidang linguistik, ethnik, politik, kultural, dan tentu saja religius.

Tuhan kita Yesus Kristus lahir dan dibesarkan di benua Asia, di daerah kecil di sebelah barat
Asia. Dan sebenarnya, selain kekristenan, agama-agama besar di dunia seperti misalnya,
Yudaisme, Islam, dan Hindu, serta juga tradisi kerohanian lain, seperti, Buddha, Tao,
Konghucu, Shinto, dan yang lain lagi, juga lahir di Asia (bdk. Ecclesia in Asia[3] 6). Ironi
terbesar bagi kekristenan adalah bahwa meskipun kekristenan lahir di Asia, ia kembali ke
benua asalnya sebagai agama asing, atau bahkan lebih buruk, agama dari mereka yang
menjajah Asia, yang merupakan benua tempat kelahiran kekristenan itu sendiri. Tidak
mengherankan kalau sampai sekarang ini, masih banyak orang Asia yang menganggap
kekristenan sebagai agama penjajah.

Dalam suasana yang sedemikian itu, bisa dibayangkan bahwa perutusan mewartakan Kabar
Sukacita mesti memperhitungkan banyak hal agar bisa dilaksanakan dan menghasilkan buah.
Justru karena menyadari bahwa bagaimana pun tugas pewartaan ini merupakan suatu tugas,
yang sekarang ini mendesak untuk dijalankan, suatu keharusan dan hal yang agung, maka
para bapa uskup Asia secara khusus berkumpul untuk membicarakan hal ini. Dalam Sidang
Paripurna FABC I di Taipei, Taiwan tanggal 27 April 1974 ditelurkan sebuah pernyataan sidang
berjudul “Pewartaan Injil di Asia Zaman Sekarang.” Tanpa harus menguraikan panjang lebar
pernyataan sidang FABC tersebut, dapatlah kita katakan bahwa mempertimbangkan situasi
Asia yang plural itu, karya pewartaan injil harus diadakan dengan cara berdialog dengan
situasi setempat. Secara khusus ditegaskan bahwa pewartaan Injil di Asia mesti menempuh
dialog rangkap tiga atau triple dialogue, yaitu dialog dengan bangsa-bangsa Asia, khususnya
mereka yang miskin dan tersingkir; dialog dengan budaya-budaya Asia (kontekstualisasi dan
interkulturasi), dan dialog dengan agama-agama lain (dialog antar-agama atau antar-iman).

Gereja Indonesia adalah bagian dari Gereja di Asia. Uniknya, kalau kita memperhatikan
Indonesia sebenarnya boleh dipandang sebagai miniatur benua Asia. Sebagaimana benua Asia,
Indonesia juga diwarnai oleh kemajemukan. Kemajemukan dari segi budaya dan dari segi
agama – walaupun secara resmi Pemerintah Indonesia hanya menerima enam agama menjadi
ciri kehidupan Gereja di Indonesia. Tentang kemajemukan ini, Pater John Prior dari STFK
Ledalero melukiskan, “Politely ask to photograph half a dozen Indonesians hailing from
different islands, and you will not immediately recognize them as coming from a single
nation”[4]. Selain itu, mesti diakui juga bahwa kemiskinan atau jurang antara yang miskin dan
yang kaya rasanya juga menjadi masalah di Indonesia. Kalau demikian, maka tidak keliru jika
dikatakan bahwa pewartaan Injil di Indonesia kiranya juga mesti memperhatikantriple
dialogue ini.

Mewartakan Kabar Gembira dalam Kemajemukan: BKSN 2018

Bulan Kitab Suci Nasional tahun 2018 ini mengambil tema “Mewartakan Kabar Gembira dalam
Kemajemukan.” Seperti sudah dikatakan sebelumnya, selama empat tahun (2017-2020) BKSN
akan merenungkan “Mewartakan Injil di tengah Arus Zaman” sebagai tema besar.
“Mewartakan Injil” menjadi fokus utama, sementara untuk tahun 2018 ini, kekhasannya
terletak pada kata “kemajemukan.” Dengan demikian, tema BKSN 2018 ini sungguh sesuai
dengan situasi Gereja Indonesia yang di satu pihak, tetap dipanggil dan didorong untuk
mewartakan Kabar Sukacita; tetapi di lain pihak, hidup dalam kemajemukan, sebuah situasi
yang menuntut perhatian khusus.

Karena situasi yang mirip ini, maka arahan FABC berkaitan dengantriple dialogue yang mesti
mengiringi perutusan pewartaan Kabar Sukacita, kiranya juga relevan untuk Gereja Indonesia.
Oleh karena itu, dalam BKSN tahun ini kita akan merenungkan panggilan mewartakan Injil
dengan memperhatikan triple dialogue ini. Berturut-turut kita akan merenungkan:

a.     Dialog dalam kemajemukan kaya – miskin

b.    Dialog dalam kemajemukan budaya

c.     Dialog dalam kemajemukan agama

Kemudian untuk yang keempat? Marilah kita menyadari bahwa kekristenan sendiri
merupakan sesuatu yang majemuk. Jika Anda sempat sampai ke Gereja Makam Suci di
Yerusalem, di sanalah Anda akan melihat sesuatu yang sangat ironis. Justru di tempat di mana
Yesus pernah dimakamkan, di sana terlihat perpecahan para pengikut-Nya. Oleh karena itu,
pada minggu IV BKSN, kita merenungkan bersama kemajemukan yang de facto terdapat
dalam Tubuh Kristus atau Gereja sendiri.

Untuk pendalaman Kitab Suci di masing-masing minggu, beberapa teks bisa ditawarkan.

Minggu I        : dialog dengan kemiskinan                        - Mat 14,13-21

Minggu II       : dialog dengan budaya                    - Mat 1,18-25

Minggu III     : dialog dengan agama lain             - Mrk 9,38-41

Minggu IV     : dialog dengan Gereja lain             - Yoh 17,20-23

Pada bagian berikut ini, teks-teks ini akan diperdalam untuk memperjelas bagaimana masing-
masing teks bisa berperan dalam mengolah tema-tema mingguan.

Harus diakui bahwa teks-teks yang dipilih ini tidak langsung jelas berkaitan dengan tema yang
sedang direnungkan. Mengapa demikian? Karena tema-tema yang dibicarakan dalam masing-
masing pertemuan sebenarnya merupakan refleksi kemudian yang dihasilkan dalam
perjalanan Gereja atau boleh dikatakan bahwa tema-tema itu adalah tema-tema modern,
kecuali misalnya tema kemiskinan. Dialog dengan kebudayaan atau dengan agama lain,
bukanlah keprihatinan utama Gereja Awal. Tidak mengherankan kalau untuk tema-tema
tersebut sulit atau tidak bisa ditemukan teks-teks alkitabiah yang langsung berkaitan dengan
tema.

***

Minggu I 
Dialog dengan Yang Miskin & Tersingkir         
Mat 14,13-21

13 Setelah Yesus mendengar berita itu menyingkirlah Ia dari situ, dan hendak menyendiri dengan
perahu ke tempat yang terpencil. Tetapi orang banyak mendengarnya dan mengikuti Dia dengan
mengambil jalan darat dari kota-kota mereka.14 Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang
besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan
mereka yang sakit.

15 Menjelang malam, murid-murid-Nya datang kepada-Nya dan berkata, "Tempat ini terpencil dan hari
mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa."16
Tetapi Yesus berkata kepada mereka, "Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka
makan."17 Jawab mereka, "Yang ada pada kami di sini hanya lima roti dan dua ikan."18 Yesus berkata,
"Bawalah kemari kepada-Ku."

19 Lalu Ia menyuruh orang banyak itu duduk di rumput. Setelah diambil-Nya lima roti dan dua ikan itu,
Yesus menengadah ke langit dan mengucap syukur. Ia memecah-mecahkan roti itu dan
memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya memberikannya kepada orang
banyak.20 Mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian orang mengumpulkan potongan-
potongan roti yang lebih, sebanyak dua belas bakul penuh.

21 Yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak.22 Sesudah
itu Yesus segera mendesak murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang,
sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang.

Pendalaman Teks

Kisah mukjizat pergandaan roti adalah satu-satunya kisah mukjizat yang terdapat dalam
keempat Injil (Mrk 6,32-44; Luk 9,10-17; Yoh 6,1-15). Injil Yohanes yang biasanya mempunyai
bahan-bahan yang berbeda dari injil sinoptik ternyata juga mempunyai kisah pergandaan roti
ini. Secara sederhana perikop ini bisa disusun sebagai berikut:

-       ay. 13-14           : pendahuluan - penyembuhan


-       ay. 15-18           : diskusi antara Yesus dan para murid

-       ay. 19-21           : mukjizat pergandaan roti dan hasilnya

Ay. 13-14: Pendahuluan – Penyembuhan

Dua ayat ini merupakan ayat peralihan dan sekaligus mempersiapkan pembaca untuk episode
berikutnya. Akhir perikop sebelumnya mencatat bahwa murid-murid Yohanes Pembaptis
memberitahukan kematian gurunya kepada Yesus (ay. 12). Perikop selanjutnya yang akan kita
bahas, menggambarkan reaksi Yesus setelah mendengar berita ini. Dengan peralihan ini mau
dikatakan bahwa dua perikop (Mat 14,1-12 dengan 14,13-21) ini berhubungan erat. Meskipun
topiknya kurang lebih mirip, tetapi ada kontras tajam antara keduanya. Perikop Mat 14,1-12
berbicara tentang pesta ulang tahun dan perjamuan yang diadakan Herodes (bdk. Mrk
6,21perjamuan) yang berakhir dengan kematian Yohanes Pembaptis; sementara Mat 14,13-21
juga berbicara tentang makan bersama yang diselenggarakan oleh Yesus, tetapi berakhir
dengan kepuasan. “Mereka semuanya makan sampai kenyang” (Mat 14,20).

Setelah mendengar berita itu, Yesus menyingkir untuk menyendiri. Dalam Mat 4,12 juga
dikatakan bahwa ketika Yesus mendengar bahwa Yohanes ditangkap oleh Herodes Antipas, Ia
menyingkir ke Galilea. Kata “menyingkir” ini memang beberapa kali digunakan Yesus (lihat
juga Mat 2,12; 12,15; 15,21). Tampaknya Yesus memang mau menyingkir dari Herodes karena
belum waktunya. Ia masih harus mengerjakan karya perutusan-Nya dan tidak mau bertemu
dengan Herodes di saat yang terlalu awal. Kalau Yesus menyingkir dengan naik perahu ke
tempat terpencil, tampaknya Ia mau meninggalkan daerah Herodes Antipas dan memasuki
daerah Filipus di sisi timur utara Danau Galilea.

Tetapi ternyata orang banyak tidak membiarkan Yesus sendirian. Mereka lalu menyusul
melalui jalan darat. Dan ketika akhirnya Yesus bertemu dengan orang banyak itu tergeraklah
hati-Nya oleh belas kasihan dan menyembuhkan mereka yang sakit (ay. 14). Orang banyak
yang sama inilah yang nantinya akan makan dan dikenyangkan dalam bagian berikutnya.
Dengan demikian, mereka tidak hanya mengalami penyembuhan, tetapi juga dikenyangkan!
Yesus tidak saja tampil sebagai penyembuh penyakit, tetapi juga berkuasa dalam urusan
kelaparan.
Ay. 15-18         Diskusi dengan para murid

Empat ayat ini memuat dialog antara Yesus dengan para murid-Nya. Senja sudah datang, lalu
mau apa dengan orang banyak yang mengikuti Yesus ini? Para murid memberi usulan kepada
Yesus dengan menunjukkan fakta bahwa tempat itu sepi terpencil dan hari sudah mulai
malam. Waktu yang sudah semakin sore membuat situasi menjadi semakin rumit. Kalau hari
sudah benar-benar gelap, sulit bagi orang untuk membeli makanan di desa yang kiranya
cukup jauh jaraknya dari tempat mereka berada. Lagi pula, toko atau warung mungkin sudah
tutup. Selagi masih ada sedikit waktu, para murid lalu memerintah Yesus, “Suruhlah orang
banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa."Apa motif para murid
mengatakan seperti ini? Tentu kita tidak bisa sampai pada pemahaman yang akurat. Tetapi
beberapa kemungkinan bisa dikemukakan: Di satu sisi, para murid mungkin gelisah dengan
situasi ini. Yesus dianggap terlalu sibuk menyembuhkan mereka yang sakit, tetapi melupakan
bahwa orang banyak itu kelaparan. Tetapi, di lain sisi, para murid bisa saja merasa diri lebih
peka terhadap kebutuhan sesama dibandingkan dengan Yesus yang dianggap terlalu sibuk
dengan hal-hal bersifat supernatural, dan mengabaikan kebutuhan (sehari-hari) konkret yang
bersifat natural. Atau, para murid gelisah karena keberadaan sesama yang membutuhkan di
sekitar mereka. Penderitaan atau kesengsaraan memang bukan sesuatu yang indah dan
menarik untuk dinikmati. Perintah mereka kepada Yesus untuk menyuruh orang banyak pergi
mungkin didorong oleh kegelisahan ini.

Tanggapan Yesus juga cukup lugas. “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka
makan."Jawaban ini menjadi penting karena mempunyai jangkauan yang luas. Murid-murid
Yesus ternyata juga harus bertanggungjawab untuk mengatasi masalah seperti ini. Mereka
tidak bisa cuci tangan begitu saja dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain. Kalau
benar bahwa para murid sebenarnya ingin melarikan diri dari situasi ini, maka pernyataan
Yesus langsung menohok para murid! Bukannya menyingkir dari (atau menyingkirkan)
mereka, sekarang para murid justru mesti mengurusi orang banyak itu.

Para murid kemudian menyatakan kemustahilan memenuhi perintah Yesus dengan


menunjukkan (hanya) lima roti dua ikan yang mereka miliki. Para murid tampaknya tidak
menyadari siapa sebenarnya yang sedang berada di hadapan mereka yang baru saja
menunjukkan kemampuan-Nya dalam menyembuhkan orang-orang sakit. Para murid
tampaknya hanya mampu melihat roti dan ikan saja, tetapi gagal melihat kehadiran unsur
ketiga yang juga hadir di sana, yaitu Yesus sendiri.

Sekarang Yesus langsung menanggapi, “Bawalah kemari kepada-Ku!” Dengan kata-kata ini
mau ditunjukkan  bagaimana Yesus bisa berperan dalam situasi seperti ini. Akan segera kita
lihat, apa perbedaan lima roti dua ikan di tangan para murid dan di tangan Yesus! Dengan
ketaatan penuh, para murid menyerahkan roti dan ikan, yang sebenarnya tidak berarti apa-
apa, kepada Yesus; Yesus yang kemudian akan bertindak. Lalu apa yang akan diperbuat Yesus?

Ay. 19-21         Mukjizat Pergandaan Roti dan Hasilnya

Di sinilah terjadi mukjizat pergandaan roti. Apa yang dibuat Yesus digambarkan secara detil
dengan serangkaian kata kerja. “Setelah diambil-Nya lima roti dan dua ikan itu, Yesus
menengadah ke langit dan mengucap syukur. Ia memecah-mecahkan roti itu dan
memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya memberikannya kepada
orang banyak” (ay. 19). Meskipun penginjil memberikan gambaran cukup detil tentang
mukjizat pergandaan roti ini, tetapi tetap saja tidak mudah membayangkan bagaimana
mukjizat ini terjadi. Apakah ini seperti seorang pemain sulap yang tidak habis-habisnya
mengeluarkan burung merpati dari saku jas atau topinya? Di dalam Perjanjian Lama, ada
kisah mukjizat yang amat mirip dalam 2Raj 4,42-44. Dua puluh roti jelai untuk seratus orang!
Juga di sini, tidak diceritakan bagaimana terjadinya mukjizat. Yang jelas, pada akhir kisah
hanya dikatakan bahwa “makanlah mereka dan ada sisanya” (2Raj 4,44).

Demikianlah terjadi mukjizat pergandaan roti. Yesus tidak hanya Tuhan atas penyakit-
penyakit; tetapi juga berkuasa atas hal-hal jasmaniah. Ia tidak hanya berkuasa atas kuasa-
kuasa jahat – yang terwujud dalam penyakit-penyakit – tetapi juga mampu memenuhi
kebutuhan manusia yang paling dasariah, yaitu makanan. Lebih lagi, Ia tidak begitu saja main
sulap sim salabim menghadirkan roti dari ketiadaan, tetapi menggunakan sarana yang ada
meskipun tidak memadai. Pergandaan roti adalah sesuatu yang supernatural, tetapi roti itu
sendiri hal yang natural saja!
Yang menarik adalah bahwa roti (tetapi ikan tidak disebut. Ke mana dua ekor ikan kita?)
akhirnya sampai kepada orang banyak melalui para murid Yesus. Yesus memberikan roti
kepada para murid “lalu murid-murid-Nya memberikannya kepada orang banyak” (ay. 19).
Para murid dilibatkan dalam karya penyelamatan Tuhan. Dalam hal ini, Yesus tidak sekedar
memberi nasehat atau main perintah, tetapi Ia berbuat sesuatu. Dengan begitu ada
keteladanan di sini. Para murid tidak hanya ikut membagikan roti, tetapi juga ‘menyumbang’
meskipun kecil dan tak berarti. Firman Tuhan, “Bawalah kemari kepada-Ku!” mengandaikan
ada sesuatu yang dibawa, seberapapun adanya.

Yang mungkin lebih menarik untuk diperhatikan adalah ini. Coba simak dengan seksama
rumusan yang terdapat dalam ay. 19 dan bandingkan dengan lukisan yang terdapat dalam
kisah Perjamuan Malam Mat, 26,26. Kita memperoleh hasil seperti ini:

“Setelah diambil-Nya lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke langit dan mengucap syukur.
Ia memecah-mecahkan roti itu dan memberikannyakepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya
memberikannya kepada orang banyak” (Mat 14,19)

Ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap syukur,memecah-


mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya” (Mat 26,26)

Kita lihat bahwa kedua teks itu menggambarkan Yesus melakukan serangkaian tindakan yang
sama dengan kata kerja yang juga sama. Memperhatikan kemiripan seperti ini, sulit untuk
mengatakan bahwa antara kedua teks ini tidak ada hubungan sama sekali. Bahwa ini terjadi
secara kebetulan rasanya sulit untuk diterima. Oleh karena itu, tampaknya kita juga bisa
mengatakan bahwa ada hubungan antara kisah pergandaan roti dengan kisah perjamuan
terakhir. Perjamuan Tuhan tampaknya mesti berakhir dengan pergandaan roti!

Setelah pembagian, lalu dikatakan bahwa “mereka semua makan sampai kenyang” (ay. 20).
Tidak hanya itu, roti ternyata masih tersisa dua belas bakul penuh! Baru di sinilah, ketika
semua orang makan dan kenyang, serta masih tersisa, kita mengetahui bahwa telah terjadi
sebuah mukjizat. Meskipun sekali lagi, kita tidak tahu kapan mukjizat itu terjadi. Apakah pada
waktu Yesus mengambil roti? Mengucap syukur? Memecah-mecahkan roti? Atau membagikan
roti?

Keterangan tentang jumlah mereka yang makan menggambarkan bagaimana mukjizat ini
memberikan hasil yang berlimpah ruah. Yang makan ada sekitar lima ribu laki-laki, “tidak
termasuk perempuan dan anak-anak”. Dalam konteks masyarakat patriarkal zaman dahulu,
perempuan dan anak-anak memang tidak diperhitungkan. Secara kultural, mereka tidak
diperhitungkan, tetapi nyatanya, Yesus juga tetap memberi mereka makan. Dengan demikian,
tindakan Yesus mengatasi sekat-sekat budaya. Itu berarti bahwa keselamatan yang Ia
tawarkan juga menyentuh mereka-mereka yang karena alasan lain tersingkirkan!

***

“Orang-orang miskin selalu ada padamu.” Ini adalah kata-kata Yesus yang direkam baik oleh
Injil Sinoptik maupun Injil Yohanes (Mrk 14,7; Mat 26,11; Yoh 12,8). Ungkapan yang mirip juga
terdapat dalam Perjanjian Lama, Ul 15,11 “Sebab orang-orang miskin tidak hentinya akan ada
di dalam negeri itu.” Ungkapan ini kiranya tepat untuk Gereja Asia yang berada di tengah-
tengah bangsa-bangsa Asia, yang sebagian terbesarnya ialah massa kaum miskin (FABC I no.
19). Dengan orang-orang seperti inilah Gereja mesti hidup dan berdialog.

Dengan ungkapan “orang-orang miskin selalu ada padamu” Yesus kiranya menerima adanya
kelas miskin di dalam masyarakat. Ia tidak bermaksud memperjuangkan sebuah masyarakat
tanpa kelas, sama rata sama rasa. Meskipun demikian, Ia juga tidak menginginkan bahwa
mereka yang miskin semakin lama akan semakin miskin, sampai segala miliknya, termasuk
hidupnya, habis sehabisnya. Institusi Tahun Sabat dan Tahun Yobel yang dipaparkan dalam
Im 25 merupakan strategi yang ditawarkan agar kelompok miskin dalam masyarakat Israel
tidak hancur sama sekali, tetapi selalu mempunyai pengharapan untuk bangkit kembali demi
hidup yang lebih baik. Tuhan Yesus dalam program kerja-Nya seperti terungkap dalam Luk
4,18-19 jelas mengatakan bahwa “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku,
untuk menyampaikan kabar baik (Yun: euanggelisasthai = menginjili) kepada orang-orang
miskin” (Luk 4,18). Hal yang mirip dikatakan ketika murid-murid Yohanes datang kepada-Nya
dan bertanya tentang identitas-Nya. Kepada mereka Yesus menjawab, “Pergilah, dan
katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: Orang buta melihat, orang
lumpuh berjalan, orang kusta menjadi sembuh, orang tuli mendengar, orang mati
dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Luk 7,22). Kepada orang buta
diberikan penglihatan; orang lumpuh bisa berjalan; orang kusta ketahiran, tetapi orang
miskin? Tidak dikatakan bahwa orang miskin akan di-kaya-kan atau dibuat kaya, tetapi
kepada mereka akan diberitakan kabar baik. Apa yang menjadi ‘kabar baik’ bagi orang miskin?
Kalau kita melihat gambaran hidup komunitas kristen perdana sebagaimana terdapat dalam
Kisah Para Rasul (Kis 2,41-47; 32-35) secara jelas dilukiskan bahwa gaya hidup saling berbagi
merupakan  cara sehingga “tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka” (Kis
4,34).

Gereja, melalui Konsili Vatikan II, sudah menegaskan posisinya bahwa “kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa
saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid
Kristus juga” (GS 1). Di tempat lain, konsili menjelaskan apa yang dimaksud dengan
keterlibatan Gereja dalam hidup orang-orang zaman sekarang itu dengan rumusan yang agak
provokatif. “Oleh karena itu manusia, sementara menggunakannya, harus memandang hal-
hal lahiriah
yang dimilikinya secara sahbukan hanya sebagai miliknya sendiri, melainkan juga sebagaimili
k umum, dalam arti bahwa hal-hal itu dapat berguna tidakhanya bagi dirinya sendiri,
melainkan juga bagi sesamanya. Tetapisemua orang berhak memiliki sebagian harta-benda 
sehinggamencukupi bagi dirinya maupun kaum kerabatnya. Begitulahpandangan para  Bapa 
dan  Pujangga  Gereja,  yang  mengajarkan,bahwa  manusia  wajib  meringankan beban kaum mi
skin, itu punbukan hanya dari  kelebihan miliknya.
Mereka  yang menghadapikebutuhan darurat, berhak untuk mengambil dari kekayaan orang-
orang lain apa yang sungguh dibutuhkannya. Karena di dunia inibegitu banyaklah orang
yang kelaparan, Konsili mendesak semuaorang, masing-masing secara  perorangan,
maupun mereka yangberwenang supaya mengenangkan pernyataan para Bapa: “Berilahmaka
n kepada orang  yang  akan  mati  kelaparan; sebab bila engkautidak  memberinya makan,
engkau membunuhnya”, dan sesuaidengan kemampuan masing-masing, sungguh
membagikan dan menggunakan harta-benda mereka, terutama
dengan menyediakanbagi orang-orang perorangan maupun bangsa-bangsa upaya-upaya,yang
memungkinkan mereka itu untuk menolong diri danmengembangkan diri. (GS 69)
Mahatma Gandhi mengatakan, “Earth provides enough to satisfy every man’s needs, but not
every man’s greed.” Persoalannya: bagaimana kita bisa saling berbagi dan menjadi saluran
pengantara berkah Allah untuk sesama. Sebenarnya di tengah-tengah kita sudah banyak hal
konkret yang dibuat untuk berbagi dengan sesama. Tidak terlalu sulit bagi kita untuk
mengadakan penggalangan dana untuk membangun fisik gereja, apakah tidak mungkin
mengadakan fundraising untuk proyek-proyek berbagi?

Minggu II
Dialog dengan Budaya             
Mat 1,18-25

18 Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut:

Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus,
sebelum mereka hidup sebagai suami istri. 19 Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak
mau mencemarkan nama istrinya di depan umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam.
20 Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan tampak kepadanya dalam mimpi
dan berkata, "Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak
yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. 21 Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau
akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa
mereka."

22 Hal itu terjadi supaya digenapi yang difirmankan Tuhan melalui nabi: 23 "Sesungguhnya, anak dara
itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia
Imanuel." (Yang berarti: Allah menyertai kita.)

24 Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu
kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai istrinya, 25 tetapi tidak bersetubuh dengannya sampai Maria
melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus.

Pendalaman Teks

Teks yang akan direnungkan pada Minggu II ini sudah sangat terkenal, bahkan di antara kita
mungkin ada yang sudah hampir hafal luar kepala. Alkitab kita memberi judul Kelahiran
Yesus Kristus, dan diberi catatan bahwa teks paralelnya adalah Luk 2,1-7. Tetapi tentu saja
kalau kita lihat, kisahnya berbeda. Memang, sebagaimana kita semua sudah ketahui, kita
mempunyai dua versi kisah Masa Kanak-kanak Yesus (Infancy Narrative), yaitu versi Injil
Matius dan Injil Lukas. Teks ini serasa sudah punya konteks tersendiri, sehingga mungkin
agak aneh kalau teks ini kita bicarakan dalam konteks yang lain. Tapi kita coba.

Bahwa seorang gadis bertunangan dengan seorang laki-laki sebenarnya bukanlah yang terlalu
istimewa. Sebelum pernikahan, amat wajar kalau calon suami-istri memasuki tahap
pertunangan. Itu sangat normal. Dalam adat Yahudi, perkawinan terdiri dari dua tahap. Tahap
yang pertama adalah pertunangan. Tahap kedua adalah ketika mempelai wanita dibawa ke
tempat mempelai laki-laki kira-kira setahun kemudian. Pertunangan atau tahap pertama dari
perkawinan sudah diatur oleh hukum. Demikian juga apa yang terjadi dengan Maria dan
Yusuf. Kalau tidak terjadi apa-apa, maka bisa dibayangkan bahwa setelah periode pertunangan
akan ada pesta pernikahan, dan seterusnya, dan seterusnya. Persoalannya adalah bahwa
kemudian penginjil memberikan informasi bahwa sang calon mempelai wanita, yaitu Maria,
ternyata sudah mengandung “sebelum mereka hidup sebagai suami-istri” (ay. 18) artinya
sebelum tahap kedua terjadi. Ini mengubah situasi.

Kehamilan sebelum kedua calon mempelai ini hidup bersama bisa dipandang sebagai sebuah
skandal. Dalam hal ini, kehamilan Maria merupakan sesuatu yang memalukan bagi Yusuf.
Sebenarnya dalam tradisi religius Israel yang tersimpan dalam Perjanjian Lama, orang Israel
sudah terbiasa dengan kisah-kisah kelahiran yang tidak biasa untuk menunjukkan campur
tangan Allah. Tokoh seperti Ishak, Samson, Samuel adalah tokoh-tokoh yang lahir dari ibu
yang mandul dan lanjut usia. Tetapi kelahiran dari seorang perawan merupakan sesuatu yang
sebelumnya sama sekali tidak diperhitungkan. Di sini kita bisa bertanya, kalau benar
kehamilan Maria ini merupakan kehendak Tuhan, lalu mengapa hal ini mesti mengakibatkan
ketidaknyamanan bagi Bapa Yusuf? Kalau hal ini terjadi ketika Bunda Maria belum
bertunangan, tentu dampaknya tidak terlalu besar. Paling tidak hanya seorang saja yang
dipermalukan.

Kehamilan Maria memang diberi keterangan “mengandung dari Roh Kudus”. Tetapi di sini
perlu disadari bahwa informasi ini sebenarnya hanya untuk pembaca. Yusuf tidak tahu kalau
Maria mengandung “dari Roh Kudus”. Yang ia tahu adalah bahwa Maria hamil. Persoalan
hukum yang langsung muncul ke permukaan adalah yang tercantum dalam Ul 22,20-21:

20 Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan pada si gadis, 21 maka
haruslah si gadis dibawa ke luar ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah
melempari dia dengan batu, sehingga mati -- sebab dia telah menodai orang Israel dengan bersundal di
rumah ayahnya. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.

Lalu bagaimana kira-kira reaksi Yusuf? Apa yang ia pikirkan? Mungkin Yusuf marah. Kalau
Maria ternyata sudah hamil dan mereka belum tinggal bersama, maka kesimpulan yang paling
logis adalah bahwa Maria mungkin telah berbuat selingkuh (bdk. Ul 22,23-24) atau diperkosa
(bdk. Ul 22,25-27). Dengan latar belakang ini kiranya perlu dipahami ay. 19 “Karena Yusuf
suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama istrinya di depan
umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam.”

Sebagai seorang yang tulis hati (atau orang benar), Yusuf tidak bisa mengambil Maria sebagai
istrinya, karena dengan demikian ia membiarkan yang jahat itu berada di tengah-tengahnya.
Menurut Ul 22,21 perempuan yang kedapatan tidak perawan harus dihukum dengan dilempari
dengan batu sehingga mati. Dalam bentuk yang lebih ringan, usaha untuk “menghapuskan
yang jahat itu dari tengah-tengahmu” bisa dipenuhi dengan cara menceraikan sang istri.
Menurut pendapat beberapa ahli, pada abad pertama Masehi praktik hukum rajam tampaknya
sudah tidak berlaku lagi. Dalam kasus ini, Yusuf sebenarnya mempunyai dua pilihan,
menceraikan Maria secara publik atau secara diam-diam. Tetapi karena Yusuf tidak mau
“mencemarkan nama istrinya di depan umum”, maka yang ia pilih adalah menceraikan
Maria secara diam-diam. Menceraikan secara diam-diam berarti hanya di hadapan dua orang
saksi, dan bukan di hadapan umum. Dengan demikian, proses ini tidak terlalu
mempermalukan Maria.

Tetapi rencana Yusuf ini ternyata tinggal rencana. Tengah dia merenung-renung, tiba-tiba
datang veto  dari Allah sendiri melalui Malaekat-Nya (ay. 20) yang hadir dalam mimpi.Persis
pada waktu itu disampaikan oleh Malaekat Tuhan apa yang sedang terjadi dalam diri Maria
dan siapa ada di dalam kandungannya. Maria tidak seperti yang difikirkan oleh Yusuf. Ia tidak
melakukan yang tidak benar, karena anak yang ada di kandungannya adalah dari Roh Kudus.
Dengan veto malaikat ini, tidak ada lagi alasan bagi Yusuf untuk menceraikan Maria.
Kehidupan pasangan yang bertunangan ini bisa terus berjalan sebagaimana sudah
direncanakan. Dan dengan demikian, Yusuf mendapatkan tempatnya seperti sudah tercantum
dalam silsilah Yesus. “Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus” (Mat
1,16). Dengan (tetap) menikahi Maria, Yusuf mendapatkan hak untuk menjadi ayah secara
hukum dari bayi Yesus. Ini berarti menempatkan Yesus dalam garis keturunan Daud. Dengan
memberi nama kepada sang bayi (“engkau akan menamakan Dia Yesus” – ay. 21), Yusuf
menegaskan secara publik bahwa bayi Yesus adalah anaknya. Dalam tradisi rabinik, seorang
yang menyatakan sebuah pengakuan: “Si-X ini adalah anak saya”, maka pernyataan ini mesti
dipercaya (mBaba Batra 8,6).

Malaikat kemudian melanjutkan dengan menyingkap latar belakang peristiwa ini. “Hal itu
terjadi supaya digenapi yang difirmankan Tuhan melalui nabi” (ay. 22). Kelahiran Yesus
dipandang sebagai pemenuhan nubuat lama, yang pernah diucapkan oleh nabi Yesaya sekitar
delapan abad yang lalu. “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan
seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” (Mat 1,23). Di sini pembaca
mungkin bertanya: lho, kok “memanggil nama” lagi? Bukankahh pada ayat sebelumnya
dikatakan bahwa Yusuf sebagai ayah menurut hukum sudah memberi nama sang bayi kecil
ini? Yang patut dicatat adalah bahwa di sini, subjek yang memberi nama adalah mereka. Siapa
yang dimaksud dengan mereka ini? Tampaknya mereka di sini mewakili jemaat Matius atau
orang-orang Kristen, atau orang-orang yang percaya kepada Kristus. Dengan
demikian, Imanuel yang kemudian diberi penjelasan sebagai “Allah menyertai kita”, kiranya
lebih baik tidak diartikan sebagai nama diri, tetapi semacam gelar Yesus. Bukankah nama diri
sudah diberikan oleh yang lebih berhak, yaitu Yusuf ayahnya secara hukum?

Mereka yang pernah mempelajari Injil Matius mengetahui bahwa gagasan Allah yang
menyertai jemaat-Nya adalah gagasan yang sentral. Ada tiga ayat kunci dalam Injil Matius
yang membangun struktur injil pertama ini.

Mat 1,23             : dan mereka akan menamakan Dia Imanuel." (Yang berarti: Allah menyertai kita.)

Mat 18,20          : Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-
tengah mereka."

Mat 28,20         : Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman."           


Dengan cara ini penginjil mau mewartakan siapakah Yesus ini. Dia adalah Firman yang
menjadi daging, Allah yang menyertai manusia sepanjang segala masa. Juga ketika kita
mewartakan Kabar Sukacita pada zaman sekarang ini, Tuhan Yesus tetap menyertai kita.         

***

Kisah seputar kehamilan Maria ini sengaja dipilih untuk permenungan pada Minggu kedua ini
tidak untuk menekankan mukjizat perkandungan Yesus, atau soal keperawanan Maria. Yang
mau digarisbawahi adalah satu hal yang lebih mendasar, yaitu soal inkarnasi, Firman yang
menjadi daging. Inkarnasi adalah salah satu ajaran pokok dalam kekristenan. Kalau Allah
memutuskan untuk berinkarnasi, maka mau tidak mau Ia yang tidak terbatas ini mesti
berinkarnasi dalam sebuah konteks yang amat terbatas. Paulus merumuskannya dengan
sangat indah, Yesus Kristus “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan
dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan
diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”
(Flp 2,6-7).

Di satu pihak inkarnasi adalah sebuah pengosongan diri; Allah yang turun; tetapi di lain pihak,
inkarnasi juga berarti sebuah pemuliaan; kodrat manusia diangkat. Inkarnasi menunjukkan
bahwa Allah menilai tinggi budaya manusia. Gagasan ini menjadi penting bagi kita dalam
merenungkan tempat budaya-budaya lokal di mana Gereja berada. Inkarnasi ini menjadi dasar
bagi inkulturasi yang memainkan peranan penting dalam tugas evangelisasi Gereja kini dan di
sini. Bukan kebetulan kalau almarhum Paus St. Yohanes Paulus II gemar dengan
istilah inkulturasi, yang baru mulai populer sekitar tahun 70-an, justru karena mempunyai
kemiripan dengan istilah inkarnasi, baik dari segi isi maupun istilah.

Tema minggu II ini adalah mewartakan Kabar Gembira dalam kemajemukan budaya.
Dokumen FABC tahun 1974 mengatakan bahwa “untuk mewartakan Injil di Asia masa kini
hendaklah kita sungguh mendarah-dagingkan amanat dan hidup Kristus dalam budi dan
perihidup bangsa-bangsa kita. Titik berat utama tugas kita mewartakan Inji, pada saat sejarah
kita sekarang, ialah membangun Gereja setempat yang sejati (FABC, 9). Sebab Gereja
setempat ialah perwujudan dan pengejawantahan Tubuh Kristus dalam bangsa tertentu, di
tempat tertentu, pada waktu tertentu (FABC, 10). Gereja setempat ialah Gereja yang
berinkarnasi dalam suatu bangsa, Gereja yang pribumi dan berinkulturasi (FABC, 12). Dengan
kata lain, para uskup Asia menghendaki agar Gereja sungguh-sungguh menjadi Gereja Asia
dan bukan gereja di Asia.

Harus diakui bahwa perjalanan sejarah misi di masa lalu tidak terlalu bersahabat dengan
kultur setempat. Pada waktu itu perbedaan antara agama dengan kultur tidak tampak.
Keyakinan para misionaris bahwa mereka membawa agama yang unggul secara tidak disadari
juga menghasilkan perasaan lebih unggul dalam bidang kultural. Sebaliknya, juga keunggulan
dalam bidang budaya, terutama sejak zaman Pencerahan, membawa juga anggapan
keunggulan dalam bidang religius. Para misionaris datang ke tanah misi dengan anggapan
tidak hanya mewartakan Kabar Sukacita Injil, tetapi juga membawa kultur barat yang unggul.
Salah satu teks misioner pada waktu itu adalah kata-kata Yesus yang terdapat dalam Yoh 10,10
“Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dengan berlimpah-
limpah.”Dan ungkapan “Hidup yang berlimpah-limpah” diartikan sebagai berlimpahnya hal-
hal modern untuk pendidikan, kesehatan, dan pertanian masyarakat yang terbelakang di
dunia ini[5]. Akibat dari penalaran yang seperti ini, kultur setempat tidak pernah mendapat
tempat yang selayaknya.

Situasi seperti inilah yang mesti perlahan-lahan mesti diubah. Agama harus bisa dibedakan
dari unsur budayanya. Dengan demikian, agama bisa bersikap kritis terhadap kultur yang
membawanya; dan pada saat yang bersamaan, agama bisa lebih mengapresiasi kultur yang
lain, dan dengan demikian bisa diperkaya juga olehnya. Inkulturasi mempunyai gerakan
ganda. Di satu pihak, ada inkulturasi iman Kristen; dan di lain pihak, ada kristenisasi kultur
setempat[6]. Dalam konteks ini perlu diperhatikan catatan dari Paus St. Yohanes Paulus II
dalam anjuran apostoliknya, Catechesi Tradendae (16 Oktober 1979);

...kekuatan Injil di mana pun juga menimbulkan perubahan dan kelahiran baru. Bila kekuatan itu
merasuki kebudayaan, tidak mengherankan bahwa banyak unsur kebudayaan itu dijernihkan atau
diluruskan olehnya (CT 53)

Kekayaan budaya yang dikandung oleh tanah air kita, Indonesia ini sungguh luar biasa
mengagumkan. Di banyak tempat, sudah banyak dipikirkan bagaimana kekayaan budaya ini
sungguh-sungguh bisa dimanfaatkan untuk penyebaran dan perkembangan iman umat.
Dengan demikian, masalah inkulturasi sudah menjadi bahan pemikiran dan diskusi dengan
melihatkan banyak pihak yang berkompeten. Tentu saja mesti diakui bahwa di masing-masing
tempat, perkembangan soal inkulturasi ini juga melewati tahap-tahap yang berbeda. Di
beberapa tempat, masalah inkulturasi ini berada pada ranah liturgi: bagaimana kekayaan
budaya, seperti lagu-lagu, tata busana serta tarian yang merupakan ekspresi batin sebuah
budaya tertentu, bisa menyumbang bagi ibadat Gereja. Di tempat lain, mulai dicari dan
dipikirkan juga titik temu antara gagasan dan pengharapan yang terungkap dalam aneka
macam ungkapan dan simbol yang terdapat dalam budaya setempat dengan pengharapan
yang ditawarkan oleh kekristenan.

Menjadi Gereja Asia, dan bukan menjadi Gereja di Asia, kiranya memang sudah
menjadi concern kita sudah sejak lama. Pertemuan-pertemuan dalam rangka BKSN mungkin
bisa mendalami kembali pengalaman inkulturasi yang sudah ada, tetapi bisa saja menemukan
sesuatu yang baru. Membaca dan mendalami Kitab Suci dari perspektif sebuah budaya
tertentu mungkin bisa menjadi sebuah usaha yang menarik untuk dicoba? Apakah ada
konsep-konsep budaya tertentu bisa membantu kita untuk memahami satu konsep
teologis/alkitabiah tertentu?
Minggu III       
Dialog dengan Agama Lain                     
Kis 17,16-34

16 Sementara Paulus menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia melihat bahwa kota
itu penuh dengan patung-patung berhala.17 Karena itu di rumah ibadat ia bertukar pikiran dengan
orang-orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah, dan di pasar setiap hari dengan orang-
orang yang dijumpainya di situ.18 Juga beberapa ahli pikir dari golongan Epikuros dan Stoa berdebat
dengan dia dan ada yang berkata, "Apa yang hendak dikatakan si pembual ini?" Tetapi yang lain
berkata, "Rupa-rupanya ia pemberita ajaran dewa-dewa asing." Sebab ia memberitakan Injil tentang
Yesus dan kebangkitan-Nya.

19 Lalu mereka membawanya menghadap sidang Areopagus dan mengatakan, "Bolehkah kami tahu
ajaran baru mana yang kauajarkan ini?20 Sebab engkau memperdengarkan kepada kami hal-hal yang
asing. Karena itu kami ingin tahu apa artinya semua itu."

21 Adapun semua orang Atena dan orang asing yang tinggal di situ tidak mempunyai waktu untuk
sesuatu selain untuk mengatakan atau mendengar segala sesuatu yang baru.22 Paulus berdiri di
hadapan sidang Areopagus dan berkata, "Hai orang-orang Atena, aku lihat bahwa dalam segala hal
kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa.23 Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-
lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang
tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu.24
Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak
tinggal dalam kuil-kuil buatan tangan manusia,25 dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-
olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan napas dan segala sesuatu
kepada semua orang.26 Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia
untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-
batas kediaman mereka,27 supaya mereka mencari Allah dan mudah-mudahan mencari-cari dan
menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing.28 Sebab di dalam Dia kita hidup,
kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini
keturunan-Nya juga.29 Karena kita berasal dari keturunan Allah, kita tidak boleh berpikir bahwa
keadaan ilahi serupa dengan emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia.30
Tanpa memandang lagi zaman kebodohan, sekarang Allah memerintahkan semua orang di mana saja
untuk bertobat.31 Karena Ia telah menetapkan suatu hari ketika Ia dengan adil akan menghakimi dunia
oleh seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu jaminan
tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati."

32 Ketika mereka mendengar tentang kebangkitan orang mati, maka ada yang mengejek, dan yang lain
berkata, "Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu."33 Lalu Paulus meninggalkan
mereka.34 Tetapi beberapa orang menggabungkan diri dengan dia dan menjadi percaya, di antaranya
juga Dionisius, anggota majelis Areopagus, dan seorang perempuan bernama Damaris, dan juga orang-
orang lain bersama-sama dengan mereka.
Pendalaman Teks

Kis 17,16-34 yang diberi judul Paulus di Atena, kiranya menawarkan inspirasi segar mengenai
bagaimana pewartaan kepada bangsa-bangsa lain bisa dilaksanakan. Seperti dikatakan dalam
judul, perikop ini berkisah tentang Paulus yang mewartakan Kristus di Atena. Atena boleh
dibilang adalah pusat kebudayaan Yunani. Oleh karena itu, karya pewartaan Paulus di Atena
sungguh merupakan sesuatu yang amat penting. Karya Paulus di Atena adalah puncak karya
kerasulannya di dunia non-Yahudi. Saat dia berada di Areopagus, kita merasakan ketegangan
bagaimana alam fikir Yunani bertemu dengan kebijaksanaan dari timur, dari Yerusalem, yaitu
berita gembira tentang seorang bernama Yesus yang mati dan bangkit lagi.

Kisah Paulus di Atena dibuka dengan sebuah pernyataan yang khas, “Sementara Paulus
menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia melihat bahwa kota itu penuh
dengan patung-patung berhala” (Kis 17,16). Karakteristik kota Atena sudah ditampilkan pada
awal kisah: kota ini penuh dengan berhala. Tetapi sekaligus ditunjukkan bahwa itulah konteks
yang harus dihadapi Paulus dalam mewartakan

Kabar Sukacita tentang Yesus.

Kemudian digambarkan bagaimana Paulus menjalankan karya pewartaannya. Sebenarnya,


saat di Atena pun, Paulus memainkan strategi klasik pewartaannya, yaitu mengunjungi
sinagoga Yahudi dan bersoal jawab dengan orang-orang Yahudi dan ‘mereka yang takut akan
Allah. Mungkin ini terjadi pada hari Sabat. Selain itu ia juga mengunjungi pasar (agora) dan
berdiskusi dengan setiap orang yang dijumpainya di sana (Kis 17,17). Hanya saja, di Atena ini
pewartaan di sinagoga tidak mendapat sorotan sama sekali; hanya disebut sepintas saja, tidak
seperti yang terjadi di Tesalonika atau di Berea dan beberapa tempat lainnya. Karena memang
yang menjadi pusat kali ini adalah pewartaan ke dunia non-Yahudi yang diwakili oleh Atena.
Hal ini menjadi jelas karena oposisi atau komentar yang muncul tidak berasal dari kelompok
Yahudi, tetapi dari para filosof yang disebut golongan Epikuros dan Stoa (17,18). Di Atena
Paulus tidak berhadapan dengan orang-orang yang siap menanggapinya secara teologis, tetapi
dengan orang-orang yang akan menyanggahnya dari segi filosofis. Mereka adalah orang-orang
yang “tidak mempunyai waktu untuk sesuatu selain untuk mengatakan atau mendengar segala
sesuatu yang baru” (Kis 17,21). Di sini argumen-argumen biblis-teologis tidak akan berjalan
karena tidak ada titik berangkat yang sama.

Ini kelihatan kalau kita mendengar komentar mereka, “Rupa-rupanya ia pemberita ajaran
dewa-dewa asing.” Sebab ia memberitakan Injil tentang Yesus dan kebangkitan-Nya” (Kis
17,18). Paulus dianggap mau mewartakan dan menambahkan dewa-dewa asing yang baru ke
dalam khazanah dewa-dewi Atena, yaitu “Yesus dan kebangkitan-Nya.” Menarik
memperhatikan salah paham yang terjadi di sini. Kata “kebangkitan” dalam bahasa Yunani
adalah he anastasis yang bergenus feminin. Rupanya orang Atena tidak memahami kata
tersebut sebagai kata benda, tetapi sebagai nama diri atau nama seorang dewi yang menjadi
pasangan dewa yang bernama Yesus. Karena kesalahpahaman ini, maka Paulus dianggap
mewartakan “dewa-dewa asing” (plural), yaitu Yesus dan “Anastasis.” Yesus mungkin mereka
kenal, tetapi “kebangkitan” tampaknya benar-benar asing bagi mereka. Situasi ini
menggambarkan dengan amat jelas situasi macam apa yang dihadapi oleh Paulus.

Pewartaan Paulus tampaknya sungguh-sungguh membingungkan mereka yang


mendengarnya. Mereka menyebutnya “perkara-perkara aneh.” Akhirnya mereka membawanya
ke hadapan sidang Areopagus. Areopagus tampaknya berasal dari kata Areios + pagusyang
berarti “bukit Ares” yaitu Dewa Perang Yunani. Areopagus bisa berarti sebuah tempat terbuka
di mana orang bisa berbicara dengan tenang; tetapi juga bisa berarti semacam dewan yang
mengambil nama bukit itu sebagai nama. Tidak amat jelas apa fungsi dewan ini dan mengapa
Paulus harus dibawa ke sidang tersebut. Apakah ini suatu acara tukar pendapat dalam suasana
yang cukup bersahabat mengingat orang-orang Atena mempunyai keingintahuan yang tinggi?
Atau sebuah pengadilan? Sulit untuk menentukan apa yang dimaksudkan oleh Lukas. Biarkan
saja demikian. Bagi kita juga tidak terlalu penting apa yang sebenarnya dimaksudkan. Isi dari
pidato Paulus itu yang jauh lebih penting bagi kita. Setidaknya, ada dua poin yang bisa kita
teliti sehubungan dengan pidato Paulus.

1.       “Kepada Allah yang tidak dikenal”

Paulus mengawali pidatonya dengan kata-kata yang menarik, seperti berikut ini, “Hai orang-
orang Atena, aku lihat bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa”
(Kis 17,22). Dengan kata-kata ini, Paulus menunjukkan penghargaan yang tinggi kepada
penduduk Atena yang dianggapnya amat religius (“sangat beribadah kepada dewa-dewa”).
Kemudian ia melanjutkan, “Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat
barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah
yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan
kepada kamu” (Kis 17,23). Bagian ini merupakan bagian yang paling penting. Di antara patung-
patung dan hal-hal lain di kota Atena, secara khusus Paulus menyebut sebuah mezbah yang
bertuliskan “Kepada Allah yang tidak dikenal.”

Dalam agama Yunani kuno, selain dua belas dewa utama dan sejumlah dewa-dewa yang lebih
rendah tingkatannya, rupanya masih ada tempat juga bagi satu ilah yang disebut “Allah yang
tidak dikenal.” Mungkin ada ketakutan kalau-kalau masih ada dewa yang terlewatkan tidak
dihormati sehingga tidak mendapatkan persembahan, dan ini bisa berbahaya. Maka untuk
menanggulangi masalah ini, dibuatlah suatu mezbah untuk “Allah” yang merangkum
segalanya, yaitu “Allah yang tidak dikenal.” Di sini tidak perlu didiskusikan apa yang
sebenarnya dimaksud dengan ungkapan seperti itu. Mungkin bisa dipikirkan demikian: Di
satu pihak, diyakini bahwa masih ada dewa lain selain yang sudah dikenal; tetapi di lain pihak,
nama atau karakternya belum dinyatakan kepada orang-orang Atena, sehingga mereka tidak
mengenalnya.

Pokok ini merupakan celah masuk bagi Paulus. Dan dengan brilian Paulus memanfaatkannya
untuk mewartakan injilnya. “Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang
kuberitakan kepada kamu.” Paulus membuat identifikasi dengan memanfaatkan
“ketidaktahuan” mereka. Kami tahu yang kalian tidak tahu! Kami punya yang sebenarnya
kalian cari tanpa tahu kemana harus mencari! Dengan demikian menjadi jelas bahwa
sebenarnya Paulus tidak mewartakan sesuatu yang sama sekali baru, yang asing bagi
pendengarnya. Dia hanya memberi namapada, atau boleh juga memaknai, kerinduan atau
pengharapan yang sudah ada dalam diri masing-masing orang Atena. Titik tolak pewartaan
Paulus adalah kesalehan orang-orang Atena sendiri, bukan sesuatu yang berasal dari luar,
tetapi dari dalam diri mereka.

Bisa dibayangkan bahwa pembukaan seperti ini menjadi sesuatu yang menarik dan
menimbulkan keingintahuan bagi orang-orang Atena: bagaimana kelanjutan pembicaraan
Paulus ini? Pembukaan ini menjadi semacam tema yang kemudian diuraikan secara panjang
lebar pada bagian berikutnya.

2.      Kisah Alkitab yang Tersembunyi

Untuk bagian ini, silakan memperhatikan dengan teliti bagian khotbah Paulus yang terdapat
dalam ay. 23-31. Seperti bisa dilihat,khotbah yang disampaikan Paulus sebenarnya adalah
gambaran lebih lanjut tentang “Allah yang tidak dikenal” itu. Tanpa masuk pada detil-detil
analisis teks, bisa dikatakan bahwa setidak-tidaknya ada 2 (dua) hal yang menarik untuk
diperhatikan.

Pertama, di sini Paulus menyampaikan inti pewartaannya dalam bahasa yang khas. Dari teks
di atas, tampak bahwa tidak ada rujukan secara eksplisit dari Perjanjian Lama sebagai teks
yang otoritatif. Mengapa demikian? Karena sekarang ini Paulus sedang berhadapan dengan
orang-orang Atena yang tidak menerima otoritas teks suci Ibrani. Hal ini berbeda saat Paulus
berhadapan dengan orang-orang Yahudi. Dengan orang-orang Atena tidak ada gunanya
menggunakan argumen alkitabiah.

Kendati demikian, walaupun Paulus tidak secara eksplisit merujuk pada Perjanjian Lama, kita
bisa merasakan bahwa pewartaan Paulus ini sebenarnya berlatar belakang teologi Perjanjian
Lama. Pada ay. 24 kita mendengar gema dari kisah penciptaan seperti yang terdapat dalam Kej
1-2. Ay. 26 mungkin berlatar belakang janji TUHAN kepada Abraham yang akan memberikan
keturunan kepadanya (bdk. Kej 12,1-3 passim). Gagasan bahwa Allah membuat manusia
mendiami seluruh muka bumi serta menentukan batas-batas kediaman mereka (ay. 25-26),
rasanya mirip dengan yang terdapat dalam Ul 32,8 “Ketika Sang Mahatinggi membagi-bagikan
milik pusaka kepada bangsa-bangsa, ketika Ia memisah-misah anak-anak manusia, maka Ia
menetapkan wilayah bangsa-bangsa menurut bilangan anak-anak Israel.” Allah yang tidak
tinggal di dalam kuil-kuil buatan tangan manusia dan tidak dilayani oleh tangan manusia (ay.
24-25) tampaknya berlatar belakang 1Raj 8,27 atau Yes 42,5 atau Yes 66,1-2. Ay. 31 yang
berbicara tentang seseorang yang akan diutus Allah untuk mengadili dunia mungkin berlatar
belakang Dan 7,13-14 yaitu Anak Manusia yang memperoleh kuasa atas dunia.
Dengan demikian rasanya tidak perlu diragukan bahwa Paulus memang sedang mewartakan
sejarah keselamatan seperti ditemukan di dalam teks suci Ibrani, yaitu Perjanjian Lama kita.
Menariknya adalah bahwa dalam pemaparan ini tidak satupun Paulus menyebut secara
eksplisit teks dari kitab sucinya. Alkitab Ibrani tetap tersembunyi di balik kata-kata Paulus,
tetapi tampil dalam bentuk yang agak berbeda. Di Atena ini Paulus sedang mewartakan kisah
alkitab yang tersembunyi.

Kedua. Paulus tidak menyinggung secara eksplisit teks suci Ibrani, tetapi sebaliknya dia
bahkan secara eksplisit mengutip ungkapan seorang pujangga Yunani. Pada ay. 28 “Sebab di
dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-
pujanggamu:  Sebab kita ini keturunan-Nya juga.” Kutipan ini berasal dari kata-kata seorang
penyair dari aliran Stoa yang bernama Aratus (lahir di Kilikia tahun 315 SM) yang terdapat
dalam karyanya Phaenomena, 5. Orang juga berpikir bahwa seorang filosof Stoa yang lain,
Cleanthes juga mengutarakan gagasannya dengan rumusan yang hampir sama (Hymn to Zeus,
4).

Ini strategi hebat dari Paulus. Tampaknya Paulus cukup mengetahui kekayaan tradisi filsafat
Yunani dan bisa memanfaatkannya dengan baik dengan menjadikannya dasar pewartaannya.
Dengan demikian ia mau menunjukkan bahwa pesan yang dia bawa sebenarnya - sekali lagi -
tidak asing atau bertentangan dengan tradisi orang-orang Atena yang kaya.

Memang harus diakui bahwa pidato Paulus di hadapan Areopagus masih belum sampai pada
inti kekristenan, yaitu salib dan kebangkitan Kristus. Pada ayat terakhir pidatonya (ay. 31)
Paulus memang mencoba berbicara tentang Allah yang membangkitkan Yesus dari orang
mati. Dan begitu sampai pada kata “kebangkitan orang mati”, hadirin langsung berkomentar,
“Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu” (Kis 17,32). (Tetapi
perhatikanlah bahwa di akhir kisah diceritakan bahwa beberapa orang menjadi percaya juga;
bdk. ay 34). Sekali lagi, gagasan tentang kebangkitan orang mati tampaknya asing bagi orang-
orang Atena. Beberapa abad sebelumnya, seorang penyair tragedi bernama Aeschylus pernah
mengatakan lewat tokohnya Apollo, “Ketika debu menyerap habis darah seseorang, maka
sekali dia mati, tak ada lagi kebangkitan” (Eumenides, 647-648). Untuk dunia Yunani,
mungkin gagasan “kebakaan jiwa” lebih cocok, tetapi bukan kebangkitan dari antara orang
mati.
Kendati tidak lengkap, rasanya pewartaan Paulus sudah menunjukkan suatu strategi yang
amat lihai. Persoalan salib dan kebangkitan memang merupakan soal yang paling sulit dalam
tradisi kekristenan. Paulus sendiri sudah mengatakan bahwa salib “untuk orang-orang Yahudi
suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan” (1Kor 1,23).

Kita tidak tahu pasti bagaimana hasil karya misi Paulus di Atena. Kita tidak mempunyai surat
Paulus kepada jemaat di Atena. Tetapi yang penting bagi kita adalah strategi Paulus ketika
berhadapan dengan orang-orang Atena yang menjadi, katakanlah, pusat dunia non-Yahudi.
Paulus mencoba mewartakan Kristus sebagai jawaban atas kerinduan dan pengharapan orang-
orang Atena.

***

Dalam hal religius, Asia merupakan locusyang istimewa. Asia boleh dibilang sebagai rahim
agama-agama besar di dunia. Kekristenan sendiri lahir di Asia, tetapi kemudian seiring
dengan pergerakan misionaris-misionaris pertama, kekristenan bergerak ke arah barat dan
mendapatkan Roma sebagai pusat. Baru setelah berabad-abad berlalu, kekristenan kembali
lagi ke Asia, dengan wajah yang tentu saja sudah berbeda. Berkaitan dengan ini ada dua
catatan yang patut dipertimbangkan saat kita merenungkan karya pewartaan Injil di Asia.

Yang pertama, perjalanan misi ke Asia dalam banyak kasus terjadi dengan membonceng kaum
kolonial Eropa, seperti misalnya Spanyol, Portugal, Inggris, dan Belanda. Akibatnya,
kekristenan sendiri seringkali dicurigai sebagai agama kaum penjajah. Kedua, negara-negara
besar praktis sudah dikuasai oleh beberapa agama besar, misalnya Hindu di India, Muslim di
Bangladesh, Indonesia, Malaysia, dan Pakistan; Buddha di Kambodia, Hongkong, Laos,
Mongolia, Myanmar, Singapura, Korea Selatan. Hanya di Filipina kekristenan menjadi
mayoritas. Situasi ini menjadi tantangan khusus bagi Gereja dalam tugas perutusannya
mewartakan Injil.

Fakta ini perlahan-lahan menyadarkan Gereja bahwa secara manusiawi tidak masuk akal
mengharapkan bahwa pernah seluruh bangsa dan masyarakat di bumi akan masuk ke dalam
Gereja. rasanya Gereja akan tetap menjadi “kawanan kecil” saja (Luk 12,32). Kesadaran baru ini
pelan-pelan mengubah sikap Gereja Katolik terhadap agama-agama lain, Tidak mungkin
agama-agama itu – yang terbesar di antaranya adalah agama Islam, Buddha, Hindu, dan
Kongfutsu - dianggap sebagai semacam sisa umat manusia yang belum kristiani[7].
Dalam situasi seperti ini, dialog antaragama merupakan salah satu alternatif niscaya yang
tersedia. Orang tidak bisa hidup tanpa berdialog dan kerja sama dengan orang lain. Tugas
utama orang Kristen adalah mewartakan dan memberi kesaksian akan Kerajaan Allah,
sebagaimana dibuat oleh Yesus Kristus dalam karya publik-Nya, dan bukan pertama-tama
memperluas keanggotaan dan pengaruh melalui pembaptisan baru[8]. Meskipun demikian
tidak menutup kemungkinan bahwa dalam dialog dengan agama-agama tersebut ditemukan
benih-benih Sabda (FABC 1974, no. 16) melalui pengharapan atau keprihatinan yang terdapat
dalam tradisi-tradisi religius yang ditemui.

Sejalan dengan semangat Konsili Vatikan II, pada tahun 1984 Dewan Kepausan untuk Dialog
Antar-agamamengeluarkan sebuah dokumen tentang refleksi dan orientasi atas Dialogue and
Mission. Dalam dokumen tersebut, disebutkan empat model dialog antar-agama:

1.      Dialog Kehidupan (Dialogue of Life)

Dialog dipahami sebagai sebuah gaya hidup yang mencakup sikap perhatian, penghargaan,
serta hospitalitas orang lain. Sikap seperti inilah yang mesti dibawa oleh setiap orang Katolik
dalam hidup kesehariannya, entah sebagai minoritas atau mayoritas.

2.     Dialog Karya (Dialogue of Deeds)

Dialog dalam bentuk kerjasama dengan pihak lain dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi
yang terarah pada kemajuan dan pembebasan manusia.

3.     Dialog Para Spesialis (Dialogue of Specialist)

Sesuai dengan namanya, dialog model ini melibatkan para ahli dalam bidang tertentu, dari
agama masing-masing. Mereka berusaha mendalami dan pengertian untuk mencapai
pemahaman dan saling penghargaan bersama akan warisan rohani dan budaya dari masing-
masing tradisi religius.

4.    Dialog Pengalaman Religius (Dialogue of Religious Experience)

Pada level ini masing-masing yang sudah terakar kuat pada tradisi religiusnya mampu
membagikan pengalaman mereka dalam doa, iman, serta ungkapan iman mereka.

Dari empat model dialog di atas, dialog model kedua, yaitu dialog karya, yang rasanya
mempunyai kesempatan cukup luas untuk dilaksanakan pada konteks zaman sekarang ini.
Minggu IV       
Dialog dengan Gereja Lain                      
Yoh 17,20-23

20 Bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa,

tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku melalui pemberitaan mereka;

21 supaya mereka semua menjadi satu,

sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau,

agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.

22 Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepada-Ku,

supaya mereka menjadi satu,

sama seperti Kita adalah satu:

23 Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka menjadi satu dengan sempurna, agar
dunia tahu bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama
seperti Engkau mengasihi Aku.

24 Bapa, Aku ingin supaya mereka, yang Bapa berikan kepada-Ku, ada bersama-Ku di tempat Aku
berada, supaya mereka melihat keagungan-Ku; yaitu keagungan yang Bapa berikan kepada-Ku, karena
Bapa mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan.

25 Bapa yang adil! Dunia tidak mengenal Bapa, tetapi Aku mengenal Bapa; dan orang-orang ini tahu
bahwa Bapa mengutus Aku.

26 Aku sudah menyatakan nama Bapa kepada mereka; dan Aku akan terus berbuat begitu, supaya kasih
Bapa kepada-Ku tetap di dalam hati mereka dan Aku bersatu dengan mereka."

Pendalaman Teks

Bagian yang digunakan sebagai bahan permenungan pada minggu ini adalah sebagian saja
dari bagian lebih besar Yoh 17,1-26 yang biasa disebut dengan Doa Yesus untuk murid-murid-
Nya. Orang biasa mengatakan bahwa Yoh 14-17 membentuk satu unit teks yang disebut Pidato
Perpisahan (Farewell Discourse). Bagian ini adalah bagian khas dari Injil Yohanes. Dalam
bagian ini Yesus berhadapan hanya dengan murid-murid-Nya. Sebagai sebuah jenis sastra,
Pidato Perpisahan merupakan hal yang biasa ditemukan dalam karya sastra baik Yunani
maupun Israel. Juga di dalam Alkitab sendiri kita bisa temukan, misalnya dalam, Ul 31-33 yang
merupakan Pidato Perpisahan Musa atau Kis 20,17-38 yang adalah Pidato Perpisahan Paulus di
hadapan para penatua Efesus. Yesus menyampaikan pidato perpisahan-Nya karena Ia akan
segera meninggalkan murid-murid-Nya (Yoh 13,33).

Menurut Yoh 13,  Yesus makan bersama dengan para murid-Nya. Ada dua hal yang terjadi
pada waktu mereka mengadakan perjamuan: Yesus membasuh kaki para murid (Yoh 13,1-20)
dan perginya Yudas (Yoh 13,21-30). Setelah Yudas berangkat, mulai Yoh 13,31 praktis Yesus yang
berbicara terus sampai pada Yoh 16. Macam-macam tema dibicarakan di sini. Dan akhirnya,
pidato perpisahan ini diakhiri dengan sebuah doa panjang dalam Yoh 17 sebagai doa
perpisahan. Secara khusus, Yoh 17 ini seringkali, terutama di masa lalu, disebut sebagai “doa
Yesus sebagai imam agung.” Secara tradisional, gagasan ini dianggap berasal dari seorang
teolog  Protestan, David Chytraeus (1530-1600), tetapi akarnya sudah muncul dari seorang
Klemens dari Aleksandria. Ini didukung, misalnya kalau kita memperhatikan permohonan
Yesus untuk Gereja yang akan datang (ay. 9.20) dan pada kurban yang dirujuk Yesus dalam ay.
17 dan 19.

Yoh 17 adalah sebuah doa? Begitu bagian ini sering disebut. Tetapi jika diperhatikan secara
saksama, sebenarnya kita bisa bertanya apakah memang bagian ini sebuah doa? Yesus tidak
berada dalam situasi darurat dan membutuhkan pertolongan. Yesus juga tidak berada dalam
jarak tertentu dari Allah sehingga bisa disebut iman. Yang justru tampak jelas di sini adalah
relasi istimewa antara Yesus dengan Bapa-Nya. Meskipun bisa diragukan apakah Yoh 17 ini
memang sebuah doa, tetapi untuk mudahnya, biarlah kita tetap gunakan saja istilah tersebut.

Kalau kita perhatikan dengan teliti, Yoh 17 ini mempunyai unsur-unsur tertentu yang selalu
berulang. Kita lihat satu per satu:

1.        Ada enam permohonan Yesus: dua adalah permohonan agar Bapa memuliakan Anak (ay. 1 dan
5) dan empat permohonan untuk para pengikut-Nya. Permohonan ini terdapat pada ay. 11. 17.
20 (= Aku berdoa) dan 24 (= Aku mau).

2.       Ada enam sapaan kepada Allah: Allah disebut sebagai Bapa (ay. 1b. 5. 21b. 24), sebagai Bapa
yang kudus (ay. 11b), dan Bapa yang adil (ay. 25).

3.       Ada sembilan ayat yang meninjau kembali apa yang sudah dibuat Yesus: ay. 4 (2x). 6. 8. 12 (x2).
14. 22. dan 26.

4.       Permohonan dan penegasan tentang apa yang dibuat Yesus itu tersusun secara rapi satu
sesudah yang lain sehingga bisa membentuk struktur dari Yoh 17 ini seperti di bawah ini:

I Ay. 1-2b Permohonan: Muliakanlah Anak-Mu

Ay. 4 Tinjauan : Aku telah menyelesaikan pekerjaan


Ay. 5 Permohonan: Muliakanlah Aku

Ay. 6-8 Tinjauan: Aku telah menyatakan nama-Mu kepada semua orang

II Ay. 9-11 Permohonan: Peliharalah mereka dalam nama-Mu

Ay. 12-14 Tinjauan: Aku memelihara mereka

Ay. 16-17 Permohonan: kuduskanlah mereka dalam nama-Mu

Ay. 18-19 Tinjauan : Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia

III Ay. 20-21 Permohonan: supaya mereka semua menjadi satu

Ay. 22-23 Tinjauan : Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang
Engkau berikan kepada-Ku

Permohonan: supaya, di mana pun Aku berada, mereka juga berada


Ay. 24
bersama-sama dengan Aku

Tinjauan: Aku telah memberitahukan nama-Mu kepada mereka


Ay. 25-26

Sesuai dengan bahan kita, maka yang akan kita lihat secara lebih mendetil adalah bagian III,
atau bagian terakhir.

Dari permohonan yang diungkapkan, secara tersamar bisa tergambar situasi jemaat pada
waktu itu. Jika kita memperhatikan ay. 20, kiranya tampak bahwa di sini komunitas Yohanes
sudah mulai berkembang. Di sini Yesus tidak hanya berdoa untuk mereka, artinya para murid
yang pada waktu bersama-sama Yesus, yang boleh kita sebut sebagai para murid generasi
pertama, tetapi juga para pengikut-Nya dari generasi kedua, yang merupakan buah dari karya
pewartaan yang dikerjakan oleh para murid Yesus yang pertama.

Berbeda dengan para murid generasi yang pertama, murid generasi kedua tidak lagi
mempunyai akses kepada Murid yang Dikasihi Tuhan yang menjadi sumber kesaksian
komunitas Yohanes. Antara kedua generasi ini bisa dan tampaknya memang terjadi
ketegangan. Generasi terdahulu mempunyai kekhasan tak tergantikan karena mereka
mempunyai jalan masuk kepada sumber tradisi Komunitas Yohanes; sementara generasi
kedua tidak pernah lagi bertemu dengan mereka. Generasi pertama tahu bahwa mereka akan
segera berlalu dalam kebanggaan, dan mereka tidak tergantikan. Tetapi  tampaknya mereka
masih belum rela bahwa generasi berdua, yang tidak mempunyai pengalaman otentik bersama
pendiri komunitas, kemudian memegang peran penting bagi keutuhan dan perjuangan
komunitas di masa depan. Situasi ini tampaknya menimbulkan ketegangan di dalam
komunitas. Bagaimana identitas komunitas selanjutnya mau dibentuk?  Apakah mereka cukup
mendalam dalam memahami seluk-beluk iman komunitas yang khas?  

Komunitas generasi pertama, hampir bisa dipastikan terdiri dari orang-orang Yahudi.
Sementara generasi kedua, bisa dibayangkan bahwa orang-orang non-Yahudi mulai
berdatangan juga masuk ke dalam komunitas karena pemberitaan firman. Meskipun
Komunitas Yohanes bukan sebuah komunitas yang ditentukan atau dibatasi oleh
pertimbangan etnik, perbedaan etnik yang mulai tampak pada generasi kedua dan seterusnya,
rasanya juga menimbulkan ketegangan meskipun mungkin tidak terlalu berpengaruh.

Demikianlah, sudah pada generasi pertama, komunitas Yohanes harus mengalami ancaman
perpecahan di antara jemaat. Bahkan Roh Kudus yang pernah dijanjikan Yesus ternyata
berpotensi menambah ruwetnya situasi. Sebelumnya, Yesus memang pernah menjanjikan,
“Semuanya itu Kukatakan kepadamu, selagi Aku berada bersama-sama dengan kamu; tetapi
Penolong, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan
mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah
Kukatakan kepadamu” (Yoh 14,25-26 lihat juga 16,13). Sebetulnya, Yesus menjanjikan Roh
Kudus yang menjadi pembimbing setiap orang Kristen. Penulis surat Yohanes juga
mengatakan, “Sebab di dalam diri kamu tetap ada pengurapan yang telah kamu terima dari
Dia. Karena itu, kamu tidak perlu diajar oleh orang lain” (1Yoh 2,27). Penegasan seperti ini
tampaknya memang bagus, tetapi apakah memang demikian?

Jika masing-masing orang Kristen dibimbing dan hanya cukup mengandalkan Roh Kudus –
dan tidak perlu diajar oleh orang lain – lalu apa jadinya? Jelas bahwa masing-masing bisa
mengklim diri dibimbing oleh Roh Kudus dan menafsirkan ajaran Tuhan semau-maunya. Dan
inilah yang rupanya terjadi dengan komunitas Yohanes di kemudian hari, sebagaimana
terungkap dalam surat 1Yoh.

Ketika kesatuan terancam, maka perlu dicari kekuatan lain untuk mencegahnya. Dua kali
dalam bagian ini Yesus menyampaikan pengharapan-Nya, yaitu “supaya mereka semua
menjadi satu” (ay. 21 dan 22). Kesejajaran tematis seperti bisa lihat di bawah ini menunjukkan
pentingnya tema ini dalam seluruh Doa Yesus kepada Bapa-Nya ini.

Yoh 17,20-21 Yoh 17,22-23

20 Bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, 22 Aku telah memberikan kepada mereka
kemuliaan yang Engkau berikan kepada-Ku,
tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya
kepada-Ku melaluipemberitaan mereka;

21 supaya mereka semua menjadi satu, supaya mereka menjadi satu,

sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan sama seperti Kita adalah satu: 23 Aku di dalam
Aku di dalam Engkau, mereka dan Engkau di dalam Aku

agar mereka juga di dalam Kita, supaya mereka menjadi satu dengan sempurna,
supaya dunia percaya agar dunia tahu

bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku. bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan
bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti
Engkau mengasihi Aku.

Ada dua hal yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, kesatuan para murid Kristus ini mesti
didasarkan pada kesatuan Bapa dan Putera, Bapa “di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau”
(ay. 21). Dan yang kedua, kesatuan Bapa dan Putera ini dirumuskan dengan kata “di dalam”:
Bapa di dalam Putra, Putera di dalam Bapa. Menarik memperhatikan bahwa dalam doa Yesus
ini, rumusan seperti ini muncul cukup sering: Yesus berdoa juga untuk orang-orang yang
percaya kepada-Ku (ay. 21); Ia juga memohon agar kasih yang diberikan kepada-Nya “ada di
dalam mereka dan Aku di dalam mereka” (ay. 26). Hubungan antara Bapa dengan Yesus dan
para murid dirumuskan demikian: Bapa di dalam Yesus (ay. 21.23), Yesus di dalam Bapa (ay.
21). Yesus di dalam para murid (ay. 23.26), sementara para murid dikatakan berada di dalam
Yesus dan di dalam Dia dan Bapa (ay. 21).

Kesatuan Bapa – Putera yang dirumuskan dengan menggunakan ungkapan yang unik, “di
dalam”. Bapa di dalam Putera; Putera di dalam Bapa. Rumusan semacam ini adalah rumusan
khas Yohanes, walaupun sulit dipahami apa yang sebenarnya mau dikatakan dengan rumusan
tersebut. Salah satu kemungkinan untuk memahami rumusan tersebut adalah demikian.
Dengan mengatakan “Bapa di dalam Putera” (atau sebaliknya) mau ditunjukkan di satu pihak,
kesatuan yang amat kuat antara keduanya, tetapi di lain pihak, keduanya tetap berbeda.
Mengatakan Bapa di dalam Putera tidak sama dengan mengatakan Bapa adalah Putera, dan
sebaliknya. Dalam kesatuan erat ini, identitas masing-masing tidak lebur dan menjadi sesuatu
yang lain.

Lalu apa kandungan makna ungkapan “di dalam” (en) ini? Ungkapan ini tampaknya mau
menunjukkan unsur kedekatan antara pihak-pihak yang terlibat (Bapa di dalam Putera,
Putera di dalam Bapa, Yesus di dalam para murid, dsb). Dalam relasi ini, mereka berbagi
hidup, kasih, dalam kehendak, dalam kemuliaan, dan juga dalam kebahagiaan.

Dalam konteks ini, kesatuan para murid Kristus mesti bercermin pada kesatuan atau relasi
“tinggal di dalam” yang dihidupi oleh Bapa dan Putera. Dengan kata lain, kesatuan para murid
Kristus sebenarnya tetap mau mempertahankan, di satu pihak, kesatuan atau kedekatan
mereka, tetapi di lain pihak, juga identitas masing-masing yang khas. Kesatuan para murid
Kristus, sebagai mana juga kesatuan Bapa dan Putera, tidak menuntut kesatuan di mana
identitas dan kekhasan masing-masing lenyap melebur menjadi satu.

Sampai saat ini kita bicara tentang “tinggal di dalam”. Tetapi silakan diperhatikan bahwa
“tinggal di dalam” ini hanya terjadi antara Bapa dan Putera di satu pihak, dengan para
pengikut Yesus di lain pihak. Artinya, dalam bagian ini, tidak pernah dikatakan bahwa murid
yang satu tinggal di dalam murid yang lain. Meskipun sebenarnya bisa diandaikan bahwa jika
para murid tinggal di dalam Bapa atau Putera, maka di antara mereka pun, sebenarnya terjalin
sebuah kesatuan. Bapa dan Putera menjadi titik yang mempersatukan mereka semua. Tetapi
kita tahu bahwa dalam doa ini, tidak dikatakan secara eksplisit bahwa murid yang satu tinggal
di dalam murid yang lain.

Satu poin lain perlu juga mendapat perhatian. Dalam dua pengharapan agar mereka menjadi
satu, Yesus menyatakan bahwa tujuannya adalah “supaya dunia percaya” bahwa Bapa lah yang
telah  mengutus Diri-Nya (ay. 21 dan 23). Dengan demikian, kesatuan para murid Kristus
sebenarnya mempunyai dimensi lain, yaitu dimensi kemartiran, yaitu memberikan kesaksian
bagi dunia. Lalu, kesaksian apa? Dunia mesti tahu bahwa Allah telah mengutus Yesus dan
Allah mengasihi para pengikut Yesus sebagaimana Ia mengasihi Yesus. Itu berarti bahwa di
dalam komunitas para murid Kristus terungkap kuasa yang lebih besar, yaitu kuasa Allah
sendiri. Komunitas murid Kristus tidak tiba-tiba muncul dengan kekuatannya sendiri.

***

Menjadi jelas bahwa dalam konteks Gereja Indonesia, Kabar Sukacita mesti diwartakan dalam
pluralitas gereja-gereja. Seperti sudah disinggung pada awal, kalau orang sempat mengunjungi
Gereja Makam Suci (Church of the Holy Sepulcher) di Yerusalem akan terasakan sesuatu yang
amat ironis. Di tempat di mana Sang Penebus menjalankan karya penyelamatan Allah dengan
menyerahkan diri-Nya di kayu salib, di tempat itulah perpecahan umat kristiani amat kentara.
Sejak tahun 1862, pemeliharaan Gereja Makam Suci ini menjadi tanggungjawab tidak kurang
dari enam denominasi Kristen, yaitu Gereja Ortodoks Yunani, Gereja Armenia, Gereja Katolik
Roma, Gereja Koptik, Gereja Etiopia, dan Gereja Ortodoks Siria. Gereja yang luar biasa ini
dibagi sangat ketat menjadi enam area. Pelanggaran batas ini bisa menimbulkan konflik
berdarah di antara orang Kristen sendiri. Begitu gentingnya suasana sampai-sampai kunci
pintu Gereja Makam Suci ini sejak berabad-abad justru dipercayakan kepada dua keluarga
Muslim untuk menjaga kenetralannya. Konsili Vatikan II dengan tegas menggambarkan
situasi ini sebagai perpecahan yang "terang-terangan berlawanan dengan kehendak Kristus,
dan menjadi batu sandungan bagi dunia, serta merugikan perutusan suci, yakni mewartakan
Injil kepada semua makhluk" (UR 1).

Dekrit tentang ekumenisme dibuka dengan kalimat “Mendukung pemulihan kesatuan antara
segenap umat Kristen merupakan salah satu maksud utama Konsili Ekumenis Vatikan II” (UR
1). Dengan demikian menjadi jelas arah perjalanan Gereja selanjutnya khususnya dalam relasi
dengan gereja-gereja lain. Dirasakan bahwa sampai saat ini, arahan Konsili Vatikan II ini
berjalan dengan baik: sikap polemik di masa lalu perlahan-lahan mulai ditinggalkan,
keinginan umat beriman untuk mengetahui gereja atau denominasi lain mulai tumbuh, dan
beberapa inisiatif bersama. Tentu saja masih banyak persoalan yang mesti diselesaikan, dari
hal-hal yang bersifat praktis sampai dengan yang dogmatis. Tetapi kiranya kita tidak perlu
menantikan semuanya selesai terlebih dahulu baru kita memulai sesuatu. Dengan memulai
sesuatu, mungkin kita justru menjejakkan langkah awal untuk sesuatu yang lebih baik.
Harus diakui bahwa berhadapan dengan pluralisme denominasi kristen seperti ini, tugas
pewartaan Injil menjadi sangat unik dan peka, dan sekaligus memprihatinkan. Semuanya
merasa mendapatkan perutusan dari Amanat Agung (Mat 28,18-20) untuk menjadikan semua
bangsa murid Yesus. Yang diwartakan adalah Yesus Kristus yang sama yang dikisahkan dalam
Injil yang sama. Kalau boleh kita gunakan kata “pasar”; maka “pasar” ke mana Kabar Sukacita
itu ditawarkan, sebenarnya ya itu itu saja. Tidak mengherankan dan memang tidak bisa
terhindarkan bahwa pewartaan tentang Yesus Kristus ini seringkali akhirnya juga disampaikan
kepada mereka yang sudah beriman kepada Yesus Kristus. Istilah yang seringkali muncul
adalah “memancing di kolam orang”. Dalam situasi demikian, maka tidak jarang perbedaan,
yang seringkali diartikan sebagai kelebihan yang satu dibandingkan dengan denominasi yang
lain, semakin ditonjolkan dan ditampakkan, bahkan kadang-kadang dimanfaatkan sebagai
sarana persuasif dan provokatif.

Dalam kesempatan ini, rasanya tidak mungkin kita berdiskusi panjang lebar lagi tentang relasi
Gereja Katolik dengan gereja-gereja lain. Pada level umat beriman yang tidak banyak
berurusan dengan hal-hal yang berbau teologis-dogmatis, mungkin pembicaraan dalam
pertemuan akan lebih efektif jika diarahkan pada hal-hal konkret yang bisa dikerjakan
bersama dengan saudara-saudara dari Gereja lain supaya bisa terbangun bonum
commune atau kebaikan bersama. Perbedaan-perbedaan yang ada baiklah dikesampingkan
terlebih dulu untuk memberi tempat pada persamaan yang menghasilkan buah untuk
melindungi kepentingan bersama.

                         

[1]Kaisarea Maritima adalah sebuah kota di tepi laut yang didirikan oleh Herodes Agung pada tahun
22 sM. Pada zaman Romawi, kota ini menjadi ibukota provinsi Roma di Palestina. Oleh karena itu
tidak mengherankan jika di sana banyak tinggal para pembesar Romawi.

[2] Peter C. Phan, Christianities in Asia (Wiley-Blackwell, Chichester 2011) 2.

[3] Ecclesia in Asia adalah anjuran apostolik dari Paus Yohanes Paulus II tentang pewartaan Injil di
Asia. Rangkuman dan kesimpulan dari hasil Sinode Istimewa para Uskup Asia di Roma yang
diadakan pada tanggal 18 April – 14 Mei 1998. Secara resmi EAdipromulgasikan di New Delhi pada
tanggal 6 Nopember 1999.
[4] John Prior, “Indonesia” dalam Phan, Christianities in Asia, 61-62.

[5] David J. Bosch, Transforming Mission. Paradigm Shifts in Theology of Mission (Orbis Book, New


York 2011) 256.

[6] Bosch, Transforming Mission, 385.

[7] Franz Magnis-Suseno, Menjadi Saksi Kristus (Obor, Jakarta 2004) 124.

[8] Phan, Christianities in Asia, 257.

Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook

Labels: Kitab Suci

Older Post Home

GEREJA YANG BERDASAR PADA KITAB SUCI, TRADISI DAN MAGISTERIUM

PAUS FRANSISKUS

LABELS
 Katekese (9)
 Kepausan (10)
 Kitab Suci (37)
 Liturgi (3)
 Sebaiknya Anda Tahu (17)
BLOG ARCHIVE

 ▼  2018 (1)
o June (1)

 ►  2017 (1)

 ►  2016 (2)

 ►  2015 (2)

 ►  2014 (9)

 ►  2013 (60)

 ►  2012 (2)
FOLLOWERS
ONLINE VISITORS
TOTAL VISITORS
233183
RANDOM POSTS
 PAUS FRANSISKUS : YESUIT BERCITARASA FRANSISKAN
 ANAK DOMBA DAN PESTA SANTA AGNES : TRADISI YANG SUDAH BERLANGSUNG LAMA
 SANTO YOSEF : DALAM TERANG KITAB SUCI DAN AJARAN GEREJA
 SEKILAS TENTANG GAGASAN IMAMAT DALAM PERJANJIAN LAMA
 DARI PETRUS HINGGA BENEDIKTUS XVI : PONTIFIKASI TERLAMA DAN TERSINGKAT
 
Copyright (c) 2012 PETROS-PETRODES. This Blogger theme is sponsored by Corporate Office, which has been
featured on Herald Online, BizJournals and KTEN.

Anda mungkin juga menyukai