Anda di halaman 1dari 16

No.

Bagian Jurnal Isi


KECENDERUNGAN PSIKOPAT PADA REMAJA DI LEMBAGA
1. Judul
PEMASYARAKATAN DITINJAU DARI KELEKATAN ANAK-ORANG TUA

2. Jurnal JURNAL PSIKOLOGI TABULARASA

3. Volume & Nomor Halaman Volume 9, No. 2, Halaman 109-121

4. Tanggal Oktober 2020

5. Penulis Husnul Khotimah & Sofia Retnowati


https://media.neliti.com/media/publications/127413-ID-kecenderungan-psikopat-pada-
6. Link Unduh Jurnal
remaja-di-le.pdf
7. Pengantar Dewasa ini, terjadi peningkatan berbagai penyimpangan perilaku yang
dilakukan oleh anak maupun remaja. Penyimpangan perilaku yang ditunjukkan anak
maupun remaja, seperti conduct disorder (CD), kenakalan remaja hingga tindakan
kriminal memiliki faktor risiko untuk mengalami gangguan yang lebih parah di
perkembangan hidup selanjutnya. American Psychiatric Association (dalam Hare &
Neumann, 2009) menjelaskan psikopat merupakan istilah lain dari gangguan
kepribadian antisosial, yaitu gangguan kepribadian yang biasanya secara terus menerus
melakukan perilaku antisosial, tidak menghiraukan dan melanggar hak orang lain.
Sebagian besar orang dengan gangguan kepribadian antisosial belum tentu psikopat,
sedangkan sebagian besar dari mereka yang psikopat memenuhi kriteria diagnostik
gangguan kepribadian antisosial (Hare & Neumann, 2009).
Psikopat umumnya dianggap sebagai gangguan kepribadian, yang didefinisikan
sebagai sekumpulan sifat interpersonal, emosional, gaya hidup dan sifat-sifat serta
perilaku antisosial, termasuk harga diri yang berlebih, egosentris, penuh tipuan, emosi
dangkal, kurang empati dan penyesalan, tidak bertanggungjawab, impulsif, dan
cenderung melanggar norma sosial (Hare & Neumann, 2009). Cooke dan Michie
(2001) menjelaskan dimensi-dimensi psikopat menjadi tiga dimensi penting (dalam
Farrington, 2005), yaitu: An Arrogant, Deceitful Interpersonal Style (ADI), meliputi
pesona palsu, berpusat pada diri sendiri atau harga diri yang berlebihan, berbohong
patologis, menipu, manipulasi dan penuh tipu daya.
Salah satu faktor eksternal yang dapat memicu munculnya psikopat adalah
kualitas hubungan yang dialami individu dengan orang tua (pengasuh utama) pada usia
dini. Teori kelekatan yang dikemukan oleh Bowlby (dalam Smith, 2011) menekankan
pentingnya kualitas hubungan anak dan orang tua pada awal kehidupan. Mengetahui
tipologi kelekatan seorang anak, maka memungkinkan untuk mewaspadai adanya
risiko tertentu dan dapat segera mungkin melakukan sesuatu untuk mencegahnya.
Menurut Meloy (2003), kelekatan pengabaian merupakan bentuk kelekatan yang
esktrim, serta ditemukan pada individu psikopat. Artinya, tingkah laku yang tidak
matang dari individu psikopat disebabkan karena kebutuhan-kebutuhan akan cinta,
dukungan dan penerimaan tidak dipenuhi oleh orang tuanya dan kegagalan dalam
memenuhi serta memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut menghalangi
perkembangan ke tahap-tahap berikutnya.
Penelitian ini bertujuan menguji hipotesis adanya hubungan kelekatan anak-orang tua
8. Tujuan Penelitian
terhadap kecenderungan psikopat.
Subjek penelitian ini sebanyak 80 remaja laki-laki, di Lembaga Pemasyarakatan Kelas
II A Anak Blitar. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive
Subjek Penilitian & Teknik sampling (Arikunto, 2002), dengan mengacu pada kriteria yang sudah ditentukan,
9.
Pengambilan Sampel
yaitu; berjenis kelamin laki-laki, usia 11-18 tahun, memiliki kedua orang tua lengkap
dan bukan peserta uji coba.
Pengambilan data menggunakan dua skala likert (Azwar, 2011) yaitu skala
10. Teknik Pengumpulan Data
kecenderungan psikopat dan skala kelekatan anak-orang tua.
Untuk menguji hipotesis penelitian, maka penelitian ini menggunakan tehnik analisis
11. Teknik Analis Data
regresi.
12. Hasil Penelitian Persamaan garis regresi Y= 85.000–0.243X. Berdasarkan hasil persamaan garis
regresi tersebut dapat diprediksi tinggi rendahnya kecenderungan psikopat berdasarkan
kelekatan anak-orang tua. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai kelekatan anak-orang
tua = -0.243, bertanda negatif, menyatakan bahwa jika skor pada variabel kelekatan
anak-orang tua meningkat satu satuan, maka skor kecenderungan psikopat menurun
sebesar 0,185 satuan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan negatif antara kelekatan
anak-orang tua dengan kecenderungan psikopat pada remaja di Lembaga
Pemasyarakatan, yakni semakin aman kelekatan anak-orang tua maka semakin kecil
kecenderungan psikopatnya, begitu juga sebaliknya.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, hipotesis yang diajukan terbukti
kebenarannya yaitu kelekatan anak-orang tua dapat mempengaruhi kecenderungan
psikopat. Sumbangan efektif kelekatan anak-orang tua terhadap kecenderungan
psikopat sebesar 13.7%, sisanya 86.3% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak menjadi
fokus dalam penelitian ini.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Arrigo dan Griffin (2004) dapat disimpulkan
bahwa selama masa kanak-kanak, individu yang mengalami ketidakkonsistenan dalam
perhatian, serta pengasuhan yang penuh emosional, dan kekerasan fisik serta pelecahan
seksual oleh pengasuh, dapat menjadikan anak kurang mampu mengembangkan empati
terhadap orang lain.
Individu yang memiliki pengalaman kelekatan tidak aman cenderung tidak
percaya pada orang lain, kurang mampu memberikan cinta kasih, simpati kepada orang
lain, kehilangan perasaan sosial dan kemanusiaan serta tidak pernah belajar
memandang orang lain sebagai subjek. Semua hal tersebut merupakan ciri-ciri dari
psikopat. Akar psikopat merupakan fakta tentang individu yang tidak pernah belajar
untuk melihat orang lain sebagai subjek (Van den Berg & TI Oei, 2009).
Hasil analisis deskriptif pada penelitian ini menunjukkan bahwa subjek memiliki
kecenderungan psikopat yang tinggi sebanyak 44 orang (55%), sedang 30 orang (37%)
dan rendah 6 orang (8%). Hasil ini mungkin dapat menjelaskan bahwa subjek yang
terlibat kenakalan remaja maupun kriminalitas memiliki faktor risiko yang tinggi untuk
dikaitkan dengan gangguan psikopat (Marsee, ddk., 2005), namun, bukan berarti orang
yang melakukan kriminalitas adalah individu dengan psikopat. Meskipun perilaku
antisosial dan perilaku kriminalitas memiliki hubungan yang kuat, tidak semua
kriminalis menunjukkan tanda-tanda psikopati dan tidak semua orang dengan
kepribadian psikopati menjadi kriminalis (Lilienfeld & Andrews, dalam Nevid, Rathus,
& Greene, 2003). Secara keseluruhan, hasil penelitian Cale dan Lilienfeld (dalam
Kotler & McMahon, 2005) menunjukkan bahwa psikopat lebih banyak terjadi di laki-
laki daripada perempuan untuk sampel orang dewasa. Hal ini dikarenakan gangguan
conduct disorder secara konsisten banyak ditemukan di anak laki-laki (Kotler &
McMahon, 2005).
13. Kesimpulan Secara kesuluruhan penelitian ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya,
yakni ada hubungan negatif antara kelekatan anak-orang tua dengan kecenderungan
psikopat pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan. Semakin aman kelekatan anak
orang tua maka semakin kecil kecenderungan psikopatnya, begitu juga sebaliknya.
Dalam penelitian ini variabel kelekatan anak-orang tua menyumbang 13.7%
terhadap kecenderungan psikopat pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan. Sisanya
86,3% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak menjadi fokus dalam penelitian ini.
Faktor-faktor yang dimungkinkan menjadi prediktor bagi munculnya kecenderungan
psikopat adalah jenis kelamin (Cale & Lilienfield, dalam Kotler & McMahon, 2005),
konflik keluarga (Farrington, 2006), ukuran keluarga (Farrington, 2006), sosioekonomi
rendah (Farrington, 2006), dan lingkungan di luar keluarga, seperti teman sebaya
(Farrington, 2006).
Bagi peneliti lain yang akan menggunakan pokok bahasan yang sama, hendaknya
menggunakan metode penelitian maupun alat ukur yang lain, sehingga dapat
14. Saran
memberikan hasil yang yang handal dan akurat mengenai adanya kecenderungan
psikopat pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan.

No. Bagian Jurnal Isi


GANGGUAN KEPRIBADIAN PSIKOPAT PADA NARAPIDANA DI LEMBAGA
1. Judul
PEMASYARAKATAN

2. Jurnal JURNAL ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

3. Volume & Nomor Halaman Volume 8, No 5, Hal. : 1210-1219

4. Tanggal 2021

5. Penulis Ayu Purnama Sari & Iman Santoso

6. Link Unduh Jurnal http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/nusantara/article/view/5171

7. Pengantar Lembaga Pemasyarakatan atau yang biasanya dikenal dengan sebutan Lapas
adalah suatu tempat untuk membina narapidana maupun anak didik pemasyarakatan
yang tersandung kasus hukum. Narapidana adalah seorang terpidana yang sedang
menjalani hilang kemerdekaan di sebuah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), hal ini
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Seorang narapidana memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti manusia pada
umunya walaupun sebagian hak-haknya di rampas oleh negara untuk sementara waktu.
Over kapasitas merupakan salah satu problematika yang terjadi di Lembaga
Pemasyarakatan disebabkan karena jumlah penghuni Lapas yang meningkat. Dengan
keadaan lapas yang mengalami overcapasitas menyebabkan sering terjadinya
pelanggaran atau kejahatan di dalam Lapas itu sendiri. Dalam beberapa kasus yang
terjadi di Lembaga Pemasyarakatan, narapidana juga dapat mengalami gangguan
kepribadian atau gangguan mental. Dalam sebuah studi di Amerika yang mempelajari
mengenai narapidana menemukan bahwa lebih dari 20 persen narapidana disebuah
penjara menengan setempat merupakan pengidap psikopat dengan tingkat psikopati
yang berbeda dari rendah, sedang, hingga tinggi melalui tes otak MRI pada lebih dari
120 narapidana atau napi.
Artikel ini membahas mengenai gangguan psikopat atau antisosial yang terjadi pada
8. Tujuan Penelitian
narapidana
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif.
Penelitian ini disusun dengan menggunakan kajian literatur dan dokumen, yaitu

9. Metode Penelitian literatur barupa bukubuku, makalah ataupun jenis tulisan lainnya dan juga kajian
terhadap berbagai macam dokumen yang terkait dengan topik gangguan kepribadian
psikopat pada narapidana yang diangkat dalam penelitian ini.
10. Hasil Penelitian Banyak ragam dari gangguan mental, salah satu dari sekian banyaknya yakni
gangguan kepribadian psikopat atau yang biasa dikenal juga dengan istilah antisosial
atau Antisocial Personality Disorder (ASPD). Antisocial Personality Disorder (ASPD)
atau psikopat adalah suatu gangguan keperibadian yang ditandai dengan sikap yang
kasar, tidak sensitive atau tidak peka dengan situasi sekitar, mencari sensasi dan
pastinya antisosial. Psikopat ditandai dengan perilaku yang impulsive, tidak mengikuti
serta mengabaikan norma-norma yang ada di masyarakat, antisosial, serta tidak
memiliki perasaan bersalah maupun takut kepada siapa saja. Sungguh ini merupakan
salah satu kelainan psikis yang sangat mengerikan.
Psikopat itu sendiri berbeda dengan sosiopat. Meskipun keduanya termasuk ke
dalam kelompok gangguan kepribadian antisosial. Seperti yang kita ketahui orang yang
mengidap psikopat tidak dapat merasakan perasaan emosi. Psikopat hanya berpura-
pura menunjukkan perasaan empati, ia mempelajari respon dari orang lain. Sedangkan
orang sosiopat masih bisa merasakan perasaan empatinya kepada orang laindan
cenderung impulsive, mengabaikan norma-norma social di masyarakat serta semena-
mena. Seorang sosiopat lebih mudah gelisah dibandigkan dengan penderita psikopat.
Pelaku psikopat tidak hanya berasal dari kalangan kaum pria namun juga bisa dialami
oleh kaum wanita.
Psikopat merupakan salah satu gangguan kesehatan, dengan kata lain narapidana
atau warga binaan pemasyarakatan yang ada di Lapas yang terdeteksi mengalami
gangguan psikopat merupakan orang yang membutuhkan perawatan ektra dengan
perlindungan sebagai pasien. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga
Pemasyarakatan maupun Peraturan Pemerintah No.99/2012 tidak mengatur hukuman
bagi napi yang mengalami gangguan kejiwaan selama dalam Lapas. Narapidana yang
mengalami gangguan mental, sebagaimana adanya peraturan yang telah disebutkan tadi
dapat menghabiskan masa tahanannya dalam rumah sakit jiwa untuk kemudian
mendapatkan rehabilitasi atau perawatan yang maskisimal supaya mereka dapat
sembuh dari penyakit gangguan psikopatnya. Meskipun narapidana tersebut berhak
pendapatkan terapi dan treatment dari para ahli, namun hukuman di Lapas juga harus
di berlakukan mengingat orang dengan gangguan psikopat yang melakukan tindak
kriminalitas melakukannya secara sadar. Maka dari itu pekerja social yang bergelut di
bidang koreksional harus mengusut bagaimana narapidana yang termasuk ke dalam
golongan orang psikopat bisa mendapatkan haknya yakni pengobatan atau sekedar
terapi tentunya secara adil tanpa diskriminasi. Pekerja social dapat bekerja sama
dengan pihak psikolog maupun pihak medis untuk mengetahui apakah seseorang
memiliki gangguan psikopat atau tidak.
Beberapa tujuan pekerjaan social dibidang koreksional yaitu : Membantu
narapidana agar dapat beradaptasi, Membantu narapadina untuk bisa memahami
dirinya sendiri, lalu berelasi denga narapidana lainnya, Membantu narapidana dalam
proses reintegrasi, Membantu narapidana dalam bertingkah laku dan melakukan
perubahan sikap, Turut serta membantu narapidana dalam hal memperbaiki
hubungannya. Pekerja sosial sangat dibutuhkan dalam hal mengatasi permasalahan-
permasalahan yang dialami oleh narapidana di dalam Lapas, terkhusus narapidana yang
mengalami gangguan mental dalam hal ini gangguan psikopat.
Salah satu perannya yakni dalam membantu narapidana yang bersangkutan
merubah tingkah laku agar dapat menyesuaikan dirinya dengan orang lain serta
lingkungan sosialnya, dengan dapat melakukan beberapa cara yaitu : merubah
lingkungan menjadi lingkungan dengan iklim yang sehat dan aman serta memberikan
pemahaman yang baik tentang diri. Pekerja social yang bekerja dibidang koreksional
banyak berurusan dan berhadapan dengan narapidana, keluarga narapidana serta pihak-
pihak eksternal yang mempunyai keterkaitan dengan pembebasan narapidana tersebut.
Dalam hubunganya dengan bidang koreksional, pekerja social memiliki peranan,
diantaranya sebagai berikut : Peran sebagai advocate, Peran sebagai Konselor, Peran
sebagai Penghubung, dan Peran sebagai Motivator.
Narapidana gangguan psikopat dapat diberikan terapi yakni terapi kognitif serta
analisa menyeluruh terhadap keluarga dan lingkungan dari narapidana yang sudah
positif mengidap gangguan psikopat. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengurangi obsesinya yang berlebihan untuk melakukan perbuatan atau
tindakantindakan yang menyimpang dan juga mencegah kembali orang yang
mengalami gangguan psikopat untuk melakukan tindakan criminal.
Narapidana yang termasuk kedalam kategori psikopat perlu mendapatkan penanganan
ekstra. Tidak hanya dari pihak petugas pemasyarakatan di Lapas tersebut namun
perlunya peran serta dari pihak pekerja sosial. Pekerja social diperlukan dalam konteks
koreksional. Diperlukannya pemahaman serta kemampuan menelaah narapidana yang
mengidap gangguan psikopat dan bagaimana mereka dapat menerima serta

11. Kesimpulan menjalanlan hukumannya. Maka dari itu dibutuhkannya kerjasama. Pekerja sosial
dalam ranah koreksional dapat membantu kepolisian untuk dapat mengetahui apakah
seseorang narapidana mempunyai gangguan psikopat atau tidak pada dirinya untuk
dapat membantu mereka menentukan hukuman apa yang di terima mereka dengan dan
pekerja sosial dapat bekerja sama dengan pihak medis dan juga psikologi untuk
mengetahui hal tersebut.
Petugas pemasyarakatan di seluruh daerah dapat bekerjasama dengan pekerja sosial
serta lembaga terkait dalam hal penanganan narapidana yang mengidap gangguan
12. Saran
psikopat agar penanganan terhadap narapidana tersebut dapat dilakukan secara
maksimal.

No. Bagian Jurnal Isi


EFEKTIVITAS SISTEM PERADILAN PIDANA DAN PEMBINAANNYA BAGI
1. Judul
PELAKU ANAK YANG MEMPUNYAI PENYAKIT PSIKOPAT

2. Jurnal JURNAL PENDIDIKAN DAN KONSELING

3. Volume & Nomor Halaman Volume 4, No 6, Halaman 2113 - 2124

4. Tanggal 2022

5. Penulis Fajar Iman Nugraha1, Sinta Nuriyah

6. Link Unduh Jurnal https://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/jpdk/article/view/8388

7. Pengantar Ketika seseorang belum mencapai umur 18 tahun dapat masih di kategorikan
seorang anak dan orang tua wajib memenuhi hak-hak anak pendidikan,pakaian yang
layak,makanan yang memenuhi kebutuhan gizinya dan masih banyak lagi,selain itu
seorang anak juga mempuyai kewajiban seperti menghormati kedua orang tua,taat pada
orang tua. Orang tua atau keluarga adalah tempat bagi anak untuk
berlindung,mendapatkan kasih sayang dan juga mendapatkan hak mereka sebagai
anak,namun kadang banyak anak yang kurang beruntung lahir dari keluarga yang
broken,keluarga yang kurang memberikan kasih sayang kepada anak sehingga terjadi
juvenile deliquency,yang dapat di artikan dengan anak cacat sosial. Bagaimana jika
seorang anak melakukan perbuatan deliquency itu bukan karena dia memang tidak
mendapatkan perhatian dari orang tua atau lingkunganya melainkan karena dia
mempuyai suatu gangguan kejiwaan contohnya psikopat,psikopat adalah Penyakit jiwa
yang dianggap berbahaya dan merugikan masayrakat.
Untuk membahas proses sistem peradilan anak di indonesia bagi pelaku anak yang

8. Tujuan Penelitian mempuyai penyakit psikopat serta progam pembinaan dan pembimbingan terhadap
anak pelaku tindak pidana yang mempuyai penyakit psikopat
Metode peneltian menggunakan metode kuantitatif yang bersifat yuridis normatif ,
dimana metode yang digunakan deskripsi analisis. Dalam teknik pengumpulan data
9. Metode Penelitian
untuk memecahkan masalah, digunakan dengan teknik studi kepustakaan, yang
kemudian dilakukan analisis secara kuantitatif.
10. Hasil Penelitian Sistem peradilan pidana anak adalah sebuah sistem peradilan khusus anak yang
berhadapan atau berbuat tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak, anak wajib
di dampingi oleh orang tuanya sehingga anak lebih merasa tenang dan juga dalam
sistem peradilan pidana anak setiap anak di perlakukan layaknya tetap seorang anak.
Sistem peradilan anak sejatinya di bentuk untuk memfasilitasi atau melakukan
penengakan hukum serta kepastian hukum terhadap korban anak dan anak yang
berhadapan dengan hukum. Dalam penerapan dan juga pelaksanaanya peradilan pidana
anak memakai atau mengutamakan keadilan restoratif bahwa jika suatu permasalahan
tindak pidana di usahakan di selesaikan dengan menggunakan cara kekeluargaan.
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersamasama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Psikopat adalah ganguan kejiwaan terhadap seseorang dan tidak dapat
mengontrol emosinya serta dapat melampiaskan emosinya terhadap seseorang hanya
untuk kesenanganya,faktor dari psikopat atau seseorang dapat mengalami psikopat bisa
dari pengalaman buruk atau memang sudah ada bawaan sejak dari lahir karena kurang
dapat mengendalikan emosi dan cenderung melampiaskan emosi tersebut terhadap
seseorang.
Seorang anak yang melakukan tindak pidana belum berumur 12 tahun mempuyai
2 opsi yang akan di putuskan oleh pembimbing kemasyarakatan dan juga pekerja sosial
yang profesional yaitu seorang anak tersebut dapat di kembalikan kepada kedua orang
tua dengan catatan orang tua dapat menjamin bahwa anaknya akan mendapatkan
pengawasan serta pembimbinagan dari orang tua dan tenaga medis atau melakukan
pembingan dan pembinaan serta mengikuti progam yang ada di LPKS (lembaga
penyelenggara kesejahteraan sosial). Jadi jika kita berbicara bagaimana proses yang di
lakukan terhadap anak yang belum berumur 12 tahun dan melakukan tindakan hukum
serta di duga mempunyai gangguan kejiwaan seperti regulasi yang ada akan di lakukan
penyidikan serta litmas terhadap keluarga tau korban dengan melibatkan ahli
psikologis dalam gangguan kejiwaan agar anak tersebut dapat mendapatkan pembinaan
atau program dalam lembaga penyelenggara kesejahterahan sosial .yang pastinya nanti
akan mendapatkan pengawasan yang khsusus dan ketan terhadap anak tersebut.
Dalam hal pembimbingan anak memang harus menggunakan metode yang
berbeda agar anak dapat paham dan mengerti tentang program yang diberikan dalam
studi kasus yang di angkat dalam jurnal ini adalah anak yang mengalami gangguan
kejiwaan psikopat dan melakukan pembunuhan dalam hal ini jelas anak tersebut
melakukan tidak kejahatan dan dalam tindakan pembinaan tetap di lakukan sesuai
dengan prosedur pembinaan anak tetap memperhatikan hak-hak anak namun untuk
kasus anak yang memiliki ganguan kejiwaan seperti studi kasus yang kita ambil yaitu
kasus mary bell,anak tersebut tetap di berikan pembinaan sesuai dengan prosedur
namun dengan pengawasan yang ketat dari pihak LPKA dan pihak dokter psikologi
agar dapat melihat perkembangan pembinaan terhadap anak. Pembimbingan anak
harus selalu diarahkan untuk kepentingan terbaik bagi hidup anak, terjaminnya akan
kelangsungan terhadap hidup beserta tumbuh dan kembang seorang Anak, serta adanya
penghargaan akan adanya pendapat anak di dalam perspektif inilah peran dari negara
wajib dihadirkan, peran negara menjadi sangat penting menjamin kelangsungan hidup
dan tumbuh kembang anak. Ketika anak teresebut mendapatkan pembimbingan dengan
pengawasan khusus ada baiknya anak tersebut juga melakukan pengobatan kepada
psikoterapi agar selain anak tersebut mendapatkan pembimbingan yang baik dia juga
mendapatkan perawatan penyakit gangguan psikopatnya dan di harapkan dapat sembuh
juga nantinya tidak melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum.
11. Kesimpulan Seorang anak yang melakukan tindak pidana belum berumur 12 tahun
mempunyai 2 opsi yang akan di putuskan oleh pembimbing kemasyarakatan dan juga
pekerja sosial yang profesional yaitu seorang anak tersebut dapat di kembalikan kepada
kedua orang tua dengan catatan orang tua dapat menjamin bahwa anaknya akan
mendapatkan pengawasan serta pembimbingan dari orang tua dan tenaga medis atau
melakukan pembimbingan dan pembinaan serta mengikuti program yang ada di LPKS
(lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial).
Jadi selain anak dapat memperbaiki kepribadian dan kemandirian dari proses
pembinaan dan pembimbingan anak tersebut juga dapat sembuh dari gangguan
kejiwaan psikopatnya ketika mendapatkan perawatan kesehatan yang tepat dan di
harapkan tidak melakukan suatu tindak pidana atau melanggar norma setempat yang
berlaku.
Seorang anak tersebut diduga mempunyai gangguan mental atau kejiwaan hal tersebut
harus di buktikan dengan surat keterangan ahli dalam hal ini mungkin dokter psikologi
dan memang apabila benar maka pihak pengadilan anak akan menetapkan hal sesuai
dengan aturan hukum pada pasal 21 ayat 1 UU Nomor 11 tahun 2012 dan anak tersebut
12. Saran
dapat mendapatkan pembinaan dan pembimbingan yang tepat serta mendapatkan
pengobatan untuk penyembuhan bagi penyakit gangguan kejiwaannya, agar nantinya
ketika selesai dalam tahap pembinaan di LPKS atau LPKA anak tersebut dapat sembuh
dan tidak mengulangi tindakan pelanggaran hukum lagi.

No. Bagian Jurnal Isi


DO HIGH PSYCHOPATHS CARE MORE ABOUT MORAL CONSEQUENCES

1. Judul THAN LOW PSYCHOPATHS IN CHINESE CULTURE? AN EXPLORATION


USING THE CNI MODEL

2. Jurnal HEALTHCARE JOURNAL

3. Volume & Nomor Halaman Volume 8, No 505

4. Tanggal 2020

5. Penulis Shenglan Li, Daoqun Ding, Zhihui Wu, Liangliang Yi, Ji Lai and Le Dang

https://www.researchgate.net/publication/347108579_Do_High_Psychopaths_

6. Link Unduh Jurnal Care_More_about_Moral_Consequences_than_


Low_Psychopaths_in_Chinese_Culture_An_Exploration_Using_the_CNI_Model
7. Pengantar Definisi psikopati yang paling banyak diterima diusulkan oleh Profesor Hare,
seorang psikiater Kanada. Dia mendefinisikan jenis gangguan kepribadian ini sebagai
kombinasi dari hubungan interpersonal, pengalaman emosional, gaya hidup,
karakteristik antisosial, dan penampilan perilaku tidak bermoral. Hare mengembangkan
dan menyusun daftar periksa psikopati (PCL) untuk skrining psikopati. Menurut model
CNI, penilaian utilitarian berasal dari kepekaan terhadap konsekuensi yang relevan
secara moral, dan penilaian deontologis berasal dari kepekaan terhadap norma moral.
Model ini membagi penilaian moral menjadi tiga proses psikologis: kepekaan terhadap
konsekuensi (parameter C), kepekaan terhadap norma moral (parameter N), dan
preferensi umum untuk tidak bertindak versus tindakan (parameter I). Ketiga parameter
tersebut mewakili tiga proses psikologis yang mendasari di balik keputusan moral:
penilaian utilitarian, penilaian deontologis, dan kecenderungan.
Sedikit penelitian tentang pengaruh sifat psikopat pada penilaian moral dan mekanisme
psikologis yang mendasari latar belakang budaya Tionghoa. Dalam makalah ini, kami
8. Tujuan Penelitian
menggunakan model kreatif CNI (Konsekuensi, Norma, Kelambanan versus tindakan)
untuk mengukur reaksi subjek terhadap dilema moral.
900 mahasiswa dari tiga perguruan tinggi di Provinsi Hunan di China yang terdiri dari
9. Subjek & Objek Penelitian
282 laki-laki dan 587 perempuan.
Dalam penelitian ini, Skala Psikopat Levenson versi Cina , bahan model CNI, dan
model multinomial untuk menganalisis lebih lanjut hubungan antara karakteristik
psikopat dan penilaian moral utilitarian diterapkan. Model CNI diusulkan oleh
10. Metode Penelitian
Gawronski et al., yang dapat mengukur kepekaan subjek terhadap konsekuensi moral,
kepekaan terhadap norma moral, dan preferensi umum untuk kelambanan atau tindakan
dalam dilema moral.
11. Hasil Penelitian Dalam penelitian ini, kami menunjukkan bahwa orang dengan kecenderungan
psikopat tinggi cenderung membuat penilaian yang lebih utilitarian dalam dilema
moral dalam budaya Tionghoa. Temuan ini konsisten dengan hasil Bartels dan Yu Gao
et al. [27–33], tetapi berbeda dengan Cima [34]. Selain itu, kami menemukan bahwa
kelompok psikopati tinggi mendapat skor yang secara signifikan lebih rendah pada
kecenderungan deontologis (D) daripada kelompok psikopati rendah. Namun
kecenderungan utilitarianisme (U) kedua kelompok tersebut tidak berbeda nyata.
Defisit afektif orang dengan sifat psikopat tinggi dapat memengaruhi sistem
pemrosesan emosi mereka. Akibatnya, dalam dilema moral, kecenderungan psikopat
untuk membuat penilaian utilitarian mungkin hanya karena tekanan emosional mereka
akan berkurang dalam menyakiti individu lain. Hasil awal pendekatan disosiasi proses
mengungkapkan mekanisme psikologis di balik penilaian moral utilitarian psikopat.
Mereka menunjukkan bahwa subjek psikopati tinggi memiliki kepekaan yang
lebih rendah terhadap konsekuensi moral dan kepekaan yang lebih rendah terhadap
norma moral dibandingkan dengan subjek psikopat rendah dan preferensi umum
mereka untuk tidak bertindak versus tindakan. Secara umum, temuan ini lebih lanjut
menjelaskan hasil penelitian sebelumnya, yang juga menunjukkan bahwa orang dengan
sifat psikopat tinggi dalam budaya Cina lebih cenderung membuat penilaian utilitarian
daripada deontologis daripada psikopat rendah.
Orang dengan sifat psikopati tinggi lebih suka membuat penilaian moral yang lebih
utilitarian dan memiliki kepekaan yang lemah terhadap norma moral (N). Sensitivitas
terhadap konsekuensi (C) kedua kelompok tidak ada perbedaan yang signifikan.
12. Kesimpulan
Preferensi umum untuk kelambanan versus tindakan (I) juga tidak memiliki perbedaan
yang signifikan antara kedua kelompok tersebut. Selain itu, model CNI sangat cocok
untuk mata pelajaran Cina.
Dalam penelitian selanjutnya, ruang lingkup sampel dapat diperluas untuk
memverifikasi lebih lanjut hubungan antara psikopati dan penilaian moral dalam
13. Saran
subjek klinis. Penelitian di masa depan dapat menguji persamaan dan perbedaan antara
populasi klinis dan subjek psikopati subklinis dalam penilaian moral.

No. Bagian Jurnal Isi


THE CHARACTERISTICS OF MORAL JUDGMENT OF PSYCHOPATHS: THE
1. Judul
MEDIATING EFFECT OF THE DEONTOLOGICAL TENDENCY

2. Jurnal PSYCHOLOGY RESEARCH AND BEHAVIOR MANAGEMENT

3. Volume & Nomor Halaman Volume 13, Halaman 257–266

4. Tanggal 2020

5. Penulis Shenglan Li, Daoqun Ding, Ji Lai, Xiangyi Zhang, Zhihui Wu, Chang Liu

https://www.researchgate.net/publication/339785839

6. Link Unduh Jurnal _The_Characteristics_of_Moral_Judgment_of_


Psychopaths_The_Mediating_Effect_of_the_Deontological_Tendency
7. Pengantar Psikopati adalah gangguan kepribadian yang mencakup berbagai sifat interpersonal,
emosional, gaya hidup, dan antisosial serta manifestasi perilaku. Peneliti menemukan
bahwa ciri-ciri psikopat di penjara dan masyarakat umum hanya menunjukkan
perbedaan derajat. Selain itu, individu biasa menunjukkan fitur psikopat sebagai pasien
atau kejahatan. Oleh karena itu, peneliti mengembangkan banyak skala laporan diri
untuk menilai kecenderungan sifat psikopat pada populasi umum. Penelitian
membuktikan bahwa individu dengan tingkat psikopati yang tinggi memiliki defisit
emosional. Apakah individu-individu ini hanya memiliki perbedaan dalam
kecenderungan deontologis dan tidak ada perbedaan dalam kecenderungan utilitarian?
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penekanan ekspresif atau perasaan kurang
dapat secara selektif mengurangi kecenderungan deontologis tetapi bukan
kecenderungan utilitarian. Oleh karena itu, individu dengan psikopati tinggi dan rendah
berbeda dalam hal kecenderungan deontologis. Di bawah latar belakang budaya
Tionghoa, kami berhipotesis bahwa individu dengan psikopati tinggi akan membuat
lebih sedikit penilaian moral deontologis dalam dilema moral daripada individu dengan
psikopati rendah. Asumsi ini tidak dipengaruhi oleh peningkatan kecenderungan
utilitarian tetapi oleh penurunan kecenderungan deontologis.
Banyak penelitian mengeksplorasi hubungan antara penilaian moral dan psikopati
dalam budaya barat, namun mekanisme yang mendasari hubungan ini masih belum

8. Tujuan Penelitian jelas. Sejauh ini, tidak ada penelitian tentang topik ini di latar belakang budaya
Tionghoa. Dalam studi saat ini, kami mengadopsi salah satu pendekatan disosiasi
proses kreatif untuk mengeksplorasi hubungan antara psikopat dan penilaian moral.
Subjel penelitian ini adalah 167 peserta berusia di atas 18 tahun, terdiri dari 83 laki-laki
9. Subjek & Objek Penelitian
dan 84 perempuan. Mereka yang berusia antara 18 dan 25 tahun.
Mengadopsi Levenson Self-Report Psychopathic Scale, versi Cina dari Reaktivitas

10. Metode Penelitian Interpersonal dan pendekatan Proses-disosiasi untuk mengeksplorasi hubungan antara
psikopat dan penilaian moral.
11. Hasil Penelitian Dalam penelitian ini, paradigma disosiasi proses digunakan untuk menyelidiki
karakteristik penilaian moral di antara populasi psikopat dan untuk membahas
mekanisme internalnya. Alasan mengapa psikopat cenderung membuat penilaian moral
deontologis yang lebih sedikit mungkin karena mereka kurang memperhatikan
kerusakan individu tetapi tidak untuk keuntungan tambahan. Individu dengan psikopati
tinggi dapat membuat keputusan yang dapat meningkatkan manfaat dari populasi yang
luas. Namun, mereka bertindak seperti itu mungkin karena mereka tidak peduli dengan
mereka yang akan dirugikan. Individu dengan psikopati tinggi cenderung menerima
perilaku yang merugikan dalam penilaian moral. Cacat emosional psikopat
memengaruhi sistem pemrosesan emosional mereka. Kemampuan reaksi yang lemah
terhadap rasa sakit orang lain berkorelasi dengan berkurangnya rasa bersalah dan
empati serta peningkatan agresi instrumen. Penjahat dengan kecenderungan psikopat
memiliki angka residivis yang tinggi, khususnya untuk kejahatan kekerasan.
Mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit ini, peneliti dan dokter klinis harus
mengetahui karakteristik kognitif moral dan aturan perkembangannya di antara
populasi psikopat. Studi ini menemukan bahwa penilaian dilema moral psy chopath
dipengaruhi oleh kecenderungan deontologis yang sebagian besar melibatkan
pemrosesan emosional.
Individu dengan psikopati tinggi cenderung membuat lebih sedikit penilaian moral
deontologis karena kecenderungan deontologis mereka yang menurun daripada
kecenderungan utilitarian mereka yang meningkat. Mereka mungkin membuat lebih
12. Kesimpulan
banyak pilihan penerimaan bukan untuk meningkatkan kesejahteraan sebagian besar
orang, tetapi karena penerimaan mereka yang meningkat untuk menyakiti orang lain.
dilema moral.
Di penelitian selanjutnya diharapkan indeks fisiologis dapat digabungkan untuk
13. Saran
mencatat karakteristik penilaian moral psikopat serta ukuran sampel dapat diperluas.
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil review dari jurnal dan penelitian tentang perilaku psikopat diatas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa psikopat umumnya dianggap sebagai gangguan kepribadian, yang
didefinisikan sebagai sekumpulan sifat interpersonal, emosional, gaya hidup dan sifat-sifat serta
perilaku antisosial, termasuk harga diri yang berlebih, egosentris, penuh tipuan, emosi dangkal,
kurang empati dan penyesalan, tidak bertanggungjawab, impulsif, dan cenderung melanggar
norma sosial (Hare & Neumann, 2009). Cooke dan Michie (2001) menjelaskan dimensi-dimensi
psikopat menjadi tiga dimensi penting (dalam Farrington, 2005), yaitu: An Arrogant, Deceitful
Interpersonal Style (ADI), meliputi pesona palsu, berpusat pada diri sendiri atau harga diri yang
berlebihan, berbohong patologis, menipu, manipulasi dan penuh tipu daya.
Psikopat itu sendiri berbeda dengan sosiopat. Meskipun keduanya termasuk ke dalam
kelompok gangguan kepribadian antisosial. Seperti yang kita ketahui orang yang mengidap
psikopat tidak dapat merasakan perasaan emosi. Psikopat hanya berpura-pura menunjukkan
perasaan empati, ia mempelajari respon dari orang lain. Sedangkan orang sosiopat masih bisa
merasakan perasaan empatinya kepada orang laindan cenderung impulsive, mengabaikan norma-
norma social di masyarakat serta semena-mena. Seorang sosiopat lebih mudah gelisah
dibandigkan dengan penderita psikopat.
Salah satu faktor eksternal yang dapat memicu munculnya psikopat adalah kualitas
hubungan yang dialami individu dengan orang tua (pengasuh utama) pada usia dini. Teori
kelekatan yang dikemukan oleh Bowlby (dalam Smith, 2011) menekankan pentingnya kualitas
hubungan anak dan orang tua pada awal kehidupan. Mengetahui tipologi kelekatan seorang anak,
maka memungkinkan untuk mewaspadai adanya risiko tertentu dan dapat segera mungkin
melakukan sesuatu untuk mencegahnya. Menurut Meloy (2003), kelekatan pengabaian
merupakan bentuk kelekatan yang esktrim, serta ditemukan pada individu psikopat. Artinya,
tingkah laku yang tidak matang dari individu psikopat disebabkan karena kebutuhan-kebutuhan
akan cinta, dukungan dan penerimaan tidak dipenuhi oleh orang tuanya dan kegagalan dalam
memenuhi serta memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut menghalangi perkembangan ke
tahap-tahap berikutnya.
Menurut saya salah satu cara yang dapat dilakukan sebagai bentuk upaya untuk
mencegah dan mengatasi munculnya perilaku psikopat adalah dengan cara Interpersonal
Psychotherapy (IPT). Interpersonal Psychotherapy (IPT) adalah sebuah psikoterapi yang
memiliki batasan waktu yang jelas, berfokus pada hubungan interpersonal, dan memiliki tujuan
untuk menghilangkan gejala dan meningkatkan fungsi interpersonal individu (Robertson,
Rushton, & Wurm, 2008). Prinsip utama dalam IPT adalah bahwa depresi dan distres muncul
dalam sebuah konteks interpersonal. Depresi mungkin memiliki berbagai macam penyebab dan
etiologi, namun trigger dari kemunculan episode-episode depresif yang dialami oleh klien
melibatkan adanya gangguan dalam attachment dengan figur-figur yang menurut klien
significant, atau hambatan dalam menjalankan peran sosial tertentu. Bowlby mengemukakan
bahwa manusia memiliki kecenderungan mendasar untuk membangun ikatan afeksi
(attachments) dengan orang lain, dan adanya gangguan atau ancaman terhadap ikatan ini dapat
menyebabkan distres emosional, kesedihan, dan pada beberapa kasus mungkin bisa
menyebabkan depresi. Untuk itu, sejak masa awal kehidupan, manusia sudah memiliki
kebutuhan untuk membangun ikatan yang kuat dan tahan lama dengan caregivers. Attachments
dengan caregiver ini yang kemudian menjadi dasar bagi setiap individu untuk membangun
kemampuan mengonstruksi dan mempertahankan konsep mental mengenai ‘diri’ dan ‘orang lain’
serta hubungan antara keduanya. Dengan demikian, secara tidak langsung individu juga belajar
untuk mengorganisasi kognisi, afek, dan tingkah laku mereka menyangkut diri mereka dan
hubungannya dengan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai