4. Tanggal 2021
7. Pengantar Lembaga Pemasyarakatan atau yang biasanya dikenal dengan sebutan Lapas
adalah suatu tempat untuk membina narapidana maupun anak didik pemasyarakatan
yang tersandung kasus hukum. Narapidana adalah seorang terpidana yang sedang
menjalani hilang kemerdekaan di sebuah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), hal ini
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Seorang narapidana memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti manusia pada
umunya walaupun sebagian hak-haknya di rampas oleh negara untuk sementara waktu.
Over kapasitas merupakan salah satu problematika yang terjadi di Lembaga
Pemasyarakatan disebabkan karena jumlah penghuni Lapas yang meningkat. Dengan
keadaan lapas yang mengalami overcapasitas menyebabkan sering terjadinya
pelanggaran atau kejahatan di dalam Lapas itu sendiri. Dalam beberapa kasus yang
terjadi di Lembaga Pemasyarakatan, narapidana juga dapat mengalami gangguan
kepribadian atau gangguan mental. Dalam sebuah studi di Amerika yang mempelajari
mengenai narapidana menemukan bahwa lebih dari 20 persen narapidana disebuah
penjara menengan setempat merupakan pengidap psikopat dengan tingkat psikopati
yang berbeda dari rendah, sedang, hingga tinggi melalui tes otak MRI pada lebih dari
120 narapidana atau napi.
Artikel ini membahas mengenai gangguan psikopat atau antisosial yang terjadi pada
8. Tujuan Penelitian
narapidana
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif.
Penelitian ini disusun dengan menggunakan kajian literatur dan dokumen, yaitu
9. Metode Penelitian literatur barupa bukubuku, makalah ataupun jenis tulisan lainnya dan juga kajian
terhadap berbagai macam dokumen yang terkait dengan topik gangguan kepribadian
psikopat pada narapidana yang diangkat dalam penelitian ini.
10. Hasil Penelitian Banyak ragam dari gangguan mental, salah satu dari sekian banyaknya yakni
gangguan kepribadian psikopat atau yang biasa dikenal juga dengan istilah antisosial
atau Antisocial Personality Disorder (ASPD). Antisocial Personality Disorder (ASPD)
atau psikopat adalah suatu gangguan keperibadian yang ditandai dengan sikap yang
kasar, tidak sensitive atau tidak peka dengan situasi sekitar, mencari sensasi dan
pastinya antisosial. Psikopat ditandai dengan perilaku yang impulsive, tidak mengikuti
serta mengabaikan norma-norma yang ada di masyarakat, antisosial, serta tidak
memiliki perasaan bersalah maupun takut kepada siapa saja. Sungguh ini merupakan
salah satu kelainan psikis yang sangat mengerikan.
Psikopat itu sendiri berbeda dengan sosiopat. Meskipun keduanya termasuk ke
dalam kelompok gangguan kepribadian antisosial. Seperti yang kita ketahui orang yang
mengidap psikopat tidak dapat merasakan perasaan emosi. Psikopat hanya berpura-
pura menunjukkan perasaan empati, ia mempelajari respon dari orang lain. Sedangkan
orang sosiopat masih bisa merasakan perasaan empatinya kepada orang laindan
cenderung impulsive, mengabaikan norma-norma social di masyarakat serta semena-
mena. Seorang sosiopat lebih mudah gelisah dibandigkan dengan penderita psikopat.
Pelaku psikopat tidak hanya berasal dari kalangan kaum pria namun juga bisa dialami
oleh kaum wanita.
Psikopat merupakan salah satu gangguan kesehatan, dengan kata lain narapidana
atau warga binaan pemasyarakatan yang ada di Lapas yang terdeteksi mengalami
gangguan psikopat merupakan orang yang membutuhkan perawatan ektra dengan
perlindungan sebagai pasien. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga
Pemasyarakatan maupun Peraturan Pemerintah No.99/2012 tidak mengatur hukuman
bagi napi yang mengalami gangguan kejiwaan selama dalam Lapas. Narapidana yang
mengalami gangguan mental, sebagaimana adanya peraturan yang telah disebutkan tadi
dapat menghabiskan masa tahanannya dalam rumah sakit jiwa untuk kemudian
mendapatkan rehabilitasi atau perawatan yang maskisimal supaya mereka dapat
sembuh dari penyakit gangguan psikopatnya. Meskipun narapidana tersebut berhak
pendapatkan terapi dan treatment dari para ahli, namun hukuman di Lapas juga harus
di berlakukan mengingat orang dengan gangguan psikopat yang melakukan tindak
kriminalitas melakukannya secara sadar. Maka dari itu pekerja social yang bergelut di
bidang koreksional harus mengusut bagaimana narapidana yang termasuk ke dalam
golongan orang psikopat bisa mendapatkan haknya yakni pengobatan atau sekedar
terapi tentunya secara adil tanpa diskriminasi. Pekerja social dapat bekerja sama
dengan pihak psikolog maupun pihak medis untuk mengetahui apakah seseorang
memiliki gangguan psikopat atau tidak.
Beberapa tujuan pekerjaan social dibidang koreksional yaitu : Membantu
narapidana agar dapat beradaptasi, Membantu narapadina untuk bisa memahami
dirinya sendiri, lalu berelasi denga narapidana lainnya, Membantu narapidana dalam
proses reintegrasi, Membantu narapidana dalam bertingkah laku dan melakukan
perubahan sikap, Turut serta membantu narapidana dalam hal memperbaiki
hubungannya. Pekerja sosial sangat dibutuhkan dalam hal mengatasi permasalahan-
permasalahan yang dialami oleh narapidana di dalam Lapas, terkhusus narapidana yang
mengalami gangguan mental dalam hal ini gangguan psikopat.
Salah satu perannya yakni dalam membantu narapidana yang bersangkutan
merubah tingkah laku agar dapat menyesuaikan dirinya dengan orang lain serta
lingkungan sosialnya, dengan dapat melakukan beberapa cara yaitu : merubah
lingkungan menjadi lingkungan dengan iklim yang sehat dan aman serta memberikan
pemahaman yang baik tentang diri. Pekerja social yang bekerja dibidang koreksional
banyak berurusan dan berhadapan dengan narapidana, keluarga narapidana serta pihak-
pihak eksternal yang mempunyai keterkaitan dengan pembebasan narapidana tersebut.
Dalam hubunganya dengan bidang koreksional, pekerja social memiliki peranan,
diantaranya sebagai berikut : Peran sebagai advocate, Peran sebagai Konselor, Peran
sebagai Penghubung, dan Peran sebagai Motivator.
Narapidana gangguan psikopat dapat diberikan terapi yakni terapi kognitif serta
analisa menyeluruh terhadap keluarga dan lingkungan dari narapidana yang sudah
positif mengidap gangguan psikopat. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengurangi obsesinya yang berlebihan untuk melakukan perbuatan atau
tindakantindakan yang menyimpang dan juga mencegah kembali orang yang
mengalami gangguan psikopat untuk melakukan tindakan criminal.
Narapidana yang termasuk kedalam kategori psikopat perlu mendapatkan penanganan
ekstra. Tidak hanya dari pihak petugas pemasyarakatan di Lapas tersebut namun
perlunya peran serta dari pihak pekerja sosial. Pekerja social diperlukan dalam konteks
koreksional. Diperlukannya pemahaman serta kemampuan menelaah narapidana yang
mengidap gangguan psikopat dan bagaimana mereka dapat menerima serta
11. Kesimpulan menjalanlan hukumannya. Maka dari itu dibutuhkannya kerjasama. Pekerja sosial
dalam ranah koreksional dapat membantu kepolisian untuk dapat mengetahui apakah
seseorang narapidana mempunyai gangguan psikopat atau tidak pada dirinya untuk
dapat membantu mereka menentukan hukuman apa yang di terima mereka dengan dan
pekerja sosial dapat bekerja sama dengan pihak medis dan juga psikologi untuk
mengetahui hal tersebut.
Petugas pemasyarakatan di seluruh daerah dapat bekerjasama dengan pekerja sosial
serta lembaga terkait dalam hal penanganan narapidana yang mengidap gangguan
12. Saran
psikopat agar penanganan terhadap narapidana tersebut dapat dilakukan secara
maksimal.
4. Tanggal 2022
7. Pengantar Ketika seseorang belum mencapai umur 18 tahun dapat masih di kategorikan
seorang anak dan orang tua wajib memenuhi hak-hak anak pendidikan,pakaian yang
layak,makanan yang memenuhi kebutuhan gizinya dan masih banyak lagi,selain itu
seorang anak juga mempuyai kewajiban seperti menghormati kedua orang tua,taat pada
orang tua. Orang tua atau keluarga adalah tempat bagi anak untuk
berlindung,mendapatkan kasih sayang dan juga mendapatkan hak mereka sebagai
anak,namun kadang banyak anak yang kurang beruntung lahir dari keluarga yang
broken,keluarga yang kurang memberikan kasih sayang kepada anak sehingga terjadi
juvenile deliquency,yang dapat di artikan dengan anak cacat sosial. Bagaimana jika
seorang anak melakukan perbuatan deliquency itu bukan karena dia memang tidak
mendapatkan perhatian dari orang tua atau lingkunganya melainkan karena dia
mempuyai suatu gangguan kejiwaan contohnya psikopat,psikopat adalah Penyakit jiwa
yang dianggap berbahaya dan merugikan masayrakat.
Untuk membahas proses sistem peradilan anak di indonesia bagi pelaku anak yang
8. Tujuan Penelitian mempuyai penyakit psikopat serta progam pembinaan dan pembimbingan terhadap
anak pelaku tindak pidana yang mempuyai penyakit psikopat
Metode peneltian menggunakan metode kuantitatif yang bersifat yuridis normatif ,
dimana metode yang digunakan deskripsi analisis. Dalam teknik pengumpulan data
9. Metode Penelitian
untuk memecahkan masalah, digunakan dengan teknik studi kepustakaan, yang
kemudian dilakukan analisis secara kuantitatif.
10. Hasil Penelitian Sistem peradilan pidana anak adalah sebuah sistem peradilan khusus anak yang
berhadapan atau berbuat tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak, anak wajib
di dampingi oleh orang tuanya sehingga anak lebih merasa tenang dan juga dalam
sistem peradilan pidana anak setiap anak di perlakukan layaknya tetap seorang anak.
Sistem peradilan anak sejatinya di bentuk untuk memfasilitasi atau melakukan
penengakan hukum serta kepastian hukum terhadap korban anak dan anak yang
berhadapan dengan hukum. Dalam penerapan dan juga pelaksanaanya peradilan pidana
anak memakai atau mengutamakan keadilan restoratif bahwa jika suatu permasalahan
tindak pidana di usahakan di selesaikan dengan menggunakan cara kekeluargaan.
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersamasama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Psikopat adalah ganguan kejiwaan terhadap seseorang dan tidak dapat
mengontrol emosinya serta dapat melampiaskan emosinya terhadap seseorang hanya
untuk kesenanganya,faktor dari psikopat atau seseorang dapat mengalami psikopat bisa
dari pengalaman buruk atau memang sudah ada bawaan sejak dari lahir karena kurang
dapat mengendalikan emosi dan cenderung melampiaskan emosi tersebut terhadap
seseorang.
Seorang anak yang melakukan tindak pidana belum berumur 12 tahun mempuyai
2 opsi yang akan di putuskan oleh pembimbing kemasyarakatan dan juga pekerja sosial
yang profesional yaitu seorang anak tersebut dapat di kembalikan kepada kedua orang
tua dengan catatan orang tua dapat menjamin bahwa anaknya akan mendapatkan
pengawasan serta pembimbinagan dari orang tua dan tenaga medis atau melakukan
pembingan dan pembinaan serta mengikuti progam yang ada di LPKS (lembaga
penyelenggara kesejahteraan sosial). Jadi jika kita berbicara bagaimana proses yang di
lakukan terhadap anak yang belum berumur 12 tahun dan melakukan tindakan hukum
serta di duga mempunyai gangguan kejiwaan seperti regulasi yang ada akan di lakukan
penyidikan serta litmas terhadap keluarga tau korban dengan melibatkan ahli
psikologis dalam gangguan kejiwaan agar anak tersebut dapat mendapatkan pembinaan
atau program dalam lembaga penyelenggara kesejahterahan sosial .yang pastinya nanti
akan mendapatkan pengawasan yang khsusus dan ketan terhadap anak tersebut.
Dalam hal pembimbingan anak memang harus menggunakan metode yang
berbeda agar anak dapat paham dan mengerti tentang program yang diberikan dalam
studi kasus yang di angkat dalam jurnal ini adalah anak yang mengalami gangguan
kejiwaan psikopat dan melakukan pembunuhan dalam hal ini jelas anak tersebut
melakukan tidak kejahatan dan dalam tindakan pembinaan tetap di lakukan sesuai
dengan prosedur pembinaan anak tetap memperhatikan hak-hak anak namun untuk
kasus anak yang memiliki ganguan kejiwaan seperti studi kasus yang kita ambil yaitu
kasus mary bell,anak tersebut tetap di berikan pembinaan sesuai dengan prosedur
namun dengan pengawasan yang ketat dari pihak LPKA dan pihak dokter psikologi
agar dapat melihat perkembangan pembinaan terhadap anak. Pembimbingan anak
harus selalu diarahkan untuk kepentingan terbaik bagi hidup anak, terjaminnya akan
kelangsungan terhadap hidup beserta tumbuh dan kembang seorang Anak, serta adanya
penghargaan akan adanya pendapat anak di dalam perspektif inilah peran dari negara
wajib dihadirkan, peran negara menjadi sangat penting menjamin kelangsungan hidup
dan tumbuh kembang anak. Ketika anak teresebut mendapatkan pembimbingan dengan
pengawasan khusus ada baiknya anak tersebut juga melakukan pengobatan kepada
psikoterapi agar selain anak tersebut mendapatkan pembimbingan yang baik dia juga
mendapatkan perawatan penyakit gangguan psikopatnya dan di harapkan dapat sembuh
juga nantinya tidak melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum.
11. Kesimpulan Seorang anak yang melakukan tindak pidana belum berumur 12 tahun
mempunyai 2 opsi yang akan di putuskan oleh pembimbing kemasyarakatan dan juga
pekerja sosial yang profesional yaitu seorang anak tersebut dapat di kembalikan kepada
kedua orang tua dengan catatan orang tua dapat menjamin bahwa anaknya akan
mendapatkan pengawasan serta pembimbingan dari orang tua dan tenaga medis atau
melakukan pembimbingan dan pembinaan serta mengikuti program yang ada di LPKS
(lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial).
Jadi selain anak dapat memperbaiki kepribadian dan kemandirian dari proses
pembinaan dan pembimbingan anak tersebut juga dapat sembuh dari gangguan
kejiwaan psikopatnya ketika mendapatkan perawatan kesehatan yang tepat dan di
harapkan tidak melakukan suatu tindak pidana atau melanggar norma setempat yang
berlaku.
Seorang anak tersebut diduga mempunyai gangguan mental atau kejiwaan hal tersebut
harus di buktikan dengan surat keterangan ahli dalam hal ini mungkin dokter psikologi
dan memang apabila benar maka pihak pengadilan anak akan menetapkan hal sesuai
dengan aturan hukum pada pasal 21 ayat 1 UU Nomor 11 tahun 2012 dan anak tersebut
12. Saran
dapat mendapatkan pembinaan dan pembimbingan yang tepat serta mendapatkan
pengobatan untuk penyembuhan bagi penyakit gangguan kejiwaannya, agar nantinya
ketika selesai dalam tahap pembinaan di LPKS atau LPKA anak tersebut dapat sembuh
dan tidak mengulangi tindakan pelanggaran hukum lagi.
4. Tanggal 2020
5. Penulis Shenglan Li, Daoqun Ding, Zhihui Wu, Liangliang Yi, Ji Lai and Le Dang
https://www.researchgate.net/publication/347108579_Do_High_Psychopaths_
4. Tanggal 2020
5. Penulis Shenglan Li, Daoqun Ding, Ji Lai, Xiangyi Zhang, Zhihui Wu, Chang Liu
https://www.researchgate.net/publication/339785839
8. Tujuan Penelitian jelas. Sejauh ini, tidak ada penelitian tentang topik ini di latar belakang budaya
Tionghoa. Dalam studi saat ini, kami mengadopsi salah satu pendekatan disosiasi
proses kreatif untuk mengeksplorasi hubungan antara psikopat dan penilaian moral.
Subjel penelitian ini adalah 167 peserta berusia di atas 18 tahun, terdiri dari 83 laki-laki
9. Subjek & Objek Penelitian
dan 84 perempuan. Mereka yang berusia antara 18 dan 25 tahun.
Mengadopsi Levenson Self-Report Psychopathic Scale, versi Cina dari Reaktivitas
10. Metode Penelitian Interpersonal dan pendekatan Proses-disosiasi untuk mengeksplorasi hubungan antara
psikopat dan penilaian moral.
11. Hasil Penelitian Dalam penelitian ini, paradigma disosiasi proses digunakan untuk menyelidiki
karakteristik penilaian moral di antara populasi psikopat dan untuk membahas
mekanisme internalnya. Alasan mengapa psikopat cenderung membuat penilaian moral
deontologis yang lebih sedikit mungkin karena mereka kurang memperhatikan
kerusakan individu tetapi tidak untuk keuntungan tambahan. Individu dengan psikopati
tinggi dapat membuat keputusan yang dapat meningkatkan manfaat dari populasi yang
luas. Namun, mereka bertindak seperti itu mungkin karena mereka tidak peduli dengan
mereka yang akan dirugikan. Individu dengan psikopati tinggi cenderung menerima
perilaku yang merugikan dalam penilaian moral. Cacat emosional psikopat
memengaruhi sistem pemrosesan emosional mereka. Kemampuan reaksi yang lemah
terhadap rasa sakit orang lain berkorelasi dengan berkurangnya rasa bersalah dan
empati serta peningkatan agresi instrumen. Penjahat dengan kecenderungan psikopat
memiliki angka residivis yang tinggi, khususnya untuk kejahatan kekerasan.
Mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit ini, peneliti dan dokter klinis harus
mengetahui karakteristik kognitif moral dan aturan perkembangannya di antara
populasi psikopat. Studi ini menemukan bahwa penilaian dilema moral psy chopath
dipengaruhi oleh kecenderungan deontologis yang sebagian besar melibatkan
pemrosesan emosional.
Individu dengan psikopati tinggi cenderung membuat lebih sedikit penilaian moral
deontologis karena kecenderungan deontologis mereka yang menurun daripada
kecenderungan utilitarian mereka yang meningkat. Mereka mungkin membuat lebih
12. Kesimpulan
banyak pilihan penerimaan bukan untuk meningkatkan kesejahteraan sebagian besar
orang, tetapi karena penerimaan mereka yang meningkat untuk menyakiti orang lain.
dilema moral.
Di penelitian selanjutnya diharapkan indeks fisiologis dapat digabungkan untuk
13. Saran
mencatat karakteristik penilaian moral psikopat serta ukuran sampel dapat diperluas.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil review dari jurnal dan penelitian tentang perilaku psikopat diatas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa psikopat umumnya dianggap sebagai gangguan kepribadian, yang
didefinisikan sebagai sekumpulan sifat interpersonal, emosional, gaya hidup dan sifat-sifat serta
perilaku antisosial, termasuk harga diri yang berlebih, egosentris, penuh tipuan, emosi dangkal,
kurang empati dan penyesalan, tidak bertanggungjawab, impulsif, dan cenderung melanggar
norma sosial (Hare & Neumann, 2009). Cooke dan Michie (2001) menjelaskan dimensi-dimensi
psikopat menjadi tiga dimensi penting (dalam Farrington, 2005), yaitu: An Arrogant, Deceitful
Interpersonal Style (ADI), meliputi pesona palsu, berpusat pada diri sendiri atau harga diri yang
berlebihan, berbohong patologis, menipu, manipulasi dan penuh tipu daya.
Psikopat itu sendiri berbeda dengan sosiopat. Meskipun keduanya termasuk ke dalam
kelompok gangguan kepribadian antisosial. Seperti yang kita ketahui orang yang mengidap
psikopat tidak dapat merasakan perasaan emosi. Psikopat hanya berpura-pura menunjukkan
perasaan empati, ia mempelajari respon dari orang lain. Sedangkan orang sosiopat masih bisa
merasakan perasaan empatinya kepada orang laindan cenderung impulsive, mengabaikan norma-
norma social di masyarakat serta semena-mena. Seorang sosiopat lebih mudah gelisah
dibandigkan dengan penderita psikopat.
Salah satu faktor eksternal yang dapat memicu munculnya psikopat adalah kualitas
hubungan yang dialami individu dengan orang tua (pengasuh utama) pada usia dini. Teori
kelekatan yang dikemukan oleh Bowlby (dalam Smith, 2011) menekankan pentingnya kualitas
hubungan anak dan orang tua pada awal kehidupan. Mengetahui tipologi kelekatan seorang anak,
maka memungkinkan untuk mewaspadai adanya risiko tertentu dan dapat segera mungkin
melakukan sesuatu untuk mencegahnya. Menurut Meloy (2003), kelekatan pengabaian
merupakan bentuk kelekatan yang esktrim, serta ditemukan pada individu psikopat. Artinya,
tingkah laku yang tidak matang dari individu psikopat disebabkan karena kebutuhan-kebutuhan
akan cinta, dukungan dan penerimaan tidak dipenuhi oleh orang tuanya dan kegagalan dalam
memenuhi serta memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut menghalangi perkembangan ke
tahap-tahap berikutnya.
Menurut saya salah satu cara yang dapat dilakukan sebagai bentuk upaya untuk
mencegah dan mengatasi munculnya perilaku psikopat adalah dengan cara Interpersonal
Psychotherapy (IPT). Interpersonal Psychotherapy (IPT) adalah sebuah psikoterapi yang
memiliki batasan waktu yang jelas, berfokus pada hubungan interpersonal, dan memiliki tujuan
untuk menghilangkan gejala dan meningkatkan fungsi interpersonal individu (Robertson,
Rushton, & Wurm, 2008). Prinsip utama dalam IPT adalah bahwa depresi dan distres muncul
dalam sebuah konteks interpersonal. Depresi mungkin memiliki berbagai macam penyebab dan
etiologi, namun trigger dari kemunculan episode-episode depresif yang dialami oleh klien
melibatkan adanya gangguan dalam attachment dengan figur-figur yang menurut klien
significant, atau hambatan dalam menjalankan peran sosial tertentu. Bowlby mengemukakan
bahwa manusia memiliki kecenderungan mendasar untuk membangun ikatan afeksi
(attachments) dengan orang lain, dan adanya gangguan atau ancaman terhadap ikatan ini dapat
menyebabkan distres emosional, kesedihan, dan pada beberapa kasus mungkin bisa
menyebabkan depresi. Untuk itu, sejak masa awal kehidupan, manusia sudah memiliki
kebutuhan untuk membangun ikatan yang kuat dan tahan lama dengan caregivers. Attachments
dengan caregiver ini yang kemudian menjadi dasar bagi setiap individu untuk membangun
kemampuan mengonstruksi dan mempertahankan konsep mental mengenai ‘diri’ dan ‘orang lain’
serta hubungan antara keduanya. Dengan demikian, secara tidak langsung individu juga belajar
untuk mengorganisasi kognisi, afek, dan tingkah laku mereka menyangkut diri mereka dan
hubungannya dengan orang lain.