1
Itu berdampak pada di kehidupan publik. Dimana perempuan
dianggap “kurang mampu” menempati posisi-posisi di ruang publik.
Bagi para feminis, ini dianggap ketidakadilan. Penganut feminis
penggugat masalah seperti itu. Mereka mengajukan berbagai
argumen untuk mengupayakan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan.
Masalah Kodrat
2
menyepakati perempuan yang mencari nafkah. Artinya, masalah
peran sosial (baca: gender) bukan kodrati. Itu adalah konstruksi
sosial.
Karena itu, suami harus bekerja, dan istri mendapat nafkah dari
hasil kerja itu. Konstruksi semacam ini sudah lazim karena kita telah
menyaksikan praktik semacam itu selama ratusan atau bahkan
ribuan tahun lamanya di berbagai wilayah.
3
Namun cukup masuk akal jika seorang suami mengatakan pada
istrinya, “Anda mengurus masalah rumah tangga, dan saya akan
melakukan pekerjaan di luar rumah untuk nafkah kita.” Jika ini
didudukkan sebagai kesepakatan (baca: konstruksi sosial), maka
tidak ada masalah. Karena bisa dibuat kesepakatan sebaliknya.
Namun, ini akan menjadi masalah jika hal itu dianggap sebagai
kodrat.
Namun, teori otot itu, jika dibawa dalam konteks kekinian akan
cukup bermasalah. Misalnya, jika pekerjaan yang butuh tenaga
dipegang laki-laki, mengapa pekerjaan yang tidak butuh otot seperti
mejadi anggota parlemen, menjadi jaksa, menjadi pengacara, dan
berbagai macam pekerjaan yang tidak begitu perlu otot tidak
didominasi oleh perempuan yang biasanya berbadan kurus namun
berpenampilan rapi?
Selain itu, faktor yang cukup signifikan tentang teori otot adalah,
bahwa tidak ada kaitan antara kekuatan otot dan struktur sosial atau
politik. Bukankah buruh dengan otot kekar pada umumnya harus
patuh pada manager?
4
Namun, hari ini, teori agresi juga bisa dipertanyakan. Seorang
CEO yang mengendalikan banyak pekerja tidak selalu diisi oleh laki-
laki. Yang artinya, struktur sosial dunia modern tidak cukup relevan
lagi mengakomodir teori agresi. Dan dunia hari ini lebih
menghendaki wilayah yang damai dari pada reruntuhan bekas
perang. Karena pasar yang ramai dianggap lebih menguntungkan
dari pada reruntuhan. Konsepsi seperti itu sudah lazim dewasa ini,
kecuali mungkin bagi penjual senjata dan perlengkapan perang.
Terlepas dari ketiga teori di atas, struktur sosial dewasa ini sudah
cukup mumpuni untuk membentuk konstruksi sosial yang baru. Yang
artinya, ketiga teori tersebut sudah tidak cukup relevan untuk
konteks dunia modern hari ini.
5
Namun, apa yang membuat laki-laki hari ini masih tampak
superior? Sehingga kita lebih mudah menerima laki-laki sebagai
pencari nafkah dan perempuan sebagai penerima nafkah? Dan
mengapa kewajiban itu tidak melekat pada keduanya? Atau bahkan
sebaliknya?
Ketiga teori tersebut di atas, baik teori otot, teori agresi, maupun
teori reproduksi, mungkin salah satunya memberikan dampak
superior terhadap laki-laki. Dan selama ribuan tahun, gen itu
tertanam dalam spesies manusia. Dan manusia belum cukup mampu
menanamkan gen kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Rekonstruksi Tentang Hak Nafkah
Inilah yang menjadi dasar legal bagi istri untuk menuntut nafkah
di pengadilan jika suami lalai memberikan nafkah. Selain itu, lalai
dalam memberikan nafkah bisa menjadi alasan bagi istri untuk
mengajukan perceraian, jika karena masalah itu antara mereka terus-
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi. Ini yang sering terjadi dalam praktiknya.
Karena itu, kita tidak heran jika relasi semacam itu terus
diamalkan. Khususnya bagi masyarakat Islam. Namun, struktur
dunia modern memungkinkan kita untuk membentuk konstruksi
6
sosial yang setara antara laki-laki dan perempuan. Dan itu juga akan
berdampak pada hak dan kewajiban, termasuk juga dalam soal
nafkah.
7
mendapatkan gaji dan tunjangan tetap yang jumlahnya cukup
lumayan besar. Sementara suami bekerja apa adanya, yang
pendapatannya mungkin tidak sebesar pendapatan istri. Apakah
dalam kondisi demikian istri masih berhak nafkah dari suami? Dan
suami masih punya keharusan untuk memberi nafkah? Ataukah
sebaliknya?
8
Sehingga, ke depan, kita tidak perlu merasa aneh jika perempuan
berposisi sebagai pencari nafkah. Karena itu bisa saja dibolak-balik.
Tergantung bagaimana konstruksi sosial yang dibentuk dalam
konteks ini. Karena itu bukan kodrati. Adapun soal regulasi, itu bisa
saja dengan mudah menyesuaikan. Dengan mendudukkan regulasi
legal sebagai akumulasi dari kehendak publik, maka itu bukan lagi
menjadi masalah. []
9
Tentang Penulis
10