Anda di halaman 1dari 10

Emansipasi Perempuan dan

Pengaruhnya Terhadap Hak Nafkah


Oleh: M. Khusnul Khuluq, S.Sy., M.H.
Hakim Pengadilan Agama Sungai Penuh

B eberapa dekade terakhir, gerakan emansipasi perempuan


mencuat. Di mana perempuan mulai menghendaki persamaan
hak antara laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki bekerja di laur
rumah, perempuan juga harus demikian. Jika laki-laki berhak duduk
di parlemen, maka begitu juga perempuan. Singkat kata, perempuan
dikehendaki tidak hanya mengisi sektor domestik (baca: persoalan
rumah tangga). Namun, juga berhak mengisi ruang publik.

Gerakan semacam ini, dipelopori oleh para feminis. Feminis


adalah orang yang menyadari ada ketidaksetaraan antara laki-laki
dan perempuan, dan mereka sekaligus berusaha untuk
mengupayakan kesetaraan antara mereka. Karena itu, seorang
feminis tidak harus perempuan.

Di dalam Islam, hampir disepakati bahwa seorang kepala rumah


tangga adalah seorang laki-laki (baca: suami). Adapun perempuan
(baca: istri) adalah seorang makmum. Hal ini sering kali didasarkan
pada salah satu ayat Alquran yang menyatakan bahwa, “Laki-laki
lebih kuat dibandingkan perempuan.” (QS. An-Nisa' 4: Ayat 34)

Tanpa menelisik konteks ayat tersebut, telah tertanam dalam


kesadaran sebagian masyarakat muslim bahwa laki-laki lebih kuat,
sehingga layak menjadi pemimpin. Sebagaimana seorang laki-laki
menjadi imam salat. Termasuk juga dalam masalah rumah tangga.
Berbanding terbalik dengan perempuan, di mana perempuan
menempati posisi kedua.

1
Itu berdampak pada di kehidupan publik. Dimana perempuan
dianggap “kurang mampu” menempati posisi-posisi di ruang publik.
Bagi para feminis, ini dianggap ketidakadilan. Penganut feminis
penggugat masalah seperti itu. Mereka mengajukan berbagai
argumen untuk mengupayakan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan.
Masalah Kodrat

Salah satu perdebatan dalam masalah ini adalah konsepsi tentang


kodrat. Bahwa, sudah menjadi kodrat bagi perempuan untuk
mengurus rumah tangga, sementara laki-laki bekerja di luar rumah,
mencari nafkah, dan termasuk juga menduduki jabatan di wilayah
publik. Sementara perempuan kodratnya mengurus anak, mengurus
rumah tangga, dan tidak perlu bekerja di luar rumah.

Untuk memahami konsep kodrat, kita perlu memahami konsep


gender dan jenis kelamin. Gender adalah peran sosial yang
dimainkan seseorang dalam kehidupan sosial. Misalnya, seseorang
memerankan pekerjaan sebagai seorang guru, tukang batu, kepala
desa, dan seterusnya. Itu adalah peran sosial. Siapa yang harusnya
memerankan peran itu, itu bersifat konstruksi sosial. Bukan kodrat.

Konstruksi sosial merujuk pada kesepakatan suatu masyarakat.


Artinya, siapa yang harusnya bekerja mencari nafkah, apakah
seorang laki-laki atau perempuan, itu adalah konstruksi sosial. Itu
merupakan kesepakatan. Yang artinya, kita tidak perlu heran jika
dalam suatu masyarakat yang bekerja adalah istri. Sementara suami
mengurus anak, mencuci piring dan menyapu lantai.

Seorang laki-laki yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan


perempuan yang bekerja mencari nafkah, itu terasa sedikit aneh
karena masyarakat kita tidak/belum menyepakati pola yang
demikian. Dan yang disepakati adalah sebaliknya. Di mana suami
bekerja mencari nafkah dan istri mengerjakan pekerjaan rumah
tangga. Namun, akan menjadi lazim jika masyarakat telah

2
menyepakati perempuan yang mencari nafkah. Artinya, masalah
peran sosial (baca: gender) bukan kodrati. Itu adalah konstruksi
sosial.

Ini berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin merujuk pada


masalah biologis. Dia merujuk pada hal-hal yang tidak bisa diubah.
Misalnya, seorang perempuan yang mempunyai rahim dan kelenjar
susu. Dia memang dilahirkan demikian. Itu adalah kodrat. Meski
masyarakat menyepakati bahwa perempuan dilahirkan tidak punya
rahim, itu tidak akan merubah fakta bahwa perempuan dilahirkan
memiliki rahim.

Artinya, fakta bahwa perempuan mempunyai rahim dan kelenjar


susu, itulah kodrat perempuan. Namun, perempuan sebagai ibu
rumah tangga, itu bukan kodrat. Tapi konstruksi sosial. Karena dia
tidak dilahirkan demikian.

Jadi, kita perlu membedakan antara gender dan jenis kelamin.


Bahwa gender adalah soal peran sosial. Dan itu adalah konstruksi
sosial, bukan kodrat. Sementara yang merujuk pada masalah biologis
seperti perempuan mempunyai rahim dan kelenjar susu, serta laki-
laki yang mempunyai organ yang tidak dimiliki perempuan, itu
adalah kodrat.

Gen yang Tertanam

Dalam masyarakat Islam, hampir disepakati bahwa seorang suami


adalah kepala rumah tangga. Sedangkan istri menempati posisi yang
dipimpin. Atau semacam anggota kompi yang harus patuh kepada
kapten. Suami punya tanggung jawab memenuhi nafkah untuk
istrinya.

Karena itu, suami harus bekerja, dan istri mendapat nafkah dari
hasil kerja itu. Konstruksi semacam ini sudah lazim karena kita telah
menyaksikan praktik semacam itu selama ratusan atau bahkan
ribuan tahun lamanya di berbagai wilayah.

3
Namun cukup masuk akal jika seorang suami mengatakan pada
istrinya, “Anda mengurus masalah rumah tangga, dan saya akan
melakukan pekerjaan di luar rumah untuk nafkah kita.” Jika ini
didudukkan sebagai kesepakatan (baca: konstruksi sosial), maka
tidak ada masalah. Karena bisa dibuat kesepakatan sebaliknya.
Namun, ini akan menjadi masalah jika hal itu dianggap sebagai
kodrat.

Namun, sangat minim sekali penjelasan mengapa yang terjadi


adalah demikian? Kenapa tidak sebaliknya? Mungkin, penjelasan
yang bersifat historis seperti teori otot bisa sedikit memberi
gambaran. Teori ini mengatakan bahwa laki-laki memiliki otot yang
lebih kuat, sehingga pekerjaan penting seperti membajak sawah
banyak dilakukan laki-laki. Dan itu berpengaruh pada struktur sosial.

Namun, teori otot itu, jika dibawa dalam konteks kekinian akan
cukup bermasalah. Misalnya, jika pekerjaan yang butuh tenaga
dipegang laki-laki, mengapa pekerjaan yang tidak butuh otot seperti
mejadi anggota parlemen, menjadi jaksa, menjadi pengacara, dan
berbagai macam pekerjaan yang tidak begitu perlu otot tidak
didominasi oleh perempuan yang biasanya berbadan kurus namun
berpenampilan rapi?

Selain itu, faktor yang cukup signifikan tentang teori otot adalah,
bahwa tidak ada kaitan antara kekuatan otot dan struktur sosial atau
politik. Bukankah buruh dengan otot kekar pada umumnya harus
patuh pada manager?

Teori kedua adalah teori perang/agresi. Dalam kondisi perang


terbuka, laki-laki dianggap lebih siap menusuk lawan dengan tombak
dari pada perempuan. Perempuan kurang bisa menghadapi
kebrutalan itu. Kebiasaan memegang kendali atas pasukan dalam
agresi kemudian berdampak pada struktur sosial. Ini berdampak pada
relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.

4
Namun, hari ini, teori agresi juga bisa dipertanyakan. Seorang
CEO yang mengendalikan banyak pekerja tidak selalu diisi oleh laki-
laki. Yang artinya, struktur sosial dunia modern tidak cukup relevan
lagi mengakomodir teori agresi. Dan dunia hari ini lebih
menghendaki wilayah yang damai dari pada reruntuhan bekas
perang. Karena pasar yang ramai dianggap lebih menguntungkan
dari pada reruntuhan. Konsepsi seperti itu sudah lazim dewasa ini,
kecuali mungkin bagi penjual senjata dan perlengkapan perang.

Ketiga, adalah teori reproduksi. Di mana perempuan dilahirkan


dengan berkah untuk melakukan reproduksi. Para laki-laki bersaing
untuk mendapatkan (baca: mengawini) perempuan yang menjadi
idaman. Seiring waktu, gen kompetisi itu tertanam dalam sejarah.
Sementara perempuan tidak perlu melakukan persaingan untuk
menemukan siapa yang akan mengawininya.

Di sisi lain, perempuan harus mengandung anak selama lebih dari


sembilan bulan. Ini adalah masa-masa yang melelahkan. Dalam
kondisi itu, perempuan butuh laki-laki untuk mendapatkan
makanan. Dan begitu anak lahir, dia masih harus mengurus bayi itu
untuk beberapa tahun supaya bayi itu bisa hidup. Relasi semacam ini
terus diamalkan. Sehingga gen subordinat perempuan dan
superioritas laki-laki mengakar sepanjang sejarah.

Penjelasan semacam ini cukup masuk akal. Namun, ada


penjelasan yang cukup menarik. Bahwa hewan seperti gajah dan
simpanse, justru menerapkan sistem sosial yang sebaliknya. Di mana
meski para pejantan mereka bekerja di luar rumah mencari makanan,
kontrol sosial tetap ada pada para betina mereka.

Terlepas dari ketiga teori di atas, struktur sosial dewasa ini sudah
cukup mumpuni untuk membentuk konstruksi sosial yang baru. Yang
artinya, ketiga teori tersebut sudah tidak cukup relevan untuk
konteks dunia modern hari ini.

5
Namun, apa yang membuat laki-laki hari ini masih tampak
superior? Sehingga kita lebih mudah menerima laki-laki sebagai
pencari nafkah dan perempuan sebagai penerima nafkah? Dan
mengapa kewajiban itu tidak melekat pada keduanya? Atau bahkan
sebaliknya?

Ketiga teori tersebut di atas, baik teori otot, teori agresi, maupun
teori reproduksi, mungkin salah satunya memberikan dampak
superior terhadap laki-laki. Dan selama ribuan tahun, gen itu
tertanam dalam spesies manusia. Dan manusia belum cukup mampu
menanamkan gen kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Rekonstruksi Tentang Hak Nafkah

Di dalam peraturan perundang-undangan, khususnya untuk


masyarakat Islam di Indonesia, istri berhak mendapatkan nafkah dari
suami dalam masa pernikahan, terutama nafkah untuk kebutuhan
sehari-hari. Dan di sisi lain, mencari dan memberikan nafkah
merupakan kewajiban laki-laki sebagai suami.

Inilah yang menjadi dasar legal bagi istri untuk menuntut nafkah
di pengadilan jika suami lalai memberikan nafkah. Selain itu, lalai
dalam memberikan nafkah bisa menjadi alasan bagi istri untuk
mengajukan perceraian, jika karena masalah itu antara mereka terus-
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi. Ini yang sering terjadi dalam praktiknya.

Dan di dalam gugatan perceraian, nafkah yang dilalaikan itu juga


bisa dituntut oleh istri. Baik bersamaan dengan gugatan perceraian
maupun diajukan secara tersendiri. Persoalan legal seperti itu
memperkuat persepsi publik, bahwa kewajiban nafkah memang
kewajiban laki-laki sebagai suami. Dan di sisi lain, perempuan
sebagai istri berhak atas nafkah dari suami.

Karena itu, kita tidak heran jika relasi semacam itu terus
diamalkan. Khususnya bagi masyarakat Islam. Namun, struktur
dunia modern memungkinkan kita untuk membentuk konstruksi

6
sosial yang setara antara laki-laki dan perempuan. Dan itu juga akan
berdampak pada hak dan kewajiban, termasuk juga dalam soal
nafkah.

Hari ini, kita sudah banyak melihat perempuan di Negara-Negara


semenanjung Arabia yang menonton pertandingan sepak bola atau
mengemudikan mobil. Ini adalah berita baik bagi perkembangan
emansipasi perempuan setelah sebelumnya kita jarang mendengar
hal semacam itu.

Dan di Indonesia, kita juga sudah biasa melihat perempuan


mengisi sektor publik. Seperti menjadi manajer, menjadi pengacara,
menjadi hakim, bahkan mengisi jabatan politik. Dan bahkan kita
sudah pernah melihat seorang perempuan menduduki posisi sebagai
seorang kepala negara.

Ini adalah kemajuan yang baik dalam soal kesetaraan gender.


Namun, itu tampak belum maksimal. Seperti, masih sedikitnya
perempuan yang mengisi parlemen. Dan masih dianggap aneh jika
seorang laki-laki menangani masalah rumah tangga sebagai
pekerjaan pokoknya.

Emansipasi semacam itu, harusnya berpengaruh terhadap hak


nafkah bagi seorang perempuan. Misalnya, seorang istri yang bekerja
sebagai anggota dewan, dan suami fokus mengurus rumah tangga.
Ini adalah contoh yang ekstrim untuk memberikan gambaran
tentang emansipasi perempuan dan kaitannya degan hak nafkah.

Dalam kondisi demikian, apakah perempuan tersebut masih


berhak atas nafkah dari suami? Dan haruskah seorang istri yang
berprofesi sebagai anggota dewan tersebut menuntut hak nafkah
ketika suami lalai beberapa bulan tidak memberikan nafkah
untuknya? Ataukah sebaiknya, suami yang berhak nafkah dari istri?

Dalam kehidupan nyata, mungkin tidak persis seperti itu. Namun,


bisa terjadi dalam bentuk yang lebih halus dari itu. Seperti, seorang
istri yang berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), di mana dia

7
mendapatkan gaji dan tunjangan tetap yang jumlahnya cukup
lumayan besar. Sementara suami bekerja apa adanya, yang
pendapatannya mungkin tidak sebesar pendapatan istri. Apakah
dalam kondisi demikian istri masih berhak nafkah dari suami? Dan
suami masih punya keharusan untuk memberi nafkah? Ataukah
sebaliknya?

Meski keduanya, suami dan istri sama-sama bekerja. Bisa saja


pendapatannya berbeda. Dan dalam kondisi tertentu pendapatan
perempuan bisa lebih besar. Apakah dalam situasi seperti ini suami
masih harus memberi nafkah? Dan perempuan masih berhak atas
nafkah dari suami?

Dengan menyadari bahwa siapa yang berperan sebagai pencari


nafkah adalah masalah gender (baca: peran sosial), dan gender itu
sepenuhnya adalah konstruksi sosial, kita akan menyadari bahwa itu
adalah soal kesepakatan. Yang artinya, kita tidak perlu
mempertahankan mati-matian bahwa pencari nafkah adalah laki-
laki karena posisinya sebagai suami. Dan kita tidak perlu menolak
mati-matian pola sebaliknya.

Dari situ pula, kita bisa melihat kemungkinan pergeseran hak


nafkah. Di mana hak nafkah hanya bagian kecil dari konstruksi sosial.
Yang artinya, ketika perempuan telah mendapat status yang
sederajat dengan laki-laki, atau bahkan lebih tinggi, maka hak nafkah
tersebut mengalami pergeseran. Bisa jadi hak mendapat nafkah itu
tidak lagi menjadi hak, atau bahkan berpindah pada laki-laki.
Kesimpulan

Dengan menyadari bahwa masalah gender adalah konstruksi


sosial, dalam hal ini kita bisa membuat konstruksi sosial yang baru.
Meski gen laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai
pemegang hak atas nafkah masih tertanam di dalam kesadaran
spesies manusia, namun struktur dunia modern memungkinkan gen
itu untuk bermutasi.

8
Sehingga, ke depan, kita tidak perlu merasa aneh jika perempuan
berposisi sebagai pencari nafkah. Karena itu bisa saja dibolak-balik.
Tergantung bagaimana konstruksi sosial yang dibentuk dalam
konteks ini. Karena itu bukan kodrati. Adapun soal regulasi, itu bisa
saja dengan mudah menyesuaikan. Dengan mendudukkan regulasi
legal sebagai akumulasi dari kehendak publik, maka itu bukan lagi
menjadi masalah. []

9
Tentang Penulis

Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Hukum Islam Program


Doktor (HIPD), Universitas Islam Indonesia (UII). Menyelesaikan
studi S1 dan S2 di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Sejak
2020 telah menulis 21 buku dengan berbagai judul. Tiga belas buku
ditulis sendiri. Delapan buku lainnya ditulis secara kolaboratif
bersama penulis lain.

Juga telah menulis lebih dari 40 artikel dengan berbagai judul


di website resmi Badan Peradilan Agama
https://badilag.mahkamahagung.go.id. Juga telah menulis puluhan
artikel yang dimuat di berbagai media seperti rahma.id, ibtimes.id,
qureta.com, smartjudges.id, modernis.co, dan kalimahsawa.id.

Saat ini mengabdikan diri sebagai hakim di Pengadilan Agama


Sungai Penuh, Jambi. Serta sebagai mediator di instansi tersebut.
Juga sebagai salah satu Tim Redaktur Majalah Badan Peradilan
Agama (BADILAG). Serta terus aktif menulis di beberapa media.
Korespondensi dengan penulis dapat melalui e-mail:
muhammadkhusnul38@gmail.com

10

Anda mungkin juga menyukai