Anda di halaman 1dari 27

Pengaruh Dewan Komisaris Independen dan Kepemilikan

Manajerial terhadap Return on asset (ROA)


pada PT. Adaro Energy Tbk,
periode 2014-2018

1. Latar Belakang

Good Corporate Governance (GCG) dimulai pada awal 80-an di mana

manajer Amerika telah mengabaikan kepentingan pemegang saham yang

menyebabkan jatuhnya harga saham. Istilah Good Corporate Governance (GCG)

pertama kali diperkenalkan oleh Cadburry Report pada tahun 1992. Cadburry

Report dianggap sebagai titik tolak praktik GCG di seluruh dunia. Tiga area utama

yang menjadi perhatian komite Cadburry adalah Board of Director (BOD), Audit,

dan Pemegang Saham. Definisi menurut FCGI (2001) GCG sebagai susunan

aturan yang menentukan hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditor,

pemerintah, karyawan dan stakeholder internal dan eksternal yang lain sesuai

dengan hak dan tanggung jawabnya.

Skandal GCG yang pernah terjadi seperti jatuhnya Lehman Brothers di

tahun 2008 menjadi pukulan berat bagi perekonomian Amerika Serikat

disebabkan lemahnya penerapan GCG (Martsila & Meiranto, 2013). Padahal

GCG yang baik dapat membantu mencegah skandal, penipuan, potensi sipil dan

tanggung jawab pidana perusahaan (Todorovic, 2015).

Apalagi baru-baru ini munculnya skandal General Electric (GE) diduga

melakukan kecurangan (fraud) dengan memalsukan laporan keuangan perusahaan

(CNBC Indonesia, 2019). GE melakukan kecurangan akunting sebesar 38 triliun

dolar AS atau sebesar 40% dari kapitalisasi pasar. Berdasarkan jurnal penelitian

1
Wall Street Journal yang diterbitkan oleh Harry Markopolo secara online.

Persentase sebesar itu menjadikan kasus kecurangan ini lebih serius daripada

kasus Enron (CNBC Indonesia, 2019). Lemahnya GCG dianggap berperan

penting atas kebangkrutan yang menimpa perusahaan besar dan krisis yang terjadi

di berbagai negara baru-baru ini (Dedy Perdana, 2016). Terjadinya krisis ekonomi

moneter pada tahun 1997-1998 di Indonesia, mendorong Pemerintah Indonesia

membentuk Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) pada

tahun 1999, yang kemudian berubah nama menjadi Komite Nasional Kebijakan

Corporate Governance (KNKG) pada November 2004 berdasarkan keputusan

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. KEP-49/M.EKON/11/2004

(Rompas, Murni, & Saerang, 2018). Meskipun upaya peningkatan implementasi

GCG di Indonesia, namun praktik fraud masih terjadi meskipun telah menjauhi

krisis 1997-1998 (Addiyah & Chariri, 2014).

Skandal penyelewengan atau kasus fraud masih terjadi di seluruh dunia

termasuk Indonesia. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT Garuda

Indonesia (Persero) Tbk dan PT Pertamina (Persero) sama-sama tersandung

skandal perhitungan laporan keuangan. Akibat adanya berbagai pertimbangan

maka Garuda dan Pertamina masuk dalam pusaran pelanggaran good corporate

governance (GCG) yang memperburuk citra Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

(Nusantara news, 2019 ).

PT. Adaro Energy Tbk, merupakan salah satu perusahaan milik Negara

yang menerapkan GCG Melalui Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik

2
Negara (Meneg BUMN) No. Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek

Good Corporate Governance pada BUMN.

Sejarah Adaro dimulai dari guncangan minyak dunia pada tahun 1970an.

Hal ini menyebabkan Pemerintah Indonesia merevisi kebijakan energinya, yang

pada saat itu berfokus kepada minyak dan gas, untuk mengikut sertakan batubara

sebagai bahan bakar untuk penggunaan dalam negeri. Dengan meningkatnya

fokus terhadap batu bara pada tahun 1976, Departemen Pertambangan membagi

Kalimantan Timur dan Selatan menjadi 8 blok batubara dan membuka tender

untuk blok-blok tersebut.

Persaingan ekonomi yang sangat pesat sekarang ini mengakibatkan secara

langsung kinerja di perusahaanya dengan tujuan memaksimalkan laba dan

mensejahterakan stakeholders (Bukhori, 2012). Penerapan sistem GCG

merupakan salah satu kunci sukses perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan

dalam jangka panjang serta berkompetisi dalam bisnis global terutama bagi

perusahaan yang telah mampu berkembang (Rompas et al., 2018). Kinerja

Perusahaan dapat diukur dengan beberapa pendekatan rasio keuangan. Beberapa

rasio keuangan yang digunakan sebagai instrument untuk mengukur kinerja

keuangan perusahaan berdasarkan pendekatan laporan keuangan diantaranya

Return On Asset (ROA) dan Return On Equity (ROE), sedangkan rasio yang

menggunakan pendekatan pasar PER dan Tobin’s Q.

Penelitian ini menggunakan variabel kepemilikan manajerial dan

komisaris independen. Penelitian ini berkontribusi untuk mengetahui apakah

3
dewan komisaris independen dan kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap

return on asset (ROA).

Berdasarkan Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh (Prasinta, 2012)

menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan positif GCG dengan ROA, namun

terdapat hubungan positif GCG dengan ROE dan tidak terdapat hubungan positif

GCG dengan tobin’s q. Hal ini menunjukan bahwa implementasi GCG

berpengaruh terhadap kinerja operasional, namun pencapaian laba perusahaan dan

respon pasar atas implementasi GCG masih kurang.

Kajian ilmiah yang dilakukan oleh Ferial & Handayani (2016) berdasarkan

hasil analisis diperoleh hasil bahwa GCG berpengaruh negatif signifikan terhadap

kinerja keuangan, GCG berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan,

kinerja keuangan berpengaruh negatif signifikan terhadap nilai perusahaan. Menurut

Tertius & Christiawan (2015) bahwa secara simultan dewan komisaris, komisaris

independen, kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh

terhadap ROA. Sedangkan secara parsial dewan komisaris dan kepemilikan

manajerial tidak berpengaruh terhadap ROA. Sedangkan komisaris independen

dan ukuran perusahaan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ROA.

Kajian ilmiah yang dilakukan Istiana (2018) menyebutkan bahwa tidak

terdapat pengaruh yang signifikan antara mekanisme internal corporate

governance terhadap kinerja perusahaan. Jumlah dewan direksi dan proporsi

komisaris independen tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan.

Hal ini berarti bahwa mekanisme internal corporate governance tidak begitu

berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Menurut Rompas et al., (2018) bahwa

4
hasil penelitian menunjukan ukuran perusahaan dan dewan komisaris berpengaruh

signifikan terhadap kinerja keuangan. Hasil penelitian Aktan et al., (2018) bahwa

ukuran dewan, konsentrasi kepemilikan dan reputasi auditor memiliki dampak

positif dan signifikan terhadap pengembalian aset perusahaan (ROA), sedangkan

persentase direktur independen dan jumlah rapat dewan tahunan memiliki dampak

negatif dan signifikan terhadap pengembalian perusahaan tentang ekuitas (ROE).

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas tentang

mekanisme GCG terhadap kinerja keuangan terlihat hasil yang cukup beragam.

Akan tetapi hasil yang beragam tersebut juga dipengaruhi perbedaan variabel

yang digunakan oleh masing-masing peneliti. Oleh Karena itu, pengaruh dewan

komisaris independen dan kepemilikan manajerial terhadap return on asset (ROA)

pada PT. Adaro Tbk, periode 2014-2018 secara parsial dan simultan.

2. Masalah Penelitian

1. Bagaimana pengaruh Dewan Komisaris Independen terhadap return on asset

pada PT. Adaro Energy Tbk, periode 2014-2018 secara parsial ?

2. Bagaimana pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap return on asset pada

PT. Adaro Energy Tbk, periode 2014-2018 secara Parsial ?

3. Bagaimana pengaruh dewan komisaris independen dan kepemilikan

manajerial terhadap return on asset pada PT. Adaro Energy Tbk, periode

2014-2018 secara simultan ?

3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian diatas, penelitian ini mempunyai tujuan

sebagai berikut ;

5
1. Menganalisis pengaruh dewan komisaris independen terhadap return on

asset pada PT. Adaro Energy Tbk, periode 2014-2018 ?

2. Menganalisis pengaruh kepemilikan manajerial terhadap return on asset

pada PT. Adaro Energy Tbk, periode 2014-2018 ?

3. Menganalisis pengaruh dewan komisaris independen dan kepemilikan

manajerial terhadap return on asset pada PT. Adaro Energy Tbk, periode

2014-2018 ?

4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang

berkepentingan :

1. Bagi Peneliti

Diharapkan hasil penelitian membuktikan pengaruh Dewan Komisaris

Independen dan Kepemilikan Manajerial terhadap Return On Asset (ROA)

pada PT. Adaro Tbk, periode 2014-2018 secara parsial dan simultan.

Selain itu penelitian ini juga sebagai sarana mengaplikasikan ilmu yang

telah diperoleh selama perkuliahan dalam praktek yang sesungguhnya dan

untuk melengkapi tugas sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

sarjana strata (S1) Ekonomi.

2. Bagi Manajemen perusahaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada

perusahaan dan para pemegang saham dalam meningkatkan GCG terhadap

kinerja keuangan perusahaan yang bukan hanya menganggap GCG

sebagai accessories belaka.

6
3. Bagi Akademik

Penelitian dapat diharapkan dapat memberikan manfaat berupa tambahan

pengetahuan kepada penulis mengenai pengaruh dewan komisaris

independen dan kepemilikan manajerial terhadap return on asset (ROA)

pada PT. Adaro Tbk, periode 2014-2018 secara parsial dan simultan.

5. Studi Kepustakaan

5.1 Landasan Teori

5.1.1 Pengertian Good Corporate Governance (GCG)

Istilah Good Corporate Governance (GCG) pertama kali diperkenalkan

oleh Cadburry Report pada tahun 1992. Cadbury report dianggap sebagai titik

tolak praktik GCG di seluruh dunia. Tiga area utama yang menjadi perhatian

komite Cadburry adalah Board of Director (BOD),Audit, dan Pemegang Saham.

Menurut FCGI (2001) GCG adalah seperangkat peraturan yang mengatur

hubungan pemegang saham, pengelola perusahaan, pihak kreditur, pemerintah,

karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan esktern lainnya yang

berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau sistem yang mengatur dan

mengendalikan perusahaan. Menurut Organization of Economic and Development

(OECD) merupakan sekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan,

board, pemegang saham, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan

perusahaan. Tujuan utama dari GCG adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi

semua pihak yang berkepentingan atau stakeholders. GCG sebagai alat untuk

mendorong tercip tanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan

peraturan undang-undang (Pertiwi dan Pratama, 2011).

7
5.1.2 Sejarah Good Corporate Governance

Konsep Good Corporate Governance pertama kali di mulai pada 1970-an

di Amerika Serikat. Padahal GCG sudah ada sejak lama namun belum menjadi

topik dalam dunia. Istilah GCG hanya ada di Amerika serikat yang

mengembangkan keseimbangan kekuasaan dan pengambilan keputusan antara

dewan direksi, eksekutif dan pemegang saham yang telah berevolusi selama

berabad-abad (Insight, 2018).

Setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat mengalami pertumbuhan

ekonomi yang kuat berdampak pada sejarah Good Corporate Governance.

Perusahaan Amerika Serikat berkembang dan tumbuh pesat, disebabkan dewan

direksi, komisaris serta pemegang saham mengikuti prosedur GCG. Pada tahun

1970-an, banyak hal mulai berubah ketika Securities and Exchange Commission

(SEC) membawa GCG secara resmi. SEC menangkap pembayaran yang meluas

oleh perusahaan kepada pejabat asing atas fraud laporan keuangan

perusahaan. Selama era ini, perusahaan mulai membentuk komite audit dan

menunjuk lebih banyak komisaris independen.

Corporate Governance yang komprehensif mulai berkembang setelah

kejadian The New York Stock Exchange Crash pada tanggal 19 Oktober 1987

dimana cukup banyak perusahaan multinasional yang tercatat di bursa efek New

York mengalami kerugian finansial yang cukup besar (Insight, 2018) dikala itu,

untuk mengantisipasi permasalahan intern perusahaan, banyak para eksekutif

melakukan rekayasa keuangan yang intinya adalah bagaimana menyembunyikan

8
kerugian perusahaan atau memperindah penampilan kinerja manajemen dan

laporan keuangan.

Untuk menjamin dan mengamankan hak-hak para pemegang saham,

muncul konsep pemberdayaan Komisaris sebagai salah satu wacana penegakan

GCG. Komisaris Independen adalah Anggota Dewan Komisaris yang tidak

memiliki hubungan dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan

pemegang saham, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang

dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak

semata-mata demi kepentingan perusahaan (Marsella, 2013).

Di Indonesia, konsep Good Corporate Governance (GCG) mulai dikenal

sejak krisis ekonomi tahun 1997 krisis yang berkepanjangan yang dinilai karena

tidak dikelolanya perusahaan–perusahaan secara bertanggung jawab,serta

mengabaikan regulasi dan sarat dengan praktek korupsi, kolusi, nepotisme (KKN)

(Addiyah dan Chariri, 2014). Setelah itu pemerintah Indonesia menandatangani

Nota Kesepakatan (Letter of Intent) dengan International Monetary Fund (IMF)

yang mendorong terciptanya iklim yang lebih kondusif bagi penerapan GCG

(Marsella, 2013). Pemerintah Indonesia mendirikan lembaga khusus, yaitu

Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang memiliki

tugas pokok dalam merumuskan dan menyusun rekomendasi kebijakan nasional

mengenai GCG, serta memprakarsai dan memantau perbaikan di bidang corporate

governance di Indonesia (Rompas et al, 2014).

9
5.1.3 Prinsip-prinsip Good Corporate Governance

Pencapaian kinerja perusahaan dengan tujuan jangka panjang OECD

(Organization for Economic Co-operation and Development) mengembangkan

lima prinsip GCG sebagai berikut ;

1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham (the right of

shareholders).

2. Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham minoritas dan

pemegang saham asing.

3. Peranan stakeholder yang terkait dengan perusahaan (the role of

shareholders).

4. Keterbukaan dan transparasi Disclosure and transparency).

5. Akuntabilitas dewan komisaris (the responbilities of the board).

Menurut (KNKG, 2008) Pedoman umum Good Public Governance Indonesia,

prinsip-prinsip GCG adalah :

1. Demokrasi

Demokrasi mengandung tiga unsur pokok yaitu partisipasi, pengakuan,

perbedaan pendapat dan perwujudan kepentingan umum. Asas demokrasi

harus diterapkan baik dalam proses memilih dan dipilih sebagai

penyelenggara negara maupun dalam proses penyelenggaraan negara.

2. Transparansi

Transparansi mengandung unsur pengungkapan (disclosure) dan

penyediaan informasi yang memadai dan mudah diakses oleh pemangku

kepentingan. Transparansi diperlukan agar pengawasan oleh masyarakat

10
dan dunia usaha terhadap penyelenggaraan negara dapat dilakukan secara

obyektif. Untuk itu, diperlukan penyediaan informasi melalui sistem

informasi dan dokumentasi yang dapat diakses dengan mudah tentang pola

perumusan dan isi peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik

serta pelaksanaannya oleh masing-masing lembaga negara.

3. Akuntabilitas

Akuntabilitas mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasi dan

cara mempertanggung jawabkannya. Akuntabilitas diperlukan agar setiap

lembaga negara dan penyelenggara negara melaksanakan tugasnya secara

bertanggung jawab. Untuk itu, setiap penyelenggara negara harus

melaksanakan tugasnya secara jujur dan terukur sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan dan kebijakan publik yang berlaku serta

menghindarkan penyalahgunaan wewenang.

4. Budaya hukum

Budaya hukum mengandung unsur penegakan hukum (law inforcement)

secara tegas tanpa pandang bulu dan ketaatan terhadap hukum oleh

masyarakat berdasarkan kesadaran. Budaya hukum harus dibangun agar

lembaga negara dan penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya

selalu didasarkan pada keyakinan untuk berpegang teguh pada ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Kewajaran dan kesetaraan

Kewajaran dan kesetaraan mengandung unsur keadilan dan kejujuran

sehingga dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan perlakuan setara

11
terhadap pemangku kepentingan secara bertanggung jawab. Mewujudkan

pola kerja lembaga negara dan penyelenggara negara yang lebih adil dan

bertanggung jawab. Supaya pemangku kepentingan dan masyarakat

menjadi lebih mentaati hukum dan menghindari terjadinya benturan

kepentingan.

5.1.4 Mekanisme Good Corporate Governance

Struktur Good Corporate Governance terbentuk dari dua mekanisme yang

berbeda. Mekanisme ini merupakan prosedur antara pihak yang mengambil

keputusan dengan pihak yang melakukan kontrol terhadap keputusan tersebut.

Kedua mekanisme tersebut yaitu :

1. Struktur mekanisme internal perusahaan

Pihak-pihak yang terlibat dalam mekanisme internal adalah agent dan

principal yang terdiri komposisi board of directors dan executive manajer

didalam perusahaan.

2. Struktur mekanisme eksternal perusahaan

Mekanisme pengendalian eksternal terdiri dari stakeholder yang

berkepentingan dan berhubungan dengan perusahaan antara lain pasar

modal, pasar uang, auditor, paralegal, dan regulator.

Penelitian ini berfokus pada struktur pengendalian perusahaan yang terdiri dari

dewan komisaris independen dan kepemilikan manajerial.

1. Dewan Komisaris Independen (Board of Commisioner Independent)

Dewan komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang

berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik dan memenuhi persyaratan

12
sebagai Komisaris Independen. Dewan Komisaris independen bertugas

melakukan pengawasan dan memberikan masukan kepada dewan direksi

perusahaan serta mengawasi kelengkapan dan kualitas informasi laporan atas

kinerja dewan direksi. (Otoritas jasa keuangan, 2014). Jumlah komisaris

independen harus dapat menjamin agar mekanisme pengawasan berjalan secara

efekif dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan salah satu dari

komisaris independen harus mempunyai latar belakang akuntansi atau keuangan

(KNKG, 2008).

Komisaris independen tidak memiliki otoritas langsung terhadap

perusahaan. Proposional dewan komisaris terdiri lebih dari 2 (dua) orang anggota

dewan komisaris, jumlah komisaris independen wajib paling kurang 30% (tiga

puluh persen) dari jumlah seluruh anggota dewan komisaris.

Rasio dewan komisaris independen dalam penelitian ini dinyatakan

dengan perbandingan jumlah anggota dewan komisaris independen dengan total

dewan komisaris (Yudha,dkk 2014).

Dewan Komisaris Independen = x 100%

2. Kepemilikan Manajerial (Managerial Ownership)

Kepemilikan manajerial dapat diartikan sebagai pemegang saham dari pihak

manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan

direktur dan komisaris. Pengukuran kepemilikan manajerial menggunakan

13
persentase total saham dari seluruh direktur eksekutif dibandingkan dengan total

saham.

Jika Kepemilikan manajerial yang dimiliki semakin besar, maka

manajemen akan berusaha memaksimalkan kekayaan pemegang saham (Jensen &

Meckling, 1976). Rasio kepemilikan manajerial dalam penelitian ini dinyatakan

dengan perbandingan antara saham yang dimiliki oleh direksi, komisaris dan

manajer dengan total saham beredar (Yudha, dkk 2014).

Kepemilikan manajerial = x 100%

5.1.5 Manfaat dan Tujuan Good Corporate Governance

Manfaat Penerapan dan Pelaksanaan GCG diharapkan dapat memberikan

beberapa manfaat berikut ini (FCGI, 2001):

1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan

keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan

serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders.

2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah sehingga

dapat lebih meningkatkan corporate value.

3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di

Indonesia.

4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena

sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan dividen.

Menurut (Addiyah, 2014) tujuan Corporate Governance adalah sebagai berikut :

1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham.

14
2. Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholder.

3. Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham.

4. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja dewan pengurus atau Board of

Directors dan manajemen perusahaan.

5. Meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan manajemen.

5.2 Kinerja Keuangan

Kinerja keuangan merupakan salah satu faktor yang menunjukkan efektivitas

dan efisiensi suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuannya. Efektivitas

apabila manajemen memiliki kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau

suatu alat yang tepat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efisiensi

diartikan sebagai ratio (perbandingan) antara masukan dan keluaran yaitu dengan

masukan tertentu memperoleh keluaran yang optimal (Pertiwi dan Pratama, 2011).

Kinerja keuangan perusahaan adalah salah satu faktor yang dapat dilihat oleh para

calon investor untuk menentukan investasi saham (Veronika, 2015).

Terdapat dua pendekatan yang biasa digunakan para peneliti untuk

menentukan kinerja perusahaan, yakni pendekatan pasar dan pendekatan laporan

keuangan (Ujunwa, 2012). Indikator untuk menilai kinerja keuangan adalah rasio

keuangan. Rasio sebagai instrumen untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan

berdasarkan pendekatan laporan keuangan diantaranya adalah ROA dan ROE.

Sedangkan rasio yang menggunakan pendekatan pasar diantaranya adalah PER

dan Tobin’s Q.

15
Hasil pengukuran terhadap pencapaian kinerja menjadi dasar manajemen

atau pengelola perusahaan untuk perbaikan dan periode berikutnya dan sangat

bermanfaat sebagai pengambilan keputusan manajemen (Sarafina, 2015).

5.2.1 Return On Asset (ROA)

Return on asset merupakan rasio yang menunjukkan hasil (return) atas

jumlah aktiva yang digunakan dalam perusahaan (Kasmir, 2012). Rasio ini

disebut juga dengan rentabilitas ekonomi. Dalam ROA,laba yang dihasilkan ialah

laba sebelum bunga dan pajak atau EBIT. Semakin besar ROA menunjukan nilai

perusahaan semakin baik karena return semakin besar.

Rumus menghitung Return on Asset (ROA):

Return on Assets = x 100%

5.3 Penelitian terdahulu

Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Prasinta (2012) pengaruh

penerapan GCG terhadap kinerja keuangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

tidak terdapat hubungan positif antara GCG dengan ROA, namun terdapat

hubungan positif antara dengan ROE, dan tidak terdapat hubungan positif antara

GCG dengan tobin’s Q. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi GCG

berpengaruh terhadap kinerja operasional, namun pencapaian laba perusahaan dan

respon pasar atas implementasi GCG masih kurang.

Hasil Penelitian Martsila dan Meiranto (2013) pengaruh GCG pada kinerja

keuangan perusahaan di perusahaan non keuangan. Sampel penelitian ini adalah

perusahaan non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode

16
pengamatan 2009 hingga 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran

dewan berpengaruh positif signifikan terhadap ROA, sedang terhadap PER

berpengaruh negatif signifikan. Konsentrasi kepemilikan berpengaruh positif

signifikan terhadap ROA maupun ROE dan berpengaruh negatif signifikan

terhadap PER. Leverage berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ROA, PER

dan Tobins’Q.Penelitian juga menemukan pengaruh positif dan signifikan antara

ukuran perusahaan dengan kinerja keuangan perusahaan yang diproksikan dengan

ROA, ROE, PER maupun Tobins’Q.

Sukandar (2014) pengaruh ukuran dewan direksi dan dewan komisaris serta

ukuran perusahaan terhadap kinerja keuangan perusahaan (studi empiris pada

perusahaan manufaktur sektor consumer goods yang terdaftar di BEI tahun 2010-

2012). Seperti hasil penelitian menunjukkan bahwa dewan komisaris dan ukuran

perusahaan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap CFROA atau

kinerja keuangan. Sementara dewan direksi memiliki pengaruh signifikan

terhadap CFROA atau kinerja keuangan.

Dedy Perdana (2016) GCG dan kinerja keuangan perusahaan (studi pada

perusahaan indonesia di indeks LQ-45 tahun 2010-2014). Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa dewan independen memiliki positif berpengaruh terhadap

kinerja keuangan perusahaan, sedangkan kepemilikan manajerial memiliki

pengaruh negative berpengaruh pada kinerja keuangan perusahaan. Di sisi lain,

penelitian ini tidak menemukan apa pun pengaruh ukuran dewan pada kinerja

keuangan perusahaan.

17
Ferial dan Handayani (2016) berdasarkan hasil analisis yang diperoleh hasil

bahwa GCG berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja keuangan, GCG

berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan, kinerja keuangan

berpengaruh negatif signifikan terhadap nilai perusahaan.

Istiana (2018) analisis pengaruh penerapan struktur GCG terhadap kinerja

perusahaan (studi kasus di perusahaan rokok yang terdaftar di bursa efek

Indonesia). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang

signifikan antara mekanisme internal corporate governance terhadap kinerja

perusahaan. Jumlah dewan direksi dan proporsi komisaris independen tidak

berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan. Hal ini berarti bahwa

mekanisme internal corporate governance tidak begitu berpengaruh terhadap

kinerja perusahaan.

Hasil dari penelitian Candradewi, Bagus, dan Sedana, (2016) ini

menyatakan bahwa kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional

berpengaruh signifikan terhadap ROA. Besarnya proporsi kepemilikan manajerial,

maka semakin kecil peluang terjadinya konflik antara manajer dan pemegang

saham sehingga dapat meningkatkan ROA. Besarnya proporsi kepemilikan

institusional dapat meningkatkan pengawasan, sehingga dapat menekan terjadinya

perilaku oportunistik manajer sehingga dapat meningkatkan ROA. Dewan

komisaris independen berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap ROA.

Keadaan ini dapat terjadi karena kecilnya proporsi dewan komisaris independen

pada perusahaan sampel sehingga belum bisa meningkatkan ROA.

18
Fatimah (2017) pengaruh GCG terhadap nilai perusahaan dengan kinerja

keuangan sebagai variabel intervening (studi kasus pada perusahaan manufaktur

sektor barang konsumsi yang terdaftar di BEI tahun 2015-2017). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa GCG memiliki pengaruh yang signifikan positif terhadap

nilai perusahaan. GCG memiliki pengaruh yang signifikan positif terhadap kinerja

keuangan sedangkan GCG memiliki pengaruh tidak langsung signifikan terhadap

nilai perusahaan dengan menggunakan kinerja keuangan sebagai variabel

intervening. Kinerja keuangan memiliki pengaruh signifikan positif terhadap nilai

perusahaan.

Aktan et al., (2018) Corporate governance and performance of the

financial firms in Bahrain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran dewan,

konsentrasi kepemilikan dan reputasi auditor memiliki dampak positif dan

signifikan terhadap pengembalian aset perusahaan (ROA), sedangkan persentase

direktur independen dan jumlah rapat dewan tahunan memiliki dampak negatif

dan signifikan terhadap pengembalian perusahaan. Tentang ekuitas (ROE) dan

dualitas CEO tidak menjadi faktor penentu penting dari kinerja perusahaan,

karena hasilnya menunjukkan bahwa itu menunjukkan efek yang tidak signifikan

pada ROA, ROE dan pengembalian saham (SPR). Selain itu, ukuran dan leverage

perusahaan ditemukan memiliki hubungan negatif dan tidak signifikan dengan

kinerja perusahaan.

19
5.4 Kerangka Pemikiran

Dewan Komisaris Return On Asset


Independen (X1) (ROA)

(Y)
Komisaris Independen
(X2)

Gambar 5.1 Kerangka Pemikiran

Keterangan :
: Secara Parsial
: Secara Simultan
Berdasarkan gambar di atas, maka dalam penelitian ini variabel

independen dewan komisaris independen dan kepemilikan manajerial yang akan

diuji pengaruhnya terhadap variabel dependen ROA.

5.5 Perumusan Hipotesis

Berdasarkan landasan teori dan penelitian terdahulu yang telah diuraikan

sebelumnya maka hipotesis dari penelitian ini :

H1 : Diduga dewan komisaris independen berpengaruh positif namun tidak

signifikan terhadap ROA.

H2 : Diduga kepemilikan manajerial berpengaruh positif signifikan terhadap

ROA.

H3 : Diduga dewan komisaris independen dan kepemilikan manajerial

berpengaruh positif terhadap ROA.

6. Metodologi Penelitian

6.1 Ruang Lingkup Penelitian

20
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari annual report

perusahaan PT. Adaro Energy Tbk, periode 2014-2018. Agar masalah yang diteliti

dalam penelitian ini terarah dan jelas, maka peneliti memberikan batasan masalah

sebagai berikut :

1. Penelitian ini menggunakan variabel dependen dewan komisaris independen

dan kepemilikan, Sedangkan variabel Independen ROA.

2. Perusahaan yang dipilih sebagai sampel adalah perusahaan PT. Adaro Energy

Tbk, yang menerbitkan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit selama

periode pengamatan yaitu tahun 2014-2018.

6.2 Jenis dan Sumber Data

Menurut Sugiyono (2015) jenis data menurut waktu dapat dibedakan

menjadi dua yaitu :

1. Data Cross Section adalah data yang menunjukkan titik waktu tertentu.

Contohnya laporan keuangan per 31 desember 2018.

2. Data Time Series adalah data yang datanya menggambarkan sesuatu dari

waktu ke waktu atau periode secara historis.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data times series,

karena data yang diperoleh dari tahun 2014 sampai tahun 2018 itu berarti data

yang menggambarkan keadaan perusahaan dari waktu ke waktu.

Sedangkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data

sekunder. Penelitian ini menggunakan data sekunder Penelitian ini bersumber dari

annual report yang dipublikasikan di Indonesia Stock Exchange (IDX) dan

halaman website resmi PT. Adaro Energy Tbk.

21
6.3 Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi.

Metode dokumentasi yaitu mengumpulkan dan mempelajari data-data dan

dokumen-dokumen yang diperlukan. Dokumen dan data merupakan laporan

tahunan dan laporan keuangan perusahaan Penelitian ini bersumber dari annual

report yang dipublikasikan di Indonesia Stock Exchange (IDX) dan halaman

website resmi PT. Adaro Energy Tbk.

6.4. Definisi Operasional Variabel

6.1 Tabel Definisi Operasional Variabel

Variabel Definisi Indikator Skala

Dewan Dewan Komisaris Dewan Komisaris Rasio


Komisaris independen adalah Independen =
Independen anggota dewan
komisaris yang tidak
x
terafilasi dengan 100%
manajemen,angota
dewan komisaris dapat
mempengharui
kemampuannya untuk
bertindak independen
atau demi kepentingan
perusahaan.
Kepemilikan Kepemilikan Kepemilikan manajerial = Rasio
Manajerial manajerial dapat
diartikan sebagai
pemegang saham dari x 100%
pihak manajemen yang
secara aktif ikut dalam
pengambilan keputusan
perusahaan direktur
dan komisaris.
ROA Return on asset Rasio
(Return on merupakan rasio yang Return on Assets =
assets) menunjukkan hasil
(return) atas jumlah x 100%
aktiva yang digunakan
dalam perusahaan.

22
Keterangan :

EBIT = Laba sebelum pajak

Asset = Total Aktiva


6.5 Teknik Analisis

Teknik Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi

berganda dengan menggunakan bantuan program SPSS. Analisis regresi berganda

adalah analisis data yang digunakan untuk mengukur pengaruh dewan komisaris

independen dan kepemilikan manajerial terhadap ROA.

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan menggunakan regresi

linier berganda. Persamaan regresi sederhana yang terbentuk ialah sebagai

berikut:

Y =α +β₁X1+ β₁X2+e

Keterangan :

α : konstanta
β1 : Koefisien Regresi
Y : Return on asset
X1 : Dewan Komisaris Independen
X2 : Kepemilikan Saham Manajerial
e : error term

6.5.1 Uji Asumsi Klasik

1. Uji Normalitas

Menurut Imam Ghozali (2013:160) uji normalitas bertujuan untuk menguji

apakah dalam model regresi, variabel residual memiliki distribusi normal. Seperti

diketahui bahwa uji t dan F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti

distribusi normal. Penelitian ini mengunakan pendekatan grafik Normal P-P of

23
regression standardized residual untuk menguji normalitas data dan pendekatan

uji statistik Kolmogorov-Smirnov. Untuk pendekatan grafik jika data menyebar

disekitar garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukan pola distribusi

normal ,maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Jika data menyebar

jauh dari diagonal atau tidak mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogram

tidak menunjukan pola distribusi normal,maka model regresi tidak memenuhi

asumsi normalitas (Imam Ghozali,2013:163) .

2. Uji Multikolinearitas

Menurut Imam Ghozali (2013:105) uji multikolinearitas bertujuan untuk

menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas

(independen). Metode yang dapat digunakan untuk menguji terjadinya

multikolinieritas dapat dilihat dari matrik korelasi variabel-variabel bebas. Pada

matrik korelasi, jika antar variabel bebas terdapat korelasi yang cukup tinggi

(umumnya di atas 0,90), maka hal ini merupakan indikasi adanya

multikolinieritas. Selain itu dapat juga dilihat nilai tolerance dan variance

inflation factor (VIF). Batas dari nilai tolerance adalah ≤ 0,10 atau sama dengan

nilai VIF adalah ≥10 (Imam Ghozali, 2013:106).

3. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi merupakan suatu alat analisis dalam uji penyimpangan

asumsi klasik yang memiliki tujuan untuk menguji apakah dalam suatu model

regresi linear ada korelasi antar anggota sampel yang diurutkan berdasarkan

waktu. Penyimpangan asumsi ini biasanya muncul pada observasi yang

menggunakan data time series. Konsekuensi dari adanya autokorelasi dari suatu

24
model regresi adalah varian populasinya, dan model regresi yang dihasilkan tidak

dapat digunakan untuk menaksir nilai variabel tidak bebas tertentu. Cara untuk

mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi dapat menggunaka Run Test. Jika antar

residual tidak terdapat hubungan korelasi maka dikatakan bahwa residual adalah

acak atau random. Run Test digunakan untuk melihat apakah data residual terjadi

secara random atau tidak (sistematis).

H0 : residual (res_1) random

HA : residual (Res_1) tidak random

Apabila hasil menunjukkan probabilitas lebih dari 0,05 maka H0

diterima, artinya tidak terjadi autokorelasi.

4. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model

regresi terjadi ketidaksamaan variansi dari residual satu pengamatan ke

pengamatan lain (Imam Ghozali, 2013:139). Pengujian heteroskedastisitas

dilakukan dengan menggunakan uji Glejser (Gujarati,2003) yang dikutip oleh

Imam Ghozali (2013:142). Pada uji Glejser, nilai residual absolut diregresi dengan

variabel independen. Jika variabel independen signifikan secara statistik

mempengaruhi variabel dependen,maka terdapat indikasi terjadi Heteroskedasitas.

6.5.2 Uji Korelasi

Analisis ini digunakan untuk memperoleh koefisien korelasi, yaitu ukuran

hubungan linear antara dua variabel. Dalam penelitian ini menghitung korelasi

menggunakan koefisien Pearson. Koefisien ini menghitung mengukur keeratan

hubungan diantara hasil-hasil pengamatan dari populasi yang mempunyai dua

25
varian (bivariate). Pedoman interprestasi keeratan hubungan antar dua variabel

tersebut bisa diliat pada tabel dibawah ini.

Tabel 6.2

Interprestasi Koefisien Korelasi

Nilai Koefisien Korelasi Interprestasi

0,1-0,199 Sangat lemah

0,20-0,399 Lemah

0,40-0,599 Sedang

0,60-0,799 Kuat

0,80-1,00 Sangat Kuat

Sumber : Sugiyono (2015: 55)

6.5.3 Uji Koefisien Determinan (R2)

Pada model linear berganda ini, akan dilihat besarnya kontribusi untuk

variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikatnya dengan melihat

besarnya koefisien determinasi totalnya (R2). Jika (R2) yang diperoleh mendekati

1 (satu) maka dapat dikatakan semakin kuat model tersebut menerangkan

hubungan variabel bebas terhadap variabel terikat. Sebaliknya jika (R2) makin

mendekati 0 (nol) maka semakin lemah pengaruh variabel-variabel bebas terhadap

variabel terikat.

6.5.4 Uji T

Uji statistik T pada dasarnya menunjukan seberapa jauh pengaruh satu

variabel penjelas (independen) secara individual dalam menerangkan variasi

variabel dependen. Uji t mempunyai nilai signifikasi t α = 5% . Kriteria pengujian

26
hipotesis dengan menggunkan uji statistik t adalah jika nilai signifikansi t ( p-

value) <0.05, maka hipotesis alternatif diterima, yang menyatakan bahwa suatu

variabel independen secara individual dan signifikan mempengharui variabel

dependen ( Ghozali, 2013 ).

6.5.5 Uji Hipotesis F

Uji F digunakan untuk melihat apakah variabel Independen berpengaruh

secara bersama-sama atau simultan terhadap variabel dependen.

Dengan taraf nyata yang biasa digunakan 5% (0,05).

- Ho diterima, Ha ditolak jika F hitung < F table.

- Ho ditolak, Ha diterima jika F hitung > F table.

27

Anda mungkin juga menyukai