com
19
BUDAYA BELAJAR
DAN PEMIMPIN BELAJAR
Dalam bab terakhir ini saya ingin mengalihkan fokus saya dari
analisis ke inferensi normatif. Ada banyak spekulasi saat ini
tentang arah yang dituju dunia dan apa artinya semua ini bagi
organisasi dan kepemimpinan. Perasaan saya tentang hal ini
adalah bahwa berbagai prediksi tentang globalisme, organisasi
berbasis pengetahuan, era informasi, era biotek, melonggarnya
batas-batas organisasi, dan seterusnya semuanya memiliki satu
tema yang sama—pada dasarnya kita tidak tahu apa yang akan
terjadi. dunia masa depan benar-benar akan seperti itu, kecuali
bahwa itu akan berbeda, lebih kompleks, lebih cepat, dan lebih
beragam secara budaya (Hesselbein, Goldsmith, dan Somerville,
1999; Global Business Network, 2002; Schwartz, 2003; Michael,
1985 , 1991). Ini berarti bahwa organisasi dan pemimpin
mereka akan memilikiuntuk menjadi pembelajar abadi.
Ketika kita mengajukan masalah pembelajaran terus-menerus
dalam konteksanalisis budaya, kita menghadapi paradoks.
Budaya adalah stabilisator, kekuatan konservatif, cara membuat
sesuatu bermakna dan dapat diprediksi. Banyak konsultan
manajemen dan ahli teori telah menegaskan bahwa budaya
"kuat" diinginkan sebagai dasar untuk kinerja yang efektif dan
bertahan lama. Tetapi budaya yang kuat adalah definisi yang
stabil dan sulit diubah. Jika dunia menjadi lebih bergolak,
membutuhkan lebih banyak fleksibilitas dan pembelajaran,
bukankah ini berarti bahwa budaya yang kuat akan semakin
menjadi beban? Lalu, apakah ini tidak berarti bahwa proses
penciptaan budaya itu sendiri berpotensi tidak berfungsi
karena menstabilkan keadaan, sedangkan fleksibilitas mungkin
lebih tepat? Atau mungkinkah membayangkan sebuah budaya
yang, pada dasarnya, berorientasi pada pembelajaran, adaptif,
dan fleksibel? Bisa
393
BUDAYA BELAJAR DAN PEMIMPIN BELAJAR 394
1. Asumsi Proaktivitas
Budaya pembelajaran harus mengasumsikan bahwa cara
yang tepat bagi manusia untuk berperilaku dalam
hubungannya dengan lingkungannya adalah
menjadipemecah masalah proaktif dan pembelajar. Jika
budaya dibangun di atas asumsi fatalistik dari penerimaan
pasif, pembelajaran akan menjadi semakin sulit seiring
dengan meningkatnya laju perubahan dalam lingkungan.
Tidak jelas bagaimana asumsi semacam ini berhasil dalam
budaya-budaya di mana penerimaan fatalistik merupakan
asumsi utama. Saya akan berspekulasi bahwa dalam budaya-
BUDAYA BELAJAR DAN PEMIMPIN BELAJAR 395
budaya itu suatu pembedaan akan terjadi antara bidang-bidang
seperti agama, di mana asumsi lama akan berlaku, dan bisnis, di
mana asumsi-asumsi baru tentang pemecahan masalah secara
aktif akan hidup berdampingan dengan yang lama.
BUDAYA BELAJAR DAN PEMIMPIN BELAJAR 396