net/publication/281629532
CITATIONS READS
0 8,046
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Ahmad Maulin Naufa on 10 September 2015.
MAKALAH JURNAL
Oleh :
AHMAD MAULIN NAUFA
Menyetujui,
Pembantu Dekan I
ABSTRACT
The research aims to determine the most efficient dietary protein level to
increase the digestive organs relative weight in Kedu hens. Seventy five birds of
black Kedu hen with average body weight of 1457.79 ± 239.07 g were used.
Parameters observed were relative weights of esophagus, proventikulus, gizzard,
small intestine, sekum, colon and daily weight gain (ADG). The research was
disigned using randomized block design (RBD) with 3 dietary protein level and 5
groups of body weight. The dietary crude protein level was 12, 14 and 16%. The
data obtained were analyzed using analysis of variance, followed by Duncan
Multiple range test (DMRT) at 5% level to determine the differences between
treatments. The results showed that the digestive organs relative weight in Kedu
hens were significantly influenced by dietary protein level (P<0,05). The heighest
digestive organs relative weight was found in hens fed ration with 16% protein
level on esophagus, proventriculus, small intestine, sekum and colon namely 0,33,
0,31, 4,93, 0,17 dan 0,33%, respectively. Gizzard and ADG was not significant
affected by dietary protein levels. The conclusion was that the increased of protein
from 12 to 16% in Kedu hens ration increased the relative weight of
proventikulus, small intestine, sekum and colon. The highest relative weight of the
small intestine was in line with the increased function to absorb nutrients and used
it for eggs production rather than for body weight gain.
Keywords: Laying Kedu hens, digestive organs, dietary protein
PENDAHULUAN
Ayam Kedu merupakan salah satu varietas ayam lokal di Indonesia yang
perlu dikembangkan karena mudah beradaptasi, tahan penyakit dan bisa
dimanfaatkan sebagai ayam dwiguna (petelur dan pedaging) sebagai sumber
protein hewani. Pengembangan ayam Kedu terkendala pada pemberian ransum
yang masih belum memenuhi kebutuhan, ransum peternak umumnya diberikan
dengan level protein sebesar 11% atau lebih rendah (Wahyuni et al., 2011)
sehingga pertumbuhan ayam Kedu kurang optimal. Pemberian ransum yang
memenuhi kebutuhan nutrisinya dapat meningkatkan produktivitasnya, khususnya
protein. Ayam yang tumbuh membutuhkan asupan nutrisi dari hasil pencernaan,
sehingga organ pencernaan mempunyai fungsi yang penting untuk mengolah dan
menyerap nutrisi. Penelitian yang ada menunjukkan peningkatan level protein
dapat meningkatkan bobot relatif organ pencernaan menjadi optimal, pada ayam
Kedu fase pertumbuhan (Muniroh, 2006).
Produktivitas ayam Kedu hitam umur 20 minggu meliputi berat badan
mencapai 1.480 gram, produksi telur 215 butir, konsumsi 93 gram/hari, Hen Day
Production (HDP) 38,8% dan konversi ransum 3,6 (Cresswell dan Gunawan,
1982). Rata-rata bobot badan ayam Kedu fase pullet (bertelur) sekitar 1,5 kg,
konsumsi ransum sekitar 90,60 gram, Hen Day Production (HDP) 44,75% dan
pertambahan bobot badan 11,69 gram, sementara pertambahan bobot badan ayam
petelur white leghorn sebesar 6,4 g/ekor/hari dan pendapat lain menyatakan
produksi telur ayam Kedu mencapai 215 butir per tahun dengan puncak produksi
sebesar 75 % (Scott et al., 1982). Pertambahan bobot badan ayam dipengaruhi
oleh umur, strain (jenis), ransum yang diberikan serta kondisi lingkungan.
Semakin bertambahnya umur, maka pertambahan bobot badan akan semakin
menurun. Hal ini disebabkan ransum yang dikonsumsi dimanfaatkan untuk
produksi telur, pertumbuhan bulu, aktivitas fisik, pertumbuhan jaringan dan
mempertahankan suhu tubuh (Iskandar, 2007). Nutrisi yang terkandung dalam
ransum digunakan untuk produksi telur (Aldini, 2013).
Secara umum kandungan nutrisi yang dibutuhkan ternak tergantung pada
variasi genetik, umur, bobot badan, aktivitas, kandungan energi ransum dan
temperatur lingkungan (Wahju, 1997). Kebutuhan protein untuk ayam petelur
sangat erat hubungannya dengan produksi telur dan besarnya telur, pada saat
produksi telur mencapai puncaknya kebutuhan protein yaitu 17-19% sementara
pada akhir siklus produksi kebutuhan menurun sampai 14% (Mulyantini, 2010).
Esophagus merupakan saluran tempat dilaluinya pakan dari mulut menuju
ke crop (Suprijatna, et al., 2005). Crop berfungsi sebagai alat penampung pakan
yang melakukan pencernaan fisik pertama (Rasyaf, 1998). Proventikulus
merupakan suatu organ yang berdinding tebal dan langsung berhubungan dengan
ventriculus. Ventriculus adalah organ berotot yang membantu menghancurkan
pakan, terdapat grid yang membantu pada proses tersebut (Anggorodi, 1985).
Pakan yang telah halus selanjutnya ke usus halus yang terdiri dari duodenum,
jejenum dan ileum. Usus halus berfungsi sebagai tempat berlangsungnya
pencernaan dan absorpsi produk hasil pencernaan. Ceca didalamnya terdapat
nutrisi yang tidak tercerna, selanjutnya mengalami dekomposisi mikroba, selain
itu juga terjadi digesti serat oleh mikroba pencerna serat (Yuwanta, 2004). Usus
besar adalah kelanjutan saluran pencernaan dari persimpangan ceca ke kloaka dan
berfungsi menjaga keseimbangan kadar air dalam tubuh ayam (Blakely dan Bade,
1998). Kloaka merupakan bagian akhir saluran pencernaan yang berfungsi sebagai
tempat keluarnya ekskreta (campuran kotoran dan urin) (Rasyaf, 1998).
Pertambahan bobot badan harian ayam Kedu periode bertelur sebesar
11,69 g (Sukamto, 1997). Ransum perlakuan dengan perbandingan level protein
16%, 18% dan 20% menunjukkan level protein berpengaruh terhadap volume
crop, panjang usus halus dan ceca ayam umur 10 minggu (Suthama dan
Ardiningsasi, 2006). Level protein berpengaruh terhadap panjang usus halus dan
sekum ayam Kedu namun tidak berpengaruh terhadap berat proventrikulus dan
ventrikulus umur 10 minggu, panjang usus besar umur 5 dan 10 minggu, panjang
usus halus dan sekum umur 5 minggu (Muniroh, 2006). Pemberian ransum
dengan level protein 19% dapat meningkatkan panjang saluran pencernaan pada
ayam Kampung umur 10 minggu (Iskandar, 2007).
Menurut Kwakkel et al., (1994) terjadi penurunan laju perkembangan
organ pencernaan setelah ayam White Leghorn Pullet mencapai fase bertelur. Laju
perkembangan tersebut dapat dinyatakan dalam bobot dari masing-masing organ
baik bobot absolut maupun bobot relatif. Bobot relatif organ pencernaan dapat
dihitung dengan cara menimbang bobot saluran pencernaan setelah dibersihkan
dari kotoran mulai esophagus sampai kloaka di bagi dengan bobot hidup dikali
100% (Cahyono, et al., 2012).
Bobot relatif saluran pencernaan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
kadar protein ransum, kecernaan dan umur ayam. Penelitian yang sudah dilakukan
menunjukkan bahwa kadar protein ransum dapat meningkatkan bobot relatif organ
pencernaan ayam Kedu menjadi lebih optimal, tetapi ayam Kedu yang digunakan
masih pada fase pertumbuhan, belum pernah dilakukan penelitian yang
menggunakan ayam Kedu pada periode bertelur, sehingga perlu dilakukan
penelitian ini.
Penelitian ini bertujuan mengetahui bobot relatif organ pencernaan ayam
Kedu petelur dengan meningkatan level protein ransum ayam Kedu. Manfaat yang
diperoleh dari penelitian ini yaitu dapat memberikan informasi level protein yang
tepat untuk meningkatkan bobot relatif organ pencernaan sebagai salah satu
indikator pertumbuhan optimal yang dapat memacu perkembangan ayam Kedu di
Indonesia.
MATERI DAN METODE
Materi Penelitian
Metode Penelitian
Berbeda dengan gizzard dan PBBH, level protein dari 12 sampai 16%
tidak meningkatkan bobot relatif gizzard dan PBBH. peningkatan level protein
ransum tidak berpengaruh terhadap peningkatan bobot relatif gizzard ayam Kedu
karena umur ayam yang lebih dari dua puluh minggu, selain protein ransum umur
dan kecernaan juga berpengaruh terhadap bobot relatif saluran pencernaan.
Pernyataan tersebut sesuai pendapat Cahyono et al., (2012) bahwa bobot relatif
saluran pencernaan dipengaruhi oleh protein ransum, kecernaan dan umur ayam.
Pertumbuhan organ pencernaan dipengaruhi oleh protein ransum, namun suatu
saat berhenti. Gizzard berfungsi untuk menghancurkan pakan dengan bantuan grid
(kerikil kecil) sesuai dengan pendapat Anggorodi (1985) yang menyatakan,
gizzard adalah organ berotot yang membantu menghancurkan pakan, terdapat grid
yang membantu pada proses tersebut.
Rerata pertambahan bobot badan harian ayam Kedu dalam penelitian
sebesar 8,38 g, lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Sukamto (1997) yang
menunjukkan pertambahan bobot badan harian ayam Kedu periode bertelur
sebesar 11,69 g. Namun demikian peningkatan protein ransum dari 13% sampai
17% yang diterapkan oleh Sukamto (1997) pada ayam Kedu petelur periode
bertelur juga tidak meningkatkan pertambahan bobot badan harian. Hal ini
menunjukkan semakin tinggi level protein kasar dalam ransum, memberikan
respon yang sama terhadap pertambahan bobot badan harian karena ayam Kedu
sudah mencapai 30 minggu dan berada pada puncak periode bertelur sehingga
nutrisi yang diserap oleh usus halus terutama sekali akan dimanfaatkan untuk
produksi telur. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Rasyaf (1998) bahwa
ayam Kampung periode bertelur mencapai puncak produksinya pada fase I (umur
22-34 minggu), setelah itu masih bisa memproduksi telur tetapi mengalami
penurunan pada fase I yaitu pada umur 34-74 minggu.
Peningkatan level protein sampai taraf 16% dapat meningkatkan bobot
relatif organ pencernaan terutama usus halus (Tabel 1), hal ini menunjukkan
bahwa usus halus masih tumbuh sehingga dapat meningkatkan fungsinya dalam
menyerap nutrisi menjadi lebih optimal. Penyerapan nutrisi yang optimal
berdampak pada peningkatan HDP dan berat telur. Pernyataan tersebut sesuai
dengan penelitian Aldini (2013) yang secara bersamaan melakukan pengamatan
terhadap HDP dan berat telur. Ransum dengan level protein 16% meningkatkan
HDP dan bobot badan masing-masing sebesar 9% dan 5 gram dibandingkan yang
diberi ransum dengan 12% level protein.
SIMPULAN
Aldini, L. D. 2013. Deposisi Kalsium (Ca) pada Cangkang dan Kekuatan Tulang
Ayam Kedu Periode Awal Bertelur dengan diberi Ransum Berbeda Level
Protein. Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,
Semarang (Skripsi).
Ariyanto, R. 2013. Kecernaan Protein dan Retensi Nitrogen pada Ayam Kedu
Umur 24-30 Minggu yang diberi Ransum Berbagai Level Protein. Fakultas
Peternakan dan Pertanian. Universitas Diponegoro, Semarang (Skripsi).
Blakely, J. dan D.H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh Bambang Srigandono).
Cahyono, E. D, U. Atmomarsono dan E. Suprijatna. 2012. Pengaruh penggunaan
tepung jahe dalam ransum terhadap saluran pencernaan dan hati pada ayam
kampung umur 12 minggu. J. Anim. Agric. 1 (1) : 65-74.
Cresswell, B. C. and B. Gunawan. 1982. Ayam-ayam Lokal di Indonesia.
Proceeding, Seminar Ilmu dan Industri Perunggasan II. Ciawi, Bogor.
September 28, 1982. Hal. 48-50.