Anda di halaman 1dari 13

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/281629532

BOBOT RELATIF ORGAN PENCERNAAN AYAM KEDU PETELUR DIBERI


RANSUM DENGAN BERBAGAI LEVEL PROTEIN

Article · November 2013

CITATIONS READS

0 8,046

1 author:

Ahmad Maulin Naufa


Binus University
12 PUBLICATIONS   39 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Organizational Commitment Project View project

financial research View project

All content following this page was uploaded by Ahmad Maulin Naufa on 10 September 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


BOBOT RELATIF ORGAN PENCERNAAN AYAM KEDU PETELUR

DIBERI RANSUM DENGAN BERBAGAI LEVEL PROTEIN

MAKALAH JURNAL

Oleh :
AHMAD MAULIN NAUFA

FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013
Judul Skripsi : BOBOT RELATIF ORGAN PENCERNAAN
AYAM KEDU PETELUR DIBERI RANSUM
DENGAN BERBAGAI LEVEL PROTEIN
Nama Mahasiswa : AHMAD MAULIN NAUFA
Nomor Induk Mahasiswa : H2C 008 004
Program Studi/Jurusan : S1-NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK /
NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK
Fakultas : PETERNAKAN DAN PERTANIAN

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Ir.Hanny Indrat Wahyuni, M.Sc, Ph.D. Istna Mangisah, S.Pt, M.P.

Pembantu Dekan I

Dr. Ir. Eko Pangestu, M.P.


BOBOT RELATIF ORGAN PENCERNAAN AYAM KEDU PETELUR
DIBERI RANSUM DENGAN BERBAGAI LEVEL PROTEIN
(Relative Weight of Digestive Organ in Kedu Hens Fed Ration with Various
Protein Levels)
Naufa, A. M, H. I. Wahyuni dan I. Mangisah
ABSTRAK
Penelitian bertujuan menentukan level protein yang paling efisien dalam
ransum untuk meningkatkan bobot relatif organ pencernaan ayam Kedu periode
bertelur. Materi yang digunakan 75 ekor ayam Kedu hitam betina dengan rerata
bobot badan 1.457,79 ± 239,07 g. Parameter yang diamati meliputi bobot relatif
organ pencernaan yaitu esophagus, proventikulus, gizzard, usus halus, sekum,
kolon dan pertambahan bobot badan harian (PBBH). Penelitian menggunakan
rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan level protein dan 5
kelompok bobot badan. Perlakuan yang diterapkan adalah protein 12, 14 dan 16%.
Data yang diperoleh diolah dengan analisis ragam, jika berpengaruh nyata
(P<0,05) dilanjutkan uji Duncan taraf 5% untuk mengetahui perbedaan nilai
tengah antar perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan rerata bobot relatif organ
pencernaan dipengaruhi oleh level protein yaitu pada esophagus, proventikulus,
usus halus, sekum dan kolon, pada protein 16% berat relatif paling tinggi masing-
masing yaitu 0,33, 0,31, 4,93, 0,17 dan 0,33%. Pada gizzard dan PBBH tidak
dipengaruhi oleh level protein ransum. Kesimpulan penelitian yaitu peningkatan
level protein ransum ayam Kedu dari 12 sampai 16% meningkatkan bobot relatif
esophagus, proventikulus, usus halus, sekum dan kolon. Hal ini sejalan dengan
peningkatan fungsi usus halus untuk menyerap nutrisi dan lebih digunakan untuk
peningkatan produktivitas telur dari pada PBBH.
Kata kunci : ayam Kedu petelur, organ pencernaan, protein ransum

ABSTRACT
The research aims to determine the most efficient dietary protein level to
increase the digestive organs relative weight in Kedu hens. Seventy five birds of
black Kedu hen with average body weight of 1457.79 ± 239.07 g were used.
Parameters observed were relative weights of esophagus, proventikulus, gizzard,
small intestine, sekum, colon and daily weight gain (ADG). The research was
disigned using randomized block design (RBD) with 3 dietary protein level and 5
groups of body weight. The dietary crude protein level was 12, 14 and 16%. The
data obtained were analyzed using analysis of variance, followed by Duncan
Multiple range test (DMRT) at 5% level to determine the differences between
treatments. The results showed that the digestive organs relative weight in Kedu
hens were significantly influenced by dietary protein level (P<0,05). The heighest
digestive organs relative weight was found in hens fed ration with 16% protein
level on esophagus, proventriculus, small intestine, sekum and colon namely 0,33,
0,31, 4,93, 0,17 dan 0,33%, respectively. Gizzard and ADG was not significant
affected by dietary protein levels. The conclusion was that the increased of protein
from 12 to 16% in Kedu hens ration increased the relative weight of
proventikulus, small intestine, sekum and colon. The highest relative weight of the
small intestine was in line with the increased function to absorb nutrients and used
it for eggs production rather than for body weight gain.
Keywords: Laying Kedu hens, digestive organs, dietary protein

PENDAHULUAN

Ayam Kedu merupakan salah satu varietas ayam lokal di Indonesia yang
perlu dikembangkan karena mudah beradaptasi, tahan penyakit dan bisa
dimanfaatkan sebagai ayam dwiguna (petelur dan pedaging) sebagai sumber
protein hewani. Pengembangan ayam Kedu terkendala pada pemberian ransum
yang masih belum memenuhi kebutuhan, ransum peternak umumnya diberikan
dengan level protein sebesar 11% atau lebih rendah (Wahyuni et al., 2011)
sehingga pertumbuhan ayam Kedu kurang optimal. Pemberian ransum yang
memenuhi kebutuhan nutrisinya dapat meningkatkan produktivitasnya, khususnya
protein. Ayam yang tumbuh membutuhkan asupan nutrisi dari hasil pencernaan,
sehingga organ pencernaan mempunyai fungsi yang penting untuk mengolah dan
menyerap nutrisi. Penelitian yang ada menunjukkan peningkatan level protein
dapat meningkatkan bobot relatif organ pencernaan menjadi optimal, pada ayam
Kedu fase pertumbuhan (Muniroh, 2006).
Produktivitas ayam Kedu hitam umur 20 minggu meliputi berat badan
mencapai 1.480 gram, produksi telur 215 butir, konsumsi 93 gram/hari, Hen Day
Production (HDP) 38,8% dan konversi ransum 3,6 (Cresswell dan Gunawan,
1982). Rata-rata bobot badan ayam Kedu fase pullet (bertelur) sekitar 1,5 kg,
konsumsi ransum sekitar 90,60 gram, Hen Day Production (HDP) 44,75% dan
pertambahan bobot badan 11,69 gram, sementara pertambahan bobot badan ayam
petelur white leghorn sebesar 6,4 g/ekor/hari dan pendapat lain menyatakan
produksi telur ayam Kedu mencapai 215 butir per tahun dengan puncak produksi
sebesar 75 % (Scott et al., 1982). Pertambahan bobot badan ayam dipengaruhi
oleh umur, strain (jenis), ransum yang diberikan serta kondisi lingkungan.
Semakin bertambahnya umur, maka pertambahan bobot badan akan semakin
menurun. Hal ini disebabkan ransum yang dikonsumsi dimanfaatkan untuk
produksi telur, pertumbuhan bulu, aktivitas fisik, pertumbuhan jaringan dan
mempertahankan suhu tubuh (Iskandar, 2007). Nutrisi yang terkandung dalam
ransum digunakan untuk produksi telur (Aldini, 2013).
Secara umum kandungan nutrisi yang dibutuhkan ternak tergantung pada
variasi genetik, umur, bobot badan, aktivitas, kandungan energi ransum dan
temperatur lingkungan (Wahju, 1997). Kebutuhan protein untuk ayam petelur
sangat erat hubungannya dengan produksi telur dan besarnya telur, pada saat
produksi telur mencapai puncaknya kebutuhan protein yaitu 17-19% sementara
pada akhir siklus produksi kebutuhan menurun sampai 14% (Mulyantini, 2010).
Esophagus merupakan saluran tempat dilaluinya pakan dari mulut menuju
ke crop (Suprijatna, et al., 2005). Crop berfungsi sebagai alat penampung pakan
yang melakukan pencernaan fisik pertama (Rasyaf, 1998). Proventikulus
merupakan suatu organ yang berdinding tebal dan langsung berhubungan dengan
ventriculus. Ventriculus adalah organ berotot yang membantu menghancurkan
pakan, terdapat grid yang membantu pada proses tersebut (Anggorodi, 1985).
Pakan yang telah halus selanjutnya ke usus halus yang terdiri dari duodenum,
jejenum dan ileum. Usus halus berfungsi sebagai tempat berlangsungnya
pencernaan dan absorpsi produk hasil pencernaan. Ceca didalamnya terdapat
nutrisi yang tidak tercerna, selanjutnya mengalami dekomposisi mikroba, selain
itu juga terjadi digesti serat oleh mikroba pencerna serat (Yuwanta, 2004). Usus
besar adalah kelanjutan saluran pencernaan dari persimpangan ceca ke kloaka dan
berfungsi menjaga keseimbangan kadar air dalam tubuh ayam (Blakely dan Bade,
1998). Kloaka merupakan bagian akhir saluran pencernaan yang berfungsi sebagai
tempat keluarnya ekskreta (campuran kotoran dan urin) (Rasyaf, 1998).
Pertambahan bobot badan harian ayam Kedu periode bertelur sebesar
11,69 g (Sukamto, 1997). Ransum perlakuan dengan perbandingan level protein
16%, 18% dan 20% menunjukkan level protein berpengaruh terhadap volume
crop, panjang usus halus dan ceca ayam umur 10 minggu (Suthama dan
Ardiningsasi, 2006). Level protein berpengaruh terhadap panjang usus halus dan
sekum ayam Kedu namun tidak berpengaruh terhadap berat proventrikulus dan
ventrikulus umur 10 minggu, panjang usus besar umur 5 dan 10 minggu, panjang
usus halus dan sekum umur 5 minggu (Muniroh, 2006). Pemberian ransum
dengan level protein 19% dapat meningkatkan panjang saluran pencernaan pada
ayam Kampung umur 10 minggu (Iskandar, 2007).
Menurut Kwakkel et al., (1994) terjadi penurunan laju perkembangan
organ pencernaan setelah ayam White Leghorn Pullet mencapai fase bertelur. Laju
perkembangan tersebut dapat dinyatakan dalam bobot dari masing-masing organ
baik bobot absolut maupun bobot relatif. Bobot relatif organ pencernaan dapat
dihitung dengan cara menimbang bobot saluran pencernaan setelah dibersihkan
dari kotoran mulai esophagus sampai kloaka di bagi dengan bobot hidup dikali
100% (Cahyono, et al., 2012).
Bobot relatif saluran pencernaan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
kadar protein ransum, kecernaan dan umur ayam. Penelitian yang sudah dilakukan
menunjukkan bahwa kadar protein ransum dapat meningkatkan bobot relatif organ
pencernaan ayam Kedu menjadi lebih optimal, tetapi ayam Kedu yang digunakan
masih pada fase pertumbuhan, belum pernah dilakukan penelitian yang
menggunakan ayam Kedu pada periode bertelur, sehingga perlu dilakukan
penelitian ini.
Penelitian ini bertujuan mengetahui bobot relatif organ pencernaan ayam
Kedu petelur dengan meningkatan level protein ransum ayam Kedu. Manfaat yang
diperoleh dari penelitian ini yaitu dapat memberikan informasi level protein yang
tepat untuk meningkatkan bobot relatif organ pencernaan sebagai salah satu
indikator pertumbuhan optimal yang dapat memacu perkembangan ayam Kedu di
Indonesia.
MATERI DAN METODE

Materi Penelitian

Penelitian menggunakan 75 ekor ayam Kedu betina (umur 24 minggu)


dengan rerata bobot badan awal 1457,79 ± 239,07 g. Peralatan yang digunakan
yaitu kandang battery, timbangan digital dengan kapasitas 5 kg, ember,
thermometer dan timbangan analitis ketelitian 0,01 gram.

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan bulan Januari sampai Maret 2012 di kandang


percobaan dan analisis proksimat ransum dilaksanakan di Laboratorium Ilmu
Nutrisi dan Pakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,
Semarang. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK)
dengan 3 perlakuan dan 5 kelompok. Perlakuan yang diberikan yaitu level protein
12, 14, dan 16%, dengan EM berkisar antara 2618,72-2730,29 kkal/kg. Kelompok
dibagi berdasarkan bobot badan, yaitu K1 (1055 – 1220 g), K2 (1221 – 1386 g),
K3 (1387 – 1552 g), K4 (1553 – 1718 g) dan K5 (1719 – 1884 g).
Tahap adaptasi dilakukan selama sebulan pada umur 21-24 minggu,
meliputi adaptasi kandang dan adaptasi pakan. Tahap adaptasi kandang yaitu
ayam dikandangkan pada kandang individu secara acak, sedangkan tahap adaptasi
pakan yaitu ayam diberikan ransum peternak (12%). Ransum diberikan ad
libitum, secara bertahap sampai stabil dan didapatkan jumlah ransum pada tiap
kali pemberian yaitu 60 gram/ekor/pemberian). Ayam diberikan ransum dalam
bentuk pasta dengan menambahkan air pada perbandingan 1:1,5. Pemberian
ransum dilakukan 2x sehari yaitu pagi dan sore hari.
Tahap perlakuan dilakukan pada umur 24 sampai 30 minggu. Konsumsi
ransum dan bobot badan diamati dengan menimbang sisa ransum setiap pagi dan
menimbang ayam untuk mendapatkan bobot badan pada awal dan akhir
perlakuan. Tahap pengambilan data dilakukan pada umur 30 minggu. Satu ekor
ayam diambil secara acak dari masing-masing unit percobaan, ditimbang
kemudian disembelih, dibuka bagian andomen dan diambil organ pencernaan
mulai dari esophagus, proventikulus, gizzard, usus halus, sekum dan kolon. Organ
pencernaan dibersihkan dari digesta didalamnya, dipisahkan organ yang satu
dengan yang lain kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat masing-masing
organ pencernaan. Bobot relatif masing-masing organ dihitung dengan rumus
sebagai berikut :

bobot organ x 100%


bobot badan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rerata bobot relatif esophagus, proventikulus dan gizzard, usus halus,


sekum, kolon dan pertambahan bobot badan harian (PBBH) ayam Kedu petelur
selama penelitian disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa peningkatan level protein berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap
peningkatan bobot relatif esophagus, proventikulus, usus halus, sekum dan kolon
namun tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap peningkatan bobot relatif
gizzard dan PBBH. Hasil uji Duncan pada bobot relatif esophagus, proventikulus,
usus halus, sekum dan kolon menunjukkan bahwa level protein 16% berbeda
nyata dibandingkan level protein 14 dan 12%. Bobot relatif esophagus dan kolon
pada ayam yang diberi ransum 14% level protein tidak berbeda nyata
dibandingkan 12% protein ransum, tetapi bobot relatif usus halus dan sekum dari
dua perlakuan ini menunjukkan perbedaan yang nyata. Kecuali gizzard, semua
bobot relatif organ pencernaan yang diamati menunjukkan nilai tertinggi pada
ayam Kedu yang diberi ransum dengan 16% protein.
Level protein ransum dari 12 sampai 16% meningkatkan bobot relatif
esophagus, proventikulus, usus halus, sekum dan kolon ayam Kedu periode
bertelur yang diberikan selama enam minggu. Hasil penelitian ini sejalan dengan
beberapa peneliti terdahulu yang menerapkan perlakuan peningkatan protein
ransum pada beberapa jenis ayam lokal meski umurnya berbeda. Penelitian
Iskandar (2007) menunjukkan bahwa pemberian ransum dengan level protein 19%
dapat meningkatkan panjang saluran pencernaan pada ayam persilangan antara
ayam pelung dengan ayam kampung pada umur 28 hari mulai dari crop sampai
sekum. Muniroh (2006) menyatakan, terdapat pengaruh nyata peningkatan level
protein ransum terhadap volume organ pencernaan pada crop sampai sekum ayam
kampung umur 10 minggu. Cahyono et al., (2012) menambahkan, bobot relatif
saluran pencernaan dipengaruhi oleh ransum, kecernaan nutrisi dan umur ayam.

Tabel 1. Bobot Relatif Esophagus, Proventikulus dan Gizzard, Usus


Halus, Sekum, Kolon dan PBBH ayam Kedu Petelur Umur 30
Minggu setelah diberi Ransum dengan Peningkatan Level
Protein Selama 6 Minggu

Level Protein Ransum (%)


Parameter
12 14 16
-----------------------------%-------------------------------
Esophagus 0,22b 0,25b 0,33a
Proventikulus 0,24b 0,28ab 0,31a
Gizzard 1,39 1,38 1,52
Usus Halus 3,16c 3,93b 4,93a
Sekum 0,11c 0,14b 0,17a
Kolon 0,21b 0,25b 0,33a
PBBH 7,34 8,98 8,84
Keterangan : Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)

Berbeda dengan gizzard dan PBBH, level protein dari 12 sampai 16%
tidak meningkatkan bobot relatif gizzard dan PBBH. peningkatan level protein
ransum tidak berpengaruh terhadap peningkatan bobot relatif gizzard ayam Kedu
karena umur ayam yang lebih dari dua puluh minggu, selain protein ransum umur
dan kecernaan juga berpengaruh terhadap bobot relatif saluran pencernaan.
Pernyataan tersebut sesuai pendapat Cahyono et al., (2012) bahwa bobot relatif
saluran pencernaan dipengaruhi oleh protein ransum, kecernaan dan umur ayam.
Pertumbuhan organ pencernaan dipengaruhi oleh protein ransum, namun suatu
saat berhenti. Gizzard berfungsi untuk menghancurkan pakan dengan bantuan grid
(kerikil kecil) sesuai dengan pendapat Anggorodi (1985) yang menyatakan,
gizzard adalah organ berotot yang membantu menghancurkan pakan, terdapat grid
yang membantu pada proses tersebut.
Rerata pertambahan bobot badan harian ayam Kedu dalam penelitian
sebesar 8,38 g, lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Sukamto (1997) yang
menunjukkan pertambahan bobot badan harian ayam Kedu periode bertelur
sebesar 11,69 g. Namun demikian peningkatan protein ransum dari 13% sampai
17% yang diterapkan oleh Sukamto (1997) pada ayam Kedu petelur periode
bertelur juga tidak meningkatkan pertambahan bobot badan harian. Hal ini
menunjukkan semakin tinggi level protein kasar dalam ransum, memberikan
respon yang sama terhadap pertambahan bobot badan harian karena ayam Kedu
sudah mencapai 30 minggu dan berada pada puncak periode bertelur sehingga
nutrisi yang diserap oleh usus halus terutama sekali akan dimanfaatkan untuk
produksi telur. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Rasyaf (1998) bahwa
ayam Kampung periode bertelur mencapai puncak produksinya pada fase I (umur
22-34 minggu), setelah itu masih bisa memproduksi telur tetapi mengalami
penurunan pada fase I yaitu pada umur 34-74 minggu.
Peningkatan level protein sampai taraf 16% dapat meningkatkan bobot
relatif organ pencernaan terutama usus halus (Tabel 1), hal ini menunjukkan
bahwa usus halus masih tumbuh sehingga dapat meningkatkan fungsinya dalam
menyerap nutrisi menjadi lebih optimal. Penyerapan nutrisi yang optimal
berdampak pada peningkatan HDP dan berat telur. Pernyataan tersebut sesuai
dengan penelitian Aldini (2013) yang secara bersamaan melakukan pengamatan
terhadap HDP dan berat telur. Ransum dengan level protein 16% meningkatkan
HDP dan bobot badan masing-masing sebesar 9% dan 5 gram dibandingkan yang
diberi ransum dengan 12% level protein.

SIMPULAN

Simpulan penelitian, yaitu bahwa peningkatan level protein dari 12%


sampai 16% pada ransum ayam Kedu petelur dapat meningkatkan bobot relatif
esophagus, proventikulus, usus halus, sekum dan kolon namun tidak pada gizzard
dan pertambahan bobot badan.
DAFTAR PUSTAKA

Aldini, L. D. 2013. Deposisi Kalsium (Ca) pada Cangkang dan Kekuatan Tulang
Ayam Kedu Periode Awal Bertelur dengan diberi Ransum Berbeda Level
Protein. Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,
Semarang (Skripsi).

Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas.


Universitas Indonesia, Jakarta.

Ariyanto, R. 2013. Kecernaan Protein dan Retensi Nitrogen pada Ayam Kedu
Umur 24-30 Minggu yang diberi Ransum Berbagai Level Protein. Fakultas
Peternakan dan Pertanian. Universitas Diponegoro, Semarang (Skripsi).
Blakely, J. dan D.H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh Bambang Srigandono).
Cahyono, E. D, U. Atmomarsono dan E. Suprijatna. 2012. Pengaruh penggunaan
tepung jahe dalam ransum terhadap saluran pencernaan dan hati pada ayam
kampung umur 12 minggu. J. Anim. Agric. 1 (1) : 65-74.
Cresswell, B. C. and B. Gunawan. 1982. Ayam-ayam Lokal di Indonesia.
Proceeding, Seminar Ilmu dan Industri Perunggasan II. Ciawi, Bogor.
September 28, 1982. Hal. 48-50.

Iskandar, S. 2007. Tata Laksana Pemeliharaan Ayam Lokal. Katalog


Keanekaragaman Sumber Daya Hayati Ayam Lokal Indonesia. LIPI Press,
Bogor.

Mulyantini, N. G. A. 2010. Ilmu Manajemen Ternak Unggas. Gadjah Mada


University Press, Yogyakarta.
Muniroh, L. 2006. Pengaruh Level Protein Ransum terhadap Pertumbuhan dan
Perkembangan Organ Pencernaan pada Ayam Kampung dan Ayam Kampung
Super Umur 1 Hari – 10 Minggu. Fakultas Peternakan. Universitas
Diponegoro, Semarang (Skripsi).
Rasyaf, M. 1998. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya, Jakarta.

Scott, M. L., M. C. Nesheim, and R. J. Young. 1982. Nutrition of The Chicken.


3rd ed. Ithaca, New York.
Sukamto, B. 1997. Kebutuhan Energi dan Protein Berdasarkan Efisiensi
Penggunaan Protein dengan Manifestasinya terhadap Performan Produksi
Ayam Kedu. Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran, Bandung
(Disertasi).
Suprijatna, E., U. Atmomarsono dan R. Kartosudjono. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Suthama, N dan Ardiningsasi. 2006. Metabolisme protein pada ayam kampong
periode pertumbuhan yang diberi ransum memakai dedak padi fermentasi. J.
Pengemb. Petern. Tropis. 1 (1) : 44 – 48.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-2. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Wahyuni, H. I, N. Suthama, I. Mangisah and T.A. Sarjana. 2011. Egg quality and
hatchability of in situ - reared kedu and cemani hens fed diet of farmer
formulation supplemented with vitamin E. J. Anim. Agric. 1 (1) : 1-8.
Wulandari, K. Y. 2013. Kecernaan Serat Kasar dan Energi Metabolis pada Ayam
Kedu Umur 24 Minggu yang diberi Ransum dengan Berbagai Level Protein
Kasar dan Serat Kasar. Fakultas Peternakan dan Pertanian. Universitas
Diponegoro, Semarang (Skripsi).
Yuwanta, T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Kanisus, Yogyakarta.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai