Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ratna Candra Sari

Kelas : 2021 C
NIM : 21040284072

PROSES PERUBAHAN EKOLOGI PADA PERTANIAN DI INDONESIA


(INFOLUSI PERTANIAN) MENURUT CLIFFORD GEERTZ.

Istilah "involusi" diciptakan oleh antropolog Alexander Goldenweiser dan


menggambarkan budaya yang tidak dapat beradaptasi dalam pengembangan ekonominya, tetapi
hanya berkembang menjadi kompleksitas internal dan inefisiensi (Hui, 2009). Secara garis besar
Geertz menerangkan Involusi dalam arti para petani yang menggarap sawah hanya membagi
kemiskinan dan tidak berevolusi seperti para petani di luar Jawa. Mereka hanya membuat keadaan
terbalik dan tidak menunjukkan kemajuan linear. Hal tersebut tergambar dari paparan Geertz yang
didukung oleh berbagai teori dari beberapa Antropolog untuk menguatkan isi buku ini.
Ekologi pertanian di Jawa nampaknya berubah setelah adanya Cultuutstelsel (sistem
penanaman) yang biasa dikenal orang Indonesia sebagai sistem pertanian paksa. Ini ternyata
menjadi penyebab involusi pertanian. Clifford Geertz memaparkan konsepnya tentang involusi
pertanian dengan menggunakan proses perubahan ekologis di Indonesia saat itu, kehadiran sistem
pertanian modern yang dibawa oleh pihak kolonial Hindia-Belanda ke Jawa tidak memunculkan
perubahan linear maju bagi masyarakat petani di sana, namun justru timbul keadaan yang involutif
karena jumlah penduduk terus bertambah.
Pada mulannya kebijakan kolonial Hindia-Belanda membawa produk pertanian Indonesia
yang subur ke pasar dunia, dimana pada saat itu produk dari Indonesia sangat dibutuhkan dan laku
keras dalam pasaran, tanpa mengubah struktur ekonomi masyrakat. Pemerintah Hindia Belanda
masuk ke Hindia Belanda pada tahun 1830 berupaya untuk menguasai pasar dunia, dan
mengembangkan ekonomi negara koloni untuk kepentingan kas Belanda. Upaya lain pemerintah
kolonial untuk meraih pasar internasional adalah mempertahankan pribumi tetap pribumi, dan
terus mendorong mereka untuk berproduksi bagi memenuhi kebutuhan pasar dunia. Keadaan ini
mewujudkan struktur ekonomi yang secara intrinsik tidak seimbang, yang oleh JH Boeke (1958)
disebut dualisme ekonomi.
Selanjutnya pada sektor impor terdapat sektor pertanian keluarga, industri rumah tangga,
dan perdagangan kecil. Sedangkan pada sektor ekspor terjadi peningkatan yang dipicu oleh harga
komoditas dunia, maka sektor domestik justru mengalami kemerosotan dan kemunduran. Tanah
dan petani semakin terserap ke sektor pertanian komersial mengakibatkan peningkatan populasi
petani yang berupaya melakukan kompensasi penghasilan uang.
Kemiskinan di Jawa adalah produk interaksi antara penduduk pribumi terutama petani dan
struktur kolonial pada tingkat nasional dalam kontes ekonomi dan politik. Pertanian dan petani
Jawa secara khusus, dan kehidupan sosial orang Jawa secara umum, harus bertahan untuk
menghadapi realita meningkatnya jumlah penduduk dan tekanan kolonial melalui proses
kompleksifikasi internal. Adapun keterkaitan proses kemiskinan dan tesis Involusi Pertanian di
Jawa, dijelaskan Geertz sebagai suatu pola kebudayaan yang memiliki suatu bentuk yang definitif,
terus berkembang menjadi semakin rumit ke dalam.
Dapat dilihat keadaan pada waktu itu hampir 70 persen dari pulau Jawa ditanami setiap
tahun. Di Jawa, hampir separuh dari tanah pertanian (yang dimiliki pemilik tanah kecil) tidak
mendapat irigasi, boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Di daerah yang ada irigasi, tanah
pertanian berupa sawah, kira-kira setengahnya diusahakan dua kali setahun, atau ditanami padi
lagi, atau digilir dengan salah satu atau beberapa jenis palawija. Di daerah yang tidak ada irigasi,
tanah untuk palawija itu (jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang, padi, gaga, sayuran dan sebagainya)
diusahakan bergiliran (crop and fallow regime). Statistik produksi juga memberikan gambaran
yang sama, kira-kira 63 persen dari hasil beras, 74 persen jagung, 70 persen ubi kayu, 60 persen
ubi manis, 86 persen kacang dan 90 persen kedelai berasal dari Jawa. Kondisi ekologis, organisasi
sosial, demografis, serta budaya menyebabkan petani Jawa harus melakukan berbagai adaptasi
agar mereka tetap mampu memenuhi kebutuhan subsistennya.
Mekanisme adaptasi petani Jawa yang digambarkan oleh Geertz adalah dengan melakukan
intensifikasi dengan melibatkan sebanyak mungkin tenaga dalam setiap kegiatan produksi
tanaman dalam kerangka membagi-bagikan rejeki yang ada hingga makin lama makin sedikit yang
diterima. Geertz menyebut mekanisme ini dengan Shared Proverty atau kemiskinan yang dibagi
rata, secara gampangnya berbagi kemiskinan dengan sesama anggota keluarga. Kerumitan dan
kesengsaraan petani Jawa dalam memunculkan kondisi involutif yang menurut Geertz terjadi pada
dua sistem. Pertama, terjadi involusi pada sistem pertanian, yaitu sistem yang bertambah rumit
baik cara bertani maupun irigasi. Sistem bagi hasil yang kompleks dan ruwet, misalnya tanah
sepetak yang kecil milik keluarga petani harus dipotong lebih kecil-kecil lagi untuk dibagikan ke
anak-anaknya yang banyak. Sistem yang sangat rumit karena bertujuan mengakomodasi keluarga
yang semakin bertambah banyak agar kebagian makanan. Inilah yang dimaksud Geertz sebagai
shared poverty atau kemiskinan terbagi. Implikasinya dari kerumitan sistem pertanian ini menurut
Geertz tidak muncul kelas-kelas sosial yang tajam, seperti tidak ada batas yang jelas antara tuan
tanah dan buruh karena semua mendapat bagian yang kecil. Seorang tuan tanah pun masih ikut
mburuh di usaha tani orang lain untuk mencukupi kebutuhan subsistennya. Menurut Geertz,
struktur sosial masyarakat yang cenderung egaliter ini disebabkan karena tekanan ekonomi padat
modal menjadikan seseorang sulit menjadi seorang patron yang mutlak. Jika ada keinginan untuk
menjadi patron, maka selalu ada sistem yang memaksa agar struktur masyarakat tetap egaliter.
Sistem tersebut merupakan apa yang dimaksud Geertz pada implikasi kondisi involutif
yang kedua, yaitu sistem budaya. Sistem budaya masyarakat Jawa akibat involusi pertanian
mereka juga ikut menjadi rumit, terklasifikasi dengan kompleks dan menjunjung tinggi semangat
komunal. Manifestasi dari sistem budaya yang rumit namun egaliter dan komunal tersebut seperti
upacara selametan, gotong royong, sistem kekerabatan, maupun tata politik masyarakat Jawa. Bisa
dikatakan bahwa pola involusi dalam pertanian tersebut ternyata memunculkan involusi
kebudayaan masyarakat Jawa, atau disebut Geertz sebagai pandangan hidup abangan. Demikian
cara Geertz menyampaikan sebuah gambaran mengenai pola pertanian di Jawa dan dampaknya
bagi masyarakat yang mengalaminya.

Referensi
CLIFFORD, GEERTZ. 1970. Agricultural involution : the process of ecological change in
Indonesia. Los Angeles : University of California Press.

Anda mungkin juga menyukai