0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
23 tayangan3 halaman
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas konsep involusi pertanian menurut Clifford Geertz di Indonesia, di mana sistem pertanian dan budaya petani Jawa menjadi semakin rumit akibat tekanan populasi dan sistem kolonial untuk mengakomodasi keluarga yang semakin banyak melalui pembagian sumber daya yang semakin kecil.
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas konsep involusi pertanian menurut Clifford Geertz di Indonesia, di mana sistem pertanian dan budaya petani Jawa menjadi semakin rumit akibat tekanan populasi dan sistem kolonial untuk mengakomodasi keluarga yang semakin banyak melalui pembagian sumber daya yang semakin kecil.
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas konsep involusi pertanian menurut Clifford Geertz di Indonesia, di mana sistem pertanian dan budaya petani Jawa menjadi semakin rumit akibat tekanan populasi dan sistem kolonial untuk mengakomodasi keluarga yang semakin banyak melalui pembagian sumber daya yang semakin kecil.
PROSES PERUBAHAN EKOLOGI PADA PERTANIAN DI INDONESIA
(INFOLUSI PERTANIAN) MENURUT CLIFFORD GEERTZ.
Istilah "involusi" diciptakan oleh antropolog Alexander Goldenweiser dan
menggambarkan budaya yang tidak dapat beradaptasi dalam pengembangan ekonominya, tetapi hanya berkembang menjadi kompleksitas internal dan inefisiensi (Hui, 2009). Secara garis besar Geertz menerangkan Involusi dalam arti para petani yang menggarap sawah hanya membagi kemiskinan dan tidak berevolusi seperti para petani di luar Jawa. Mereka hanya membuat keadaan terbalik dan tidak menunjukkan kemajuan linear. Hal tersebut tergambar dari paparan Geertz yang didukung oleh berbagai teori dari beberapa Antropolog untuk menguatkan isi buku ini. Ekologi pertanian di Jawa nampaknya berubah setelah adanya Cultuutstelsel (sistem penanaman) yang biasa dikenal orang Indonesia sebagai sistem pertanian paksa. Ini ternyata menjadi penyebab involusi pertanian. Clifford Geertz memaparkan konsepnya tentang involusi pertanian dengan menggunakan proses perubahan ekologis di Indonesia saat itu, kehadiran sistem pertanian modern yang dibawa oleh pihak kolonial Hindia-Belanda ke Jawa tidak memunculkan perubahan linear maju bagi masyarakat petani di sana, namun justru timbul keadaan yang involutif karena jumlah penduduk terus bertambah. Pada mulannya kebijakan kolonial Hindia-Belanda membawa produk pertanian Indonesia yang subur ke pasar dunia, dimana pada saat itu produk dari Indonesia sangat dibutuhkan dan laku keras dalam pasaran, tanpa mengubah struktur ekonomi masyrakat. Pemerintah Hindia Belanda masuk ke Hindia Belanda pada tahun 1830 berupaya untuk menguasai pasar dunia, dan mengembangkan ekonomi negara koloni untuk kepentingan kas Belanda. Upaya lain pemerintah kolonial untuk meraih pasar internasional adalah mempertahankan pribumi tetap pribumi, dan terus mendorong mereka untuk berproduksi bagi memenuhi kebutuhan pasar dunia. Keadaan ini mewujudkan struktur ekonomi yang secara intrinsik tidak seimbang, yang oleh JH Boeke (1958) disebut dualisme ekonomi. Selanjutnya pada sektor impor terdapat sektor pertanian keluarga, industri rumah tangga, dan perdagangan kecil. Sedangkan pada sektor ekspor terjadi peningkatan yang dipicu oleh harga komoditas dunia, maka sektor domestik justru mengalami kemerosotan dan kemunduran. Tanah dan petani semakin terserap ke sektor pertanian komersial mengakibatkan peningkatan populasi petani yang berupaya melakukan kompensasi penghasilan uang. Kemiskinan di Jawa adalah produk interaksi antara penduduk pribumi terutama petani dan struktur kolonial pada tingkat nasional dalam kontes ekonomi dan politik. Pertanian dan petani Jawa secara khusus, dan kehidupan sosial orang Jawa secara umum, harus bertahan untuk menghadapi realita meningkatnya jumlah penduduk dan tekanan kolonial melalui proses kompleksifikasi internal. Adapun keterkaitan proses kemiskinan dan tesis Involusi Pertanian di Jawa, dijelaskan Geertz sebagai suatu pola kebudayaan yang memiliki suatu bentuk yang definitif, terus berkembang menjadi semakin rumit ke dalam. Dapat dilihat keadaan pada waktu itu hampir 70 persen dari pulau Jawa ditanami setiap tahun. Di Jawa, hampir separuh dari tanah pertanian (yang dimiliki pemilik tanah kecil) tidak mendapat irigasi, boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Di daerah yang ada irigasi, tanah pertanian berupa sawah, kira-kira setengahnya diusahakan dua kali setahun, atau ditanami padi lagi, atau digilir dengan salah satu atau beberapa jenis palawija. Di daerah yang tidak ada irigasi, tanah untuk palawija itu (jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang, padi, gaga, sayuran dan sebagainya) diusahakan bergiliran (crop and fallow regime). Statistik produksi juga memberikan gambaran yang sama, kira-kira 63 persen dari hasil beras, 74 persen jagung, 70 persen ubi kayu, 60 persen ubi manis, 86 persen kacang dan 90 persen kedelai berasal dari Jawa. Kondisi ekologis, organisasi sosial, demografis, serta budaya menyebabkan petani Jawa harus melakukan berbagai adaptasi agar mereka tetap mampu memenuhi kebutuhan subsistennya. Mekanisme adaptasi petani Jawa yang digambarkan oleh Geertz adalah dengan melakukan intensifikasi dengan melibatkan sebanyak mungkin tenaga dalam setiap kegiatan produksi tanaman dalam kerangka membagi-bagikan rejeki yang ada hingga makin lama makin sedikit yang diterima. Geertz menyebut mekanisme ini dengan Shared Proverty atau kemiskinan yang dibagi rata, secara gampangnya berbagi kemiskinan dengan sesama anggota keluarga. Kerumitan dan kesengsaraan petani Jawa dalam memunculkan kondisi involutif yang menurut Geertz terjadi pada dua sistem. Pertama, terjadi involusi pada sistem pertanian, yaitu sistem yang bertambah rumit baik cara bertani maupun irigasi. Sistem bagi hasil yang kompleks dan ruwet, misalnya tanah sepetak yang kecil milik keluarga petani harus dipotong lebih kecil-kecil lagi untuk dibagikan ke anak-anaknya yang banyak. Sistem yang sangat rumit karena bertujuan mengakomodasi keluarga yang semakin bertambah banyak agar kebagian makanan. Inilah yang dimaksud Geertz sebagai shared poverty atau kemiskinan terbagi. Implikasinya dari kerumitan sistem pertanian ini menurut Geertz tidak muncul kelas-kelas sosial yang tajam, seperti tidak ada batas yang jelas antara tuan tanah dan buruh karena semua mendapat bagian yang kecil. Seorang tuan tanah pun masih ikut mburuh di usaha tani orang lain untuk mencukupi kebutuhan subsistennya. Menurut Geertz, struktur sosial masyarakat yang cenderung egaliter ini disebabkan karena tekanan ekonomi padat modal menjadikan seseorang sulit menjadi seorang patron yang mutlak. Jika ada keinginan untuk menjadi patron, maka selalu ada sistem yang memaksa agar struktur masyarakat tetap egaliter. Sistem tersebut merupakan apa yang dimaksud Geertz pada implikasi kondisi involutif yang kedua, yaitu sistem budaya. Sistem budaya masyarakat Jawa akibat involusi pertanian mereka juga ikut menjadi rumit, terklasifikasi dengan kompleks dan menjunjung tinggi semangat komunal. Manifestasi dari sistem budaya yang rumit namun egaliter dan komunal tersebut seperti upacara selametan, gotong royong, sistem kekerabatan, maupun tata politik masyarakat Jawa. Bisa dikatakan bahwa pola involusi dalam pertanian tersebut ternyata memunculkan involusi kebudayaan masyarakat Jawa, atau disebut Geertz sebagai pandangan hidup abangan. Demikian cara Geertz menyampaikan sebuah gambaran mengenai pola pertanian di Jawa dan dampaknya bagi masyarakat yang mengalaminya.
Referensi CLIFFORD, GEERTZ. 1970. Agricultural involution : the process of ecological change in Indonesia. Los Angeles : University of California Press.