Anda di halaman 1dari 4

PEMBIDAIAN

 Pendahuluan
 Indikasi
 Kontraindikasi
 Teknik
 Komplikasi
 Edukasi Pasien
 Pedoman Klinis

TEKNIK PEMBIDAIAN
Oleh :
dr. Felicia
Share To Social Media:
  
Secara garis besar, aspek dari teknik pembidaian (splinting) meliputi bantalan yang tepat, penggunaan elastik perban yang sesuai,
memposisikan area yang mau dibidai sesuai dengan posisi anatomis, dan menggunakan panjang bidai yang sesuai. Pada keadaan
tertentu, akan diperlukan anestesi untuk mengurangi nyeri. Bidai yang digunakan dapat bervariatif sesuai dengan bagian tubuh
serta variasi indikasi pemakaian bidai. [3,16]
Jenis Cedera
Berbeda jenis cedera, maka berbeda pula teknik pembidaian yang direkomendasikan. Berikut ini adalah beberapa contoh
pemilihan bidai berdasarkan jenis cedera.

Fraktur Femoral

Pada fraktur femoral dapat dilakukan imobilisasi dengan traction splint. Pembalutan bidai dilakukan dari distal (pergelangan
kaki) ke proksimal (area paha dan pinggang). Perhatikan untuk tidak melakukan traksi berlebihan karena akan menyebabkan
kerusakan kulit pada kaki, pergelangan kaki, dan perineum. Pada keadaan darurat dengan keterbatasan alat dan bahan, bidai
sederhana dapat dilakukan dengan “mengikat” tungkai yang cedera dengan tungkai yang sehat. [12,13]
Fraktur Pelvis

Fraktur pelvis yang serius disebut juga dengan open book fracture, yaitu fraktur yang menyebabkan pelvic ring terbuka seperti
buku, biasanya pada cedera yang mengenai simfisis pubis. Tanda khas pada open book fracture ini adalah asimetri kedua tungkai,
nyeri pada area pelvis, nyeri saat menggerakkan pinggang, dan edema serta nyeri tekan pada simfisis (pada fraktur pelvis
anterior). [11]
Pada fraktur pelvis dapat digunakan pelvic binder. Pelvic binder akan “membalut” pelvis untuk stabilisasi fragmen fraktur
sementara, sebelum pasien dirujuk atau dievaluasi oleh dokter spesialis. [17]
Cedera Lutut

Pada keadaan cedera lutut, dapat menggunakan knee immobilizers atau bidai sepanjang tungkai untuk membantu imobilisasi
temporer. Lutut tidak boleh diimobilisasi dalam keadaan ekstensi maksimal, namun harus dilakukan fleksi 10 derajat untuk
mengurangi tekanan pada struktur neurovaskular. [4]
Dislokasi Patella

Pada dislokasi patella, dapat dilakukan imobilisasi juga dengan menggunakan posterior split ataupun flexion-limited brace.
Durasi penggunaan bidai posterior ini tidak dapat dipastikan, namun dapat bervariasi antara 3-6 minggu. [18]
Fraktur Pergelangan Kaki (Ankle)
Fraktur pergelangan kaki dapat diimobilisasi dengan bidai yang berbentuk seperti bantalan atau bidai cardboard dengan batalan
untuk menghindari tekanan pada tonjolan tulang. Cedera pergelangan kaki dengan luka pada bagian dorsal memerlukan kontrol
posisi telapak kaki dengan posisi plantar flexi untuk meregangkan bagian kulit dorsal, serta diposisikan pada posisi netral secara
bergantian untuk mencegah pemendekan tendon Achilles. [15]
Cedera Ekstremitas Atas dan Telapak Tangan

Tangan dapat dilakukan bidai temporer sesuai dengan fungsi anatomisnya dengan posisi pergelangan tangan sedikit dorsofleksi
dan jari-jari difleksikan 45 derajat pada sendi metacarpophalangeal. Posisi ini biasanya akan dicapai dengan perlahan
mengimobilisasi tangan dengan kasa dan short arm splint. [1]
Siku biasanya diimobilisasi pada posisi fleksi, dengan menggunakan bidai yang diberikan bantalan atau imobilisasi dengan
menggunakan sling dan swath device. Lengan atas biasanya diimobilisasi dengan membidainya ke tubuh atau
menggunakan sling/swath dengan perban thoracobrachial. Cedera bahu dapat ditatalaksana dengan sling-and-swath atau velcro
type dressing. [1]
Pada pasien dengan carpal tunnel syndrome (CTS) derajat ringan sampai sedang, disarankan untuk imobilisasi setiap malam dan
pada pagi sampai sore hari sesering mungkin dibantu dengan menggunakan soft splint yang terbuat dari bahan poliester. [1,6]
Selain hal-hal tersebut di atas, perlu dilakukan penanganan nyeri dengan memberikan analgesik terutama pada cedera sendi dan
fraktur. Sedatif dan relaksasi otot dapat diberikan secara hati-hati pada pasien dengan cedera ekstremitas yang terisolasi. [4]

Persiapan Pasien
Persiapan pasien dalam melakukan pembidaian yang pertama adalah menempatkan pasien pada posisi yang terbaik agar seluruh
bagian yang mengalami cedera dapat diakses dengan mudah, lalu melepaskan seluruh perhiasan dan pakaian pada bagian tubuh
yang akan dibidai. Kemudian, lakukan pemeriksaan fisik dengan cermat pada bagian yang mau dilakukan pembidaian, termasuk
denyut nadi pada distal area yang cedera, fungsi motorik dan sensorik. [13,19]

Perawatan luka pada area kulit maupun jaringan penyambung lainnya perlu dilakukan sebelum memasang bidai. Selain itu,
dilakukan reduksi apabila diperlukan. Analgesik maupun anestesi mungkin diperlukan pada prosedur pembidaian, terutama
apabila perlu dilakukan reduksi terlebih dahulu. [11]

Pada fraktur terbuka, maka perlu dilakukan kontrol perdarahan terlebih dahulu serta mengembalikan fragmen tulang yang
“menonjol” keluar lewat luka. Apabila perdarahan sudah dikontrol, maka baru dilakukan pembidaian. [4,13]
Pada keadaan dislokasi sendi, maka perlu dilakukan reduksi tertutup terlebih dahulu untuk merelokasi sendi. Kemudian
pembidaian baru dilakukan untuk mempertahankan ekstremitas pada posisi anatomisnya.
Apabila tidak ada tanda-tanda gangguan vaskular atau keadaan yang mengancam terjadinya kerusakan kulit, serta gangguan
hemodinamik, maka perlu dilakukan rontgen sebelum diberikan terapi. [4]

Peralatan
Petugas kesehatan yang akan melakukan pembidaian perlu menggunakan alat pelindung diri (APD). Untuk pembidaian itu
sendiri, alat dan bahan tergantung dari jenis bidai yang digunakan. Untuk soft splint, maka bidai yang digunakan dapat berupa
plaster atau perban elastik dengan klip plester, dapat juga berupa keluaran pabrik seperti posterior splint. [4]
Untuk bidai keras yang konvensional dapat menggunakan bahan kayu yang diberikan bantalan (padding) sehingga memberikan
ruang pada keadaan edema akut. Panjang bidai harus melewati 2 sendi yang berhubungan dengan bagian yang akan dibidai. Di
indonesia, bidai yang masih sering digunakan pada terutama kasus fraktur adalah bidai yang terbuat dari kayu yang dibalut
dengan kapas dan perban (spalk), dengan panjang kayu melewati dua sendi bagian yang cedera dan jumlah minimal 2 spalk pada
ekstremitas atas, 3 spalk untuk ekstremitas bawah.
Untuk wrist splint biasanya tersedia dalam bentuk yang sudah jadi dari pabrik, terbuat dari fiberglass atau plaster dengan
ketebalan yang berbeda-beda. [1] Untuk traction splint, terdapat set yang dapat disesuaikan dengan panjang tungkai bawah
pasien serta ankle strap-nya. [14,18,20]
Selain itu, ada pula thermoplastic splints. Bidai ini bisa dibentuk sesuai keperluan dan cocok digunakan untuk berbagai jenis
keperluan, termasuk sindrom terowongan Karpal dan rheumatoid arthritis. Thermoplastic splints dapat dibagi menjadi 3 jenis.
Jenis yang tidak memerlukan panas dapat terbuat dari material seperti fiberglass  atau karet silikon. Jenis temperatur rendah (60-
77 C) dapat terbuat dari material seperti plastik dan karet, cocok digunakan untuk ekstremitas atas atau area yang tidak
membutuhkan tenaga yang besar. Jenis temperatur tinggi (149-177 C) lebih cocok digunakan pada cedera spinal dan ekstremitas
bawah yang membutuhkan tenaga lebih besar. [25]
Posisi Pasien
Pada pembidaian, tidak ada posisi yang khusus, namun disesuaikan dengan bagian yang akan dilakukan pembidaian. Pada bagian
ekstremitas bawah, posisi yang disarankan adalah supinasi karena mempermudah pemasangan bidai serta traksi apabila
diperlukan.

Prosedural
Prosedur dalam melakukan pembidaian diawali dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) untuk melindungi diri dari cairan
tubuh pasien, terutama pada pasien dengan fraktur terbuka.[4] Apabila diputuskan untuk menggunakan analgesik, misalnya saat
diputuskan untuk melakukan reduksi, maka dapat digunakan obat intravena (IV), seperti morfin. [16] Prosedur selanjutnya
tergantung dari jenis bidai yang digunakan.
Soft Splint

Contoh penggunaan soft splint adalah pada pasien dengan carpal tunnel syndrome (CTS). Pada CTS digunakan wrist
splint buatan pabrik yang direkatkan pada pergelangan tangan ke telapak tangan, dengan sendi metacarpophalangeal dibiarkan
bebas (tidak ikut difiksasi) agar jari-jari tangan dapat tetap bergerak. Bagian yang lebih keras diletakkan di dorsal telapak tangan.
[6]
Bidai Keras (Hard Splint)

Tahap pertama dalam melakukan pembidaian adalah menggunakan fabric stockinette dengan panjangnya disesuaikan dengan
bagian yang akan dilakukan pembidaian (2 inci dari materi bidai) dan dipotong pada bagian ujung untuk jari-jari. Lakukan
pemasangan bantalan pada olecranon (untuk lengan bawah) dan bagian menonjol lainnya untuk mencegah ulkus dekubitus dan
membiarkan proses edema tetap berjalan. Tebal bantalan 2-3 lapis, sedangkan pada tonjolan tulang ditambah 2-3 lapis.
Pemberian bantalan yang berlebihan harus dihindari pada bagian anterior sendi dan siku karena akan memberikan tekanan dan
pembengkakan di area bawah bidai. [14]
Balutan pada bidai dilakukan dari distal ke proksimal dengan tujuan untuk menghindari kompresi berlebihan pada ekstremitas.
Setelah dilakukan pembidaian, maka harus diperiksa kembali apakah imobilisasi sudah adekuat, kesesuaian dengan posisi
anatomis, kekuatan bidai, dan kenyamanan pasien dengan bidai yang terpasang. Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan motorik,
sensorik, denyut nadi, dan penilaian capillary refill time pada bagian distal ekstremitas. Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk
memeriksa kembali fragmen fraktur dan dislokasi yang terjadi. [14,20]
Prosedur pemasangan bidai yang terbuat dari kayu diawali dengan stabilisasi bagian yang akan dibidai kemudian memposisikan
bidai pada bagian yang mengalami cedera setelah bagian tersebut distabilisasi. Bidai pada ekstremitas atas dipasang minimal
pada 2 sisi, sedangkan pada ekstremitas bawah minimal 3 sisi. Kemudian, dibalut dengan kassa gulung atau perban dari distal ke
proksimal. Setelah itu, dibuat simpul pada akhir balutan.

Seluruh prosedur pembidaian selalu diakhiri dengan pemeriksaan kembali, motorik, sensorik serta pulsasi pada bagian distal. [11]

Traction Splint

Sebelum dilakukan bidai, maka tungkai yang cedera harus distabilisasi terlebih dahulu. Kemudian panjang bidai yang diperlukan
diukur sesuai dengan panjang tungkai sebelahnya. Bidai diletakkan di bawah tungkai dengan bantalan ischial diletakkan pada
tuberositas ischia, kemudian ikatkan ischial strap pada garis lipat paha serta ankle hitch pada pasien. Lakukan traksi perlahan
pada tungkai yang cedera hingga panjang menyerupai tungkai yang sehat. Setelah diyakini traksi sudah optimal, maka velcro
straps lainnya dapat diikatkan pada tungkai. Jangan lupa untuk menilai kembali fungsi neurovaskular setelah prosedur ini. [12]
Air atau Vacuum Splint (Bidai Udara)

Bidai udara dikenakan secara longitudinal sepanjang ekstremitas, kemudian diikat dengan pengikatnya (straps). Setelah itu,
dilakukan ekstraksi udara lewat katup yang ada pada bidai sehingga selanjutnya bidai akan menyesuaikan bentuk ekstremitas
yang mengalami cedera dan menjadi keras. [11]
Anatomic Splint (Bidai Dengan Anggota Tubuh)

Anatomic splint intinya adalah mengeratkan bagian tubuh yang cedera ke bagian tubuh yang normal, sehingga bagian tubuh yang
tidak mengalami cedera dapat berfungsi sebagai “bidai” untuk bagian tubuh yang tidak mengalami cedera. Sebagai contoh adalah
dengan mengikat tungkai yang fraktur dengan tungkai sebelahnya yang sehat. [11]
Follow Up
Follow up setelah dilakukan pembidaian antara lain adalah memeriksa kembali apakah bidai yang digunakan sudah sesuai,
apakah imobilisasi sudah melibatkan seluruh sendi, serta apakah posisi imobilisasi sudah sesuai. Selain itu, perlu diperiksa
kembali ada atau tidaknya komplikasi prosedur pembidaian yang muncul. Lakukan pemeriksaan terkait tanda gangguan
neurovaskular, seperti nyeri, pucat, dingin pada area perifer, dan parestesia. [3]

Referensi
1. Meals C, Castro NJ, Moss D. Efficient Construction of Volar Wrist Splints. Hand N Y N. 2016 Sep;11(3):310–3.
3. Abzug JM, Schwartz BS, Johnson AJ. Assessment of Splints Applied for Pediatric Fractures in an Emergency
Department/Urgent Care Environment. J Pediatr Orthop. 2019 Feb;39(2):76–84.
4. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support (ATLS) 2018. 10th Ed. Chicago, United States of America.
6. Nanno M, Kodera N, Tomori Y, et al. Electrophysiological Assessment for Splinting in the Treatment of Carpal Tunnel
Syndrome. Neurol Med Chir (Tokyo). 2017 Sep;57(9):472–80.
11. Powell RA, Weir AJ. EMS, Bone Immobilization. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507778/
12. Kwon YH, Kahwaji CI. EMS, Traction Splint. 2018; Available from: http://europepmc.org/abstract/med/29939619
13. Langer V. Management of Major Limb Injuries. The Scientific World Journal. 2014 Available from:
https://www.hindawi.com/journals/tswj/2014/640430/
14. Fitch MT, Nicks BA, Pariyadath M, et al. Basic Splinting Techniques. N Engl J Med. 2008 Dec 25;359(26):e32.
15. Positioning and Splinting. 2017. Available from: https://www.afro.who.int/sites/default/files/2017-06/BU-5POD-
interventions-5.pdf
16. Nackenson J, Baez AA, Meizoso JP. A Descriptive Analysis of Traction Splint Utilization and IV Analgesia by Emergency
Medical Services. Prehospital Disaster Med. 2017 Dec;32(6):631–5.
17. Bakhshayesh P, Hullberg Risling D, Enocson A. Three Dimensional Quality Assessments of Applied Pelvic Binders. Bull
Emerg Trauma. 2019 Jul 5;7(2):156–61.
18. Vermeulen D, van der Valk MR, Kaas L. Plaster, splint, brace, tape or functional mobilization after first-time patellar
dislocation: what’s the evidence? EFORT Open Rev. 2019 Mar;4(3):110–4.
19. Carruthers KH, O’Reilly O, Skie M, et al. Casting and Splinting Management for Hand Injuries in the In-Season Contact
Sport Athlete. Sports Health Multidiscip Approach. 2017 Jul;9(4):364–71.
20. Ross I. Splinting Techniques. 2017. Available at: emra.org. Available from:
https://www.emra.org/globalassets/emra/publications/reference-cards/emra_sportsmedicine_splint_guide.pdf
25. Karimi M, Kavyani M, Mohammadi A, Ebrahimi M. Thermoplastic Sheet for Orthoses, A Review of Literature. EC
Orthopaedics 5.5 (2017): 189-193.

Anda mungkin juga menyukai