Anda di halaman 1dari 27

ETNOFARMASI SUKU ANAK DALAM (SAD) DUSUN PASIR

PUTIH DESA DWI KARYA BHAKTI RANTAU KELOYANG

KECAMATAN PELEPAT KABUPATEN BUNGO PROVINSI

JAMBI

Proposal Ini Diajukan

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA FARMASI

Oleh

AYAR MUHAMMAD ADLU

NIM. 1548201013

PROGRAM STUDI FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN IBU JAMBI

2020
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

A. Latar Belakang............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.......................................................................................2

C. Tujuan Penelitian........................................................................................2

D. Manfaat Penelitian......................................................................................2

E. Ruang Lingkup............................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................4

A. Etnofarmasi.................................................................................................4

B. Obat Tradisional.........................................................................................4

C. Suku Anak Dalam (SAD)...........................................................................6

D. Pengobatan Suku Anak Dalam (SAD).....................................................10

E. Skrining Fitokimia....................................................................................11

F. Metode Analis............................................................................................11

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN........................................................16

A. Waktu dan Tempat penelitian.................................................................16

B. Metode Penelitian......................................................................................16

C. Jadwal pelaksanaan..................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................20
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suku Anak Dalam (SAD) adalah sekelompok orang yang menghuni

beberapa bagian hutan hujan tropis dataran rendah di Provinsi Jambi. Mereka

memiliki hubungan yang erat dengan hutan. Bagi SAD, hutan tidak hanya

sebagai pemasok sebagian besar kebutuhan pokok mereka, lebih dari itu,

hutan merupakan rumah dan kampung halaman (Hariyadi & Harmoko, 2013).

Suku Anak Dalam termasuk suku primitif yang mengasingkan diri untuk

hidup berinteraksi di dalam hutan dengan memanfaatkan sumber daya alam

yang ada di dalamnya (Idris, 2017). Dusun Pasir Putih Desa Dwi Karya Bhakti

merupakan daerah tempat tinggal penduduk SAD. Lokasi Dusun Pasir Putih

Desa Dwi Karya Bhakti terletak di Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo

(Takiddin, 2014).

Dari penelitian yang telah dilakukan terkait SAD di antaranya terkait

etnobotani tumbuhan obat yang digunakan Suku Anak Dalam di Desa Tabung

Kecamatan VII Koto Kabupaten Tebo Jambi, penelitian mengenai khasiat

serta cara penggunaan tumbuhan obat yang digunakan oleh Suku Anak

Dalam (Indriati, 2014). Pada penelitian (Yenti, 2017) tentang kesehatan

reproduksi perempuan rimba. Selain itu kajian tetang etnofarmasi pada Suku

Anak Dalam di Jambi yang telah dilakukan oleh (Perawati, 2017). Kemudian
penelitian terkait tumbuhan penghasil getah yang di manfaatkan oleh SAD di

Taman Nasional Bukit Dua belas (TNBD) (Andhika, Hariyadi, & Saudagar,

2015).

Penelitian akan dilakukan adalah terkait pengobatan tradisional yang

digunakan oleh Suku Anak Dalam (SAD) di Dusun Pasir Putih Desa Dwi

Karya Bhakti, Kabupaten Bungo dan untuk mengetahui berbagai sumber

alam yang dimanfaatkan oleh Suku Anak Dalam (SAD) untuk mengobati

penyakit di Dusun Pasir Putih Desa Dwi Karya Bhakti, Kabupaten Bungo,

Provinsi Jambi.

B. Rumusan Masalah

1. Penyakit apa saja yang biasa terjadi pada Suku Anak Dalam (SAD)

di,Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo?

2. Pengolahan dan Sumber alam apa saja yang dimanfaatkan oleh Suku

Anak Dalam (SAD) untuk mengobati penyakit di Dusun Pasir Putih

Desa Dwi Karya Bhakti, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui berbagai penyakit yang diderita pada Suku Anak

Dalam (SAD) di Dusun Pasir Putih Desa Dwi Karya Bhakti,

Kabupaten Bungo.

2. Untuk mengetahui berbagai sumber alam yang dimanfaatkan oleh

Suku Anak Dalam (SAD) untuk mengobati penyakit di Dusun Pasir

Putih Desa Dwi Karya Bhakti, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.

D. Manfaat Penelitian
Dapat memberikan informasi berbagai penyakit terhadap pengobatan

yang dilakukan oleh Suku Anak Dalam (SAD) di Dusun Pasir Putih Desa

Dwi Karya Bhakti, Kabupaten Bungo,, Provinsi Jambi, sehingga menjadi

bukti tertulis dan dapat dijadikan sebagai dokumen dalam pemeliharaan

kearifan lokal.

E. Ruang Lingkup

Mengetahui tanaman obat yang bermanfat serta identitas Tanaman

tersebut.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Etnofarmasi

Istilah etnofarmasi berasal dari kata “etno” dan “farmasi”. Etno adalah

suku atau kelompok, sedangkan farmasi merupakan ilmu yang mempelajari

tentang obat-obatan. Etnofarmasi adalah gabungan disiplin ilmu yang

mempelajari tentang hubungan antar kebiasaan kultur dalam suatu kelompok

masyarakat ditinjau dari sisi farmasetiknya (Ningsih, Yulia, 2016). Studi ini

meliputi tentang identifikasi, klasifikasi dan kategorisasi pengetahuan bahan

alam yang dimanfaatkan sebagai obat (etnobiologi), preparasi sediaan obat

(etnofarmasetika), efek yang diklaim berasal dari sediaan obat tersebut

(etnofarmakologi) dan aspek sosial pengobatan yang berpengaruh pada

penggunaan sediaan obat tersebut (etnomedisin). Kebiasaan dari suatu etnis

yang senantiasa memanfaatkan sumber alam, dapat mendorong beberapa

peneliti untuk mengkaji tentang etnofarmasi, karena telah banyak etnis yang

menggunakan tumbuhan sebagai obat (Moekti Wardoyo, Abdul Kodir, &

Iskandar, 2014).

B. Obat Tradisional

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan

tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau

campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan
untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku

di masyarakat (BPOM, 2014).

Para nenek moyang kita dengan pengetahuan dan peralatan

sedarhana telah mampu mengatasi permasalahan kesehatan.Berbagai

penyakit dan keluhan ringan maupun berat diobati dengan memanfaatkan

ramuan dari tumbuhan-tumbuhan tertentu yang mudah didapat dan

hasilnya cukup memuaskan. Kelebihan dari pengobatan dengan

menggunakan ramuan tumbuhan secara tradisional tersebut yaitu tidak ada

efek samping yang ditimbulkan seperti yang sering terjadi pada

pengobatan kimiawi (Indriati, 2014). Pengetahuan mengenai pemanfaatan

tumbuhan dalam pengobatan menjadi salah satu warisan budaya bangsa

Indonesia berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan yang

secara turun-temurun diwariskan kepada generasi berikutnya (Ningsih,

Yulia, 2016).

Tanaman obat maupun produk alam lainnya telah dimanfaatkan

sebagai obat-obatan untuk kesehatan, oleh karena itu tidaklah

mengherankan bila pengobatan tradisional Indonesia sebagian besar

menggunakan tumbuhan herbal dan rempah (Handayani, 2015).

Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang mempunyai khasiat obat dan

digunakan sebagai obat dalam penyembuhan maupun dalam pencegahan

penyakit. Pengertian berkhasiat obat yaitu mengandung zat aktif yang

berfungsi mengobati penyakit atau jika tidak mengandung zat aktif tertentu

tapi, mengandung efek sinergi dari berbagai zat yang berfungsi mengobati

(Indriati, 2014).
Penggunaan obat tradisional dinilai relatif lebih aman dibandingkan

penggunaan obat konvensional, sehingga saat ini makin banyak peminatnya.

Kelebihan obat tradisional adalah mudah diperoleh, bahan bakunya dapat

ditanam dilingkungan sekitar, murah dan dapat diramu oleh setiap orang.

Kelemahannya adalah efek farmakologisnya kebanyakan lemah, bahan

baku belum terstandar, dan belum dilakukan pengujian efektivitas dan

keamannya. WHO pun menyatakan bahwa sekitar 80% penduduk dunia

masih menggantungkan dirinya pada pengobatan termasuk penggunaan obat

yang berasal dari tumbuhan karena kelebihan-kelebihan yang dimilikinya

tersebut (Ningsih, Yulia, 2016).

C. Suku Anak Dalam (SAD)

1. Pengertian Suku Anak Dalam (SAD)

Suku Anak dalam (SAD) merupakan salah satu bangsa yang hidup

disebagian wilayah Provinsi Jambi. Meraka tersebar diberbagai lokasi

berbeda di hutan-hutan Jambi. Hidupnya berkelompok dengan pola hidup

berkelana atau berpindah, tinggal dan hidup dihutan, serta memanfaatkan

seluruh ruang hutan bagi mereka. (Takiddin, 2014).

2. Sejarah dan Asal Usul

Berdasarkan cerita tutur setiap kelompok, ada berbagai versi cerita

yang berkaitan dengan asal usul SAD. Mereka menyebutkan bahwa Orang

Rimba berasal dari daerah Pagaruyung, keturunan dari Raja Merah Mato.

Ada juga yang menyebut bahwa nenek moyang mereka adalah perlarian,

yaitu usaha untuk menyelamatkan diri dengan masuk kedalam hutan. Hal
tersebut dilakukan untuk menghindar tekanan dari pihak kerajaan

Singosari, Majapahit dan Kolonial Belanda. Para ahli ada yang

berpendapat bahwa mereka adalah sisa-sisa dari suku bangsa Proto Melayu

(Melayu Tua) yang datang sekitar tahun 2500-1500 sebelum masehi (SM).

Sebagian ahli berpendapat mereka berasal dari suku bangsa Deutro Melayu

(Melayu Muda) yang datang sekitar tahun 300 SM (Wurjanto, D., &

Nurdin, 2010).

Orang rimba mempunyai banyak sebutan untuk menamakan

mereka diantaranya sanak, kubu, dan orang rimba. Selain orang rimba,

panggilan lain yang mereka sukai sanak, yang bearti keluarga atau

kerabat. Mereka sangat tidak suka jika disebut orang kubu karena

dianggap merendahkan (Prasaja & Hilwan, 2015). Orang rimba mengenal

kebiasaan yang unik dan berbeda dari suku yang lainnya. Mereka

mengenal istilah “melangun” bearti cara hidup berpindah dari satu lokasi

ke lokasi lain (Takiddin, 2014). Pada umumnya mereka tidak berpakaian,

laki-laki hanya menggunakan cawat atau kancut yaitu kain untuk

menutupi kemaluannya. Perempuan yang sudah menikah, hanya memakai

kain sarung sampai menutupi bagian pinggang saja, sedangkan yang

masih gadis memakai kain sarung sebatas dada (Wurjanto, D., & Nurdin,

2010).

Kehidupan orang rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) yang

tinggal di tengah hutan di Provinsi Jambi yang memiliki gaya hidup

tradisional yaitu hidup berpindah-pindah (Indriati, 2014). Mereka

memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menggantungkan diri pada


Sumber Alam, sehingga mereka lebih berburu dan menggumpulkan

makanan (Wurjanto, D., & Nurdin, 2010). Orang rimba yang menetap

hidup dikawasan Dusun Pasir Putih Desa Dwi Karya Bhakti Rantau

Keloyang dengan berburu dan meramu (Takiddin, 2014) dan (Yusuf,

2014).

3. Sistem Kepercayaan

Orang rimba percaya adanya tuhan, namun wujud dan gambaran

Tuhan sangat abstrak atau tidak jelas (Takiddin, 2014). Pada umumnya

mereka mempunyai kepercayaan terhadap Bahelo atau dewa. Mereka juga

mempercayai adanya roh-roh sebagai kekuatan gaib. Mempercayai adanya

dewa yang menjalankan kebajikan jika mereka menjalankan aturannya dan

sebaliknya akan mendatangkan petaka jika mereka melanggar aturan adat

(Tarib, 2012). Mereka juga memiliki kepercayaan terhadap kehidupan

sesudah mati atau Reinkarnasi. Jika ada salah satu anggota mereka yang

meninggal, jenazah kemudian diantar kesuatu tempat yang jauh. Beberapa

peralatan dibawakan bersama jenazah tersebut seperti kain, selimut dan

parang. Sebagai bekal dialam baka (Wurjanto, D., & Nurdin, 2010).

4. Organisasi Suku Anak Dalam (SAD)

Organisasai sosial SAD, mulai dari Temenggung yang berperan

sebagai kepala adat atau kepala masyarakat, Wakil Temenggung sebagai

pengganti temenggung jika berhalangan, Depati berperan sebagai

pengawas terhadap kepemimpinan temenggung, Menti bertugas

menyidang orang yang telah melakukan kesalahan, mentipun bertugas


sebagai hakim. Dalam penimbang keputusan sidang adat yaitu Mangku,

sedangkan Anak Dalam bertugas untuk menjemput temenggung dalam

acara atau sidang adat. Pada organisasi orang rimba terdapat juga

Debalang yang bertugas sebagai pengawal temenggung, dan yang

terakhir merupakan pemegang keputusan tertinggi yang dapat

membatalkan keputusan yang telah diambil oleh temenggung disebut

Tengganas atau Tengganai (Wurjanto, D., & Nurdin, 2010).

Masyarakat Orang rimba hidup secara berkelompok, tidak

dibatasi wilayah tempat tinggal tertentu. Mereka tidak mudah untuk

berganti-ganti kelompok ataupun pemimpin karena sudah ada hukum

adat yang mengaturnya. Seorang pemimpin harus menguasai hukum

adat, pandai menyelesaikan setiap malalah, mempunyai kemampuan

sebagai dukun, pandai berburu dan lebih penting pengakuan dari

anggota kelompoknya (Tarib, 2012).

5. Karakteristik dan Kultur Suku Anak Dalam (SAD)

a) Budaya Melangun

Melangun merupakan tradisi meninggalkan tempat dari satu

tempat ke tempat yang lain atau hidup berpindah-pindah. Mereka

Melangun pada zaman dulu bisa berlangsung10 sampai 12 tahun, namun

kini karena wilayah mereka sudah semakin sempit, maka masa melangun

menjadi semakin singkat yaitu sekitar 4 bulan sampai 1 tahun. Kegiatan

Melangun ini wajib dilakukan ada kematian dari salah satu seorang

anggota dengan harus meninggalkan lokasi.


b) Seloko dan Mantera

Yaitu kehidupan orang rimba sangat dipengaruhi oleh aturan-

aturan hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang

secara tegas dijadikan pedoman hidup para pemimpin, khususnya

Tumenggung dalam membuat suatu keputusan.

c) Besale

Besale merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Orang Rimba

untuk memanggil dewa mereka agar hadir dalam ucara pengobatan dan

pernikahan Orang Rimba (Takiddin, 2014a) dan (Tarib, 2012).

D. Pengobatan Suku Anak Dalam (SAD)

Tumbuhan getah adalah salah satu yang dimanfaatkan oleh

Suku Anak Dalam (SAD) yang bermukim dikawasan Dusun Pasir

Putih Desa Dwi Karya Bhakti Rantau keloyang dan sekitarnya.

SAD memanfaatkan getah sebagai sumber penghasilan seperti

bahan pengobatan, bahan ritual adat, bahan bakar, bahan berburu,

bahan perekat, bahan pewarna, dan bahan pembeku getah lainnya.

Getah tumbuhan yang paling dominan dimanfaatkan sebagai

sumber bahan pengobatan. Cara penyadapan getah dengan

ditumpuk (buah), dikupas, ditebang, disayat, ditakik, dipotong

(batang), dan dipetik (daun). Pengetahuan ini diwariskan turun

temurun dari orang tua, dukun, dan pengalaman sendiri melalui

diajak kerja dan diceritakan.


E. Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu

penelitian fitokimia yang bertujuan memberikan gambaran tentang golongan

senyawa yang terkandung dalam tanaman yang diteliti. Metode skrining

fitokimia yang dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna dengan

menggunakan suatu pereaksi warna (Simaremare, 2014).

Skrining fitokimia merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan

untuk mengetahui fitokimia atau bahan aktif yang merupakan metabolit

sekunder dalam tumbuhan. Hal yang berperan penting dalam skrining

fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi. Skrining fitokimia

serbuk simplisia dan sampel dalam bentuk basah meliputi pemeriksaan

kandungan senyawa alkaloida, flavonoida, terpenoida/ steroida, tanin dan

saponin (Purwati Sri, Lumowa, Sonja V. T., 2017).

F. Metode Analis

1. Teknik Sampling

Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Untuk

menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian, teknik sampling

tersebut terdiri dari dua macam, yaitu probability sampling dan non

probability sampling. Pada penelitian ini menggunakan non probability

sampling yaitu purposive sampling (Sugiyono, 2016).


Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan tertentu, misalnya akan melakukan penelitian tentang kualitas

makanan, maka sampel sumber datanya adalah orang yang ahli makanan

atau orang yang dipandang lebih tahu tentang kualitas makanan. Sampel ini

lebih cocok digunakan untuk penelitian kualitatif atau penelitian-penelitian

yang tidak melakukan generalisasi (Sugiyono, 2016).

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting,

berbagai sumber, dan berbagai cara. Bila dilihat dari setting, data dapat

dikumpulkan pada setting alamiah (natural setting), pada laboratorium

dengan metode eksperimen, dirumah dengan berbagai responden, pada

suatu seminar, diskusi, dijalan dan lain-lain. Bila dilihat dari sumber

datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer, dan

sumber sekunder. Sumber primer merupakan sumber data yang langsung

memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber sekunder

merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada

pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen.

Selanjutnya bila dilihat dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka

teknik pengumpulan dapat dilakukan dengan interview (wawancara),

kuesioner (angket), observasi (pengamatan), dan gabungan ketiganya

(Sugiyono, 2016). Pada penelitian ini teknik pengumpulan data

menggunakan teknik wawacara atau open-ended interview (Khairiyah,

Anam, & Khumaidi, 2016).


3. Interview ( wawancara)

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila

peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan

permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingi mengetahui

hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya

sedikit atau kecil. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada

laporan tentang diri sendiri atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau

keyakinan pribadi. Wawancara dapat dilakukan secara terstuktur maupun

tidak terstuktur (Sugiyono, 2016).

Wawancara terstuktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data,

bila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang

informasi apa yang akan diperoleh, oleh karena itu dalam melakukan

wawancara, pengumpula data telah menyiapkan instrumen penelitian berupa

pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya pun telah

disiapkan. Sedangkan wawancara tidak terstuktur adalah wawancara yang

bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah

tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya.

Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar

permasalahan yang akan ditanyakan (Sugiyono, 2016).

4. Kuesioner (Angket)

Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pertanyaan tertulis

kepada responden untuk dijawabnya. Kuesioner merupakan teknik

pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang
akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden. Kuesioner

dapat berupa pertanyaan tertutup atau terbuka, dapat diberikan kepada

responden secara langsung atau dikirim melalui pos, atau internet

(Sugiyono, 2016).

5. Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang

spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara dan

kuesioner. Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila,

penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala

alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar. Dari segi proses

pelaksanaan pengumpulan data, observasi dapat dibedakan menjadi

participant observation (observasi berperan serta) dan non participant

observation.

participant observation (observasi berperan serta) yaitu peneliti

terlibat kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan

sebagai sumber data penelitian, dengan observasi partisipan ini, maka data

yang diperoleh akan lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat

makna dari setiap perilaku yang nampak. Sedangkan non participant

observation, peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai pengamat independen

(Sugiyono, 2016).
BAB III

PELAKSANAAN PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Desember 2019 sampai

Febuari 2020 di Dusun Pasir Putih Desa Dwi Karya Bhakti Rantau

Keloyang Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi.

B. Metode Penelitian

1. Studi Area

Kabupaten Bungo merupakan kabupaten di Provinsi Jambi terletak

dibagian Barat Provinsi Jambi. Kabupaten Bungo terbagi tujuh belas

Kecamatan diantaranya, Bathin II Babeko,Bathin II Pelayang,Bathin III

Ulu,Bathin III,Bungo Barat, Bungo Dani,Bungo Utara,Jujuhan

Ilir,Jujuhan,Limbur Lubuk Mengkuang,Muko-Muko Bathin VII,Pasar

Muara Bungo,Pelepat Ilir,Pelepat,Rantau Pandan,Rimbo Tengah,Tanah

Sepenggal Lintas,Tanah Sepenggal,Tanah Tumbuh,Pada penelitian ini studi

etnofarmasi dilakukan di Dusun Pasir Putih Desa Dwi Karya Bhakti Rantau

Keloyang Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo, RT 08 Luas Area 6,8

Hektar, luas tanaman obat 200 meter (Pemerintah Kabupaten Bungo, 2016).
Gambar 1.1 peta lokasi

2. Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Participatory Rural Appraisal

yaitu proses pengkajian yang berorientasi pada keterlibatan dan peran

masyarakat secara aktif dalam penelitian. Teknik pengumpulan data

berupa wawancara open-ended interviev dengan pemilihan sampel

Purposive Sampling (Sugiyono, 2017)

3. Pemilihan Sampel

Teknik pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah purposive sampling yaitu teknik sampling non random dimana

peneliti menentukan pengambilan sampel dengan cara menentapkan ciri-

ciri khusus yang sesuai dengan tujuan penelitian sehingga diharapkan

dapat menjawab permasalahan penelitian (Sugiyono, 2017).

Adapun kriteria yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :


a. Informan dapat berkomunikasi dengan bahasa yang mengerti

b. Informan bersedia untuk dimintai informasi

c. Informan merupakan warga Suku Anak Dalam Dusun Pasir Putih Dwi

Karya Bhakti Rantau Keloyang Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo,

Provinsi Jambi.

d. Informan merupakan warga Suku Anak Dalam Dusun Pasir Putih Dwi

Karya Bhakti Rantau Keloyang Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo,

Provinsi Jambi yang masih menggunakan tanaman obat

e. Informan memiliki pengetahuan pengobatan dari turun-menurun nenek

moyang yang menggunakan obat tradisional.

4. Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data, peneliti melakukan wawancara secara

langsung dan dokumentasi pada Suku Anak Dalam (SAD). Wawancara

dilakukan secara open-ended interview pada informan (Kader, dukun atau

orang-orang yang dianggap mengetahui semua tentang pengobatan pada

Suku Anak Dalam) (Ode Irma Indrayangingsih & Ibrahim, N., & Anam,

2015).

5. Determinasi

determinasi adalah cara atau langkah untuk mengenali organisme dan

mengelompokkannya pada takson makhluk hidup. Kunci dikotomis terdiri

dari sederetan pernyataan yang terdiri dari dua baris untuk

mengelompokkan atau menggolongkan makhluk hidup, dan berisi


deskripsi dari ciri-ciri organisme yang disajikan dengan ciri yang

berlawanan.

C. Jadwal pelaksanaan

Tabel 1. Jadwal Penelitian Tugas Akhir

No Kegiatan Bulan Ke

1 2 3 4 5 6

1 Persiapan penelitian

2 Pelaksanaan penelitian

3 Pengolahan data

4 Penulisan skripsi

5 Persiapan seminar hasil

6 Penyempurnaan skripsi dan persiapan ujian

akhir

7 Ujian akhir
DAFTAR PUSTAKA

Andhika, R. R., Hariyadi, B., & Saudagar, F. (2015). Etnobotani Penghasil Getah

oleh Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas Kabupaten

Sarolangun, Jambi. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia(Jipi), 20(April), 33–38.

BPOM. (2014). Peraturan Kepala BPOM Tentang Persyaratan Mutu Obat

Tradisional. Jakarta: BPOM RI.

Handayani, A. (2015). Pemanfaatan tumbuhan berkhasiat obat oleh masyarakat

sekitar Cagar Alam Gunung Simpang, Jawa Barat. 1(September), 1425–

1432. https://doi.org/10.13057/psnmbi/m010628

Hariyadi, B., & Harmoko, D. (2013). Pengelolaan Buah-buahan pada

Masyarakat Suku Anak Dalam. 121–126.

Idris, N. (2017). Mengkaji Ulang Pola Komunikasi Pemerintah Dalam

Pemberdayaan Suku Anak Dalam Di Provinsi Jambi. Jurnal Penelitian Pers

Dan Komunikasi Pembangunan, 21, 37–48.

Indriati. (2014). Etnobotani Tumbuhan Obat Yang Digunakan Suku Anak Dalam

di Desa Tabung Kecamatan VII Koto Kabupaten Tebo Jambi. Jurnal

Sainstek, VI(1), 52–56.

Indriati, G. (2014). Etnobotani Tumbuhan Obat Yang Digunakan Suku Anak

Dalam Di Desa Tabun Kecamatan Vii Koto Kabupaten Tebo Jambi. Jurnal

Sainstek, 6, 52–56.
Khairiyah, N., Anam, S., & Khumaidi, A. (2016). Studi Etnofarmasi Tumbuhan

Berkhasiat Obat Pada Suku Banggai di Kabupaten Banggai Laut, Provinsi

Sulawesi Tengah. Journal of Pharmacy, 2(1).

Moekti Wardoyo, M., Abdul Kodir, R., & Iskandar, Y. (2014). Etnofarmasi dan

Ulasan Bioprospektif Tumbuhan Obat Liar Dalam Pengobatan Tradisional

Kampung Adat Cikondang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung,

Jawa Barat. Farmaka, 15, 26–44.

Ningsih, Yulia, I. (2016). studi etnofarmasi penggunaan tumbuhan obat oleh suku

tengger di kabupaten lumajang dan malang, jawa timur. 13(01), 10–20.

Ode Irma Indrayangingsih, W., & Ibrahim, N., & Anam, S. (2015). Studi

Etnofarmasi Tumbuhan Berkhasiat Obat Pada Suku Buton di Kecamatan

Binongko, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Journal of Pharmacy,

1(October), 79–84.

Pemerintah Kabupaten, & Sarolangun. (2016). Rencana kerja Pemerintah Daerah

Kabupaten Sarolangun Tahun 2016. 16–18.

Perawati, S. (2017). Traditional Plants Medicine Of Suku Anak Dalam Jambi.

Riset Informasi Kesehatan, 6(2), 5–10.

Prasaja, D., & Hilwan, I. (2015). Etnobotani Pandan (Pandanaceae) Di Taman

Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. 121–129.

Purwati Sri, Lumowa, Sonja V. T., S. (2017). SKRINING FITOKIMIA DAUN

SALIARA ( Lantana camara L ) SEBAGAI PESTISIDA NABATI PENEKAN

HAMA DAN INSIDENSI PENYAKIT PADA TANAMAN. 153–158.


Simaremare, E. S. (2014). Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Gatal

(Laportea decumana (Roxb.) wedd). 11(01), 98–107.

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (23rd ed.).

Bandung: Alfabeta.

Takiddin. (2014). Nilai-Nilai Kearifan Budaya Lokal Orang Rimba (Studi pada

Suku Minoritas Rimba di Kecamatan Air Hitam Provinsi Jambi). Jurnal

Sosio Didaktika, 1, No.2, 161–170.

Takiddin, T. (2014). NILAI-NILAI KEARIFAN BUDAYA LOKAL ORANG

RIMBA (Studi pada Suku Minoritas Rimba di Kecamatan Air Hitam

Provinsi Jambi). SOSIO DIDAKTIKA: Social Science Education Journal,

1(2). https://doi.org/10.15408/sd.v1i2.1258

Tarib, K. T. (2012). Hutan adalah rumah dan sumber penghidupan kami. 2–10.

Wurjanto, D., & Nurdin, Z. (2010). Sekilas Kehidupan Orang Rimba di DAS

Batanghari. Jambi.

Yenti, Z. (2017). Kesehatan Reproduksi Perempuan Rimba : Studi tentang

Kearifan Lokal Perempuan Rimba dalam Memanfaatkan Lingkungan. 7(2),

159–172.

Yusuf, M. (2014). Resistensi Atas Kebijakan Pengelolaan Hutan. 1(1).


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.Skema Kerja

Pemilihan Sampel (Informan)


Survei Lokasi

Wawancara (Informan)
Uji Determinasi + penyakit,cara pengobatan dan tumbuhan

Analisa Data Hasil Analisa Kualitatif


Lampiran 2, Pertanyaan yang akan diajukan

Hal ini diketahui dari hasil wawancara terhadap narasumber (satu

informan) dengan bukti pembicaraan sebagai berikut :

Peneliti : “Penyakit apa saja yang sering terjadi pada masyarakat Dusun

Pasir Putih?”

Peneliti : “Sumber alam apa saja yang digunakan dalam pengobatan terkait

penyakit?”

Peneliti :“Bagian yang mana digunakan dan bagaimana cara pengolahan

untuk penyakit ?”

Peneliti : “ Bagaimana cara menggunakan obat tersebut pada usia yang

berbeda ?”

Peneliti : “Berapa lama pengunaan dari obat-obat ini ?”

Peneliti : “Adakah efek samping dari penggunaan obat tersebut ? “

Peneliti : “Apakah ada pantangan-pantangan dalam minum obat ini ?”

Peneliti :“Adakah ritual-ritual khusus sebelum menggunakan obat

tersebut?”

Peneliti :“Bagian dari tumbuhan tersebut yang digunakan apanya dan seperti

apa pengolahannya?’

Lampiran 3. Foto Bersama SAD

Pada Tahap Survey Awal


Foto bersama dukun dan kader SAD Foto Bersama Dengan Petugas

Puskesmas, Kader SAD dan

Masyarakat SAD

Anda mungkin juga menyukai