Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tujuan Negara ialah untuk menyelenggarakan kesejahteraan dan kebahagian

rakyatnya atau untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.1 Dalam menjalankan

roda pemerintahan, suatu negara masih jauh dari tujuan negara itu sendiri,

terkhusus di negara Indonesia.

Indonesia sebagai negara hukum, dan berbentuk negara kesatuan yang

menganut asas desentralisasi. Implementasi konsep negara hukum menjadikan

pembagian kekuasaan menjadi salah satu aspek yang memegang peranan penting.

Sedangkan asas desentralisasi itu sendiri adalah penyerahan wewenang

pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI).2 Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurusi urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.3 Hal ini lah yang kemudian

1
Zakaria Syafe’i, Negara Dalam Persefektif Islam Fiqih Siyasah, (Jakarta: Hartomo Media
Pustaka, 2012), h. 39.
2
Entol Zaenal Muttaqin, Pokok-Pokok Hukum Ketatanegaraan, (Serang: Pusat Penelitian dan
Penerbitan LP2M IAIN SMH Banten, 2014), h. 159.
3
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
h. 6.
2

menjadikan beberapa daerah untuk melakukan pemekaran wilayah, baik

pemekaran wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

Konsep desentralisasi, umumnya dipahami secara berganda, yaitu

meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintahan pusat (biasa

disebut dekonsentrasi) dan mengaktualisasikan representasi lokalitas (biasa disebut

devolusi). Pelaksanaan prinsip-prinsip desntralisasi, memungkinkan adanya

dorongan arus bawah untuk pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB), bahkan

penggabungan sebuah daerah otonom. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari

konsep menejemen pemerintahan, desentralisasi diharapkan dapat menumbuhkan

partisipasi masyarakat lokal, yang berjuang pada percepatan pencapaian

kesejahteraan masyarakat di daerah.4

Pembentukan dan pemekaran daerah di Indonesia yang kemudian melahirkan

Daerah Otonomi Baru (DOB) bukan merupakan hal yang baru. Pada masa

pemerintahan Kolonial Belanda telah terdapat peraturan tentang pembentukan dan

pemekaran daerah. Misalnya, Wet op de Bestuurshervorming (Stb. 1922/216) yang

dijabarkan lebih lanjut dengan Provincie-Ordonnantie (Stb. 1924/78), Regentchap-

Ordonnantie (Stb. 1924/79) dan Stadsgemeente-Ordonnantie (Stb. 1926/365), di

Jawa dan Madura dibentuk berbagai provinsi, Regentchap dan Stadsgemeente yang

berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Diluar Jawa dan Madura

4
Kurdi Matin, Negara Pejabat Esai-Esai Politik, Demokrasi, Birokrasi dan Budaya, (Serang:
Pustaka Alumi, 2015), h. 29.
3

dibentuk beberapa Groepsgemeenchap dan Stadsgemeente berdasarkan

Groepsgemeenchap-Ordonnantie (Stb. 1937/464) dan Stadsgemeente-

Ordonnantie Buitengewesten.

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga saat ini,

perihal pembentukan dan pemekaran daerah telah diatur didalam UU yang

mengatur Pemerintahan Daerah. UU pertama kali yang didalamnya terdapat aturan

yang menjadi sandaran dalam pembentukan dan pemekaran daerah adalah UU No.

22 Tahun 1948 Tentang Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah. Sejalan

dengan perkembangan waktu, UU No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah, yang kemudian juga dicabut dan diganti dengan UU sejenis

yang diundangkan silih berganti pada masa-masa berikutnya. Pergantian UU

umumnya dikarenakan UU yang lama sudah tidak sesuai dengan kebutuhan,

perkembangan keadaan, serta ketatanegaraan yang terjadi pada zamannya masing-

masing.

Sejalan dengan tuntutan reformasi, pada tahun 1999, terjadi reformasi sistem

pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik. Fenomena keinginan

masyarakat pada berbagai wilayah untuk membentuk DOB banyak muncul seiring

dengan dinamika perkembangan masyarakat pada era reformasi, baik dinamika

politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Dengan pembentukan DOB, masyarakat

di wilayah tersebut diharapkan dapat menggali dan memanfaatkan peluang yang

lebih besar dalam pengelolaan sumber daya daerah yang tujuan akhirnya adalah
4

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Isu dan fenomena

pemekaran daerah demikian itu semakin menguat sejak di sahkannya UU No. 22

Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Dan pada tahun 2004, UU No. 22

Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah dicabut dan di gantikan dengan UU No.

32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Dengan seiringnya waktu pada tahun

2014, UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dicabut dan di

gantikanlah oleh UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.5

Pembahasan seputar wacana pemekaran daerah kabupaten/kota dan provinsi

akhir-akhir ini merupakan suatu tema politik yang sangat marak dimasyarakat.

Perbincangan seputar pemekaran wilayah bahkan sudah meluas dan mewacana

dengan cepat dalam kehidupan masyarakat. Harus kita akui, bahwa ramainya

pembahasan serta semangat masyarakat seputar pemekaran wilayah tersebut,

sesungguhnya tidak terlepas dari keinginan kuat dari masyarakat lokal untuk

mengadakan perubahan yang diarahkan melalui usaha-usaha pensejahteraan

rakyat. Dan sejatinya pemekaran daerah atau wilayah ditunjukan dalam rangka

menyelesaikan ketertinggalan.

Selain dari pada itu pertimbangan lainnya pemekaran wilayah adalah aspek

potensi yang di miliki daerah, sehingga dipandang perlu diberikan wewenang

kepada daerah-daerah tersebut untuk mengurus pemerintahan daerahnya sendiri.

5
Sirajuddin, dkk., (ed.) Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah, (Malang: Setara Press,
2016), h. 200-202.
5

Melahirkan pertimbangan khusus bagi pemerintah pusat untuk mengatur pemeratan

daerah. Hasrat ini kemudian mewajibkan pemerintah membentuk pemerintah

daerah sekaligus pemberian otonomi daerah untuk menyelenggarakan rumah

tangga daerahnya. Sehingga otonomi daerah selalu menjadi perdebatan nasional

yang berupaya menguji tentang validitas teori antara accptability dan capability

dalam penyelenggaran urusan pemerintahan.6

Pembentukan Daerah Otonomi Baru yang kemudian disingkat menjadi DOB,

secara prosedur pembentukan baik secara adminstratif, teknis, fisik kewilayahan

dan yang lainnya telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah

Daerah dan PP No. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan,

dan Penggabungan Daerah.

Masyarakat wilayah Cibaliung terdorong untuk melakukan upaya memisahkan

diri dari Kabupaten Pandeglang. Kabupaten Pandeglang yang memiliki 35

kecamatan, yaitu: Kecamatan Sumur, Cimanggu, Cibaliung, Cibitung, Cikeusik,

Cigeulis, Panimbang, Sobang, Munjul, Angsana, Sindangresmi, Picung, Bojong,

Saketi, Cisata, Pagelaran, Patia, Sukaresmi, Labuan, Carita, Jiput, Cikedal, Menes,

Pulosari, Mandalawangi, Cimanuk, Cipeucang, Banjar, Kaduhejo, Mekarjaya,

Pandeglang, Majasari, Cadasari, Karangtanjung, dan Koroncong. 7 Dari 35

Kecamatan tersebut terdapat 8 (delapan) Kecamatan yang diprioritaskan

6
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan..., h. 6.
7
http://pandeglangkab.bps.go.id/statictable/2015/05/26/12/jumlah-desa-kelurahan-rukun-
warga-dan-rukun-tetangga-menurut-kecamatan-di-kabupaten-pandeglang-2013.html.
6

membentuk Kabupaten baru. Kedelapan kecamatan tersebut yaitu: Kecamatan

Panimbang, Kecamatan, Sobang, Kecamatan, Cigeulis, Kecamatan Cibaliung,

Kecamatan Cikeusik, Kecamatan Cibitung, Kecamatan Cimanggu dan Kecamatan

Sumur.

Masyarakat wilayah Cibaliung telah memperjuangkan aspirasi untuk

membentuk daerah otonom terlepas dari Kabupaten Pandeglang sejak tahun 2003

dengan terbentuknya Komite Percepatan Kabupaten Cibaliung (KPKC). KPKC

membangun sayap perjuangan dengan membentuk organisasi-organisasi

keswadayaan masyarakat atau LSM, seperti Paguyuban Masyarakat Pakidulan

(PMP), Masyarakat Pajungkulon, Himpunan Pemuda-Pelajar Cibaliung, LSM

Peduli Cibaliung dan lain sebagainya. Dimana organisasi-organisasi ini dibentuk

dalam rangka membantu perjuangan dan ikut mensosialisasikan percepatan

lahirnya Kabupaten Cibaliung.8

Untuk melihat kemungkinan dan kelayakan daerah Cibaliung dibentuk menjadi

daerah otonom, pada tahun 2005 dilakukan penelitian pendahuluan bekerja sama

dengan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Jatinangor

Sumedang (sekarang Institut Pemerintahan Dalam Negeri – IPDN).9 Hasil

penelitian diekpos dikantor Sekertariat Daerah didepan para pejabat Pemerintah

Kabupaten Pandeglang dan tokoh-tokoh masyarakat, disimpulkan bahwa wilayah

8
https://biropemerintahan.bantenprov.go.id/calon-kabupaten-cibaliung
9
Dokumen Laporan Penelitian Pembentukan Kabupaten Cibaliung (pada bulan Juli 2005,
Pandeglang)
7

Cibaliung sebagai eks Kewadanaan Cibaliung dinyatakan layak menjadi Daerah

Otonomi Baru (DOB) . Selain itu untuk menguatkan hasil kajian, dilakukan

kembali kajian akademisi terkait potensi Sumber Daya Alam (SDA),

kependudukan, sosial budaya, ekonomi, politik, dan lain sebaginya oleh Tim

Peneliti BPP Kemendagri pada tahun 2013.

Selanjutnya dalam rangka menyamakan persepsi dan kesatuan gerak langkah

pada tahun 2006 organisasi-organisasi perjuangan pembentukan Kabupaten

Cibaliung sebagaimana di atas berubah menjadi Badan Koordinator Percepatan

Pembentukan Kabupaten Cibaliung (Bakor P2KC) sebagi satu-satunya wadah

perjuangan masyarakat dalam pembentukan Kabupaten Cibaliung.

Berbagai tahapan dilalui sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, mulai adanya aspirasi dari masyarakat ditandai dengan persetujuan dan

keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Persetujuan dan Keputusan

DPRD Kabupaten Pandeglang dan Bupati Pandeglang, Persetujuan dan Keputusan

DPRD Provinsi Banten dan Gubernur Banten, hingga Keputusan DPD RI.

Berdasarkan Keputusan DPD RI Nomor 27/DPD RI/II/2013-2014 tanggal 20

Desember 2013 Tentang Pandangan dan Pendapat DPD RI terhadap Aspirasi

Masyarakat dan Daerah tentang Pembentukan Kabupaten Cibaliung sebagai

Pemekaran dari Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.10

10
https://biropemerintahan.bantenprov.go.id/calon-kabupaten-cibaliung
8

Pembentukan suatu daerah baru harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah

ada, sehingga daerah yang merupakan calon pemekaran memang sudah pantas dan

layak untuk dibentuk. Namun terkadang pembentukan daerah seakan-akan hanya

melihat satu faktor dari sekian banyak persyaratan yang ada dan telah ditentukan.

Berdasarkan berbagai permasalahan di atas terkait kelayakan suatu daerah di

bentuk menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB), maka penulis tertarik untuk meneliti

dengan judul penelitian “Pembentukan Kabupaten Cibaling (Studi Kelayakan

Menurut UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah) dengan begitu

penulis mengajukan Rumusan Masalah sebagai pelengkapan penelitian.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat di rumuskan permasalahannya

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah prosedur dan pengaturan pembentukan daerah otonomi baru

di Cibaliung?

2. Bagaimanakah landasan historis, sosiologis dan yuridis adanya

pembentukan daerah otonomi baru di Cibaliung?

3. Bagaimanakah pembentukan daerah otonomi baru Cibaliung ditinjau dari

aspek yuridis dan sosiologis?


9

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui prosedur dan penganturan pembentukan daerah otonomi

baru di Cibaliung.

2. Untuk mengetahui landasan historis, sosiologis dan yuridis adanya

pembentukan daerah otonomi baru di Cibaliung.

3. Untuk mengetahui pembentukan daerah otonomi baru Cibaliung ditinjau

dari aspek yuridis dan sosiologis.

D. Manfaat Penelitian

Jika tujuan penelitian tersebut dapat dicapai, maka penelitian ini diharapkan

dapat bermanfaat bagi pengembangan pemikiran, baik secara teoritis maupun

praktis, dalam proses pembentukan otonomi baru. Adapun manfaat yang ingin

dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Manfaat secara teoritis, diantaranya:

a. Manfaat penelitian ini sebagai bahan masukan terhadap pengembangan

ilmu pengetahuan khususnya ilmu Hukum Tata Negara. Dalam artian

tujuan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai karya ilmiah

bagi yang ingin mengkaji studi tentang persyaratan pemekaran Daerah

Otonomi Baru (DOB).


10

b. Memperkaya khazanah kajian ilmu Hukum Tata Negara (HTN) untuk

perkembangan keilmuan.

2. Manfaat secara praktis, diantaranya:

a. Memberikan informasi kepada khalayak terhadap kelayakan suatu

daerah dalam melakukan suatu pembentukan daerah baru atau

pemekaran wilayah.

b. Dapat dijadikan bahan pertimbangan kepada pemerintah pusat dalam

pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Cibaliung.

c. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada

jurusan Hukum Tata Negara (HTN).

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Dalam penelitian ini dibutuhkan berbagai dukungan teori dari berbagai sumber

atau rujukan yang mempunyai relevansi dengan rencana penelitian. Sebelum

melakukan penelitian penulis telah melakukan kajian terhadap karya-karya ilmiah

yang berkaitan dengan pembahasan ini. Adapun penelitian atau karya ilmiah yang

mempunyai relevansi dengan judul penulis, sebagai berikut :

1. Skipsi yang ditulis oleh Iwan Riadi pada tahun 2018 tentang Tinjauan

Hukum Positif dan Fiqh Siyasah Tentang Upaya Pemekaran Wilayah (Studi

di Sungkai Bunga Mayang). Penelitian yang dilakukan oleh Universitas

Islam Negeri Raden Intan Lampung. Persamaan pembahasan skripsi ini

bisa dilihat dari konteks yang dibahas yaitu pemekaran wilayah atau daerah
11

otonomi baru perspektif hukum positif. Sedangkan Perbedaan pembahasan

skripsi ini terletak pada tinjauan fiqih siyasah dalam menganalisis upaya

pembentukan daerah baru atau pemekaran wilayah. Sedangkan penulis

tidak menggunakan tinjauan fiqih siyasah dalam menganalisis

pembentukan daerah baru atau upaya pemekaran daerah.

2. Skripsi yang ditulis oleh Ilham Jamaluddin pada tahun 2014 tentang

Pembentukan Daerah Otonomi Baru (Studi Tentang Rencana Pembentukan

Kabupaten Balanipa. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas

Hasanuddin Makassar. Persamaan pembahasan skripsi ini bisa dilihat dari

konteks yang di bahas yaitu pemekaran wilayah atau daerah otonomi baru

perspektif hukum positif. Sedangkan perbedaan pembahasan skripsi ini

terletak pada tinjauan persyaratan yang menggunakan Peraturan

Pemerintah dan tentang rencana pembentukan daerah otonomi baru.

Sedangkan penulis tidak menggunakan tinjauan Peraturan Pemerintah (PP)

tetapi yang digunakan penulis adalah Undang-Undang (UU) sebagai salah

satu kelayakan suatu daerah dimekarkan.

F. Kerangka Pemikiran

Fenomena keinginan masyarakat pada berbagai wilayah untuk membentuk

daerah otonomi baru, baik daerah provinsi ataupun daerah kabupaten/kota yang

terpisah dari induknya akhir-akhir ini banyak muncul seiring dengan dinamika

masyarakat pada era reformasi.


12

Pembahasan mengenai Daerah Otonomi Baru (DOB) dalam pengertiannya

daerah di dalam suatu negara yang memiliki kekuasaan otonom, atau kebebasan dari

pemerintah di luar daerah tersebut. Sedangkan pemekran wilayah memiliki arti

pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota

dari induknya yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah

Daerah.

Indonesia yang memakai sistem otonomi daerah dan asas desntralisasi yang

mana otonomi daerah merupakan esensi pelaksanaan pemerintah yang

desentralisik, namun dalam perkembangan otonomi daerah, selain mengandung arti

zelfwetgeving (membuat perda), juga mencakup zelfbestuur (pemerintahan

sendiri).11 Artinya bahwa otonomi daerah penyerahan urusan sebanyak mungkin

kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri dengan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat nya dengan melaksankan kegiatan pembangunan.

Sedangkan desentralisasi penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah

kepada daerah otonom untuk mengantur dan mengurusi urusan pemerintahan dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).12

Pembentukan Daerah sesuai dengan ketentuan pada pasal 1 angka 20 yang di

maksud dengan “Pembentukan Daerah” adalah “penetapan status daerah pada

11
Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2007), h.108-109.
12
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan..., h. 7.
13

wilayah tertentu”. Menurut pasal 32 ayat (1) pembentukan daerah tersebut dapat

berupa:

a) Pemekaran Daerah, dan

b) Penggabungan Daerah.

Berdasrkan ketentuan pasal 32 ayat (1) tersebut dapat diketengahkan bahwa

“Pemekaran Daerah” merupakan salah satu aspek/cara dari pembentukan daerah.

Cara yang kedua dalam pembentukan daerah adalah melalui “Penggabungan

Daerah”. Pada ayat (2) disebutkan bahwa: “Pembentukan daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) mencakup pembentukan daerah provinsi dan pembentukan

daerah kabupaten/kota”. Dengan demikian, pembentukan daerah baik melalui

pemekaran daerah maupun melalui penggabungan daerah akan melahirkan Derah

Otonomi Baru (DOB).

Dalam kaitannya dengan pemekaran daerah yang merupakan salah satu cara

dalam pembentukan daerah, Pasal 33 ayat (1) merumuskan bahwa pemekaran

daerah dapat berupa:

a) Pemecahan daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota untuk menjadi dua

atau lebih daerah baru; atau

b) Penggabungan bagian daerah dari daerah yang bersanding dalam 1 (satu)

daerah provinsi menjadi satu daerah baru.


14

Usulan pembentukan daerah melalui pemekaran daerah tidak secara otomatis

daerah yang diusulkan langsung berstatus sebagai DOB definitif. Daerah yang

diusulkan untuk dimekarkan tersebut masih harus menjalani tahapan sebagai

“daerah persiapan” selama 3 (tiga) tahun. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 33

ayat (2) yang menegaskan bahwa “Pemekaran daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan melalui tahapan daerah persiapan provinsi atau daerah persiapan

kabupaten/kota”.13

Penganturan mengenai hal tesebut harus mampu membuat persyaratan bahwa

adanya suatu daerah otonom memungkinkan kemajuan suatu daerah. Karena

pemekaran daerah sebagai salah satu pelaksanaan prinsip-prinsip desntralisasi,

ternyata tidak dipicu oleh faktor tunggal, tetapi terjadi akibat kombinasi keterkaitan

berbagai faktor yang bisa disebut faktor pendukung dan faktor penghambat. Faktor

pendukung tersebut diantaranya adalah terbukanya ruang yang cukup lebar bagi

pemekaran daerah melalui dua pintu yaitu usulan melalui pemerintah dan DPR.

Sedangkan faktor penghambat (seleksi), yang mengalami kontribusi kelemahan

cukup signifikan adalah kurang berfungsinya lembaga Dewan Pertimbangan

Otonomi Daerah (DPOD).14

Dalam pemekaran daerah harus sesuai dengan ketentuan pasal 33 ayat (3),

pembentukan daerah persiapan harus memenuhi persyaratan dasar dan persyaratan

13
Sirajuddin, dkk., (ed.) Hukum Administrasi..., h. 212-213.
14
Kurdi Matin, Negara Pejabat..., h. 32.
15

administratif. Pesyaratan dasar pembentukan daerah persipan menurut pasal 34 ayat

(1) meliputi :

a) Persyaratan dasar kewilayahan; dan

b) Persyaratan dasar kapasitas daerah.

Dalam ayat (2) ditentukan bahwa persyaratan dasar kewilayahan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :

a) Luas wilayah minimal;

b) Jumlah penduduk minimal;

c) Batas wilayah;

d) Cakupan wilayah;

e) Batas usia minimal daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan kecamatan.

Dalam penjelasan pasal 34 ayat (2) huruf b dinyatakan bahwa “Jumlah

penduduk minimal harus dimiliki oleh daerah persiapan tidak boleh mengakibatkan

tidak terpenuhinya syarat minimal jumlah penduduk daerah induk”. Pada huruf e

dijelaskan bahwa “Batas usia minimal daerah provinsi dan kabupaten/kota dihitung

sejak pembentukannya undang-undang dan batas usia minimal kecamatan dihitung

sejak dibentuknya kecamatan dengan Perda Kabupaten/kota”.

Pada pasal 34 ayat (3) disebutkan bahwa “Persyaratan dasar kapasitas daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah kemampuan daerah untuk

berkembang dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat”. Ketentuan yang ada


16

pada pasal 34 tersebut kemudian diatur lebih lanjut pada pasal 35 yang menentukan

sebagai berikut :

a) Luas wilayah minimal dan jumlah penduduk minimal sebagimana

dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf a dan huruf b ditentukan

berdasarkan pengelompokan pulau atau kepulauan.

b) Ketentuan mengenai pengelompokan pulau atau kepulauan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.

c) Batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf c

dibuktikan dengan titik koordinat pada peta dasar.

d) Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf d

meliputi :

a. Paling sedikit lima daerah kabupaten/kota untuk pembentukan daerah

provinsi.

b. Paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan daerah kabupaten;

dan

c. Paling sedikit empat kecamatan untuk pembentukan daerah kota.

e) Cakupan wilayah untuk daerah persiapan yang wilayahnya terdiri atas

pulau-pulau memuat cakupan wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

dan rincian nama pulau yang berada dalam wilayahnya.

f) Batas usia minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf e

meliputi :
17

a. Batas usia minimal daerah provinsi sepuluh tahun dan daerah

kabupaten/kota tujuh tahun terhitung sejak pembentukan; dan

b. Batas usia minimal kecamatan yang menjadi cakupan wilayah

daerah kabupaten/kota lima tahun terhitung sejak pembentukan.15

Terkait dengan persyaratan kapasitas daerah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 34 ayat (3), menurut Pasal 36 ayat (1) harus didasarkan pada parameter

sebagai berikut :

a. Geografi;

b. Demografi;

c. Keamanan;

d. Sosial politik, adat dan tradisi;

e. Potensi ekonomi;

f. Keuangan daerah; dan

g. Kemampuan penyelenggaran pemerintahan.

Dalam Pasal 37 dirumuskan bahwa persyaratan administratif sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) disusun dengan tata urutan (Penjelasan Pasal 37 :

yang dimaksud dengan “tata urutan” dalam ketentuan ini adalah pemenuhan

persyaratan secara berurutan, artinya persyaratan kedua dan berikutnya tidak dapat

dilaksanakan sebelum persyaratan sebelumnya terpenuhi). Sebagai berikut :

a. Untuk daerah provinsi meliputi :

15
Sirajuddin, dkk., (ed.) Hukum Administrasi..., h. 214-216.
18

1. Persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota dengan bupati/walikota

yang akan menjadi cakupan wilayah daerah perisapan provinsi; dan

2. Persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur daerah

provinsi induk.

b. Untuk daerah kabupaten/kota meliputi :

1. Keputusan musyawarah desa yang akan menjadi cakupan wilayah

daerah kabupaten/kota;

2. Persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/wali

kota daerah induk; dan

3. Persetujuan bersama DPRD provinsi dengan gubernur dari daerah

provinsi yang mencakupi daerah persiapan kabupaten/kota yang akan

dibentuk.16

Itulah beberapa konsep yang penulis pakai dalam melihat rencana pembentukan

daerah Kabupaten Cibaliung sebagai daerah otonomi baru di Kabupaten

Pandeglang.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (Field Reaserch)

dan metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan

16
Sirajuddin, dkk., (ed.) Hukum Administrasi..., h. 216-219.
19

pendekatan yuridis empiris. Dimana pendekatan yuridis empiris yaitu

pendekatan penelitian yang dilakukan dengan cara melihat dan mempelajari

realistis secara langsung di lapangan dengan tetap bersandar kepada ilmu

hukum.17

Penelitian kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang

mendalam, suatu data yang mengandung makna. Makna adalah data yang

sebenarnya, data yang pasti yang merupakan suatu nilai dibalik data yang

tampak.18 Dalam hal ini adalah kelayakan pemekaran daerah menurut UU

No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.

2. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

a. Observasi, yaitu pengumpulan data dengan menggunkan

pengamatan dan pencatatan langsung terhadap objek penelitian

yang mendukung penelitian sehingga mendapatkan gambaran

secara jelas tentang kondisi objektif penelitian tersebut. Observasi

yang akan di lakukan yaitu di daerah cakupan wilayah persiapan

pembentukan Kabupaten Cibaliung yang menjadi objek penelitian.

17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2007), h 19.
18
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Al Fabeta, 2014),
h. 9.
20

b. Wawancara, teknik wawancara yang digunakan ialah wawancara

terstruktur berupa pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan

melalui pedoman wawancara. Wawancara yang akan dilakukan

yaitu kepada pengurus Badan Koordinator Pembentukan Percepatan

Kabupaten Cibaliung (Bakor P2KC)

c. Dokumentasi, yaitu pengumpulan data atau arsip yang relevan.

3. Teknik pengolahan data/analisis data

Data yang berhasil dikumpulkan berupa data primer dari hasil

observasi, wawancara dan dokumentasi lalu diolah secara sistematis

selanjutnya dibahas secara normatif mengenai kelayakan Cibaliung

menjadi kabupaten.

H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Untuk memperjelas dan mempermudah proposal ini maka penulis membaginya

dalam lima Bab, diantara Bab yang satu dengan yang lain mempunyai keeratan dan

merupakan satu kesatuan. Adapun rangkaian dari Bab tersebut adalah sebagai

berikut:

Bab Kesatu, Pendahuluan, meliputi: Latar Belakang Masalah, Rumusan

Masalah, Tujuan Masalah, Manfaat Penelitian, Penelitian Terdahulu Yang Relevan,

Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan Penelitian.

Bab Kedua, Kondisi Obyektif Daerah Persiapan Pembentukan Kabupaten

Cibaliung, meliputi: Geogarfis dan Demografi, Luas dan Batas Wilayah Serta
21

Jumlah Penduduk, dan Cakupan Wilayah dan Batas Usia Daerah Persiapan

Pembentukan Kabupaten.

Bab Ketiga, Pemekaran Wilayah dan Otonomi Daerah, meliputi: Pengertian

Pemekaran Wilayah dan Otonomi Daerah, Sejarah Penerapan Pemekaran Wilayah

dan Otonomi Daerah di Indonesia, Dasar Hukum Pemekaran Wilayah dan Otonomi

Daerah serta Tujuan Pemekaran Wilayah dan Otonomi Daerah.

Bab Keempat, Pembentukan Daerah Otonomi Baru Berdasarkan Asas

Pemekaran Wilayah dan Otonomi Daerah Di Cibaliung, Meliputi: Prosedur dan

Pengaturan Pembentukan Daerah Otonomi Baru Di Cibaliung, Landasan Historis,

Sosiologis dan Yuridis Adanya Pembentukan Daerah Otonomi Baru Di Cibaliung

serta Pembentukan Daerah Otonomi Baru Cibaliung Ditinjau Dari Aspek Yuridis

dan Sosiologis.

Bab Kelima, berisi penutup yang didalamnya terdapat Kesimpulan dan Saran.

Anda mungkin juga menyukai