Anda di halaman 1dari 4

Berdasarkan EPOS 2020, rhinosinusitis kronik adalah inflamasi pada hidung dan sinus paranasal

yang ditandai dari ≥ 2 gejala, dimana salah satu gejala adalah hidung tersumbat atau adanya lendir
dari hidung (anterior / posterior nasal drip). Gejala lainnya berupa nyeri pada wajah, dan anosmia
pada orang dewasa/ batuk pada anak. Selain gejala klinis, dapat dibuktikan dengan penemuan polip
nasi, dan / atau lendir mukopurulen atau obstruksi mukosa yang utamanya terdapat di meatus media
melalui endoskopi. Dari CT scan, didapatkan juga perubahan mukosal pada kompleks osteomeatal
dan / atau pada sinus paranasal. Membedakan apabila rinosinusitis akut atau kronik, dinilai dari onset
gejala, dimana pada rinosinusitis kronik cut-offnya adalah 12 minggu. .

Etiologi Rinosinusitis kronik bersifat multifactorial, dipengaruhi oleh faktor host predisposisi genetic,
lingkungan , etiologinya bisa karena infeksi Agen mikrobiologi → bakteri dan biofilm,
virus, jamur Bakteri: Staphylococcus aureus Pseudomonas aeruginosa
Haemophilus influenza Moraxella catarrhalis, Virus: Coronavirus, parainfluenza
virus, Fungi → Aspergilus , dengan faktor predisposisi : alergi, asma,
imunodefisiensi, merokok, gangguan mukosilier
Patofisiologi dari rhinosinusitis adalah adanya inflamasi pada mukosa hidung dan sinus
paranasal karena adanya infeksi baik mikroba, fungi, biofilm, superantigen dan interaksinya
dengan faktor predisposisi host seperti kerentanan genetic, fisiologi, defek structural, defek
imun bawaan/ adaptif, dan lingkungan seperti asap rokok, polusi, dan alergi sehingga
menyebabkan efek hipersekresi mucus, kerusakan jaringan, obstruksi saluran nasal,
kolonisasi bakteri, dan menyebabkan disfungsi mukosilier dan stagnasi dari mucus dan
mediator inflamasi. Apabila imunitas host baik makaa akan terjadi resolusi mukosa kembali
normal, apabila imunitas kurang baik maka wkatu resolusi akan lebih lama, dan apabila
terjadi disrupsi mukosilier dan imun tidak baik bisa terjadi superinfeksi bakteri dan infeksi
persisten.

Rinosinusitis kronik dibagi menjadi primer dan sekunder, berdasarkan EPOS 2020. Rinosinusitis
1

kronik primer menunjukkan kalau tidak ada patologi yang mendasari penyakit, fokus patologinya
berada pada mukosa hidung dan paranasal itu sendiri, sedangkan pada tipe yang sekunder
menunjukkan terdapat adanya patologi ditempat lain. Untuk membedakan gejala-gejalanya, dapat
dilihat dari distribusi anatomis dan endotipe. Distribusi anatomis melihat apakah gejala rinosinusitis
kronik hanya terdapat pada satu atau kedua sisi. Informasi ini kita bisa dapatkan melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Sedangkan untuk menentukan endotipe, harus dilakukan pemeriksaan
penunjang yaitu endoskopi. Arti dari Tipe 2 pada klasifikasi ini merujuk pada respons imun tipe 2,
yang berarti didominasi oleh eosinofil.   Pada non-tipe 2, inflamasi didominasi oleh neutrofil.
2 2

Perbedaan antara rinosinusitis tipe 2 dan non-tipe 2 dapat dilihat pada Tabel 1. Berikut juga ada
contoh dari masing-masing tipe rhinosinusitis kronik. Ada unilateral type 2 contohnya allergic fungal
rhinosinusitis, sementara yg bilateralnya menjadi rhinosinusitis kronik dengan nasal polip/ eosinofilik
rhinosinusitis kronik, allergic fungal rhinosinusitis, central compartment allergic disease. Kemudian
untuk unilateral non type 2 adalah isolated sinusitis, dan yang bilateral non type 2 nya adalah non
eosinofilik rhinosinusitis kronik

Pada rinosinusitis kronik yang sekunder penyebabnya tidak dipengaruhi oleh tipe 2 dan non
tipe 2 tapi lebih dipengaruhi oleh kelainan pada cavum nasi/ sistemik. Pada rhinosinusitis sekunder
yang unilateral biasanya disebabkan oleh faktor lokal pada cavum nasi, contoh gambaran klinis yang
sering ditemukan adalah odontogenic, fungus ball, dan tumor seperti ca sinonasal, inverted papilloma,
polip antrokoanal biasanya menyebabkan rhinosinusitis kronik yang sekunder. Jadi ada penyakit lain
yg nyebabin rhinosinusitis kronik. Pada rhinosinusitis kronik sekunder yang bersifat bilateral ada
yang disebabkan oleh gangguan mekanik akibat kerusakan mukosilier itu sendiri, bisa karena kistik
fibrosis/ primary ciliary dyskinesia, gangguan inflamasi ditemukan pada kasus granulomatosis dengan
polyangiitis/ eosinofilik granulomatosis. Kelainan lainnya adalah gangguan imunitas pada pasien HIV
bisa juga menyebabkan rhinosinusitis kronik.

Bagaimana cara mendiagnosis CRS?


Pada fasilitas kesehatan tingkat primer yg penting adalah dokter umum dapat membedakan
apakah kasus ini merupakan CRS lain atau kasus lain yang memiliki gejala yang mirip seperti rhinitis
alergi, rhinitis non alergi (vasomotor, medikamentosa, hormonal), disfungsi olfaktori/ gangguan
penghidu yang bukan disebabkan oleh CRS seperti kasus trauma atau tumor, atau sama2 memiliki
keluhan nyeri tapi bukan disebabkan oleh CRS, misalnya pada pasien dengan kelainan gigi atau TTH
yang penyebabnya bukan disebabkan oleh inflamasi sinusparanasal.

Dari anamnesis, pasien CRS akan ditemukan 1 dari 2 gejala utama yaitu gejala hidung
tersumbat/ kongesti (penuh/ buntu), atau ditemukan pilek yang beringus yang meler ke cavum nasi/
pasien bisa merasakan ada secret yang mengalir ke tenggorok/ post nasal drip. Apabila ada 2 gejala
tersebut, kita patut mencrigai kalau itu merupakan CRS. Atau bisa ada gejala lain yg mungkin kita
temukan tapi ga selalu ada yaitu nyeri pada wajah, facial pain itu khas sekali sesuai lokasi sinus, jadi
kalau pasien ada sinusitis maksila, nyerinya di pipi, kalau sinusitis ethmoid ada rasa berat pada
hidung/ kedua mata, kalau sinusitis frontal keluhannya di dahi atau puncak kepala. Kalau ditemukan 1
gejala mayor, nasal obstruksi/ disacj + 1 kriteria mayor lainnya mengarah pada CRS, kalau pada anak-
anak lebih banyak keluhan batuk akibat post nasal drip dan sulit mengeluarkan dahak jadi lebih sering
terjadi batuk kronik.
Gejala lain CRS adalah halitosis, dysgeusia, rasa penuh pada telinga akibat post nasal drip di
nasofaring, nyeri gigi, dan demam akut. Di katakana kronik kalau pasien mengeluhkan gejala > 12
minggu atau 3 bulan meskipun gejalanya mereda tapi ada salah satu gejala yang menetap maka itu lah
yang disebut kronik. Jika pasien mengeluh minggu ini skait, 4 bulan lagi sakit, tapi di antara interval
itu pasien gak ada gejala, hal itu tidak disebut sebagai CRS kronik. Pada pasien CRS, kita juga perlu
menanyakan VAS, untuk mengevaluasi keparahan gejala setelah diberikan treatment.

Untuk pemeriksaan fisis, pada faskes primer, kita melakukan pf THT sederhana, pada
pemeriksaan sinus sederhana, pada kasus akut, apabila kita melakukan palpasi, terdapat nyeri tekan/
nyeri akut sesuai lokasi sinus, bisa di daerah sinus maksila, ethmoid, dan frontal. Pada pemeriksaan
rhinoskopi anterior menggunakan speculum, bisa ditemukan mukosa yang edem terutama pada kasus
eksaserbasi akut dan discaj mucopurulent, serta lihat juga apakah ada kelainan meatus mediusnya.
Namun pada rinoskopi anterior, sering kali meatus medius tidak dapat dilihat dengan jelas. Kemudian
yang khas pada CRS adalah post nasal drip, saat pemeriksaan tenggorok akan terlihat discaj yang
mengalir pada dinding posterior orofaring, warna mukopurulen atau sedikit lebih ke warna
kekuningan atau pada kasus yang berat akan berwarna hijau.
Pemeriksaan yang saat ini sudah jarang ditemukan adalah pemeriksaan sinus transilluminasi 2
sinus yang besar, sinus maksila dan frontal. Waktu yg akan digunakan di bungkus plastic sehingga
tetep bersih, dimasukin ke mulut dan lihat pendaran cahaya pada pipi kiri dan kanan, kalau ada
kesuraman itu menunjukkan ada proses inflamasi pada sinus. Sinus yang normal berisi udara
seharusnya tampak cemerlang.
Cara lain, penlight disinari dari luar, pasien buka mulut,seperti posisi waters kemudian dilihat
dari area palatum, dan lihat apakah ada pendaran cahaya. Selanjutnya untuk meriksa frontal, bisa
menggunakan penlight di sinari di area frontal bisa dilakukan di pelipis, kemudian wajah ditutupi
sesuatu sehingga kita bisa menilai pendaran cahaya. Pada fasilitas kesehatan yang lebih tinggi bisa
dilakukan nasoendoskopi dan imaging berupa CT scan paranasal, posisi utama koronal, kalau ada
kelainan di daerah frontal dibutuhkan posisi sagittal untuk melihat recessus frontal, dan posisi aksial
kalau ada keterlibatan lateral orbita pada area sphenoid untuk menilai adanya destruksi tulang pada
area tertentu. Kapan CT scan? CRS, gagal terapi CRS > 2minggu, CRS/ akut RS dengan komplikasi,
dan surgery guiding. Uji kultur dan sensitivitas menggunakan secret di cavum asi posterior/ meatus
media atau mukosa sinus untuk menentukan etiologic dan uji histopatologi untuk mengkonfirmasi
diagnosis, menentukan endotype. Sekret yang diambil ga boleh dari meatus inferior atau cavum nasi
anterior karena tidka menggambarkan pathogen yg sebenernya.
Tata laksana dari CRS pada faskes primer setelah kita mengidentifikasi adanya gejala dari
CRS, kita identifikasi terlebih dahulu apakah ada alarm symptoms, seperti yang ada diagram berikut,
ada edema periorbita, double vision, sakit kepala hebat, tanda sepsis, dll kalau ada kita langsung rujuk
ke faskes lebih tinggi, kalau gaada kita bisa memberikan edukasi kepada pasien terkait penyakitnya
dan menyarankan pasien untuk melakukan cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% dan obat intranasal
kortikosteroid, edukasi pasien tentang tata cara pengobatan dan compliance serta hindari penggunaan
antibiotic kecuali ada gejala infeksi bakteri.
Kalau pada EPOS kita lakukan evaluasi setelah 6-12 minggu, kalau perhati 2 minggu,
apakah ada perbaikan atau tidak? Kalau tidak ada perbaikan rujuk ke spesialis THT, nanti di
faskes lebih tinggi akan dievaluasi lagi apakah benar gejala yang diderita pasien merupakan
CRS dengan menggali anamnesis dan faktor risikonya kembali, dan melakukan pemeriksaan
penunjang lebih canggih seperti pemeriksaan tht lengkap, nasoendoskopi, CT scan dan
pemeriksaan lab, karena pada faskes sekunder/ tersier, dokter spesialis akan mengidentifikasi
apakah tipe CRS nya apakah yang difus atau bilateral, endotipenya apa? Kalau unilateral,
pasien akan di ct scan dan biasanya penyakit ddxnya tuh mengarah ke tumor atau ke jenis
penyakit yang membutuhkan operasi tapi kalau primary bilateral, pasien akan diberikan
appropriate medical treatment terlebih dahulu seperti intranasal corticosteroid, cuci hidung
dan, lalu lihat evaluasi selama 6-12 minggu, kalau ga sembuh lakukan pemeriksaan
penunjang tambahan seperti ct scan/ MRI, dan lab untuk menilai ini jenis yang tipe 2 atau
yang non tipe 2, kalau non tipe 2 bisa dipertimbangkan untuk diberikan antibiotic seperti
klaritromisin atau amoksisilin clavulanate kalau tipe 2 bisa dipertimbangkan untuk diberikan
oral kortikosteroid. Kalau yang CRS sekunder jangan lupa untuk atasi kondisi patologis yang
mendasarinya juga.

1. Komplikasi Rinosinusitis Kronik


Rinosinusitis kronik dapat menyebabkan beberapa komplikasi yang secara umum dapat
dibagi menjadi komplikasi akut dan kronik.  Komplikasi akut paling sering melibatkan area orbita,
intrakranial, ataupun struktur tulang. Selain itu komplikasi akut juga dapat berupa masalah pada gigi
dan toxic shock syndrome. 10

Tanda dan gejala alarm yang menandakan adanya komplikasi intracranial dan keterlibatan
irbita akibat penyakit rhinosinusitis adalah adanya demam tinggi, nyeri hebat, sakit kepala yang
memberat, tanda meningeal, hipestesi infraorbital, perubahan status mental, bengkak area wajah yang
signifikan, diplopia, ptosis, kemosis, proptosis, dan pupil abnormal atau gerakan bola mata yang
abnormal.

Komplikasi akut yang berkaitan dengan orbita meliputi adanya edema inflamasi, selulitis
orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi akut intrakranial
termasuk adanya abses baik pada ekstradural, subdural maupaun serebral. Selain itu dapat juga berupa
meningitis, ensefalitis, ataupun trombosis sinus kavernosus dan sagital superior. Sedangkan,
komplikasi akut yang berkaitan dengan tulang termasuk adanya osteitis atau osteomielitis. Pada 1

pemeriksaan pasien, penting untuk menilai apabila terdapat tanda bahaya yang mengarah kepada
komplikasi intrakranial ataupun intraorbital. Gejala ini termasuk adanya demam tinggi, nyeri kepala
hebat yang memburuk, penurunan kesadaran, tanda rangsang meningeal, edema wajah, hipestesi
infraorbital, diplopia, ptosis, kemosis, proptosis, serta abnormalitas pada pupil dan gerakan bola
mata.1,10

Komplikasi kronis dapat berupa mucocele sebagai kista kronis yang terdiri dari epitel
kolumnar pseudostratifikasi dengan sel goblet, atau dapat menjadi pyocele apabila bersifat purulen.
Kista ini dapat membesar perlahan dalam rentang waktu bertahun - tahun. Selain itu komplikasi lain
yang berhubungan dengan organ lainnya dapat timbul seperti adanya otitis media, adenotonsilisitis,
ataupun bronkiektasis.
10

2. Prognosis Rinosinusitis Kronik


Prognosis pasien anak dengan rinosinusitis kronik bergantung pada derajat keparahan,
komplikasi yang telah terjadi, dan dipengaruhi oleh faktor host, lingkungan, dan kepatuhan berobat
dari pasien. Adanya komplikasi akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas dari pasien. Seringkali,
pada kondisi kronis, rinosinusitis akan memperburuk kualitas hidup pasien. Kemungkinan adanya
rinosinusitis berulang dapat berkurang dengan adanya eliminasi dari faktor lingkungan dan terapi
yang rutin. Terapi farmakologis untuk rinosinusitis kronik pada anak memiliki angka keberhasilan
7,11

sekitar 50%. Dengan dilaksanakannya terapi pembedahan prognosis pasien menjadi lebih baik.
12 7,11

Anda mungkin juga menyukai