Anda di halaman 1dari 7

BAB II

KAJIAN TEORITIS

2.1. Konsep Reformasi Birokrasi


Weber (1930)1 mengatakan bahwa birokrasi merupakan organisasi ideal yang
memiliki sifat legal rasional yaitu sebagai suatu sistem otoritas yang ditetapkan secara
rasional oleh berbagai macam peraturan untuk mengorganisir pekerjaan yang dilakukan oleh
banyak orang yang akan memberikan efisiensi operasi yang maksimal. Untuk menciptakan
suatu organisasi yang ideal oleh Weber disebutkan karakteristik-karakteristk birokrasi (Gerth
dan Mills, 1946)2 sebagai berikut:
1) Hirarki kewenangan yang jelas yang dibatasi secara ketat oleh aturan-aturan.
2) Penyelenggaraan birokrasi diatur melalui kontrak penugasan secara resmi (formal).
3) Penugasaan dan penempatan aparatur didasarkan pada kualifikasi yang dimiliki untuk
melaksanakan tugas-tugas secara teratur dan terus menerus dan untuk melaksanakan hak-
hak terkait.
4) Pemisahan kehidupan aparatur sebagai bagian birokrasi dengan kehidupan aparatur
sebagai pribadi.
5) Adanya rantai pengaturan penugasan dari atas ke bawah yang jelas.
6) Penugasan bersifat impersonal artinya aparatur tidak mengikutkan kepentingan pribadi
dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sehingga birokrasi dapat dijalankan tanpa
kolusi dan nepotisme antara pribadi dengan kerabat atau kolega dekatnya.

Birokrasi memiliki cara kerja dalam sebuah sistem tertutup yang berarti setiap sistem
dimaksudkan menjadi formal dan kaku untuk menjaga ketertiban. Hal ini ditujukan agar
keteraturan dan pengelolaan dalam sebuah organisasi dapat diidentifikasi dengan prosedur
hierarkis (Raharja, 2022).3 Birokrasi dianggap tepat untuk menggantikan keputusan otonom
atau perorangan tradisional karena birokrasi membuat sistem tertutup menjadi lebih terarah
dan keputusan dapat diambil secara bertingkat. Sistem tertutup dioperasikan agar mudah

1
Weber, Max, “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalsm, translated by Talcott Parsons, (Georgle Allen &
Unwin Ltd.: London, 1930).
2
Gerth, H. H., and C. Wright Mills, “From Max Weber: Essays in Sociology”, (Oxford University Press: New York,
1946).
3
Raharja, Algonz D.B., “Birokrasi: Pengertian, Cara Kerja, Fungsi, Ciri, dan Jenisnya”, 11 April 2022, diakses dari
https://www.ekrut.com/media/birokrasi-adalah.
dilakukan peninjauan dan rasionalisasi atas keputusan-keputusan dan penerapan kebijakan
dimana hal ini akan lebih sulit bila dilakukan dengan sistem terbuka.
Dalam sebuah birokrasi, relasi dilakukan secara hierarkis dengan tugas dan kewajiban
masing-masing seperti bagian relasi publik, manajemen, sekretaris, dan lainnya. Bandingkan
dengan pengaturan dalam komunitas informal yang bersifat terbuka misalnya dimana
seseorang bisa menempati posisis manajer sekaligus sekretaris tanpa sekat yang jelas untuk
mengambil keputusan.
Dalam tradisi Weberian birokrasi, meskipun bekerja di bawah tatanan politik,
merupakan kelompok sosial yang vital dengan kekuasaan dan hak istimewa (Akbar et. al.,
2021).4 Birokrasi dengan posisi, kewenangan, keahlian, dan hak yang dimilikinya
mempunyai akses untuk menguasai aspek-aspek yang sangat luas dan strategis seperti sumber
daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta akses pengetahuan dan informasi yang
tidak dimiliki pihak lain. Birokrasi juga memiliki akses untuk membuat kebijakan yang tepat
secara teknis, tetapi juga untuk memperoleh dukungan yang kuat dari masyarakat dan dunia
usaha. Sehingga dapat dibayangkan betapa pentingnya birokrasi dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Birokrasi menjadi ujung tombak dalam semua tahapan
kebijakan publik mulai dari tahap perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan serta dalam
evaluasi kinerjanya.
Keberhasilan pemerintah dalam menjalankan program dan kebijakan pembangunan
tidak lepas dari peran besar birokrasi. Birokrasi yang buruk akan menyebaban upaya
pembangunan akan mengalami banyak hambatan. Sebaliknya, jika birokrasi bekerja secara
baik, maka program-program pembangunan akan berjalan lebih lancar. Proses birokrasi
dituntut untuk dikelola secara profesional, efektif, efisien, dan transparan namun tetap dengan
pengelolaan yang terencana dan simultan. Dalam konteks ini, birokrasi diartikan sebagai alat
kelengkapan negara, terutama meliputi bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, dan
kepegawaian, yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan sehari-
hari.
Secara umum, pembangunan birokrasi mencakup berbagai aktivitas terencana yang
berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan dalam
menjalankan fungsi-fungsinya (Adi Suryanto, 2012).5

4
Akbar, Gungun Geusan et. al., “Reformasi Birokrasi Di Indonesia, Sebuah Tinjauan Literatur”, Transparansi : Jurnal
Ilmiah Ilmu Administrasi Vol 4 , No. 2, Desember 2021, pp. 187-199.
5
Sitorus, Thiar Y. T., “Makalah Reformasi Birokrasi pada Administrasi Publik”, (Fakultas Ilmu Sosial: Universitas
Negeri Manado, 2019).
Seperti apa yang dituliskan Lord Acton (1834 - 1902) dalam suratnya kepada Bishop
Mandell Creighton pada 1887: "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts
absolutely. Great men are almost always bad men." Kenyataan inilah yang pernah Indonesia
alami selama rentang sebelum era reformasi yang puncaknya ditandai dengan krisis
multidimensi pada tahun 1998. Pada masa tersebut birokrasi mengalami pengkerdilan
sebagai alat yang digunakan untuk memenuhi kepentingan penguasa dan kroninya alih-alih
digunakan sebagai alat untuk mensejaterakan rakyat. Untuk mengembalikan peran birokrasi
dalam penyelenggaran clear government dan good governance maka dilakukan upaya
perubahan menyeluruh dan bertahap melalui apa yang disebut dengan reformasi birokrasi.
(Kemenpan RB, 2009) meyebutkan bahwa reformasi birokrasi pada hakikatnya
merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem
penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi),
ketatalaksanaan (business process) dan sumber daya manusia aparatur seperti dinukil dari
(Akbar et. al., 2021).6 Lebih lanjut Gungun menuliskan bahwa reformasi birokrasi
melibatkan kegiatan-kegiatan yang berupaya memperbaiki administrasi publik secara
struktural, secara fungsional dan perilaku, meningkatkan efisiensi dan efektivitas melalui
inisiatif secara sistematis, norma-norma demokrasi, pembangunan konsensus dan kesetaraan
dalam lembaga layanan publik (Denhardt & Denhardt, 2000).7 Reformasi birokrasi
merupakan desain yang dirancang untuk membawa perubahan substantif (Savoie, 2012).8

2.2. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Reformasi Birokrasi


Tonggak reformasi pada tahun 1998 membawa perubahan lanskap sendi-sendi
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Tuntutan perbaikan penyelenggaraan negara baik
secara politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi menjadi agenda masif yang digaungkan oleh
masyarakat secara luas. Sejak 2010 reformasi birokrasi telah menjadi prioritas pemerintah
dengan diterbitkannya berbagai kebijakan secara makro dan sistematik yang mengatur
reformasi birokrasi seperti: Perpres No. 81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010-2025, Permenpan & RB No. 20/2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010 –
2014 (diperbarui dengan Permenpan & RB No. 11/2015 tentang Road Map Reformasi

6
Akbar, Gungun Geusan et. al., Op. cit
7
Denhardt, R. B., & Denhardt, J. V. (2000). The new public service: Serving rather than steering. Public Administratio
n Review, 60(6), 549–559. https://doi.org/10.1111/0033-3352.00117
8
Savoie, D. J. (2012). Christopher Pollitt and Geert Bouckaert (2011) Public Management Reform: A Comparative An
alysis – New Public Management, Governance, and the Neo–Weberian State. International Review of Administrative
Sciences, 78(1), 180–182. https://doi.org/10.1177/0020852312437323
Birokrasi 2015-2019, dan Permenpan & RB No. 25/2020 tentang Road Map Birokrasi Tahun
2020-2025) yang merupakan pedoman teknis tentang berbagai hal terkait reformasi birokrasi.
Diterbitkannya peraturan-peraturan ini merupakan komitmen pemerintah untuk mewujudkan
sistem birokrasi yang diharapkan mampu membawa Indonesia keluar dari krisis multidimensi
yang terjadi pada 1998.
Selain delapan area perubahan yang menjadi fokus reformasi birokrasi, yaitu
organisasi, tata laksana, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia aparatur,
pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, dan perubahan mind set dan culture set. Hal
yang tidak kalah penting dari keberhasilan reformasi birokrasi adalah pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) agar keseluruhan proses dapat terintegrasi dengan baik.
Pesatnya laju perkembangan teknologi telah menciptakan TIK yang semakin kuat
yang mampu mengubah secara radikal institusi publik dan swasta. Teknologi ini telah
terbukti menjadi instrumen yang sangat berguna dalam memungkinkan pemerintah untuk
meningkatkan kualitas, kecepatan pengiriman, dan keandalan layanan kepada warga negara
dan bisnis (VanderMeer & VanWinden, 2003 dalam Yegitcanlar & Baum, 2006). 9
Banyak pemerintah di seluruh dunia sedang berusaha untuk meningkat akuntabilitas,
transparansi, dan kualitas layanan dengan mengadopsi TIK untuk memodernisasi dan
mengubah cara kerja administrasi mereka. Pemanfaatan TIK melalui e-government
meningkatkan kecepatan, akurasi, dan skala pelayanan dan penyelenggaraan kerja pemerintah
sehingga lebih efektif dan efisien. E-government menjadi alat pengambilan keputusan dan
layanan yang signifikan di tingkat lokal, tingkat pemerintahan daerah dan nasional (Griffiths,
2002; Lenihan, 2002; Lenk & Traunmuller, 2002; Macintosh, Malina, & Whyte, 2002 dalam
Yegitcanlar & Baum, 2006).10 Sebagian besar pengguna layanan dalam jaringan (daring)
pemerintah ini melihat manfaat yang signifikan dari inovasi ini.
Mustopadidjaya (2003) dalam Winarni (2019)11 menyebutkan bahwa secara teoretik
konseptual, e-government dapat dipahami sebagai penggunaan teknologi berdasarkan WEB
(jaringan), komunikasi internet, dan dalam kasus tertentu merupakan aplikasi interkoneksi
untuk memfasilitasi komunikasi dan memperluas akses ke dan atau dari pemberian layanan
dan informasi pemerintah kepada penduduk, dunia usaha, pencari kerja, dan pemerintah lain,
baik instansional maupun antarnegara. Dari rumusan pengertian tersebut di atas jelas bahwa
9
Yigitcanlar, Tan, and Scott Baum. Encyclopedia of E-Commerce, E-Government, and Mobile Commerce: E-
Government and Digital Divide by Mehdi Khosrow-Pour. Idea Group Reference: London, 2006.
10
Ibid.
11
Winarni, L. Pengembangan Birokrasi Digital Di Indonesia. INTELEKTIVA : Jurnal Ekonomi, Sosial & Humaniora:
30 Septermer 2019.
e-government merupakan pemanfaatan dan pendayagunaan teknologi komunikasi dan
informasi dalam rangka mencapai tujuan antara lain: (1) meningkatkan efesiensi
kepemerintahan; (2) memberikan berbagai jasa pelayanan kepada masyarakat secara lebih
baik; (3) memberikan akses informasi kepada publik secara luas; dan (4) menjadikan
penyelenggaraan pemerintahan lebih bertanggung jawab dan transparansi kepada masyarakat.
12
Selanjutnya, secara teknis teknologi digital diperuntukkan ke dalam: (a) pemerintah
yang menggunakan teknologi, khususnya aplikasi internet berbasis web untuk meningkatkan
akses dan delivery/layanan pemerintah kepada masyarakat kepada masyarakat, partner bisnis,
pegawai, dan pemerintah lainnya; (b) suatu proses reformasi di dalam cara pemerintah
bekerja, berbagai informasi dan memberikan layanan kepada internal dan eksternal klien bagi
keuntungan baik pemerintah, masyarakat maupun pelaku bisnis; dan (c) pemanfaatan
teknologi informasi seperti wide area network (WAN), internet, world wide web, komputer
oleh instansi pemerintah untuk menjangkau masyarakat, bisnis dan cabang-cabang
pemerintah lainnya untuk: memperbaiki layanan kepada masyarakat, memperbaiki layanan
kepada dunia bisnis dan industri, memberdayakan masyarakat melalui akses kepada
pengatahuan dan informasi, dan membuat pemerintah bekerja lebih efisien dan efektif.
Pemerintah menyadari pentingnya pemanfaatan TIK dalam reformasi birokrasi
sehingga salah satu lima aspek tematik reformasi birokrasi Indonesia adalah transformasi
digital birokrasi melalui penerapan e-government. Pemerintah meyakini bahwa reformasi
birokrasi tidak akan terwujud apabila tidak dibarengi oleh transformasi digital birokrasi.
Strategi percepatan transformasi digital telah dituangkan dalam Perpres No. 95/2018 tentang
Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik (SPBE) yang ditujukan untuk untuk mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang bersih, efektif, transparan, dan akuntabel serta pelayanan publik
yang berkualitas dan terpercaya. Tata kelola dan manajemen sistem pemerintahan berbasis
elektronik secara nasional juga diperlukan untuk meningkatkan keterpaduan dan efisiensi
sistem pemerintahan berbasis elektronik (dilansir dari laman portal Kemenpan RB).
Terkait digitilisasi reformasi birokrasi kita perlu lebih dulu memahami beberapa
istilah-istilah yang terkait di dalamnya yaitu, digitasi, digitalisasi, dan transformasi digital.
Mengutip portal laman www.shiftindonesia.com, istilah digitasi mengacu pada proses
mengkonversi informasi dan data dari analog atau bersifat manual dan konvensional
dipindahkan dalam format digital. Sementara itu istilah digitalisasi menekankan pada saling
terhubungnya atau terintegrasinya semua proses atau bahkan mesin pengolah proses
(komputer, red) dalam satu rantai sistem. Adapun transformasi digital merupakan rumah
12
Ibid
besar dari proses digitasi dan proses digitalisasi yang dilakukan secara bersamaan yang pada
gilirannya menciptakan pergeseran budaya yang dominan dalam organisasi.

2.3. Faktor Keamaan Teknologi Informasi dalam Reformasi Birokrasi


Di era informasi seperti sekarang ini, nilai informasi dan pengetahuan menjadi
semakin penting, menjadikannya aset berharga yang harus dilindungi dari ancaman dan
serangan pengguna yang tidak sah, pencurian data dan informasi pribadi yang bisa
merugikan orang yang terdampak, selain itu serangan siber berupa serangan virus terhadap
sistem layanan elektronik dan lain sebagainya. Serangan-serangan ini mengancam organisasi
di semua sisi, melalui intranet, ekstranet, dan internet, tidak terkecuali Pemerintah dengan
rangkaian birokrasinya yang telah terintegrasi dalam satu Sistem Pemerintahan Berbasis
Elektronik (SPBE).
Pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan ketergantungan
birokrasi pada pemanfaatan TIK melalui SPBE menuntut terus diperhatiankannya keamanan
informasi. Meskipun, sebagian besar sistem TIK dirancang untuk memiliki sejumlah
kekuatan untuk mempertahankan dan membantu birokrasi dalam melindungi informasi dari
ancaman keamanan, namun seperti mengutip (Susanto & Almunawar, 2018)13 yang menukil
dari (Furnell, 2005)14 bahwa sistem yang dirancang tidak sepenuhnya kebal dari ancaman.
Oleh karena itu, setiap organisasi yang menggunakan sistem TIK seperti halnya birokrasi
meningkatkan perhatiannya terhadap perlindungan informasi sebagai dampak dari
pelanggaran keamanan informasi hari ini memiliki efek yang lebih nyata.
Menurut SNI ISO/IEC 27001:2009 keamanan informasi adalah penjagaan
kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan informasi. Keamanan Informasi adalah terjaganya
kerahasiaan (confidentiality), keutuhan (integrity) dan ketersediaan (availability) informasi
(Tim Direktorat Keamanan Informasi, 2011:24). Keamanan informasi akan sangat terkait
erat dengan keamanan teknologi informasi yang lebih menitikberatkan pada usaha-usaha
mengamankan infrastruktur teknologi informasi dari gangguan-gangguan berupa akses
terlarang serta utilisasi jaringan yang tidak diizinkan. Keamanan teknologi informasi adalah
usaha yang dilakukan agar teknologi informasi yang digunakan baik perangkat lunak

13
Susanto, Heru, & Mohammad Nabil Almunawar. Information Security Management System: A Novel Framework and
Software as a Tool for Compliance with Information Security Standards. (Apple Academic Press Inc.: Canada, 2018).
14
Furnell, S. (2005). Why users cannot use security. Computers & Security, 24(4), 274–279.
(software), perangkat keras (hardware) dan perangkat pikir (brainware) tetap berjalan sesuai
dengan fungsinya (Hafiz, 2020).15
Infrastruktur teknologi informasi meliputi sumber daya fisik dan virtual yang
mendukung arus, penyimpanan, pengolahan, dan analisis data. Infrastruktur teknologi
informasi dapat dipusatkan di dalam pusat data (data center), atau mungkin terdesentralisasi
dan tersebar di beberapa data center yang dikendalikan oleh organisasi atau oleh pihak ketiga,
seperti fasilitas colocation atau penyedia awan (cloud server). Infrastruktur teknologi
komunikasi meliputi:
1) Infrastruktur perangkat keras seperti: server, subsistem penyimpanan, perangkat jaringan
(seperti switch, router, dan kabel fisik), dan peralatan jaringan khusus (seperti firewall
jaringan), termasuk di dalamnya jaringan internet
2) Infrastruktur sistem perangkat lunak: sistem operasi dan aplikasi yang digunakan.
3) Infrastruktur sumber daya manusia sebagai pengolah layanan informasi bagi pengguna
yang membutuhkan.

Selain infrastruktur-infrastruktur di atas perlu mendapat perhatian juga adalah


infrastruktur bangunan, sistem pendingin, dan sumber daya untuk memasok keperluan energi
listrik bagi perangkat keras. Faktor-faktor ini akan mempengaruhi kinerja infrastruktur
teknologi komunikasi secara keseluruhan. Oleh karenanya perlu juga diperhatikan
keamanannya sehingga tidak berdampak pada keamanan informasi secara keseluruhan.

15
Hafiz, Keamanan Teknologi Informasi diunggah 29 Januari 2020, diakses dari https://aliyhafiz.com/keamanan-
teknologi-informasi/.

Anda mungkin juga menyukai