Anda di halaman 1dari 40

A.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Reformasi birokrasi telah menjadi isu penting dalam beberapa tahun terakhir, semenjak
bergulirnya gerakan reformasi 1998. Salah satu tuntutan reformasi adalah melakukan penataan
birokrasi, baik pada aspek struktur (kelembagaan) maupun kultur (budaya). Penataan
kelembagaan dan budaya di birokrasi pemerintahan merupakan hal yang mesti dilakukan dalam
kerangka demokratisasi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel.

Penataan birokrasi seperti yang disebutkan diatas, kemudian bergulir seiring dengan
pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
kemudian direvisi pada tahun 2004 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 dan pada tahun 2008 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.

Aspek penting dari UU Pemerintah Daerah tersebut adalah desentralisasi dan otonomi
daerah. Perubahan tata penyelenggaraan pemerintahan sebagai akibat dari adanya otonomi
daerah tentu akan membawa berbagai konsekuensi yang cukup signifikan bagi para birokrat
sebagai pelaksana penyelenggara negara. Dengan otonomi daerah di tingkat kabupaten/ kota
maka penataan birokrasi adalah hal mutlak yang harus dilakukan untuk mewujudkan tata
pemerintahan yang baik (good governance) dan tata kelola pemerintahan yang baik (good
corporate governance).

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi


daerah diartikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Soenyono (2001: 116) paradigma yang sesuai dengan penyelenggaraan otonomi
daerah adalah demokratisasi. Substansi dari penyelenggaraan otonomi, menurut G. Shabbir
Cheema dan Dennis A. Rondinelli (Sidik Jatmika, 2001: 33), adalah bisa mengurus dirinya
sendiri, baik dari sisi wewenang hukum, wewenang politik, wewenang pemerintahan,
terutama wewenang ekonomi, dan wewenang kultural. Apa yang bisa diurus oleh daerah, maka
1
daerah yang mengurusnya. Sementara yang tidak bisa diurus daerah, barulah pusat yang
membantu mengurus. Sehingga secara substansial ada kepercayaan, kesempatan, dan instrumen
pada masyarakat daerah untuk mengurus dirinya sendiri. Itulah sebetulnyabasis tumbuhnya
masyarakat madani (civil society) secara konkret di daerah-daerah.

Penyelenggaraan otonomi seringkali dikaitkan dengan desentralisasi, yang sering diartikan


sebagai pelimpahan atau pembagian kewenangan (kekuasaan) pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah (local government). Dalam hal ini pengertian local government bisa
mempunyai dua arti. Pertama, local government yang mendasarkan pada asas dekonsentrasi.
Kedua, local state government dalam arti local self autonomous government (Tri
Ratnawati, 2000: 18-28).

Dalam pencapaian tujuan otonomi daerah harus diperhatikan beberapa unsur yang amat
penting. Unsur-unsur tersebut menurut Syaukani (2001: 179) antara lain memantapkan
kelembagaan, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah daerah, dan kemampuan finansial
(keuangan) daerah untuk membiayai pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut
dapat memperbaiki dan mengembangkan unsur-unsur itu sehingga mampu menangani
berbagai persoalan yang mungkin terjadi dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

Otonomi daerah harus menunjukkan keselarasan dan harus dilihat dari proses yang
memperkuat kemauan dan kemandirian. Oleh karena itu, dalam mempersiapkan
penyelenggaraan otonomi daerah harus diperhatikan beberapa faktor yang bisa
memperkuat dan memperlemah persiapan tersebut. Adapun faktor-faktor pendukung yang
berkaitan erat dengan penyelenggaraan otonomi daerah menurut Syaukani (2001: 176) adalah: 1)
tumbuhnya kemandirian dan keberanian mengambil peran; 2) adanya komitmen rasa persatuan;
3) adanya masyarakat yang egaliter; dan 4) meningkatnya kemauan pemberdayaan masyarakat.

Ryaas Rasyid (1998: 71) mengutip salah satu bagian kecil dari buku Guy Sorman yang
memberikan contoh pengelolaan sumber daya manusia aparatur (birokrat) di Singapura.
Dalam buku itu Lee Hsien Liong menjelaskan bahwa negara yang baik bisa dipelihara jika
dikelola oleh pemerintahan yang baik, dan pemerintahan menjadi baik, jika berada di tangan
orang-orang terbaik.

2
Maksud yang diungkap oleh Ryass Rasyid dalam kutipannya tesebut adalah pentingnya
reformasi birokrasi dalam upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Reformasi
birokrasi tentu saja tidak hanya menyangkut aspek strukutur kelembagan tetapi juga menyangkut
reformasi sikap dan nilai birokratnya.

Dalam implementasinya penataan birokrasi, bukan merupakan hal yang mudah untuk
dilakukan karena menyangkut beberapa faktor internal dan eksternal dari birokrasi. Faktor
internal berupa struktur kelembagaan, kompetensi aparat, ketatalaksanaan, teknologi administrasi
(sarana dan prasarana) dan manajemen birokrasi itu sendiri. Sedangkan masalah yang berasal
dari lingkungan eksternal berupa dinamika dan perubahan kondisi masyarakat, pergeseran
paradigma dalam penyelengaraan pemerintahan dari rule government menjadi good governance,
pembangunan dan layanan masyarakat serta otonomi daerah (Widodo, 2007 : 121-122).

Peliknya persoalan reformasi birokrasi karena menyangkut berbagai aspek persoalan tersebut
diatas, sehingga diperlukan sebuah rumusan atau sebuah grand strategy terhadap reformasi
birokrasi. Berbagai ahli dan praktisi kemudian menggagas berbagai konsep pembaharuan
birokrasi. Soebhan (2005) mengemukakan bahwa prioritas pertama yang perlu dilakukan
adalah mengenalkan konsep kewirausahaan di lingkungan birokrasi guna mendongkrak
kebangkitan ekonomi. Pendapat ini selaras dengan Deklarasi Seoul yang dicetuskan para
praktisi dan ahli pemerintahan dunia dalam Global Forum VI pada 27 Mei 2005 lalu, yang
merekomendasikan perlunya implementasi reinventing government yang berorientasi pada
transparansi, partispatori, inovasi, akuntabilitas, dan making small head quarter and bigger
branches (Thoha, 2005).

Menurut Gintings (2005) langkah untuk mengawali reformasi birokrasi melalui


perbaikan pelayanan publik. Sebagaimana yang dilakukan di berbagai negara yang mengalami
perubahan dari sistem otoritarian ke system politik demokrasi, perbaikan pelayanan publik akan
secara lebih langsung dirasakan oleh masyarakat sebagai perbedaan yang signifikan dari sistem
sebelumnya.

Sedangkan menurut Zuhro (2005), reformasi birokrasi harus dilakukan dengan


memperbaiki seluruh sistemnya agar kinerja lembaga pemerintahan dapat segera
ditingkatkan. Tiga hal yang perlu dilakukan adalah (1) mengubah pola pikir abdi negara, yang
3
disalahartikan sebagai pengabdian kepada penguasa atau partai politik yang berkuasa, menjadi
abdi masyarakat; (2) mengubah pola kerja birokrasi, yang selama ini dianggap sebagai
kewajiban rutin yang linear menjadi lebih profesional; (3) memperbaiki hubungan birokrasi
dengan masyarakat, yang selama ini jauh agar menjadi lebih dekat.

Gagasan tentang model reformasi birokrasi diatas mengingatkan kita bahwa persoalan
menata birokrasi merupakan hal yang kompleks, sehingga diperlukan pemahaman yang lebih
mendalam terhadap praktek dan pelaksanaan birokrasi selama ini, termasuk didalamya adalah
bagaimana identifikasi kelemahan-kelemahan dalam praktek birokrasi.

Dalam menghadapi persolan diatas, Miftah Thoha (2005) kemudian mengusulkan perlunya
dibentuk sebuah komisi birokrasi di pemerintahan. Komisi ini bertugas dalam menyusun grand
scenario dan grand strategi reformasi birokrasi yang nanti akan diterapkan oleh pemerintah
dalam sebuah kebijakan tentang reformasi birokrasi. komisi ini diharapkan dapat menghasilkan
model kelembagaan birokrasi pemerintah yang berbeda dengan lembaga ‘borokrasi’ pemerintah
orde baru. Dengan demikian, praktek-praktek korupsi dan perilaku feodal pejabat pemerintah
dapat dirubah menjadi lebih bersih, transparan, profesional, partisipatif, inovatif, dan
akuntabel.

2. Permasalahan

Demokratisasi dengan perwujudan sistem pemilihan langsung saat ini, dengan Presiden dan
Kepala Daerah yang dipilih secara langsung melalui proses pilpres dan pilkada disatu
sisi memang menegaskan semangat reformasi politik dan pemerintahan dengan mengembalikan
kedaulatan ke tangan rakyat yang sesungguhnya. Namun di sisi yang lainnya proses ini
kemudian melahirkan problematika bagi birokrasi pemerintahan. Hal ini dikarenakan para
pejabat birokrasi pemerintahan kita pada umumnya masih menerapkan model
kepemimpinan politis transaksional (Weber, 1987), sementara berbagai permasalahan
strategis perlu segera diselesaikan.

Perkembangan global kekinian menunjukan perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan,


perkembangan ilmu dan teknologi, persaingan ekonomi global,pengangguran tenaga terdidik,

4
demasalisasi pasar, tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik, dan krisis
keuangan yang hebat dan berkepanjangan (Osborne & Plastrik,1997).

Perkembangan kenaikan harga minyak mentah dunia tahun ini misalnya, menuntut
pemerintah untuk menaikan harga BBM di tingkat lokal dalam upaya mengurangi devisit belanja
APBN. Proses untuk menaikan harga BBM yang terjadi di DPR baru-baru ini menunjukan
watak pejabat birokrasi indonesia yang masing menggunakan model kepemimpinan politis
transaksional. Alih-alih menyelesaikan persoalan yang sesungguhnya terjadi di masyarakat
dalam hal kenaikan BBM, rencana pemerintah dalam upayanya menaikan harga BBM justru
telah memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainya yang kemungkinan besar akan
mempertajam laju inflasi pada tahun ini.

Dalam proses kenaikan harga BBM, menunjukan lambatnya sistem birokrasi pemerintahan
kita dalam mengatasi dinamika dan perubahan global. Salah satu sebabnya adalah karena
sistem birokrasi pemerintahan kita masih mengikuti konsep birokrasi Weber, yang memiliki
karakteristik sebagai berikut: (a) pelaksanaan berbagai kegiatan reguler diatur secara jelas
dan dianggap sebagai kewajiban untuk mencapai tujuan organisasi; (b) kelembagaan diatur
secara hierarkis, unit yang lebih rendah berada di bawah pengawasan unit yang lebih tinggi; (c)
standar pelaksanaan kerja diterapkan secara ketat dan spesifik; (d) pola karir diatur melalui
sistem senioritas atau prestasi, atau kombinasi antara keduanya; dan (d) kepemimpinan
dilaksanakan secara impersonal, tanpa kebencian atau empati, tanpa entusiasme atau afeksi
(Weber, 1987).

Penerapan konsep tersebut tentu akan menghasilkan suatu lembaga hierarki yang penuh
dengan jenjang jabatan, cara bekerja yang lamban, dan tata aturan yang kaku dan berliku-liku.
Oleh karena itu Birokrasi pemerintahan yang cenderung lambat dalam mengambil keputusan dan
kurang adaptif terhadap dinamika dan perubahan global ini seringkali disebut sebagai lembaga
officialdom atau kerajaan pejabat, yang penuh dengan pimpinan unit yang bekerja sesuai dengan
tatanan hierarki dengan kompetensi yang spesifik.

Di dalam lembaga terdapat yurisdiksi dimana setiap pejabat memiliki official duties,
sementara komunikasi dilakukan secara formaldengan menggunakan dokumen tertulis (Fauziah,

5
2006). Karena kekuasaan hierarkis yangdiperoleh, pola kepemimpinan birokrasi yang diikuti
para pejabat pun cenderung berubah menjadi kepemimpinan feodal (Weber, 1947).

Seperti seorang raja, pimpinan birokrasi semacam ini mendasarkan hubungan atasan-
bawahan (patron-client) pada loyalitas, nepotisme, dan politik. karakteristik semacam
inilah yang banyak dijumpai pada pemimpin birokrasi pemerintah kita. Kekakuan dalam
hierarki,tuntutan loyalitas pada pegawai, interaksi yang penuh nepotisme, dan kebijakan
yang diwarnai politik banyak dipraktekkan. Proses pengambilan keputusan yang terlalu hierarkis
juga banyak mewarnai kegiatan sehari-hari. Pegawai banyak berpangku tangan karena harus
menunggu petunjuk, perintah dan persetujuan dari atasan dalam melakukan suatu pekerjaan.
Dampak dari malpraktik ini adalah hilangnya daya kreatifitas, inisiatif dan inovasi pegawai.

Prinsip-prinsip profesionalitas, efektivitas dan efisiensi yang diharapkan muncul dalam


kinerja birokrasi pun berubah menjadi ketidakmampuan, kelambanan, dan pemborosan.
Akibatnya dapat ditebak. Lembaga birokrasi tidak berdaya menghadapi perubahan global.
Berbagai kebijakan pemerintah yang seharusnya menjadi pedoman kinerja birokrasi pun hanya
menjadi sebatas wacana dan debat ditelevisi. Good governance yang diharapkan menjadi
strategic solution krisis globalisasi akhirnya hanya menjadi konsep tematik sambutan para
pejabat. Visi dan misi dianggap komitmen pimpinan belaka karena tak pernah diinternalisasikan,
sehingga mayoritas pegawai tidak tahu, memahami, apalagi mendukung, keberhasilan
pencapaiannya.

Dalam kaitan hal tersebut diatas, hal yang tak kalah pentingnya dalam reformasi birokrasi
menurut penulis adalah persoalan kepemimpinan. Menata birokrasi secara langsung maupun
tidak langsung berhubungan erat dengan persoalan kepemimpinan di tubuh birokrasi itu sendiri.
Demokratisasi dalam sistem pemilihan kepala daerah dengan sistem pilkada langsung misalnya
telah menjadikan sistem kepemimpinan birokrasi lebih bersifat politis, dan dalam aspek-aspek
tertentu menghasilkan sistem kepemimpinan birokrasi yang transaksional. Oleh karena itu
transformasi kepemimpinan dalam birokrasi kemudian menjadi hal penting untuk dilakukan
dalam kerangka reformasi biroraksi pemerintahan.

6
B. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian dan Konsepsi Birokrasi

Istilah birokrasi semula dikemukakan oleh Martin Albrow untuk memberikan atribut
terhadap istilah yang dipergunakan oleh seorang physiocrat Perancis Vincent de Gournay yang
untuk pertama kalinya memakai istilah birokrasi dalam menguraikan sistem pemerintahan
7
Prusia di tahun 1745 (Miftah Thoha, 1991: 72). Persoalan birokrasi ini memang sangat kompleks
dan setiap orang, bahkan para ahli sendiri pun mempunyai cara pandang masing-masing dalam
menjelaskan birokrasi.

Dalam memahami konsep birokrasi, ada baiknya kita ungkap dulu apa yang dimaksud
dengan biro dan siapakah birokrat itu . Biro (Bureau) merupakan suatu bentuk organisasi.
Chaster I Barnard, dalam Down 1967 mengartikan bahwa ;

“Organization is a system of consciously coordinated activities or forces of two or more


person explicitly creaed ti achieve specific end”

Organisasi adalah suatu sistem koordinasi kegiatan-kegiatan atau kekuatan-kekuatan dua


orang atau lebih yang secara secara sadar dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan
menurut Down (1967), biro diartikan sebagai organisasi yang memiliki empat macam
karakteristik utama sebagai berikut :

1. Organisasi berskala besar; memiliki jumlah anggota yang besar.

2. Mayoritas diantara anggota organisasi sebagi pekerja fulltime yang menggagungkan pada
pekerjaan organisasi untuk mendapatkan penghasilan (income), diantara mereka memiliki
kompetensi yang tinggi dalam memberikan layanan dalam pasar.

3. Promosi dalam biro didasarkan atas penilaian kinerja mereka sesuai dengan peran yang
mainkan dalam organisasi. Bukan didasarkan pada faktor agama, ras, kelas sosial, dan
hubungan kelurga yang secara periodik memilih pegawai dari orang yang berada di luar
biro.

4. Hasil utama bukan dievaluasi secara langsung atau tidak langsung dalam pasar tempat
terjadinya transaksi secara sukarela

Pengertian dan karekteristik umum biro diatas belum mencakup karakteristik biro seperti
yang diungkapkan oleh Max Webber yaitu hierarchicial organization, impersonality operation,
extensive use rules, complexity of administrative task, secrecy, and employment of specially
trained personnel on carrer basic

8
Down Antony, dalam Widodo ( 2007) tidak mengartikan birokrat adalah setiap orang yang
menjadi anggota biro, akan tetapi diartikan sebagai seseorang yang bekerja yang ditandai oleh
hal-hal sebagai berikut.

1. Dia bekerja untuk organisasi berskala besar.

2. Dia digunakan secara fulltime oleh organisasi dan pendapatanya diperoleh dari hasil
kerjanya.

3. Kebijakan kepegawaian organisasi (penggajian, promosi, dan pensiun) merupakan bagian


penting dari anggota organisasi dan didasarkan pada kinerja peran mereka dalam
organisasi.

4. Hasil kerja mereka tidak dapat dinilai secara langsung ataupun tidak langsung oleh pasar
(terjadi transaksi), tetapi output dalam organisasi yang merak kerjakan yang dinilai.

Dari pengertian Down, tentang birokrat diatas, dapat ditemukan beberapa hal penting tentang
birokrat sebagai berikut ;

1. Birokrat dapat bekerja pada organisasi walau bukan dalam bentuk biro. Pengertian ini,
memperbolehkan kita menyebut birokrat pada organisasi swasta, yang secara intrinsic
berbeda dengan biro.

2. Tidak semua pegawai pada suatu biro dapat menjadi birokrat

3. Istilah birokrat sering kita gunakan dengan beberapa macam konotasi. Secara individual
birokrat lebih kurang memiliki ciri efisien, jujur, bekerja keras, teliti, public-spirit, dan
nilai-nilai yang pada umumnya berbeda dengan non birokrat.

Down kemudian menyimpulkan konsepsi birokrasi, pengertian birokrasi menurutnya dapat


dibedakan dalam tiga pengertian berikut. Pertama, birokrasi biasanya menunjuk suatu lembaga
atau tingkatan lembaga khusus, dalam pengertian ini birokrasi dinyatakan sebagai suatu konsep
yang sama dengan biro. Kedua birokrasi juga dapat berarti suatu metode tertentu untuk
mengalokasikan sumber daya dalam suatu organsasi yang berskala besar. Pengertian ini sama

9
dengan pembuatan keputusan birokratis (bureaucratic decision making). Ketiga birokrasi
diartikan sebagai “bureauness” or quality that distin-guishes bureaus from other types of
organization”.

Martin Albrow (1996: 82-100) menawarkan tujuh konsep birokrasi yang meliputi: 1)
birokrasi sebagai organisasi sosial, 2) birokrasi sebagai inefisiensi organisasi, 3) birokrasi
sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat, 4) birokrasi sebagai administrasi
negara (publik), 5) birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan oleh pejabat, 6) birokrasi
sebagai sebuah organisasi, dan 7) birokrasi sebagai masyarakat modern.

Syukur Abdullah (1991: 229) membedakan birokrasi menjadi tiga kategori yang
meliputi: 1) birokrasi pemerintahan umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan
yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan
keamanan, dari tingkat pusat sampai daerah. Tugas-tugas tersebut lebih bersifat ”mengatur”
(regulatif-function); 2) birokrasi pembangunan, yaitu organisasi pemerintahan yang
menjalankan salah satu bidang sektor yang khusus guna mencapai tujuan pembangunan, seperti
pertanian, kesehatan, pendidikan, industri, dan lain-lain. Fungsi pokoknya adalah fungsi
pembangunan (development function) atau fungsi adaptasi (adaptive function); 3) birokrasi
pelayanan, yaitu unit organisasi pemerintahan yang pada hakikatnya merupakan bagian atau
berhubungan dengan masyarakat. Fungsi utamanya adalah pelayanan (service) langsung kepada
masyarakat

Max Weber Sosiolog Jerman ternama menulis karya yang sangat terkenal dan berpengaruh
bagi konsep birokrasi yaitu konsep tipe ideal birokrasi. Menurut Weber tipe ideal birokrasi yang
rasional harus dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia
menjalankan tugas-tugas atau kepentingan dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas
menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk
keluarganya

2. Jabatan-jabatan itu disususun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke samping
konsekwensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula yang menyandang
kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.
10
3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu
sama lainnya

4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas job
description masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan
tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.

5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut
dilakukan melalui ujian yang kompetitif

6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan
tingkatan hierarki jabtan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk
keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bias
diakhiri dalam keadaan tertentu

7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas
dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif

8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources
instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

9. Setiap pejabat berada dibawah pengendalian dan pengawasan suatu system yang
dijalankan secara disiplin (Weber, 1978 dan Albrow, 1970)

Ciri organisasi birokratis Weber tersebut dapat disederhanakan sebagai berikut.

1. Adanya pembagian pekerjaan dan spesialisasi

2. Orientasi impersonal

3. Hierarki kewenangan

4. Peraturan dan pengaturan

11
5. Orientasi pada karier

Menurut David Bentham (1975), Weber memperhitungkan tiga elemen pokok dalam konsep
birokrasinya tiga elemen itu antara lain ; 1) birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis
(technical instrument), 2) birokrasi dipandang sebagai kekuatan yang independen dalam
masyarakat sepanjang birokrasi mempunyai kecenderungan yang melekat (inherent tendency)
pada penerapan fungsi sebagai instrument teknis tersebut. 3) Pengembangan dari sikap ini karena
para birokrat tidak mampu memisahkan perilaku mereka dari kepentingannya sebagai suatu
kelompok masyarakat yang partikular. Orientasi birokrasi webbberian menurut Bentham, hanya
terbatas pada bagaimana ke dalam suatu sistem administrasi dan organisasi yang diatur secara
rasional. Sehingga konsep birokrasi menurut webberian berfungsi sebagai mesin dalam menjalan
roda organisasi pemerintahan.

Priyo Budi Santoso (1997: 14) mengklasifikasikan berbagai macam pengertian yang sering
muncul dalam istilah birokrasi menjadi tiga kategori, yaitu: 1) birokrasi dalam pengertian yang
baik atau rasional (bureau-rationality) seperti terkandung dalam pengertian Hegelian
Bureaucracy dan Weberian Bureaucracy; 2) birokrasi dalam pengertian sebagai suatu
penyakit (bureau-pathology) seperti diungkap oleh Karl Marx, Laski, Robert Michels, Donal
P. Warwick, Michael Crocier, Fred Luthan, dan sebagainya; 3) birokrasi dalam pengertian
netral (value-free), artinya tidak terkait dengan pengertian baik atau buruk. Dalam
pengertian ini birokrasi dapat diartikan sebagai keseluruhan pejabat negara di bawah pejabat
politik, atau keseluruhan pejabat negara pada cabang eksekutif, atau birokrasi dapat juga
diartikan sebagai setiap organisasi yang berskala besar (every big organization is bureaucracy).

Ketika merumuskan konsep birokrasi pada awal abad ke-20, Max Weber (1864-1920)
sebenarnya berharap bahwa ‘birokrasi dapat menjadi organisasi pemerintah yang mampu
melayani masyarakat secara adil, obyektif, profesional, efektif dan efisien.’ Agar dapat mencapai
tujuan tersebut, maka ‘organisasi birokrasi tidak boleh memihak kepada kekuatan politik
tertentu, diatur secara hirarkis dimana organisasi yang lebih rendah berada di bawah
pengawasan organisasi yang lebih tinggi, memiliki pembagian kerja yang jelas dengan pedoman
yang standar, dan dipimpin oleh pejabat secara impersonal, sine ira etstudio, tanpa kebencian
atau kesenangan, tanpa entusiasme atau afeksi’ (Kilcullen, 1962).

12
Konsepsi birokrasi lainnya berasal dari Karl Marx yang mengelaborasi birokrasi dengan cara
menganalisis dan mengkritisi filosofi Hegel tentang negara. Hegel Berpendapat bahwa
administrasi negara (birokrasi) sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara
(pemerintah) dengan masyarakatnya. Adapun masyarakat itu terdiri dari kelompok-kelompok
profesional, usahawan, dan lain kelompok yang mewakili berbagai macam kepentingan
partikular (khusus). Diantara keduanya itu birokrasi pemerintah merupakan medium yang bisa
dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan general
(umum).

Marx bisa menerima konsepsi pemikiran Hegel, tentang ketiga aktor tersebut, yakni
birokrasi, kepentingan partikular, dan kepentingan general, akan tetapi menurut Marx birokrasi
itu bukan mewakili dirinya sendiri. Marx berpendapat bahwa Negara itu bukan mewakili
kepentingan umum (general), Tidak ada kepentingan umum (general) itu yang ada ialah
kepentingan partikular yang mendominasi kepentingan partikular lainnya. Kepentingan
partikular yang memenangkan perjungan kelas yang dominan itulah yang berkuasa. Birokrasi
menurut Marx mrupakan kelompok partikular yang sangat spesifik. Birokrasi bukanlah kelas
masyarakat, walaupun eksisntensinya berkaitan dengan pembagian masyarakat dalam kelas-kelas
tertentu. Lebih tepatnya menurut Marx birokrasi adalah negara atau pemerintah itu sendiri.
Birokrasi menurut Marx merupakan instrument yang dipergunakan oleh kelas yang dominan
untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial yang lainnya. Dengan kata
lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.

Berdasarkan konsep pemikiran Marx diatas, maka birokrasi itu sendiri pada tingkatan
tertentu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kelas yang dominan dan pada
pemerintah. Eksistensi birokrasi sangat tergantung pada kelas dominsn dan pada pemerintah.
Konsepsi pemikiran Marx dan Hegel dalam konteks pengembangan kekuatan politik dalam
birokrasi pemerintah seperti yang dianut oleh pemerintahan yang demokratis menurut Miftah
Toha (2005) dapat dijadikan sebagai suatu perbandingan.

Kekuatan politik yang datang dan pergi sebagai kelompok yang menguasai pemerintahan dan
birokrasi sebagai pelaksana kebijakan pemerintah merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan
akan tetapi bisa dibedakan. Konsepsi Marx tentang birokrasi menunjukan keberadaaan birokrasi

13
pemerintah memihak kepada kekuatan politik yang memerintah. Sedangkan konsepsi Hegel,
menempatkan birokrasi yang berada ditengah sebagai mediator yang menghubungkan
kepentingan general (pemerintah) dan particular (kekuatan politik dalam masyarakat). Birokrasi
Hegelian menekanakan posisi birokrasi netral terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya.

Konsepsi Marxis dan Hegelian tentang birokrasi bepengaruh terhadap pendekatan lainnya
dalam mehami birokrasi yaitu pendekatan politik. Telah dipahami bahwasannya birokrasi
pemerintah tidak bisa dilepaskan dari proses dan kegiatan politik. Praktik birokrasi yang
dijalankan oleh pemerintah meletakan birokrasi sebagai instrument politik pemerintah dalam
menjalankan kekuasaan pemerintahannya. Politik sebagaimana diketahui bersama terdiri dari
orang-orang yang berperilaku dan bertindak politik (consist of people acting polticaly) yang
diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha mencoba
mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan dan tindakan
yang bisa mengangkat kepentingan kelompoknya dan mengenyampingkan kepentingan
kelompok lainya (Miftah Toha, 2005)

2. Model Birokrasi

Dalam terminologi ilmu politik, setidaknya dikenal empat model birokrasi yang
umumnya ditemui dalam praktik pembangunan di beberapa negara di dunia. Keempat model
tersebut meliputi model birokrasi Weberian, Parkinsonian, Jacksonian, dan Orwellian. Secara
lebih rinci keempat model birokrasi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

Model birokrasi Weberian digagas oleh Max Weber, seorang tokoh penting yan menjelaskan
konsep birokrasi modern. Weberian menunjuk pada model birokrasi yang memfungsikan
birokrasi sehingga memenuhi kriteria-kriteria ideal birokrasi Weber. Setidaknya ada 7 (tujuh)
kriteria-kriteria ideal birokrasi yang digambarkan Max Weber, yaitu: 1) adanya pembagian kerja
yang jelas; 2) hierarki kewenangan yang jelas; 3) formalisasi yang tinggi; 4) bersifat tidak
pribadi (impersonal); 5) pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang
didasarkan atas kemampuan; 6) jejak karir bagi para pegawai; dan 7) kehidupan organisasi yang
dipisahkan dengan jelas dari kehidupan pribadi (Stephen P. Robbins, 1994: 338).

14
Birokrasi Parkinsonian merupakan model birokrasi dengan memperbesar sosok
kuantitatif birokrasi. Parkinsonian dilakukan dengan mengembangkan jumlah anggota birokrasi
untuk meningkatkan kapabilitasnya sebagai alat pembangunan. Di satu sisi, Parkinsonian
dibutuhkan untuk mengakomodasikan perkembangan masyarakat yang semakin maju, di sisi
lain Parkinsonian dibutuhkan untuk mengatasi persolan-persoalan pembangunan yang makin
bertumpuk (Eep Saefulloh Fatah, 1998: 192).

Birokrasi Jacksonian merupakan model birokrasi yang menjadikan birokrasi sebagai


akumulasi kekuasaan negara dan menyingkirkan masyarakat di luar birokrasi dari ruang politik
dan pemerintahan. Jacksonian, sebenarnya diambil dari nama seorang jenderal militer yang
tangguh dan seorang negarawan yang terkenal sebagai mantan Presiden Amerika Serikat yang
ke-7 (1824-1932) – menjabat dua kali – yaitu Andrew Jackson (Eep Saefulloh Fatah, 1998: 194).

Birokrasi model Orwellian ini merupakan model yang menempatkan birokrasi sebagai
alat perpanjangan tangan negara dalam menjalankan kontrol terhadap masyarakat.
Ruang gerak masyarakat menjadi terbatas, sepertinya ”bernafas” saja dikontrol oleh
birokrasi. Hal itu dikarenakan dalam berbagai hal terkait dengan kehidupan masyarakat
harus meminta ijin kepada birokrasi. Orwell menggambarkan birokrasi semacam itu di
Amerika Serikat. Pada waktu Ronald Reagen menjabat presiden (1981), ia mengadakan
pemangkasan terhadap birokrasi. Pada waktu itu di Amerika Serikat untuk mengurusi
hamburger saja, ada ratusan peraturannya yang berimplikasi pada semakin banyaknya
jumlah pegawai. Untuk itu diadakan pemangkasan dan pegawainya dikurangi (Eep Saefulloh
Fatah, 1998: 195).

Sedangkan menurut Douglas Yates (1982) ada dua model yang bisa dipergunakan untuk
membuat pemerintahan bisa bekerja dan terstruktur. Model pertama disebutnya sebagai model
pluralist-democracy dan model kedua dinamakan model administrative-efficiency. Dua model ini
cenderung diartikan sebagai ideologi yang menjadi doktrin dalam mengatur negara dan
pemerintahan. Dua model ini menjadi bagian dari apa yang dikatakan oleh Hussel (1990) sebagai
nature attitude, dan Schultz (1962, 1967) menyebutkan sebagai lebenswelt atau everyday life
world.

15
Kedua model ini merupakan sebuah antithesis, sehingga penerapan model yang satunya akan
meniadakan penerapan model yang lainnya, hal ini disebabkan kedua model tesebut akan
berimplikasi amat penting bagi pemerintahan. Model pluralist-democracy berasumsi sebagai
berikut :

1. Bahwa didalam masyarakat itu terdapat banyak sekali kelompok-kelompok kepentingan


(interest group) yang berbeda satu sama lain dan saling bersaing.

2. Bahwa pemerintah itu harus menawarkan suatu akses dan sarana partisipasi yang sama
kepada kelompok kelompok kepentingan tersebut.

3. Bahwa pemerintah harus mempunyai banyak pusat-pusat kekuasan yang menyebar baik
vertical maupun horizontal untuk menjamin keseimbangan (a balance of power).

4. Bahwa pemerintahan dan politik itu harus bisa dipahami sebagai suatu sarana kompetisi
diantara kepentingan-kepentingan minoritas.

5. Bahwa ada probabalitas yang tinggi bahwa suatu kelompok yang aktif dan legitimate
dalam suatu populasi bisa membuat dirinya mendengar secara efektif tahapan-tahapan
krusial dalam proses pembuatan kebijkasanaan.

6. Bahwa kompetisi di antara institusi pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan


non pemerintah bisa menyebabkan terjadinya suatu bargaining dan kompromi, dan juga
bisa menghasilkan suatu keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat

Dengan asumsi tersebut diatas menurut Yates model pluralist-democracy menyarankan agar
birokrasi pemerintah mewujudkan hal-hal berikut ini :

1. Menyediakan banyak pusat-pusat kekuasan sebagai sarana keseimbangan dan untuk


mengecek jika terjadi konsentarasi kekuasaan

2. Membreikan fasilitas atau kemudahan kepada kelompok-kelompok kepentingan agar


terwakili dengan menyediakn titik-titik akses yang berlipat ganda.

3. Mempunyai kemauan dan elemen yang kuat untuk melekukan desentralisasi

4. Pemerintah harus menjadikan dirinya secara internal bias bersaing


16
5. Pemerintah harus terbuka dan partisipatif

6. Pemerintah harus mampu menghasilkan proses bargaining yang luas.

Model kedua adalah model yang dinamakan administrative efficiency, asumsi dasar model ini
menurut Yates adalah sebagai berikut :

1. Model ini menentang model pluralist democracy, karena model pluralis tidak mampu
memberikan dasar yang kuat dan cocok terhadap kebijaksanaan publik yang rasional dan
bebas nilai.

2. Bahwa nilai utama dari proses kebijaksanaan publik itu ialah efisiensi, yakni diperoleh
suatu hasil yang terbesar dengan biaya yang terkecil.

3. Bahwa birokrat haruslah pejabat yang professional dipilih dan diangkat secara
kompetitif berdasarkan kompetensi dan merit.

4. Bahwa sistem merit dan keahlian ditata dan diorganisasikan secara efektif ke dalam
suatu hierarki yang memuat spesialisasi fungsi dengan pertanggungjawaban dan
kewajiban yang jelas.

5. Bahwa politik dan administrasi, demikian pula kenyataan (fact) dan nilai (values) harus
bias dipisahkan.

6. Bahwa perencanaan merupakan proses yang esensial bagi proses pembuatan yang baik
dan sentralisasi manajemen fiskal merupakan hal yang esensial bagi tercapainya
kejujuran dan efektivitas.

7. Bahwa kemampuan melakukan koordinasi yang menyeluruh dan energized sehingga


menjadi bagian dari suatu sistem birokrasi publik yang kuat haruslah diletakkan kepada
eksekutif yang dipilih sebagai wakil dari kepentingan rakyat.

Model administratif efficiency kalau kita lihat merupakan model yang ditarik secara linear
dari konsepsi dan teori birokrasi Weberian dan teori manjamen, serta tidak memberi ruang
sedikitpun manifestasi teori politik dan ideologi ditempatnya, sebagaimana yang dikemukan oleh
model pluralis.

17
3. Kepemimpinan Birokrasi

Kepemimpinan berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu leadership. Secara etimologis
leadership berasal dari terminologi to lead yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi
terminologi pemimpin. Dari terminologi ini muncul terminologi leader (memimpin) dan
membentuk terminologi leadership (kepemimpinan).

Beberapa ahli sampai saat ini masih banyak memberikan pendapat yang berbeda tentang
kepemimpinan. Walaupun demikian, secara prinsipil dalam perbedaan pendapat itu masih
terkandung persamaan-persamaan pikiran.

Menurut Koontz and Donnel memberikan pengertian kepemimpinan yang dikutip oleh Abdul
Sani dalam bukunya Manajemen Organisasi yaitu sebagai berikut :

Kepemimpinan sebagai pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga


mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemampuan dan antusias. Konsep
ini bisa dimekarkan sehingga tidak hanya kemampuan untuk bekerja tetapi juga kemauan
kerja dengan semangat dan yakin. Semangat mencerminkan hasrat, kesungguhan dan
intensitas dalam pelaksanaan pekerjaan, rasa yakin mencerminkan pengalaman dan
kemampuan teknis. Memimpin berarti membimbing, melaksanakan, mengarahkan, dan
mendahului. Para pemimpin bertindak membantu kelompok untuk mencapai tujuan dan
mendayagunakan kemampuan secara maksimal. Pemimpin berdiri di belakang untuk
mendorong, pemimpin berada di depan kelompok pada saat melancarkan kemajuan-
kemajuan mengilhami kelompok untuk mencapai tujuan.(Sani,1987:232).

Selanjutnya kepemimpinan menurut Miftah Thoha dalam bukunya Kepemimpinan Dalam


Manajemen memberikan pengertian seperti dibawah ini :

Kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, atau seni
mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan atau kelompok. Kepemimpinan bisa terjadi
dimana saja, asalkan seseorang menunjukan kemampuannya mempengaruhi perilaku orang-
orang lain ke arah tercapainya suatu tujuan tertentu.(Thoha,2003:9).

18
Mengacu pada pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa kepemimpinan itu merupakan
suatu kegiatan yang dilakukan seseorang terhadap individu atau kelompok yang tujuannya untuk
mempengaruhi tindakan individu atau kelompok tersebut agar bertindak sesuai yang diinginkan.
Menurut pendapat ini, kepemimpinan tidak hanya terjadi sebatas di organisasi saja tetapi bisa
juga terjadi dimanapun asalkan ada kegiatan mempengaruhi.

Selanjutnya menurut Sri Murtini, dkk dalam bukunya Kepemimpinan di Alam terbuka
memberikan pengertian sebagai berikut :

Nilai-nilai kepemimpinan bervariasi antar bangsa dan bahkan antar suku bangsa. Kenyataan
demikian ini adalah wajar karena kepemimpinan dari satu bangsa atau suku bangsa pada
dasarnya mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku pada masyarakat
bangsa bersangkutan.(Murtini,dkk, 2001:21).

Bertolak dari pemikiran di atas, dapat diperoleh suatu keterangan bahwa dalam
kepemimpinan itu terkandung nilai-nilai kepemimpinan yang berbeda antara satu daerah dengan
daerah lainnya. Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya kepemimpinan itu mencerminkan nilai-
nilai dan norma-norma sosial yang berkembang pada suatu daerah yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian pendapat tentang kepemimpinan menurut para ahli diatas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan itu merupakan suatu kemampuan untuk mempengaruhi
orang lain sehingga orang lain tersebut bersedia untuk kerjasama dalam menjalankan tugas yang
diberikan kepadanya. Untuk menggerakan orang lain itu diperlukan kemahiran tersendiri,
sehingga akan lebih luwes mendorong orang lain untuk berbuat sesuai dengan kehendak
organisasi.

Berdasarkan beberapa definisi kepemimpinan diatas maka, Kepemimpinan Birokrasi


dapat didefiniskan sebagai suatu prosesi mempengaruhi para pegawai untuk menyelesaikan
suatu pekerjaan, dan mengarahkan organisasi agar lebih kompak dan kondusif, dengan cara
menerapkan konsep, nilai, etika, karakter, pengetahuan dan ketrampilan. Berdasarkan
pengertian ini, seorang atasan yang hanya menggunakan kewenangan untuk menyelesaikan
tugas dan tujuan tertentu belum dapat disebut pemimpin, tetapi hanya sekedar pimpinan.
Pemimpin dapat mempengaruhi para pegawai untuk mencapai tujuan, sementara pimpinan
hanya mampu memberikan perintah.
19
Di Indonesia, fenomena pimpinan yang bukan pemimpin masih banyak ditemukan pada
organisasi birokrasi pemerintahan. Hal ini terjadi karena sistem promosi kepegawaian birokrasi
kita, seperti diindikasikan Kwik Kian Gie (2003), masih belum sepenuhnya berdasarkan
keahlian (meritased promotion), tetapi masih diwarnai oleh hubungan kepartaian
(spoil) atau keluarga (nepotism), sistem karir (career), prestasi kerja (performance),
atau bahkan perlindungan (patronage) (Sianturi, 1984). Jadi jangan heran, kalau pada suatu
lembaga pemerintah ditemukan seorang kepala unit yang hanya bisa memerintahkan ini-itu,
tanpa tahu bagaimana seharusnya memimpin pegawainya.

Pimpinan birokrasi semacam ini umumnya diangkat berdasarkan pada senioritas


(seniority based promotion), baik dari sisi kepegawaian (DUP) maupun kepangkatan (DUK),
bahkan terkadang tanpa kualifikasi kepemimpinan. Dalam hubungan inilah, akhirnya muncul
empat jenis perilaku kepemimpinan, terutama apabila dilihat dari persepsi kemampuan dalam
memimpin dan kemauannya untuk berkembang, yaitu: (1) pemimpin yang tidak mampu
memimpin, dan tidak mau berkembang, (2) pemimpin yang tidak mampu memimpin, tetapi mau
berkembang, (3) pemimpin yang mampu memimpin, tetapi tidak mau berkembang, dan (4)
pemimpin yang mampu memimpin, dan mau berkembang (Hensey & Blachard, 1982).

Pola kepemimpinan keempat inilah yang diharapkan dimiliki oleh setiap pimpinan birokrasi
agar dapat memberdayakan pegawai dan mengarahkan organisasi melalui penerapan
konsep, nilai, etika, karakter, pengetahuan dan keterampilan. Secara sederhana, pola perilaku
kepemimpinan di atas dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 1

20
Banyaknya pimpinan yang bukan pemimpin dalam organisasi birokrasi tidak terlepas dari
pemahaman kita tentang konsep kepemimpinan menurut teori manajemen klasik dan rumusan
birokrasi Weberian. Paradigma kepemimpinan modern, yang memasukkan unsur motivasi
dan komunikasi dalam perilaku kepemimpinan, baru muncul pada periodetahun 1980-an
melalui konsep kepemimpinan transformasi oleh James McGregor Burns (1978), dan
selanjutnya dikembangkan oleh Bernard Bass (1985) dan pakar kepemimpinan lainnya. Dalam
teori manajemen klasik, tugas seorang pimpinan memang hanya ditekankan pada pelaksanaan
fungsi-fungsi manajemen dan memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada dalam organisasi.

Konsep kepemimpinan klasik ini terus berkembang dengan semakin maraknya pendidikan
ilmu administrasi dan manajemen. Fungsi-fungsi manajemen George Terry (1977) Planning,
Organizing, Actuating and Controlling (POAC), dan sumberdaya organisasi 6M (Man, Money,
Machines, Methods Materials, and Market) didayagunakan dan dimanfaatkan para pimpinan,
seperti diingatkan oleh Keith Davis (1967), tanpa memikirkan bagaimana cara mempengaruhi,
memotivasi dan membimbing karyawan untuk bersama-sama mencapai tujuan organisasi.

Oleh karena itu, setelah memahami pola perilaku kepemimpinan di atas, pimpinan birokrasi
yang ingin berkembang menjadi pemimpin di instansinya seharusnya juga memahami
perbedaan antara tugas dan tanggung-jawab seorang pimpinan dan apa yang harus dilakukan
seorang pemimpin dalam mencapai tujuan organisasinya. Dalam hubungan ini, Warren Bennis
(dalam Shelton, 1997) menguraikan perbedaan antara pimpinan (manager) pemimpin (leader)

21
dalam perspektif organiasi modern berdasarkan pada pola perilaku kepemimpinan dalam
mencapai tujuan organisasi sebagai berikut:

Tabel 2

Perbedaan Fungsi Pimpinan dan Peminpin Organisasi Birokrasi

Pimpinan Pemimpin

Mengatur jalannya organisasi Mengarahkan organisasi untuk mencapai

Tujuan
Jabatan diperoleh melalui promosi Pengakuan diperoleh dari lingkungannya

Selalu berusaha untuk mempertahankan Selalu berusaha untuk mengembangkan


jabatan
Organisasi
Pengawasan pegawai lebih diutamakan Menanamkan kepercayaan kepada pegawai

Orientasi pada pencapaian tujuan jangka Orientasi pada pencapaian visi dan misi

Pendek Organisasi
Bertanya bagaimana & kapan tugas Bertanya apa & mengapa tugas harus

Diselesaikan Dilaksanakan
Komunikasi bersifat atas-bawah (top- Komunikasi dilakukan ke semua arah
down)
(multi-level)
Menerima status quo secara apa adanya Merubah status quo sesuai situasi dan

Kondisi
Melaksanakan perintah atasan tanpa reserve Menjadi dirinya sendiri dalam

melaksanakan perintah
Mengerjakan tugas-tugas dengan benar Mengerjakan tugas-tugas yang benar

Sumber: Adaptasi dari Bennis, Warren (1997)

Di samping pengaruh teori manajemen klasik di atas, yang berujung pada


perbedaan pimpinan dan pemimpin, kepemimpinan birokrasi juga diwarnai oleh konsep
22
organisasi model Weber yang diatur secara hirarkis, dengan pembagian kerja yang jelas,
standarisasi pedoman kerja, dan pengawasan impersonal. Wajarlah bila kepemimpinan
birokrasi pun cenderung berorientasi pada kekuasaan secara asional, legal dan hierarkis,
serta pengawasan pelaksanaan kerja. Burns (1978) dan Bass (1985) menambahkan, bahwa
kepemimpinan birokrasi bersifat transaksional antara kekuasaan dan layanan pegawai. Jadi,
seperti dikritik oleh Mark Homrig (2005), seperti mekanisme jual-beli saja, pekerjaan ditukar
dengan gaji, jabatan dengan loyalitas, sumbangan dengan tender, dsb.

Model kepemimpinan semacam itu memang sesuai dengan lingkungan lembaga


birokrasi yang penuh dengan peraturan, baik normatif maupun teknis. Pedoman administrasi,
kontrak kerja, keputusan, dan petunjuk teknis semuanya rapi didokumentasikan secara
tertulis. Pegawai dididik untuk mentaati aturan, loyal kepada perintah atasan dalam
kapasitasnya sebagai karyawan. Hubungan pimpinan-pegawai bersifat formalitas, terbatas pada
pelaksanaan pekerjaan saja. Ruang gerak pegawai pun sangat terbatas. Penghasilan dan pensiun
sudah diatur secara tetap, dan jumlahnya tergantung pada pangkat dan golongan pegawai dalam
hierarki kepegawaian, atau seperti dikritik Kwik Kian Gie (2003): Pintar Goblik Penghasilan
Sama (PGPS). Menjadi pegawai lembaga birokrasi berarti teken kontrak sampai pensiun.
Pegawai tidak berhak atas jabatan karena sistem promosi umumnya berdasarkan pada
senioritas dalam kepagawaian dan kepangkatan.

Model kepemimpinan birokrasi, menurut Weber (1947), banyak diterapkan di organisasi


keagamaan, rumah sakit, perusahaan bisnis berskala kecil maupun multi-nasional, militer, dan
tentu saja instansi pemerintah. Sisi positif dari model kepemimpinan birokrasi tradisional ini
terletak pada efisiensi di dalam pelaksanaan kerja karena kejelasan pembagian kerja sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing staf dalam organisasi, standarisasi pedoman dan
aturan kerja, dan konsistensi terhadap tata aturan yang telah ditetapkan.

Di samping itu, kepemimpinan birokrasi juga menjamin pencapaian tujuan jangka pendek
dan kemudahan dalam pengawasan dan pengelolaan pegawai. Sementara sisi negatifnya
adalah kepemimpinan yang berorientasi pada kekuasaan yang hierarkis, tiadanya pemberdayaan
pegawai dan pembagian kewenangan dalam pengambilan keputusan, kondisi yang kurang

23
kondusif karena penerapan komunikasi top-down dan formalitas hubungan antara atasan dan
bawahan, dan loyalitas yang kadang berlebihan kepada atasan.

Weber sendiri (1947), sewaktu merumuskan tiga konsep kepemimpinan kharismatik


(transformer), bureaucratic (transactional), feudal (traditional), mengingatkan bahwa karena
kekuasaan hierarkis yang diperolehnya maka kepemimpinan birokrasi (transactional)
cenderung untuk berubah menjadi kepemimpinan feodal (traditional). Perilakunya pun
berubah menjadi seperti seorang pangeran, yang menuntut loyalitas total dari anak
buahnya, mengembangkan sistem nepotisme, dan berorientasi pada politik kekuasaan.

Menurut Anwarudin (2007) terdapat sepuluh karakteristik kepemimpinan birokrasi


(transaksional) dalam lingkup organisasi pemerintahan sebagai berikut:

1. Berdasarkan transaksi: Kepemimpinan birokrasi bertindak atas dasar transaksi atau


pertukaran antara jabatan dan kinerja, gaji dan pekerjaan, kerja keras dan bonus, dsb.

2. Kejelasan aturan: Pedoman dan aturan pelaksanaan tugas dan pekerjaan disusun secara
jelas dan ditetapkan untuk ditaati oleh setiap pegawai.

3. Orientasi pada pengawasan: Mengawasi dan memantau tugas dan pekerjaan secara
ketat dalam rangka mencapai tujuan jangka pendek.

4. Anti perubahan: Menolak setiap perubahan yang berasal dari luar sistem organisasi
karena khawatir akan merusak tatanan kelembagaan yang telah ditetapkan.

5. Orientasi pada jabatan dan kekuasaan: Mengembangkan budaya kekuasaan, loyalitas


pada atasan, hierarki hubungan atasan-bawahan, dan komunikasi bottom-up

6. Fokus pada pekerjaan: Mengarahkan pegawai untuk fokus pada penyelesaian tugas dan
pekerjaan, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri.

7. Kewenangan atasan mutlak: Tidak ada pemberdayaan pegawai karena kewenangan


untuk mengambil keputusan mutlak pada pimpinan.

8. Pemasungan kreatifitas pegawai. Pegawai diatur dalam pelaksanaan tugas dan


pekerjaan, sehingga mereka tidak dapat mengembangkan kreatifitas dan inovasi.

24
9. Individualitas kerja: Kerja sama antar pegawai tidak dianjurkan, sehingga muncul
persaingan tak-sehat dan saling curiga-mencurigai di antara mereka.

10. Disharmoni organisasi: Hierarki kekuasaan, formalitas hubungan, komunikasi bottom-up,


dan absennya kerjasama antara pegawai mengakibatkan ketidak-kondusifan
organisasi.

Model kepemimpinan birokrasi seperti itu banyak diterapkan pada organisasi


keagamaan, rumah sakit, perusahaan bisnis berskala kecil maupun multi-nasional, militer, dan
tentu saja instansi pemerintah. Sisi positif dari model kepemimpinan birokrasi tradisional ini
terletak pada pelaksanaan pekerjaan secara efisien, konsistensi terhadap aturan dan
pembagian kerja, dan kemudahan dalam pengelolaan pegawai. Sementara sisi negatifnya
adalah kecenderungannya untuk berubah menjadi kepemimpinan tradisional (feudal) karena
kekuasaan hierarkis yang diperolehnya (Boje & Dennehy, 2006) Perilakunya pun seperti
seorang raja: menuntut loyalitas pegawai, membangun nepotisme, dan berbau politik.

Di negara-negara yang memiliki karakteristik patron-client yang kental, sebagaimana


diindikasikan oleh Soebhan (2000), fenomena disfungsi perilaku kepemimpinan semacam itu
banyak ditemukan. Di Indonesia, kecenderungan kepemimpinan feodalistik di lingkungan
birokrasi tumbuh subur pada era 32 tahun kepemimpinan Soeharto, dan sayangnya hingga kini
budaya ini masih belum bisa dihilangkan. Meskipun reformasi sudah digulirkan pada 1998, dan
berbagai kebijakan anti korupsi sudah diundangkan (melalui UU Nomor 31 Tahun 1999, UU No.
20/2001 dan UU 30 Tahun 2002, Inpres No. 5/2004, Kepres Nomor 11/2005) yang dibarengi
pembentukan beragam lembaganya (Komisi Pemberantasan Korupsi, Tim Pemberantasan
Korupsi, Tim Pemburu Koruptor), namun kolusi dan nepotisme yang berujung pada tindak
korupsi di lingkungan birokrasi masih merajalela.

Demikian juga yang terjadi pada pelayanan publik. Meskipun beragam kebijakan telah
diterbitkan (dari. Inpres No. 5 Tahun 1984, SK Menpan No. 81 Tahun 1993, Inpres No. 1 Tahun
1995, Surat Edaran Menko Wasbangpan No. 56 Tahun 1998, hingga SK Menpan No.63 Tahun
2003), nepotisme dalam pelayanan yang didasarkan pada hubungan pertemanan, afiliasi politik,
etnis, bahkan agama, masih saja berlangsung, yang berdampak pada semakin suburnya budaya
suap dan pungutan-liar (LAN, 2003).
25
C. PEMBAHASAN

Apabila konsep birokrasi Weberian dihubungkan dengan kondisi saat ini, ada dua aspek
yang terasa kontradiktif. Di satu pihak, tujuan birokrasi sesuai benar dengan tuntutan masyarakat
terhadap pelayanan publik yang adil, obyektif, profesional, efektif dan efisien. Namun di pihak
lain, metode yang ditempuh untuk mencapai tujuan yang berorientasi pada organisasi hierarki,
pengawasan impersonal, dan pedoman yang kaku, tampaknya tidak sesuai lagi dengan kondisi
saat ini yang penuh perubahan dan memerlukan fleksibilitas tinggi.

Praktik dan iklim birokrasi kita saat ini masih diwarnai berbagai malpraktik yang
berkembang dan membudaya selama 32 tahun masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang
berorientasi pada sentralistik, monopolistik, power driven, dan akuntabilitas rendah. sehingga
stigma yang melekat pada birokrasi selama ini selalu identik dengan pelayanan publik
berkualitas rendah yang penuh korupsi, kolusi dan nepotisme. Hasil-hasil survei dari the Political
and Economic Risk Consultancy dan The World Competitiveness terbitan Institute for
Management Development (IMD) juga selalu menempatkan kinerja birokrasi Indonesia pada
posisi juru kunci (Anwaruddin, 2005).

26
Dalam bidang pelayanan publik, masyarakat masih mengeluh tentang masih adanya
diskriminasi pelayanan yang didasarkan pada hubungan pertemanan, afiliasi politik, etnis,
bahkan agama, serta profesionalitas pelayanan yang tercermin pada inefektivitas dan
inefisiensi waktu, biaya, dan cara pelayanan (Pusat Studi Kependudukan UGM, 2002).
Demikian juga yang terjadi dengan isu korupsi, yang pemberantasannya menjadi salah satu
prioritas utama pemerintahan Presiden Yudoyono.

Budaya korupsi yang tumbuh subur selama Pemerintahan Presiden Soeharto ternyata
belum berakhir. Bahkan sebaliknya, dengan mulai diterapkannya kebijakan otonomi daerah,
dimulai pula desentralisasi korupsi di seantero negeri. Korupsi kini tidak lagi didominasi
birokrasi pusat, seperti yang terjadi pada era Orde Baru, tetapi sudah merambah justru saat
pelaksanaan otonomi daerah

Secara garis besar ada 3 masalah utama di dalam birokrasi Indonesia. Masalah pertama
adalah korupsi. Permasalahan ini terjadi disemua organisasi pemerintahan. Biasanya korupsi
terjadi pada tiga aktifitas utama, yaitu bidang pelayanan administrasi, pelaksanaan proyek
pembangunan dan terakhir penegakan hukum. Pada bidang pelayanan administrasi kita bisa
melihat pada kasus Gayus Tambunan. Pada bidang pelaksnaan proyek pembangunan kita bisa
melihat pada kasus pembangunan wisma atlet sea games di Palembang ( kasus Nazaruddin) yang
melibatkan Wafid Muharam.

Pada kasus penegakan hukum kita bisa melihat pada kasus jaksa Urip, Cirus Sinaga dan juga
terkhir kasus jaksa Sistoyo di Kejaksanaan negeri Cibinong Jabar. Dalam kasus Hakim kita bisa
lihat pada kasus hakim Imas, hakim Syarifuddin, belum lagi kasus yang melibatkan aparat
kepolisian.Kasus-kasus diatas adalah contoh sebagian kecil dari beribu-ribu kasus korupsi sejenis
yang terjadi di Indonesia yang melibatkan birokratnya.

Masalah kedua dalam birokrasi di Indonesia adalah masalah efisiensi. Jumlah lembaga-
lembaga pemerintahan baik di pusat dan didaerah sangat banyak, yang dampaknya memperbesar
jumlah PNS yang harus mengisinya. Data yang adalah jumlah PNS di Indonesia saat ini adalah
sekitar 4,7 juta jiwa. Besarnya jumlah PNS, berdampak lurus dengan besarnya anggaran negara
yang tersedot untuk membayar gaji mereka.

27
Masalah ketiga adalah masalah efektifitas, menyangkut manfaat dari pekerja pemerintah
tersebut bagi masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelyanan birokrasi di Indonesia
sangat lambat dan berbelit. Begitu pula masalah proyek-proyek pemerintah yang tidak tepat
sasaran, sehingga tidak dirasakan manfaatnya.

Dari ketiga masalah tersebut, rangkuman sederhana dari birokrasi di Indonesia adalah sebuah
organisasi besar yang menyedot banyak anggaran negara, diisi oleh SDM yang sebahagian
besarnya masih bermental korup yang kurang bermanfaat bagi masyarakat.

Angaran negara, dihimpun dari kekayaan negara yang dimiliki oleh rakyat Indonesia,selain
itu juga berasal dari pajak yang dipungut oleh pemerintah kepada rakyatnya. Anggaran tersebut
diadakan dengan tujuan untuk pembagunan, untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Fakta yang
terjadi saat ini, APBN habis sebahagian besar untuk membiayai hidup para birokrat,sedangkan
kinerja mereka jauh dari harapan masyarakat. Apa yang ada dikepala sebahagian besar birokrat
kita hanya dua ,pertama anggaran, dan kedua kepangkatan mereka, sedangkan apa yang ada
dikepala masyarakat adalah pelayanan yang prima.

Kita juga paham bahwa birokrasi pemerintah sangat penting didalam menjalankan roda
pemerintahan di setiap negara didunia. Birokrasi pemerintah tentu tidak bisa dibubarkan, tetapi
juga tidak bisa dibiarkan membesar tanpa kendali, yang pada akhirnya menghisap habis
anggaran negara dengan pelayanan yang buruk dan prilakunya yag korup. Mereformasi birokrasi
di Indonesia adalah sebuah keharusan, tanpa melakukan pembaharuan birokrasi pemerintahan
anggaran negara yang sangat besar (APBN 2012 sekitar 1400 trilyun) tidak akan mendorong
kesejahteraan masyarakat.

Melakukan pembaruan dalam organisasi pemerintahan, tidak semudah seperti melakukan


perubahan dalam organisasi bisnis. Menurut David Osborne dan Peter Plastrik dalam bukunya
memangkas birokrasi, ada perbedaan realitas antara organisasi bisnis dan pemerintahan.
Organisasi bisnis hidup di dalam ekonomi pasar, dimana sistem yang ada pada umunya telah
berfungsi dengan baik seperti memiliki tujuan yang jelas yaitu laba, menghadapi persaingan,
mudah didalam melakukan pengukuran kinerja, mengerti konsekwensi dari kinerja yang buruk
dan bertanggung jawab kepada pelanggan. Sebaliknya organisasi pemerintah berada didalam
sistem yang tidak berfungsi dengan baik,seperti memiliki tujuan yang tidak jelas(ganda), tidak
28
menghadapi persaingan langsung, sedikit yang langsung terkena dampak atas kinerja yang
buruk, sulit mengukur kinerja dan tidak peduli pada pelangannya.

Melihat realitas sistem ini,melakukan perubahan di dalam organisasi bisnis, bisa dipusatkan
terutama pada perubahan organisasi. Sebaliknya di dalam organisasi pemerintahan, melakukan
perubahan tidak bisa semata ditujukan pada organisasinya semata, tetapi yang juga penting
melakukan perubahan terhadap sistem di mata organisasi tersebut berada. Oleh karena itu
melakukan perubahan didalam organisai pemerintahan membutuhkan lebih banyak upaya-upaya
politik. Hal inilah yang ditunjukan oleh Amerika, Australia, Selandia baru dan Inggris pada
tahun 1980-1990 an, yang begitu khawatir dengan kinerja birokrasinya. Oleh karena itu mereka
melakukan upaya-upaya strategi politik untuk mereformasi birokrasinya yang dianggap tidak
efiesien, efektif dan lari dari dari fungsi-fungsi utama dari sebuah pemerintahan.

Usaha sungguh-sungguh dilakukan oleh Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher untuk
mengubah birokrasinya. Thacher dan partai konservatif mulai berkuasa pada 1979, ia menyadari
birokrasi inggris tidak efisien dan efektif. Ini dtandai dengan penerimaan pemerintah yang
stagnan, belanja pegawai pemerintah yang besar dan kualitas pelayanan publik yang turun. Ia
berperang melawan birokrasi. Langkahnya adalah mengumumkan penyetopan rekrutmen
pegawai, perampingan birokrasi, audit efisiensi terhadap program dan proses ( penghapusan
sekitar 12 ribu posisi pada tahap awalnya), melakukan perubahan pada serikat pegawai sektor
pemerintahan, berperang melawan serikat pegawai pemerintah,mengawasi belanja pemerintah
daerahyang berasal dari pemerintah pusat dan juga privatisasi lembaga-lembaga pemerintah.
Semua usahanya dilakuka untuk memangkas birokrasi.

Namun usaha sungguh-sungguh sang perdana menteri selama 7 tahun (sampai tahun 1986)
belum mampu merubah birokrasi Inggris. Ia gagal merubah perilaku pegawainya. Ringkasnya
menyumbat birokrasi secara organisasi tidak membawa hasil yang maksimal. Ketika ia
melakukan privatisasi, sebuah perusahaan atau memangkas anggaran atau meluncurkan
pemeriksaan efisiensi, tidak ada yang berubah di departemen lainya. Tidak ada efek domino yang
terjadi. Ia sadar diperlukan sebuah strategi ebih daripada sekedar perampingan, pengawasan
efisiensi dan privatisasi. Bukan hanya organisasi yang di rubah, tapi juga sistem dimana birokrasi
berada.

29
Diperlukan pendongkrak (leverage) yang besar untuk pembaruan birokrasi. Maka Thatcher
dan unit efisiensinya mencari titik-titik pendongkrak utama untuk melakukan perubahan
mendasar yang meliputi seluruh pemerintahan untuk mengubah segala-galanya. Ia sadar
perubahan birokrasi adalah pertempuran skala besar, membutuhkan perjuangan yang intensif
dalam gelanggang politik dan lembaga-lembaga pemerintah. Margaret thacher dan timya
menetapkan tiga titik pendongkrak utama. Memisahkan organisasi-organisasi pengarah dari
organisasi pelaksana sehingga masing-masing bisa memusatkan pada misi utamanya, memberi
wewenang kontrol terhadap sebahagian besar keputusan badan pelaksana, sehingga mereka dapat
melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan untuk memperbaiki operasi mereka, dan
menciptakan konsekuensi atas kinerja birokrat, sehingga mereka mempunya intensif untuk
melakukan perubahan.

Setelah masa pemerintahan Thatcher selesai, pembaruan birokrasi dilanjutkan oleh


penggantinya Jhon Major, ia meluncurkan program Citizen Charter yang mendorong organisasi
pemerintah untuk siap bersaing dan bertanggung jawab kepada pelanggan mereka. Intinya
semua organisasi pemerintah nasional dan lokal akan menyusun standar pelayanan pelanggan,
yang dibuat dengan masukan dari pelanggan dan berjanji untuk memenuhi (misalnya 90% kereta
api akan tiba dalam 10 menit dari waktu yang dijadwalkan atau “ketika anda menelepon sebuah
pusat kerja telepon anda akan dijawab dalamwaktu 30 detik). Mereka harus memberikan ganti
rugi jika mereka gagal memenuhi standar mereka.

Kegelisahan sangat dirasakan oleh pemerintahan inggris seperti yang telah disebutkan diatas ,
gelisah dengan permasalahan birokrasinya yang tidak efisien dan efektif. Kita, mempunyai
permasalahan birokrasi yang lebih dari mereka. Permasalahan birokrasi Di Indonesia tidak
hanya masalah efiesensi dan efektifitas tetapi juga masalah korupsi. Tetapi cara pemimpin kita
menyikapi masalah birokrasi berbeda dengan mereka. Ketika masyarakat mereka mengeluh
dengan birokrasi yang tidak efisen dan efektif, para pemimpinya meresponnya dengan cepat dan
menjadikan sebagai agenda utama yang harus dilakukan. Ketika masyarakat Indonesia mengeluh
dengan birokrasinya yang tidak efisen dan efektif serta perilaku aparat birokratnya yag masih
korup, tidak ada langkah-langkah serius dan fokus dari pemerintah untuk melakukan pembaruan
terhadap organisasi pemerintah. Presiden harus ada didepan dalam mereformasi birokrasi
pemerintahan, perlu dibangun strategi-strategi sebagai pendongkrak utama perubahan birokrasi
30
(kerjasama kementrian pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi, KPK dan juga
Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembagunan/UKP4) dan dukungan
kelompok politik didalam mereformasi birokrasi dengan mendahulukan kepentingan negara
diatas kepentingan kelompoknya.

Melihat pengalaman Inggris dalam melakukan proses reformasi birokrasi seperti yang
diungkap diatas maka hal yang fundamental dalam reformasi birokrasi di Indonesia adalah
transformasi kepempimpinan birokrasi. Karena masalah mendasar dari problematika birokrasi
pemerintah Indonesia kalau dibandingkan dengan pengalaman Inggris dalam melakukan
reformasi birokrasi seperti yang diungkapkan diatas adalah persoalan kepemimpinan birokrasi
yang masih bersifat transaksional sehingga acapkali lamban dalam merespon tuntutan
masyarakat akan perubahan dan acapkali abai terhadap perkembangan dan dinamika jaman.

Konsep kepemimpinan transformasional pertama kali dikemukakan oleh James


McGregor Burns pada tahun 1978, dan selanjutnya dikembangkan oleh Bernard Bass dan para
behaviourists lainnya. Bass (1085) mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai
‘kemampuan yang dimiliki seorang pemimpin untuk mempengaruhi anak buahnya, sehingga
mereka akan percaya, meneladani, dan menghormatinya. Kompetensi transformasi seorang
pemimpin mungkin dapat diukur dari kemampuanya dalam membangun sinergi dari seluruh
pegawai melalui pengaruh dan kewenangannya sehingga lebih berhasil dalam mencapai visi
dan misi organisasinya. Prosesperubahan yang dilakukan pemimpin transformasional,

Menurut Bass, dapat dilakukan dengan cara: (1) meningkatkan kesadaran pegawai terhadap
nilai dan pentingnya tugas dan pekerjaan; (2) mengarahkan mereka untuk fokus pada tujuan
kelompok dan organisasi, bukan pada kepentingan pribadi; dan (3) mengembangkan potensi
mereka seoptimal mungkin.

Implementasi kepemimpinan transformasional ini bukan hanya tepat dilakukan di lingkungan


birokrasi, tetapi juga di berbagai organisasi yang memiliki banyak tenaga potensial dan
berpendidikan. Secara organisasional, Leithwood dan Jantzi (1990) menulis bahwa penerapan
model kepemimpinan ini sangat bermanfaat untuk: (1) membangun budaya kerjasama dan
profesionalitas di antara para pegawai, (2) memotivasi pimpinan untuk mengembangkan
diri, dan (3) membantu pimpinan memecahkan masalah secara efektif. Budaya kerjasama dan
31
profesionalitas dapat dibangun karena pemimpin transformasional akan memfasilitasi
pegawainya untuk berdialog, berdiskusi, dan merencanakan pekerjaan bersama. Kerjasama
yang terbentuk dari kegiatan ini akan memudahkan mereka untuk saling mengingatkan
dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan.

Kebersamaan juga dilakukan dalam merumuskan visi dan misi organisasi,


sehingga komitmen lebih mudah dibangun. Seorang pemimpin transformasional juga akan
membagi kewenangannya melalui pemberdayaan pegawai, secara aktif mengkomunikasikan
norma-norma dan nilai-nilai organisasi. Untuk mendukung perubahan budaya, Bass
menyarankan untuk memanfaatkan mekanisme birokrasi yang selama ini telah dijalankan.

Di samping itu, budaya yang dikembangkan tersebut, secara tidak langsung, juga akan
memotivasi pemimpin untuk lebih mengembangkan diri. Dengan melibatkan staf dalam
penyelesaian masalah-masalah strategis, pemimpin transformasional harus mampu meyakinkan
mereka bahwa tujuannya jelas, rasional dan visioner. Berbagai kelebihan yang dimiliki atasan
akan membantu para staf untuk bekerja secara lebih cerdas, bukan lebih keras. Di samping itu,
keterlibatan staf dalam pemecahan permasalahan strategis juga akan meningkatkan pemahan
bersama, bahwa permasalahan organisasi yang dipecahkan secara bersama akan lebih berhasil
dibanding bila dipecahkan sendiri oleh pimpinan.

Berdasarkan beberapa pemaparan mengenai kepemimpinan tansformasional, di bawah ini


terangkum sepuluh prinsip kepemimpinan transformasi dalam lingkup birokrasi pemerintahan
sebagai berikut:

1. Kejelasan visi: Kepemimpinan yang baik selalu mulai dengan visi yang merefleksikan
tujuan bersama, dan dijelaskan kepada seluruh pegawai dengan gamblang dan sederhana.

2. Kesadaran pegawai: Selalu berusaha untuk meningkatkan kesadaran pegawai terhadap


nilai dan pentingnya tugas dan pekerjaan mereka bagi organisasi.

3. Pencapaian visi: Berorientasi pada pencapaian visi dengan cara menjaga dan memelihara
komitmen yang telah dibangun bersama.

4. Pelopor perubahan: Berani melakukan dan merespon perubahan apabila diperlukan, dan
menjelaskan kepada seluruh pegawai tentang manfaat perubahan yang dilakukan.
32
5. Pengembangan diri: Mengembangkan diri secara terus-menerus melalui berbagai media

pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi kepemimpinannya.

6. Pembelajaran pegawai: Memfasilitasi kebutuhan pembelajaran pegawai secara efektif,dan


mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin.

7. Pemberdayaan pegawai: Membagi kewenangan dengan cara memberdayakan pegawai


berdasarkan trust, dengan mempertimbangkan kemampuan dan kemauan mereka.

8. Pengembangan kreativitas: Membimbing dan mengembangkan kreativitas pegawai dan


membantu mereka dalam memecahkan masalah-masalah strategis secara efektif.

9. Budaya kerjasama: Membangun budaya kerjasama pegawai, dan mengarahkan mereka


untuk mendahulukan tujuan kelompok dan organisasi daripada kepentingan pribadi.

10. Kondusifitas organisasi: Menciptakan organisasi yang kondusif dengan


mengembangkan budaya kemitraan, komunikasi multi-levels, dan mengutamakan etika
dan moralitas.

Hal yang menjadi pertanyaan mendasar bagi proses transformasi kepemimpinan di Indonesia
adalah dapatkah kepemimpinan transaksional berubah menjadi transformasional. Untuk
menjawab pertanyaan ini, pertama-tama perlu disampaikan bahwa dalam teori kepemimpinan
terdapat tiga konsep dasar yang dapat mengubah seseorangmenjadi pemimpin (Bass, 1989 &
1990), yaitu (1) berdasarkan perilaku yang dimiliki (the trait theory), (2) berdasarkan suatu
peristiwa penting yang terjadi secara tidak sengaja (the great events theory), dan (3) berdasarkan
kemauan yang kuat untuk menjadi pemimpin.Dengan demikian, kemauan keras merupakan
kunci utama untuk dapat merubahperilaku kepemimpinan. Namun, tambah Bass, untuk
mencapai tujuan perubahan seorang pimpinan harus mau mengembangkan diri melalui studi-
mandiri, pendidikan, pelatihan, dan pengalaman sehari-hari secara terus-menerus. Bahkan
seandainya ia sudah dianggap berhasil.

Berdasarkan hasil elaborisi tentang kepemimpinan transaksional dan transformasional di atas,


dan untuk memudahkan proses transformasi, Anwarudin (2007) menyajikan perubahan arah

33
dalam transformasi kepemimpinan yang dapat dilakukan di lingkungan birokrasi pemerintahan
Indonesia seperti yang tertera dalam table berikut .

Tabel 3

Perubahan Arah Transformasi Kepemimpian Birokrasi

Kepemimpinan Transaksional Kepemimpinan Transformasional

Berdasarkan pada transaksi Berdasarkan pada visi

Menetapkan pedoman dan aturan tentang Meningkatkan kesadaran pegawai terhadap

pelaksanaan tugas dan pekerjaan nilai dan pentingnya tugas dan pekerjaan
Berorientasi pada pengawasan Berorientasi pada pencapaian visi

Menolak perubahan Melakukan perubahan

Berorientasi pada jabatan dan kekuasaan Mengembangkan diri secara terus-menerus

Pegawai fokus pada tugas dan pekerjaan Memfasilitasi kebutuhan pembelajaran pegawai

Kewenangan mutlak pada atasan Membagi kewenangan dengan pegawai

Mengatur pelaksanaan pekerjaan Mengembangkan kreativitas pegawai

Mengutamakan individualitas kerja Membangun budaya kerjasama

Mengembangkan disharmoni organisasi Menciptakan organisasi yang kondusif

Tujuan transformasi kepemimpinan birokrasi adalah meningkatkan kompetensi


kepemimpinan menjadi lebih baik. Kita tahu, konsep dasar kepemimpinan yang baik adalah
karakter teladan dan pengabdian total kepada organisasi. Dalam pandangan pegawai,
kepemimpinan adalah semua yang dilakukan atasan untuk mencapai tujuan dan menjaga

34
keutuhan organisasi. Pemimpin yang dihormati dilihat dari siapa (sikap dan perilaku), apa
yang diketahui (pekerjaan, tugas-tugas), dan apa yang dikerjakan (pelaksanaan tugas, cara
memotivasi, dan memberikan arahan).

Dengan demikian, jelaslah bahwa kepemimpinan transformasional dapat memberikan


berbagai pengaruh positif terhadap pegawai, pemimpin, dan organisasi. Dalam era globalisasi
seperti sekarang ini, yang membutuhkan kerjasama dari seluruh komponen organisasi untuk
memecahkan berbagai masalah strategis, model kepemimpinan semacam itu tampaknya tepat
untuk diterapkan dalam lingkungan birokrasi. Budaya kerjasama yang terbentuk dapat
merubah sikap mereka terhadap perkembangan organisasi dan peningkatan kinerja, dan perhatian
yang ditunjukkan oleh pimpinan juga akan menciptakan iklim yang kondusif dalam organisasi.
Pada akhirnya, seperti diasumsikan Erik Rees (2006), model kepemimpinan ini akan
bermuara pada peningkatan kondisi ekonomi, sosial, budaya kerja, dan spiritual seluruh
komponen organisasi.

35
D. KESIMPULAN

Reformasi birokrasi seyogyanya tidak dilakukan secara parsial, tetapi harus dilakukan secara
utuh dan juga menyeluruh, mengingat kompleksnya persoalan dalam penataan birokrasi,
sehingga untuk menata kembali birokrasi pemerintahan kiranya diperlukan sebuah usaha yang
lebih dari seluruh jajaran pemerintahan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk upaya
kearah reformasi birokrasi pemerintahan yang sesungguhnya.

Penulis sepakat dengan usulan Miftah Toha (2005) bahwasannya untuk mereformasi
birokrasi perlu dibentuknya sebuah komisi birokrasi yang akan menyusun suatu grand design
dan grand strategy reformasi birokrasi bagi seluruh sistem kelembagaan organisasi pemerintah.
Dalam proses penyusunan ini diharapkan akan lahir sebuah cetak biru (blueprint) ataupun sebuah
roadmap bagi pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintahan di Indonesia.

Salah satu hal terpenting dalam pendekatan dalam reformasi birokrasi pemerintahan adalah
perlunya dilakukan transformasi kepempimpina birokrasi, dari kepemimpinan yang transaksional
menuju kepada kepemimpinan yang transformasional, sehingga harapan akan suatu
penyelenggaran pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel bias segera terwujud.

Upaya transformasi kepemimpinan memang tak semudah yang dituliskan, tapi setiap usaha
untuk menuju perubahan kerah yang lebih baik merupakan peran nyata bagi upaya perwujudan
kearah pemerintahan yang lebih baik. Bahwa niatan untuk melakukan perubahan seyogyanya
diimplemtasikan dalam bentuk aksi sistemik.Wallahualam.

36
DAFTAR PUSTAKA

Agus Dwiyanto. 2000. Pemerintahan Yang Baik, Tanggap, Efisien, dan Akuntabel, Kontrol
atau Etika. Seminar Forum Kebijakan Publik. Jogjakarta : Program Pascasarjana UGM.

Anwaruddin, Awang (2005), “Improving Public Service Delivery through Bureaucracy

Reform”, dalam ADB-NPASIPAG Conference Papers, Manila, The Phillipines:Asian


Development Bank.

Albrow, Martin. (1996). Birokrasi. Terj. M. Rusli Karim. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Bass, B. M. (1985). Leadership and performance beyond expectation. New York: Free Press

Bass, Bernard M. (1990). Handbook of Leadership, New York: Free Press.

Bass, B. M. (1990). From transactional to transformational leadership: Learning to share the

vision. Organizational Dynamics, (Winter).

Betham, David (1974). Max Weber and the Theory of Modern Politics. London: Oxford

University Press.

Bennis, Warren (1997). The Leadership of 21st Century dalam Ken Shelton (1997). A New

Paradigm of Leadership. San Fransisco, Cal.: Executive Excellence Publishing.

Boje & Dennehy Managing in Postmodern World - Chapter on Follett, Fayol, Weber, and

Taylor. http://cbae.nmsu.edu/~dboje/mpw.html, 08/03/2006

Burhan Bungin. (2001). Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah

Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.


37
Dwight Y. King. 1979. Indonesia New Order as a Bureaucratic Polity, a New-Patrimonial
Regime as a Bureaucratic Authoritarian Regime : What Difference Does It Make. Los
Angeles : Makalah Pertemuan the Association of Asian Studies.

Eep Saefulloh Fatah. (1998). Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Franz Magnis Suseno. 1992. Berfilsafat dari Konteks. Jakarta : PT gramedia Pustaka Utama.

Haryanto. 2002. Kuliah Birokrasi Indonesia. Politik Lokal Otonomi Daerah. Jogjakarta :
Program Pascasarjana UGM.

Kenneth W. Thompson. 1994. Culture, Development, and Democracy : a Tribute to


Soedjatmoko. Tokyo : United Nation University Pess.

K. Bertens. 1997. Etika. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Mohtar Mas’oed. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta :
LP3ES.

MH Ismail. 2009. Etika Birokrasi. Malang : Averroes.

Miftah Thoha. (1991). Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-dimensi Prima Ilmu

Administrasi Negara Jilid II. Jakarta: Rajawali Press

Sheldon S dan David T. 2004. Government, Ethics, and Managers. Bandung : Remaja
Rosdakarya.

---------------. (1991). Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi. Yogyakarta: P.T. Media

Widya Mandala.

Moh. Nazir. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

38
Priyo Budi Santoso. (1997). Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan

Struktural. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.

Riswanda Imawan. (1998). Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ryaas Rasyid. (1998). Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru.

Jakarta: Yarsif Watampone.

Sidik Jatmika. (2001). Otonomi Daerah: Perspektif Hubungan Internasional.

Yogyakarta: BIGRAF Publishing.

Soenyono. (2001). “Prospek Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-undang

Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah”. Dalam Andi A.

Mallarangeng, dkk. Otonomi Daerah: Perspektif Teoritis


dan Praktis. Yogyakarta: BIGRAF Publishing.

Syaukani. (2001). Menatap Harapan Masa Depan Otonomi Daerah. Kaltim: Gerbang

Dayaku.

Syukur Abdullah. (1991). “Budaya Birokrasi di Indonesia”. Dalam Alfian dan

Nazaruddin Sjamsudin (ed.). Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka

Utama Grafiti.

Tri Ratnawati. (2000). “Desentralisasi dan Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di

Indonesia”. Dalam Sidik Jatmika. Otonomi Daerah: Perspektif Hubungan

Internasional. Yogyakarta: BIGRAF Publishing.

39
40

Anda mungkin juga menyukai