Anda di halaman 1dari 142

GRAND DESIGN

PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT


2012
GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

ii

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat


Kementerian Dalam Negeri
Kementerian Perencanaan Pembangunan/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Kementerian Kesehatan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kementerian Sosial
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035


Pemegang Copyright Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Diproduksi oleh : Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Editor :
Sekretariat Tim Penyusunan Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011 - 2035
Tim Penyusun :
1. Kelompok Kerja Bidang Pengendalian Kuantitas Penduduk
2. Kelompok Kerja Bidang Peningkatan Kualitas Penduduk
3. Kelompok Kerja Bidang Pembangunan Keluarga
4. Kelompok Kerja Bidang Penataan Persebaran dan Pengaturan Mobilitas Penduduk
5. Kelompok Kerja Bidang Pembangunan database Kependudukan
Kontributor:
1. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gajah Mada
2. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
Cetakan pertama 2012
Hak cipta dilindungi undang-undang
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, et. al. Grand Design Pembangunan
Kependudukan Tahun 2011-2035; cet. 1 Jakarta : Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat, 2012, 126 hlm, 210 x 297 mm
ISBN 978-602-9476-28-6
____________________

GRAND DESIGN
DESIGN
PEMBANGUNAN
KEPENDUDUKAN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN
2011-2035
TAHUN 2011-2035

iii

iv

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

KATA PENGANTAR

MENTERI KOORDINATOR
BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT R.I

Segala puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan


Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan berkah dan
rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga penyusunan dokumen
Grand Design Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035 dapat
diselesaikan. Kerja keras dan kerja cerdas semua pihak diwakili
oleh kelompok-kelompok kerja yang secara bertahap, berhasil
menyelesaikan dokumen acuan bagi Pembangunan
Kependudukan di Indonesia. Masukan dari berbagai pihak telah
memberikan kontribusi yang signifikan yang pada gilirannya akan
bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan kependudukan
secara lintas sektor.
Terdapat 3 (tiga) aspek penting dalam kebijakan pembangunan kependudukan. Pertama,
secara internal, dinamika kependudukan memasuki tahap krusial dengan ditandai oleh adanya
perubahan kondisi demografi di luar perkiraan. Kondisi itu nampak dari perubahan angka
kelahiran dan pertumbuhan penduduk yang cenderung tidak bergerak maju (stagnan).
Terlepas dari perbedaan interpretasi mengenai keadaan tersebut, kondisi ini perlu dicermati
dan diantisipasi dengan kebijakan kependudukan yang tepat. Kedua, kebijakan pembangunan
kependudukan belum sepenuhnya menjadi bagian integral dari kebijakan pembangunan.
Hal ini tidak selaras dengan hasil ICPD (International Conference on Population and Development)
tahun 1994 di Kairo yang mengamanatkan agar, pengintegrasian kebijakan kependudukan
ke dalam kebijakan pembangunan nasional. Ketiga, pada waktu yang bersamaan dinamika
kependudukan sedang mengarah ke fase windows of opportunity yang datangnya hanya sekali
dan akan memberikan peluang untuk memperoleh bonus demografi. Ketiga hal tersebut
merupakan alasan mengapa dibutuhkan suatu dokumen grand design pembangunan kependudukan
untuk dijadikan arah bagi perumusan kebijakan dan program kependudukan.
Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK) selain diperlukan sebagai arah bagi
kebijakan kependudukan di masa depan juga diharapkan dapat sejalan dengan Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia (MP3KI). Dalam konteks

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

pelaksanaannya diperlukan harmonisasi pelaksanaan kebijakan Pembangunan


Kependudukan dengan Pembangunan Ekonomi Nasional serta Penanggulangan
Kemiskinan.
Dengan telah selesainya penyusunan dokumen ini, saya mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi secara aktif. Kritik dan saran konstruktif sangat
diharapkan dalam rangka penyempurnaan dokumen ini. Semoga Grand Design
Pembangunan Kependudukan ini bermanfaat bagi pembangunan Nasional.

Jakarta, Desember 2012


Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia

H.R. AGUNG LAKSONO

vi

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... v


DAFTAR ISI
.......................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR DAN GRAFIK ............................................................................... x

BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1


1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2. Dasar Hukum............................................................................................... 5
1.3. Visi ............................................................................................................ 6
1.4. Misi ............................................................................................................ 6
1.5. Arah Kebijakan ............................................................................................ 7
1.6. Tujuan .......................................................................................................... 7
1.7. Sasaran .......................................................................................................... 8
BAB 2. KONDISI KEPENDUDUKAN INDONESIA SAAT INI ........................ 9
2.1. Kuantitas Penduduk .................................................................................... 9
2.2 Kualitas Penduduk..................................................................................... 14
2.2.1. Pendidikan ...................................................................................... 14
2.2.2. Kesehatan ....................................................................................... 17
2.2.3. Pendapatan per Kapita ................................................................. 25
2.2.4. Indeks Pembangunan Manusia .................................................... 27
2.2.5. Kondisi Kesetaraan dan Keadilan Gender ................................ 28
2.3. Pembangunan Keluarga............................................................................ 32
2.4. Persebaran dan Mobilitas Penduduk ...................................................... 34
2.5. Data dan Informasi Kependudukan ...................................................... 40
BAB 3. KONDISI YANG DIINGINKAN ................................................................ 47
3.1. Kuantitas Penduduk .................................................................................. 47
3.2. Kualitas Penduduk..................................................................................... 49
3.3. Kondisi Keluarga ....................................................................................... 50
3.4. Persebaran dan Mobilitas Penduduk ...................................................... 51
3.5. Database Kependudukan ......................................................................... 53
3.6. Permasalahan dan Tantangan .................................................................. 55
3.6.1. Kuantitas Penduduk ...................................................................... 56
3.6.2. Kualitas Penduduk ......................................................................... 59
3.6.3. Persebaran dan Mobilitas Penduduk .......................................... 65

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

vii

BAB 4. POKOK-POKOK PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN .................. 69


4.1. Pengendalian Kuantitas Penduduk ......................................................... 69
4.1.2. Pengaturan Fertilitas .................................................................... 69
4.1.3. Penurunan Mortalitas ................................................................... 70
4.1.4. Strategi Pengendalian Kuantitas .................................................. 71
4.2 . Peningkatan Kualitas ................................................................................. 72
4.2.1. Dimensi Kesehatan ....................................................................... 72
4.2.2. Dimensi Pendidikan ...................................................................... 72
4.2.3. Dimensi Ekonomi ......................................................................... 72
4.2.4. Strategi Pengendalian Kualitas ..................................................... 72
4.3. Pembangunan Keluarga............................................................................ 74
Strategi Pembangunan Keluarga ............................................................. 75
4.4. Persebaran dan Pengarahan Mobilitas Penduduk ................................. 77
4.5. Pembangunan Database Kependudukan ............................................... 96
Strategi Pembangunan Database Kependudukan ................................ 96
BAB 5. ROADMAP ........................................................................................................ 103
5.1. Umum ....................................................................................................... 103
5.1.1. Pengendalian Kuantitas Penduduk ............................................ 103
5.1.2. Peningkatan Kualitas Penduduk ................................................ 104
5.1.3 Pembangunan Keluarga .............................................................. 106
5.1.4 Penataan Persebaran dan Pengarahan Mobilitas
Penduduk ...................................................................................... 106
5.1.5. Pembangunan Data dan Informasi Kependudukan .............. 109
BAB 6. PENUTUP ........................................................................................................ 111
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 114
LAMPIRAN : Keputusan Menko Kesra No. 27 Tahun 2011,
Tentang Tim Penyusunan Grand Design Pembangunan Kependudukan,
Tahun 2011-2035
........................................................................................................ 115

viii

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
Tabel 2.5
Tabel 2.6
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 3.4
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 4.5

Tabel 4.6
Tabel 4.7
Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel 5.3
Tabel 5.4
Tabel 5.5
Tabel 5.6
Tabel 5.7
Tabel 5.8
Tabel 5.9

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1

Angka Partisipasi Sekolah Kasar dan Murni menurut


Pendidikan 20002008 .................................................................................. 15
Angka Partisipasi Sekolah menurut Umur, Tipe Daerah, dan
Jenis Kelamin, 2006 ....................................................................................... 16
Angka Harapan Hidup Beberapa Negara di ASEAN, 1980-2011 .......... 23
Jumlah Penduduk Miskin dan Angka Kemiskinan Tahun 2011 ............. 26
Nilai IPM Beberapa Negara ASEAN1990-2011....................................... 28
Karakteristik Kepala Keluarga menurut Mata Pencaharian, 2008 .......... 31
Proyeksi TFR 2010-2035 .............................................................................. 47
Persentase Pengangguran Terbuka*) menurut Pendidikan
Tertinggi yang Ditamatkan 2007-2010 ....................................................... 62
Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin di Indonesia menurut
Daerah Tahun 1998-2011 ............................................................................. 63
Kondisi Migrasi Internasional Tahun 2007-2009 ...................................... 66
Kelas Ruang .................................................................................................... 83
Kelas Penduduk ............................................................................................. 84
Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang Diproyeksikan
sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah Sumatera ....................... 85
Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang Diproyeksikan
sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah Kalimantan ................... 87
Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang Diproyeksikan
sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah Sulawesi-MalukuMaluku Utara .................................................................................................. 88
Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang Diproyeksikan
sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah Papua ............................. 90
Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang Diproyeksikan
sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah Bali-Nusa Tenggara ..... 91
Roadmap Pengendalian Kuantitas Penduduk .......................................... 103
Perkiraan Rata-Rata Lama Bersekolah (MYoS) ....................................... 104
Perkiraan Harapan Rata-Rata Lama Bersekolah (EYoS) ....................... 104
Perkiraan Angka Partisipasi Murni 2015-2050......................................... 105
Perkiraan Angka Harapan Hidup 2015-2035 ........................................... 105
Perkiraan GNI per Kapita Indonesia 2011-2050 .................................... 106
Roadmap Pembangunan Keluarga ............................................................ 106
Pokok-Pokok Roadmap Grand Design Pengarahan Mobilitas
Penduduk 2010-2035 ................................................................................... 107
Roadmap Pmebangunan Data Base Kependudukan ............................. 109

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

ix

Tujuan Pembangunan Kependudukan Selama 2011-2035 ..................... 8

Gambar 2.2

Piramida Penduduk Indonesia Tahun 1971 dan 2010 ........................... 11

Gambar 2.3

Melek Huruf Dewasa di Indonesia ......................................................... 17

Gambar 2.4

Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Balita, dan Angka


Kematian Ibu 1991-2007 ........................................................................... 18

Gambar 2.5

Angka Kematian Bayi di Indonesia ......................................................... 19

Gambar 2.6

Disparitas Indeks Kematian Bayi dan Kematian Balita


di Indonesia, 1991-2007 ............................................................................ 20

Gambar 2.7

Tren Prevalensi Gizi Kurang dan Gizi Buruk IndonesiaTahun


1989 2010 ................................................................................................. 21

Gambar 2.8

Angka Harapan Hidup Indonesia 19802011 ........................................ 22

Gambar 2.9

Persentase Rumah Tangga yang Mendapatkan Air Bersih


di Indonesia 2000-2008 ............................................................................. 23

Gambar 2.10 Persentase Rumah Tangga yang Mengakses Jamban dan


Septic Tank di Indonesia 2000-2008 .......................................................... 24
Gambar 2.11 Pendapatan per Kapita di Indonesia 1980-2011
(Metode Atlas, US$) ................................................................................... 25
Gambar 2.12 Perkembangan Jumlah dan Angka Kemiskinan di Indonesia,
2004-2011 .................................................................................................... 25
Gambar 2.13 Profil Persebaran Penduduk Tahun 1930 2010 .................................. 35
Gambar 2.14 Peta Persebaran Kategori Kota ................................................................ 36
Gambar 2.15 Peta Ketimpangan Populasi dan Ekonomi ............................................. 37
Gambar 2.16 Kesenjangan Ekonomi Wilayah di Indonesia ........................................ 39
Gambar 2.17 Data Dasar (Database) Kependudukan di Indonesia ........................... 42

Gambar 3.1

Perkembangan Rasio Ketergantungan Usia Anak-anak


(< 15 tahun); produktif (15-64 tahun), Lansia (>65 tahun) serta
Rasio Ketergantungan di Indonesia Tahun 1950-2050 ......................... 49

Gambar 3.2

Kondisi Persebaran Penduduk yang Diinginkan pada Tahun 2035 .... 51

Gambar 3.3

Kondisi Migrasi Internasional yang Diinginkan Tahun 2035 .............. 52

Gambar 3.5

Pertumbuhan dan Ketimpangan Ekonomi di Indonesia ..................... 63

Gambar 4.1

Unsur-Unsur Pembangunan Sumber Daya Manusia ............................ 73

Gambar 4.2

Tema Pembangunan dan Interkoneksi Koridor Ekonomi (KE) ........ 82

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

DAFTAR GAMBAR
DAN GRAFIK

Gambar 1.1

Gambar 4.3

Strategi Penataan Persebaran Penduduk ................................................. 82

Gambar 4.4

Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang


Diproyeksikan sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah
Sumatera ...................................................................................................... 85

Gambar 4.5

Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang


Diproyeksikan sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah
Kalimantan ................................................................................................. 87

Gambar 4.6

Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang


Diproyeksikan sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah
Sulawesi-Maluku-Maluku Utara ............................................................... 89

Gambar 4.7

Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang


Diproyeksikan sebagai Metropolitan Besar dan Kecil
Wilayah Papua ............................................................................................ 90

Gambar 4.8

Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang


Diproyeksikan sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah
Bali-Nusa Tenggara ................................................................................... 92

Gambar 4.9

Kerangka Penyelarasan Isu-Isu Strategis Grand Design SAK............ 96

Gambar 4.10 Tahap-tahap Penerapan KTP Berbasis NIK Nasional ........................ 98


Gambar 4.11 Mekanisme Pembangunan Database Kependudukan dan
Pemutakhirannya ....................................................................................... 99
Gambar 4.12 Pemanfaatan Database untuk Instansi/Lembaga, Masyarakat
Dunia Usaha, dan Kepentingan Lainnya ............................................. 100
Gambar 4.12 dan 4.13 Pemanfaatan Database Kependudukan dan e-KTP
untuk Mendukung Pemilu ...................................................................... 101
Grafik 2.1

Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 2000-2010 menurut


Provinsi ..................................................................................................... 10

Grafik 2.2

Perkembangan IPG Periode 2004-2010 ................................................. 28

Grafik 2.3

Perkembangan Komponen IPG, 2009-2010 ......................................... 29

Grafik 2.4

Perkembangan IDG Tahun 2004-2010 .................................................. 30

Grafik 2.5

Penduduk 15 ke Atas Bekerja Sebagai Tenaga Profesional


Kepemimpinan, Administrasi, Teknisi, 2009-2010 ............................... 31

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

xi

Grafik 2.6

Persentase PNS Perempuan, 2007-2010 ................................................ 31

Grafik 2.7

Persentase PNS yang Menduduki Jabatan Struktural,


2007-2010 ................................................................................................... 32

xii

Grafik 3.4

Ratio Ketergantungan 1971-2010 ........................................................... 52

Grafik 3.5

Rasio Ketergantungan menurut Provinsi .............................................. 53

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

B
AB
BAB
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Kebijakan kependudukan di Indonesia sampai saat ini telah menunjukkan
keberhasilannya, terutama jika dilihat dari sisi kuantitas penduduk. Sebagai contoh adalah
penurunan angka kelahiran total (TFR) dan penurunan pertumbuhan penduduk secara
konsisten selama periode 1970-2000. Akan tetapi, hasil sensus penduduk maupun survei
akhir-akhir ini, misalnya Sensus Penduduk 2010 dan SDKI 2007, menunjukkan
kecenderungan yang cukup mengkhawatirkan. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) 2007 misalnya menunjukkan bahwa TFR mengalami stagnasi.
Demikian juga halnya dengan hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 yang secara nasional
menunjukkan TFR dalam keadaan stalling. Hasil lain dari SP 2010 menunjukkan bahwa
angka pertumbuhan penduduk
meningkat dibandingkan
dengan SP tahun 2000
meskipun peningkatannya
tidak signifikan. Ada indikasi
bahwa kedua hal tersebut
berkaitan: stagnasi atau
peningkatan TFR telah menjadi
penyebab
peningkatan
pertumbuhan penduduk, mengingat bahwa secara nasional
migrasi diang gap tidak
berpengaruh
terhadap
perubahan jumlah penduduk.
Jika hal ini berlangsung terus,
dikhawatirkan tujuan kebijakan
kependudukan dari sisi
kuantitatif untuk mencapai Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS) pada tahun 2015 seperti
tercantum dalam RPJMN tidak dapat dicapai. Bahkan, bukan hanya target yang telah
dicanangkan tidak dapat dicapai, tetapi perubahan tersebut akan menimbulkan masalah
baru, baik dibidang kependudukan maupun masalah pembangunan pada umumnya.
Bagi sebagian pengambil kebijakan, pertumbuhan penduduk yang meningkat dianggap
tidak merisaukan. Akan tetapi, bagi sebagian yang lain, pertumbuhan penduduk yang
meningkat dianggap sebagai salah satu hambatan dalam mencapai tujuan pembangunan
secara luas. Sebagai salah satu ilustrasi, perubahan jumlah penduduk akan mempengaruhi
GRAND
GRANDDESIGN
DESIGN
PEMBANGUNAN
PEMBANGUNANKEPENDUDUKAN
KEPENDUDUKAN
TAHUN
TAHUN2011-2035
2011-2035

demand yang kemudian harus dipenuhi oleh sektor lainnya, misalnya penyediaan
kebutuhan dasar manusia, yaitu papan, pangan dan pakaian. Kekhawatiran banyak orang tentang keamanan pangan misalnya, secara langsung berhubungan dengan
peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkontrol. Demikian juga halnya dengan
kebutuhan dasar lainnya. Memang hubungan antara keduanya tidak bersifat eksklusif
karena ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi kompleksitas hubungan, yaitu
tehnologi dan orgarnisasi. Akan tetapi aspek kependudukan merupakan aspek penting
dalam pembangunan, dan tidak dapat diabaikan.
Salah satu isu penting lainnya yang terkait dengan perkembangan kuantitas penduduk
di Indonesia adalah perubahan komposisi penduduk, khususnya menurut umur. Dengan
tren perubahan komposisi penduduk menurut umur di masa lalu, diperkirakan Indonesia akan mencapai tahap windows of opportunity tahun 2030-an. Hal ini hanya akan terjadi
jika pengelolaan kuantitas penduduk, khususnya fertilitas, dilakukan dengan benar. Jika
tidak, maka tahap tersebut akan terlewatkan dan Indonesia akan kehilangan momentum untuk mengakselerasi percepatan pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Tahap windows of opportunity ditandai dengan angka ketergantungan yang paling rendah
dalam perkembangan perubahan komposisi penduduk menurut umur. Kondisi tersebut
disertai dengan besarnya jumlah penduduk usia produktif, menurunnya jumlah penduduk
usia anak-anak, dan meningkatnya jumlah penduduk lansia. Tahap ini merupakan
kesempatan yang hanya datang sekali dan harus direspons dengan kebijakan yang
memadai agar opportunity berubah menjadi bonus demografi. Jika tahap ini terjadi dan
tidak ada intervensi yang tepat, maka kesempatan tersebut akan berubah menjadi disaster. Dengan cara berpikir tersebut, maka seharusnya telah disusun suatu arah dan
penahapan pencapaian pembangunan kuantitas yang mampu mendorong terealisasinya
tahap tersebut.
Selain persoalan yang terkait dengan pertumbuhan dan komposisi penduduk, Indonesia masih dihadapkan pada masalah ketimpangan distribusi penduduk, antara Jawa dan
luar Jawa, atau antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur. Demikian
juga halnya antara desa dan kota. Persolan ketimpangan distribusi penduduk pada
dasarnya erat kaitannya dengan persoalan lingkungan. Di satu pihak ketimpangan
distribusi penduduk melahirkan persoalan overpopulation yang ditunjukkan oleh,
diantaranya, adalah kepadatan penduduk dan tekanan penduduk, di pihak lain muncul
persoalan optimalisasi sumber daya alam, khususnya di daerah yang kaya sumber daya
alam tetapi jumlah penduduknya sedikit.
Persoalan kependudukan yang dihadapi Indonesia menjadi lebih kompleks karena selain
masalah kuantitas, juga dihadapkan pada persoalan kualitas penduduk (terutama bidang
pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan pemerataan ekonomi). Contoh yang paling jelas

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

adalah rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia jika dibandingkan


dengan IPM di negara tetangga ASEAN. Indonesia semakin jauh tertinggal dengan beberapa
negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand.
Permasalahan kuantitas dan kualitas penduduk pada akhirnya bukan hanya
menggambarkan persoalan kependudukan, tetapi lebih dari itu, persoalan tersebut
merupakan permasalahan pembangunan yang sedang dihadapi Indonesia. Hal tersebut
berkaitan juga dengan pemikiran secara konseptual bahwa hubungan antara
kependudukan dan pembangunan ekonomi bersifat resiprokal (atau timbal balik). Dari
satu sisi, ketika variabel kependudukan diletakkan sebagai variabel bebas, maka setiap
intervensi untuk mengatasi permasalahan kependudukan tersebut akan memberikan
kontribusi untuk mengatasi masalah pembangunan lainnya.
Sementara itu, perubahan lingkungan strategis, baik pada skala internasional maupun
internal, telah menjadi salah satu faktor yang memengaruhi dinamika kebijakan
kependudukan di Indonesia. Pada skala internasional, kesepakatan internasional, baik
hasil dari ICPD di Kairo tahun 1994, MDGs, dan juga kesepakatan internasional lainya,
telah menyebabkan perubahan orientasi kebijakan kependudukan juga. Sebagai contoh,
prinsip-prinsip ICPD yang belum sepenuhnya tertuang dalam UU No. 10 Tahun 1992
menjadi salah satu pertimbangan penting dilakukannya amandemen UU tersebut yang
kemudian menjadi UU No. 52 Tahun 2009. Arah kebijakan pembangunan kependudukan
dan hasil ICPD yang menekankan pentingnya hak dan kesehatan reproduksi telah
mewarnai program keluarga berencana di Indonesia pasca-ICPD. Selain itu, Indonesia
memiliki komitmen untuk mengadopsi 20 tahun Plan of Action (PoA) ICPD yang
mencakup tujuan penting kebijakan penduduk dan pembangunan, yaitu pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable
development), pendidikan, kesetaraan gender, penurunan kematian maternal, anak dan
bayi, peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk keluarga
berencana dan kesehatan seksual.
Kesepakatan hasil MDGs tahun 2000 berpengaruh sangat penting dalam mengarahkan
pembangunan kependudukan. Target yang tertuang dalam MDGs, menjadi rujukan
pokok penentuan indikator pencapaian pembangunan kependudukan sampai dengan
saat ini. Bukan hanya dalam konteks pembangunan kependudukan, arah kebijakan
pembangunan secara umum juga sangat diwarnai dan dipengaruhi MDGs.
Sementara itu, dalam skala nasional ada dua aspek penting yang perlu dicatat. Pertama
adalah perubahan pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang diawali dengan
krisis multidimensional tahun 1998. Krisis ekonomi telah menyebabkan menurunnya
kemampuan ekonomi pemerintah untuk mendukung kebijakan kependudukan,
khususnya program keluarga berencana, sebagaimana dilakukan pada masa Orde Baru.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Krisis politik telah memengaruhi fokus perhatian pemerintah yang lebih pada kebijakan
politk. Oleh karena itu kebijakan kependudukan di tahun-tahun awal reformasi
terabaikan. Kedua, sejalan dengan perubahan pemerintahan tersebut, pemerintah
melaksanakan otonomi daerah yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada
pemerintah kabupaten/kota untuk menyusun, melaksanakan, serta melakukan monitoring dan evaluasi pembangunan, termasuk di dalamnya kebijakan kependudukan.
Seperti halnya yang terjadi di pusat, pemerintah kabupaten/kota lebih memfokuskan
pada pembangunan politik dan ekonomi serta cenderung mengabaikan pembangunan
kependudukan. Akibatnya adalah komitmen politik menurun dibandingkan dengan
periode sebelumnya. Oleh banyak kalangan, hal ini diklaim sebagai salah satu faktor
yang ikut memengaruhi penurunan kinerja kebijakan kependudukan di Indonesia.
Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut di atas, diperlukan suatu acuan bagi
pembangunan kependudukan di masa mendatang, baik dari sisi kebijakan umum dalam
bentuk Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK). Hal ini merupakan tindak
lanjut atau operasionalisasi Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
Usaha untuk menyusun GDPK diawali oleh Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat
dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang terkait dengan kebijakan
kependudukan melalui pembentukan kelompok kerja (working group). Melalui Keputusan
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No. 27 Tahun 2011 tentang
penyusunan Grand Design terkait Pembangunan Kependudukan Tahun 2011-2035 telah
terbentuk lima kelompok kerja untuk menyusun GDPK yang masing-masing
bertanggung jawab untuk menyusun grand design termasuk roadmap pembangunan
kependudukan. Kelima kelompok kerja tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kelompok Kerja Bidang Pengendalian Kuantitas Penduduk (Kelompok Kerja I)
2. Kelompok Kerja Bidang Peningkatan Kualitas Penduduk (Kelompok Kerja II)
3. Kelompok Kerja Bidang Pembangunan Keluarga (Kelompok Kerja III)
4. Kelompok Kerja Bidang Penataan Persebaran dan Pengaturan Mobilitas Penduduk
(Kelompok Kerja IV)
5. Kelompok Kerja Bidang Pembangunan Database Kependudukan (Kelompok
Kerja V)
Kelima kelompok kerja tersebut telah bekerja secara maksimal dan telah menghasilkan draf
konsep grand design. Hasil dari kelima kelompok kerja tersebut merupakan sumber utama
dalam penyusunan GDPK pembangunan kependudukan ini. Dengan kata lain, dokumen
GDPK ini merupakan integrasi dan penyempurnaan hasil kerja dari kelima kelompok kerja.
Diharapkan dokumen GDPK ini dapat menjadi landasan dan acuan bagi perumusan program atau kegiatan operasional untuk mengatasi permasalahan kependudukan di Indonesia
serta mengintegrasikannya dengan dokumen pembangunan yang lainnya.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

GDPK merupakan arahan kegiatan dalam tahapan lima tahunan pembangunan


kependudukan Indonesia dengan melihat target pencapaian sampai dengan tahun 2035.
Dengan demikian, dalam dokumen ini dicantumkan pula roadmap yang berisi kebijakan
yang diperlukan untuk tiap lima tahunan sampai tahun 2035 sehingga dapat diperoleh
gambaran yang jelas langkah-langkah yang perlu diambil oleh setiap kementerian/
lembaga dalam mendukung implementasi pembangunan kependudukan di Indonesia.
Selain itu, penyusunan GDPK juga memerhatikan beberapa dokumen yang telah ada
terlebih dulu, misalnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN),
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dan
Masterplan Perluasan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia (MP3KI), Serta yang tidak
kalah pentingnya adalah acuan regulasi yang terkait dengan kependudukan. Diharapkan
dengan menggunakan referensi tersebut, GDPK yang dihasilkan merupakan dokumen
yang komprehensif, akomodatif, dan terstruktur.
1.2. Dasar Hukum
Beberapa peraturan yang menjadi dasar dalam penyusunan Grand Design Pembangunan
Kependudukan adalah sebagai berikut.
1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (Pembukaan, Pasal 28B, pasal 33, dan pasal 34)
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan
3. Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian
5. Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia
6. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
7. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
9. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
10. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan
11. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga (KDRT)
12. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional
13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri
14. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI
15. Undang Undang No 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
16. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) 2005-2025
17. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
18. Undang-Undang No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

19. Undang-UndangNo. 32 Tahun 2009TentangPerlindungan Dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup
20. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian
21. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009TentangKesehatan
22. Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga
23. Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
24. Undang-Undang No. 35 tahun 2010 tentang Narkotika
25. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 Tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara;
26. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.
27. Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional;
28. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional
29. Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 tentang Pembangunan yang Berkeadilan
1.3.Visi:
Terwujudnya penduduk yang berkualitas sebagai modal pembangunan untuk mencapai
Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan sejahtera. Penekanan visi pada pembangunan
kualitas penduduk adalah jawaban kunci terhadap terjadinya windows of opportunity
sehingga bonus demografi dapat dimanfaatkan sebagai modal dasar pembangunan.
Dalam rangka mencapai visi tersebut, GDPK memiliki misi:
1.4. Misi:
1. Menempatkan aspek kependudukan sebagai titik sentral pembangunan dan
mengintegrasikan kebijakan kependudukan ke dalam kebijakan pembangunan sosial
budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup
2. Mendorong tercapainya jejaring (networking) kebijakan antarpemangku kepentingan
di tingkat pusat maupun daerah dalam membangun tata kelola kependudukan untuk
mendukung terciptanya pembangunan berkelanjutan
3. Menciptakan sinkronisasi antarberbagai peraturan perundangan dan kebijakan
pemerintah di tingkat pusat dan daerah tentang kependudukan
4. Memfasilitasi perkembangan kependudukan ke arah yang seimbang antara jumlah,
struktur, dan persebaran penduduk dengan lingkungan hidup, baik yang berupa
daya dukung alam maupun daya tampung lingkungan serta kondisi perkembangan
sosial dan budaya
5. Mengintegrasikan kegiatan ekonomi secara sinergis antara wilayah pertumbuhan

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

6.

7.

8.
9.

10.

dengan wilayah perdesaan menjadi suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi


yang mampu menarik gerak keruangan penduduk yang aman, nyaman, cepat, dan
terjangkau
Membangun potensi dan sinergi aktor kependudukan, baik pada level individu,
keluarga maupun masyarakat untuk meningkatkan kualitas penduduk yang
mendukung pembangunan berkelanjutan
Membangun keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, dan harmonis yang
berkeadilan dan berkesetaraan gender serta mampu merencanakan sumber daya
keluarga dan jumlah anak yang ideal
Mewujudkan migrasi tenaga kerja internal dan internasional secara terarah, tertib,
teratur, dan terlindungi
Membuka peningkatan partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan dalam
membangun tata kelola kependudukan yang berpusat pada manusia, termasuk
membangun sistem informasi dan data kependudukan yang transparan dan akuntabel
Membangun kesadaran, sikap, dan kebijakan bagi kesamaan hak dan kewajiban
antarkelompok, termasuk kesadaran gender bagi terciptanya kehidupan yang serasi,
selaras, dan seimbang demi tercapainya tujuan-tujuan pembangunan

Sementara itu, arah kebijakan dari GDPK dapat dirumuskan adalah:


1.5. Arah Kebijakan:
1. Pembangunan kependudukan yang menggunakan pendekatan hak asasi sebagai
prinsip utama
2. Pembangunan kependudukan yang mengakomodasi partisipasi semua pemangku
kepentingan, baik di tingkat pusat, daerah maupun masyarakat
3. Pembangunan kependudukan yang mendasarkan penduduk sebagai titik sentral
pembangunan, yaitu penduduk sebagai pelaku (subjek) maupun penikmat (objek)
pembangunan
4. Pembangunan kependudukan yang mampu menjadi bagian dari usaha untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan
5. Pembangunan kependudukan yang mampu menyediakan data dan informasi
kependudukan yang valid dan dapat dipercaya
Arah kebijakan ini seterusnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan GDPK sebagai
berikut:
1.6. Tujuan
1. Tujuan utama pembangunan kependudukan adalah tercapainya kualitas penduduk
yang tinggi sehingga mampu menjadi faktor penting dalam mencapai kemajuan
bangsa. Hal itu dilakukan melalui pencapaian tujuan sebagai berikut.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

a. mewujudkan tercapainya tahap windows of opportunity melalui pengelolaan kuantitas


penduduk yang berkaitan dengan jumlah, struktur/komposisi, pertumbuhan,
dan persebaran penduduk
b. mewujudkan keseimbangan sumber daya manusia dan lingkungan melalui
pengarahan mobilitas penduduk serta pengelolaan urbanisasi
c. mewujudkan keluarga yang berketahanan, sejahtera, sehat, maju, mandiri, dan
harmonis yang berkeadilan dan berkesetaraan gender serta mampu merencanakan
sumber daya keluarga
2. Terwujudnya data dan informasi kependudukan yang akurat (valid) dan dapat
dipercaya serta terintegrasi melalui pengembangan sistem informasi data
kependudukan
Secara konseptual, tujuan pembangunan kependudukan selama 2011-2035 dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.1 Tujuan Pembangunan Kependudukan Selama 2011-2035
Penduduk berkualitas sebagai modal pembangunan untuk mencapai
Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan sejahtera

Peningkatan Kualitas Penduduk


Pembangunan Keluarga

Pengarahan Mobilitas
Penduduk

Pengelolaan Kuantitas
penduduk

Pengembangan Sistem Informasi Data Kependudukan yang


berkualitas dan terintegrasi

1.7. Sasaran
1. Terwujudnya pembangunan berwawasan kependudukan yang berdasarkan pada
pendekatan hak asasi untuk meningkatkan kualitas penduduk dalam rangka mencapai
pembangunan berkelanjutan
2. Pencapaian windows of opportunity melalui pengelolaan kuantitas penduduk dengan
cara pengendalian angka kelahiran, penurunan angka kematian, dan pengarahan
mobilitas penduduk
3. Keluarga berkualitas yang memiliki ciri ketahanan sosial, ekonomi, budaya tinggi
serta mampu merencanakan sumber daya keluarga secara optimal
4. Pembangunan database kependudukan melalui pengembangan sistem informasi data
kependudukan yang akurat, dapat dipercaya, dan terintegrasi

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

BAB Kondisi Kependudukan

Indonesia Saat Ini


2.1. Kuantitas Penduduk
Dalam banyak tulisan disebutkan bahwa salah satu masalah kependudukan klasik di
Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dan saat ini menduduki peringkat keempat
tertinggi di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Berdasarkan asumsi bahwa
jumlah yang besar tanpa disertai dengan kualitas yang memadai akan menjadi beban
pembangunan, maka kebijakan pengendalian pertumbuhan penduduk memperoleh
justifikasinya. Pada waktu yang bersamaan, kebijakan tersebut disertai dengan usaha
untuk meningkatkan kualitas penduduk dalam rangka mengubah beban menjadi aset
pembangunan.

GRAND
DESIGN
GRAND
DESIGN
PEMBANGUNAN
KEPENDUDUKAN
PEMBANGUNAN
KEPENDUDUKAN
TAHUN
2011-2035
TAHUN
2011-2035

Grafik 2.1. Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 2000-2010 menurut Provinsi

Sumber: SP 2000 dan 2010, BPS, Statistik Indonesia 2011

Kebijakan pengendalian pertumbuhan penduduk di Indonesia telah menunjukkan hasil


yang ditandai dengan penurunan laju pertumbuhan penduduk. Pada periode 1971-1980
pertumbuhan penduduk Indonesia tercatat 2,32 persen kemudian menurun menjadi
1,97 persen pada periode 1980-1990. Sepuluh tahun berikutnya, 1990-2000, angka
tersebut turun menjadi 1,45 persen. Akan tetapi, pada periode berikutnya ada
kecenderungan pertumbuhan penduduk justru naik, yaitu menjadi 1,49 persen, dengan
jumlah penduduk sebesar 237,6 juta jiwa.

10

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Terlepas dari kontroversi yang ada, kecenderungan bahwa angka pertumbuhan penduduk
tahun 2000-2010 tidak menurun seperti yang diharapkan merupakan alarm bagi kebijakan
pengendalian pertumbuhan penduduk di Indonesia. Dengan melihat tren yang terjadi
tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan tahun 2000-2010 pertumbuhan penduduk
mencapai 1,27 persen dengan jumlah penduduk tahun 2010 sebesar 234,2 juta jiwa.
Dengan demikian, hasil Sensus Penduduk tahun 2010 lebih tinggi dibandingkan dengan
perkiraan. Jumlah penduduk tahun tersebut menunjukkan sekitar 3,5 juta yang lebih
besar 0,4 persen daripada proyeksi atau perkiraan dan pertumbuhan penduduk selama
periode 2000-2010.

Gambar 2.2. Piramida Penduduk Indonesia Tahun 1971 dan 2010

Sumber: Hasil Sensus Penduduk BPS, Tahun 2010, www.sp2010.bps.go.id

Satu hal yang perlu dicatat adalah angka pertumbuhan penduduk di Indonesia tidak
homogen. Terdapat disparitas angka pertumbuhan menurut provinsi dan dalam konteks
kebijakan kependudukan, hal ini harus menjadi perhatian tersendiri. Sebagai ilustrasi,
pada umumnya angka pertumbuhan penduduk di provinsi-provinsi di Jawa lebih rendah
dibandingkan dengan provinsi lainnya di luar Jawa. Namun karena jumlah penduduk
sangat besar di Jawa, maka pertumbuhan penduduk yang rendah di wilayah ini akan
memberikan tambahan jumlah penduduk yang besar. Sebaliknya, di luar Jawa, khususnya
di Indonesia bagian timur, dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit walaupun angka

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

11

pertumbuhan penduduk lebih tinggi, kontribusi terhadap pertambahan jumlah penduduk


secara absolut juga kecil.
Dari sisi komposisi penduduk, telah terjadi perubahan yang cukup mencolok selama
periode 1971-2010. Gambar 2.2 memperlihatkan bahwa tahun 1971 bentuk piramida
penduduk Indonesia termasuk tipe ekspansif. Hal ini ditandai dengan bagian dasar
(kelompok anak-anak) yang jauh lebih lebar dibandingkan dengan usia di atasnya. Di
pihak lain bagian atas yang menunjukkan usia lansia cenderung mengecil sejalan dengan
meningkatnya umur. Bentuk ini berubah secara drastis tahun 2010. Bagian bawah, yaitu
pada kelompok 0-5 tahun, lebih rendah dibandingkan dengan usia 10-14 tahun serta
pada waktu yang bersamaan usia produktif di
tengah cembung dan kelompok lansia semakin
membesar.

Jumlah penduduk Indonesia sesuai

Penduduk Indonesia dapat dikategorikan sebagai


penduduk menengah karena memiliki umur median sebesar 27,2 tahun, yaitu pemusatan
penduduk terjadi pada kelompok umur 25-29
tahun. Pada 1971, penduduk Indonesia termasuk
dalam kategori penduduk muda dengan umur
media sebesar 18,5 tahun. Secara keseluruhan,
tahun 2010 provinsi-provinsi di Indonesia
mempunyai umur media kategori muda, kecuali
empat provinsi yang termasuk kategori tua,
yaitu DI Yogyakarta, Bali, Jawa Timur, dan Jawa
Tengah.

dengan hasil sensus 2010 adalah 237,6


juta jiwa merupakan nomor 4 dunia
setelah China, India, dan Amerika Serikat;
Laju pertumbuhan penduduk pada
periode 1970 sampai tahun 2010
memperlihatkan bahwa selama 10 tahun
terakhir, pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami stagnasi, yaitu berkisar
antara 1,4-1,5 persen per tahun; Terjadi
Perubahan rasio ketergantingan dari 86,8
(1971), 79,3 (1980), 67,8 (1990), 53,8
(2000), 51,3 (2010) jika kecenderungan
penurunan ini berlangsung terus, maka
diharapkan Indonesia akan segera
mencapai fase ketika rasio
ketergantungan mencapai titik terendah,

Per ubahan bentuk piramida ini sekaligus


yang disebut dengan
menggambarkan suatu proses demografi yang
windows of opportunity.
telah berlangsung selama hampir 40 tahun
terakhir, yaitu perubahan fertilitas, kematian. dan
mobilitas penduduk. Semakin mengecilnya
penduduk usia anak-anak menggambarkan penurunan angka fertilitas dan meningkatnya
penduduk usia lansia merupakan implikasi dari meningkatnya usia harapan hidup yang
merupakan konsekuensi dari menurunnya angka kematian. Sementara itu, secara nasional
angka migrasi tidak memengaruhi struktur penduduk secara signifikan sehingga
kelompok usia produktif yang meningkat merupakan konsekuensi logis dari baby boom
yang terjadi di masa-masa setelah kemerdekaan.
Aspek lain yang penting untuk dibahas dari sisi komposisi penduduk adalah perubahan
rasio ketergantungan. Pada 1971 tercatat rasio ketergantungan di Indonesia sangat tinggi,

12

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

yaitu 86,8. Ini berarti setiap 100 penduduk produktif menanggung 86,8 penduduk tidak
produktif yang terdiri dari lansia dan anak-anak. Angka tersebut turun menjadi 79,3
tahun 1980; 67,8 tahun 1990; 53,8 tahun 2000; dan 51,3 tahun 2010. Perubahan ini
merupakan gambaran bahwa jumlah penduduk usia produktif semakin meningkat relatif
terhadap pertambahan jumlah penduduk usia tidak produktif. Jika kecenderungan
penurunan ini berlangsung terus, maka diharapkan Indonesia akan segera mencapai
fase ketika rasio ketergantungan mencapai titik terendah, yang disebut dengan windows
of opportunity.
Sebagaimana telah dijelaskan di bagian sebelumnya, seiring dengan perubahan lingkungan
strategis sejak akhir tahun 1990-an, kebijakan kependudukan di Indonesia mengalami
kemunduran yang ditandai dengan melemahnya program keluarga berencana (KB).
Salah satu indikator melemahnya program KB dapat dilihat dari pencapaian angka peserta
KB (CPR) yang stagnan. Berdasarkan data dua SDKI terakhir (tahun 2002 dan 2007),
CPR relatif tidak berubah, yaitu sekitar 60 persen dan angka fertilitas total (TFR) sebesar
2,4 anak per perempuan. Di sisi lain angka kebutuhan kontrasepsi tidak terpenuhi (unmet
need) KB justru meningkat dari 8,6 persen (2002) menjadi 9,1 persen (2007).
Seperti halnya angka pertumbuhan penduduk, terdapat disparitas pencapaian program
KB antarprovinsi. Disparitas pencapaian program ini sangat besar yang, antara lain,
dapat ditunjukkan dari range peserta KB yang berkisar dari 40 persen (Maluku) sampai
dengan 74 persen (Bengkulu). Angka prevalensi tersebut masih didominasi oleh
pemakaian jenis kontrasepsi jangka pendek (67 persen). Hal ini diperburuk dengan
persoalan yang lain, yaitu tingginya kebutuhan kontrasepsi tidak terpenuhi KB (unmet
demand). Seperti halnya CPR, kebutuhan kontrasepsi yang tidak terpenuhi juga memiliki
kesenjangan yang cukup lebar antara provinsi yang satu dengan yang lain, yaitu antara
3,2 persen (Babel) sampai dengan 22,4 persen (Maluku) (lihat SDKI 2007). Dalam
waktu yang bersamaan disparitas juga terjadi untuk angka fertilitas total. Agka fertilitas
total antarprovinsi tercatat memiliki gap yang cukup besar, yaitu dari 1,8 per perempuan
(DIY) sampai dengan 4,2 (NTT).
Disahkannya Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga merupakan dasar untuk melakukan
revitalisasi kebijakan kependudukan di Indonesia. Dari sisi kelembagaan, UU tersebut
memberikan kesempatan yang besar untuk mengelola kebijakan kependudukan secara
memadai dengan mengubah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Di tingkat provinsi
dan kabupaten/kota, UU No. 52 Tahun 2009 mengamanatkan terbentuknya BKKBD
(Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah) di setiap provinsi dan
kabupaten/kota. Namun sampai dengan akhir tahun 2012 hanya beberapa kabupaten/
kota yang telah membentuk BKKBD dan belum ada satu pun provinsi yang

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

13

membentuknya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara nasional masalah kependudukan di
Indonesia dari aspek pengendalian kuantitas adalah adanya kecenderungan stagnasi
kinerja pembangunan kependudukan. Disamping itu, indikator kuantitas penduduk
semuanya memperlihatkan adanya disparitas antar provinsi (bahkan juga antar
kabupaten/kota). Hal ini tampaknya bersumber dari belum maksimalnya kebijakan
pengendalian pertumbuhan dan jumlah penduduk.
2.2

Kualitas Penduduk

2.2.1

Pendidikan

a. Angka Partisipasi Sekolah

Angka partisipasi sekolah usia 19-24 di wilayah


perdesaan masih jauh dari harapan, yaitu
berkisar 5,94 persen. Terdapat kesenjangan

Angka partisipasi sekolah merupakan ukuran


yang cukup besar Angka Melek Huruf antara
daya serap sistem pendidikan terhadap
laki-laki (94,79 persen) dengan perempuan
(89,97 persen). Kesenjangan Angka Melek
penduduk usia sekolah. Angka tersebut
Huruf juga terjadi antara perkotaan (96,32
memperhitungkan adanya perubahan
persen) dan perdesaan (88,33 persen).
penduduk, terutama usia muda yang masih
Sesuai data Riskesdas 2010, prevalensi gizi
sekolah. Ukuran yang banyak digunakan di
kurang dan anak pendek (stunting) yaitu
sektor pendidikan, seperti pertumbuhan
masing-masing 17,9 persen dan 35,6 persen.
jumlah murid, lebih menunjukkan perubahan
Dimana Indonesia menempati peringkat kelima
jumlah murid yang mampu ditampung di
dengan jumlah anak pendek terbanyak setelah
India, China, Nigeria, dan Pakistan.
setiap jenjang sekolah. Dengan demikian,
Data yang dirilis oleh UNDP
naiknya persentase jumlah murid tidak dapat
2011 menunjukkan bahwa Angka Harapan
diartikan sebagai semakin meningkatnya
Hidup orang Indonesia menunjukkan
partisipasi sekolah. Kenaikan tersebut dapat
peningkatan dari tahun ke tahun yaitu 57,6
pula dipengaruhi oleh semakin besarnya
(1980); 65,7 (2000); 69,4 (2011).
jumlah penduduk usia sekolah yang tidak
diimbangi dengan ditambahnya infrastruktur
sekolah serta peningkatan akses masuk
sekolah sehingga partisipasi sekolah seharusnya tidak berubah atau malah semakin
rendah.
Pada 2009, Indonesia menargetkan Angka Partisipasi Kasar (Gross Enrollment Rate)
di Sekolah Dasar (SD) sebesar 100 persen dan 96 persen pada Sekolah Menengah
Pertama (SMP) (Granado, et.al., 2007). Jika dilihat dalam Tabel 2.1, tampak bahwa dari
tahun ke tahun terjadi peningkatan, baik dalam Angka Partisipasi Murni (APM) maupun
Angka Partisipasi Kasar (APK) di tingkat SD dan SMP. Masih menurut Granado, sejak
tahun 1970, enrollment rates di Indonesia meningkat secara signifikan sebagai dampak

14

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

dari pembangunan sekolah di seluruh wilayah negeri. Peningkatan ini cukup


menggembirakan: APM SD tahun 1975 adalah sebesar 72 persen yang meningkat secara
menyeluruh. Pada 2008 APM SD telah mencapai 93,96 persen. Untuk SMP,
peningkatannya lebih mencengangkan karena sejak tahun 1970 yang angkanya masih
berkisar 18 persen, tahun 2008 telah mencapai 66,98 persen.
Tabel 2.1 Angka Partisipasi Sekolah Kasar dan Murni menurut Pendidikan 20002008

Sumber: BPS, SUSENAS.

Pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yakni SMA, tampak bahwa APM mengalami
peningkatan dari tahun 1994, yakni 33,22 persen, meningkat menjadi 39,33 persen tahun
2000 dan 43,50 persen tahun 2005 serta tahun 2010 menjadi 45,48 persen. APM untuk
perguruan tinggi juga mengalami peningkatan dari 7,92 persen tahun 1994 menjadi
7,95 persen tahun 2000, kemudian 8,71 persen tahun 2005, dan terakhir tahun 2010
meningkat pesat menjadi 11,01 persen.
Perubahan tersebut memperlihatkan bahwa peningkatan APM tertinggi tercatat di tingkat
SMP dan SMA. Sementara itu, untuk tingkat SD, karena telah mencapai angka yang
tinggi (hampir 100 persen), maka peningkatannya paling lambat.
Tabel 2.2 lebih jelas menunjukkan adanya ketidakmerataan angka partisipasi sekolah di
Indonesia. Wilayah perkotaan dalam segala kelompok umur umumnya memiliki tingkat
partisipasi sekolah lebih tinggi, baik jika dilihat dari jenis kelamin laki-laki maupun
perempuan. Perbedaan paling mencolok adalah pada kelompok usia 16-18 yang
umumnya menduduki Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada pendidikan ini, perbedaan
dapat mencapai sekitar 20 persen.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

15

Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah perdesaan lebih banyak anak tidak melanjutkan
ke pendidikan lebih tinggi karena cukup sulit mengakses SMA di wilayah perdesaan.
Pada umumnya SMA hanya terdapat di ibukota kecamatan atau ibukota kabupaten
sehingga biaya sekolah untuk transportasi dan asrama meningkat bagi siswa dari
perdesaan yang ingin melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMA. Sementara itu, untuk
partisipasi sekolah pada penduduk usia 19-24, perbedaan antara perdesaan dan perkotaan
juga cukup tinggi. Angka partisipasi sekolah untuk usia ini di wilayah perdesaan masih
jauh dari harapan, yaitu berkisar 5,94 persen. Gap antara perdesaan dan perkotaan
untuk kelompok umur ini adalah berkisar 11,76 persen.
Peningkatan yang cukup menggembirakan terhadap angka partisipasi murni (net enrollment) pada level nasional hingga mencapai 90 persen ternyata tidak terjadi secara merata.
Menurut data Susenas tahun 2005, net enrollment rate terendah untuk SD adalah Papua
sebesar 80 persen dan tertinggi adalah Kalimantan Tengah sebesar 95 persen. Untuk
SMP, Provinsi Papua masih juga masuk dalam kategori terendah sekitar 41 persen,
sedangkan tertinggi adalah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tabel 2.2 Angka Partisipasi Sekolah menurut Umur, Tipe Daerah, dan Jenis
Kelamin, 2006

Sumber: Susenas, 2006

16

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

b. Angka Melek Huruf


Menurut United Nation Development Program tahun 2005, angka melek huruf di
Indonesia menduduki urutan ke-95, yaitu sebesar 87,9 persen. Menurut data BPS tahun
2007, anak usia 10-14 tahun yang mampu membaca dan menulis huruf latin sebesar
98,2 persen, tidak banyak perbedaan yang besar antara perkotaan dan perdesaan (98,8
persen dan 97,7 persen). Sementara itu, berdasarkan data Susenas, dari tahun 2000
hingga tahun 2008, jumlah penduduk yang melek huruf mengalami peningkatan dan
rasio perempuan yang melek huruf lebih rendah daripada laki-laki, seperti yang tampak
pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Melek Huruf Dewasa di Indonesia

Sumber: BPS, 2000-2008.

Data terakhir menurut Sensus Penduduk 2010 menunjukkan angka melek huruf di
Indonesia tercatat 92,37 persen. Terdapat kesenjangan yang cukup besar antara lakilaki (94,79 persen) dengan perempuan (89,97 persen). Pada waktu yang bersamaan
kesenjangan juga masih muncul antara perkotaan (96,32 persen) dan perdesaan (88,33
persen). Kesenjangan antarprovinsi ditunjukkan dengan tingginya angka melek huruf
di DKI Jakarta (90,09 persen) dan rendahnya angka melek huruf di Papua (63,85 persen).
2.2.2. Kesehatan
a. Angka Kematian
Ada kemajuan yang konsisten pada indikator kesehatan, terutama angka kematian bayi
(AKB), angka kematian balita (U5MR), dan rasio kematian ibu (AKI). Untuk semua
indikator tersebut, telah terjadi penurunan secara signifikan meskipun masih di bawah
negara-negara Asia Tenggara lainnya. Kematian ibu menurun dari 390 per 100.000
kelahiran hidup tahun 1991 menjadi 307 per 100.000 KH tahun 2002 dan 228 per
100.000 kelahiran hidup tahun 2007. Angka kematian bayi juga menurun, dari 68 per

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

17

1000 KH tahun 1991 menjadi 35 per 1000 KH tahun 2002. Namun terjadi perlambatan
penurunan AKB, tahun 2007 AKB hanya turun 1 point menjadi 34 per 1000
KH.Sementara itu, prevalensi gizi buruk menurun dari 25,8 persen tahun 2003 menjadi
18,4 persen tahun 2007 (lihat Gambar 2.4).
Penurunan ini memang membuktikan dampak positif dari upaya pembangunan,
khususnya kesehatan anak. Akan tetapi, jika dilihat pada besarnya penurunan, ada indikasi
perlambatan penurunan pada era setelah desentralisasi. Pengurangan besarnya penurunan
terlihat dari tingkat penurunan tahunan (ARR). Sebagai contoh, ARR untuk AKB, dan
U5MR, angkanya telah turun dari tiga persen pada periode sebelum desentralisasi menjadi
satu persen setelah desentralisasi. Kondisi ini dikhawatirkan akan mengganggu
pencapaian target MDGs.
Sementara itu, angka kematian neonatal telah berkurang dari 32 per 1000 per KH tahun
1991 menjadi 19 per 1000 KH tahun 2007. Proporsi kematian neonatal jika dibandingkan
dengan kematian bayi cukup tinggi yaitu 47% tahun 1991 dan terjadi peningkatan
menjadi 57% tahun 2002. Namun tahun 2007, proporsi kematian neonatal turun menjadi
56% dari seluruh kematian bayi. Masih tingginya kematian kematian neonatal
mencerminkan dua faktor kunci: masih tingginya persalinan di rumah dan belum
optimalnya penerapan intervensi neonatal yang efektif dan tepat waktu.

Gambar 2.4. Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Balita, dan


Angka Kematian Ibu 1991-2007

Sumber: SDKI 1991, 1994, 1997, 2002/2003, 2007

18

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Selain isu perlambatan penurunan dan peningkatan proporsi, ada juga isu kesenjangan
pencapaian antar daerah (lihat Gambar 2.5). Kesenjangan terjadi antara daerah perkotaan
dan perdesaan, serta di antara berbagai status sosial ekonomi. Misalnya, angka kematian
di bawah usia 5 tahun yang berkisar 22 di DI Yogyakarta dibandingkan dengan 96 di
Sulawesi Barat. Angka kematian di bawah usia 5 tahun juga jauh lebih tinggi bagi anakanak yang tinggal di daerah perdesaan (60 kematian per 1.000 kelahiran hidup)
dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan (38 kematian per 1.000 kelahiran
hidup).
Data lainnya memperlihatkan bahwa secara nasional 46 persen kelahiran berlangsung
di fasilitas kesehatan. Pada tingkat subnasional, terdapat variasi yang sangat tajam
antardaerah dalam penggunaan fasilitas kesehatan untuk melahirkan, yaitu berkisar dari
91 persen di Bali sampi 8 persen di Sulawesi Selatan. Perbedaan yang sama juga terjadi
antar kelompok sosial ekonomi. Jika 83 persen perempuan dalam kuintil kekayaan
tertinggi melahirkan di fasilitas kesehatan, maka angka tersebut jauh lebih rendah, yaitu
hanya 14 persen bagi perempuan dalam kuintil terendah. Sementara itu, persen
perempuan dalam kuintil kekayaan tertinggi saat melahirkan mendapat bantuan dan
hanya 65 persen dari mereka dalam kuintil terendah yang mendapat bantuan.

Gambar 2.5. Angka Kematian Bayi di Indonesia

Sumber: SDKI, 2007

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

19

Gambar 2.6. Disparitas Indeks Kematian Bayi dan Kematian Balita di


Indonesia, 1991-2007

Sumber: SDKI 1991, 1994, 1997, 2002/3, 2007

Berkaitan dengan pemanfaatan fasilitas kesehatan, maka pola yang sama juga muncul.
Hal itu ditunjukkan oleh fakta yang memperlihatkan 83 persen perempuan dalam kuintil
kekayaan tertinggi dan hanya 14 persen perempuan dalam kuintil terendah, yang
memanfaatkan fasilitas kesehatan. Sementara 34 persen perempuan dalam kuintil
kekayaan tertinggi dibantu oleh dokter kandungan/ginekolog (OB/Gyn), hanya satu
persen dari mereka dalam kuintil termiskin yang dibantu oleh OB/Gyn. Jika ditarik
indeks kesenjangan dari dua indikator utama kesehatan anak serta tingkat kematian bayi
dan balita, yaitu angka kematian jelas, tampak bahwa kesenjangan meningkat dalam
sepuluh tahun terakhir.
b. Angka Gizi Buruk
Kondisi kesehatan lain yang memengaruhi kualitas penduduk adalah masih tingginya
angka gizi kurang dan gizi buruk, serta anak pendek karena ketidaksesuaian antara tinggi
badan dengan usia standar (stunting) pada balita. Pada 2007 prevalensi anak balita yang
mengalami gizi kurang dan pendek masing-masing 18,4 persen (dengan kasus gizi buruk
sebesar 5,4 persen) dan 36,8 persen sehingga Indonesia termasuk di antara 36 negara di
dunia yang memberi 90 persen kontribusi masalah gizi dunia (UN-SC on Nutrition
2008).
Walaupun tahun 2010 prevalensi gizi kurang dan pendek menurun menjadi masingmasing 17,9 persen dan 35,6 persen, masih terjadi disparitas antarprovinsi yang perlu
mendapat penanganan karena sifatnya yang spesifik di wilayah rawan pangan (Riskesdas,
2010). Indonesia menempati peringkat kelima dengan jumlah anak pendek terbanyak

20

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

setelah India, China, Nigeria, dan Pakistan. Tinggi standar anak berusia 5 tahun adalah
110 cm. Namun tinggi rata-rata anak Indonesia umur lima tahun tahun 2010 diketahui
lebih pendek 6,7 cm untuk anak laki-laki dan lebih pendek 7,3 cm pada anak perempuan.

Gambar 2.7. Tren Prevalensi Gizi Kurang dan Gizi Buruk


IndonesiaTahun 1989 2010

Sumber: UN-SC on Nutrition, 2008

Penyebab anak-anak bertubuh pendek adalah karena kurang gizi kronis sejak dalam
kandungan. Parahnya kekurangan gizi ini banyak dipengaruhi oleh faktor kemiskinan
dan kekurangtahuan orang tua sehingga anak dan ibu hamil tidak mendapat asupan gizi
sesuai kebutuhan. Kurang gizi pada ibu hamil menyebabkan 11,1 persen bayi telah lahir
dengan berat badan rendah, yaitu kurang dari 2.500 gram.
Masalah gizi sangat terkait dengan ketersediaan dan aksesibilitas pangan penduduk.
Berdasarkan data BPS, tahun 2009 jumlah penduduk sangat rawan pangan (asupan
kalori <1.400 Kkal/orang/hari) mencapai 14,47 persen. Angka ini, telah meningkat
dibandingkan dengan kondisi tahun 2008, yaitu 11,07 persen. Rendahnya aksesibilitas
pangan (kemampuan rumah tangga untuk selalu memenuhi kebutuhan pangan bagi
anggota keluarganya) mengancam penurunan konsumsi makanan yang beragam, bergizi
seimbang, dan aman di tingkat rumah tangga. Pada akhirnya ini akan berdampak pada
semakin beratnya masalah kurang gizi masyarakat, terutama pada kelompok rentan,
yaitu ibu, bayi, dan anak.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

21

c. Angka Harapan Hidup


Data yang dirilis oleh UNDP 2011 (lihat Gambar 2.8) menunjukkan bahwa Angka
Harapan Hidup penduduk Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jika
tahun 1980 usia harapan hidup Indonesia masih 57,6, maka tahun 2000 mengalami
peningkatan menjadi 65,7. Pada 2011 rata-rata harapan hidup orang Indonesia menjadi
69,4 yang berarti sedikit di bawah rata-rata dunia, yaitu 69,8 tahun, tetapi jauh di bawah
Norwegia (peringkat pertama dalam HDR 2011), yaitu 81,1 tahun.

Gambar 2.8. Angka Harapan Hidup Indonesia 19802011

Sumber: UNDP, 2011

Angka harapan hidup Indonesia telah naik sebanyak 11,8 tahun sepanjang 1980-2011
(lihat Tabel 2.3). Viet Nam tahun 1980 memiliki angka harapan hidup yang lebih rendah
dibandingkan dengan Indonesia, tetapi tampak bahwa keadaan di Indonesia tahun 2011
jauh tertinggal dibandingkan dengan angka harapan hidup Viet Nam yang mencapai
75,2 tahun. Hal ini berarti bahwa di bidang kesehatan, pencapaian pembangunan Indonesia masih belum sebaik Viet Nam. Angka Harapan Hidup ini mencerminkan kondisi
kesehatan seseorang dilihat dari asupan gizi, terhindar dari penyakit infeksi dengan
imunisasi lengkap, cara hidup yang bersih dan sehat, kualitas pelayanan kesehatan yang
baik, serta sehat mental dan perilaku.
Seperti halnya dengan indikator lainnya, terdapat kesenjangan angka harapan hidup
antarprovinsi. Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa angka harapan hidup
tertinggi tercatat di DKI Jakarta (74,7 tahun) dan terendah di Gorontalo (63,2 tahun).
Masih terdapat sembilan provinsi yang memiliki angka harapan hidup di bawah ratarata nasional.

22

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Tabel 2.3. Angka Harapan Hidup Beberapa Negara di ASEAN, 1980-2011

Sumber: www.undp/org

d. Air dan Sanitasi


Pada 1992, hanya 14,7 persen rumah tangga Indonesia memiliki akses terhadap air
minum perpipaan, tetapi tahun 2000 jumlah ini telah meningkat menjadi 19,2 persen.
Namun angka tersebut turun 14,6 persen tahun 2009. Sementara itu, jumlah rumah
tangga dengan akses nonpipa pelayanan air minum, seperti sumur dan sumber air yang
dilindungi, terus meningkat dari 38,2 persen tahun 1994 menjadi 43,4 persen tahun
2000 dan selanjutnya meningkat menjadi 54,1 persen tahun 2009. Dengan demikian,
jumlah orang yang memiliki akses ke air minum yang aman (pipa air minum dan dilindungi
nonpipa air minum) terus meningkat dari 54,4 persen tahun 1994 menjadi 68,7 persen
tahun 2009. Dari data 1994 yang mencapai 54,4 persen, target MDGs telah meningkat
menjadi 77,2 persen tahun 2009. Data inilah yang digunakan sebagai pengganti data
lainnya. Secara umum, upaya untuk mencapai target MDGs telah berada dalam jalur
yang benar.

Gambar 2.9 Persentase Rumah Tangga yang Mendapatkan Air Bersih di


Indonesia 2000-2008

Sumber: Susenas 2000-2008

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

23

Gambar 2.9 memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan persentase rumah tangga yang
memiliki akses terhadap air bersih selama periode 2001-2008. Namun tampak dengan
jelas bahwa di awal tahun 2000-an kondisinya masih belum stabil yang terlihat dari
kecenderungan penurunan selama periode 2000-2003. Kondisi membaik setelah tahun
2003 ditunjukkan oleh peningkatan persentase rumah tangga yang memiliki akses
terhadap air bersih secara konsisten.
Sehubungan dengan fasilitas sanitasi dasar, proporsi rumah tangga yang memiliki akses
terhadap fasilitas sanitasi yang layak (yang harus memenuhi kriteria menjadi keluarga
dengan jamban berventilasi dan septic tank) terus meningkat antara tahun 1995 dan
2009. Angkanya mencapai 18,2 persen tahun 1995 dan meningkat menjadi 42,5 persen
tahun 2009.
Gambar 2.10 memperlihatkan bahwa selama periode 2000-2008 jumlah rumah tangga
dengan sanitasi yang layak meningkat secara signifikan dari 33,44 persen menjadi hampir
separuh (49,54 persen). Dalam waktu yang bersamaan indeks disparitas mengalami
penurunan dari 0,33 tahun 2000 menjadi 0,22 tahun 2008. Hal ini sekaligus
menggambarkan perbaikan sanitasi rumah tangga, tetapi perlu juga dicatat bahwa masih
terdapat 50 persen rumah tangga yang belum memiliki sanitasi yang layak.

Gambar 2.10. Persentase Rumah Tangga yang Mengakses Jamban dan


Septic Tank di Indonesia 2000-2008

Sumber: Susenas 2000-2008

24

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

2.2.3. Pendapatan per Kapita


Data pada Gambar 2.11 menunjukkan bahwa GNI per kapita Indonesia menunjukkan
peningkatan yang cukup signifikan sejak tahun 2000. Hal yang sama pula terjadi dengan
kelompok negara lain di wilayah Asia Pasifik dan negara kelompok berpendapatan
rendah. Dibandingkan dengan beberapa negara berkembang di Asia Pasifik, peningkatan
yang dialami Indonesia relatif lebih lambat, tetapi tetap berada di atas negara
berpendapatan menengah rendah. Pendapatan per kapita yang meningkat ternyata belum
diimbangi dengan pemerataan. Hal ini ditandai dengan indeks gini dari 0,31 (2000)
meningkat menjadi 0,41 tahun 2011. Di pihak lain, peningkatan pendapatan per kapita
tersebut juga masih menyisakan persoalan lain yang cukup serius, yaitu jumlah penduduk
miskin yang masih sangat besar.
Gambar 2.11. Pendapatan per Kapita di Indonesia 1980-2011 (Metode Atlas, US$)

Sumber: diolah dari data Bank Dunia, 2011

Gambar 2.12. Perkembangan Jumlah dan Angka Kemiskinan di Indonesia,


2004-2011

Sumber: BPS, 2011

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

25

Indonesia mengalami fase terburuk selama Orde baru ketika terjadi krisis ekonomi
tahun 1998. Hal itu ditandai dengan angka kemiskinan yang mencapai 24,2 persen yang
meningkat dari 15,1 persen tahun 1990. Pada 2011, angka kemiskinan menurun menjadi
12,4 persen. Gambar 2.12 memperlihatkan bahwa pada periode 2004-2006 terjadi
peningkatan jumlah penduduk miskin dan juga angka kemiskinan. Pada periode
setelahnya jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinan secara konsisten mengalami
penudukan. Meskipun angka kemiskinan menurun, secara absolut jumlah penduduk
miskin sangat besar, yaitu lebih dari 30 juta orang. Hal ini menjadi isu penting dalam
program penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Tabel 2.4 memperlihatkan bahwa terdapat kesenjangan antarpulau. Sebagai konsekuensi
dari jumlah penduduk yang terkonsentrasi di Jawa, maka jumlah penduduk miskin
terbesar terdapat di Jawa kemudian disusul oleh Sumatera. Akan tetapi, jika
dibandingkan angka kemiskinan antarpulau, terlihat adanya pola yang berbeda. Jawa,
Sumatera, dan Sulawesi adalah pulau dengan angka kemiskinan yang hampir sama,
yaitu sekitar 12 persen. Kalimantan adalah pulau dengan angka kemiskinan terendah
dan Maluku bersama dengan Papua adalah pulau dengan angka kemiskinan tertinggi.

Tabel 2.4. Jumlah Penduduk Miskin dan Angka Kemiskinan Tahun 2011

Sumber: BPS, 2011

Indonesia juga berhasil menurunkan jumlah penduduk yang berpenghasilan kurang


dari USD 1 per hari (PPP). Pada 1990 tercatat jumlah penduduk yang berpenghasilan
kurang dari USD 1 per hari adalah 20,6 persen dan turun menjadi 5,9 persen tahun
2008. Sementara itu, jumlah penduduk yang berpenghasilan kurang dari USD 2 per
hari menurun dari 56,1 persen tahun 2007 menjadi 46,1 persen tahun 2010. Terlepas
dari penurunan ini, jumlah absolut penduduk yang berpenghasilan kurang dari USD 1
maupun USD 2 masih sangat besar.

26

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Berdasarkan kriteria garis kemiskinan yang digunakan jumlah penduduk miskin sangat
besar dan akan lebih besar lagi jumlahnya jika menggunakan pendekatan human capability. Banyak penduduk tidak mampu mengakses kebutuhan dan layanan dasar untuk
hidup layak. Melalui 12 program penanganan kemiskinan dengan dana yang amat besar
dari Rp18 trilliun (2000) yang meningkat menjadi Rp64,6 trilliun (2010), tetap saja
penurunan jumlah penduduk miskin relatif lambat dibandingkan dengan peningkatan
jumlah anggaran untuk penanganan kemiskinan.
2.2.4. Indeks Pembangunan Manusia
Dengan memerhatikan sejumlah indikator pembangunan kualitas manusia sebagaimana
telah dijelaskan di atas, implikasinya adalah pada nilai IPM Indonesia secara umum.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menurut data UNDP tahun 2009
menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-108 dari 169 negara. Peringkat
108 tersebut adalah termasuk kategori medium. Peringkat ini memang belum memuaskan
karena masih cukup banyak indikator pembangunan manusia yang belum mencapai
hasil sebagaimana diharapkan jika dibandingkan dengan beberapa negara lain, khususnya
negara tetangga ASEAN. Dibandingkan dengan negara ASEAN, Indonesia berada
pada urutan keenam dari 10 negara.
Peringkat tersebut mengalami penurunan tahun 2011, tetapi masih masuk dalam kategori
medium human development dan menduduki peringkat 124 dari 187 negara dengan nilai
HDI sebesar 0,617. Nilai setiap indikator dalam HDI tersebut terdiri dari angka harapan
hidup saat lahir 69,4 tahun, Adult years of schooling 5,8 tahun dan expected years of schooling
13,2 tahun; dan GNI per kapita PPP sebesar $ 3.716. Posisi Indonesia tahun 2011 ini
jauh di bawah sesama negara ASEAN: Singapura (26), Brunei Darussalam (33), Malaysia (61), Thailand (103), dan Filipina (112); serta China (101). Akan tetapi, posisi
Indonessia masih lebih tinggi dibandingkan dengan Viet Nam (128), India (134), dan
Timor Leste (147) .
Kendati peringkat menurun, tren angka indeks sesungguhnya mengalami peningkatan
secara absolut. Grafik di bawah menunjukkan bahwa IPM Indonesia tahun 1980 sebesar
0,423. Rata-rata pertumbuhan nilai HDI sebesar 1,23 persen per tahun (1980-2011).
Namun khusus rata-rata pertumbuhan HDI antara periode 2000-2011 adalah sebesar
1,17 persen per tahun. Dengan demikian, selama periode 2000-2011 nilai HDI mengalami
penurunan dibandingkan dengan periode sebelumnya.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

27

Tabel 2.5 Nilai IPM Beberapa Negara ASEAN1990-2011

Sumber: www.undp.org

2.2.5

Kondisi Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG)

Kondisi pencapaian pembangunan gender di Indonesia dari waktu ke waktu


memperlihatkan perkembangan yang semakin membaik seperti terlihat pada Grafik
2.2. Tahun 2004 IPG secara nasional sebesar 63,94, kemudian naik menjadi 65,81
tahun 2007 dan bergerak naik lagi secara perlahan hingga menjadi 67,20 tahun 2010.
Meskipun meningkat tetapi hasil yang dicapai upaya pembangunan kualitas hidup masih
menguntungkan penduduk laki-laki seperti tampak pada indikator komposit yang
digunakan untuk menilai kesenjangan gender, yaitu IPG menunjukkan angka yang lebih
rendah dibanding IPM, yaitu selama kurun waktu 2004-2010 secara nasional IPG selalu
Grafik 2.2. Perkembangan IPG Periode 2004-2010

Sumber: Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2011.

28

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

menunjukkan posisi lebih rendah dibandingkan IPM dengan rasio perbandingan antara
IPG terhadap IPM pada kisaran 93 persen. Artinya, meskipun IPG selalu meningkat
selama periode 2004-2010, tetap kesenjangan gender masih terjadi.
Komponen IPG yang mempunyai kontribusi terhadap kenaikan IPG adalah sumber
pendapatan, angka harapan hidup, angka melek huruf, dan rata-rata lama sekolah seperti
dalam grafik berikut.
Grafik 2.3. Perkembangan Komponen IPG, 2009-2010

Sumber: Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2011.

Meskipun pertumbuhan komponen IPG relatif lambat namun upaya peningkatan perlu
terus dilakukan untuk itu diperlukan program peningkatan kapasitas dasar yang mencakup
berbagai pelayanan dasar kesehatan, maupun pendidikan, termasuk kemudian akses
ekonomi yang diberikan pemerintah kepada semua penduduk, termasuk juga bidangbidang sosial lainnya agar kualitas sumberdaya perempuan semakin membaik dan pada
gilirannya kualitas hidup manusia Indonesia akan meningkat.
Pertumbuhan yang lain yang perlu diperhatikan dalam melihat KKG adalah IDG. IDG
dibentuk berdasarkan tiga komponen, yaitu keterwakilan perempuan dalam parlemen,
perempuan sebagai tenaga profesional, teknisi, kepemimpinan dan ketatalaksanaan,
dan sumbangan pendapatan.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

29

Tampak bahwa peranan perempuan dalam pengambilan keputusan tahun 2004 baru
mencapai sebesar 59,70 persen dari peranan yang dijalankan laki-laki, kemudian
meningkat menjadi 68,15 persen tahun 2010.

Grafik 2.4. Perkembangan IDG Tahun 2004-2010

Sumber: Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2011

Peranan perempuan dalam pengambilan keputusan di Indonesia yang diukur melalui


IDG memperlihatkan perkembangan yang semakin membaik namun persamaan dalam
peranan bagi perempuan lebih bermakna pemberdayaan perempuan yang mengandung
upaya peningkatan kapabilitas perempuan untuk berperan serta dalam berbagai bentuk
pengambilan keputusan serta memiliki kesempatan dalam kegiatan ekonomi secara
strategis. Berikut ini adalah kondisi terkini dari komponen IDG yang menunjukkan
kondisi yang menunjukkan peranan perempuan dalam pengambilan keputusan.
Tabel 2.6. Perkembangan Jumlah Anggota DPR RI, 1955-2009

Sumber: Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2011.

30

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Grafik 2.5. Penduduk 15 ke Atas Bekerja Sebagai Tenaga


Profesional Kepemimpinan, Administrasi,
Teknisi, 2009-2010

Sumber: Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2011

Grafik 2.6. Persentase PNS Perempuan, 2007-2010

Sumber: Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2011.

Grafik 2.7. Persentase PNS yang Menduduki Jabatan


Struktural, 2007-2010

Sumber: Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2011.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

31

2.3. Pembangunan Keluarga


Sebagian besar dari 62,3 juta keluarga Indonesia
masih belum mampu menjalankan peran dan fungsi
keluarga secara optimal, baik fungsi ekonomi,
pendidikan, maupun kesehatan. Fungsi ekonomi
diharapkan dapat mendorong keluarga agar dapat
membina kualitas kehidupan ekonomi keluarga,
sekaligus dapat bersikap realistis serta bertanggung
jawab terhadap kesejahteraan keluarga. Fungsi
pendidikan, bukan hanya berhubungan dengan
kecerdasan, melainkan juga termasuk pendidikan
emosional dan juga pendidikan spiritualnya. Fungsi
kesehatan berintikan bahwa setiap keluarga dapat
menerapkan cara hidup sehat dan mengerti tentang
kesehatan reproduksinya. Termasuk di dalamnya
adalah pemahaman tentang alat kontrasepsi maupun
pengetahuan penyiapan kehidupan berkeluarga bagi
para remaja.

Hasil pendataan keluarga tahun 2010


menemukan masih terdapat Keluarga
Sejahtera I dan prasejahtera atau
keluarga miskin sebesar 44,8%, Sesuai
dengan data penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS) Pusdatin
2009 menunjukkan fakir miskin (2,9
juta), keluarga miskin (6,9 juta),
keluarga hampir miskin/rentan (7,6
juta) dan RTLH ( 5,9 juta). Angka ini
tergolong tinggi dan perlu usaha untuk
pemberdayaan ekonomi keluarga untuk
memperbaiki kondisi tersebut. Kepala
Keluarga miskin di perkotaan cukup
banyak menggantungkan hidupnya
pada sektor pertanian (30,02 persen)
dan sebanyak 14.71 persen tidak
bekerja, di pedesaan, masih
menggantungkan hidupnya pada
pertanian (68.99 persen).

Tidak berfungsinya sistem keluarga secara baik


terutama disebabkan oleh masih banyak keluarga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, kurang sejahtera, dan kurang berketahanan
sosial. Hal ini dapat dilihat dari data berikut ini.
a. Hasil pendataan keluarga tahun 2010 menemukan masih terdapat Keluarga Sejahtera
I dan prasejahtera atau keluarga miskin sebesar 44,8 persen.
b. Data penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) Pusdatin 2009 menunjukkan
fakir miskin (2,9 juta), keluarga miskin (6,9 juta), keluarga hampir miskin/rentan
(7,6 juta) RTLH ( 5,9 juta), anak terlantar (3,2 juta), anak jalanan (83,776), WTS
(97,403).
Tabel 2.7 menunjukkan karakteristik Kepala Keluarga (KK) menurut mata pencaharian
tahun 2008. Uniknya adalah KK miskin di perkotaan cukup banyak menggantungkan
hidupnya pada sektor pertanian (30,02 persen) dan sebanyak 14.71 persen tidak bekerja.
Untuk mereka yang tinggal di pedesaan, masih menggantungkan hidupnya pada pertanian
(68,99 persen). Untuk kelompok rumah tangga tidak miskin di perkotaan, lebayankan
KK banyak bekerja (12,19 persen), tetapi 15.38 persen banyak yang tidak bekerja.
Sebaliknya rumah tangga tidak miskin di perdesaan dominan masih menggantungkan
hidupnya pada sektor pertanian 55,2 persen dan 7,91 persen yang tidak bekerja.

32

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Tabel 2.7. Karakteristik Kepala Keluarga menurut Mata Pencaharian, 2008

Sumber: Badan Pusat Statistik

Dampak dari tidak berfungsinya keluarga secara optimal adalah munculnya beberapa
permasalahan dari sisi internal maupun eksternal keluarga.
Dari sisi internal keluarga, beberapa dampak yang teridentifikasi adalah sebagai berikut.
1. Penyikapan terhadap pola berkeluarga
Sebagian keluarga belum memahami pola keluarga yang ideal sehingga
ketidakpahaman ini menghambat implementasi pola keluarga ideal.
2. Pemenuhan hak dasar keluarga
Pemenuhan hak dasar keluarga, seperti partisipasi dalam pendidikan serta akses
terhadap pelayanan kesehatan, perumahan, dan sosial, belum sepenuhnya tercapai.
3. Berkaitan dengan ketahanan keluarga
Rendahnya tingkat partisipasi keluarga terhadap penyandang masalah
kesejahteraan sosial
Adanya konflik antarkelompok di beberapa daerah
Rendahnya partisipasi keluarga untuk terlibat dalam kegiatan organisasi di
masyarakat
Rendahnya kemampuan keluarga dalam memelihara kearifan lokal dan dalam
mengelola sumber daya
Dampak eksternal keluarga yang dapat dicatat adalah sebagai berikut.
1. Daya dukung lingkungan
Pertambahan penduduk yang tidak terkendali menyebabkan daya dukung lingkungan
berkurang, seperti beralih fungsinya lahan produktif (sawah dan perkebunan) untuk
permukiman dan makin berkurangnya ketersediaan air bersih. Penduduk yang
bertambah mengakibatkan mobilitas yang tinggi dan meningkatkan jumlah alat
transportasi. Hal ini menyebabkan pencemaran udara yang akan berpengaruh pada
gangguan kesehatan. Pertambahan penduduk meningkatkan jumlah limbah rumah

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

33

tangga/industri dan sampah sehingga meningkatkan pencemaran lingkungan yang


akan menyebabkan gangguan kesehatan.
2. Penyikapan terhadap program yang prokeluarga. Kebijakan dan program pendukung
kesejahteraan keluarga yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat
belum terintegrasi dan terkoordinasi.
2.4. Persebaran dan Mobilitas Penduduk
Masalah kependudukan klasik di Indonesia, selain jumlah
penduduk yang besar, adalah persebaran penduduk yang
tidak merata, baik antarpulau, provinsi maupun antardesa
dan kota. Kesenjangan pembangunan antarwilayah
merupaan salah satu penyebab terjadinya permasalahan
persebaran penduduk. Kesenjangan tersebut akan
memengaruhi pola, arah, dan tren mobilitas penduduk.
Kecenderungannya adalah arus mobilitas penduduk
berasal dari daerah yang belum maju menuju ke daerah
yang lebih maju.

Pulau Jawa yang luasnya 6,8% dihuni


oleh 57,5% penduduk, sementara 5
Pulau lain (Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku dan Papua) yang
luasnya 89,5% dihuni oleh 37%
penduduk. Dalam konteks ini
persebaran penduduk menjadi hal
penting dalam rangka mendukung
keberhasilan MP3EI, terutama dikaitkan
dengan kualitas penduduk.
Ketidakseimbangan pembangunan
antara desa dan kota, sebagai akibat

dari urban bias policy, telah


Di pihak lain, mobilitas penduduk semakin meningkat
menyebabkan terjadinya migrasi dari
seiring dengan peningkatan sarana dan prasarana
desa ke kota yang mengakibatkan
transportasi, komunikasi, industrialisasi, dan
tingkat urbanisasi meningkat
pertumbuhan ekonomi. Beberapa faktor tersebut turut
dengan cepat.
menjadi penentu arah, arus, dan volume mobilitas
penduduk dari daerah-daerah padat penduduk, seperti
Jawa, Bali, dan NTB, ke beberapa wilayah
perkembangan ekonomi baru, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Kawasan Timur Indonesia. Hal ini seiring dengan peningkatan secara signifikan perkembangan ekonomi
wilayah Kalimantan dan Sulawesi. Namun perlu dicermati pula adanya arus balik mobilitas
penduduk dari wilayah-wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Indonesia timur ke Jawa,
khususnya kaum terpelajar dan kaya dari beberapa daerah tersebut. Di samping itu, ada
pula penurunan jumlah migrasi atau mobilitas penduduk kelas menengah ke bawah dari
Jawa ke luar Jawa akibat kebijakan-kebijakan dan kondisi daerah tujuan yang kurang
kondusif.

Data menunjukkan bahwa tahun 1970, sekitar 65 persen penduduk Indonesia tinggal di
Pulau Jawa. Hasil Sensus Penduduk tahun 1980 menunjukkan 62 persen penduduk
yang ada masih berkonsentrasi di Pulau Jawa dan untuk periode dua sensus selanjutnya
(1990 dan 2000) masih sekitar 60 persen penduduk tinggal di Pulau Jawa. Hasil Sensus
Penduduk 2010 menunjukkan sedikit penurunan, yaitu Pulau Jawa masih dihuni oleh

34

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

sekitar 58 persen penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan luas wilayah Indonesia,


Pulau Sumatera yang luasnya 25,2 persen dihuni oleh 21,3 persen penduduk, Jawa yang
luasnya 6,8 persen dihuni oleh 57,5 persen penduduk, Kalimantan yang luasnya 28,5
persen dihuni oleh 5,8 persen penduduk, Sulawesi yang luasnya 9,9 persen dihuni oleh
7,3 persen penduduk, Maluku yang luasnya 4,1 persen dihuni oleh 1,1 persen penduduk,
dan Papua yang luasnya 21,8 persen dihuni oleh 1,5 persen penduduk.

Gambar 2.13. Profil Persebaran Penduduk Tahun 1930 2010

Sumber: BPS, 2011


Keterangan:
Untuk persebaran penduduk Indonesia dari tahun 1930 2010, penduduk di Pulau Jawa mengalami
penurunan walaupun tidak terlalu signifikan (dari 69 persen menjadi 58 persen). Sementara itu,
penduduk yang berdomisili di luar Pulau Jawa mengalami kenaikan dari 39 persen menjadi 42 persen.

Gambar 1.14 dan 1.15 menunjukkan ketidakseimbangan persebaran penduduk yang


disebabkan oleh terkonsentrasinya kota-kota metropolitan dan kota-kota besar di wilayah
Jawa-Bali dan Sumatera. Hanya sedikit kota besar di luar kedua pulau besar ini, yaitu
sebagian di Kalimantan dan Sulawesi. Kota metropolitan kategori besar dengan jumlah
penduduk lebih dari 1 juta orang adalah Medan, Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Kota
metropolitan kategori kecil dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta orang adalah
Palembang, Semarang, dan hanya satu kota di Kawasan Timur Indonesia, yakni Makassar.
Wilayah Indonesia Timur biasanya hanya berada pada kategori kota sedang. Memusatnya
keberadaan kota metropolitan dan kota besar di Jawa-Bali dan Sumatera ini berdampak
pada terkonsetrasinya penduduk yang lebih besar di kedua pulau tersebut.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

35

Gambar 2.14. Peta Persebaran Kategori Kota

Sumber: Draf Rancangan Umum Pembangunan Kependudukan


Keterangan:
Kondisi Kota Metropolitan Aktual (penduduk > 1 juta) tahun 2010 adalah Medan, Jakarta, Bandung, dan Surabaya
yang digolongkan sebagai kota metropolitan besar. Kemudian kota metropolitan kecil adalah Palembang dan
Semarang.

Jumlah migran risen terus meningkat dari waktu ke waktu. Migran risen adalah penduduk
pada lima tahun terakhir mempunyai tempat tinggal yang berbeda (baik provinsi,
kabupaten atau kota). Hasil Sensus Penduduk 2010 mencatat 5,396 juta jiwa penduduk
atau 2,5 persen penduduk merupakan migran masuk risen antarprovinsi. Persentase
migran risen di daerah perkotaan tiga kali lipat lebih besar daripada migran risen di
daerah perdesaan, masing-masing sebesar 3,8 dan 1,2 persen. Menurut jenis kelamin,
jumlah migran laki-laki lebih banyak daripada migran perempuan, 2,83 juta jiwa
berbanding 2,6 juta jiwa. Seks rasio migran risen adalah 110,3. Data tersebut menunjang
teori bahwa migran lebih banyak di daerah perkotaan dan laki-laki lebih banyak
melakukan perpindahan. Beberapa provinsi merupakan daerah tujuan migran adalah
Kepulauan Riau, Papua Barat, dan DI Yogyakarta. Daerah-daerah ini mempunyai daya
tarik tersendiri bagi migran. Pada umumnya alasan utama pindahnya para migran ini
adalah karena pekerjaan, mencari pekerjaan, atau sekolah.
Seperti halnya migran risen, jumlah migran seumur hidup juga meningkat dari waktu ke
waktu. Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 mencatat 27.975.612 penduduk atau 11,8
persen penduduk merupakan migran masuk seumur hidup antarprovinsi. Persentase

36

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

migran seumur hidup di daerah perkotaan hampir tiga kali lipat daripada migran seumur
hidup di daerah perdesaan, masing-masing sebesar 17,2 dan 6,3 persen. Menurut jenis
kelamin, jumlah migran laki-laki lebih banyak daripada migran perempuan: 14.736.632
berbanding 13.238.980 orang. Rasio jenis kelamin migran seumur hidup adalah 111,3.
Data tersebut menunjang teori bahwa migran lebih banyak di daerah perkotaan dan
laki-laki lebih banyak melakukan perpindahan. Beberapa provinsi merupakan daerah
tujuan migran adalah Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur. Daerah
tersebut mempunyai daya tarik tersendiri bagi migran. Pada umumnya alasan utama
pindahnya para migran ini adalah karena pekerjaan, mencari pekerjaan, atau melanjutkan
sekolah. Indonesia mengalami peningkatan urbanisasi yang cukup pesat. Pada 1990,
urbanisasi atau daerah yang dikategorikan daerah urban masih berjumlah sekitar 30
persen, meningkat terus menjadi 42 persen tahun 2000, dan meningkat lagi menjadi 54
persen pada Sensus Penduduk tahun 2010.

Gambar 2.15. Peta Ketimpangan Populasi dan Ekonomi

Sumber: Draf Rancangan Umum Pembangunan Kependudukan


Keterangan:
Luas Pulau Jawa adalah sekitar 7 persen dari seluruh luas daratan Indonesia dan ditempati sekitar 60 persen
penduduk Indonesia (2010). Kontribusi Pulau Jawa terhadap Produk Domestik Regioal Bruto Nasional adalah 59
persen.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

37

Hubungan antara migrasi dan ketimpangan pembangunan ekonomi antarwilayah bersifat


resiprokal. Di satu pihak pola migrasi seperti yang telah disebutkan di atas menyebabkan
ketimpangan ekonomi antardaerah. Akan tetapi, ketimpangan ekonomi antarwilayah
dapat memengaruhi volume dan arah migrasi. Oleh karenanya, dalam pengelolaan
migrasi, sifat hubungan seperti ini harus menjadi perhatian.
Pola kesenjangan ekonomi wilayah di Indonesia secara umum dapat diuraikan sebagai
berikut.
1. Wilayah Jawa dan Bali
Kontribusi produk domestik regional bruto (PDRB)
nasional: 62 persen
PDRB
62,00
Pertumbuhan ekonomi: 5,89 persen
PE
5,89
Pendapatan per kapita: Rp11,27 juta
PPK
11,27
jumlah penduduk miskin: 20,19 juta jiwa (12,5 persen)
JPM
12,50
2. Wilayah Sumatera
Kontribusi produk domestik regional bruto (PDRB)
nasional: 21,55 persen
PDRB
21,55
Pertumbuhan ekonomi: 4,65 persen
PE
4,56
Pendapatan per kapita: Rp 9,80 juta
PPK
9,80
Jumlah penduduk miskin: 7,3 juta jiwa (14,4 persen)
JPM
14,40
3. Wilayah Kalimantan
Kontribusi produk domestik regional bruto (PDRB)
nasional: 8,83 persen
PDRB
8,83
Pertumbuhan ekonomi: 5,26 persen
PE
5,26
Pendapatan per kapita: Rp13,99 juta
PPK
13,99
Jumlah penduduk miskin: 1,21 juta jiwa (9 persen)
JPM
9,00
4. Wilayah Sulawesi
Kontribusi produk domestik regional bruto (PDRB)
nasional: 4,6 persen
PDRB
4,60
Pertumbuhan ekonomi: 7,72 persen
PE
7,72
Pendapatan per kapita: Rp. 4,98 juta
PPK
4,98
Jumlah penduduk miskin: 2,61 juta jiwa (17,6 persen)
JPM
17,60
5. Wilayah Papua
Kontribusi produk domestik regional bruto (PDRB)
nasional: 1,28 persen
PDRB
1,28
Pertumbuhan ekonomi: 0,6 persen
PE
0,60
Pendapatan per kapita: Rp. 8,96 juta
PPK
8,96
Jumlah penduduk miskin: 0,98 juta jiwa (36,1 persen)
JPM
0,98
6. Wilayah Maluku
Kontribusi produk domestik regional bruto (PDRB)
nasional: 0,32 persen
PDRB
0,32
Pertumbuhan ekonomi: 4,94 persen
PE
4,94
Pendapatan per kapita: Rp. 2,81 juta
PPK
2,81
Jumlah penduduk miskin: 0,49 juta jiwa (20,5 persen)
JPM
20,50

38

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

7. Wilayah Nusa Tenggara


Kontribusi produk domestik regional bruto (PDRB)
nasional: 1,42 persen
Pertumbuhan ekonomi: 3,5 persen
Pendapatan per kapita: Rp. 3,18 juta ;
Jumlah penduduk miskin: 2,17 juta jiwa (24,8 persen)

PDRB
PE
PPK
JPM

1,42
3,50
3,18
24,80

Gambar 2.16. Kesenjangan Ekonomi Wilayah di Indonesia

Sumber: Draf Rancangan Umum Pembangunan Kependudukan

Secara spasial ketimpangan ekonomi di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.16.
Data dan gambar tersebut menunjukkan bahwa Jawa dan Bali masih merupakan pusat
pertumbuhan. Kontribusi Jawa dan Bali terhadap PDB sangat dominan, yaitu hampir
dua pertiga. Pulau lain yang memiliki kontribusi terhadap PDB terbesar kedua adalah
Sumatera, yaitu sekitar 20 persen, disusul oleh Kalimantan dengan sekitar delapan persen.
Pulau-pulau lainnya memiliki kontribusi yang sangat rendah, bahkan kontribusi Maluku
kurang dari satu persen. Memerhatikan hal ini tidak aneh jika kemudian arus migrasi
cenderung ke Jawa Bali dan juga ke Sumatera.
Namun ada hal menarik yang dapat menjadi dasar dalam pengarahan mobilitas penduduk
di masa depan. Sulawesi memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi. Hal ini merupakan

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

39

potensi dan jika didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai, maka di
masa depan Sulawesi akan memiliki peran ekonomi lebih besar.
Tren mobilitas penduduk di Indonesia pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor
penting, yakni kebijakan ekonomi makro, kebijakan politik nasional, gaya hidup, dan
globalisasi. Kebijakan ekonomi makro pada era Orba (1967-1998) telah menghasilkan
pemusatan ekonomi di Jawa dan kota besarnya sehingga mendorong mobilitas desakota secara besar-besaran khusunya ke kota-kota di Jawa. Sementara itu, persebaran
penduduk melalui transmigrasi mati suri seiring dengan berakhirnya era Orba dan
digantikan era reformasi (yang menghasilkan kebijakan desentralisasi). Pengembangan
transmigrasi saat ini lebih bertumpu pada transmigrasi swakarsa dan kerja sama
antardaerah provinsi/(kabupaten/kota) yang didukung oleh kebijakan pengembangan
kawasan pusat pertumbuhan ekonomi terpadu (Kapet). Munculnya era Otonomi Daerah
dalam beberapa hal menurunkan minat dan tingkat penduduk melakukan transmigrasi
yang dicirikan oleh munculnya kebijakan di beberapa daerah yang melakukan pembatasan
migrasi masuk penduduk (atau mensyaratkan syarat yang memberatkan pendatang).
Kondisi ini mendorong semakin meningkatnya migran spontan dan migrasi keluarga.
Secara umum dapat digambarkan bahwa fenomena mobilitas penduduk di Indonesia
ditandai dengan tetap meningkatnya mobilitas antardaerah dan hanya di beberapa daerah
terjadi penurunan, peningkatan konsentrasi penduduk di perkotaan, peningkatan
mobilitas nonpermanen, peningkatan mobilitas internasional, peningkatan arus mobilitas
tenaga kerja dari luar negeri (khususnya perempuan untuk ke wilayah Asia).
2.5. Data dan Informasi Kependudukan
Dalam pembangunan kependudukan, administrasi kependudukan sebagai suatu sistem
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari adminstrasi pemerintahan dan administrasi
negara dalam rangka pemberian perlindungan terhadap hak-hak individu penduduk,
melalui pelayanan publik dalam bentuk penerbitan dokumen kependudukan (Kartu
Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Akta Catatan Sipil). Sesuai amanat Undang-Undang
No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagai landasan hukum
pelaksanaan kebijakan administrasi kependudukan dan data dasar (database)
kependudukan nasional dan terwujudnya tertib administrasi kependudukan, pada
gilirannya nanti akan dapat didayagunakan untuk kepentingan-kepentingan perumusan
kebijakan pemerintahan dan perencanaan pembangunan yang berbasis administrasi
kependudukan, sehingga akan terwujud pembangunan administrasi kependudukan yang
berkelanjutan.
Sumber data kependudukan dapat diambil dari beberapa sumber. Pertama, sensus
penduduk dengan informasi yang dikumpulkan bersifat umum, dilakukan di seluruh

40

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Indonesia, untuk semua penduduk, tidak menggunakan sampel penduduk atau sampel
wilayah, dan dilakukan setiap sepuluh tahun sekali. Kedua, survei kependudukan untuk
pengumpulan data umum dan khusus. Data kependudukan yang umum didapatkan
dari SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus) yang dilaksanakan 10 tahun sekali dan
yang khusus misalnya Sakernas untuk bidang ketenagakerjaan yang dikumpulkan dua
kali dalam setahun. Disamping itu, Indonesia juga melaksanakan Survey Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) yang terdiri dari Susenas inti untuk pengumpulan data pokok bidang
sosial ekonomi yang dilakukan sekali setahun dan Susenas Modul untuk data yang lebih
rinci atau khusus, seperti pendapatan, pengeluaran, kesehatan, pendidikan, perumahan,
lingkungan tempat tinggal, dan sosial budaya lainnya yang
dilakukan setiap tiga tahun. Di luar kedua survei ini, masih ada
yang lain, seperti SDKI serta Survei Upah dan Perjalanan dan
Data dan informasi
lain sebagainya.

kependudukan di Indonesia
belum tertata dengan baik,

Ketiga, registrasi atau pendaftaran penduduk yang dilakukan setiap


saat apabila ada perubahan status kependudukan. Dalam sistem
membangun Sistem
ini, penduduk dan/atau rumah tangga harus melaporkan
Administrasi Kependudukan
perubahan status kependudukan mulai dari RT, RW, dan dusun.
(SIAK) sebagai amanat UU No.
23 tahun 2006 telah
Apabila penduduk atau rumah tangga pasif melaporkan kepada
dilaksanakan.
petugas pencatatan dan pelaporan, akan terjadi kekurangan cacah
perubahan status kependudukan yang terjadi. Sifat pasif dalam
melaporkan perubahan status kependudukan merupakan
kelemahan utama dari pelaksanaan registrasi/pendaftaran penduduk. Secara normatif,
registrasi penduduk merupakan sumber data yang paling ideal. Hal ini didasarkan pada
karakteristik data registrasi penduduk. Pertama, dari sisi cakupan, registrasi penduduk
dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia mencaku unit administrasi terkecil, yaitu desa/
kalurahan. Hal ini memungkikan penggunaan hasil registrasi penduduk untuk
perencanaan pembangunan secara menyeluruh. Kedua, registasi penduduk dilaksanakan
secara kontinyu, sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan setiap waktu.
meskipun usaha untuk

Sebagai sumber data yang ideal, registrasi penduduk sampai dengan saat ini masih belum
dimanfaatkan secara optimal. Salah satu masalahnya adalah kualitas data yang rendah.
Sumber masalah tersebut diantaranya adalah penggunaan sistem pasif yang dalam tingkat
tetentu bersamaan dengan kurangnya kesadaran penduduk untuk melaporkan kehadian
demografis, menyebabkan data yang terkumpul underreporting. Persoalan yang perlu dicari
pemecahannya adalah membuat penduduk lebih proaktif untuk melaporkan perubahan
status kependudukan kepada petugas yang berwenang pada tingkat dusun dan desa,
bahkan RT sebagai ujung tombak pendaftaran penduduk. Memperkuat pemahaman
dalam pencatatan dan pelaporan pada lini paling bawah ini sangat penting karena
kelengkapan dan kualitas data berada pada tingkat desa. Pada tingkat desa inilah sebagian
besar daftar isian atau formulir pencatatan tersedia secara lengkap.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

41

Gambar 2.17. Data Dasar (Database) Kependudukan di Indonesia

Sumber: Draf Rancangan Umum Pembangunan Kependudukan

Data dasar (database) kependudukan adalah kumpulan berbagai jenis data kependudukan
yang tersimpan secara sistematik, terstruktur, dan saling berhubungan menggunakan
perangkat lunak, perangkat keras, dan jejaring komunikasi data. Untuk itu, diperlukan
adanya penataan administrasi kependudukan yang merupakan rangkaian kegiatan
penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui
pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi
kependudukan, serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan
sektor lain.
Untuk membangun data dasar (database) kependudukan, saat ini sedang dibangun Sistem
Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dalam kerangka administrasi
kependudukan, yang terdiri dari hal-hal berikut.
1. Sistem Pendaftaran Penduduk (Dafduk)
Pencatatan biodata penduduk per keluarga
Pencatatan atas pelaporan peristiwa kependudukan
Pendataan penduduk rentan kependudukan
Pelaporan penduduk yang tidak dapat melapor sendiri

42

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

2. Sistem Pencatatan Sipil (Capil)


Pencatatan kelahiran
Pencatatan lahir mati
Pencatatan perkawinan
Pencatatan pembatalan perkawinan
Pencatatan perceraian
Pencatatan pembatalan perceraian
Pencatatan kematian
Pencatatan pengangkatan pengesahan dan pengakuan anak
Pencatatan perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan
Pencatatan peristiwa penting
Pelaporan penduduk yang tidak dapat melapor sendiri
Hasil yang telah dicapai tahun 2010 adalah pemutakhiran data dasar (database)
kependudukan di semua kabupaten dan kota serta penerbitan Nomor Identitas
Kependudukan (NIK) di 329 kabupaten dan kota. NIK adalah nomor identitas penduduk
yang bersifat unik atau khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai
penduduk Indonesia. NIK berlaku seumur hidup dan selamanya, yang diberikan oleh
pemerintah dan diterbitkan oleh instansi pelaksana kepada setiap penduduk setelah
dilakukan pencatatan biodata. NIK dicantumkan dalam setiap dokumen kependudukan
dan dijadikan dasar penerbitan paspor, surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak,
polis asuransi, sertifikat hak atas tanah, dan penerbitan dokumen identitas penduduk
lainnya.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa masalah data dan informasi kependudukan
yang muncul di Indonesia adalah belum tertatanya administrasi kependudukan dalam
rangka membangun sistem pembangunan, pemerintahan, dan pembangunan yang
berkelanjutan. Penataan sistem penyelenggaraan administrasi kependudukan telah dimulai
sejak tahun 1960-an, tetapi hingga saat ini belum terwujud. Walaupun telah ada peraturan
tentang pengelolaan sistem informasi kependudukan, sampai saat ini belum dapat
terwujud sistem informasi kependudukan yang memadai. Masih banyaknya permasalahan
administrasi kependudukan, seperti Kartu Tanda Penduduk ganda dan kesulitan
pengurusan akta kelahiran. Selanjutnya, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya
dokumen kependudukan dan tertib administrasi pun belum memadai. Bank data sebagai
data dasar kependudukan juga belum tersedia.
Sementara itu, secara khusus beberapa permasalahan yang dihadapi terkait dengan kondisi
Administrasi Kependudukan di Indonesia adalah sebagai berikut.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

43

1). Regulasi
Regulasi Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil, baik di tingkat pusat maupun
daerah, masih belum lengkap dan memadai. Hal ini menyebabkan lembaga legislatif
sulit menyesuaikan diri dengan perkembangan TIK yang sangat pesat.
Harmonisasi regulasi antarinstansi terkait dengan pemanfaatan database
kependudukan dari pelayanan aplikasi SIAK masih perlu diintensifkan menuju
konvergensi seluruh regulasi yang saling mendukung dalam rangka tertib administrasi
kependudukan.
2). Kelembagaan
Sinkronisasi struktur organisasi dengan tupoksi
Sinkronisasi struktur organisasi dengan tupoksi masih belum optimal. Oleh karena
itu, pekerjaan setiap direktorat atau Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil
dengan tupoksinya menjadi terhambat.
Koordinasi kegiatan antarunit yang bermuara pada pencapaian visi
Kegiatan antarunit yang bermuara pada pencapaian visi belum terkoordinasi secara
baik sehingga pencapaian visi itu pun menjadi terhambat.
3). Sumber Daya Manusia
Kemampuan SDM dalam mendukung penerapan aplikasi SIAK sebagai subsistem
pengelola database kependudukan masih perlu ditingkatkan. Pemahaman SDM
terhadap sistem ini masih sangat rendah dan jumlahnya masih sedikit. Hal ini akan
berakibat terhambatnya penerapan dan pemanfaatan aplikasi SIAK.
4). Aplikasi dan Database SIAK
Penerapan aplikasi SIAK masih belum optimal karena terbatasnya kesiapan
infrastruktur.
Konsolidasi database dari kabupaten/kota kemudian ke pusat data pusat dan provinsi
masih rendah. Meskipun daerah telah mengimplementasikan SIAK, konsolidasi
data ke jenjang berikutnya (provinsi dan ke pusat) masih belum optimal.
Penerapan tata kelola IT (governance) yang mendukung tercapainya tata administrasi
kependudukan belum optimal.
Pemanfaatan database kependudukan masih mengalami kendala dan belum sesuai
harapan.
5). Nomor Induk Kependudukan dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik
Nomor Induk Kependudukan
Kondisi NIK yang ada masih belum pasti tunggal yang diindikasikan dengan masih
terdapatnya penduduk yang memiliki beberapa NIK. Walaupun NIK yang
diterbitkan adalah unik, beberapa NIK yang unik tersebut dimiliki oleh penduduk

44

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

yang sama. Hal ini karena setiap database kependudukan belum tersambung melalui
jaringan komunikasi data dan terkonsolidasi secara nasional serta belum
termanfaatkannya faktor ketiga dalam proses pemastian ketunggalan, yaitu
karakteristik yang melekat pada diri seseorang, yaitu biometri sidik jari. Apabila
NIK tunggal telah direalisasikan, maka pemanfaatan NIK tunggal sebagai kunci
akses pelayanan dapat memudahkan penduduk dalam registrasi dan transaksi, baik
untuk layanan pemerintahan maupun nonpemerintahan.
Kartu Tanda Penduduk Elektronik
Masih banyak beredar KTP palsu dan KTP ganda yang dimanfaatkan untuk halhal ilegal, terorisme, kriminal, dan pemalsuan identitas. KTP yang bersifat nasional
masih kurang dipercaya sehingga banyak kebijakan lokal maupun institusi yang
mengharuskan penduduk agar memiliki KTP di tempat penduduk tersebut
bertransaksi. Hal ini tersebut tampak dalam praktik berikut ini.
Di lapangan beberapa instansi mengharuskan penduduk memiliki KTP di tempat
kejadian transaksi walaupun orang tersebut telah memiliki KTP dari tempat asal.
Hal ini mendorong maraknya penerbitan KTP lokal, yang secara nasional akan
berakibat pada penerbitan KTP ganda. Kebijakan yang melarang kepemilikan KTP
ganda, baik untuk urusan administrasi pemerintahan maupun urusan
nonpemerintah, telah dikeluarkan. Namun permasalahan koordinasi, sosialisasi,
dan penegakan (enforcement) kebijakan dengan lembaga/instansi terkait masih
lemah sehingga praktik KTP ganda tetap berlangsung.
Potensi manipulasi data biodata penduduk tidak semua dapat terdeteksi dalam proses

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

45

verifikasi dan validasi untuk penerbitan dokumen kependudukan. Pada banyak kasus,
data invalid masih dapat dideteksi pada proses verifikasi dan validasi, tetapi sengaja
dibiarkan agar dapat menerbitkan dokumen kependudukan. Sistem verifikasi dan
validasi, serta kontrol prosedur/SOP masih dapat dimanipulasi oleh faktor manusia.
Diperlukan suatu sistem dan mekanisme verifikasi dan validasi dari otentitas jati
diri penduduk yang lebih kebal manipulasi (robust). Sistem e-KTP didesain lebih
kebal manipulasi yang disebabkan oleh faktor manusia.
KTP belum dapat dijadikan sebagai kartu identitas pemilih dalam pemilu nasional.
Kegiatan pendaftaran penduduk untuk pembuatan Daftar Pemilih Tetap (DPT)
harus melalui tahapan proses dan verifikasi sehingga hasil akhir DPT masih
menimbulkan masalah. Pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009, permasalahan
DPT menyebabkan Mahkamah Konstitusi melegalkan penggunaan KTP, dengan
syarat tambahan tertentu, pada saatsaat terakhir menjelang dilaksanakannya pemilu.
Namun hal tersebut bukanlah suatu solusi permanen. Sistem e-KTP akan lebih
mempermudah kebijakan penggunaan KTP sebagai kartu identitas pemilih.

6. Infrastruktur TIK
Kondisi infrastruktur yang tersedia di lingkungan Ditjen Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri maupun di daerah masih terbatas.
Untuk itu, perlu ditingkatkan pemerataan sarana dan prasarana infrastruktur
pendukung operasional aplikasi SIAK.

46

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

BAB Kondisi Yang Diinginkan

3.1. Kuantitas Penduduk


Dalam jangka panjang, kondisi kependudukan yang diinginkan adalah tercapainya
penduduk stabil dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Untuk mencapai kondisi ini
jumlah bayi yang lahir diharapkan sama (seimbang) dengan jumlah kematian sehingga
penduduk menjadi stasioner. Indikator pencapaian penduduk tumbuh seimbang (PTS),
adalah angka kelahiran total (TFR) sama dengan 2,1 per perempuan atau Net Reproduction Rate (Angka Reproduksi Bersih=NRR) sebesar 1 per perempuan. Dalam RPJMN,
TFR sama dengan 2,1 diperkirakan tercapai pada tahun 2015. Selanjutnya TFR
diperkiakan menurun menjadi 1,88 dan NRR menjadi 0,89 tahun 2020. Kondisi ini
akan dipertahankan terus sampai dengan tahun 2035.
Akan tetapi target tersebut berbeda dengan perkiraan yang dilakukan oleh PBB. Seperti
halnya RPJMN, diperkirakan TFR sama dengan 2,1 akan tercapai pada tahun 2015
tetapi pada periode berikutnya penurunan TFR akan melambat yaitu mencapai 1,94
pada periode 2020-2025; 1,86 pada periode 2025-2030 dan 1,85 pada periode 20302035. Oleh UN angka ini dibuat konstan sampai dengan tahun 2050. Hasil proyeksi
penduduk (sementara) yang dilakukan oleh BPS menunjukkan bahwa TFR sama dengan
2,1 juga lebih lambat dibandingkan target RPJMN.
Tabel 3.1. Proyeksi TFR 2010-2035

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

Tabel 3.1 memperlihatkan bahwa dengan skenario paling optimis TFR sama dengan
2,1 akan tercapai pada tahun 2020. Kondisi inilah yang inginj dicapai, sebab jika
memperhatikan dua skenario lainnya, pencapaian TFR sama dengan 2,1 terjadi pada
periode yang lebih lambat dan akan memiliki implikasi terhadap perubahan komposisi
penduduk menurut umur dan jenis kelamin.
GRAND
GRAND DESIGN
DESIGN
PEMBANGUNAN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
KEPENDUDUKAN
TAHUN
TAHUN 2011-2035
2011-2035

47
47

Dalam jangka panjang, kondisi


kependudukan yang diinginkan

Berdasarkan pencapaian TFR tersebut dan perkiraan IMR yang


didasarkan pada target program, maka tahun 2015 jumlah penduduk
diperkirakan akan mencapai 254,0 juta, dan tahun 2035 diperkirakan
menjadi 304,7 juta. Jika perkiraan ini menjadi kenyataan jika
pertumbuhan penduduk per tahun dapat ditekan menjadi 1,35
persen pada periode 2010-2015; 1,19 persen pada periode 20152020; 1,03 persen pada periode 2020-2025; 0,89 persen pada periode
2025-2030 dan 0,75 persen pada periode 2030-2035.

adalah tercapainya penduduk stabil


(penduduk tumbuh seimbang)
dalam jumlah yang tidak terlalu
besar. Untuk mencapai kondisi
penduduk tumbuh seimbang (PTS),
diharapkan angka kelahiran total
(TFR) akan berada pada 2,1 per
perempuan atau Net Reproduction

Rate (NRR) sebesar 1 per


perempuan tahun 2020.

Selanjutnya secara berlanjut angka


Di samping itu, dari sisi perubahan komposisi penduduk menurut
fertilitas total menjadi 2,04 pada
umur, tahun 2027 diharapkan Indonesia berada pada fase ketika
tahun 2025, 1,99 pada thun 2030
rasio ketergantungan mencapai angka terendah, yaitu kurang dari
dan 1,97 pada tahun 2035.
44,8. Pencapaian ini mirip dengan hasil perhitungan UN (lihat
Gambar 3.1), meskipun dengan rasio ketergantungan yang lebih
tinggi. Kondisi ini penting karena akan memberi kesempatan bagi Indonesia untuk
mencapai bonus demografi. Salah satu tandanya adalah dengan jumlah penduduk usia
produktif yang mencapai puncak, yaitu kira-kira 70 persen dari jumlah penduduk. Kondisi
ini merupakan kondisi yang diharapkan agar sejak sekarang dapat disusun kebijakan
untuk optimalisasi kesemapatan tersebut. Pencapaian tahap ini sangat tergantung kepada
pengelolaan pertumbuhan penduduk melalui pengendalian angka kelahiran. Jika angka
kelahiran meningkat seperti halnya indikasi yang muncul dari berbagai sumber data,
maka tahap tersebut akan tertunda atau bahkan hilang sama sekali.

Gambar 3.1 Perkembangan Rasio Ketergantungan Usia Anak-anak


(< 15 tahun); produktif (15-64 tahun), Lansia (>65
tahun) serta Rasio Ketergantungan di Indonesia
Tahun 1950-2050.

Sumber: Adioetomo, 2005.

48

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Perlu untuk dicatat bahwa kondisi ini adalah kondisi di tingkat nasional. Pada tingkat
provinsi atau kabupaten/kota, kondisinya sangat bervariasi. Bagi wilayah yang angka
TFR rendah misalnya DI Yogyakarta dan DKI Jakarta, kondisinya akan sangat berbeda
dengan NTT yang masih memiliki TFR cukup tinggi. Disamping itu, variabel lain yang
tidak kalahpentingnya adalah migrasi, karena besar dan kecilnya migrasi akan sangat
memengaruhi komposisi penduduk.
3.2. Kualitas Penduduk
Kualitas penduduk adalah kondisi penduduk dalam aspek fisik dan nonfisik yang meliputi
derajat kesehatan, pendidikan, pekerjaan, produktivitas, tingkat sosial, ketahanan,
kemandirian, kecerdasan, sebagai ukuran dasar untuk mengembangkan kemampuan
dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang bertakwa, berbudaya, berkepribadian,
berkebangsaan, dan hidup layak (UU No. 52 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 5). Pengembangan
kualitas penduduk dilakukan untuk mewujudkan manusia yang sehat jasmani dan rohani,
cerdas, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan memiliki
etos kerja yang tinggi. Untuk mewujudkan tujuan tersebut,
pembangunan kualitas penduduk difokuskan pada unsur
Angka kematian bayi pada kurun
pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
waktu 2010-2015 diharapkan akan
menjadi 23 per 1.000 kelahiran

Dari sisi pendidikan target utama adalah angka melek huruf mencapai
100 persen. Hal ini didukung oleh angka partisipasi murni (APM)
2030-2035 menjadi sekitar 12 per
untuk SD mencapai 100 persen dari 94,0 persen pada tahun 2008,
1.000 kelahiran hidup. Sejalan
meskipun sebenarnya pencapaian target tersebut dapat dilakukan
dengan menurunnya angka
pada periode sebelumnya melalui program wajib belajar. Sementara
kematian bayi, usia harapan hidup
itu APM untuk tingkat SLP mencapai 100 persen dari 66,9 tahun
juga meningkat dari
1998. Pencapaian ini cukup realistis dengan memerhatikan tren
71,4 tahun tahun 2015 menjadi
74,9 tahun tahun 2035.
selama 30 tahun terakhir yang memperlihatkan knaikan cukup
impresif. Pada 2010 APM pada tingkat SLA telah mencapai hampir
46 persen, maka pencapaian 70-80 persen tahun 2035 adalah masuk
akal. Pada 2035 APM pada jenjang perguruan tinggi diharapkan meningkat menjadi 20-25
persen dari 11 persen tahun 2010.
hidup dan terus menurun secara
berlanjut hingga pada periode

Berdasarkan target program, angka kematian bayi tahun 2015 diharapkan akan menjadi
23 per 1.000 kelahiran hidup dan terus menurun secara berlanjut hingga pada periode
2035 menjadi sekitar 14,5 per 1.000 kelahiran hidup. Sejalan dengan menurunnya angka
kematian bayi, usia harapan hidup juga meningkat menjadi dari 71,4 tahun tahun 2015
menjadi 74, 9 tahun pada 2035.
Pemerintah dalam visi 2025 menargetkan PDB mencapai 3,8-4,5 triliun dolar AS dengan
pendapatan per kapita 13.000-16.000 dolar AS dari kurang lebih 3000 dolar AS tahun

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

49

2010 dari 3500-3600 dolar AS tahun 2011. Sebagai sasaran antara, tahun 2015 ditargetkan
pendapatan per kapita akan meningkat menjadi 5500 dolar AS. Jika target ini dijadikan
dasar untuk menentukan pencapaian tahun 2035, tampaknya sulit dilakukan. Keinginan
untuk mencapai pendapatan per kapita dua kali lipat lebih tahun 2025 dibandingkan
tahun 2005 mengakibatkan angkanya tahun 2035 akan lebih besar lagi. Untuk mencapaini
perlu didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi (kurang lebih 10 persen per
tahun). Angka paling realistis adalah bahwa tahun 2035 GNI per kapita penduduk Indonesia berkisar antara 8000-9000 dolar AS (lihat pada pembahasan Roadmap).
Terdapat isu yang lebih penting dari sekedar kenaikan pendapatan per kapita, yaitu
pemerataan pendapatan. Pada 2012 Gini ratio diperkirakan berada pada kisaran 0,4,
artinya tidak berubah banyak deari kondisi terakhir tahun 2010. Angka ini harus ditekan
serendah mungkin tahun 2035 agar kesenjangan pendapatan yang merupakan salah
satu sumber kemiskinan dapat ditekan.
Wakil Presiden Boediono menyatakan bahwa tahun 2014 angka kemiskinan ditargetkan
turun menjadi 8-10 persen. Pada tahun 2011 angka kemiskinan tercatat 12,5 persen.
Artinya selama satu tahun pemerintah berupaya untuk menurunkan angka kemiskinan
sebesar 2,5-4,5 persen. Jika perkiraan ini menjadi acuan maka tidak mustahil untuk
mengharapkan tahun 2035 angka kemiskinan akan turun menjadi 5-7 persen.
3.3. Kondisi Keluarga
Terwujudmya keluarga Indonesia

Kondisi yang diinginkan melalui pembangunan keluarga adalah


yang berkualitas berdasarkan
terwujudnya keluarga Indonesia yang berkualitas, sejahtera, dan
perkawinan yang sah dan
bertakwa kepada Tuhan YME,
berketahanan sosial yang meliputi:
dalam menuju keluarga
Keluarga yang bertakwa kepada Tuhan YME, yaitu keluarga
sejahtera, sehat, maju, mandiri,
berdasarkan pernikahan yang sah menurut hukum negara
dengan jumlah anak yang ideal
Keluarga sejahtera, sehat, maju, mandiri, dan harmonis yang
dan harmonis yang berkeadilan
berkeadilan dan berkesetaraan gender dengan jumlah anak yang
dan berkestaraan gender,
ideal sesuai kemampuan keluarga tersebut
keluarga yang berketahanan
Keluarga yang berketahanan sosial, yaitu.
sosial memiliki perencanaan
sumberdaya keluarga,
- Keluarga yang memiliki perencanaan sumber daya keluarga
berwawasan
nasional,
- Keluarga berwawasan nasional, yaitu keluarga yang
berkontribusi bagi masyarakat
mengembangkan kepribadian dan budaya bangsa Indonesia
dan bangsa.
- Keluarga yang berkontribusi kepada masyarakat, yaitu keluarga
yang mampu berperan serta dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan memiliki kepedulian terhadap lingkungannya
- Keluarga yang berkontribusi kepada bangsa dan negara serta berpartisipasi dalam
kegiatan bela negara, taat membayar pajak, patuh terhadap peraturan perundangan
yang berlaku

50

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

3.4. Persebaran dan Mobilitas Penduduk


Dari aspek mobilitas penduduk, kondisi yang diinginkan adalah terjadinya persebaran
penduduk yang lebih merata ke luar Pulau Jawa sehingga konsentrasi penduduk tidak
semakin besar di Pulau Jawa yang memang sangat padat penduduk. Demikian juga
halnya dengan urbanisasi, diharapkan agar penduduk tidak berbondong-bondong datang
ke perkotaan yang pada gilirannya menimbulkan masalah baru yang tidak kalah peliknya.
Namun patut disadari bahwa urbanisasi tidak semata-mata karena perpindahan penduduk
dari desa ke kota, tetapi juga karena daerah-daerah dengan kategori urban semakin banyak
jumlahnyakarena fasilitas dan hasil pembangunan yang merata.
Kondisi persebaran penduduk yang diinginkan adalah persebaran penduduk yang merata
dan pengaturan mobilitas sesuai dengan potensi daerahnya. Tentunya yang diharapkan
adalah adanya penataan dan persebaran yang proporsial sesuai daya dukung alam dan
lingkungan. Ini berarti pemerintah harus dapat menata keberadaan penduduk melalui
perpindahan penduduk dari Pulau Jawa.

Gambar 3.2. Kondisi Persebaran Penduduk yang Diinginkan Tahun 2035

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012


Keterangan:
Kota metropolitan potensial tahun 2035 adalah
Berkembangnya kota metropolitan besar dari empat menjadi 14
Berkembangnya kota metropolitan kecil dari tiga menjadi 18 berkembangnya kota besar dari 17 menjadi 44
Kota metropolitan aktual: Medan, Palembang, Jakarta, Surabaya, dan Makassar
Kota metropolitan yang harus ditingkatkan: Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, Menado, Kupang, Ambon,
Sorong, Jayapura, dan Merauke
Kota metropolitan yang harus dikendalikan bebannya: Bandung dan Semarang

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

51

Dari segi Mobilitas, kondisi yang diinginkan adalah


mendorong urbanisasi tahun 2010/2011 (sekitar 52
persen berada di pulau Jawa) men jadi tahun 2025/
2035 (> 65 persen). Penjelasannya adalah sebagai
berikut.
Persebaran penduduk di Pulau Jawa dan luar
Pulau Jawa tahun 2010/2011 (60 persen/40
persen) menjadi kurang dari 50 persen dan lebih
dari 50 persen tahun 2025-2035.
Konsentrasi pusat pelayanan publik diubah
dengan mendorong mengalirnya penduduk
perdesaan ke perkotaan (pada metropolitan
potensial, terutama luar Pulau Jawa)
Distribusi pusat pelayanan publik diubah dan
wilayah perdesaan menjadi pusat perekonomian.

Terjadinya persebaran penduduk yang


lebih merata ke luar Pulau Jawa
sehingga konsentrasi penduduk tidak
semakin besar di Pulau Jawa yang
memang sangat padat penduduk.
Meskipun demikian pemerataan
distribusi penduduk harus dikaitkan
dengan kebutuhan SDM di masingmasing wilayah dalam rangka
mendorong terwujudnya tujuan MP3EI
dan MP3KI. Tercapainya persebaran
penduduk yang merata dan
pengaturan mobilitas harus sesuai
dengan potensi daerahnya dan yang
proporsial sesuai daya dukung alam
dan lingkungan.

Gambar 3.3. Kondisi Migrasi Internasional yang Diinginkan Tahun 2035

Sumber: Draf Rancangan Umum Pembangunan Kependudukan

52

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

3.5. Database Kependudukan


Kondisi yang diinginkan dari pembangunan data dan informasi kependudukan secara
umum dapat diuraikan sebagai berikut.
1. tersusunnya sistem survei dan pengumpulan data kependudukan yang sesuai dengan
kebutuhan kementerian terkait dan pihak swasta yang membutuhkan
2. tersusunnya sistem database kependudukan sehingga diharapkan dapat diperoleh
data dan informasi kependudukan yang andal, akurat, riil, dan dapat digunakan
sebagai bahan pengambilan keputusan secara cepat

Kondisi yang diinginkan dari


pembangunan data dan informasi
kependudukan adalah tersusunnya
sistem survei dan pengumpulan
data kependudukan yang sesuai
dengan kebutuhan instansi

Enam kategori isu-isu strategis: Regulasi dan Kebijakan, Kelembagaan,


Sumber Daya Manusia (SDM), Aplikasi Sistem Informasi Administrasi
Kependudukan (SIAK), NIK, dan Infrastruktur Teknologi Informasi
dan Komunikasi (TIK) saling terkait satu sama lain. Demikian pula
untuk prioritas pemecahan masalah dari setiap isu-isu strategis
tersebut.

pemerintah terkait dan pihak

Regulasi dan kebijakan yang berkenaan dengan kependudukan telah


ada, tetapi masih perlu penjelasan yang lebih rinci, terutama untuk
tersusunnya sistem database
kependudukan sehingga
operasionalisasi regulasi dan kebijakan tersebut di daerah-daerah.
diharapkan dapat diperoleh data
Operasionalisasi regulasi dan kebijakan tersebut harus diiringi dengan
dan informasi kependudukan yang
enforcement dan pemberian sanksi bagi yang melanggar regulasi dan
andal, akurat, riil, dan dapat
kebijakan. Di samping itu, regulasi dan kebijakan tersebut perlu secara
digunakan sebagai bahan
sistematis disosialisasikan kepada semua pemangku kepentingan yang
pengambilan keputusan
terkait dengan data kependudukan. Sosialisasi tersebut dapat berupa
secara cepat
pelatihan-pelatihan cara menerjemahkan regulasi dan kebijakan ke
dalam bentuk-bentuk yang lebih operasional dan pembuatan alur kerja
(work flow) tertib administrasi kependudukan. Pembuatan operasionalisasi alur kerja ini
akan menjamin standardisasi pelaksanaan Sistem Administrasi Kependudukan (SAK).
Regulasi dan perundang-undangan serta standardisasi ini tidak akan dapat berjalan secara
optimal jika sekiranya tidak didukung oleh kelembagaan yang baik.
swasta yang membutuhkan, dan

Kelembagaan di lingkungan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil telah tertata


dengan baik. Semua fungsi SAK dan SIAK telah terbagi ke dalam unit-unit yang adaSetiap
unit memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang terdefinisikan dengan jelas. Beberapa
unit masih perlu menyiinkronkan dan mengoordinasikan pelaksanaan tupoksinya. Di
samping itu, perlu ditetapkan indikator kinerja setiap unit agar irama kerja sama antarunit
dapat menghasilkan produk layanan yang optimal. Sementara itu, kelembagaan yang
menangani SAK dan SIAK di daerah masih beravariasi. Ada daerah yang secara jelas
dan tegas menetapkan Dinas Kependudukan untuk menangani SAK dan SIAK, tetapi
masih ada daerah yang menetapkan penanganan SAK dan SIAK ini di bawah dinas

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

53

yang lain walaupun jumlah hanya satu dua daerah saja. Untuk itu, perlu mendesakkan
adanya standardisasi struktur organisasi penanganan SAK di daerah. Struktur organisasi
yang menangani SAK dan SIAK, baik yang di pusat maupun yang di daerah, tidak akan
berjalan jika tidak didukung oleh SDM yang berkualitas.
SDM TIK yang menangani SAK dan SIAK seyogianya disusun berdasarkan hierarki
kelembagaan yang mengelola SAK dan SIAK tersebut. Setiap tingkatan pada hierarki
tersebut memerlukan kompetensi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu
ditetapkan SDM yang sesuai dengan kompetensinya pada setiap unit. SDM ini secara
terus-menerus perlu ditingkatkan kapasitasnya, baik pengetahuan maupun
keterampilannya dalam menangani SAK dan SIAK. Pelatihan untuk SDM ini perlu
dilakukan secara berkala, terjadwal, dan berkelanjutan. Terutama untuk SDM TIK
yang telah dilatih, mereka tidak boleh dimutasikan ke bidang non-TIK, tetapi perlu
disediakan jenjang karier yang jelas. Hal ini perlu dilakukan agar SDM TIK tersebut
tetap dapat merespond perubahan-perubahan infrastruktur TIK yang sangat pesat.
Aplikasi SIAK itu tersendiri terdiri dari dua modul utama, yaitu modul pendaftaran
penduduk dan modul pencatatan sipil. Setiap modul utama tersebut dibagi lagi atas
berbagai submodul yang digunakan, baik di pusat maupun di daerah. Oleh karena
itu, perlu direviu sejauh mana aplikasi SIAK diterapkan, baik yang di pusat maupun
yang di daerah. Seyogianya, aplikasi SIAK tersebut mengalir mulai dari titik layanan
kependudukan (kelurahan atau kecamatan), lanjut ke kabupaten/kota, dan pusat
serta ke provinsi. Secara proporsional dan terdistribusi, aliran aplikasi SIAK ini
harus disesuaikan dengan kondisi di daerah masing-masing. Bersamaan dengan
aplikasi SIAK tersebut, maka database kependudukan dapat dikonsolidasikan secara
bertingkat.
NIK dan KTP elektronik adalah salah satu informasi identitas dan dokumen
kependudukan sebagai keluaran dari aplikasi SIAK yang sangat penting dan
berdampak luas. NIK, selain sebagai identitas penduduk Indonesia, juga merupakan
kunci akses dalam melakukan verifikasi dan validasi data jati diri seseorang guna
mendukung pelayanan publik. Ketunggalan NIK secara efektif dimulai sejak
diterbitkannya kepada seorang menggunakan SIAK. Pada saat ini untuk menjamin
autentitas NIK hanya digunakan dua faktor, yaitu faktor yang menyatakan sesuatu
yang Anda ketahui dan faktor yang menyatakan sesuatu yang Anda miliki. Dalam rangka
memastikan ketunggalan NIK, dilakukan konsolidasi antar-database kabupaten/kota,
provinsi, dan nasional secara sistem tersambung (on-line). Pada saat bersamaan, setiap
database kependudukan kabupaten/kota dimuktakhirkan untuk membersihkan unsur
yang menjadikan NIK ganda, NIK yang tidak merepresentasikan pemiliknya, satu
NIK dimiliki oleh dua orang, dan seterusnya dengan mekanisme konsolidasi secara
on-line dan verifikasi 1: N.

54

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Dalam rangka meningkatkan ketunggalannya NIK seseorang, maka seluruh penduduk


wajib KTP akan direkam karakteristik yang melekat pada diri seseorang berupa biometri
seluruh sidik jari dan disimpan dalam server database sidik jari (AFIS). Sistem database ini
terintegrasi database SIAK sehingga seseorang wajib KTP dapat diakses biodata termasuk
NIK dan biometri sidik jarinya. KTP elektronik sebagai KTP ber-chip yang memuat
biodata, sidik jari, dan foto penduduk bersangkutan adalah upaya untuk meniadakan
kepemilikan KTP palsu dan KTP ganda, serta kurangnya kepercayaan terhadap KTP
bersifat nasional. Untuk itu, secara bertahap akan diterapkan KTP elektronik sesuai
amanat Perpres No. 26 Tahun 2009 tentang KTP Berbasis NIK Secara Nasional.
Infrastruktur TIK untuk mendukung kegiatan SAK dan SIAK akan terus berkembang
dan berubah. Sering kali perkembangan dan perubahan TIK ini tidak sejalan dengan
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki pegawai. Dapat saja pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki sekarang tidak berlaku lagi bagi TIK di masa yang akan
datang. Agar terjadi kesinambungan dalam penanganan infrastruktur TIK, maka perlu
disusun suatu tata kelola TIK (IT Governance) untuk SAK dan SIAK. Tata kelola TIK ini
menjamin TIK yang digunakan untuk SAK dan SIAK memberikan manfaat yang optimal
bagi unit-unit yang menangani administrasi kependudukan. Untuk mendapatkan manfaat
yang optimal, infrastruktur TIK, seperti server, jaringan internet, dan komputer pribadi,
perlu di-upgrade secara berkala dan berkelanjutan. Perlu dipertimbangkan untuk melakukanoutsource pengelolaan infrastruktur TIK ini agar SDM TIK yang menangani SAK dan SIAK
dapat lebih fokus pada masalah-masalah yang substantif. Oleh karena itu, perlu dijalin kerja
sama antara Ditjen Adminduk dengan penyedia jasa TIK, terutama untuk mendukung
kegiatan aplikasi SIAK agar memberikan hasil yang optimal.
3.6. Permasalahan dan Tantangan
Secara umum, sebagai mana dapat dilihat pada Bab 1, disparitas antar wilayah merupakan
permasalahan pokok di bidang kependudukan. Semua indikator kuantitas penduduk,
kualitas penduduk, pembangunan keluarga, mobilitas penduduk dan juga pembangunan
data base memperlihatkan bahwa masih ada kesenjangan antara satu wilayahdengan
wilayah yang lain. Artinya adalah bahwa di masa mendatang Indonesia dihadapkan
pada tantangan untuk memeratakan hasil-hasil pembangunan.
Penjelasan di bawah ini merupakan ilustrasi singkat mengenaipermasalahan dan tantangan
pembangunan kependudukan di Indonesia di tingkat nasional. Penjelasannya perlu
dipahami dalam konteks seperti telah disebutkan di atas yaitu permasalahan tersebut
tidak bersifat tunggal, tetapi bervariasi antar wilayah. Pendalaman lebih lanjut sangat
diperlukan untuk dijadikan dasar perumusan kebijakan.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

55

3.6.1. Kuantitas Penduduk


a. Pencapaian Bonus Demografi
Bonus demografi akan terjadi di tanah air pada kurun waktu 15 tahun ke depan atau
mulai 2025. Bonus ledakan kaum muda dan angkatan kerja produktif ini sangat krusial
jika SDM yang tumbuh tidak berkualitas. Bonus demografi terjadi apabila mayoritas
penduduk Indonesia adalah usia angkatan kerja. Penduduk yang berada di usia angkatan
kerja tersebut dapat menjadi potensi bagi Indonesia menjadi negara maju, tetapi juga
dapat menjadi bumerang apabila kualitas sumber daya manusia usia produktif itu rendah.
Modal untuk pembangunan adalah kualitas SDM.
Salah satu tanda bonus demografi adalah angka ketergantungan di bawah 50 persen,
artinya satu orang penduduk nonproduktif ditanggung oleh 1-2 orang penduduk usia
produktif. Berdasarkan kelompok umur, penduduk dapat dibedakan atas tiga kategori,
yaitu muda (0-14 tahun), menengah (15-64 tahun), dan tua (65 tahun keatas). Pada
tahun 2010, proporsi penduduk lanjut usia sebesar 5 persen dengan proporsi di daerah
perkotaan sebesar 4,3 persen dan di perdesaan sebesar 5,8 persen. Dibandingkan dengan
sensus penduduk tahun sebelumnya, proporsi penduduk lanjut usia mempunyai tren
meningkat dengan rata-rata peningkatan 0,6 persen. Peningkatan persentase penduduk
lansia dapat diinterpretasikan sebagai hasil perbaikan derajat kesehatan masyarakat,
peningkatan gizi, dan perbaikan pola hidup. Proporsi penduduk lansia di daerah
perdesaan lebih besar dibandingkan dengan perkotaan.

Grafik 3.4 . Ratio Ketergantungan 1971-2010

Data Sekunder, Diolah, 2012

56

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Pengelompokan penduduk yang terkait dengan kemampuan berproduksi secara ekonomi


dapat diklasifikasikan menjadi penduduk nonproduktif dan penduduk usia produktif.
Penduduk nonproduktif terdiri dari penduduk yang berumur 0-14 tahun dan penduduk
yang berumur 65 tahun. Kelompok penduduk usia produktif adalah penduduk yang
berumur 15-64 tahun. Angka beban ketergantungan Indonesia sebesar 51,3 persen,
yang artinya setiap 100 penduduk usia produktif menanggung sekitar 52 penduduk
nonproduktif. Hasil sensus tahun sebelumnya menunjukkan tren yang semakin menurun
yang berarti beban penduduk usia produktif semakin kecil sehingga diharapkan tingkat
kesejahteraan penduduk mengalami peningkatan. Secara umum di tingkat provinsi
menunjukkan angka rasio ketergantungan yang menurun.
Data BPS menunjukkan bahwa rasio ketergantungan penduduk Indonesia tahun 2010
adalah 51,33 persen. Sekitar 80 juta penduduk usia tidak produktif di Indonesia
bergantung pada sekitar 157 juta penduduk pada usia produktif (1564 tahun). Angka
tersebut sangat berbeda dibandingkan dengan rasio ketergantungan penduduk sebelum
penerapan program Keluarga Berencana tahun 1970 yang sekitar 80 persen.
Grafik 3.5 . Rasio Ketergantungan menurut Provinsi

Data Sekunder, Diolah, 2012

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

57

Rasio ketergantungan penduduk antarprovinsi di Indonesia ternyata tidak merata karena


hampir setengah dari 33 provinsi di Indonesia memiliki rasio ketergantungan penduduk
di bawah rata-rata nasional. Rasio ketergantungan provinsi masih timpang dengan adanya
rasio tertinggi di Nusa Tenggara Timur sebesar 73,23 persen dan rasio terendah di
DKI Jakarta sebesar 36,95 persen. Pemerintah dapat memanfaatkan mobilitas penduduk
untuk meratakan angka ketergantungan penduduk antarprovinsi di Indonesia.
Dengan adanya kebijakan tersebut, penduduk usia produktif dari provinsi lain disediakan
untuk menunjang pertumbuhan ekonomi di wilayah dengan rasio ketergantungan
penduduk yang tinggi.
Beban ketergantungan merupakan indikator yang tidak hanya ditentukan oleh jumlah
penduduk muda, tetapi juga ditentukan oleh jumlah penduduk tua. Peningkatan derajat
kesehatan yang sangat memadai pada titik tertentu akan berdampak pada membesarnya
kelompok ini yang secara langsung akan meningkatkan angka bebean ketergantungan
penduduk usia produktif. Dengan kata lain, seiring dengan perjalanan waktu beban
ketergantungan tidak ditentukan oleh besarnya angka kelahiran, tetapi dengan
meningkatnya derajat kesehatan.
Lansia yang panjang umur, sehat, dan tidak tergantung merupakan langkah yang harus
dipersiapkan untuk menjemput penduduk tua. Penurunan kualitas fisik dan psikis
lansia dapat disikapi secara bijak sehingga kelemahan yang ada dapat dimanfaatkan
menjadi suatu modal pembangunan.
Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam membicarakan bonus demografi adalah kualitas
penduduk usia dewasa atau produktif. Menyiapkan generasi muda yang berkualitas
dari aspek pendidikan dan kesehatan merupakan modal utama untuk membekali generasi
muda melakukan kompetisi mendapatkan pasar kerja yang lebih berkualitas.
Pengangguran terdidik dan peningkatan angkatan kerja perempuan di satu sisi, sedangkan
di sisi yang lain lapangan pekerjaan yang semakin terbatas merupakan tantangan tersendiri
bidang ketenagakerjaan. Satu hal yang perlu disikapi adalah besarnya jumlah penduduk
usia kerja yang kemudian disebut dengan bonus demografi benar-benar merupakan
jendela kesempatan di bidang ekonomi, bukan sebaliknya sebagai petaka yang menyertai
ledakan penduduk usia kerja ini.
b. Pengaturan angka kelahiran
Pencapaian bonus demografi sangat tergantung kepada usaha pengaturan fertilitas.
Memerhatikan kecederungan perubahan angka fertilitas, baik dari hasil sensus penduduk
maupun SDKI, tantangan terbesar di bidang kuantitas penduduk adalah tetap

58

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

mempertahankan penurunan angka fertilitas sehingga dicapai angka replacement level


yaitu TFR sama dengan 2,1 per perempuan. Target yang dicanangkan dalam RPJMN,
yaitu TFR sama dengan 2,1 diharapkan tercapai tahun 2015 dan jika kemudian
kecenderungan penurunan TFR berlanjut terus maka pencapaian angka ketergantungan
paling rendah akan dicapai tahun 2030. Akan tetapi memerhatikan TFR yang cenderung
stagnan, atau bahkan meningkat, tampaknya Indonesia akan mengalami masalah yang
cukup serius. Oleh karena itu tantangan ke depan adalah bagaimana TFR dapat
diturunkan secara konsisiten sehingga mencapai 2,1 tahun 2020.
Tampaknya kondisi tersebut berkaitan dengan menurunnya kinerja program keluarga
berencana (KB), khususnya sejak krisis ekonomi di akhir tahun 1990an. Ada indikasi
bahwa CPR cenderung stagnan dan unmet demand meningkat. Jika penurunan fertilitas
menjadi salah satu tujuan kebijakan kependudukan di bidang kuantitas penduduk, maka
revitalisasi program keluarga berencana menjadi tantangan di tahun-tahun mendatang.
Dalam konteks ini ada empat tantangan utama yang perlu diperhatikan, yaitu bagaimana
mengembangkan aspek kelembagaan sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 52 tahun
2009; mengembangkan komitmen politik dalam bidang KB di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota; mengubah orientasi program keluarga berencana dari supply ke demand driven; serta bagaimana meningkatkan akes dan kualitas pelayanan KB dan
kesehatan reproduski, khsusunya bagi kelompok miskin.
3.6.2. Kualitas Penduduk
a. Pendidikan
Salah satu masalah penting pendidikan di Indonesia adalah masih rendahnya partisipasi
murni di tingkat SLA dan perguruan tinggi. Untuk tingkat SD sudah hampir 95 persen
dan SLP hampir 70 persen. Dengan program wajib belajar 12 tahun tampaknya masalah
tersebut akan segera teratasi. Akan tetapi jika di lihat di tingkat SLA dan PT maka
terlihat bahwa angkanya masih relatif rendah. Hal ini menggambarkan rendahnya akses
penduduk untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SLA dan PT. Akses penduduk
dapat dilihat dari dua sisi, yaitu akses ekonomi dan akses fisik. Keterbatasan akses secara
ekonomi terutama terjadi pada penduduk miskin yang tidak mampu membeayai
pendidikan di jenjang SLA dan PT. Keterbatasan akses dari sisi fisik mengacu kepada
keterbatasan sarana dan prasarana serta kondisi geografis.
Sementara itu, dilihat dari rata-rata tahun sekolah (mean years of schooling) Indonesia
tergolong masing rendah dibandingkan dengan negara tetangga. Kondisi ini merupakan
indikasi besarnya jumlah murid yang drop out dari pendidikan SD atau SLP. Sekali lagi
hal ini terkait dengan persoalan alkses terutama akses ekonomi.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

59

Pendidikan Indonesia juga berhadapan dengan tantangan untuk meningkatkan


kompetensi dan kompetisi penduduk. Berhadapan dengan globalisasi peningkatan daya
kompetensi dan kompetisi menjadi salah satu kunci. Hal ini sekaligus untuk mendukung
pencapaian tujuan pembangunan sebagaimana tertuang dalam MP3EI.
b. Kesehatan
1. Perilaku Kesehatan
Salah satu tantangan terbesar di bidang kesehatan adalah berkaitan dengan perilaku
kesehatan. Kesadaran penduduk untuk berperlaku sehat masih rendah.
2. Kesehatan Lingkungan
Tantangan dalam bidang ini menyangku kondisi lingkungan fisik dan biologis yang
belum memadai
3. Pelayanan Kesehatan
Paling tidak ada dua tantangan yang perlu diperhatikan. Pertama adalah berkaitan
dengan masih rendahnya akses penduduk terhadap pelayanan kesehatan, khusunya
bagi penduduk miskin. Akses terhadap pelayanan dapat dibagi menjadi dua yaitu
akses dari sisi fisik yang terkaitdengan kondisi geografis yang tidak menguntungkan.
Kedua, adalah akses penduduk yang rendah karena kemampuan ekonomi yang
tidak memadai. Hal ini terkait dengan ketersediaan dan distribusi pelayanan
kesehatan. Kedua adalah kualitas pelayanan kesehatan. Kualitas pelayanan kesehatan
yang baik belum merata di seluruh wilayanh Indonesia sehingga belum semua
penduduk dapat menikmati pelayanan yang prima. Sumbernya adalah masih
terbatasnya tenaga kesehatan yang profesional serta distribusi tenaga kesehatan
yang timpang.
4. Status Gizi
Selama periode 1989-2010, persentase penduduk dengan status gizi kurang dan
buruk menurun secara signifikan. Akan tetapi, untuk status gizi buruk angkanya
cenderung fluktuatif dan penurunan selama periode tersebut relatif rendah. Dengan
kata lain Indonesia masih berhadapan dengan masalah gizi buruk dan hal ini erat
kaitannya dengan persoalan kemiskinan.
5. Perubahan Pola Penyakit
Di bidang penanggulangan penyakit, saat ini Indonesia berada di persimpangan
jalan. Penanganan dan penanggulangan penyakit yang mudah diberantas dan murah
biayanya belum sampai tuntas dilakukan telah muncul berbagai tipe penyakit yang
sulit diberantas dan memerlukan biaya sangat mahal. Transisi epidemiologi tidak
berjalan sebagaimana mestinya karena munculnya penyakit degeneratif masih diikuti
tingginya insiden penyakit infeksi. Hal ini menjadi tantangan tersendiri sebab angka
kematian bayi pada umumnya berkaitan dengan penyakit infeksi, sedangkan kematian

60

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

penduduk usia dewasa pada umumnya disebabkan karena oleh penyakit degeneratif.
Persoalan yang menyangkut penentuan skala prioritas menjadi problematik.
c. Ekonomi
1. Kesempatan Kerja dan Pengangguran
Jumlah penduduk tahun 1971 sekitar 118,3 juta dan meningkat menjadi 237,6 juta
tahun 2010. Angka pertumbuhan penduduk periode 1971-1980 adalah 2,32 persen
per tahun dan menurun menjadi 1,49 persen per tahun pada periode 2000-2010.
Persebaran penduduk antara Jawa dan Luar Jawa sangat timpang. Pada 1971 sekitar
64,2 persen penduduk bertempat tinggal di Jawa dan menurun menjadi 59,1 persen
tahun 2010. Ketimpangan ini menyebabkan terkurasnya sumber daya alam atau
daya dukung lingkungan di Jawa. Sebaliknya, sumber daya alam yang ada di Luar
Jawa kurang dimanfaatkan secara optimal karena kekurangan sumber daya manusia.
Dilihat menurut struktur umur, terutama usia 0-14, dari sekitar 25,4 persen atau
63,0 juta tahun 2015 akan terjadi penurunan menjadi 18,9 persen atau 56,6 juta
tahun 2035. Penduduk usia kerja (15+) tahun 2015 hanya sekitar 74,6 persen atau
185,2 juta dan akan meningkat menjadi 81,1 persen atau 243,0 juta tahun 2035.
Dengan menggunakan TPAK 69,2 persen (Sakernas, 2011), maka jumlah angkatan
kerja yang tahun 2015 mencapai sekitar 128,1 juta akan bertambah menjadi 168,2
juta tahun 2035. Apabila angka pengangguran terbuka hanya sekitar 6,7 persen dan
angka setengah pengangguran hanya 29,5 persen, maka jumlah pengangguran
terbuka sekitar 8,6 juta meningkat menjadi 11,3 juta tahun 2035. Kemudian pekerja
setengah penganggur meningkat dari 37,8 juta tahun 2015 menjadi 49,6 juta tahun
2035. Apabila pemerintah dan swasta nasional berhasil memperluas kesempatan
kerja sebanyak 50 persen hingga 2035, maka jumlah pengangguran terbuka dan
pekerja setengah penganggur masih sekitar 30 juta penduduk. Hal ini merupakan
pekerjaan yang berat, tetapi harus dilakukan untuk menciptakan kesempatan kerja
yang baru.
Tantangannya adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan
kesempatan kerja yang memadai bagi angkatan kerja baru. Setiap tahun pertambahan
jumlah angkatan kerja diperkirakan 2 juta sehingga untuk mempertahankan jumlah
pengangguran terbuka pada angka yang sama dengan tahun sebelumnya ada tuntutan
penambahan kesempatan kerja dalam yang sama. Jika targetnya adalah penurunan
jumlah pengangguran terbuka, maka kesempatan kerja yang diciptakan harus lebih
besar dari pada jumlah angkatan kerja baru.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

61

Tabel 3.2 Persentase Pengangguran Terbuka*) menurut Pendidikan Tertinggi yang


Ditamatkan 2007-2010

Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2004 - 2011


Keterangan:
*) mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, sudah punya pekerjaan,
tetapi belum mulai bekerja

Permasalahan lain yang dihadapi Indonesia adalah bahwa ternyata pertumbuhan ekonomi
yang relatif stabil tinggi diikuti oleh peningkatan kesenjangan. Salahsatu indikatornya
adalah kenaikan gini rasio. Sejak tahun 2007 hingga 2011 angka gini rasio meningkat
dari 0,33 menjadi 0,41. Ketimpangan pendapatan adalah salah satu faktor pentig yang
menyebabkan munculnya kemiskinan. Disamping itu, ketimpangan merupakan sumber
dariinstabilitas sosial dan politik, sehingga tantangannya adalah bagaimana tetap menjaga
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dalam waktu yang bersamaan menurunkan
ketimpangan.
2. Kemiskinan
Karakteristik rumah tangga atau penduduk miskin, antara lain, berada pada keadaan
4L, yaitu the last, the least, the lowest, dan the lost atau mereka yang tercecer di belakang.
Menurut Bappenas (2007), batasan kemiskinan adalah sekelompok orang atau seseorang
yang tidak mampu memenuhi hak-hak dasar untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermanfaat. Hak-hak dasar, antara lain, adalah
terpenuhi kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan dan air
bersih, merasa aman dari tindak kekerasan, serta mempunyai hak berpartisipasi dalam
kehidupan sosial politik. Konsep operasional kemiskinan model Bappenas tersebut
sebagian sulit diukur sehingga perhitungan kemiskinan yang digunakan adalah dengan
pendekatan makro dan dilakukan oleh BPS dengan data sampel dari Susenas modul
konsumsi. Hasil perhitungan menyajikan jumlah dan persentase penduduk miskin serta
tidak dapat menunjukkan siapa dan lokasi penduduk miskin. Metode ini dilakukan sejak
1984 sampai sekarang. Perkembangan persentase dan jumlah penduduk miskin di Indonesia tersajikan pada tabel berikut.

62

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Tabel 3.3 Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin di Indonesia menurut Daerah
Tahun 1998-2011

Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Naisonal (Susenas)

Gambar 3.5. Pertumbuhan dan Ketimpangan Ekonomi di Indonesia

Sumber: BPS

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

63

Persoalan kemiskinan tidak lepas dari ketimpangan pendapatan antargolongan di Indonesia yang diukur dari rasio Gini. Data menunjukkan bahwa rasio Gini setelah tahun
2006 mengalami peningkatan, sebaliknya pertumbuhan ekonomi setelah tahun 2007
hingga 2009 mengalami penurunan. Data lain menunjukkan bahwa secara nasional
penurunan rasio Gini hanya terjadi di perkotaan dari 0,362 menjadi 0,352, sedangkan di
perdesaan justru meningkat menjadi 0,297 dari 0,288.
3. Ketahanan Pangan
Pembahasan kebutuhan dasar makanan dan minuman mencakup satu dari 52
komoditas saja, yaitu beras. Kebutuhan pangan beras dihitung berdasarkan
Kebutuhan Hidup Pantas (KHP), yaitu 10 kg beras per kapita per bulan atau 120
kg beras per kapita per tahun. Pada 2011 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan
telah mencapai 242 juta, tahun 2015 sekitar 257,3 juta, dan tahun 2035 minimal
telah menjadi 307,2 juta. Menggunakan kriteria di atas, maka kebutuhan pangan
beras sekitar 2.575 juta kg per bulan atau 30.900 juta kg per tahun. Jumlah ini akan
meningkat menjadi 308,2 juta kg per tahun atau 36.984 juta kg per tahun. Ini baru
kebutuhan pangan beras, belum termasuk kacang, kedelai, jagung, gula, garam,
ikan, daging, dan lain-lain. Persediaan beras sebagai pangan nasional menurun terus
akibat dari berbagai hal, seperti penyusutan lahan pertanian pangan menjadi
peruntukan nonpangan, gagal panen karena hama dan penyakit, serta musim
kemarau yang panjang. Solusi paling mudah adalah mengimpor beras yang banyak
menguras devisa negara. Jika pengendalian jumlah penduduk gagal, maka jumlah
beras itulah yang akan muncul.
Kebijakan penciptaan tanah pertanian pangan yang baru di Jawa-Madura sangat
sulit dilakukan dan yang terjadi adalah alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi
tempat tinggal, industri, dan jasa. Memperlambat cepatnya penyusutan lahan
pertanian dalam jangka panjang sampai 2035 agaknya sulit dilakukan, tetapi ini
harus dilakukan. Penciptaan lahan pertanian baru di luar Jawa adalah pilihan utama
sambil mempelajari kegagalan pencetakan lahan pertanian sejuta hektar di
Kalimantan. Pemberian subsidi input pertanian juga diperlukan, utamanya dalam
bentuk pupuk, bibit unggul lokal, pestisida, dan infrastruktur irigasi teknis. Perlu
juga dilakukan perluasan kesempatan kerja di luar sektor pertanian dan
pemberdayaan upah sekaligus mengerem urbanisasi desa-kota. Apabila beberapa
hal tersebut gagal dilaksanakan, ada kemungkinan Indonesia akan tetap menjadi
pengimpor produk pertanian terbesar di dunia. Hal yang sama juga terjadi dalam
hal negara pengimpor garam yang cukup besar jumlahnya, padahal Indonesia adalah
negara dengan garis pantai terpanjang di dunia

64

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

3.6.3. Persebaran dan Mobilitas Penduduk


Salah satu tantangan pembangunan kependudukan yang perlu memperoleh perhatian
serius adalah persebaran penduduk. Hal ini perlu memperoleh perhatian karena masalah
persebaran penduduk tidak hanya masalah kependudukan, tetapi terkait dengan
pembangunan pada umumnya. Dari sisi pembangunan ekonomi, distribusi penduduk
erat kaitannya dengan kesenjangan wilayah. Daerah padat penduduk merupakan daerah
yang secara ekonomi maju, sebaliknya daerah yang tidak padat penduduk adalah
daerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan. Dalam konteks ini, dikotomi
Jawa+Bali dengan Luar Jawa Bali dan/atau kota dengan desa merupakan representasi
dari perbandingan antara daerah maju dengan yang belum atau tidak maju.
Tantangan ke depan adalah membuat suatu wilayah di satu pihak tidak menanggung
beban terlalu besar karena menjadi tempat akumulasi penduduk dan pada saat yang
sama ada wilayah lain yang tidak mampu melakukan optimalisasi pemanfaat sumber
daya alam karena kekurangan syumber daya manusia. Hal ini menjadi lebih penting
ketika dikaitkan dengan MP3EI ketika setiap koridor yang telah ditetapkan berkembang
dengan dukungan sumber daya manusia yang memadai.
Dalam konteks mobilitas penduduk di Indonesia dewasa ini, terdapat beragam tantangan
yang perlu menjadi perhatian, yakni transmigrasi, urbanisasi, migrasi tenaga kerja TKI/
TKW, IDPs, pencari suaka ilegal, resettlement, dan lain-lain. Tiga kecenderungan migrasi
di Indonesia sejak tahun 2000 adalah sebagai berikut.
Pertama adalah mobilitas akibat globalisasi. Migran masuk dengan kualifikasi tenaga
ahli dari luar negeri dan diiringi dengan migrasi tenaga kerja dengan keterampilan
rendah ke luar negeri mengalami peningkatan.
Kedua adalah proses akselerasi, yakni pertumbuhan pesat suatu daerah akibat proses
migrasi (dengan beragam alasan), sebagai contoh adalah Kota Jakarta, Balikpapan,
dan Batam.
Ketiga adalah proses feminisasi, yakni meningkatnya jumlah migran perempuan
yang akhirnya menjadi mayoritas di berbagai tingkatan dan kawasan. Feminisasi
pada proses mobilitas penduduk terjadi pada mobilitas internasional oleh tenaga
migran TKW/TKI migran. Sebagian besar mereka masih bekerja pada sektor informal, seperti sebagai pembantu rumah tangga dan beberapa pekerjaan rendahan.
Beberapa tahun terakhir mulai muncul pekerja migran yang masuk ke sektor formal sebagai perawat.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

65

Tabel 3.4. Kondisi Migrasi Internasional Tahun 2007-2009

Sumber: Bappenas, Badan Pusat statistik

Bentuk mobilitas lain yang cukup mengemuka dalam satu dasawarsa terakhir di Indonesia adalah pengungsian (displacement) akibat bencana alam, konflik sosial, kerusuhan
lokal, serta intervensi-investasi ekonomi yang akhirnya mendorong sebagian penduduk
terusir dari tanah kelahiran dan tempat tinggalnya lalu terpaksa untuk pindah ke tempat
lain. Dalam konteks di Indonesia, fenomena pengungsian terjadi secara besar-besaran
terkait dengan berbagai konflik sosial dan politik. Sementara itu, perpindahan terpaksa
akibat konflik laten antarelemen masyarakat pada satu dasawarsa terakhir akibat
munculnya sentimen antipendatang di beberapa wilayah Indonesia yang semakin
mengemuka.
Pengungsi dalam negeri atau Internally Displaced Oersons (IDPs) dalam satu dasawarsa
terakhir semakin meningkat dengan berbagai alasan. Perlu adanya kebijakan nasional
maupun lokal yang kondusif bagi seluruh penduduk sehingga mengurangi bias
kepentingan lokal, etnis, dan kelompok. Konflik lokal yang marak dalam beberapa
tahun terakhir harus mampu dikelola dengan baik dan dicarikan solusi dalam kerangka
kepentingan nasional. Apabila negara gagal melakukan hal ini, maka tidak dapat dihindari
terjadinya mobilitas penduduk dari penduduk nonlokal yang meninggalkan daerah
nonasal etnis, meninggalkan daerah mayoritas religi akibat adanya diskriminasi kelompok
minoritas, dan proses-proses reclaiming kelompok masyarakat atas aset tanah kelompok
masyarakat yang lain (pendatang). Hal yang sangat khas Indonesia adalah pada saat ini
fenomena IDPs (sukarela maupun terpaksa) belum dianggap sebagai masalah penting.
Belum muncul kebijakan maupun aksi nyata untuk menangani penduduk terusir ini,
baik pada tingkatan nasional maupun lokal. Pada kenyataannya, masalah ini sebenarnya
semakin meningkat dalam satu dasawarsa terakhir seiring dengan menguatnya isu
kedaerahan dalam kebijakan politik saat ini.

66

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Konflik di berbagai tempat merupakan tantangan yang tidak dapat diabaikan. Dalam
konteks IDPs, kebijakan mobilitas penduduk harus mampu menjadi bagian dari
penyelesaian masalah terebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik yang terjadi di
berbagai tempat merupakan ekses dari mobilitas penduduk yang tidak dikelola secara
baik. Konflik berdarah yang terjadi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir telah
menyebabkan tidak kurang dari 1,2 juta manusia yang tersebar di 20 provinsi harus
mengungsi di negara sendiri. Meskipun telah ada strategi penanganan pengungsi yang
mencakup normalisasi, relokasi, dan pemberdayaan, penanganan pengungsi belum
menunjukkan kemajuan yang signifikan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa beberapa dampak dan masalah yang timbul
dari mobilitas kependudukan adalah sebagai berikut.
Fenomena dan Dampak Migrasi Internal
1. Migrasi Sirkuler (commuting)
Peningkatan secara eksponensial jumlah kendaraan bermotor mengakibatkan
peningkatan kemampuan jarak tempuh > 50 km per hari dari desa ke kota.
Paling tidak ada seorang anggota dari 25 persen rumah tangga perdesaan
melakukan ulang-alik desa-kota-desa.
Sulitnya memperoleh pekerjaan/mengembangkan usaha di perdesaan
mengakibatkan ulang-alik dan bekerja/berusaha di sektor informal di perkotaan.
Jumlah wilayah perkotaan yang terbatas, utamanya di Jawa, dengan infrastruktur
dan pelayanan yang tidak memadai serta penegakan hukum yang lemah
menyebabkan kekumuhan perkotaan dan kemacetan lalu lintas.
2. Migrasi Musiman (temporary)
Terbukanya lapangan kerja berbasis usaha migas dan berbasis pertanian/kehutanan
di luar Jawa (wilayah perdesaan) yang tanpa keberpihakan kepada masyarakat
setempat telah menarik penduduk luar wilayah tersebut bermigrasi masuk secara
musiman.
Buruknya konektivitas antarwilayah mengakibatkan masuknya penduduk yang
berketerampilan tinggi, cukup pengalaman, dan cukup modal sehingga memicu
disparitas di perdesaan.
Secara nasional terjadi disparitas tingkat upah dan pengangguran antarwilayah,
padahal aliran informasi antarwilayah cukup memadai sehingga berpotensi
terjadinya kecemburuan sosial.
Migrasi internal yang lebih spesifik di Indonesia adalah transmigrasi yang telah dikenal
sejak zaman kolonisasi sampai otonomi daerah. Cukup banyak lokasi penempatan
transmigrasi dari Jawa-Madura dan Bali yang telah berkembang pesat dan daerah tersebut

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

67

menjadi kabupaten/kota, seperti di Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Riau, dan


Sumatera Utara. Demikian pula yang terjadi di semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi,
dan kawasan timur Indonesia. Persoalan utama yang tidak pernah terselesaikan adalah
tanah garapan (pekarangan, ladang, dan sawah) untuk jaminan kegiatan ekonomi rumah
tangga migran internal termasuk di dalamnya pelayanan kebutuhan dasar.
Sejak otonomi daerah diberlakukan, kerja sama dalam penerimaan dan pengiriman
antardaerah pengirim dan penerima lebih diintensifkan dalam arti calon transmigran
diberi kesempatan untuk datang dan melihat lokasi yang akan ditempati. Termasuk pula
daerah pemerima harus menyiapkan calon transmigran lokal (translok) dari penduduk
setempat atau dari sekitar lokasi penempatan transmigrasi. Dengan demikian, proses
asimilasi antara pendatang dan penduduk lokal dapat segera tercapai dan sekaligus
menghilangkan prasangka buruk di antara kedua kelompok tersebut.
Model translok dengan menyisipkan ke dalam transmigrasi umum dalam beberapa hal
dapat mengurangi aspek negatif atau saling curiga. Tidak hanya itu, tanah yang disiapkan
untuk transmigrasi tidak sekadar diklaimkan sebagai tanah ulayat yang tidak dapat
diberikan pada transmigran umum. Pembangunan sarana prasarana pelayanan kebutuhan
dasar tidak hanya terbatas pada lokasi penempatan transmigrasi, tetapi terkondisi dengan
daerah-daerah pinggirannya. Studi banding untuk translok, bahkan sering didampingi
oleh pemerintah daerah Jawa Bali.
Fenomena dan Dampak Migrasi Internasional
Belum semua profesi pekerjaan berstandar kompetensi internasional sehingga
kesempatan kerja di pasar kerja internasional tidak termanfaatkannya secara optimal.
Hanya pekerjaan D3 (dirty-dark-dangerous) di pasar kerja internasional yang dapat
dimanfaatkan oleh TKI nonprofesional. Hal ini melemahkan perlindungan bagi
tenaga kerja. Investasi asing yang mengalir tanpa batas dan dikuti dengan kehadiran
tenaga kerja asing dan lemahnya regulasi migrasi internasional dalam konteks
Perjanjian Perdagangan Bebas menimbulkan persaingan tenaga kerja.

68

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

BAB Pokok-Pokok Pembangunan

Kependudukan
Prinsip mengenai integrasi kebijakan kependudukan ke dalam kebijakan pembangunan
harus menjadi prioritas, karena hanya dengan menerapkan prinsip tersebut pembangunan
kependudukan akan berhasil. Untuk itu strategi pertama yang harus dilakukan adalah
melakukan population mainstreaming. Semua kebijakan pembangunan harus dilakukan
dengan mendasarkan pada prinsip people centered development untuk mencapai pembangunan
yang berwawasan kependudukan. Pelaksanannya harus mendasarkan pada pendekatan
hak asasi. Untuk itu langkah pertama adalah melakukan capacity building untuk seluruh
pemangku kepentingan, baik di tingkat pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten.
Langkah berikutnya adalah
melakukan integrasi kebijakan
kependudukan dengan kebijakan
pembangunan sejak tahap
perumusan, implementasi sampai
dengan evaluasi dan monitoring.
Dengan memerhatikan bahwa
kondisi dari semua aspek di Indonesia tidak homogen, maka
disparitas yang terjadi antarprovinsi, terlebih lagi antarkabupaten/kota, harus menjadi
pertimbangan utama dalam
merumuskan strategi. Strategi
yang dirumuskan tidak harus
bersifat tunggal, tetapi disesuaikan dengan kondisi dan
permasalahan di setiap daerah.
Oleh karena itu, dalam menyusun
strategi diperlukan mekanisme yang saling melengkapi antara bottom-up dan top-down.
4.1. Pengendalian Kuantitas Penduduk
Pengendalian kuantitas penduduk dilakukan melalui pengaturan dua komponen utama
kependudukan, yaitu pengaturan fertilitas dan penurunan mortalitas.
4.1.2. Pengaturan Fertilitas

GRAND
GRANDDESIGN
DESIGN
PEMBANGUNAN
PEMBANGUNANKEPENDUDUKAN
KEPENDUDUKAN
TAHUN
TAHUN2011-2035
2011-2035

69

Pengaturan fertilitas dilakukan melalui program KB yang mengatur (1) usia ideal
perkawinan, (2) usia ideal melahirkan, (3) jarak ideal melahirkan, dan (4) jumlah ideal
anak yang dilahirkan.
Kebijakan pengaturan fertilitas melalui program KB pada hakikatnya dilaksanakan untuk
membantu pasangan suami istri mengambil keputusan dan memenuhi hak-hak
reproduksi yang berkaitan dengan hal berikut. (1) Pengaturan kehamilan yang diinginkan,
(2) penurunan angka kematian bayi dan angka kematian ibu, (3) peningkatan akses dan
kualitas pelayanan, (4) peningkatan kesertaan KB pria, serta (5) promosi pemanfaatan
air susu ibu.
Pengaturan fertilitas melalui program KB juga dilakukan dengan cara berikut. (1)
Peningkatan akses dan kualitas KIE serta pelayanan kontrasepsi di daerah, (2) larangan
pemaksaan pelayanan KB karena bertentangan dengan HAM, (3) pelayanan kontrasepsi
dilakukan sesuai dengan norma agama, budaya, etika, dan kesehatan, serta (4) perhatian
bagi penyediaan kontrasepsi bagi penduduk miskin di daerah terpencil, tertinggal, dan
perbatasan.
4.1.3

Penurunan Mortalitas

Penurunan angka kematian bertujuan untuk mewujudkan


penduduk tumbuh seimbang dan berkualitas pada seluruh
dimensinya. Penurunan angka kematian ini diprioritaskan
pada upaya (1) penurunan angka kematian ibu hamil, (2)
penurunan angka kematian ibu melahirkan, (3) penurunan
angka kematian pasca melahirkan, serta (4) penurunan angka
kematian bayi dan anak.

Pengaturan fertilitas dilakukan


melalui : (1) Peningkatan akses
dan kualitas KIE serta pelayanan
kontrasepsi di daerah, (2)
larangan pemaksaan pelayanan
KB karena bertentangan dengan
HAM, (3) pelayanan kontrasepsi
dilakukan sesuai dengan norma

Upaya penurunan angka kematian diselenggarakan oleh


pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat
melalui upaya-upaya proaktif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif sesuai peraturan perundang-undangan dan
norma agama. Di samping itu, upaya penurunan angka
kematian difokuskan pada (1) kesamaan hak reproduksi
pasangan suami istri (pasutri), (2) keseimbangan akses,
kualitas KIE, dan pelayanan, (3) pencegahan dan
pengurangan risiko kesakitan dan kematian, serta (4)
partisipasi aktif keluarga dan masyarakat.

70

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

agama, budaya, etika, dan


kesehatan, serta (4) perhatian
bagi penyediaan kontrasepsi.
Penurunan angka kematian ini
diprioritaskan pada upaya (1)
penurunan angka kematian ibu
hamil, (2) penurunan angka
kematian ibu melahirkan, (3)
penurunan angka kematian pasca
melahirkan, serta (4) penurunan
angka kematian bayi dan anak.

4.1.4 Strategi Pengendalian Kuantitas


Untuk mencapai tahap yang diinginkan, yaitu pertumbuhan penduduk yang terkendali
dan pencapaian windows of opportunity, maka pengendalian angka kelahiran sangat penting.
Untuk itu, diperlukan revitalisasi program KB di Indonesia. Dalam melakukan revitalisasi
program KB, pendekatan pelaksanaan program KB perlu diubah orientasinya dari supply ke demand side approach.
Strategi yang dikembangkan adalah melakukan integrasi, desentralisasi, kemitraan, dan
pemberdayaan serta fokus pada penduduk miskin. Berikut adalah penjelasan detailnya.
Integrasi adalah implementasi program KB ke dalam program pembangunan sosial,
budaya, dan ekonomi. Sementara itu, desentralisasi dilakukan melalui lima cara. Pertama,
memberikan otoritas yang lebih besar kepada provinsi dan kabupaten/kota dalam
implementasi program KB, salah satunya adalah dengan memperkuat kelembagaan.
Tujuannya adalah melakukan sinkronisasi dan menghindarkan overlap fungsi dan peran
antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Seperti telah diamanatkan dalam
UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Penduduk dan Pembangunan Keluarga,
BKKBD (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah) perlu segera dibentuk.
Pemerintah memfasilitasi pembentukan BKKBD dengan merevisi regulasi, khususnya
yang terkait dengan otonomi daerah, yang menghambat terbentuknya lembaga tersebut.
Kedua, melakukan pemberdayaan SDM di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota
dalam rangka capacity building. Ketiga, memperkuat komitmen politik, khususnya di
tingkat kabupaten/kota dalam pelaksanaan program KB. Keempat, memperkuat
infrastruktur untuk mendukung pelaksanaan program KB di tingkat kabupaten/kota.
Kelima, mendelegasikan kewenangan operasional di tingkat kabupaten/kota untuk
memberikan otoritas yang lebih besar pada kabupaten/kota dalam rangka
mengembangkan program dan melaksanakannya berdasarkan kondisi spesifik setiap
daerah.
Sementara itu, strategi kemitraan dilakukan dengan cara memperkuat kerja sama antara
pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil. Tujuan strategi ini adalah untuk lebih
mengembangkan keterlibatan pihak swasta dan masyarakat sipil dalam pelaksanaan program KB. Kemitraan tidak terbatas dilakukan secara internal, tetapi juga dengan lembaga
internasional dengan prinsip kesetaraan dan mutual benefits. Pemberdayaan dilakukan
melalui peningkatan kapasitas kelembagaan untuk memperkuat jejaring antarpemangku
kepentingan, baik secara vertikal maupun horizontal, nasional maupun intenasional.
Sejalan dengan program penanggulangan kemiskinan, pelaksanaan program KB
difokuskan pada masyarakat miskin dengan cara memberikan subsidi pelayanan kesehatan

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

71

reproduksi dan KB. Dalam pelaksanaannya, strategi ini perlu memerhatikan kondisi
sosial, budaya, demografi, dan ekonomi kelompok sasaran
4.2 . Peningkatan Kualitas
4.2.1. Dimensi Kesehatan
Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam rangka menurunkan angka kematian
dan meningkatkan angka harapan hidup
4.2.2. Dimensi Pendidikan
Meningkatkan kompetensi dan daya kompetisi penduduk Indonesia melalui
pendidikan formal, nonformal maupun informal dalam rangka memenuhi
kebutuhan pembangunan nasional, khsususnya dalam rangka mendukung
tercapainya MP3EI dan MP3KI
Mengurangi kesenjangan pendidikan menurut jenis kelamin melalui peningkatan
akses perempuan untuk memperoleh pendidikan
4.2.3. Dimensi Ekonomi
Meningkakan status ekonomi penduduk melalui perluasan kesempatan kerja dan
pengurangan pengangguran dan setengah pengangguran.
Mengurangi kesenjangan ekonomi sebagai salah satu usaha untuk menurunkan angka
kemiskinan
4.2.4. Strategi Peningkatan Kualitas
Strategi peningkatan kualitas penduduk merupakan aspek yang sangat penting dalam
pembangunan kependudukan. Di samping itu, strategi peningkatan kualitas penduduk
merupakan bagian integral dari strategi pengendalian kuantitas penduduk, pembangunan
keluarga, dan pengarahan mobilitas penduduk.
Penduduk merupakan pelaku, pelaksana, dan penikmat pembangunan. Dengan kualitas
yang tinggi, penduduk akan lebih banyak berperan sebagai pelaku dan pelaksana
pembangunan. Selain itu, pembangunan tidak hanya bergantung pada sumber daya
alam dan teknologi, tetapi justru lebih bergantung pada kualitas penduduknya. Dengan
tersedianya sumber daya manusia yang memadai dalam arti kuantitas dan kualitas, maka
tantangan di masa yang akan datang dapat diatasi dengan baik. Kualitas sumber daya
manusia yang ada sekarang masih perlu ditingkatkanagar tantangan tersebut diatasi
dengan baik.

72

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Gambar 4.1. Unsur-Unsur Pembangunan Sumber Daya Manusia

PEMBANGUNAN
PENDIDIKAN

PEMBANGUNAN
EKONOMI

SDM
PEMBANGUNAN
KESEHATAN

Sumber: Draf Rancangan Umum Pembangunan Kependudukan

Pembangunan kualitas penduduk Indonesia ditentukan oleh tiga hal: pembangunan


ekonomi, pembangunan kesehatan, dan pendidikan. Oleh karena itu, kondisi yang ingin
dicapai dalam peningkatan kualitas penduduk tahun 2035 adalah penduduk yang sehat,
cerdas, produktif, dan berakhlak mulia serta berkarakter. Kondisi inilah yang harus
dicapai oleh seluruh penduduk Indonesia. Kualitas penduduk adalah kondisi penduduk
dalam aspek fisik dan nonfisik meliputi kesehatan, pendidikan, pekerjaan, produktivitas,
tingkat sosial, ketahanan, kemandirian, dan kecerdasan. Hal itu dianggap sebagai ukuran
dasar untuk mengembangkan kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia
yang bertakwa, berbudaya, berkepribadian, berkebangsaan, dan hidup layak. Penduduk
yang sehat tidak hanya berumur panjang sejalan dengan bertambahnya usia harapan
hidup, tetapi juga produktif, cerdas, dan berdaya saing. Penduduk dengan kualitas seprti
itu diharapkan dapat mengatasi arus pasar global yang semakin menguat.
Dengan memerhatikan unsur-unsur tersebut, maka strategi peningkatan kualitas
penduduk harus fokus pada tiga dimensi, yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
Strategi di bidang kesehatan dilakukan untuk menurunkan angka kematian bayi dan
anak serta kematian maternal. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia mengalami
pergeseran pola penyakit dari penyakit infeksi pada penyakit kronis dan degeneratif.
Untuk itu, strategi utama yang harus dilakukan adalah melakukan pencegahan dan treatment penyakit infeksi, khususnya pada bayi dan anak-anak. Di samping itu, sejalan dengan
meningkatnya penyakit kronis dan degenratif sebagai penyebab kematian orang dewasa,
maka alokasi sumber daya kesehatan harus juga diarahkan untuk pencegahan dan treatment penyakit tersebut. Akan tetapi, dengan memerhatikan diversitas kondisi kesehatan
antardaerah, terutama dalam hal penyakit, maka setiap strategi, sekali lagi, tidak dapat
bersifat homogen atau tunggal, tetapi harus merespons kondisi spesifik setiap daerah.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

73

Sementara itu, strategi penurunan kematian maternal sangat erat kaitannya dengan program KB sehingga strategi yang dijalankan untuk pelaksanaan program KB juga akan
memberikan kontribusi terhadap penurunan angka kematian maternal. Hal tersebut harus
ditopang dengan pengembangan pelayanan prenatal maupun antenatal.
Dari sisi pendidikan, strategi yang harus dilakukan adalah
memberikan akses yang sebesar-besarnya kepada kelompok
rentan, khususnya penduduk miskin, untuk memperoleh
pendidikan. Penurunan gender gap dalam hal akses terhadap
pelayanan pendidikan juga penting sebagai prioritas,
khususnya untuk mengatasi masalah di berbagai daerah yang
masih lebar kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan
perempuannya. Karena di berbagai provinsi angka melek
huruf masih rendah, maka untuk pendidikan nonformal
maupun informal perlu memperoleh prioritas. Dalam rangka
mendukung tercapainya MP3EI, maka kebijakan pendidikan
juga harus disusun berdasarkan kebutuhan kualifikasi SDM
di setiap koridor. Sejauh ini dokumen MP3EI belum
sepenuhnya memerhatikan kebutuhan SDM, terutama dari
segi kualitas, sebagai bagian penting dalam mencapai
percepatan pembangunan ekonomi di setiap koridor. Oleh
karena itu, kebijakan pendidikan harus dimulai dengan
mengidentifikasi kebutuhan tersebut.

Strategi Peningkatan Kualitas melalui


peningkatan pendidikan formal,
nonformal maupun informal dalam
rangka memenuhi kebutuhan
pembangunan nasional, khususnya
dalam rangka mendukung tercapainya
MP3EI dan MP3KI; peningkatan status
ekonomi penduduk yang berkeadilan
melalui perluasan akses ke pasar kerja
sebagai bagian integral dari program
penanggulangan kemiskinan;
peningkatan peringkat IPM Indonesia
di antara negara- negara ASEAN
melalui peningkatan derajat
kesehatan, pendidikan, dan status
ekonomi penduduk; pencegahan dan
treatment penyakit infeksi, khususnya
pada bayi dan anak-anak; penurunan
kematian maternal

Dari sisi ekonomi, pemerintah telah menyusun MP3KI dan


juga MP3EI, maka yang tertuang dalam master plan tersebut merupakan bagian dari
strategi peningkatan kualitas penduduk dari sisi ekonomi. Karena persoalan pemerataan
hasil pembangunan merupakan masalah mendesak dan penting di Indonesia, maka
strategi untuk mengatasi masalah tersebut, baik yang tertuang dalam MP3EI maupun
MP3KI, harus menjadi prioritas.
Strategi di tiga dimensi tersebut sekaligus merupakan strategi untuk meningkatkan IPM.
Namun karena ketertinggalan Indonesia dalam hal IPM dibandingkan dengan negara
ASEAN lainnya adalah pada bidang pendidikan, maka tampaknya sektor tersebut perlu
menjadi prioritas dalam strategi peningkatan IPM.
4.3. Pembangunan Keluarga
Pokok-pokok pembangunan keluarga memuat pokok-pokok kegiatan membangun
keluarga yang bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa; membangun iklim berkeluarga
berdasarkan perkawinan yang sah; membangun keluarga berketahanan, sejahtera, sehat,

74

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

maju, mandiri, dan harmonis yang berkeadilan dan berkesetaraan gender; membangun
keluarga yang berwawasan nasional dan berkontribusi kepada masyarakat, bangsa, dan negara;
serta membangun keluarga yang mampu merencanakan sumber daya keluarga.

Pembangunan keluarga melalui


pembangunan keluarga yang
bertakwa kepada Tuhan yang
Maha Esa; pembangunan iklim

Sasaran dari pokok kegiatan pembangunan keluarga tersebut adalah


seluruh keluarga Indonesia yang terdiri dari keluarga dengan siklus
keluarganya; keluarga yang memiliki potensi dan sumber kesejahteraan
sosial; keluarga rentan secara ekonomi, sosial, lingkungan, maupun
budaya; serta keluarga yang bermasalah secara sosial ekonomi dan
sosial psikologis.

berkeluarga berdasarkan
perkawinan yang sah;
pembangunan keluarga
harmonis, sejahtera, sehat,
maju, dan mandiri;
pembangunan keluarga yang

Strategi Pembangunan Keluarga


a. Membangun keluarga yang bertakwa kepada Tuhan
yang Maha Esa

berwawasan nasional dan


berkontribusi kepada bangsa
dan Negara; pembangunan
keluarga yang mampu
merencanakan sumber daya
dengan pendampingan
manajemen sumber daya
keluarga.

Strategi
Dalam upaya membangun keluarga yang bertakwa kepada Tuhan
yang Maha Esa, strategi yang disuguhkan adalah pembangunan
keluarga melalui Pendidikan Etika, Moral, dan Sosial Budaya secara
formal maupun informal.

Indikator keberhasilan
Pembangunan keluarga yang bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa
mempunyai indikator keberhasilan yang dilihat dari hal berikut.
Keluarga yang menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing
Keluarga yang menaati nilai, norma, dan aturan agama
Keluarga yang memelihara kerukunan antarumat beragama

b. Membangun iklim berkeluarga berdasarkan perkawinan yang sah


Strategi
Strategi untuk membangun iklim berkeluarga berdasarkan perkawinan yang sah dilakukan
dengan hal berikut.
Meningkatkan pelayanan lembaga penasihat perkawinan
Meningkatkan peran kelembagaan keluarga
Komitmen Pemerintah Indonesia yang hanya mengakui perkawinan antara lakilaki dan perempuan
Perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan negara
Perkawinan yang mensyaratkan diketahui oleh keluarga dan masyarakat

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

75

Indikator keberhasilan
Indikator keberhasilan dalam membangun iklim berkeluarga berdasarkan perkawinan
yang sah adalah.
Keluarga dibangun dari perkawinan menurut hukum agama dan negara.
Keluarga dibangun dari perkawinan antara laki-laki dan perempuan, bukan
perkawinan dengan sejenis kelamin.
Keluarga dibangun dari perkawinan yang diketahui oleh keluarga dan masyarakat.
Setiap perkawinan tercatat di lembaga yang berwenang dengan dibuktikan oleh
kepemilikan akta nikah.
c.

Membangun keluarga harmonis, sejahtera, sehat, maju, dan mandiri

Strategi
Beberapa strategi untuk membangun keluarga harmonis, sejahtera, sehat, maju, dan
mandiri adalah sebagai berikut.
1. Peningkatan ketahanan keluarga berwawasan gender berbasis kelembagaan lokal
Strategi ini dijalankan melalui kegiatan konsultasi dan advokasi keluarga,
pendampingan keluarga rentan, pengembangan nilai keluarga dan keadilan gender,
pembagian peran gender yang berkeadilan dan berkesetaraan, serta optimalisasi
fungsi keluarga menuju kesejahteraan dan ketahanan keluarga.
2. Pengembangan perilaku hidup sehat pada keluarga (sehat fisik/reproduksi, sehat
psikologis, sehat sosial, dan sehat lingkungan)
3. Pendidikan dan pengasuhan anak agar berkarakter baik
4. Pengembangan ketahanan keluarga dan ketahanan pangan keluarga. Strategi ini
dilaksanakan dengan pemanfaatan pekarangan dan dukungan sosial lingkungan.
Indikator keberhasilan
1. Keluarga berketahanan (kuat, bertahan hidup, beradaptasi)
2. Keluarga sejahtera (pendapatan per kapita/bulan tidak miskin, rumah layak huni,
mempunyai tabungan)
3. Keluarga sehat (kecukupan pangan dan gizi, morbiditas rendah, tidak berpenyakit,
sehat psikologis)
4. Keluarga maju (partisipasi pendidikan, partisipasi kerja)
5. Keluarga mandiri (kemandirian sosial ekonomi)
6. Keluarga harmonis (tidak bercerai, penurunan tingkat kekerasan dalam rumah
tangga, penurunan tingkat perdagangan manusia, penurunan tingkat kenakalan anak)
d. Membangun keluarga yang berwawasan nasional dan berkontribusi
kepada masyarakat, bangsa, dan negara

Strategi

76

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Strategi yang digunakan adalah penyadaran melalui pendidikan, pembinaan, dan


penyuluhan. Strategi ini dilakukan melalui kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
(KIE) keluarga, seperti penguatan kapasitas keluarga, pembangunan sebuah keluarga
berketahanan sosial, pemilihan keluarga pionir, dan peningkatan peran serta keluarga
dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.

Indikator keberhasilan
Indikator keberhasilannya adalah keluarga yang berketahanan sosial, berwawasan ke
depan (menguasai iptek), serta berkontribusi kepada masyarakat, bangsa, dan negara
(berperan serta dalam kegiatan sosial kemasyarakatan).
e. Membangun keluarga yang mampu merencanakan sumber daya keluarga

Strategi
Strategi yang dapat dilakukan adalah untuk membangun keluarga yang mampu
merencanakan sumber daya dengan pendampingan manajemen sumber daya keluarga.
Kegiatan lainnya adalah dengan konsultasi perkawinan, pengasuhan anak, manajemen
keuangan rumah tangga, manajemen stres, serta manajemen waktu dan pekerjaan
keluarga.
Indikator keberhasilan
Indikator keberhasilan dari kegiatan ini adalah.
1. Keluarga mampunyai perencanaan berkeluarga.
2. Keluarga mempunyai perencanaan investasi anak.
Hal ini dapat dilihat dari tingkat partisipasi sekolah wajib belajar, tabungan/asuransi
pendidikan anak, dan angka drop-out menurun.
3. Keluarga mempunyai perencanaan keuangan.
Hal ini dapat diukur dari tabungan keluarga, partisipasi keluarga menabung di bank,
dan perencanaan membeli rumah.
4.4. Persebaran dan Pengarahan Mobilitas Penduduk
Pokok-pokok Pembangunan Kependudukan pada penataan persebaran dan pengerahan
mobilitas, dapat diuraikan sebagai berikut,
1. Pengarahan mobilitas penduduk yang didorong dan mendukung pembangunan
pembangunan daerah yang berkeadilan
2. Pengelolaan urbanisasi yang mengarah pada pembangunan perkotaan yang
berkelanjutan
3. Pengarahan persebaran penduduk untuk mencapai tujuan MP3EI dan MP3KI sesuai
dengan kebutuhan setiap koridor

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

77

4. Pencegahan munculnya faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya IDPs


5. Pemberian perlindungan kepada tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri
secara maksimal

Strategi Pengarahan Mobilitas dan Distribusi Penduduk


Strategi mencapai tujuan-tujuan kebijakan pengarahan mobilitas penduduk sebagai
berikut.
Menumbuhkan kondisi kondusif bagi terjadinya migrasi internal yang harmonis
Melindungi penduduk yang terpaksa pindah karena keadaan (pengungsi)
Memberikan kemudahan, perlindungan, dan pembinaan terhadap para migran
internasional dan keluarganya
Menciptakan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan daya dukung
dan daya tampung lingkungan
Penataan persebaran dan
Mengendalikan kuantitas penduduk di suatu daerah/wilayah tertentu
pengaturan mobilitas penduduk
Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru
dilakukan melalui pengurangan
Memperluas kesempatan kerja produktif
peran pusat dan meningkatkan
promosi daerah-daerah tujuan
Meningkatkan ketahanan dan pertahanan nasional
baru sehingga penduduk
Menurunkan angka kemiskinan dan mengatasi pengangguran
terangsang untuk melakukan
Meningkatkan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia
perpindahan secara spontan;
Meningkatkan infrastruktur permukiman, meningkatkan daya saing
membuat regulasi yang
wilayah baru, meningkatkan kualitas lingkungan, dan meningkatkan
menguntungkan bagi daerah
penyediaan pangan bagi masyarakat.
tujuan dengan memacu minat
penduduk berkualitas sebaliknya
menghambat/mengurangi minat
Untuk mencapai tujuan tersebut, pengarahan mobilitas penduduk perlu
penduduk yang tidak berkualitas
dilakukan dengan beberapa strategi sebagai berikut.
untuk berpindah ke daerah lain
1) Mengupayakan peningkatan mobilitas nonpermanen dengan cara
(mobilitas bukan sekadar
menyediakan berbagai fasilitas sosial, ekonomi, budaya, dan
pemindahan kemiskinan)
administrasi di beberapa daerah yang diproyeksikan sebagai daerah
tujuan mobilitas penduduk
2) Mengurangi mobilitas penduduk ke kota megapolitan, seperti Jakarta dan supaya
hal itu tidak terulang di luar Jawa, dengan adanya penataan wilayah penyangga
untuk mengembangkan daerah tujuan transmigrasi yang secara khusus diintegrasikan
dengan kota besar sekitarnya. Transmigrasi seharusnya tidak terkesan membuang
penduduk ke wilayah terpencil, tetapi benar-benar menonjolkan napas distribusi
penduduk .

Untuk tujuan ini, perlu tiga pendekatan dalam kebijakan pengarahan mobilitas penduduk.
1) Mengurangi peran pusat dan meningkatkan promosi daerah-daerah tujuan baru
sehingga penduduk terangsang untuk melakukan perpindahan secara spontan
2) Membuat regulasi yang menguntungkan bagi daerah tujuan dengan sasaran
menghambat/mengurangi minat penduduk yang tidak berkualitas berpindah ke

78

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

daerah lain (mobilitas bukan sekadar pemindahan kemiskinan). Penduduk miskin


adalah tanggung jawab daerah asal/kelahiran.
3) Membuat kebijakan yang berskala nasional dan berujung pada kepentingan nasional,
misalnya transmigrasi ke pulau terdepan, peningkatan kualitas prasarana dan sarana
ekonomi, serta peningkatan akulturasi dan asimilasi kultural antara pendatang dan
penduduk asli
Penyusunan roadmap kebijakan pengarahan mobilitas penduduk tidak semata-mata atas
dasar pertimbangan hukum, tetapi juga didasari oleh fakta sosiologis dan dinamika
lingkungan sosio-kultural dan politik Indonesia pasca reformasi. Berdasarkan
pertimbangan ini, maka roadmap pengarahan mobilitas penduduk secara tegas berbasis
pada UU No. 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 17
Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Inpres No. 1 Tahun 2010 tentang
Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembanguan Nasional, Inpres No. 3 Tahun 2010
tentang Pembangunan yang Berkeadilan, serta Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.
Sementara itu, basis kondisi sosiologis serta dinamika sosio-kultural dan politik
mengamanatkan penyusunan strategi pengerahan mobilitas penduduk perlu
mempertimbangkan berbagai kondisi perkembangan lingkungan global, nasional, dan
daerah. Basis ini pun secara nyata mencermati sejauh mana komitmen pemerintah
provinsi dan kota/kabupaten terhadap aspek mobilitas penduduk sehingga menjadi
bagian yang integral dan menentukan bagi perkembangan dan keberhasilan
pembangunan penduduk dan pembangunan berkelanjutan di wilayahnya dalam koridor
kepentingan nasional.
Pada titik ini, pengerahan mobilitas penduduk perlu menjamin kepastian pelibatan elemen
nonpusat. Fakta yang berkembang menunjukkan bahwa pengerahan mobilitas penduduk
saat ini tidak semata dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga elemen masyarakat sipil dan
pasar. Oleh karena itu, penting untuk mereposisi dan mengidentifikasi peran yang harus
dimainkan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Mereka memiliki
kewenangan dan perannya masing-masing. Demikian juga peran dan kewenangan LSM
maupun Civil Society Organization (CSO). Semua elemen harus memiliki peran strategis
dalam pelaksanaan pembangunan kependudukan. Kebijakan mobilitas daerah harus
memerhatikan perkembangan-perkembangan spesifik daerah, misalnya kemungkinan
dampak masuknya penduduk ke daerah industri baru, cara mengantisipasi dan memitigasi
kemungkinan dampak negatif bagi daerah tujuan, dampak bagi keseimbangan penduduk
lokal dan pendatang, serta kemungkinan marginalisasi penduduk lokal. Dengan demikian,
penting dirumuskan sebuah kebijakan lokal yang dapat merespons hal-hal tersebut,
misalnya melalui perda pengendalian penduduk.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

79

Berbicara tentang pengerahan penduduk, maka dalam jangka pendek maupun menengah
dan panjang, perlu dirumuskan beberapa sasaran pengarahan mobilitas penduduk yang
antara lain meliputi hal berikut.
1. Pemodelan rekayasa sosial yang memungkinkan integrasi antara penduduk pendatang
dan penduduk asli
2. Pengembangan kebijakan lokal yang pro masyarakat asli tanpa mengurangi hak
hidup pendatang
3. Pengembangan regulasi yang memungkinkan adanya migration selection berdasarkan
kapasitas pendidikan dan keterampilan, aspek politik, dan kelembagaan
4. Penguatan peran elemen masyarakat sipil (CSO, NGO, dan universitas) dalam capacity building permukiman baru hasil kebijakan mobilitas formal
5. Pengembangan forum komunikasi antarwarga di daerah-daerah tujuan mobilitas
6. Penguatan kelembagaan keluarga migran dalam konteks kebijakan kesehatan
reproduksi
7. Strategi pengembangan daerah penyangga perkotaan dan pengembangan ekonomi
perdesaan sehingga mengurangi minat penduduk desa melakukan urbanisasi
8. Pemodelan pengembangan ekonomi makro dan distribusi kesejahteraan yang merata
sehingga semakin mengurangi distorsi biaya hidup antarwilayah
9. Memikirkan kembali keterkaitan antara pendidikan dan kesempatan kerja
10. Desentralisasi kewenangan pengarahan mobilitas penduduk
11. Pengembangan kajian akademis terkait pemodelan mobilitas penduduk dan dikaitkan
dengan kepentingan nasional (sesuai dengan dokumen perundangan), dengan tujuan
pengembangan dan mengonstruksikan proposisi/teori menengah terkait dengan
proses-proses migrasi yang berhasil diidentifikasi dari studi terkait kondisi masyarakat
Indonesia untuk menjawab tantangan tujuan-tujuan pengerahan penduduk,
mengaitkan kebijakan pengerahan mobilitas penduduk dengan konteks
perkembangan ekonomi, politik, budaya, dan lingkungan fisik migran, baik lokal,
regional maupun global, membangun kerangka konseptual baru yang memungkinkan
untuk menjawab tantangan pengarahan mobilitas penduduk, serta pengembangan
strategi-strategi baru terkait dengan pengarahan mobilitas penduduk, baik internal
maupun internasional
Untuk tercapainya tujuan-tujuan pengarahan mobilitas penduduk tersebut, maka perlu
sejak awal dipastikan bahwa PP, perda, dan berbagai aturan pelaksana lainnya telah
dapat diselesaikan. Beberapa peraturan yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan
tujuan itu adalah sebagai berikut.
a. Penataan dan penyebaran penduduk ke daerah perbatasan antarnegara
b. Kebijakan mobilitas penduduk nonpermanen
c. Penataan persebaran penduduk melalui kerja sama antardaerah

80

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

d. Pengarahan mobilitas penduduk melalui pengembangan daerah penyangga


e. Pedoman pengelolan urbanisasi di perkotaan
f. Pedoman pelayanan terhadap penduduk musiman serta tata cara pengumpulan
data, analisis mobilitas, dan persebaran penduduk. Sementara itu, pada tataran perda,
dibutuhkan adanya perda tentang kebijakan mobilitas penduduk.
Pada tataran operasional, pengarahan mobilitas penduduk dalam konteks dukungan
terhadap percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi dilakukan melalui manajemen
terpadu pada koridor utama pembangunan wilayah sebagai berikut.
1) Mengembangkan potensi ekonomi wilayah di enam Koridor Ekonomi Indonesia,
yaitu Koridor Ekonomi Sumatera, Koridor Ekonomi Jawa, Koridor Ekonomi
Kalimantan, Koridor Ekonomi Sulawesi, Koridor Ekonomi BaliNusa Tenggara,
dan Koridor Ekonomi PapuaKepulauan Maluku
2) Memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung
secara global (locally integrated, globally connected)
3) Memperkuat kemampuan SDM dan iptek nasional untuk mendukung
pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi.
Keinginan dan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk menebar kekuatan ekonomi
ke seluruh penjuru Nusantara ini semakin kentara melalui percepatan pembangunan
ekonomi nasional berbasis koridor (ruang) ekonomi dengan delapan program utamanya.
Komitmen ini diawali dengan percepatan penyediaan infrastruktur: (1) industri, (2)
pertambangan, (3) pertanian, (4) kelautan, (5) pariwisata, (6) telekomunikasi, (7) energi,
dan (8) ekonomi Kawasan. Koridor ekonomi yang dalam hal ini berbasis ruang pulau
terbagi menjadi enam koridor sebagai berikut.
1. Pulau Sumatera sebagai sentra produksi dan pengolahan hasil bumi serta lumbung
energi nasional
2. Pulau Jawa sebagai pendorong industri manufaktur dan jasa nasional
3. Pulau Kalimantan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil tambang serta
lumbung energi nasional
4. Pulau Sulawesi sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan,
perikanan, migas, dan pertambangan nasional
5. Pulau Bali, NTB, dan NTT sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan
nasional
6. Pulau Papau-Maluku sebagai pusat pengembangan pangan, perikanan, energi, dan
pertambangan nasional (di Papua)

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

81

Gambar 4.2. Tema Pembangunan dan Interkoneksi Koridor Ekonomi (KE)

Sentra Produksi dan


Pengolahan Hasil Bumi
dan Lumbung Energi
Nasional

Pusat Produksi dan


Pengolahan Hasil
Tambang dan Lumbung
Energi Nasional

Pusat Produksi dan


Pengolahan Hasil Pertanian,
Perkebunan, Perikanan, Migas
dan Pertambangan Nasional

Pusat Pengembangan
Pangan, Perikanan, Energi
dan Pertambangan
Nasional

Pusat Ekonomi Mega

Pendorong
Industri dan
Jasa Nasional

Pintu Gerbang
Pariwisata dan
Pendukung Pangan
Nasional

Sumber: Draf Rancangan Umum Pembangunan Kependudukan

Gambar 4.3. Strategi Penataan Persebaran Penduduk

Jakarta dan P. Jawa sebagai


pusat segala-galanya
(Poleksosbud)

TERSEBARNYA WILAYAH
PERKOTAAN SEBAGAI PUSAT
PELAYANAN YANG TERINTEGRASI
DENGAN WILAYAH PEDESAAN
SEBAGAI WILAYAH PRODUKSI
PERTANIAN DAN PENGELOLAAN
SUMBERDAYA ALAM

Persebaran Penduduk yang serasi dan seimbang dengan daya dukung


alam dan daya tampung lingkungan

SKENARIO GDPK P3MP


MENDORONG TERJADINYA
PERUBAHAN PETA RUANG
DAN PESEBARAN ORANG
INDONESIA

Sumber: Draf Rancangan Umum Pembangunan Kependudukan

82

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Koridor ekonomi ini, dengan demikian, merupakan ruang yang secara sengaja dirancang
untuk tempat tumbuh dan berkembangnya komoditas dan/atau usaha unggulan tertentu
yang terintegrasi dengan kawasan permukiman dan membentuk pusat-pusat pelayanan
baru atau mendukung pusat-pusat pelayanan yang ada.
Pola pikir penataan persebaran adalah dengan cara mengembangkan dan membangun
sentra-sentra ekonomi di luar Pulau jawa. Strategi yang dilaksanakan adalah dengan
menciptakan kota-kota metropolitan potensial dari empat kota metropolitan besar
menjadi 14 kota metropolitan besar, kota metropolitan kecil dari tiga menjadi 18, kota
besar dari 17 menjadi 44, serta penciptaan kota sedang, kota kecil, dan pusat-pusat
pertumbuhan (pusat kegiatan lokal). Strategi Penataan Persebaran Penduduk dapat dilihat
pada skema di bawah ini.
Penataan persebaran penduduk disesuaikan dengan pusat-pusat pertumbuhan yang
tersebar di seluruh pulau di Indonesia dan diarahkan pada pulau-pulau luar Jawa yang
merupakan pusat pertumbuhan ekonomi baru dan potensial. Diharapkan wilayah-wilayah
tersebut menjadi kota-kota metropolitan baru dan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi
baru yang akan menarik penduduk untuk bertempat tinggal di dalamnya.
Pengembangan Daerah Metropolitan
Dalam pengembangan daerah metropolitan, diperlukan pemahaman Kelas Ruang (KR)
dan Kelas Penduduk (KP). Kelas ruang merupakan jarak jalajah pelayanan maksimum,
sedangkan kelas penduduk merupakan penggambaran jumlah penduduk yang ada di
kota tersebut. Tabel tersbut dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan 4.2.
Tabel 4.1. Kelas Ruang

Sumber: Hugh Denney, 1972, De Congesting Metropolitan America, It Can be Done, University of Missoury,
Extension Divission

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

83

Tabel 4.2. Kelas Penduduk

Sumber: Hugh Denney, 1972, De Congesting Metropolitan America, It Can be Done, University of Missoury,
Extension Divission

Pengembangan Kota Metropolitan di wilayah Indonesia terutama di luar Jawa diuraikan


sebagai berikut.

Sumatera
Di Pulau Sumatera secara administratif terdapat 10 wilayah provinsi. Secara aktual
keruangan, wilayah Sumatera memiliki dua metropolitan ber-KR 10 (Medan dan
Palembang). Kedua pusat ruang ini berdasarkan kelas penduduk dengan sedirinya akan
menjadi dan bersama kota-kota lainnya berpotensi sebagai titik-titik pusat KR-9 (Gambar
4.4). Teridentifikasi bahwa seluruh ibukota provinsi di Sumatera dapat menjadi pusat
KR 9, kecuali Pekanbaru (ibukota Provinsi Riau) yang digantikan peran dan fungsinya
oleh Dumai serta Batam menggantikan Tanjung Pinang (ibukota Provinsi Kepulauan
Riau).
Dalam hal ini Batam tetap di bawah pengaruh dan sebagai daerah belakang Singapura.
Kota-kota metropolitan di luar Sumatera yang dianggap membatasi pengaruh dan
mempunyai pengaruh timbal balik adalah Penang (Malaysia) terhadap Medan dan Banda
Aceh, Kuala Lumpur (Malaysia) terhadap Dumai (Riau), Singapura terhadap Dumai,
Jambi, dan Pangkal Pinang (Babel); Pontianak terhadap Pangkal Pinang, serta Jakarta
terhadap Bandar Lampung dan Pangkal Pinang. Dengan adanya sepuluh pusat KR 9
dan dua di antaranya sudah ber KR 10 di wilayah Sumatera ini, diperkirakan potensi
tambahan penduduk yang dapat diakomodasikan mencapai sekitar 14,4 juta jiwa.

84

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Tabel 4.3. Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang Diproyeksikan


sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah Sumatera

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

Gambar 4.4.Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang Diproyeksikan


sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah Sumatera

Sumber: Draf Rancangan Umum Pembangunan Kependudukan


GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

85

Kalimantan
Di Pulau Kalimantan terdapat empat provinsi dengan tiga kota aktual yang diproyeksikan
sebagai pusat KR 10 dan satu di antaranya (Balikpapan) secara aktual merupakan kota
otonom yang bukan ibukota provinsi. Dengan demikian, berdasarkan kelas penduduk,
di pulau ini terdapat limakota potensi metropolitan ber- KR 9, dengan rincian tiga di
antaranya secara otomatis karena telah ber-KR 10 dan dua lainnya (Samarinda merupakan
ibukota Provinsi Kaltim dan Palangkaraya sebagai ibukota Kalteng) diproyeksikan sebagai
salah satu alternatif pengganti DKI Jaya untuk menjadi ibukota negara. Samarinda,
bahkan dalam hal ini dipersyaratkan untuk beraglomerasi dengan Tenggarong, ibukota
Kabupaten Kutai Kertanegara. Selengkapnya Lihat Gambar 4.5. Dengan
memperhitungkan kapasitas daya tampung terhadap lima pusat KR 9 yang tiga di
antaranya telah ber-KR 10, potensi tambahan jumlah penduduk di kota-kota metropolitan baru di wilayah Kalimantan ini adalah sekitar 12,1 juta jiwa.
Tabel 4.4 Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang Diproyeksikan
sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah Kalimantan

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

86

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Gambar 4.5 Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang Diproyeksikan sebagai
Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah Kalimantan

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

Melalui analisis spasial KR 9, diketahui bahwa bagian terbesar wilayah kabupaten dan
kota perbatasan, baik di Provinsi Kalbar maupun Kaltim, berada di bawah pengaruh
kota-kota negara tetangga (Kuching-Serawak-Malaysia untuk Kalbar, serta Bandar
Seribegawan-Brunei Darussalam dan Tawao-Sabah-Malaysia untuk Kaltim). Sementara
itu, KR 9 yang saling memengaruhi dalam lingkup domestik antarpulau adalah PaluSulteng untuk Samarinda, Memuju-Sulbar untuk Balikpapan, serta Pangkal Pinang-Babel dan Singapura untuk Pontianak.

Sulawesi-Maluku-Maluku Utara
Di wilayah ini terdapat tiga kota yang diproyeksikan sebagai pusat untuk KR 10, yaitu
Makassar, Manado, dan Ambon. Berdasarkan gambaran spasial dan kelas penduduk
wilayah ini, untuk KR 9 teridentifikasi selain tiga kota tersebut yang telah menjadi pusat
KR 10, adalah ibukota-ibukota provinsi se-Sulawesi lainnya (Mamuju-Sulbar ketimbang

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

87

Palopo-Sulsel, Palu-Sulteng, dan Kendari-Sultra). Sementara itu, untuk Maluku Utara,


tetap Ternate yang konglomerasi dengan Tidore untuk dijadikan pusat kegiatan ekonomi
KR 9, bukannya Sofifi yang hanya difungsikan sebagai pusat pemerintahan provinsi
(Gambar 4.6). Ketujuh kota ber- KR 9 tersebut, termasuk tiga yang telah ber-KR 10,
diperhitungkan dapat menampung potensi tambahan jumlah penduduk sekitar 13,9
juta jiwa.
Tabel 4.5 Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang Diproyeksikan
sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah Sulawesi-Maluku-Maluku
Utara

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

Mamuju (ibukota Provinsi Sulbar) dengan segala keterbatasan infrastrukturnya saat ini
lebih berorientasi ke luar ketimbang Palopo (salah satu kota otonom di Sulsel yang
lebih berorientasi ke dalam). Mamuju juga dapat menjadi akses utama keluar masuk
(seaway) bagi salah satu titik di Kabupaten Luwu Utara (Sulsel) bila terpilih menjadi
salah satu alternatif bagi letak ibukota negara. Kota-kota antarpulau yang dominan
membatasi ruang pengaruh pusat-pusat ber-KR 9 di wilayah ini adalah Samarinda
(Kaltim) untuk Palu, Balikpapan (Kaltim) dan Banjarmasin (Kalsel) untuk Mamuju,
serta Sorong (Papua Barat) untuk Ternate dan Ambon.

88

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Gambar 4.6 Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang Diproyeksikan sebagai
Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah Sulawesi-Maluku-Maluku Utara

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

Papua
Wilayah tertimur NKRI ini memiliki tiga pusat untuk KR 10 (Sorong di Papua Barat
serta Jayapura dan Merauke yang keduanya ada di Papua). Dengan kondisi alam yang
relatif miskin infrastruktur ini, pusatpusat untuk KR 9 berdasarkan kelas penduduk
selain tiga kota tadi, yang juga diproyeksikan adalah Timika (ibukota Kabupaten MimikaPapua), Kota Biak (Papua), dan Manokwari (ibukota Provinsi Papua Barat). Lihat
selengkapnya Gambar 4.7. Dengan memperhitungkan potensi daya tampung keenam
kota yang diproyeksikan menjadi pusat KR 9, tiga di antaranya telah ber-KR 10 dengan
jumlah penduduk yang dapat mencari dan menggerakkan kehidupan di metropolitan
baru tersebut sekitar 14 jutaan jiwa.
Jayapura dan Merauke yang keduanya diproyeksikan menjadi pusat KR 10 tetap diarahkan
dapat memengaruhi wilayah pantai utara PNG dan ibukota negara NPG. Bila tidak,
tentunya dalam jangka menengah-panjang akan terjadi fenomea saling pengaruhi atau
bahkan dipengaruhi. Khusus Sorong, pengaruh ruangnya akan dibatasi oleh Ternate
(Malut) dan Ambon (Maluku). Khusus Sorong dan Jayapura, sejak awal harus

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

89

merencanakan aglomerasinya masing-masing dengan Aimas (ibukota Kabupaten Sorong)


dan Sentani (ibukota Kabupaten Jayapura). Wilayah ini secara keseluruhan dalam jangka
pendek-menengah masih tetap didominasi oleh sistem angkutan laut dan udara, yang
dalam jangka menengah panjang harus telah dilengkapi dengan system transportasi
jalan raya Trans-Papua.
Tabel 4.6 Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang Diproyeksikan
sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah Papua

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

Gambar 4.7 Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang Diproyeksikan


sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah Papua

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

90

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Bali-Nusa Tenggara
Wilayah ini dalam konstelasi KR 10 berada di bawah pengaruh Surabaya (Jatim), Makassar
(Sulsel), dan Kupang (NTT). Untuk analisis spasial berdasarkan kelas penduduk, di
wilayah ini teridentifikasi kota-kota yang diproyeksikan menjadi pusat-pusat KR 9, selain
Kupang, adalah Atambua (ibukota Kabupaten Belu yang juga diproyeksikan sebagai
salah satu kota Pusat Kegiatan Strategis Nasional/PKSN di wilayah perbatasan), Bima
(sebagai kota otonom di Pulau Sumbawa ketimbang Mataram di Pulau Lombok yang
tetap diproyeksikan menjadi pusat pemerintahan provinsi dan di bawah pengaruh
Denpasar), dan Denpasar sendiri yang menjadi ibukota Provinsi Bali (Gambar 16).
Empat potensi metropolitan ber-KR 9 di wilayah ini (termasuk Kota Kupang yang
diproyeksikan sebagai pusat KR 10) diperhitungkan dapat mengakomodasikan potensi
jumlah tambahan sekitar 7 jutaan jiwa penduduk.
Tabel 4.7. Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang Diproyeksikan
sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah Bali-Nusa Tenggara

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

Secara keruangan, batas pengaruh pusat-pusat ber-KR 9 di wilayah ini dengan wilayah
lainnya hanya terdapat di sebelah timur, yaitu Ambon-Kendari-Makassar, terutama
Atambua dan Darwin (Australia) untuk Kupang. Kupang sebagai pusat KR 10 melalui
Atambua, Kefamenanu, dan Kalabahi secara khusus diproyeksikan dapat memengaruhi
semua wilayah Negara Timor Leste. Sementara itu, untuk sebelah barat adalah Surabaya
(Jatim) yang saling pengaruhi terhadap Denpasar.
Ada kekhasan dalam sistem transportasi di wilayah ini, yaitu satu entitas kepulauan
yang terkoneksi melalui jalan raya didukung dengan angkutan penyeberangan, selain
seaways dan airways untuk menghubungkan antarwilayah (dengan Pulau Jawa khususnya)
pada kelas ruang di atasnya dengan metropolitan Surabaya sebagai salah satu pusat KR
10 yang memengaruhinya.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

91

Gambar 4.8 Potensi Tambahan Jumlah Penduduk Kota-Kota yang Diproyeksikan sebagai Metropolitan Besar dan Kecil Wilayah Bali-Nusa Tenggara

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

Dari tabel dan gambar di atas dapat diuraikan potensi pertambahan pendudukan untuk
kota yang diproyeksikan sebagai kota metropolitan besar dan kecil pada wilayah tersebut.
Pulau Sumatera mampu menampung tambahan penduduk sebesar 13,6 juta jiwa.
Pulau Kalimantan mampu menampung tambahan penduduk sebesar 12,1 juta jiwa,
Pulau Sulawesi, Maluku dan Maluku Utara mampu menampung tambahan penduduk
sebesar 13,7 juta jiwa.
Pulau Papua mampu menampung tambahan penduduki sebesar 14 juta jiwa,
Pulau Bali dan Nusa Tenggara mampu menampung tambahan penduduk sebesar 7
juta jiwa.
Oleh karena itu, potensi perpindahan penduduk dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa
sampai dengan tahun 2035 adalah sebesar sekitar 70,5 juta jiwa.
Sementara itu, potensi penduduk yang dapat dipindahkan dari Pulau Jawa ke luar Pulau
Jawa sehubungan dengan proyeksi terbentuknya kota besar adalah sebagai berikut :
Pulau Sumatera sebesar 9,2 juta jiwa.
Pulau Kalimantan sebesar 10,9 juta jiwa.

92

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Sulawesi, Maluku, dan Maluku Utara sebesar 12,8 juta jiwa.


Papua sebesar 15,6 juta jiwa.
Bali dan Nusa Tenggara sebesar 2,9 juta jiwa.

Oleh karena itu, potensi perpindahan penduduk dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa
sampai dengan tahun 2035 adalah sebesar sekitar 51,5 juta jiwa. Dengan diterapkannya
strategi pembentukan kota-kota metropolitan besar, kecil, dan kota besar di luar Pulau
Jawa, potensi penduduk yang dapat dipindahkan dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa
sampai dengan tahun 2035 sebesar adalah sekitar 125 juta jiwa.
Selain strategi pembentukan kota-kota metropolitan besar, kecil, dan kota besar di luar
Pulau Jawa, pengaturan dan penataan persebaran serta mobilitas penduduk dilaksanakan
melalui fokus intervensi perubahan sebagai berikut.
1. Komitmen politik pada kebijakan kependudukan dengan menerbitkan regulasi
2. Pemisahan lokalitas antara pusat pemerintahan dengan pusat pelayanan ekonomi,
sosial budaya, dan bisnis
3. Penataan, penggunaan dan pengendalian tata ruang dan tata wilayah
4. Reorientasi dan keberpihakan pembangunan dan investasi ekonomi ke pulau-pulau
luar Jawa
5. Pengarahan mobilitas penduduk secara spasial dan vertikal
6. Penguatan kelembagaan
Fokus intervensi perubahan dijabarkan dalam kebijakan penataan persebaran dan
pengaturan mobilitas penduduk sebagai berikut.
1. Percepatan pembangunan dan pengembangan antarwilayah dengan sekaligus
penataan persebaran dan pengaturan mobilitas penduduk yang berbasis spasial
2. Pengembangan wilayah diprioritaskan pada pengembangan pusat pertumbuhan di
luar Pulau Jawa berbasis pemberdayaan ekonomi lokal
3. Pemihakan alokasi dan belanja APBN dan APBD bagi daerah-daerah di luar Pulau
Jawa
4. Pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan
5. Pembangunan dan pengembangan kehidupan bermasyarakat berbasis kearifan lokal
6. Penghormatan kepada hak asasi setiap warga negara untuk bertempat tinggal,
bekerja, dan membangun kehidupan di wilayah NKRI
7. Fasilitasi penempatan tenaga kerja ke luar negeri sebagai alternatif peluang pasar
kerja global
8. Penghapusan diskriminasi
9. Pembangunan berlandaskan hukum
10. Penetapan zonasi permukiman yang bebas dari potensi bencana

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

93

11. Peningkatan Komunikasi Informasi dan Edukasi pada penduduk potensial bencana
untuk menyadari besarnya potensi risiko keselamatan bagi diri, keluarga, dan
masyarakat luas
12. fasilitasi perpindahan penduduk yang terpaksa pindah akibat menempati ruang
yang tidak sesuai dengan peruntukkannya
Kebijakan tersebut dilaksanakan dengan strategi berikut.
1. Penciptaan iklim investasi yang berpihak ke kawasan di luar Pulau Jawa melalui
penyederhanaan Standar Pelayanan Minimal dan Norma Standar Prosedur dan
Kriteria yang terkait dengan the Ease of Doing Business
2. Pewilayahan komoditas unggulan dan industri turunannya
3. Peningkatan infrastruktur yang mampu mendorong investasi dan pergerakan
penduduk secara keruangan
4. Restrukturisasi sistem penganggaran
5. Penyediaan perangkat regulasi yang adil
6. Penegakan hukum yang adil dan berpihak kepada masyarakat
Pengaturan mobilitas penduduk bertujuan untuk mewujudkan persebaran penduduk
optimal yang didasarkan pada keseimbangan jumlah penduduk dengan daya dukung
alam dan daya tampung lingkungan. Mobilitas penduduk dibagi menjadi dua katagori,
yaitu mobilitas nasional dan internasional.
Mobilitas penduduk internal mencakup: mobilitas penduduk permanen dan
nonpermanen, mobilitas penduduk ke daerah penyangga dan pusat pertumbuhan
ekonomi baru, penataan persebaran penduduk melalui kerja sama antardaerah,serta
urbanisasi dan persebaran penduduk ke daerah perbatasan, daerah tertinggal, dan pulaupulau kecil terluar.
Pengarahan penduduk internal dilakukan dengan menghormati hak setiap penduduk
untuk bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah NKRI.
Pemerintah daerah menetapkan kebijakan pengarahan mobilitas penduduk sepanjang
tidak bertentangan dengan kebijakan nasional.
Perencanaan pengarahan mobilitas penduduk dan/atau persebaran penduduk dilakukan
menggunakan data dan informasi persebaran penduduk dengan memerhatikan Rencana
Tata Ruang Wilayah. Sistem informasi kesempatan kerja yang memungkinkan penduduk
untuk melakukan mobilitas ke daerah tujuan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya
perlu dikembangkan.

94

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Pengarahan mobilitas internasional dilaksanakan melalui kerja sama internasional dengan


negara pengirim dan penerima migran internasional ke dan dari Indonesia sesuai dengan
perjanjian internasional yang telah diterima dan disepakati pemerintah.
Dalam pengaturan mobilitas penduduk terdapat sepuluh prinsip pengelolaan migrasi
internasional sesuai IOM-ILO-RED CROSS/CRECENT sebagai berikut.
1. Fokus pada kebutuhan dan kerentanan migran
2. Bagian dari program kemanusiaan
3. Perhatikan dan dukung aspirasi migran
4. Pengakuan dan penghormatan pada hak para migran
5. Bantuan, perlindungan, dan advokasi kemanusiaan sebagai satu kesatuan upaya
bagi migran
6. Bangun kemitraan upaya lintas pemangku kepentingan bagi migran
7. Pengawalan dan pelayanan sepanjang jalur migrasi
8. Bantuan bagi kepulangan/pemulangan migran
9. Atasi kejadian migrasi terpaksa
10. Atasi tekanan akibat migrasi terhadap masyarakat setempat
Secara garis besar pokok-pokok penataan persebaran dan pengaturan mobilitas
penduduk sebagai berikut.
1. Pembangunan dan pengembangan kawasan perdesaan sebagai sistem produksi
pertanian dan pengelolaan sumber daya alam yang mempunyai keterkaitan fungsional
dan hierarki keruangan dengan pusat-pusat pertumbuhan yang terkait dengan kotakota kecil, kota menengah, kota besar, dan kota metropolitan
2. Peningkatan kerja sama pembangunan antardaerah (desa-kota, kota-kota,
antarprovinsi)
3. Peningkatan pelayanan investasi
4. Pengembangan kegiatan usaha berbasis komoditas unggulan dan kebutuhan pasar
5. Peningkatan kualitas SDM dengan memprioritaskan pada penduduk setempat dan
pekerja migran untuk menjadi wirausahawan yang handal dan pekerja yang kompeten
6. Peningkatan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan
7. Peningkatan infrastruktur intra dan antarwilayah
8. Pengarahan gerak keruangan penduduk dengan mengadopsi visi jangka panjang
untuk tata ruang urban demi perencanaan penggunaan lahan yang lestari, dan
mendukung strategi urbanisasi secara terpadu
9. Reviu menyeluruh untuk memperkirakan dampak positif dan negatif kebijakan
migrasi (lalu lintas penduduk) internasional yang harus terintegrasi dengan paket
(R/O) liberalisasi perdagangan dalam kerangka FTA (barang dan jasa)

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

95

10. Penyiapan SDM yang kompeten berstandar internasional sejak dari dunia pendidikan
hingga ke/dan selama di dunia kerja sebagai kebutuhan mutlak dan merupakan
salah satu alat perlindungan utama dalam hubungan kerja
11. Peningkatan tata kelola pemerintahan yang baik
4.5. Pembangunan Database Kependudukan
Kebijakan umum pembangunan database kependudukan dilakukan dengan
mengembangkan database kependudukan yang memiliki akurasi dan tingkat kepercayaan
yang tinggi serta dikelola dalam suatu sistem yang integratif, mudah diakses oleh para
pemangku kepentingan, serta menjadi bagian dari Decision Support System (DSS). Kondisi
ini didukung oleh penguatan kapasitas sumber daya manusia yang memiliki kompetensi
tinggi, infrastruktur yang memadai, serta sistem kelembagaan yang kuat.
4.5.1. Strategi Pembangunan Database Kependudukan
Salah satu aspek penting dalam penyusunan strategi adalah menyikapi isu-isu strategis
(strategic issues) di lingkungan nasional maupun global serta pengembangan berbagai
ukuran atau indikator kinerja untuk mengakui keberhasilan implementasi untuk setiap
rencana aksi. Penahapan strategi yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Gambar 4.9. Kerangka Penyelarasan Isu-Isu Strategis Grand Design SAK

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

96

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Periode 2010-2015: fokus utama periode ini adalah pemantapan layanan Sistem
Administrasi Kependudukan (SAK) untuk instansi pemerintah terkait lainnya atau
lebih dikenal dengan konsep Government to Government (G2G), layanan SAK untuk
masyarakat atau dikenal dengan istilah Government to Citizen (G2C), layanan Sistem
Administrasi Kependudukan (SAK) untuk dunia bisnis (G2B), dan Pemantapan
Sistem Administrasi Kependudukan (SIAK) dengan berbagai penyempurnaan dan
penyesuaian fitur agar sesuai dengan amanat UU No. 23 Tahun 2006. Pada periode
ini juga mulai dikembangkan sistem identifikasi pengenal tunggal dengan teknologi
biometrik. Pendekatan pengembangan dan penerapan, baik sisi fitur teknologi
maupun dari sisi implementasi di lapangan dilakukan secara bertahap dan
berkesinambungan.
Periode 2016-2020: fokus periode ini terletak pada cara SAK dapat memberikan
layanan prima untuk mendukung hubungan sesama instansi pemerintah (G2G),
hubungan kepada masyarakat (G2C) dan hubungan dengan dunia bisnis, atau dikenal
dengan Goverment to Business (G2B). Pada periode ini, ditargetkan database
kependudukan untuk menjadi acuan bagi perencanaan pemerintah secara nasional
dan pemanfaatan dunia bisnis, seperti untuk kebutuhan marketing research, e-payment,
e-commerce, dan transaksi bisnis berbasis elektronik lainnya.
Periode 20212025: fokus pada periode ini adalah pemantapan fungsi dan peranan
Database Kependudukan Nasional yang berlandaskan pada tertib administrasi
kependudukan dan layanan prima administrasi kependudukan. Database
Kependudukan Nasional ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pemerintah, dunia bisnis, dan dunia internasional. Pada periode ini Database
Kependudukan Nasional telah memiliki tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi dan
diakui oleh dunia internasional. Kepercayaan yang tinggi terhadapa Database
Kependudukan Nasional dapat digunakan untuk mendukung kerja sama multilateral bidang pertahanan dan keamanan, seperti cross border cyber crime, bidang
perekonomian (international investment), dan bidang lainnya, sehingga Indonesia
memiliki daya saing yang tinggi untuk menghadapi persaingan global. Pada periode
ini juga diharapkan peranan SAK menjadi faktor daya saing bangsa dan sebagai
akselerator dalam mewujudkan iklim masyarakat informasi (Information Society) dan
masyarakat berpengetahuan (Knowledge base society).
Periode 2026-2030: Fokus strategi periode ini untuk mengembangkan database yang
ada terintegrasi dengan data lain terkait. Hal itu dilakukan dengan mengembangkan
sistem yang terhubung dengan data lain yang berasal dari berbagai lembaga dan
sesuai dengan data yang telah ada. Sistem ini dikembangkan agar mudah diakses
oleh pemangku kepentingan.
Periode 2031-2035: Strategi yang dilakukan adalah mengembangkan sistem yang telah
terbangun menjadi bagian dari DSS (Decision Support System) yang terintegratif.
Tujuannya adalah memfasilitasi pengambil kebijakan untuk menggunakan data dan

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

97

informasi yang tersedia untuk pengambilan keputusan atau penanganan suatu


permasalahan secara cepat.
Dalam jangka pendek, strategi disusun berdasarkan kegiatan yang telah, sedang, dan
akan dijalankan sampai dengan tahun 2012 seperti pada Gambar 4.10.

Gambar 4.10. Tahap-tahap Penerapan KTP Berbasis NIK Nasional

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka


dalam jangka waktu pendek database kependudukan
akan tersedia dan termutakhirkan setiap saat
dengan gambaran sebagai berikut.

Pembangunan sistem data dan informasi


kependudukan melalui pemantapan layanan
Sistem Administrasi Kependudukan (SAK),
pengembangan database kependudukan untuk
menjadi acuan bagi perencanaan pemerintah

Gambar 4.11 menjelaskan bahwa pada tahap awal,


untuk mendapatkan database kependudukan yang
dari kabupaten/kota, maka seluruh kabupaten/
kota (497 kabupaten/kota) melakukan kegiatan
pemutakhiran data tahun 2010 dan di antaranya
ada 330 kabupaten/kota yang selanjutnya
melaksanakan penerbitan NIK. Penerbitan NIK
untuk kabupaten/kota sisanya, yaitu 167
kabupaten/kota, diselesaikan tahun 2011. Untuk

98

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

secara nasional dan pemanfaatan dunia bisnis,


pemantapan fungsi dan peranan Database
Kependudukan Nasional yang berlandaskan
pada tertib administrasi kependudukan dan
layanan prima administrasi kependudukan,
pengembangan sistem yang terhubung dengan
data lain yang berasal dari berbagai lembaga
dan sesuai dengan data yang telah ada,
pengembangan sistem yang telah terbangun
menjadi bagian dari DSS (Decision Support

System) yang terintegratif

Gambar 4.11. Mekanisme Pembangunan Database Kependudukan


dan Pemutakhirannya

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

penerapan e-KTP, diselesaikan akhir tahun 2012 dan pada saat itu akan didapat database
yang benar-benar dijamin keakuratannya.
Update database kependudukan agar data kependudukan yang ada sesuai dengan kondisi
nyatanya dilakukan secara regular melalui pelayanan pendaftaran penduduk, pencatatan
sipil, dan pelayanan e-KTP secara regular juga. Terbangunnya database kependudukan
berbasis NIK secara nasional akan memberikan banyak sekali keuntungan dari berbagai
sektor pembangunan dan pelayanan publik. Database kependudukan melalui NIK
diintegrasikan dengan sidik jari sebagai kunci akses sehingga data kependudukan terjamin
validitasnya dan secara mudah diakses oleh berbagai pihak yang membutuhkan. Secara
garis besar, aksesibilitas database kependudukan dapat digambarkan pada ilustrasi berikut.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

99

Gambar 4.12. Pemanfaatan Database

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

Database kependudukan juga dapat digunakan untuk kepentingan pemilu dan pemilukada,
baik itu melalui data kependudukan yang telah dimutakhirkan dan diverifikasi dengan
bimoterik dalam program e-KTP (Gambar 4.12) maupun melalui pemanfaatan e-KTP
untuk kegiatan pelaksanaan pemungutan suara di TPS-TPS (Gambar 4.12. dan 4.13).
Berikut adalah gambarannya.

100

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Gambar 4.12 dan 4.13 Pemanfaatan Database Kependudukan dan e-KTP untuk Mendukung Pemilu

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

DIAGRAM DATABASE KEPENDUDUKAN


Departemen/
Instansi Lain

Dirjen Adminduk
(Departemen
Dalam Negeri)

Sistem Pendataan
sesuai Kebutuhan
Departemen/Instansi

Sistem Pendataan Pasif

Kebutuhan
Departemen/
Instansi

Pengolahan
dan Publikasi

1. Kartu Keluarga (KK)


2. Laporan Kelahiran
3. Laporan Kematian
4. Laporan Migrasi Masuk
5. Laporan Migrasi Keluar
6. KTP
7. Akta Kelahiran
8. Akta Kematian
9. Akta Pernikahan
10. Akta Adopsi
11. Lain-lain

Pengolahan dan
Publikasi

Pendukung

Badan Pusat
Statistik
(Nondepartemen)

Sistem Pendataan Aktif

1.Sensus
a. Sensus Penduduk
b. Sensus Ekonomi
c. Sensus Pertanian
2.Survei Kependudukan
a. SUPAS
b. Sakernas
c. Susenas Kov
d. Susenas Modul
e. SDKI
f. Lain-lain
Pengolahan dan
Publikasi

Penyesuaian Data Tertentu


sensus/survei dan registrasi

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

101

102

GRAND
GRANDDESIGN
DESIGN
PEMBANGUNAN
PEMBANGUNANKEPENDUDUKAN
KEPENDUDUKAN
TAHUN
TAHUN2011-2035
2011-2035

BAB Roadmap

5.1. Umum
Pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas merupakan langkah penting
dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Hal ini diselenggarakan melalui
pengendalian kuantitas penduduk dan peningkatan kualitas insani dan sumber daya
manusia. Karakteristik pembangunan, antara lain, dilaksanakan melalui pengendalian
pertumbuhan penduduk, keluarga berencana, dan dengan cara pengembangan kualitas
penduduk, melalui pewujudan keluarga kecil yang berkualitas dan mobilitas penduduk
yang terarah. Dalam kaitan itu, aspek penataan data dan informasi kependudukan
merupakan hal penting dalam mendukung perencanaan pembangunan, baik di tingkat
nasional maupun daerah.
5.1.1. Pengendalian Kuantitas Penduduk
Roadmap Grand Design Pengendalian Kuantitas Penduduk ini mencakup kurun waktu
2010 sampai dengan 2035 dengan periode lima tahunan. Roadmap dibuat untuk
mengetahui sejauh mana sasaran-sasaran pengendalian kuantitas penduduk telah dapat
dicapai, baik yang mencakup fertilitas maupun mortalitas. Dengan demikian, tujuan
roadmap ini dapat berjalan secara sistematis dan terencana sehingga dapat diketahui
sasaran-sasaran yang harus dicapai pada setiap periode, serta kebijakan, strategi, dan
program yang perlu dilakukan.
Tabel 5.1. Roadmap Pengendalian Kuantitas Penduduk

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

103
103

5.1.2. Peningkatan Kualitas Penduduk

Sasaran Pembangunan Kualitas Penduduk Lima Tahunan


Rata-Rata Lama Bersekolah
Tabel di bawah adalah target rata-rata lama bersekolah untuk jangka waktu lima tahunan.
Skenario rendah yang menggunakan model asimtot 11,3 tahun berdasarkan asumsi
rata-rata lama bersekolah negara-negara very high developed saat ini adalah sebesar
11,3 tahun. Skenario sedang menggunakan model asimtot 12,6 tahun berdasarkan asumsi
maksimal rata-rata lama bersekolah adalah sebesar 12,6 tahun dan skenario tinggi
menggunakan model tanpa asimtot.
Tabel 5.2. Perkiraan Rata-Rata Lama Bersekolah (MYoS)

Sumber: Draf Rancangan Umum Pembangunan Kependudukan

Harapan Rata-Rata Lama Bersekolah (EYoS)


Skenario rendah menggunakan model asimtot 15,9 tahun berdasarkan asumsi expected
years of schooling negara-negara very high developed saat ini adalah sebesar 15,9 tahun.
Skenario sedang menggunakan model asimtot 18 tahun berdasarkan asumsi maksimal
expected years of schooling. Skenario tinggi menggunakan model tanpa asimtot.
Tabel 5.3. Perkiraan Harapan Rata-Rata Lama Bersekolah (EYoS)

Sumber: Draf Rancangan Umum Pembangunan Kependudukan

104

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Angka Partisipasi Murni SMA


Skenario rendah dengan asimtot APM SMA adalah 100 persen. Skenario sedang dengan
asimtot APM SMA adalah 100 persen dengan laju pertumbuhan penduduk yang
meningkat 1,5 persen per tahun dan skenario tinggi tanpa asimtot.
Tabel 5.4. Perkiraan Angka Partisipasi Murni 2015-2050

Sumber: Draf Rancangan Umum Pembangunan Kependudukan

Angka Harapan Hidup


Skenario rendah menggunakan model asimtot 80 tahun berdasarkan asumsi dari AHH
negara-negara very high developed saat ini adalah sebesar 80 tahun. Skenario sedang
menggunakan model asimtot 83,4 tahun berdasarkan asumsi maksimal AHH sebesar
83,4 tahun. Skenario tinggi menggunakan model tanpa asimtot.
Tabel 5.5. Perkiraan Angka Harapan Hidup 2015-2035

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

GNI per Kapita (Purchasing Power Parity/PPP$)


Skenario rendah menggunakan model asimtot 10.000 berdasarkan asumsi GNI per
kapita PPP$ rata-rata dunia saat ini adalah sebesar 10.000 per kapita PPP$ (HDR 2011).
Skenario sedang menggunakan model asimtot 12.000 tahun berdasarkan asumsi GNI
per kapita PPP$ negara Eropa dan Asia Tengah saat ini adalah sebesar 12.000 per
kapita PPP$ (HDR 2011). Skenario tinggi menggunakan tren (model tanpa asimtot).

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

105

Tabel 5.6. Perkiraan GNI per Kapita Indonesia 2011-2050

Sumber: Draf Rancangan Umum Pembangunan Kependudukan

5.1.3

Pembangunan Keluarga

Pembangunan keluarga dilakukan untuk mencapai kondisi keluarga yang harmonis,


sejahtera, dan damai yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang sangat cepat.
Ketahanan keluarga diharapkan dapat menjadi sandaran bagi kelangsungan berkehidupan
yang aman, damai, dan sejahtera. Adapun kegiatan untuk setiap periode dapat dilihat
pada tabel 5.7.
Tabel 5.7. Roadmap Pembangunan Keluarga

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

5.1.4

Penataan persebaran dan Pengarahan Mobilitas Penduduk

Merujuk pada UU No. 52 Tahun 2009 pasal 33:1, pengarahan mobilitas penduduk
bertujuan untuk tercapainya persebaran penduduk optimal dan didasarkan pada
keseimbangan jumlah penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung
lingkungan. Mobilitas penduduk meliputi mobilitas internal dan internasional. Pasal
16A PP No. 57 Tahun 2009 menegaskan bahwa mobilitas penduduk dilaksanakan secara

106

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

permanen dan/atau nonpermanen. Mobilitas penduduk sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) meliputi mobilitas penduduk dalam kabupaten/kota, mobilitas penduduk
antarkabupaten/kota dalam provinsi, dan mobilitas penduduk antarkabupaten/kota
antarprovinsi. Pasal 16B menjelaskan bahwa mobilitas sebagaimana dimaksud dalam
pasal 16A dapat dilakukan atas kemauan sendiri, fasilitas pemerintah, dan/atau fasilitas
pemerintah daerah.
Pasal 16J menegaskan dalam penyelenggaraan pengarahan mobilitas penduduk,
pemerintah daerah provinsi pengumpulan dan analisis data-data mobilitas/persebaran
penduduk sebagai dasar perencanaan pembangunan daerah; pengembangan sistem
informasi kesempatan kerja, peluang usaha dan pasar kerja serta kondisi daerah tujuan;
pengembangan sistem database dan penertiban pelaksanaan pengumpulan/laporan,
pengolahan, analisis data dan informasi yang berkaitan dengan mobilitas penduduk;
sosialisasi dan advokasi mengenai kebijakan pengarahan mobilitas penduduk pada instansi
terkait; komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai kebijakan dan pengelolaan
pengarahan mobilitas penduduk kepada masyarakat; pembinaan dan fasilitasi pengarahan
mobilitas penduduk pada seluruh instansi terkait; pelaporan data statistik mobilitas
penduduk; pemantauan dan evaluasi serta pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan
pengarahan mobilitas penduduk; pengendalian dampak mobilitas penduduk terhadap
pembangunan dan lingkungan.
Dalam hal mobilitas internal, beberapa aspek perlu diperhatikan, antara lain, adalah
mobilitas permanen dan nonpermanen, mobilitas ke daerah penyangga dan ke pusat
pertumbuhan ekonomi baru, penataan persebaran penduduk melalui kerja sama
antardaerah, kebijakan urbanisasi, serta penyebaran penduduk ke daerah perbatasan
antarnegara, daerah tertinggal, dan pulau-pulau kecil terluar (UU No. 52 Tahun 2009
pasal 33:3). Selanjutnya, pengerahan mobilitas penduduk dilakukan menggunakan data
dan informasi serta persebaran penduduk yang memerhatikan Rencana Tata Ruang
Wilayah (pasal 36:1), di samping juga pengembangan sistem informasi kesempatan kerja
yang memungkinkan untuk melakukan mobilitas ke daerah tujuan sesuai kemampuan
yang dimilikinya (UU No. 52 Tahun 2009 pasal 36:2). Dalam hal migrasi internasional,
pengarahan dilakukan melalui kerja sama internasional dengan negara pengirim dan
penerima migran internasional ke dan dari Indonesia sesuai dengan perjanjian
internasional yang telah diterima dan disepakati oleh pemerintah (UU No. 52 Tahun
2009 pasal 33:4).
Sebagai arahan kebijakan, berikut adalah Pokok-Pokok Roadmap Grand Design Pengerahan
Penduduk 2010-2034.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

107

Tabel 5.8 Pokok-Pokok Roadmap Grand Design Pengarahan Mobilitas Penduduk 2010-2035

Sumber: Data Sekunder, Diolah, 2012

108

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

5.1.5. Pembangunan Data dan Informasi Kependudukan


Pada prinsipnya roadmap pembangunan data dan informasi kependudukan dibagi menjadi
lima periode. Setiap periode merupakan penahapan yang sangat terkait dengan
pencapaian tujuan dari pengembangan data dan informasi kependudukan, yaitu
menciptakan suatu sistem yang terintegrasi, mudah diakses, dan menjadi bagian dari
Decision Support System (DSS). Adapun pentahapannya dapat dilihat pada Tabel 5.9.
Tabel 5.9. Roadmap Pembangunan Database Kependudukan

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

109

110

GRAND
GRANDDESIGN
DESIGN
PEMBANGUNAN
PEMBANGUNANKEPENDUDUKAN
KEPENDUDUKAN
TAHUN
TAHUN2011-2035
2011-2035

BAB Pen
utup
enutup

Tantangan besar persoalan kependudukan di Indonesia di masa depan adalah bagaimana


meraih bonus demografi. Dengan tren perubahan komposisi penduduk menurut umur
di masa lalu, diperkirakan Indonesia akan mencapai tahap windows of opportunity tahun
2030-an dengan asumsi bahwa jika pengelolaan kuantitas penduduk, khususnya fertilitas
dilakukan dengan benar. Selain itu, kunci utama meraih bonus demografi ini terletak
pada kualitas SDM sebagai modal dasar pembangunan. Oleh karena itu, visi GDPK ini
diarahkan pada terwujudnya penduduk yang berkualitas sebagai modal dasar dalam
pembangunan untuk tercapainya masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan
sejahtera.
Terwujudnya penduduk yang
berkualitas ini harus ditopang
oleh upaya yang terarah dan
terencana hingga tahun 2035
melalui
komponen
peningkatan
kualitas
penduduk baik dari sisi
pendidikan, kesehatan, dan
ekonomi. Pembangunan
kualitas penduduk ini tidak
dapat berdiri sendiri jika tidak
ditopang
oleh
tiga
komponen besar GDPK
yang lain yakni pengendalian
kuantitas
penduduk,
pembangunan keluarga, dan
pengarahan
mobilitas
penduduk. Sebagai dasar perencanaan dan pengembangan dari semua komponen GDPK
di atas adalah tersedianya system data dan informasi kependudukan yang memadai.
Permasalahan utama kualitas penduduk Indonesia adalah masih rendahnya kualitas yang
dapat diukur dari angka IPM yang masih rendah dibandingkan dengan beberapa negara
tetangga di kawasan ASEAN. Kualitas penduduk adalah kondisi penduduk dalam aspek
fisik dan nonfisik yang meliputi derajat kesehatan, pendidikan, pekerjaan, produktivitas,
tingkat sosial, ketahanan, kemandirian, kecerdasan, sebagai ukuran dasar untuk
mengembangkan kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang bertakwa,

GRAND
GRAND DESIGN
DESIGN
PEMBANGUNAN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
KEPENDUDUKAN
TAHUN
TAHUN 2011-2035
2011-2035

111
111

berbudaya, berkepribadian, berkebangsaan, dan hidup layak (UU No. 52 Tahun 2008
Pasal 1 ayat 5). Pengembangan kualitas penduduk dilakukan untuk mewujudkan manusia
yang sehat jasmani dan rohani, cerdas, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia,
dan memiliki etos kerja yang tinggi. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pembangunan
kualitas penduduk difokuskan pada peningkatan kapasitas pendidikan, terjaminnya
kesehatan, serta kapasitas perekonomian.
Permasalahan utama kuantitas penduduk adalah pertumbuhan yang masih cukup tinggi.
Dalam jangka panjang, kondisi kependudukan yang diinginkan adalah tercapainya
penduduk stabil dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Dari kondisi ini diharapkan
bahwa jumlah bayi yang lahir diharapkan sama (seimbang) dengan jumlah kematian
sehingga penduduk menjadi stasioner. Untuk mencapai kondisi penduduk tumbuh
seimbang (PTS), diharapkan angka kelahiran total (TFR) akan berada pada 2,1 per
perempuan atau Net Reproduction Rate (NRR) sebesar 1 per perempuan tahun 2015.
Selanjutnya secara berlanjut angka fertilitas total menjadi 1,88 per perempuan dan NRR
menjadi 0,89 tahun 2020. Kondisi ini akan dipertahankan terus sampai dengan tahun
2035.
Permasalahan utama pembangunan keluarga adalah masih banyaknya keluarga yang
berada dalam kemiskinan atau hampir (rentan) miskin. Kondisi yang diinginkan melalui
pembangunan keluarga adalah terwujudnya keluarga Indonesia yang berkualitas, sejahtera,
dan berketahanan sosial yang mampu melaksanakan fungsi keluarga secara maksimal.
Persoalan lain yang masih menjadi kendala besar dalam pembangunan kependudukan
adalah tidak tersebarnya mobilitas penduduk secara merata. Lebih banyak penduduk
yang terkonsentrasi di kota-kota besar khususnya di Jawa. Ketidakmerataan ini berdampak
pada lambatnya perkembangan ekonomi antar daerah sehingga terjadi ketimpangan
ekonomi antar daerah. Dari aspek mobilitas penduduk, kondisi yang diinginkan adalah
terjadinya persebaran penduduk yang lebih merata ke luar Pulau Jawa sehingga
konsentrasi penduduk tidak semakin besar di Pulau Jawa yang memang sangat padat
penduduk. Demikian juga halnya dengan urbanisasi, diharapkan agar penduduk tidak
berbondong-bondong datang ke perkotaan yang pada gilirannya menimbulkan masalah
baru. Kondisi persebaran penduduk yang diinginkan adalah persebaran penduduk yang
merata dan pengaturan mobilitas sesuai dengan potensi daerahnya. Tentunya yang
diharapkan adalah adanya penataan dan persebaran yang proporsial sesuai daya dukung
alam dan lingkungan.

112

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Sebagai penopang dari keempat komponen kependudukan di atas adalah tersedianya


sistem data dan informasi kependudukan yang memadai. Namun sayangnya kualitas
sistem ini belum tercapai oleh sebab adanya berbagai kendala baik dari regulasi,
kelembagaan, kapasitas SDM maupun kewenangan pusat daerah pasca diterapkannya
otonomi daerah. Seharusnya dikembangkan sistem survei dan pengumpulan data
kependudukan yang sesuai dengan kebutuhan lembaga pemerintah terkait dan pihak
non-pemerintah seperti swasta dan kelompok masyarakat sipil lainnya yang
membutuhkan. Selain itu, kebijakan seharusnya diarahkan pada tersusunnya sistem database kependudukan sehingga diharapkan dapat diperoleh data dan informasi
kependudukan yang andal, akurat, riil, dan dapat digunakan sebagai bahan pengambilan
keputusan secara cepat.

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

113

Daftar Pustaka
Adioetomo, Sri Murtiningsih. 2005. Bonus Demografi Menjelaskan Hubungan antara
Pertumbuhan Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi Pidato Pengukuhan
Guru Besar Fakultas Ekonomi UI. Jakarta: FE-UI
Badan Pusat Statistik. 2000. Sensus Penduduk 2000. Jakarta.
. 2002. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002. Jakarta.
. 2007. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta.
. 2010. Sensus Penduduk 2010. Jakarta.
. 2011. Survei Angkatan Kerja Nasional 2011. Jakarta.
Bappenas. 2007.
Denny, Hugh. 1972. De Congesting Metropolitan America, It Can be Done. University of
Missoury, Extension Divission.
Granado, et.al. 2007.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta.
UN-SC on Nutrition. 2008.
Saleh, Harry Heriawan, Mengurai Benang Kusut Metropolitan (Bumi Nusantara untuk
Manusia Indonesia). Jakarta.

114

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Lampiran

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

115

116

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

117

118

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

119

120

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

121

122

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

123

124

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

125

126

GRAND DESIGN
PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN
TAHUN 2011-2035

Anda mungkin juga menyukai