Anda di halaman 1dari 23

IMPLEMENTASI PENGGUNAAN APLIKASI ONLINE

PEMERINTAH (MOBILE JKN) TERHADAP


KEPUASAN MASYARAKAT DALAM PELAYANAN
PUBLIK KOTA SURABAYA

Disusun oleh :
AMIDA NUR DWI YANTI
(22091377001) IIS OKTAFIANI
(22091377021)
SAKINATUL ISNAINI (22091377023)
NIDIA SABELA (22091377029)
VENY TRISNAWATI (22091377033)

FAKULTAS VOKASI
PRODI D4 ADMINITRASI NEGARA
UNIVERSITAS NEGERI
SURABAYA 2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Birokrasi diartikan sebagai suatu hal yang kompleks dengan berkaitan
langsung pada aspek-aspek yang penting, seperti halnya dalam aspek kelembagaan,
sumber daya alam (SDA), dan pembaharuan birokrasi yang disebut sebagai reformasi
birokrasi. Dikarenakan, negara dalam membangun sistem harus memiliki tujuan yang
jelas, agar dapat melayani kepentingan masyarakat secara maksimal. Dalam konteks
proses penyelenggaraan pelayanan publik harus dilaksanakan dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjalankan tujuan negara yang
sebagaimana telah tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 yakni memajukan
kesejehteraan umum.
Reformasi birokrasi merupakan tuntutan era reformasi yang mulai digulirkan
pada tahun 1998 untuk memperbaiki pelayanan negara terhadap warganya. Pada tahun
2019, Reformasi Birokrasi adalah perubahan di mana kedalamannya terbatas
sedangkan keluasan perubahannya melibatkan seluruh masyarakat. Pengertian ini
akan lebih jelas jika dibedakan revolusi. Konsep terakhir menunjukkan kedalaman
perubahannya radikal sedangkan keluasan perubahannya melibatkan pula seluruh
masyarakat.Sebagai perubahan yang terbatas tetapi seluruh masyarakat terlibat,
reformasi juga mengandung pengertian penataan kembali bangunan masyarakat,
termasuk cita-cita, lembaga-lembaga dan saluran yang ditempuh dalam mencapai cita-
cita (Sinambela, 2006).
Salah satu dampak dari proses globalisasi dan reformasi adalah munculnya
tuntutan yang gencar dilakukan oleh masyarakat terhadap pemerintah untuk
melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Oleh karena itu pola lama
penyelenggaraan pemerintahan sudah tidak sesuai lagi dengan tatanan masyarakat
yang telah berubah, dari yang semula sentralisasi, kekuasaan yang eksklusif,
monopolistik, formal, birokratik, nepolistik dan tidak akuntabel menuju pola dan gaya
pemerintahan yang demokratis, desentralistik, inklusif, partisipatif, transparan, efisien
dan akuntabel (Islamy, 2000). Hal ini sesuai dengan kecenderungan pola
pengembangan kepemerintahan yang dipengaruhi oleh semakin kentalnya nilainilai
demokrasi, transparansi dan akuntabilitas.
Pada tahun 2020, reformasi birokrasi merupakan salah satu langkah awal
untuk melakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang baik,
efektif dan efisien, sehingga dapat melayani masyarakat secara cepat, tepat, dan
profesional. Dalam perjalanannya, banyak kendala yang dihadapi, diantaranya adalah
penyalahgunaan wewenang, praktek KKN, dan lemahnya pengawasan. Sejalan
dengan hal tersebut, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 81
Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi yang mengatur tentang
pelaksanaan program reformasi birokrasi. Peraturan tersebut menargetkan tercapainya
tiga sasaran hasil utama yaitu peningkatan kapasitas dan akuntabilitas organisasi,
pemerintah yang bersih dan bebas KKN, serta peningkatan pelayanan publik.
Kementerian Perindustrian sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2015 merupakan salah satu kementerian yang mempunyai
tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian untuk
membantu Presiden dalam meyelenggarakan pemerintahan negara.
Pada tahun 2021, Hasrat masyarakat yang penting dari adanya gerakan
reformasi adalah perubahan dalam paradigma, struktur, kultur dari penyelenggaraan
pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah. Dengan adanya reformasi, maka
diharapkan dapat menemukan ide, cara, dan inovasi yang baru untuk menata dan
merancang dari penyelenggaraan pemerintahan kearah lebih baik dalam mewujudkan
pemerintahan yang efisien dan efektif untuk kedepannya nanti. Paradigma dalam
menata sistem pemerintahan dan merancang berbagai inovasi-inovasi yang baru
dalam menjalankan birokrasi harus senantiasa dapat dilaksanakan secara efisien,
efektif, responsif, transparan, dan akuntabel sesuai dengan kebutuhan dari
masyarakat. Birokrasi harus senantiasa dapat bekerja dengan cepat, tepat, dan tidak
berbelit-belit. Oleh karena itu, reformasi birokrasi pada nantinya dapat menghasilkan
birokrasi yang profesional dan terbebas dari hambatan.
Pada tahun 2022, reformasi birokrasi menjadi salah satu upaya pemerintah
untuk mencapai good governance dan melakukan pembaharuan dan perubahan
mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut
aspek-aspekk kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan dan sumber daya manusia
aparatur. Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap sistem
penyelenggaraan pemerintah dimana uang tidak hanya efektif dan efektif, tetapi juga
reformasi birokrasi menjadi tulang punggung dalam perubahan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Guna menciptakan birokrasi pemerintah yang professional dengan
karakteristik, berintegrasi, berkinerja tinggi, bebas, dan bersih KKN, mampu melayani
publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode
etik aparatur negara.
Kepuasan (satisfaction) adalah suatu perasaan baik senang ataupun kecewa
yang datang karena membandingkan kinerja suatu produk yang diharapkan sesuai
dengan ekspetasi (Tjiptono, 2000). Philip Kotler menyatakan bahwa kepuasan adalah
tingkat keadaan dimana seseorang menyatakan hasil perbandingan atas kinerja produk
(jasa) yang diterima dan yang diharapkan. Kepuasan dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu kepuasan yang berwujud merupakan, kepuasan yang dapat dirasakan
dan dilihat oleh pelanggan serta telah dimanfaatkan, dan kepuasan psikologika yang
bersifat tidak terwujud dari pelayanan kesehatan tetapi dapat dirasakan oleh pasien.
Pengertian kepuasan menurut Rama (2011) ialah pasien akan terpenuhi
apabila proses penyampaian jasa pelayanan kesehatan kepada konsumen sudah sesuai
dengan yang mereka harapkan atau dipersepsikan. Terpenuhinya kebutuhan pasien
akan mampu memberikan gambaran terhadap kepuasan pasien, oleh karena itu tingkat
kepuasan pasien sangat tergantung pada persepsi atau harapan mereka pada pemberi
jasa pelayanan. Kebutuhan pasien yang sering diharapkan adalah keamanan
pelayanan, harga dalam memperoleh pelayanan, ketepatan dan kecepatan pelayanan
kesehatan.
Kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik dangan penting karena
berhubungan dengan kepercayaan masyarakat. Harbani Pasolong (2010:221-222),
menyatakan bahwa semakin baik kepemerintahan kualitas pelayanan yang diberikan,
maka kana semakin tinggin kepercayaan masyarakat (high trust). Kepercayaan
masyarakat semakin tinggi apabila masyarakat mendapat pelayanan yang baik dan
merasa terpuaskan akan pelayanan tersebut. Menurut KEPEMENPEN Nomor 63
tahum 2003 tentang Pedoman umum penyelenggaraan pelayanan ditentukan oleh
tingkat kepuasan penerima pelayanan. Untuk mengetahui tingkat kepuasan
masyarakat melalui survei kepuasan masyarakat, secara konseptual pengukuran
kepuasan masyarakat yaitu kesesuaian harapan merupakan kesamaan antara kinerja
pelayanan yang diharapkan sesuai dengan ekspetasi dan realita yang didapatkan serta
dirasakan oleh masyarakat.
Salah satu tugas pokok terpenting pemerintah adalah memberikan pelayanan
publik kepada masyrakat. Pelayanan publik merupakan pemberian jasa oleh
pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah, ataupun pihak swasta kepada
masyarakat,dengan pembiayaan maupun gratis guna memenuhi kebutuhan atau
kepentingan masyarakat. Tugas ini secara jelas telah digariskan dalam pembukaan
Undanng-Undang Dasar 1945 alenia Ke-empat, yang meliputi empat aspek pelayanan
pokok aparatur terhadap masyarakat yang berbunyi : “ Melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia memajukan kesejahteraaan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik adalah mendefinisikan pelayanan publik sebagai berikut “Pelayanan
publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalalm rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang,jasa,dan pelayanan administrative yang disediakan oleh
penyelenggaraan pelayanan publik”.
Tujuan pemberian pelayanan publik sendiri adalah untuk mewujudkan konsep
good governance. Dalam kaitannya dengan perwujudan pelayanan publik yang good
governance, pemerintah perlu beradaptasi dengan perkembangan teknologi agar tidak
tertinggal. Hage dan Power dalam Anwar (2003:111) menjelaskan salah satu ciri yang
menonjol di era kemajuan teknologi komunikasi dan informasi adalah digunakannya
teknologi komputer. Seiring dengan perkembangannya, teknologi baru bahkan
muncul yaitu komputer jaringan yang biasa disebut International network (internet).
Internet merupakan jaringan dari sekumpulan jaringan yang terdiri atas jutaan
komputer dari seluruh dunia dengan transmisssion control protocol/internet protocol
(TCP/IP) dapat saling berhubungan (Andrianto, 2007:31). Teknologi informasi
(internet) yang digunakan pemerintah akan sangat besar perannya, terutama dalam hal
penyediaan layanan publik yang akurat dan terpadu baik bagi masyarakat maupun
pemerintah itu sendiri. Hubungan antara pemerintah dengan teknologi informasi ini
memunculkan konsep Electronic Service Delivery (ESD), yaitu melalui media
elektronik dan digital pemerintah menyediakan jasa pelayanan masyarakat. ESD ini
kemudian berkembang dan menjadi awal munculnya e-Government.
E-Government merupakan penggunaan teknologi informasi oleh badan
pemerintahan untuk menjalankan kegiatan pemerintahan. e-Government diterapkan di
Indonesia untuk menunjang kinerja dalam sebuah pemerintahan. Cangkupan e-
Government sendiri bukan hanya untuk kepentingan instansi pemerintahan namun
juga merupakan kebutuhan masyarakat yang ingin mendapatkan informasi yang
dibutuhkan masyarakat luas.
Pengembangan e-government pemerintah telah mengeluarkan Inpres Nomor
03 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-
Government. Rumusan pengembangan e-government masih banyak perbedaan
pemahaman diantara para pejabat pemerintah sendiri. Menurut masyarakat umum
masih dipahami sebatas sebagai pembuatan situs web oleh organisasi pemerintah dan
belum banyak yang memahami secara luas bahwa tahap-tahap perkembangan
pemanfaatan teknologi informasi dalam organisasi publik itu bisa berbeda-beda
mengikuti tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam.Tetapi konsep e-
government itu dapat dimaklumi karena cakupan tugas-tugas pemerintah yang sangat
luas dengan kebutuhan di masing-masing daerah yang beragam.
Perihal kewenangan dan tanggung jawab penyelenggaraan e-government di
daerah dapat diperhatikan dalam pasal 12 ayat (2) huruf j Undang-Undang Nomor 23
tahun 2014 tentang pemerintahan Daerah (UU No.23 Tahun 2014). Didalamnya
mengatur tentang salah satu urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan
pelayanan dasar yaitu komunikasi dan informatika.
Dalam dunia Pelayanan Publik saat ini, masyarakat dapat menggunakan
layanan dimana saja dan kapan saja. Demikian halnya pada pelayanan kesehatan,
dengan adanya aplikasi mobile JKN semakin memudahkan masyarakat. Pemerintah
sedang melakukan program transformasi teknologi besar-besaran, dalam administrasi
publik, mengenai identitas warga digital, perbankan, transportasi, dan kesejahteraan
sosial untuk meningkatkan penetrasi inisiatif publik yang mencakup banyak badan.
Interaksi antar lembaga pemerintah juga memerlukan pengembangan identitas
digital yang unik dalam kerangka kerja perlindungan data untuk memungkinkan akses
lintas sistem untuk bisnis dan individu. Aplikasi Mobile JKN dijelaskan oleh BPJS
Kesehatan adalah aplikasi yang dapat diakses pada smartphone. Terobosan terbaru
BPJS melalui aplikasi supaya memudahkan dalam pendaftaran online, serta
memudahkan dalam akses informasi terkait data kepesertaan, melihat tagihan iuran
peserta, mendapatkan layanan FKTP Pada UU No.40 Tahun 2004 menjelaskan
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang didalamnya menetapkan progam
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai salah satu progam jaminan sosial dalam
Sistem jaminan Sosial Nasional. UU SJSN membentuk dua organ yang bertanggung
jawab dalam penyelenggaraan progam jaminan sosial nasional, yaitu Dewan Jaminan
Sosial Nasional (DJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Pada 1 Januari 2014, Pemerintah resmi mengoperasikan BPJS Kesehatan atas
perintah UU BPJS. BPJS Kesehatan berfungsi menyelenggarakan program jaminan
kesehatan, yang memiliki target dimana pada tahun 2019 seluruh Penduduk Indonesia
harus memiliki BPJS Kesehatan.
Pada era digitalisasi perkembangan teknologi semakin canggih. Berbagai
inovasi yang bermunculan disetiap instansi pemerintahan sebagai alat pendukung tata
kelola pemerintahan. Inovasi merupakan ide baru, transformasi metode, cara baru
yang sengaja diciptakan dengan tujuan memperbaiki kualitas dan efisiensi layanan
yang disediakan badan tertentu. Koch (2005) dalam Wahyuni (2016:28) berpendapat
bahwa inovasi adalah persoalan penggunaan hasil pembelajaran yaitu kompetensi
anda sebagai dasar penemuan cara baru dalam melakukan sesuatu yang memperbaiki
kualitas dan efisiensi layanan yang disediakan. Sedangkan Rosenfeld dalam Sutarno
(2012;132) mengemukakan pendapat inovasi adalah transformasi pengetahuan kepada
produk, proses dan jasa baru, tindakan menggunakan sesuatu yang baru. Sebuah
pembaruan atau ide tersebut sesuai atau telah memenuhi inovasi.
Setiap lembaga pemerintahan diharapkan agar dapat mengatasi permasalahan
masyarakat dengan cepat serta berbasis teknologi dalam menghadapi era revolusi 4.0.
Perkembangan teknologi informasi yang pesat mendorong BPJS Kesehatan untuk
melawan inovasi digital. Salah satunya, sebagai solusi keluhan antrian Panjang di
kantor BPJS Kesehatan.
Pada 15 November 2017, BPJS Kesehatan meresmikan aplikasi yang bernama
“Mobile JKN”. Mobile JKN hadir sebagai salah satu sarana untuk mempermudah
kebutuhan di JKN-KIS. Peluncuran aplikasi ini di dorong oleh adanya Trend
teknologi informasi yang mengarah kepada penggunaan aplikasi mobile, dimana
semua pekerjaan dibantu oleh sistem digital online. Hal ini dilakukan untuk
membantu para peserta BPJS Kesehatan dalam bertransaksi, peningkatan pelayanan
terhadap peserta JKN dan Kartu Indonesia Sehat, kecepatan pelayanan, kemudahan
pelayanan. Prinsip kemudahan akses pelayanan BPJS tersebut, sejalan dengan
indikator pelayanan publik yang dikeluarkan oleh Kemenpan RI No. 63 Tahun 2003),
yang meliputi 10 aspek untuk menilai kualitas pelayanan kesehatan: 1)
Kesederhanaan, 2) Kejelasan, 3) Kepastian Waktu, 4) Akurasi, 5) Keamanan, 6)
Tanggung Jawab, 7) Kelengkapan Sarana dan prasarana, 8) Kemudahan Akses, 9)
Kedisiplinan, Kesopanan, dan Keramahan 10) Kenyamanan.
Dengan mengikuti perkembangan zaman, untuk melayani publik, pemerintah
tidak hanya menyediakan pelayanan sistem konvensional, melainkan juga
menyediakan pelayanan berbasis teknologi atau elektronik. Oleh karena itu,
diharapkan pelayanan yang digunakan pemerintah dapat menyediakan sistem aplikasi
yang dapat memberikan informasi kepada masyarakat dengan cepat dan tepat.
Pada penelitian ini, peneliti akan memecahkan sebuah permasalahan yang
berkaitan dengan kepuasan masyarakat dalam penggunaan aplikasi Mobile JKN.
Adapun proses pemecahan masalah yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
yakni menjabarkan proses efektivitas penggunaan aplikasi Mobile JKN.
Aplikasi ini dapat dioperasikan melaui smartphone. Aplikasi Mobile JKN
berisi banyak fitur yang berguna untuk peserta JKN. Salah satu fitur yang yang
disediakan oleh Mobile JKN yaitu peserta dapat mendapatkan informasi seperti Info
JKN, lokasi faskes, skrining riwayat kesehatan, ubah data peserta, maupun pengaduan
keluhan. Kemudian dalam Mobile JKN ini, peserta mudah mengetahui informasi
tagihan, sehingga lebih efisien dibanding dengan kartu kepesertaan seperti biasa
Pada penelitian ini dilakukan penilaian pada aplikasi Mobile Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) karena masih terdapat kekurangan yang ada pada sistem
seperti adanya fungsionalitas yang masih belum berjalan sesuai dengan fungsinya
sehingga membuat pengguna kurang puas ketika menggunakan aplikasi Mobile JKN.
Berdasarkan hasil penelitian, aplikasi Mobile JKN menunjukkan bahwa
pelayanan dan informasi yang diberikan melalui aplikasi ini sudah efektif jika dilihat
dari waktu yang diperlukan dalam memberikan pelayanan, kecermatan dalam
pemberian layanan dan gaya pemberian layanan yang tidak diskriminatif karena sudah
tersistem dengan aplikasi Mobile JKN. Maka dapat disimpulkan bahwa aplikasi ini
dapat memberikan manfaat dan kepuasan pada masyarakat dalam mendapatkan
informasi untuk pencarian fasilitas faskes yang dituju secara cepat dan efisien. Akan
tetapi pada tingkat kepercayan atas kerahasiaan data pribadi yang presentasenya
cukup rentan.
Berdasarkan hasil penelitian yang tujuan penelitian untuk memenuhi apa yang
diinginkan oleh masyarakat tentang informasi mengenai fasilitas Mobile JKN dengan
cara cepat, efektif dan akurat dan hasil penelitian ini terdapat bahwa informasi
berbasis mobile atau android telah mencapai keberhasilan dengan adanya sistem
informasi pemetaan fasilitas kesehatan. Dengan adanya aplikasi Mobile JKN, sangat
terbantu dan sangat puas dengan adanya aplikasi ini meskipun banyak kendala dan
kesulitan yang di alami oleh penyelenggara terhadap masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerapan melalui aplikasi Mobile JKN yang dilakukan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan Kota Surabaya?
2. Apakah faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan pelayanan menggunakan
aplikasi Mobile JKN yang dilakukan oleh perusahaan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) kesehatan di Kota Surabaya?

C. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
1. Mendeskripsikan,menganalisis,menjelaskan implementasi penggunaan
apliasi online pemerintah (mobile JK N) terhadap kepuasan masyarakat dalam
pelayanan publik kota Surabaya.
2. Untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi implementasi penggunaan
aplikasi online pemerintah (mobile JKN) terhadap kepuasan masyarakat dalam
pelayanan publik kota Surabaya
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Diketahui gambaran kualitas layanan pada aplikasi Mobile JKN dalam
menggunakan aplikasi Mobile JKN.
2. Diketahui adanya hubungan Kualitas Layanan Pada Aplikasi Mobile JKN
dengan tingkat kepuasan peserta BPJS Kesehatan Kota Surabaya.
D. Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi instansi Kesehatan Cabang Surabaya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi BPJS Kesehatan
Cabang Surabaya dalam rangka meningkatkan kualitas layanan pada aplikasi
kepesertaan BPJS untuk meningkatkan kepuasan peserta dalam menggunakan aplikasi
Mobile JKN.
1.4.2 Bagi instansi
Untuk memahami sebuah penelitian sesuai pelayanan publik pada
Administrasi Negara secara teoritis dan praktisi, hasil penelitian ini dapat dijadikan
penambahan informasi bagi instansi pengguna Aplikasi Mobile JKN.
1.4.3 Bagi Mahasiswa
Untuk memahami sebuah penelitian sesuai pelayanan publik pada
Administrasi Negara secara teoritis dan praktis.
1.4.4 Secara Teoritis
Hasil penelitian ini akan dapat berkontribusi pada pengembangan ilmu
komunikasi di bidang ide dan pengetahuan, terutama diharapkan juga dapat
memperkaya kajian dan mampu menyumbang konsep sebagai pengembangan dari
sebuah disiplin keilmuan komunikasi sehingga dapat memberikan konstribusi yang
positif dalam pengembangan dalam bidang komunikasi.
1.4.5 Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan referensi pemikiran yang positif dan
pemahaman serta membangun bagi pemecahan masalah praktis yang berhubungan
dengan judul penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Implementasi
Secara umum pengertian implementasi adalah tindakan atau peaksanaan dari
sebuah rencana yang telah diusun dengan matang.cermat dan terperinci sehingga ada
kepastian dan kejelasan akan rencana tersebut.
Teori Implementasi menurut Edward dan Emerson, menjelaskan bahwa
terdapat empat variable kritis dalam implementasi kebijakan publik atau program,
diantaranya; komunikasi atau kejelasan informasi,konsistensi informasi,ketersediaan
sumber daya dalam jumlah dan mutu tertentu,sikap dan komitmen dari pelaksana
program atau kebijakan birokrat,dan struktur birokrasi atau standar operasi mengatur
tata kerja dan tata laksana.
Menurut Nurdin Usman (2002:70) memberikan definisi implementasi
bermuara pada ktivitas,aksi,tindakan atau adanya mekanisme suatu
sistem.Implementasi bukan sekedar aktivitas,tetapi suatu kegiatan yang terencana dan
untuk mencapai tujuan kegiatan.
Menurut prof.H.Tachjan (2006:25) menyatakan bahwa implementasi sebagai
kebijakan publik adalah proses kegiatan administrasi yang dilakukan setelah
kebijakan ditetapkan/disetujui kegiatan ini terletak diantara perumusan kebijakan dan
implementasi kebijakan evaluasi kebijakan mengandung logika yang top-down,yang
berarti lebih rendah/alternatif menginterpetasikan.
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk
mengimplementasikan kebijakan publik,ada dua pilihan Langkah yang ada, yaitu
langsung mengimplementasikan kebijakan publik,ada dua pilihan Langkah yang
ada,yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui
formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut.
Jadi implmentasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
pemeritah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan
kebijakan.Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji
terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau
tidak bagi masyarakat.Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan
dan merugikan bagi masyarakat.
Menurut Nugroho (2003:158) implementasi kebijakan terdapat dua pilihan
untuk mengimplementasikannya,yaitu langsung mengimplementasikannya dalam
bentuk program-program dan melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari
kebijakan tersebut.Oleh karena itu,implementasi kebijakan yang telah dijelaskan oleh
Nugroho merupakan dua pilihan dimana yan pertama langsung mengimplementasi
dalm bentuk program dan pilihan kedua memalui formulasi kebijakan.
Pengertian kebijakan implementasi diatas,maka George C.Edward
III(Nawawi,2009:138) mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi
keberhasilan suatu implementasi,yaitu:
1. Comunication (komunikasi)
2. Resources (sumber daya)
3. Disposition (disposisi)
4. Bureaucratic Structure (struktur birokrasi).
Van Meter dan Van Horn (dalam Budi Winarno, 2008:146-147)
mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan dalam
keputusan-keputusan sebelumnya.Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk
mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun
waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai
perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan yang
dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan.
Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanium dan Paul
Sabatier (1979) sebagaimana dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008:65),
mengatakan bahwa: Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi
sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus
perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan
yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara yang
mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk
menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
Pendekatan yang biasa digunakan dalam mengimplementasikan kebijakan
adalah: a. Pendekatan Struktural (Peran Organisasi), b. Pendekatan Prosedural dan
Manajemen (Netwok Planning and Control/NPC;Programme Evaluation and Review
Technique/PERT), c. Pendekatan Perilaku (Behavioral): komunikasi, informasi
lengkap pada setiap tahap, d. Pendekatn Politis (Aspek-aspek interdepartemental
politik). Pada pakar kebijakan menilai dari keseluruhan siklus kenijakan,
implementasi kenijakan merupakan tahapan yang paling sulit. Seperti Grindle (1980)
misalnya, telah mengantisipasi kesulitan tersebut sebagai berikut: “Implementasi
kebijakan sesungguhnya tidaklah sekadar bersangkut paut dengan mekanisme
penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat
saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik,
keputusan da siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan”.
Di sini Grindle (1980) telah meramalkan, bahwa dalam setiap implementasi
kebijakan pemerintah pasti dihadapkan pada banyak kendala, utamanya yang berasal
dari lingkungan (konteks) dimana kebijakan itu akan diimplementasikan. Ide dasar
Grindle ini adalah bahwa setelah suatu kebijakan ditransformasikan menjadi program
aksi, maka Tindakan implementasi belum tentu berlangsung lancer. Hal ini sangat
tergantung pada implementability dari program tersebut.
Implementability suatu kebijakan, menurut Grindle (1980:8-12) sangat di
tentukan oleh isi kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan (context of
policy). Isi kebijakan mencakup (a) kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan, (b)
jenis manfaat yang akan dihasilkan, (c) derajat perubahan yang akan diinginkan, (d)
kedudukan pembuat kebijakan, (e) siapa pelaksana program, dan (f) sumberdaya yang
dikerahkan. Sedang konteks kebijakan mencakup : (a) kekuasaan, kepentingan dan
strategi aktor yang terlibat, (b) karakteristik lembaga dan penguasa, dan (c) kepatuhan
serta daya tangkap pelaksana terhadap kebijakan. Di sini kebijakan yang menyangkut
banyak kepentingan yang berbeda akan lebih sulit diimplementasikan dibanding yang
menyangkut sedikit kepentingan. Oleh karenanya tinggi-rendahnya intensitas
keterlibatan berbagai pihak (politisi, pengusaha, masyarakat, kelompok sasaran dan
sebagainya) dalam implementasi kebijakan akan berpengaruh terhadap efektivitas
implementasi kebijakan.
Untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi setelah suatu kebijakan dibuat
dan dirumuskan adalah subyek dari implementasi kebijakan. Mazmanian dan Sabatier
(1983: 3 – 6) menyebutkan adanya dua sudut pandang dalam studi implementasi.
Yaitu dari sudut pandang ilmu administrasi negara dan dari sudut pandang ilmu
politik. Dari sudut pandang ilmu administrasi negara, pada awalnya implementasi
hanya dilihat dari semata-mata sebagai pelaksanaan kebijakan secara efektif dan
efisien. Namun pandangan ini semakin tidak populer karena pada saat menjelang dan
akhir Perang Dunia II dari hasil berbagai penelitian administrasi negara, ternyata
badan-badan administratif tidak hanya dipengaruhi oleh perintah atau mandat resmi
yang berasal dari badan-badan pemerintah, tetapi juga oleh tekanan-tekanan dari
kelompok-kelompok kepentingan, intervensi lembaga legislatif, dan oleh berbagai
faktor lain di dalam lingkungan politik mereka. Sedangkan dari sudut pandang
pendekatan sistem terhadap kehidupan politik, ternyata mematahkan perspektif
organisasional dari administrasi negara, sehingga mulai dipikirkan mengenai masukan
yang berasal dari luar bidang administrasi negara. Seperti ketentuan kebijakan
administratif dan legislatif yang baru, perubahan-perubahan preferensi publik dan
teknologi baru (Mazmanian dan Sabatier, 1983: 5).
Adanya dua sudut pandang dalam studi implementasi kebijakan ini juga
dikemukakan oleh Ripley (1984: 134 – 135), bahwa studi implementasi mempunyai
dua foci pokok yaitu kepatuhan (complience) dan apa yang terjadi setelah suatu
kebijakan dilaksanakan (what’s happening). Kepatuhan ini muncul dari literatur
administrasi publik dan perspektif ini lebih memusatkan perhatiannya pada apakah
badan dan individu bahwahan mematuhi perintah badan atau individu atasannya.
Perspektif ini lebih merupakan analisis karakter dan kualitas dari perilaku
organisasional. Menurut Ripley (1984: 135), paling tidak ada dua kekurangan dari
perspektif ini, yaitu banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh dan ada program-
program yang tidak disusun dengan baik (maldesigned). Sedangkan perspektif yang
kedua, yaitu perspektif what’s happpening, sangat berbeda dengan perspektif
kepatuhan. Perspektif ini berasumsi adanya banyak faktor yang dapat dan telah
mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor tersebut utamanya berasal dari
lingkuangan luar kebijakan.
Berdasarkan kedua perspektif ini, maka kajian terhadap implementasi
kebijakan haruslah memperhatikan faktor eksternal dari kebijakan yang
diimplementasikan (lingkungan non organisasional dan non birokrasi), maupun faktor
internal. Hal ini seperti ditunjukkan oleh Meter dan Horn (1975;474), bahwa kinerja
implementasi kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat tercapainya
standar dan sasaran tertentu yang telah ditetapkan dalam suatu kebijakan. Untuk
mewujudkan standar dan sasaran tersebut, terdapat beberapa variable penting yang
mempengaruhinya, yaitu: (a) ukuran dan tujuan kebijakan, (b) sumber-sumber
kebijakan, (c) karakteristik badan atau Lembaga pelaksana, (d) komunikasi
antarorganisasi terkait dan aktivitas pelaksanaan, (e) kondisi ekonomi, sosial dan
poltik, dan (f) sikap para pelaksana kebijakan.
Sedang Sabatier dan Mazmanian (1986: 9 – 11) melihat implementasi
kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu (a) karakteristik masalah, (b)
struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang
mengoperasionalkan kebijakan, dan (c) faktor-faktor di luar peraturan kebijakan.
Kerangka pikiran Sabatier dan Mazmanian, menunjukkan bahwa suatu kegiatan
implementasi kebijakan akan efektif apabila birokrasi pelaksana mematuhi apa yang
telah ditetapkan oleh peraturan pelaksanaan. Oleh karenanya model ini sering disebut
sebagai model top-down.
Model implementasi yang hampir sama juga dikemukakan oleh Edward III
(1980), yang menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan sangat
ditentukan oleh faktor (a) komunikasi; (b) sumberdya; (c) sikap implementor
(disposisions); dan (d) struktur birokrasi pelaksana. Lebih lanjut Edward III (1980:
147 – 148) mengemukakan faktor-faktor komunikasi, sumberdaya, sikap
implementor, dan struktur birokrasi dapat secara langsung mempengaruhi
implementasi kebijakan. Di samping itu secara tidak langsung faktor-faktor tersebut
mempengaruhi implementasi melalui dampak dari masing-masing faktor. Dengan kata
lain, masing-masing faktor tersebut saling pengaruh mempengaruhi, kemudian secara
bersama-sama mempengaruhi implementasi kebijakan.
Beberapa model implementasi kebijakan di atas menunjukkan bahwa tidak ada
variabel tunggal dalam suatu kegiatan implementasi kebijakan. Keberhasilan
implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh banyak faktor, baik menyangkut
kebijakan yang diimplementasikan, pelaksana kebijakan, maupun lingkungan di mana
kebijakan tersebut diimplementasikan (kelompok sasaran). Namun demikian, melihat
berbagai model di atas nampaknya faktor lingkungan (kondisi sosial, ekonomi dan
politik) di mana kebijakan itu diimplementasikan, komunikasi antarorganisasi dan
birokrasi pelaksana menjadi faktor dominan bagi penentu keberhasilan implementasi
kebijakan.

B. Teori E-Goverentment
Menurut Bank Dunia (Samodra Wibawa 2009:113), E-Government adalah
penggunaan teknologi informasi oleh instansi pemerintah seperti wide area Networks
(WAN) internet, moble competing, yang dapat digunakan untuk membangun
hubungan dengan masyarakat, dunia usaha dan instansi pemerintah lainnya. Menurut
Clay G. Weslatt (15 Agustus 2007) dalam website, E-Government adalah
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk mempromosikan pemerintah
yang lebih efisien dan penekanan biaya yang efektif, kemudian pasilitas layanan
terhadap masyarakat umum dan membuat pemerintah lebih bertanggung jawab
kepada masyarakat. Sedangkan dalam buku E-Government In Action (2005:5)
menguraikan E-Government adalah suatu usaha menciptakan suasana penyelengaaran
pemerintah yang sesuai dengan objektif bersama (Shard goals) dari sejumlah
komunitas yang berkepentingan, oleh karena itu visi yang mencerminkan visi bersama
dari pada stakeholder yang ada.
Pengembangan E-Government berdasarkan Inpres No. 3 Tahun 2003 adalah
upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis
(menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara
efektif dan efisien. Untuk mengembangkan sistem manajemen dan memanfaatkan
kemajuan teknologi informasi maka pemerintah harus melaksanakan proses
transformasi E-government.
Secara teoritis manfaat yang diharapakn dengan penerapan E-Government
(OECD 2005 dalam Darmawan, 2011: 70), yakni:
1. E-Government meningkatkan efisiensi;
Teknologi informasi dan komunikasi meningkatkan efisiensi dalam hal
pemrosesan tugas dan operasi administrasi publik dalam jumlah besar.
Aplikasi yang berbasis internet bisa untuk menyimpan koleksi dan transmisi
data, di masa akan dating lebih signifikan mungkin dilakukan melalui
pembagian data yang lebih besar dengan antar pemerintahan.
2. E-Government meningkatkan pelayanan;
Pemerintahan fokus pada pengguna mengimplikasikan bahwa seorang
pengguna tidak seharusnya mengerti struktur dan hubungan pemerintahan
yang komples dengan tujuan berinteraksi dengan pemerintah. Tujuan ini agar
dapat memudahkan pemerintah untuk muncul sebagai organisasi yang
bersatu dan menyediakan pelayanan online. Pelayanan e-Government harus
dibangun dalam kaitan dengan permintaan dan nilai untuk user, sebagai
bagian dari strategi pelayan yang melibatkan banyak saluran.
3. E-Government membantu mencapai keluaran kebijakan tertentu;
Internet membantu pemangku kepentingan (stakeholder) membagi informasi
dan ide maka dari itu berkontribusi terhadap keluaran kebijakan. Contoh,
informasi online bisa menyebarluaskan penggunaan sebuah progam
pendidikan atau pelatihan,pembagian informasi dalam sector kesehatan bisa
meningkatkan penggunaan sumber daya dan perhatian terhadap pasien dan
pembagian informasi antara pemerintahan pusat dan sub-nasional bisa
memfasilitasi kebijakan lingkungan.
4. E-Government bisa berkontribusi untuk tujuan kebijakan ekonomi;
E-Government membantu mengurangi korupsi, menambah keterbukaan dan
kepercayaan dalam pemerintahan dan berkontribusi untuk tujuan kebijakan
ekonomi. Dampak khusus mencakup pengeluaran pemerintahan yang
berkurang melalui progam yang lebih efektif dan efisiensi dan peningkatan
dalam produktivitas bisnis melalaui teknologi komunikasi dan informasi
memudahkan penyederhanaan administrasi dan meningkatakan informasi
pemerintahan.
5. E-Government bisa menjadi pegkontribusi utama untuk reformasi;
Teknologi informasi dan komunikasi telah mendukung reformasi dalam
banyak area, sebagai contoh dengan meningkatkan transparansi, memfasilitasi
pembagian informasi dan meng-highlight ketidak konsistenan internal.
6. E-Government bisa membantu kepercyaan antara pemerintah dan warga
Negara;
Membangun kepercayaan antara pemerintah dan warga negara adalah hal
mendasar untuk pemerintahan yang baik. Teknologi informasi dan
komunikasi membantu membangun kepercayaan dengan memudahkan
pelibatan warga negara dalam proses kebijakan, mempromosikan
pemerintahan yang terbuka dan akuntabel dan membantu mencegah korupsi.
Penggunaan e-government untuk pelayanan publik bertujuan untuk
memberikan pelayanan publik secara penuh kepada masyarakat dalam bentuk
penyampaian informasi meliputi penyampaian informasi, program kerja, visi misi,
pelayanan publik, hingga hubungan ke setiap Satuan Kerja Pemerintah Kerja (SKPD),
termasuk ke pihak eksternal. Prinsip – prinsip dasar good governance menurut
(UNDP) adalah: (1) Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, (2)
Tegaknya Supremasihukum, (3) Transparansi pada seluruh proses pemerintahan, (4)
Peduli pada stakeholder, (5) Berorientasi pada konsensus, (6) Kesetaraan, (7)
Efektivitas dan efisiensi pada proses pemerintahan, (8) Adanya akuntabilitas, (9) Visi
Srategis.
Elemen Sukses Pengembangan E-Government
Dalam pengembangan e-Government ada faktor-faktor yang dapat membantu
keberhasilan dan kegagalan dari sebuah proyek e-Government, faktor-faktor ini
merupakan intisari dari pengembangan e-Government yang pernahditerapkan di
negara lain (Heeks, 2001: 34), yaitu:
a. Eksternal Pressure; Tuntutan yang kuat dari para stakehoder agar
pemerintahmemperbaiki pelayanannya menjadi salah satu faktor penting,
karena pada dasarnya pemerintah bersikap responsif dan belum proaktif,
sehingga bila tidak ada tuntutan dari luar, pemerintah akan merasa tidak ada
yang perlu diperbaiki didalam sistem pelayanannya.
b. Internal Political Desire; Adanya dorongan atau inisiatif dari dalam
pemerintah untuk melakukan reformasi serta mendukung pengembangan e-
Government didalam organisasinya. Ada 2 tipe yang berkaitan dengan inisiatif
pengembangan proyek e-Government didalam birokrasi yaitu (Indrajit, 2002:
62) Top Down yang mana inisiatif tersebut datangnya dari pihak atasan atau
kalangan eksekutif, dan Bottom Up, dimana inisiatif datangnya dari para
bawahan. Pada umumnya proyek yang bersifat Top Down lebih dapat survive
karena berkaitan dengan dukungan, anggaran, serta hambatan-hambatan yang
datang khususnya dari internal departemen.
c. Overall Vision and Strategy; Perencanaan yang holistik dan secara detil
untuk mengembangkan e-Government, mampu menentukan bagaimana harus
memulai dan kemana arah tujuan dari sebuah proyek e-Government, “…think
big, start small, and scale fast” (Gupta, 2004: 124).” dengan memulai dari
dasar kemudian menggunakan strategi yang SMART (simple, measurable,
accountable, realistic, and time-relate) (Backus, 2001: 4) serta melibatkan
seluruh stakeholder untuk meraih visi yang lebih besar dalam
mengintegrasikan seluruh layanan e-Government yang sesuai dengan
kebutuhan pengguna.
d. Effective Project Management; Adanya tanggung jawab yang jelas,
perencanaan yang baik, pertimbangan terhadap resiko, kontrol dan monitoring,
manajemen sumber daya yang baik, dan pengelolaan yang baik atas hubungan
kerjasama antara pihak pemerintah dan kalangan swasta. Tanggung jawab
yang tidak jelas dapat mengakibatkan kontrol yang lemah, dan ini
mengakibatkan efisiensi tidak tercapai.
e. Effective Change Management; Untuk itu dibutuhkan seorang model
pemimpin yang memiliki visi dan profesionalitas tinggi dalam menjalankan
tugasnya sebagai pelayan masyarakat, sehingga dapat membentuk sebuah
lingkungan kerja yang kondusif mengembangkan e-Government. Kondusif
baik dari dalam maupun dari luar, dan ini berarti melibatkan stakeholder, hal
ini hanya dimungkinkan apabila pemerintah bersikap transparan dan membuka
jalur-jalur komunikasi dengan para stakeholder yang pada akhirnya
meningkatnya dukungan atas e-Government.
f. Requisite Competencies; Dalam setiap pengembangan e-Government,
dibutuhkan keahlian dan penguasaan ilmu pengetahuan, khususnya didalam
pemerintah itu sendiri, dalam e-Government pemanfaatan teknologi informasi
hanyalah sebagai alat bantu jadi porsinya tidak terlalu besar, justru pola
berfikir yang luas dalam berinovasi, menciptakan pelayanan yang diinginkan
oleh stakeholder, dan membangun visi bersama untuk menentukan arah dimasa
depan menjadi prasyarat utama bagi semua pihak yang sedang
mengembangkan e-Government.
g. Adequate Technological Infrastructure; Teknologi Informasi yang
digunakan dalam pengembangan e-Government bervariasi, dari yang paling
murah hingga yang paling mahal, sedangkan dana yang tesedia terbatas,
terbatas pada hasil yang akan dicapai sesuai yang telah direncanakan
sebelumnya.
Berdasarkan konsep yang dikemukakan Indrajit (2002) bahwa terdapat
beberapa indikator penting dalam penerapan E-Government, dimana indicator
tersebut meliputi:
a. Infrastruktur Data
Infrastruktur data ini meliputi manajemen sistem, dokumentasi dan proses
kerja di tempat untuk menyediakan kuantitas dan kualitas data yang berfungsi
mendukung penerapan E-Government. jika infrastuktur data tidak diperhatikan
maka akan mempengaruhi penerapan E-Government. Dengan adanya e-
government, manfaat dapat diperoleh, antara lain: 1) data terbackup rapi dalam
manajemen sistem komputer; 2) data yang terimput merupakan data yang
akurat; 3) deskripsian masing-masing pegawai jelas sesuai dengan tupoksinya;
4) adanya jaringan internet yang memadai dapat mendukung proses
penyelesaian pekerjaan; dan 5) dokumentasi dan laporan tersusun rapi
sehingga dapat memudahkan audit.
b. Infrastuktur Legal
Dalam penerapan E-Government dibutuhkan infrasturktur legal dari lembaga
atau penyedia layanan. Infrastruktur legal meliputi adanya dasar hukum, serta
peraturan-peraturan dalam penerapan E-Government (Indrajit, 2002).
Infrastuktur legal sangat diperlukan sebagai sebuah kekuatan hukum.
c. Infrastruktur Institusional
Penerapan E-Government harus ditunjang dengan infrastruktur institusional
yang dapat diwujudkan apabila institusi pemerintah memiliki kesadaran dan
eksis melaksanakan tujuannya (Indrajit, 2002). Infrastruktur institusional
tersebut, meliputi adanya koordinasi antar instansi, meningkatkan kerjasama
serta memiliki komunikasi yang baik antar instansi terkait.
d. Infrastruktur Manusia
Penerapan E-Government juga harus ditunjang dengan infrastruktur lainnya
seperti infrastruktur manusia. Karena jika infrastruktur manusia tidak
diperhatikan maka penerapan E-Government tidak dapat tercapai dengan baik.
Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam infrastruktur manusia adalah sikap
aparatur dalam penerapan E-Government, aparatur tersebut harus memiliki
pengetahuan serta skill yang memadai, juga membudayakan berbagai
informasi yang mendukung penerapan E-government (Indrajit, 2002).
Infrastruktur manusia merupakan infrastruktur yang sangat penting. Penerapan
E-government tidak akan berjalan dengan benar jika infrastruktur manusianya
tidak diperhatikan.
e. Infrastruktur Tekhnologi
Dalam menunjang penerapan E-Government hal lain yang harus diperhatikan
adalah infrastruktur tekhnologi. Infrastruktur tekhnologi sebagai faktor penting
dalam penerapan E-Government karena merupakan sebuah kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Adapun infrastruktur tekhnologi tersebut meliputi
jumlah komputer dan jaringan komputer yang memadai sehingga memberikan
kemudahan dalam mengaksesnya. Ditunjang dengan adanya pemeliharaan
berkala yang dapat memberikan efek baik bagi pemberian layanan masyarakat.
f. Strategi Pemikiran Pemimpin
Keseluruhan indikator tersebut harus ditunjang dengan strategi dari seorang
pemimpin. Strategi dari seorang pemimpin tersebut memegang peranan yang
penting dalam penerapan E-Government.

C. Mobile JKN
Pada awalnya administrasi dilakukan di kantor secara offline, tetapi saat ini
telah berubah dan menggunakan aplikasi yang dapat diakses oleh siapapun,
dimanapun, dan kapanpun tanpa batasan. BPJS Kesehatan telah menerapkan satu
transformasi dalam bentuk sebuah aplikasi yang bernama mobile JKN (Jaminan
Kesehatan Nasional). Fachmi Idris selaku Direktur Utama BPJS Kesehatan
mencetuskan dan meresmikan aplikasi ini. Pada saat peresmian juga dihadiri oleh
Menteri Komunikasi dan Informasi RI RU diantara pada tanggal 16 November 2017
bertempat di Jakarta. Aplikasi ini membantu mengakses BPJS Kesehatan,
memudahkan masyarakat dalam melakukan pembayaran, pengubahan data, serta
mendapatkan informasi berkaitan dengan data peserta keluarga. Menyampaikan
keluhan yang dirasakan melalui aplikasi mobile JKN tanpa mendatangi lokasi secara
langsung.
Menurut Agus Dwiyanto, (2005:82) Good Governance adalah tata Kelola
pemerintah yang baik yang telah didefinisikan oleh berbagai Lembaga yang di ikuti
oleh dunia. Salah satu Lembaga tersebut yaitu United Nations Development Program
(UNDP) dalam dokumen kebijakan yang berjudul “ Governance For Sustainable
Human Development (1997) mendefinisikan Good Governance sebagai hubungan
yang sinergis dan kontruktif diantar negara, sector suwasta, society.
Pengertian Program JKN Program Jaminan Kesehatan Nasional disingkat
Program JKN adalah suatu program Pemerintah dan Masyarakat/Rakyat dengan
tujuan memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat
Indonesia agar penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera.
Kelembagaan JKN:
1. Program jaminan kesehatan diselenggarakan oleh badan penyelenggara
jaminan sosial yang dibentuk dengan Undang-Undang (UU No. 40 Tahun
2004 Pasal 5 ayat 1)
2. Organisasi, fungsi dan hubungan antar kelembagaan masih menunggu
penetapan RUU BPJS.
Pada 15 November 2017, BPJS Kesehatan meresmikan aplikasi yang bernama
“Mobile JKN”. Mobile JKN hadir sebagai salah satu sarana untuk mempermudah
kebutuhan di JKN-KIS. Peluncuran aplikasi ini di dorong oleh adanya Trend
teknologi informasi yang mengarah kepada penggunaan aplikasi mobile, dimana
semua pekerjaan dibantu oleh sistem digital online. Hal ini dilakukan untuk
membantu para peserta BPJS Kesehatan dalam bertransaksi, peningkatan pelayanan
terhadap peserta JKN dan Kartu Indonesia Sehat, kecepatan pelayanan, kemudahan
pelayanan. Mobile JKN hadir sebagai salah satu sarana untuk mempermudah
kebutuhan peserta dan calon peserta JKN-KIS. Pada dasarnya, Mobile JKN adalah
kegiatan administratif yang biasa dilakukan di kantor cabang atau fasilitas Kesehatan.
Direktur BPJS fokus dalam memberikan kepuasan kepada masyarakat dan
meningkatkan berbagai pelayanan seperti pelayanan administrasi. Hal ini dilakukan
karena kinerja sebagai penyelenggara pelayanan publik dinilai dari seberapa mampu
memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan maksimal. BPJS berupaya
memberikan pelayanan terbaik dalam mengakses fasilitas Kesehatan dan terus
memperbaiki mutu pelayanan kesehatan yang ada. Upaya lain yang dilakukan adalah
mempermudah masyarakat dalam menyampaikan berbagai permasalahan yang
dialami. Tujuan diciptakannya aplikasi mobile JKN ini demi mempermudah dan
meningkatkan mutu serta kualitas BPJS agar dengan mudah diakses oleh siapapun
dengan fitur yang diciptakan. Perspektif Duta BPJS tidak hanya berorientasi pada
kepuasan masyarakat, namun juga menjadi orientasi seluruh organisasi kantor pusat
maupun kantor yang ada di daerah. Ketanggapan menangani masalah sangat
mempengaruhi kepuasan masyarakat.
Prinsip JKN:
JKN diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi social dan
prinsip ekuitas. Prinsip asuransi sosial meliputi:
a. Kegotong-royongan antara peserta kaya dan miskin, yang sehat dan sakit,
yang tua dan muda, serta yang beresiko tinggi dan rendah;
b. Kepesertaan bersifat wajib dan tidak selektif;
c. Iuran berdasarkan presentase upah/penghasilan untuk pekerja yang
menerima upah atau suatu jumlah nominal tertentu untuk pekerja yang
tidak menerima upah;
d. Dikelola dengan prinsip nirlaba, artinya pengelolaan dana digunakan
sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta dan setiap suplus akan
disimpan sebagai dana cadangan dan untuk peningkatan manfaat dan
kualitas layanan.
Prinsip ekuitas merupakan kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan
kebutuhan medis yang tidak terkait dengan besaran iuran yang telah dibayarkan.
Prinsip ini diwujudkan dengan pembayaran iuran sebesar persentase tertentu dari upah
bagi yang memiliki penghasilan dan pemerintah membayarkan iuran bagi mereka
yang tidak mampu. Kepesertaan wajib berlaku pula bagi pekerja asing yang bekerja
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan di Indonesia.
Tujuan JKN:
Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan.
Pelaku JKN:
Penyelenggaraan JKN dilaksanakan oleh 4 (empat) pelaku utama, yaitu
Peserta, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fasilitas Kesehatan,
dan Pemerintah.
a. Peserta JKN
Peserta JKN adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja
di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah
membayar iuran. Peserta berhak atas manfaat JKN. Untuk tetap
memperoleh jaminan pelayanan kesehatan, Peserta wajib membayar iuran
JKN secara teratur danterus-menerus hingga akhir hayat.
Peserta JKN terbagi atas dua kelompok utama, yaitu Penerima
Bantuan Iuran dan Bukan Penerima Bantuan Iuran. Penerima Bantuan
Iuran mendapatkan subsidi iuran JKN dari Pemerintah. Bukan Penerima
Bantuan Iuran wajib membayar iuran JKN oleh dirinya sendiri atau
bersama-sama dengan majikannya.
b. BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial kesehatan. BPJS Kesehatan
dibentuk dengan UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN dan UU No. 24
Tahun 2011 Tentang BPJS. Kedua UU ini mengatur pembubaran PT Askes
Persero dan mentransformasikan PT. Askes Persero menjadi BPJS
Kesehatan. Pembubaran PT. Askes Persero dilaksanakan tanpa proses
likuidasi dan dilaksanakan dengan pengalihan aset dan liabilitas, hak, dan
kewajiban hukum PT. Askes Persero menjadi aset dan liabilitas, hak, dan
kewajiban hukum BPJS Kesehatan seluruh pegawai PT Askes Persero
menjadi pegawai BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan berbadan hukum
publik yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden. BPJS Kesehatan
berkedudukan dan berkantor pusat di ibu kota Negara RI. BPJS Kesehatan
memiliki kantor perwakilan di provinsi dan kantor cabang di
kabupaten/kota.
Dalam rangka melaksanakan fungsi sebagai penyelenggara program
jaminan kesehatan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia, BPJS
Kesehatan bertugas: (1) menerima pendaftaran Peserta JKN; (2)
mengumpulkan iuran JKN dari Peserta, Pemberi Kerja, dan Pemerintah;
(3) mengelola dana JKN; (4) membiayai pelayanan kesehatan dan
membayarkan manfaat JKN; (5) mengumpulkan dan mengelola data
Peserta JKN; (6) memberi informasi mengenai penyelenggaraan JKN.
Untuk melaksanakan tugas-tugas, BPJS Kesehatan diberi kewenangan
untuk: (1) menagih pembayaran iuran; (2) menempatkan dana jaminan
sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan
mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan
dana, dan hasil yang memadai; (3) melakukan pengawasan dan
pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan Pemberi Kerja dalam memenuhi
kewajibannya; (4) membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan
mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar
tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah.
c. Fasilitas Kesehatan
BPJS Kesehatan membangun jaringan fasilitas kesehatan dengan cara
bekerja sama dengan Fasilitas Kesehatan milik pemerintah atau swasta
untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi Peserta JKN dan
keluarganya. Jaringan fasilitas kesehatan ini terbagi atas tiga kelompok
utama, yaitu fasilitas kesehatan tingkat pertama, fasilitas kesehatan tingkat
lanjutan, dan fasilitas kesehatan pendukung. Fasilitas kesehatan tingkat
pertama menyelenggarakan pelayanan kesehatan non spesialistik,
sedangkan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan menyelenggarakan
pelayanan kesehatan spesialistik dan subspesialistik. Fasilits kesehatan
pendukung melayani pelayanan obat, optik, dan dukungan medis lainnya.
d. Pemerintah
Pemerintah berperan dalam penentuan kebijakan (regulator),
pembinaan, dan pengawasan penyelenggaraan program JKN. Terdapat tiga
aktor utama yang berperan sebagai regulator, yaitu Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN), Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah.
DJSN adalah lembaga penunjang eksekutif yang dibentuk dengan UU
No. 40 Tahun 2004 untuk menyelenggarakan SJSN. DJSN bertanggung
jawab kepada Presiden. DJSN berfungsi merumuskan kebijakan umum dan
sinkronisasi penyelenggaraan SJSN. DJSN bertugas melakukan kajian dan
penelitian, mengusulkan kebijakan investasi dana jaminan sosial,
mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran, serta
melakukan pengawasan terhadap BPJS.
Pemerintah Pusat yang berurusan langsung dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan adalah Kementerian Kesehatan. Kementerian
Kesehatan mengatur berbagai hal teknis penyelenggaraan JKN, antara lain
prosedur pelayanan kesehatan, standar fasilitas kesehatan, standar tarif
pelayanan, formularium obat, dan asosiasi fasilitas kesehatan.
Pemerintah Daerah mengatur penyelenggaraan JKN di wilayah
administratifnya. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah
Daerah, Pemerintah Daerah berkewajiban membangun sistem jaminan
sosial nasional. Kewajiban ini diimplementasikan antara lain dengan
menjamin ketersediaan fasilitas kesehatan, turut menyubsidi iuran JKN,
mengawasi penyelenggaraan JKN di wilayah kerjanya, membangun
dukungan publik terhadap JKN-SJSN.
DJSN berwewenang melakukan monitoring dan evaluasi SJSN. UU
BPJS menetapkan pengawas eksternal BPJS adalah DJSN, Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Iuran JKN:
Iuran JKN adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh Peserta,
Pemberi Kerja dan/atau Pemerintah untuk Program JKN. Ketentuan iuran JKN diatur
dalam: (1) UU SJSN Pasal 17, 27, dan 28 (2) UU BPJS Pasal 19 (3) Peraturan
Presiden No. 111 Tahun 2013 Pasal 16, 17, dan 18.
a. Kewajiban Iuran
Kewajiban membayar iuran JKN diatur sebagai berikut: (1) Setiap
Peserta wajib membayar iuran. (2) Setiap Pemberi Kerja wajib memungut
iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya
dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala. (3) Iuran
program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu
dibayar oleh Pemerintah. Pada tahap pertama iuran yang dibayar oleh
Pemerintah adalah untuk program jaminan kesehatan.
b. Besaran Iuran
Ketentuan umum mengenai besaran iuran adalah (1) Besaran iuran
dihitung berdasarkan persentase upah/penghasilan untuk peserta penerima
upah atau berdasarkan suatu jumlah nominal tertentu untuk peserta yang tidak
menerima upah. (2) Besarnya iuran yang ditanggung oleh pekerja dan pemberi
kerja ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan
perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak. (3)
Iuran tambahan dikenakan kepada peserta yang mengikutsertakan anggota
keluarga yang lain, yaitu anak keempat dan seterusnya, ayah, ibu, mertua. (4)
Iuran JKN bagi anggota keluarga yang lain dibayar oleh Peserta: a. sebesar
1% (satu persen) dari gaji/upah Peserta Pekerja Penerima Upah per orang per
bulan. b. sesuai manfaat yang dipilih Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah
dan Peserta bukan Pekerja.
c. Tata Cara Pembayaran Iuran
Ketentuan mengenai tata cara pembayaran iuran JKN adalah sebagai
berikut: (1) Iuran jaminan kesehatan bagi Peserta PBI-JKN dibayar oleh
Pemerintah. (2) Iuran jaminan kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah
dibayar oleh Pemberi Kerja dan Pekerja. (3) Iuran jaminan kesehatan bagi
Peserta Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja dibayar oleh
Peserta yang bersangkutan. (4) Pembayaran iuran setiap bulan paling lambat
tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS Kesehatan. (5) Apabila tanggl
10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja
berikutnya. (6) Keterlambatan pembayaran iuran jaminan kesehatan
dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total
iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan, dibayarkan
bersamaan dengan total iuran yang tertunggak. (7) Bila keterlambatan
pembayaran iuran lebih dari tiga bulan, penjaminan dapat dihentikan
sementara. (8) Pembayaran iuran jaminan kesehatan dapat dilakukan di awal
untuk 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan dan 1 (satu tahun). (9) Pengelolaan
kelebihan atau kekurangan iuran: a. BPJS Kesehatan menghitung
kelebihan/kekurangan iuran jaminan kesehatan sesuai dengan gaji atau upah
Peserta. b. Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran,
BPJS kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada Pemberi Kerja
dan/atau Peserta paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya
iuran. c. Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan
pembayaran iuran bulan berikutnya.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

1.1. Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan setting tertentu


yang ada di dalam kehidupan riil (alamiah) dengan maksud menginvestigasi dan
memahami fenomena: apa yang terjadi, mengapa terjadi, dan bagaimana
terjadinya? Artinya riset kualitatif berbasis pada konsep going exploring yang
melibatkan in-depth and case-oriented study atau sejumlah kasus atau kasus
tunggal (Chariri, 2009: 9). Sejalan dengan Denzin & Lincoln (1994). Penelitian
kualitatif merupakan penelitian menggunakan latar alamiah dengan maksud
menafsirkan sebuah fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan
berbagai metode yang ada. Penelitian kualitatif berusha untuk menemukan dan
menggambarkan secara naratif kegiatan yang dilakukan dan dampak dari tindakan
yang dilakukan terhadap kehidupan mereka.
Penelitian kualitatif berlandaskan kepada filsafat post-positivisme, sebab
berguna untuk meneliti pada obyek yang alamiah, (sebagai lawannya eksperimen)
peneliti berkontribusi sebagai instrument kunci, pengambilan sampel, sumber data
dilakukan dengan purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan
trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono,
2011: 299). Karena tujuan utama dalam penelitian kualitatif untuk membuat
fakta/fenomena agar mudah dipahami (understandable) dan memungkinkan sesuai
modelnya dapat menghasilkan hipotesis baru (Hennink, Hutter & Bailey, 2020;
Sarmanu, 2017).
Dengan demikian, penelitian kualiatatif bertujuan untuk mendapatkan
pemahaman yang mendalan mengenai masalah-masalah manusia dan sosial, bukan
mendeskripsikan bagian permukaan dari sebuah realitas sebagaimana dilakukan
penelitian kuantitatif dengan positivismenya. Karena peneliti menginterpretasikan
bagaimana subjek memperoleh makna dari lingkungan sekeliling, dan bagaimana
makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka. Penelitian dilakukan dalam latar
(setting) yang alamiah (naturalistic) bukan hasil perlakuan (treatmen) atau
manipulasi variable yang dilibatkan.
Ada alasan-alasan tertentu yang mendorong mengapa perlu menggunakan
penelitian kualitatif dalam melakukan kegiatan ilmiah dan mengungkap suatu
fenomena/fakta serta mencari solusi/jawaban dalam mengatasi masalah, alas an
tersebut diantaranya: (1) data yang diperoleh sangat mendasar, sebab berdasarkan
fakta, peristiwa dan realita yang ada, jadi bukan rekayasa peneliti. (2) hasil
penelitian dan pembahasannya mendalam, terpusat karena datanya digali secara
mendalam. Keterlibatan peneliti dalam penelitian yang cukup lama dan
memperhitungkan semua factor mengitarinya seperti halnya ideologi, politik,
ekonomi, pendidikan, dan budaya menunjukkan kedalaman makna yang pada
akhirnya dihasilkan lewat metode kualitatif. (3) sifatnya terbuka dan lebih dari satu
pandangan dalam hal ini pandangan dan informasi dari partisipan. Jadi, hasil
penelitian tidak diasumsikan oleh peneliti diawal penelitian, namun diperoleh dari
partisipan dan dianalisa oleh peneliti, hal ini menunjukkan aspek demokrasinya
dari metode kualitatif ini, sehingga peneliti tidak menentukan dan mengasumsikan
hasilnya dari awal. (4) sifatnya yang realistis dari metode ini. Bagi peneliti yang
menggunakan metode ini ia telah percaya kepada dinamika dan proses. Manusia
dan alam lingkungan hidup, berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Realita
yang tidak diasingkan yaitu bahwa semuanya berubah. Proses ini tidak akan
pernah selesai, karena sangat diakomodir oleh metode kualitatif (Raco, 2010;
Sugiarti, Andalas & Setiawan, 2020).

Anda mungkin juga menyukai