IPC
I. Kata Pengantar
Menulis tentang Lino (CEO Pelindo II) sama seperti menulis sejarah tokoh-tokoh perubahan.
Dan sejatinya, dewasa ini ada banyak CEO setipe RJ Lino di BUMN. Kita pernah punya trio
change leaders di BUMN perhubungan. Yang satu sukses mengubah wajah kereta api
(Ignasius Jonan). Satunya sukses meremajakan Garuda Indonesia (Emirsyah Satar) dan satu
lagi spesialis meremajakan pelabuhan (RJ Lino).
Di Pelindo I sampai IV pun kita punya CEO yang tak kalah hebatnya dalam memimpin
perubahan. Demikian pula di BUMN kekaryaan, migas, kebandarudaraan, dan lain
sebagainya. Indonesia jelas butuh CEO transformatif, bukan yang hanya pandai komplain,
banyak bicara, dan ingin kembali ke masa lalu saat BUMN menjadi rumah yang guyub dan
tak berprestasi.
Malaysia dan Singapura rela merekrut CEO transformatif dari global market tanpa
kegaduhan sama sekali. Sementara kita harus bangga karena Indonesia punya mereka. Apa
yang mereka lakukan sebenarnya bukanlah sesuatu yang harus menjadi berita besar, karena
begitulah layaknya perubahan. Bedanya, mereka adalah orang yang terpanggil dan punya
nyali.
Kalau ada riuh dari serikat pekerja, saya kira itu bukanlah hal baru. Demikian juga kegaduhan
politik. Kita pahami saja kegenitan politisi dalam mencari panggung. Nanti mereka juga akan
diam dengan sendirinya karena tak ada pula yang harus diributkan.
Memang bagi sebagian orang, perubahan itu adalah sebuah kecelakaan besar. Mereka yang
sudah kadung nyaman dengan rutinitas, tiba-tiba harus ikut bertarung untuk memajukan
perusahaan. Belajar lagi, melakukan hal-hal baru, diberi target, dan dilarang melakukan
pungli. Semua itu baik, tetapi menjadi tidak baik bagi mereka yang takut kehilangan.
Resistant to lose.
Tahun 2010, tak lama setelah dilantik, saya mendengar komentarnya di hadapan para CEO
BUMN tentang paparan yang saya berikan, yaitu pentingnya memimpin transformasi. Berani,
lugas, dan cerdas, itu kesan saya. Dan, seperti kebanyakan insinyur lulusan ITB lainnya, saya
lihat ia juga punya pola yang sama: percaya diri.
Pendekatannya berbeda dengan kebanyakan eksekutif BUMN yang cenderung cari aman
dan low profile. Seminggu berikutnya, saya saksikan sebuah keributan besar terjadi di
Jakarta: tragedi makam Mbah Priok. Di televisi, lagi-lagi saya melihat Lino angkat bicara.
Tanpa rasa takut ia hadapi orang-orang yang kita sudah tahu dikenal aktif memeras.
Ia tak biarkan Pelindo menjadi santapan mereka. Demikian pula saat menteri-menteri pada
era SBY menghadapinya, ia tak pernah gentar kalau digertak atau dibatasi. Dari situ saya
mulai mengerti, orang ini serius memimpin perubahan.
Masalahnya di Tanjung Priok ada banyak rigidity.Space-nya rigid, padahal untuk bersaing
melawan Malaysia dan Singapura, Indonesia perlu area pelabuhan yang luas dan modern.
Kalau pelabuhan sudah dikepung permukiman, kapasitas untuk tumbuh akan terhambat
dan ekonomi Indonesia tak akan bisa menjanjikan kesejahteraan.
Lino pun membongkarnya. Gaji pegawai ia naikkan. Tanyakanlah secara random, Anda akan
menemukan, rata-rata pegawai lulusan SLTA bergaji RP 10 juta per bulan. Kalau Anda kurang
percaya, tanyakanlah kepada para anggota serikat pekerja yang berdemo menentangnya.
Saya saja terkejut. Karyawan JICT itu dulunya bergaji di bawah Rp 10 juta per bulan, tetapi
sekarang antara Rp 37 juta hingga Rp 99 juta per bulan.
Pertanyaannya, mengapa mereka begitu keras menentang Lino? Saya kira mudah
menganalisisnya. Sebab, apa pun alasan yang diucapkan, dengan gaji dinaikkan, Anda tak
bisa lagi bersantai-santai seperti kemarin.
Setelah itu saya mendengar ada 25 orang pegawai yang dikirim sekolah ke Belanda. Sewaktu
saya berkunjung ke kampus Erasmus Universiteit, saya mendengar dari dekan setempat
tentang telepon RJ Lino agar mereka mau menerima 20 pegawai Pelindo II untuk
melanjutkan studi di sana. “Kalau mengikuti prosedur, mereka kemungkinan baru diterima
beberapa tahun kemudian, bahkan sebagian belum memenuhi kriteria,” ujar mereka. Tetapi,
Lino kembali mengikuti saran saya bahwa pegawai harus dibukakan matanya agar mampu
“melihat”. Alhasil, mereka pun berangkat. Pengetahuan dan wawasan meningkat. Sejak itu
muncullah kegairahan belajar.
Saya sempat mengingatkan Lino, “Hati-hati, mereka butuh mainan. Kalau tidak, kelompok
yang merasa terancam dapat mengorganisir kekuatan. Apalagi bila gaji mereka sudah besar,
mereka bisa merekrut konsultan dan lobyist untuk menyingkirkan Anda.” Lino kelihatannya
paham, tetapi ia bukan tipe orang yang kompromistis.
Kalau ada yang mengatakan Lino itu sombong, mungkin saya orang yang paling setuju.
Tetapi, saya kira ia berbeda dengan figur-figur politisi yang biasa kita lihat angkuh dan
arogan tanpa hasil kerja. Lino sombong karena ia berprestasi, berani, danuncompromised.
Jadi, saya pikir wajar saja. Tetapi, mengapa tekanannya begitu kuat?
Begini, dalam melakukan perubahan pada instansi pemerintah yang sudah dibelenggu zona
nyaman, Anda memang harus tampil super berani. Maklum, semua orang merasa punya
hak. Anda harus memotong gurita satu per satu. Awalnya mereka berteriak, tetapi setelah
itu mereka melakukan konsolidasi dan melawan, sampai mereka menemukan orang-orang
yang bisa diperalat.
Anda tahu kan, saat itu regulasi telah membelit Indonesia, dan itu artinya “rezeki” bagi
mereka dengan memperlambat proses di pelabuhan. Izin-izin impor dan ekspor bukan
dibuat untuk mengatur, tetapi justru untuk memberi nafkah kekayaan bagi para pemeriksa.
Jadilah dwell time di negeri ini lama, mahal, dan penuh ketidakpastian.
Saya yakin Anda sudah membacanya. Katanya di hadapan pers, "Kemarin itu Presiden
disuguhi sandiwara besar." Sistem satu atap seakan-akan tak ada masalah. Padahal, mereka
hanya “setor muka” saat Presiden ada di situ. Setelah itu mereka kembali menghilang,
melayani melalui kaki tangan mereka di kantor yang sudah diatur masing-masing di luar.
Kalau Anda berada di posisi Lino, saya pun berkeyakinan Anda akan habis dibalas mereka.
Tetapi, mereka sempat terkejut saat satu per satu oknum dwell time ditangkap aparat Polda
Metro Jaya. Selebihnya mereka kembali berkonsolidasi.
Saya tentu bisa bercerita banyak dan menyajikan data-data yang saya miliki tentang Pelindo.
Menurut saya, pada akhirnya datalah yang harus bicara, bukan opini “katanya-katanya”.
Mari kita tengok.
Saya tidak tahu jurus apa yang akan dipakai politisi yang tak paham berhitung bisnis untuk
menelisik perusahaan kelas dunia kita. Semoga saja mereka diberikan karunia untuk
membaca prestasi anak bangsa sendiri dan mau mengakuinya.
Prestasi ini tentu membuat pelabuhan Singapura dan Tanjung Pelepas (Malaysia) gagal
mencapai target. Kalau dulu hanya kapal-kapal kecil yang bisa merapat, kini kapal-kapal
bermuatan 5.000 kontainer pun mulai berdatangan. Mereka justru ingin langsung ke
Tanjung Priok tanpa bongkar ke kapal-kapal kecil di Singapura atau Tanjung Pelepas. Meski
kualitas pelayanan birokrasi kita (Bea dan Cukai dll) yang dalam Logistic Performance Index
menurun, secara menyeluruh, malah jadi membaik. Padahal, infrastruktur belum ditambah.
Berkat kegigihannya membangun system dan governance, oleh KPK, ia juga diberi
penghargaan sebagai instansi pemerintah yang melayani publik dengan baik dan setelah itu,
reputasinya diakui dunia. Perusahaan yang ia pimpin pun memperoleh pendapatan yang
bagus berkat negosiasinya dengan HTC yang mengelola pelabuhan lama.
Sekadar diketahui, JICT sudah mengikat kontrak dengan Pelindo sejak tahun 1999 pada era
pemerintahan Habibie yang akan berakhir pada tahun 2019. Ada yang mengatakan bahwa
prosesnya melanggar hukum. Namun, dari kajian hukum yang dilakukan Fakultas Hukum UI,
saya justru membaca apa yang ia lakukan telah sesuai dengan koridor hukum. Lino adalah
pejabat yang tertib. Ia selalu meminta kajian dari para ahli sebelum mengambil tindakan.
Masih banyak yang bisa saya jelaskan. Namun, saya harus berhenti di sini sambil mengajak
kita semua merenung: Mengapa kita selalu membuat batu ganjalan pada tokoh-tokoh
perubahan yang berjasa bagi negeri ini?
Tidak pantas kita berbicara tanpa data dan berkelahi dengan bangsa sendiri. Bukankah di
seberang sana banyak orang senang melihat kita kembali terpuruk seperti masa-masa lalu?
Silakan direnungkan.u
A. IPC memiliki 12 cabang pelabuhan yang tersebar di wilayah bagian barat Indonesia,
yaitu :
Cabang Pelabuhan PELINDO II
Pelabuhan Tanjung Priok Pelabuhan Bengkulu
Pelabuhan Sunda Kelapa Pelabuhan Panjang
Pelabuhan Palembang Pelabuhan Cirebon
Pelabuhan Pontianak Pelabuhan Jambi
Pelabuhan Teluk Bayur Pelabuhan Pangkal Balam
Pelabuhan Banten Pelabuhan Tanjung Pandan
Arus barang yang masuk pelabuhan-pelabuhan PELINDO II dalam kurun waktu sepuluh
tahun terakhir menngkat pesat dari yang tahun 2005 sebanyak 100.677.000 Ton meningkat
hingga 145.568.000 Ton pada tahun 2014.
Sedangkan arus kunjungan kapal dalam 10 tahun terakhir meningkat dari 89.029.277
kunjungan pada tahun 2005 menjadi 112.595.843 kunjungan pada tahun 2014.
Arus barang yang masuk ke PELINDO II dalam kurun waktu sepuluh (10) tahun
terakhir.
C. Arus Petikemas
Pertumbuhan pendapatan Pelindo II tahun 2012, 2013, dan 2014 secara berturut-
turut bergerak tipis ditengah ekspansi perusahaan. Ditengah goncangan
perekonomian global, Pelindo II menunjukkan kinerja positif. Selain kondisi
perekonomian global yang sedang melemah akibat dari pelemahan perekonomian
China dan penguatan perekonomian AS, perlambatan pertumbuhan kinerja laba rugi
Pelindo II merupakan imbas dari ekspansi aset Pelindo II.
Berikut merupakan ringkasan dari laporan keuangan PELINDO II dalam beberapa tahun
terakhir ini.
* EBITDA = Laba Sebelum Beban Pajak, Beban 2010 2011 2012 2013 2014 1H2015 2010 2011 2012 2013 2014
Keuangan, Beban Penyusutan dan Amortisasi
Laba Bersih Prof it Margin
Return on Equity
1) Pendapatan PELINDO II pada tahun 2014 meningkat 5,4% (YoY) sebesar Rp 6.406
miliar dibandingkan peningkatan pendapatan tahun 2013 sebesar 12,1% (YoY)
sebesar Rp 6.078 miliar
3) Pertumbuhan laba operasional perusahaan pada tahun 2014 melemah -6,4% (YoY)
sebesar Rp 2.500 Miliar dibandingkan peningkatan laba operasional perusahaan
tahun 2013 sebesar 12,1% (YoY) sebesar Rp 2.672 Miliar
8) Rasio perbandingan Pendapatan pada Ekuitas (ROE) pada tahun 2014 melemah
menjadi 16,5% dibandingkan rasio ROE tahun 2013 sebesar 21,6%
35,000
30,000
TOTAL PENDAPATAN
25,000 TOTAL BEBAN
LABA RUGI
20,000
EBITDA
10,000
Pertumbuhan pendapatan
5,000 dalam 10 tahun terakh ir
meningkat sebesar
- +5,4kali sedangkan
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015* kenaikan laba sebesar
+2,8 kali.
* Proyeksi
2) Kontribusi peningkatan total aset semester I 2015 PELINDO II bersumber dari aset
lancar sebesar 51,2%, 48,8% dari total aset PELINDO II merupakan aset tidak lancar.
5) Pertumbuhan aset lancar dan tidak lancar pada semester I 2015 dibandingkan akhir
tahun 2014 secara berturut-turut sebesar 301,5% dan 8,2%
6) Sebesar 75,6% dari aset lancar PELINDO II bersumber dari kas dan setara kas yaitu
sebesar Rp 14.507 miliar
7) Pertumbuhan tahunan kas dan setara kas PELINDO II pada semester I 2015 sebesar
320,2% sebesar Rp 14.507 miliar dibandingkan akhir tahun 2014 sebesar Rp 3.452
miliar
1,800
1,600
1,400
1,200
DIVIDEN
1,000
PAJAK
800
TOTAL DEVIDEN & PAJAK
600
400
200
-
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
DIVIDEN 156 274 383 520 472 565 484 590 796 310
PAJAK 208 302 314 449 475 397 505 818 1.098 1.151
TOTAL DEVIDEN & PAJAK 364 577 698 969 947 962 989 1.408 1.894 1.460
Terminal yang saat ini di operasikan oleh PT JICT merupakan terminal PELINDO II yang
diserah operasikan berdasarkan kerjasama PELINDO II dengan Hutchison Ports Holding
(HPH) sejak bulan April 1999. Komposisi kepemilikan saham HPH pada PT JICT adalah
sebesar 51% sedangkan PELINDO II sebesar 48,9 % dan Koperasi Pegawai Maritim sebesar
0,1%
HPH sendiri merupakan bagian dari sebuah konglomerasi besar yang telah berpengalaman
selama lebih dari 100 tahun dalam mengelola pelabuhan dan merupakan salah satu dari 5
besar terminal operator terbaik dunia serta telah mengelola 52 pelabuhan di 26 negara
diseluruh dunia. Selain itu, HPH merupakan perusahaan operator pelabuhan terbesar di
dunia yang memiliki banyak jaringan dan pelanggan.
3) Untuk itu dilakukan penyesuaian struktur kerjasama yang ditawarkan kepada HPH
melalui perpanjangan kerjasama dengan terms dan kondisi yang lebih baik
4) Perpanjangan kerjasama tersebut antara lain mencakup peningkatan nilai sewa JICT
yang dipercepat ini (berlaku segera) tanpa menunggu berakhirnya perjanjian yang
lama dengan total manfaat sampai dengan USD 486,5 juta atau ekuivalen dengan
Rp 6,6 Triliun (Kurs USD 1 = Rp. 13.500). Nilai ini termasuk diantaranya:
5) Pada saat yang sama, perpanjangan kerjasama ini sekaligus memberikan preseden
yang baik untuk kepastian dan iklim investasi oleh asing di Indonesia.
Kepemilikan saham PELINDO II tidak perlu mencapai 100%, karena untuk mencapai
kepemilikan 100%, PELINDO II diharuskan untuk membayar termination value sebesar
USD58 juta (ekuivalen sebesar Rp. 783 milyar) dan hilangnya kesempatan untuk
mengoptimalkan keuntungan yang didapat oleh PELINDO II sampai dengan tahun 2019.
Dengan perjanjian perpanjangan kontrak kerjasama maka PELINDO II tidak perlu membayar
kembali aset yang diterima pada akhir kontrak.
Peran Deutsche Bank selaku Financial Advisor adalah melakukan perhitungan kewajaran
nilai transaksi dari sisi keuangan sebagai dasar pengambilan keputusan PELINDO II dalam
proses negosiasi, sekaligus memimpin proses negosiasi bersama advisor lainnya.
Pertemuan dan perhitungan dilakukan beberapa kali sesuai perkembangan proses
negosiasi dengan HPH
1) Kajian ini juga telah dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) dan Jaksa Pengacara Negara
2) Dewan Komisaris juga telah memberikan masukan dari hasil kajian Financial
Research Institute (FRI) dan PT Bahana Securities
1) Pendapat hukum dari Kantor Hukum Oentoeng Suria & Partners (2012).
12) Dewan Komisaris PELINDO II meminta pendapat hukum kepada Kantor Hukum
Soemadipraja & Taher dan Financial Research Institute (FRI) (2015)
13) Direksi dan Dewan Komisaris meminta reviu terhadap kajian Deutche Bank kepada
Bahana Securities (2015)
Hal ini sesuai dengan pasal 344 UU 17 Tahun 2008 yang mengatur secara tegas bahwa
penyelengaraan kegiatan pengusahaan pelabuhan yang telah diselenggarakan oleh BUMN
Kepelabuhanan tetap diselenggarakan oleh BUMN Kepelabuhanan tersebut.
Selain itu, PELINDO II mengacu pada Peraturan Menteri BUMN No. 13-MBU/09/2014
khususnya Bab III angka II butir 4.2 huruf f dan huruf g: yang menyatakan bahwa “Mitra
Terdahulu dapat ditunjuk tanpa melalui cara pemilihan sebagaimana dimaksud pada huruf
e”.
Bahwa pada akhirnya PELINDO II tetap melakukan penawaran kepada 4 (empat) calon
mitra dengan Right To Match sesuai huruf e ketentuan Permen tersebut adalah tambahan
prosedur yang membuktikan bahwa hasil negosiasi dengan HPH adalah yang terbaik.
Dalam Peraturan Menteri yang menjadi acuan (No. 13-MBU/09/2014) tidak mengharuskan
dilakukannya tender untuk kerjasama dengan Mitra Terdahulu. Penolakan calon mitra
dalam proses ini menjadi petunjuk bahwa hasil negosiasi yang dilakukan dengan HPH
adalah yang terbaik yang bisa diperoleh PELINDO II. Empat operator tersebut bersama HPH
adalah the best 5 port operator di dunia saat ini.
Penegasan atas konsesi yang telah diperoleh oleh PT Pelabuhan Indonesia I, II, II dan IV
dimaksud juga dapat terlihat dengan bukti-bukti sebagai berikut:
1) Memorie Van Toelichting berupa pendapat akhir dari masing – masing fraksi di DPR
– RI dan pendapat akhir dari pemerintah pada saat sidang paripurna DPR – RI tahun
2008 pengesahan RUU Pelayaran
3) Testimoni dari Saudara Effendi Batubara dan Kalalo Nugroho yang pada saat itu
menjabat di Kementerian Perhubungan sebagai Direktur Jenderal Perhubungan
Laut dan Staff Khusus Menteri Perhubungan mantan Kepala Biro Hukum, yang
menyatakan bahwa semua BUP harus mendapatkan konsesi dari Regulator kecuali
BUMN Kepelabuhanan (PELINDO I, II, III dan IV).
6) Penegasan Menteri BUMN kepada Menteri Sekertaris Negara dalam Surat Nomor
S251/MBU/05/2015 tanggal 7 Mei 2015 dan Surat Nomor: S-376/MBU/06/2015
tanggal 29 Juni 2015 Tentang Masukan atas Rancangan Peraturan Pemerintah
Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 Tentang
Kepelabuhanan menegaskan bahwa terhadap BUMN Kepelabuhanan tidak
memerlukan konsesi dalam penyelenggaraan jasa kepelabuhanan;
Hal ini juga diperkuat dengan tidak adanya transfer of assets dari PELINDO kepada Regulator.
Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian BUMN sebagai kekayaan Negara yang
dipisahkan.
Penerimaan dari Rata-rata USD43 juta per tahun Target minimum sebesar USD85
Royalti, juta per tahun
Kompensasi dan
Sewa
Keuntungan bagi IPC Keuntungan bagi JICT dan Koja Keuntungan bagi HPH
1 1 1
2 2 2
Sebagai sumber pendanaan untuk
investasi lainnya, termasuk untuk Good Corporate Governance Modal untuk investasi selanjutnya di
penyelesaian Kalibaru Indonesia
3 3
Masuknya dana segar memberikan Komitmen untuk pengembangan terminal-
multiplier effect terhadap percepatan terminal ag ar dap at bersaing dengan New
kegiatan investasi Priok
Bagi pemerintah Indonesia ini memberikan perseden bahwa Indonesia mempunyai iklim
investasi yang baik, bagi investor yang baru ingin masuk, atau sudah lama berada di Indonesia.
Pelindo II telah menerbitkan obligasi global (Global Bond) perdana senilai total USD 1,6 Miliar
atasu setara dengan Rp. 20 Triliun Rupiah pada tanggal 23 April 2015 yang sekaligus
merupakan transaksi perdana terbesar diantara semua BUMN di Indonesia saat ini. Kupon
yang ditawarkan merupakan kupon terendah di antara semua BUMN yaitu 4,25% dan yield
4,375%.
1) PELINDO II menerbitkan obligasi global dengan dua tenor dengan 10 tahun dan 30
tahun senilai USD1,1 miliar dan USD500 miliar yang jatuh tempo secara berturut-
turut pada 10 tahun dan 30 tahun
2) Total penerbitan obligasi globa PELINDO II sebesar USD1,6 miliar atau setara
dengan 20,8 triliun Rupiah merupakan transaksi perdana BUMN terbesar di
Indonesia saat ini
4) Terdapat 245 investor membeli obligasi jangka waktu 10 tahun dan 80 investor
membeli obligasi jangka waktu 30 tahun
6) PELINDO II merupakan obligasi global pertama dan terbesar yang dilakukan BUMN
Indonesia saat ini
London 3
5 Boston
4 New York City
6 Los Angeles 1 Hong Kong
2 Singapore
Jakarta
• 6 m eeting dengan 8 investor • Conference call dengan 6 investor • 4 m eeting dengan 4 investor
• Group m eeting dengan 4 investor
Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) Tahun 2011 Nomor HK.56/1/3/PI.II-11 bulan
Januari 2011
PELINDO II telah melakukan proses pengadaan 10 senilai Rp 45,6 miliar, sesuai dengan
mekanisme dan ketentuan yang berlaku, melalui dua kali pelelangan dengan total peserta
8 perusahaan local dan asing.
Penganggaran pengadaan crane tersebut ada dalam Rencana Kegiatan dan Anggaran
Perusahaan (RKAP) 2011 seperti yang dijelaskan di atas. Adapun pengadaan dilakukan
secara lelang terbuka, dimana dilakukan dua pelelangan.
1. PT Altrak 1978,
2. PT Traktor Nusantara,
3. PT Hyundai Corporation,
4. PT Berdikari Pondasi Perkasa dan
5. Guanxi Narishi Century M&E Equipment Co. Ltd
Lelang dianggap gugur karena penawaran harga vendor pada alat tertentu
(Kapasitas 65 ton) di atas Owner Estimate (OE) cabang-cabang walaupun secara
total masih di bawah OE.
B. Pelelangan Kedua
1. PT Altrak 1978,
2. PT Traktor Nusantara
3. PT Hyundai Corporation
4. PT Berdikari Pondasi Perkasa
5. Guanxi Narishi Century M&E Equipment Co. Ltd
Yang menyampaikan dokumen penawaran ada 2, yaitu Guanxi Narishi Century M&E
Equipment Co. Ltd. dan PT Ifani Dewi. Pelelangan ini sah dan dimenangkan oleh
Guanxi Narishi Century M&E Equipment Co. Ltd. dengan harga di 23% di bawah
anggaran. Harga juga berada di bawah Harga Perkiraan Sendiri (HPS) / Owner
Estimate (OE).
Walaupun ada anggapan bahwa bentuknya mirip dengan crane konstruksi, namun
sesungguhnya fungsinya berbeda. Karena didesain secara khusus sebagai alat bantu
bongkar muat barang di pelabuhan dan masih banyak digunakan di pelabuhan-
pelabuhan lain di dunia, sesuai dengan desain dan kebutuhan masing-masing.
Proses pelelangan sudah diaudit oleh BPK dan hasil auditnya hanya meminta PT
Pelabuhan Indonesia II (Persero) menetapkan denda keterlambatan atas pelaksanaan
pekerjaan dari semula sebesar 4% menjadi 5% dari nilai pekerjaan
Hal ini dikarenakan hasil pemeriksaan dari BPK bersifat final dan menjadi keputusan
BPK. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 1 angka 14 UU 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan yang berbunyi :
Dalam hal pada hasil pemeriksaannya, BPK menemukan terdapat kerugian keuangan
negara, maka merupakan kewajiban BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
UU 15 Tahun 2006 untuk melaporkan terjadinya kerugian negara akibat dari
pengadaan 10 unit kepada aparat penegak hukum, namun demikian tidak ada
pelaporan dari BPK mengenai hal tersebut mengingat PELINDO II telah menindaklanjuti
temuan BPK tersebut.
Hal ini menjelaskan bahwa secara a contrario BPK menyatakan bahwa dengan telah
ditindaklanjutinya temuan potensi kerugian keuangan negara (1% denda
keterlambatan), maka tidak terpenuhi unsur kerugian keuangan negara dalam
pengadaan 10 unit Mobile Crane.
Alat-alat tersebut telah dipakai dengan pendapatan sekitar Rp 3,7 miliar di April 2014
hingga Juli 2015 dengan rinciannya sebagai berikut :
Komponen Nilai
Pendapatan Rp. 3.718.236.795
Biaya Perbaikan Rp. 197.800.528
Biaya Perawatan Rp. 25.772.147
Pada saat disegel oleh Bareskrim pada tanggal 28 Agustus 2015, alat-alat tersebut di
Terminal 1, sedang digunakan untuk kegiatan penanganan barang
Terkait dengan penyitaan barang dan uang di brankas di kantor pusat oleh Bareskrim,
telah dilakukan pengembaliannya secara bertahap, yaitu pada 22 September 2015 dan
8 Oktober 2015
Karena adanya perubahan kondisi pasar dan program penataan Pelabuhan Tanjung
Priok yang membutuhkan Mobile Crane, maka berdasarkan justifikasi operasional dan
kesepakatan seluruh direksi (BOD) disepakati untuk 10 direlokasi ke Tanjung Priok
Alat-alat tersebut telah dipakai untuk penanganan barang di Pelabuhan Tanjung Priok
dengan pendapatan sekitar Rp 3,7 miliar di April 2014 hingga Juli 2015. Hal ini dapat
dibuktikan dengan bukti log book dan bukti pembayaran/kwitansi
Berikut adalah Gambar yang lama sebelum digantikan oleh Mobie Crane yang baru.
Lama Baru
Alur barang dan alur dokumen tidak selalu berjalan bersama. Untuk penanganan
barang/petikemas, tanggung jawab ada di Operator Terminal/Pelabuhan. Barang atau
petikemas bisa saja ditumpuk di lapangan petikemas di dalam pelabuhan atau dipindahkan
ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) di luar terminal petikemas (apabila Yard
Dwelling Time dilihat dari lokasi fisik barang/petikemas memang terjadi ketika
barang/petikemas berada di dalam fasilitas pelabuhan atau pihak lain yang mengelola TPS.
Tetapi dwelling time saat ini pada prinsipnya merupakan isu dokumen dan bukan isu
produktivitas operasional pelabuhan mengingat peningkatan produktivitas berkelanjutan
oleh PT Pelabuhan Indonesia II (Persero), termasuk dengan modernisasi alat penanganan
barang/petikemas dan proses kerja terkait.
2) Upaya memperjelas permasalahan - inisiatif membuat studi dengan World Bank terkait
cara menurunkan biaya logistik yang salah satu isinya terkait mempersingkat dwelling
time sebagai masukan bagi instansi-instansi terkait agar semua dapat menangani
permasalahan secara terkoordinasi, seperti peluang dokumen dikirim via on-line, jam
kerja instansi terkait sama seperti PT PELINDO II (PERSERO) yang pelayanan dan
operasi 24/7, pemilik barang tidak telat mengumpulkan dokumen, simplifikasi
perijinan, permasalahan SKEP dll
4) Tarif progresif – guna memberikan disinsentif para pemilik barang yang berlama-lama
menyimpan barang di Pelabuhan sementara kapasitas Pelabuhan Tanjung Priok pada
saat itu hampir penuh dan terjadi kongesti, tarif progresif sebesar 200% dan 300% dari
tariff normal/dasar untuk petikemas yang berada di lapangan melebihi waktu yang
ditentukan. Peraturan ini dituangkan dalan Surat Direksi PT Pelabuhan Indonesia II
(Persero) No. HK/56/4/15/PI.II-11 tanggal 30 November 2011 tentang
penyempurnaan pasal 14 dan 15 Keputusan Direksi PT PELINDO No. HK/56/3/2/PI.II-
08 tentang tarif Pelayanan Jasa Petikemas di Terminal Petikemas Pelabuhan Tanjung
Priok
5) Saat ini ketika ada beberapa permintaan untuk menaikkan tarif progresif di atas,
perusahaan masih berhitung mengingat perekonomian sedang kurang baik. Selain itu,
terkait dengan pelayanan barang/petikemas, tarif diregulasi oleh Kementerian
Perhubungan sehingga perusahaan harus menempuh proses sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan
Instansi yang terkait dalam perijinan pada pre-clearance, masing-masing jenis barang
memerlukan ijin yang berbeda-beda. Secara umum, proses perijinan berada pada 18
Kementrian / Lembaga.Untuk satu jenis barang, dimungkinkan bahwa perijinan dilakukan
di beberapa instansi. Sejumlah perijinan masih dilakukan secara manual/semi on-line
mengingat belum semua instansi terkait terintegrasi dengan Indonesia National Single
Window (INSW) dan sejumlah instansi belum bekerja dengan sistem 24/7.
Adanya kereta api tidak terpengaruh dengan permasalahan dwelling time akan
terselesaikan, karena dwelling time berkaitan dengan arus dokumen (perizinan).
Sementara kereta api berkaitan dengan transportasi / arus barang. Kereta api bukan
merupakan solusi permasalahan dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok. Kereta api tidak
dapat serta merta menyelesaikan masalah dwelling time karena beberapa alasan sebagai
berikut:
1) Jalur kereta api eksisting di Tanjung Priok tidak langsung ke terminal petikemas
internasional, melainkan ke terminal serbaguna/multipurpose yang mayoritas
menangani barang-barang domestik.
3) Jalur KA saat ini hanya mempunyai dua tujuan, yaitu ke Gedebage Dryport (Bandung)
dan ke Surabaya, sehingga tidak mempunyai fleksibilitas untuk pengiriman
barang/petikemas. Sementara sekitar 70% petikemas Pelabuhan Tanjung Priok bukan
ke Bandung, tetapi ke industri di sebelah timur Jakarta (Cikarang, Cibitung dll)
4) Kapasitas sekali angkut KA sekitar 30an petikemas (panjang total rangkaian KA hampir
setengah kilometer). Frekuensi KA tidak tinggi – untuk jalur Gedebage hanya 2 kali
sehari
5) Kemacetan jalan yang signifikan - Uji coba penggunaan KA sampai ke dalam terminal
tanggal 2 Oktober 2015 lalu menyebabkan kemacetan panjang sampai sekitar 30
menit dan berimbas hingga keluar Pelabuhan Tanjung Priok. Hal ini mengingat
pelintasan KA di beberapa ruas jalan raya.
6) Minat pengguna jasa untuk penggunaan kereta api kurang tinggi – karena kurangnya
fleksibilitas waktu (frekuensi 2 kali sehari ke Bandung) dan term of payment yang
kaku.
Dwelling time perlu diselesaikan dengan simplifikasi dan harmonisasi peraturan antar
instansi pemerintahan, menyingkat atau mempercepat proses, meningkatkan kejelasan
berbagai peraturan, dukungan sistem informasi terintegrasi yang baik sangat diperlukan.