Anda di halaman 1dari 4

Genderang perang melawan pungli sudah ditabuh.

Presiden Joko Widodo


menandatangani Peraturan Presiden No. 87/2016 tentang Satuan Tugas Sapu
Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Usai diteken (21/10/2016), hari itu juga
aturan tersebut langsung diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna
H. Laoly.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, ditunjuk menjadi


pengendali dan penanggung jawab. Sedang dalam organisasinya dilibatkan
berbagai lembaga. Ada Polri, Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung,
Kementerian Hukum dan HAM, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK), Ombudsman Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara (BIN), dan
Polisi Militer TNI.

Ajakan Presiden ini telah terjadi pada era Orde Baru, pada 1977an, Presiden
Soeharto, memberikan perintah kepada Komando Operasi Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib) agar membereskan pungli. Namun, jika sapunya kotor,
tentu hingga akhir zaman pun lantai itu akan tetap kotor. Sebaiknya bersihkan
dulu atapnya baru lantainya….. Begitulah yang diajarkan guru kepada murid2nya
di kelas pada saat kerja bakti di sekolah….

Salah satu pemicu yang membuat presiden begitu cepat membentuk Saber Pungli,
adalah operasi tangkap tangan praktik pungli di Kementerian Perhubungan, dua
pekan lalu. Ketika itu Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap pelaku pungli
terkait perizinan, dengan menciduk lima petugas dan seorang calo. Presiden
memantau langsung operasi tersebut.

Ihwal pungli, juga diucapkan presiden dalam pertemuan dengan para gubernur,
sehari sebelum pembentukan Saber Pungli. Menurut Jokowi, pungli sudah
bertahun-tahun terjadi, dan dianggap sebuah hal yang normal. Aparat hukum dan
masyarakat pun terkesan permisif terhadap pungli.

Itulah sebabnya, presiden mengajak para gubernur membicarakan langkah


kongkret mengatasi pungutan liar. Tidak hanya urusan KTP, tidak hanya urusan
sertifikat, tidak hanya urusan di pelabuhan, kantor, bahkan di rumah sakit. Hal-
hal apa pun yang berkaitan dengan pungutan yang tidak resmi harus dihilangkan.
Begitulah ajakan Jokowi.

Ajakan Presiden ini mengingatkan kita pada perang melawan pungli yang terjadi
pada era Orde Baru. Pada 1977, Presiden Soeharto, memberikan perintah kepada
Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) agar membereskan
pungli. Perintahnya pun sama dengan perintah Jokowi saat ini, yaitu sapu bersih
pungli.

Yang membedakan, dulu Soeharto cukup dengan instruksi. Lembaga yang


diminta pun Kopkamtib, lembaga yang punya kewenangan yang tak terbatas.
Sekadar mengatasnamakan keamanan nasional, lembaga ini bisa menangkap
orang dan memenjarakannya tanpa batas waktu.

Kondisi pungli pada masa itu memang cukup parah. Presiden menganggap sudah
pada tahap mengganggu kewibawaan aparatur negara. Plesetan di masyarakat
pun muncul. Misalnya UUD, diartikan "ujung-ujungnya duit". Pungli juga
menimbulkan pandangan sinis bagi orang luar terutama yang hendak
berinvestasi. Indonesia seperti mendapat label sebagai negara pungutan.

Saat itu operasi pemberantasan pungli dipimpin langsung oleh Kepala Staf
Kopkamtib Laksamana Sudomo. Yang kerap dilakukan tim pemberantasan
pungli adalah melakukan inspeksi mendadak, di pelayanan publik. Hasil yang
sering mendapat liputan media, antara lain tangkap basah pelaku pungli di
jembatan timbang, Kementerian Perhubungan; Pembuatan SIM; Serta Polisi Lalu
Lintas yang memungli pengendara karena pelanggaran.

Harapan besar negeri ini bakal bebas pungli pun muncul, ketika Sudomo
melakukan sidak bahkan sampai ke kota-kota kecil. Pungli memang jauh
berkurang terutama di loket-loket pelayanan umum. Apalagi, Sudomo bilang
pemberantasan pungli akan dilakukan secara berlanjut. Ancaman pemecatan
berlaku bagi pelakunya.

Namun harapan tinggal harapan. Operasi sapu bersih pungli pun meredup.
Sudomo pada akhirnya seperti meralat pernyataannya. Sapu bersih pungli yang
ditangani Kopkamtib itu hanya bersifat ad hoc, tidak dapat dilakukan terus-
menerus. Kopkamtib hanyalah sebagai penggerak saja. Selanjutnya
pemberantasan pungli, harus dilakukan oleh pengawasan di lembaga-lembaga itu
sendiri.

Nah, yang terjadi kemudian, sistem pengawasan internal itu, tidak berjalan
dengan semestinya. Bukan rahasia, inspektorat maupun Satuan Pengawasan
Internal dari berbagai lembaga, selama ini tidak berjalan efektif. Sapu bersih
pungli tak berlanjut, bahkan sapu yang semestinya untuk membersihkan, pada
tahap berikutnya malah ikut menjadi kotor.

Akibatnya pungli kembali seperti semula. Dia hadir dan merasuki mental para
pelaksana birokrasi, sampai saat ini. Dan pungli pun sudah membudaya dalam
diri birokrat.

Pungli memang ada di mana-mana. Di kantor-kantor pelayanan publik, pungli


ada sejak manusia lahir sampai mati. Dari mengurus surat kelahiran ada pungli,
bikin KTP, bahkan sampai mengurus pemakaman. Mendaftar sekolah, mendaftar
pekerjaan, sampai mengurus pensiun juga kena pungli.

Dalam hal perizinan, meskipun sebagian sudah dilakukan secara elektronik,


pungli pun bisa tetap muncul saat pencari izin bertatap muka dengan petugas
untuk mendapatkan izin. Bahkan kewajiban warga negara membayar pajak
kendaraan di beberapa tempat masih disertai pungli.

Harus diakui, selama ini sudah berkembang adagium, pelayanan publik oleh
birokrasi identik dengan pungli. Petugas pelayanan baru bekerja jika ada uang
sabun alias pelicin. Pungli pun bisa berevolusi. Dia seolah menjadi pungutan
resmi yang disertai keputusan pejabat negara, dari tingkat desa bahkan sampai
tingkat Peraturan Daerah (Perda).

Namun bila dicermati lebih jauh peraturan di balik pungutan tersebut


sesungguhnya tidak punya pijakan hukum, atau malah bertetantangan dengan
perundangan yang lebih tinggi. Legalisasi pungli seperti itu, terjadi di berbagai
desa, kecamatan dan kota di Indonesia.

Namun jangan hanya menuding aparat pemerintah saja dalam soal pungli ini.
Sudah jamak bila organisasi, baik kepemudaan, kekeluargaan ikatan primordial,
bahkan membawa atribut keagamaan, melakukan pungli. Artinya, pungli juga
dilakukan oleh kelompok masyarakat. Bahkan tidak jarang terjadi bentrokan
antarorganisasi, penyebabnya rebutan wilayah pungli.

Pada akhirnya pungli memang menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya
tinggi. Itu tercermin dalam berbagai penilaian lembaga internasional terhadap
Indonesia. Dalam Indeks Daya Saing yang dibuat Forum Ekonomi Dunia (World
Economic Forum), juga Indeks Kemudahan Berusaha yang disusun Bank Dunia
(World Bank), korupsi dan red tape di lingkaran birokrasi, masih menjadi salah
satu faktor penyebab peringkat daya saing Indonesia rendah.

Red tape yang menunjukan rumitnya birokrasi di Indonesia, selama ini memang
menjadi sumber pungli. Karenanya ketika pemerintah mulai membenahi berbagi
kerumitan birokrasi, para analis ekonomi dunia pun, memujinya sebagai langkah
maju.

Dalam sebuah artikel hasil kolaborasi Forum Ekonomi Dunia dengan Financial
Time, disebutkan optimisme perubahan di Indonesia, dan menunjukkan negeri ini
tengah tumbuh. Presiden Jokowi mendapatkan apresiasi, karena dinilai para
analis telah memberikan berbagai macam stimulus dalam peket ekonomi, serta
memotong red tape.

Tentu saja kita sangat berharap, Saber Pungli kali ini, tidak bernasib sama seperti
yang pernah dilakukan Kopkamtib. Artinya, Saber Pungli bukan sebuah program
hangat-hangat tahi ayam. Ia harus terus ada dalam gerakan yang melibatkan tak
sekadar unsur inspektorat di K/L namun juga masyarakat. Karena sesungguhnya
masyarakat lah yang paling dirugikan karena pungli.

Agar gerakan Saber Pungli tidak padam, pemerintah harus berani melakukan
penataan ulang unsur-unsur birokrasi di bidang pengawasan K/L. Harus
dipastikan yang duduk di lembaga tersebut haruslah orang yang bersih. Karena
pungli tidak akan pernah bisa disapu, bila sapu yang digunakan adalah sapu
kotor.

Anda mungkin juga menyukai