Anda di halaman 1dari 7

"Indeks Persepsi Korupsi Orba Lebih Bagus karena Dulu Belum Ada KPK"

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di orde baru lebih baik daripada di era reformasi, bukan karena kasus
korupsi lebih banyak terjadi saat ini. Melainkan, di zaman itu lembaga antikorupsi belum terbentuk
sehingga penangkapan para koruptor tak semasif saat ini.

Hal itu diutarakan penulis sekaligus pegiat literasi, Maman Suherman, dalam diskusi 'Ngobrol Santai
Anti Korupsi (NGOBRAS) 20 tahun Reformasi: Lanjut Terus Berantas Korupsi'. Diskusi dilakukan di
Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) malam ini.

"Itu mengapa corruption perception index orde baru lebih bagus, karena enggak ada yang ditangkap.
Kasus Bulog, Pertamina, enggak ada yang ditangkap, karena enggak ada KPK saat itu," ujar Maman di
Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (9/5).

Maman juga tak setuju dengan sejumlah pihak yang menganggap banyaknya pejabat yang
tertangkap tangan, sebagai indikator dari korupsi yang semakin marak. Justru penangkapan-
penangkapan tersebut adalah bukti dari kerja keras KPK.

"Bukan, bukan itu, karena hari ini ada KPK, pengawasnya lebih melekat," tegas Maman.

Hal itu sangat berbeda dengan pengawasan melekat (Waskat) di era orde baru. "Waskat (termuat
dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1989 tentang Pedoman Waskat, bersifat mengendalikan secara
preventif dan represif) di orba. Siapa yang ketahuan ngomongin Soeharto di belakang layar, itu lebih
mengerikan," imbuh dia.

Menurut Maman, tingkat korupsi di kedua zaman itu tidak pas untuk dibandingkan. Pasalnya, tradisi
kritis dan pemahaman masyarakat Indonesia soal korupsi belum terbentuk di era Soeharto.

Maman mencontohkan, saat krisis orde baru memasuki fase puncaknya pada 1998, tuntuan rakyat
saat itu bahkan tidak spesifik soal korupsi. Menurut Maman, keluhan utama masyarakat saat itu
adalah kondisi ekonomi yang sulit.

"Korupsi bukan isu yang paling membangkitkan orang saat itu. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
memang sangat populer, tapi isunya adalah kehidupan yang dirasa sulit. Enggak banyak orang well
educated saat itu," ucap Maman.

Dia lalu mengenang masa-masa saat dirinya bekerja sebagai jurnalis sebuah tabloid di era itu. Tak
hanya masalah korupsi, bahkan keterbukaan pers di masa orba, menurutnya tak bisa sebebas
sekarang.

Tak heran, saat itu banyak jurnalis termasuk dirinya berharap rezim Soeharto runtuh. "Menteri
Penerangan (Harmoko, -red), terkenal dengan menurut instruksi Bapak Presiden (Soeharto),"
ucapnya.

"Bahkan, kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa, --program pertemuan


antarpetani dan nelayan yang digemborkan saat Indonesia mencapai swasembada pangan) pun
dikarantina dulu kalau mau wawancara. Supaya jelas pertanyaannya. Di era Joko Widodo atau di era
reformasi sekarang kan enggak ada semacam itu," tutup Maman.

https://kumparan.com/kumparannews/indeks-persepsi-korupsi-orba-lebih-bagus-karena-dulu-
belum-ada-kpk/full
Upaya Pemberantasan Korupsi Presiden Jokowi Stagnan

Tim penasihat hukum KPK, pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Kontras, dan
Indonesian Corruption Watch (ICW).

Tulisan dari Bambang Widjojanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Ilustrasi korupsi Foto: Thinkstock

Pada bulan pertama tahun 2019, Transparency International (TI) mengeluarkan Corruption
Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Indeks itu dapat dijadikan salah satu
ukuran untuk melihat capaian dan keberhasilan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan di
Indonesia.

Jokowi dilantik sebagai Presiden RI ke-7 pada tanggal 20 Oktober 2014, sehingga untuk menilai
upayanya dalam pemberantasan korupsi dilihat dari IPK dari tahun 2015 hingga 2019. Sejak awal
pemerintahannya, presiden mematok skor 65 sebagai target pencapaian upaya pemberantasaan
korupsi di Indonesia.

Pada awal 2019, TI merilis hasil skor IPK dan Indonesia masih bertengger di angka 38 serta di
peringkat 89 dunia. Skor Indonesia masih di bawah rerata skor negara Asia Pasifik yang besarnya 44
dan itu masih sangat jauh dari target yang ditetapkan sendiri oleh pemerintah.

Tentu presiden tak bisa disalahkan sepenuhnya atas stagnasi indeks IPK Indonesia, tetapi sebagai
kepala negara yang punya otoritas tertinggi, dapat menggerakan seluruh sumber daya bangsa, dan
menjadi dirigen dari orkestrasi pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi harus dapat dimintai
pertanggungjawaban atas stagnasi upaya pemberantasan korupsi yang terjadi pada periode
jabatannya sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia.

Perbesar

Perbandingan CDorruption Perception Index pada pemerintahan Presiden Jokowi dan Presiden SBY.

Pada tahun 2015, skor IPK Indonesia berada di angka 36 dan Transparansi Internasional Indonesia
(TII) mengumumkan capaian IPK Indonesia pada 30 januari 2019 adalah 38. Artinya, skor capaian
dari upaya pemberantasan korupsi tak hanya masih sangat jauh dari target yang dicanangkan oleh
pemerintah sendiri, tetapi juga menjadi fakta yang tak terbantahkan, bahwa selama pemerintahan
Presiden Jokowi, IPK Indonesia hanya naik sekitar 2 poin saja.

Jika dibandingkan dengan capaian Presiden RI lainnya, capaian ini masih jauh di bawah prestasi
Presiden SBY. Ketika SBY dilantik dalam jabatan keduanya sebagai Presiden RI, pada tanggal 20
Oktober 2009 hingga tahun 2014, IPK Indonesia berada di skor 28 dan meningkat mencapai 36 atau
8 poin pada akhir masa jabatannya.

Jika dibandinglan lagi dengan awal pemerintahan Presiden SBY, IPK Indonesia pada tahun 2005 baru
mencapai 22, kemudian pada tahun 2009 skornya meningkat menjadi 28. Artinya, Presiden SBY,
pada awal pemerintahannya, dapat meningkatkan skor IPK Indonesia sebesar 6 poin.

KPK mengembangkan metode penghitungan increment (membanding antara capaian skor IPK
dengan lamanya periode jabatan) dan mengukur capaian prestasi dari seluruh presiden di Indonesia.
Rinciannya seperti tersebut di bawah ini:

Perbesar

Grafik ndeks Persepsi Korupsi Indonesia dari tahun 1995 hingga 2017

Kesimpulannya, pada era Presiden Jokowi, skor IPK Indonesia hanya meningkat 2 poin saja. SBY
mampu meningkatkan skor IPK Indonesia sebesar 6 poin pada periode jabatan pertama, sedangkan
pada periode kedua, IPK Indonesia meningkat 8 poin.

Prestasi Presiden Jokowi, jika menggunakan penilaian incremental seperti yang dilakukan KPK, indeks
capaiannya di antara para presiden era reformasi adalah yang paling rendah. Presiden Megawati (4
poin) dan Gus Dur (3 poin), capaian skor IPK-nya jauh lebih baik daripada Presiden Jokowi.

Jika dilacak lebih lanjut perihal skor Indonesia yang masih stagnan atau setidaknya hanya meningkat
1 poin saja pada tahun 2018 dari tahun sebelumnya, TI menjelaskan faktor penyebabnya. Ternyata,
nilai indeks IMD World Competitiveness Yearbook turun hingga 3 poin dari 41 ke 38. Indeks ini
menjelaskan, suap dan korupsi politik masih menjadi bagian tak terpisahkan dalam sistem kekuasaan
di Indonesia. Itu artinya, korupsi politik masih hidup dan melekat, bahkan berkembang secara
berkelanjutan di era pemerintahan Presiden Jokowi.

Situasi di atas terkonfirmasi dengan stagnannya indeks Political Risk Service karena ternyata potensi
risiko korupsi dalam sistem politik belum berubah. Itu sebabnya, ada indikasi kuat, relasi kolusif
antara politisi dan pebisnis begitu intensif dan makin mencurigakan. Untuk mendukung sinyalemen
di atas dapat dilihat dari analisis Faisal Basri, salah satu ekonom yang integritasnya sudah teruji.

Pada 2018, Faisal menyatakan, ada data bahwa baru enam bulan (Januari-Juni 2018) saja, impor
beras sudah mencapai 1,1 juta ton dan izin itu sudah dikeluarkan Kementerian Perdagangan untuk
tahun ini sebesar 2 juta ton. Padahal, Bulog mengaku baru mengimpor 500.000 atau setengah juta
ton.

Faisal lalu mempertanyakan pihak yang mengimpor sisanya. Fakta ini menjelaskan, ada ribuan ton
impor beras tak jelas juntrungannya. Apakah juga ada kaiatananya dengan tahun politik?

Situasi sengkarut importasi bahan pokok ini menyebabkan peningkatan cukup baik dalam indeks
Global Insight Country Risk Ratings, yaitu: proses berusaha, perizinan, dan investasi. Kendati dinilai
semakin mudah, hal ini tidak ada gunanya karena tidak dapat digunakan dan tidak bermanfaat
maksimal untuk membebaskan diri dari fakta bahwa atmosfer korupsi yang berbasis kolusi dalam
sistem kekuasaan masih masif terjadi.

Berpijak dari kondisi ini, perlu diajukan pertanyaan reflektif perihal kemudahan berusaha, serta
perizinan dan investasi yang masih tetap berada di dalam genggaman tradisi suap, korupsi politik
yang terus menggurita, serta kian intensifnya tindak kolusif diantara politisi dan pebisnis. Kalau hal
itu yang terjadi, maka kita secara sadar dan sistematis tengah berupaya untuk mempertebal gincu
dan memoles wajah bopeng sistem kekuasaan yang sesungguhnya masih koruptif, kolusif, dan
nepotistik.

Untuk menjelaskan hal di atas, ada baiknya untuk melihat secara jelas berbagai kasus yang tengah
ditangani KPK, misalnya kasus e-KTP, Meikarta, Reklamasi di Jakarta Utara, maupun kasus PLN Riau-
1. Pada kasus-kasus itu, 'titik api' yang harusnya menjadi pembatas kepentingan pebisnis dan politisi
tak lagi bisa dibedakan secara tegas. Keduanya telah berkelindan dan bersekutu, sebagiannya
“merampok” uang negara.

Acap kali juga bersama dengan otoritas eksekutif yang sebagiannya juga merupakan politisi dan
berasal dari kalangan pebisnis. Bukankah ini yang disebut dengan oligarki? Sudah separah itukah
oligarki merasuk di dalam sistem kekuasaan di pemerintahan?

Fakta di atas akan kian menakutkan bila mengkaji fakta korupsi kepala daerah dalam kaitannya
dengan OTT yang dilakukan KPK sepanjang 2018. Ada sekitar 70 persen atau 21 kepala daerah kena
OTT dari 30 OTT yang dilakukan KPK sepanjang tahun 2018.

Berpijak dari sumber media yang beredar luas, sejumlah 76 persen atau 16 kepala daerah tersebut
adalah mereka yang menjadi bagian tak terpisahkan dari The Ruling Party, yaitu 8 orang kader PDIP,
5 orang berasal dari Golkar, 2 orang dari Nasdem dan 1 orang Perindo. Sisanya, berasal dari kalangan
partainya oposisi.
Perbesar

Daftar 21 kepala daerah yang terkena Operasi Tangkap Tangan KPK

Berpijak dari uraian di atas, jika hendak meningkatkan skor IPK secara signifikan dan sekaligus
menaklukan korupsi, maka mata rantai korupsi yang berbasis pada suap harus diputus melalui
pengendalian yang ketat dan berbagai upaya lainnya. Khususnya, korupsi yang terjadi di dalam
sistem politik serta relasi kolusif antara pebisnis dan politisi yang menyebabkan terjadinya
penyalahgunaan kewenangan dan konflik kepentingan. Semuanya harus dikontrol secara sistemik
dan terstruktur yang disertai reward and punishment yang tegas.

Untuk itu, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara pararel dan simultan. Tidak hanya
peningkatan penghasilan aparatur sipil negara agar dipenuhi basic need minimum, tetapi juga harus
disertai dengan pembangunan infrastruktur anti-korupsi, sistem pencegahan atas penyalahgunaan
kekuasaan, serta revitalisasi dan konsolidasi institusi pengawasan.

Selain itu, diperlukan juga pemberian sanksi yang tegas untuk menimbulkan efek deterent. Salah
satunya dengan menggabungkan tindak korupsi dengan kejahatan pencucian uang dan tindak
ekonomi lainnya serta upaya memiskinkan koruptor dengan membebankan social cost of corruption
pada pelaku kejahatan.

Hal yang juga sangat penting, pemberantasan korupsi harus diprioritaskan pada sektor yang
menyangkut hajat hidup rakyat kebanyakan serta perlindungan atas “agunan” masa depan Indonesia
di sektor SDA & Energi. Hal ini ditujukan untuk dapat mempercepat perwujudan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan sekedar kemudahan berusaha, perizinan, dan investasi saja.

Pendeknya, kerja tak sekedar untuk kerja. Apalagi kerja yang diletakan dalam upaya pemberantasan
korupsi. Kerja harus dituntun oleh visi dan misi yang dilakukan para pihak yang integritasnya tak
diragukan lagi, pelaksanaannya secara sistematis dan terstruktur serta ditujukan untuk kepentingan
kemaslahatan rakyat.

Selamat tinggal stagnasi dan selamat datang upaya percepatan pemberantasan korupsi.

DR. Bambang Widjojanto

Pengajar Universitas Trisakti dan Universitas Indonesia, Pimpinan KPK periode 2011-2015

https://kumparan.com/bambang-widjojanto/upaya-pemberantasan-korupsi-presiden-jokowi-
stagnan-1qcftjSdKk2/full
Kenapa Masa Jabatan Presiden Perlu Dibatasi?

Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim Saifuddin. Tempo/Nickmatul Huda

TEMPO Interaktif, Jakarta - Wacana perpanjangan masa jabatan Presiden yang dilontarkan anggota
Fraksi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, Rabu kemarin langsung menuai kecaman. Ruhut beralasan
wacana itu dikeluarkan karena ia khawatir setelah melihat pergantian pemimpin selalu diikuti
gonjang-ganjing politik. "Selalu saja rusuh. Makanya, lebih baik diperpanjang. Celah hukum untuk
membuat tiga periode itu selalu ada," ujarnya kemarin.

Kontan wacana itu langsung menuai kecaman dari sejumlah kalangan. Mereka menilai usulan itu
hanya akan membuat Indonesia berpikir mundur.

Kenapa sih masa jabatan Presiden perlu dibatasi

Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita mereview pemikiran yang melatar belakangi ide
pembatasan itu. Setelah Soeharto terguling, sejumlah elemen masyarakat menuntut, salah satunya
adalah perubahan (amandemen) UUD 1945. Tuntutan ini kemudian direspons Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Melalui Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja, MPR menggodok dan melakukan amandemen
sejumlah pasal. Salah satunya pasal 7 tentang masa jabatan presiden.

Menurut mantan anggota PAH I dari PPP, Lukman Hakim Saifuddin, perubahan pasal 7 masuk dalam
agenda I yang dibahas pada tahun 1999. Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen itu berbunyi begini:

"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya
dapat dipilih kembali."

Saat itu, kata dia, semua fraksi menyepakati perubahan pasal 7 UUD 1945 itu. "Tidak ada satu pun
fraksi yang menolak termasuk Fraksi TNI/Polri," kata Lukman yang saat ini menjabat Wakil Ketua
MPR dalam perbincangannya dengan Tempo, Kamis (19/8).

Menurut Lukman, kesepakatan itu dicapai karena semua fraksi menganggap Indonesia perlu belajar
dari kepemimpinan dua presiden sebelumnya: Soekarno dan Soeharto.

Karena pasal itu, kata Lukman, Seokarno mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Begitu
pun Soeharto, yang mencoba mengakali pasal itu. Dimana ia selalu dipilih terus hingga enam
periode.

Mantan Wakil Ketua PAH I BP MPR, Slamet Effendy Yusuf, menambahkan pembatasan terhadap
masa kepemimpinan Presiden perlu dilakukan karena untuk keberlangsungan demokrasi. "Jangan
sampai demokrasi membuat masyarakat mengkultuskan individu," ujarnya dalam percakapannya
dengan Tempo, Kamis (19/8).

Lukman dan Slamet memerinci bahaya jika masa jabatan presiden tak dibatasi. Inilah bahayanya:

1. Seseorang akan otoriter

2. Abuse of Power, menyalahgunakan kekuasaan

3. Regenerasi kepemimpinan nasional macet

4. Seseorang bisa menjadi diktator

5. Timbulnya kultus individu


Bisa jadi dengan menyadari itu semua, kemarin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung
menolak wacana yang dilontarkan kadernya di Partai Demokrat, Ruhut Sitompul itu.

"Kalau ada pikiran apakah mungkin masa jabatan presiden kembali diubah sehingga tidak perlu ada
pembatasan, maka seorang SBY akan menolak dan menentang pikiran itu," kata Yudhoyono dalam
pidato sambutan peringatan Hari Konstitusi di gedung DPR kemarin. “Ada presiden yang dipilih
berulang sampai enam kali. Pelajarannya: kekuasaan yang begitu langgeng menimbulkan
permasalahan dan tidak baik di kehidupan bernegara,” ujar Yudhoyono.

https://nasional.tempo.co/read/272307/kenapa-masa-jabatan-presiden-perlu-dibatasi

Anda mungkin juga menyukai