Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS KASUS KORUPSI PENGADAAN E-KTP

(SETYA NOVANTO)
Anggun Yulia Ningsih
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang

ABSTRAK
Penulisan paper ini dilakukan dengan tujuan untuk menganilisis kasus korupsi pengadaan E-KTP
yang melibatkan mantan Ketua DPR-RI Setya Novanto, dengan metode penulisan Literatur
Review. Sumber data dan informasi dalam paper ini diperoleh melalui penelusuran dari berbagai
artikel jurnal dan buku elektronik. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa
tindakan korupsi yang dilakukan Setya Novanto merupakan tindakan berbentuk mal-
administrasi yang melanggar etika administrasi publik.

PENDAHULUAN
1
Menurut Mubyarto dalam Sumarni Alam (2017), korupsi adalah suatu masalah poltik
lebih dari pada ekonomi yang menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi
muda, kaum elit terdidik dan para pegawai pada umumnya. Korupsi merupakan suatu bentuk
ketidakjujuran atau tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau suatu organisasi yang
memiliki wewenang dalam suatu jabatan kekuasaan, untuk memperoleh keuntungan yang haram
atau penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi seseorang. Tindakan korupsi tidak
hanya berdampak negatif pada keuangan atau perekonomian sebuah negara, namun juga
melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Selain
itu tindakan korupsi juga mengakibatkan berkurangnya dukungan masyarakat dari berbagai
kalangan terhadap pemerintah.
Jika membahas tindakan korupsi, maka yang perlu ditekankan adalah etika moral yang
dari pelaku korupsi tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa etika merupakan aturan yang
menjadi pedoman dalam bertingkah laku bagi manusia. Tindakan korupsi merupakan bentuk
pelanggaran etika, terutama jika dilakukan oleh aparat negara. Sebagai aparat negara seharusnya
mereka lebih mementingkan kepentingan masyarakat banyak diatas kepentingan pribadi atau
kelompok. Tindakan korupsi justru memperlihatkan bahwa aparat negara tidak memikirkan
kesejahteraan masyarakat.

Sebagai negara dengan wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang tinggi, Indonesia
seringkali dihadapkan dengan masalah korupsi. Bahkan bisa dikatakan bahwa korupsi menjadi
salah satu permasalahan terberat yang dihadapi pemerintah Indonesia dari masa ke masa.
2
Sepanjang sejarah, kasus korupsi di Indonesia sudah terjadi sejak zaman orde lama hingga saat
ini (Suraji:2008). Berdasarkan data terbaru yang diperoleh dari Databooks.co.id diketahui bahwa
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI menerima 2.707 laporan dugaan korupsi selama
periode semester I 2023. Data tersebut menunjukkan bahwa korupsi merupakan persoalan berat
yang dihadapi dalam system pemerintahan Indonesia.
Salah satu kasus korupsi yang fenomenal Indonesia adalah kasus korupsi pengadaan
E-KTP yang menyeret Mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto pada tahun 2017, saat
itu ia juga menjabat sebagai Ketua DPR RI periode 2017-2019. Sebagai perwakilan rakyat, tentu
saja ia berpengaruh besar dalam proses pembentukan kebijakan dan penganggaran di lembaga
legislatif. Namun, Setya Novanto justru terlibat dalam kasus korupsi proyek KTP elektronik
yang merugikan negara miliaran rupiah. Kasus ini menjadi bukti pelanggaran etika oleh aparat
negara. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji tindakan korupsi
yang dilakukan oleh Setya Novanto dengan tujuan menganalisis kasus tersebut dan melihat
bagaimana peran etika administrasi administrasi publik dalam mengatasi tindakan korupsi yang
dilakukan oleh pejabat negara.

METODE PENULISAN
Penelitian ini adalah jenis penulisan studi literatur. Menurut Amri Razali (2016), Kajian
literatur adalah satu penelusuran dan penelitian kepustakaan dengan membaca berbagai buku,
jurnal, dan terbitanterbitan lain yang berkaitan dengan topik penelitian, untuk menghasilkan satu
tulisan berkenaan dengan satu topik atau isyu tertentu. Dimana dalam penelitian ini, penulis
memperoleh data dan informasi dari buku dan artikel jurnal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kilas Balik Kasus korupsi E-KTP oleh Setya Novanto


3
Dalam Kusumawati et al (2019) Kasus korupsi E-KTP merupakan salah satu kasus
korupsi terbesar yang pernah terjadi di indonesia. Hal ini terbukti dari banyaknya nilai
penyimpangan dana dalam kasus proyek E-KTP. Kerugian yang ditanggung negara dengan
terbongkarnya praktik kotor ini mencapai Rp 2,31 Triliun. Proyek yang dianggarkan pemerintah
untuk E-KTP sebanyak Rp 5,9 Triliun. Ini menunjukkan hampir separuh atau sekitar 49% dana
proyek E-KTP dikorupsi oleh para penyelenggara negara. Bukan hanya itu banyaknya oknum
yang terlibat dalam kasus korupsi proyek E-KTP menjadikan kasus ini layak disebut sebagai
salah satu kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia.
Oknum yang diduga terlibat dalam kasus ini terdiri dari 62 orang anggota DPR Periode
2009-2014, serta sejumlah pejabat Kemendagri dan pengusaha swasta lainnya, namun dari
sekian oknum yang terlibat, nama Ketua DPR RI Setya Novanto yang paling banyak menarik
perhatian. Pada 17 Juli 2017 KPK secara resmi menetapkan Setya Novanto yang kala itu
menjabat sebagai Ketua DPR RI sebagai tersangka kasus korupsi E-KTP. Penetapannya
menjadikan Setya Novanto sebagai tersangka keempat yang ditetapkan oleh KPK setelah
tersangka Irman, Sugiharto dan Andi Narogong.

Nama Setya Novanto sejak awal memang sudah disebut-sebut terlibat dalam kasus
korupsi e-KTP. Namun keterlibatan mantan Ketua Umum Golkar itu semakin kuat setelah
namanya disebut dalam sidang perdana kasus tersebut dengan Sugiharto dan Irman yang duduk
sebagai terdakwa. Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa KPK di Pengadilan Tipikor, Kamis
(9/3/2017), Novanto disebut memiliki peran dalam mengatur besaran anggaran e-KTP yang
mencapai Rp 5,9 triliun itu. Novanto sempat membantah dan mengelak. Ia bahkan mengajukan
praperadilan atas penetapan statusnya sebagai tersangka. Sempat memenangkan praperadilan,
akhirnya Novanto kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan terus berproses hingga
divonis bersalah. Pengadilan memvonis Setya Novanto 15 tahun penjara pada 24 April 2018,
kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) setahun setelahnya.
Analisis kasus korupsi E-KTP oleh Setya Novanto ditinjau dari Perspektif Etika
Administrasi Publik
4
Etika administrasi publik adalah sebagai acuan, arahan moral bagi administrator
publik dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam melayani masyarakat dan
apakah tindakan yang dilakukannya dinilai baik atau tidak (Tri Yogi Apriansya et al : 2021).
Seorang pejabat publik, tentunya terdapat nilai etika yang harus dipatuhi selama menjabat dalam
jabatan tersebut. Etika administrasi berperan sebagai alat kontrol kepada para administrator dan
yang terkait terhadap tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Selain itu, etika dalam
administrasi juga berperan sebagai standar penilaian baik atau buruknya sikap, perilaku maupun
suatu kebijakan. Salah satu nilai etika atau kode etik yang harus dipatuhi oleh seorang pejabat
publik yaitu anti korupsi. Korupsi merupakan tindakan Mal-administrasi karena merupakan
perbuatan ataupun perilaku yang tidak sesuai dengan etika administrasi.
Setya Novanto sebagai seorang pejabat publik menurut etika administrasi telah
melakukan tindakan yang buruk dan dikatakan sebagai bentuk mal-administrasi. Bentuk mal-
administrasi yang dilakukan oleh Setya Novanto pada masa itu adalah ketidakjujuran dan
perilaku yang buruk. Perilaku ketidakjujuran dalam kasus ini dapat dilihat dari bagaimana
Novanto dan pelaku lainnya menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untu menperoleh
keuntungan pribadi dan merugikan keuangan negara dimana anggaran yang seharusnya dapat
digunakan untuk kepentingan yang lain justru dibengkakkan untuk anggaran proyek E-KTP yang
kemudian diselewengkan untuk keuntungan pribadi para oknum tersebut.
Tidak hanya itu, Setya Novanto juga melakukan bentuk mal-administrasi lainnya berupa
perilaku yang buruk. Hal ini sangat jelas sebab selama proses hukum berjalan, Setya Novanto
beberapa kali mangkir dan menghilang untuk memenuhi panggilan pengadilan. Bahkan dari data
yang diperoleh, dikatakan bahwa Setya Novanto berusaha mengelabuhi aparat penegak hukum
dengan berita kecelakaannya dimana pada saat dipengadilan Setya Novanto enggan memberikan
keterangan apapun dan terlihat seperti orang sakit, sedangkan pihak rumah sakit sendiri
mengatakan bahwa Setya Novanto dalam keadaan sehat dan bisa memberikan keterangan
dipengadilan. Tindakan tersebut tentu saja melanggar etika administrasi publik karena sebagai
pejabat publik mereka seharusnya memberikan contoh yang baik kepada masyarakat bagaimana
sikap yang baik dalam menjalani proses hukum, namun justru malah sebaliknya.

Pada administrasi publik, sebenarnya etika individu sulit untuk diterapkan. Hal ini karena
ketika seseorang individu bekerja pada sektor publik, maka individu tersebut seakan hilang
tertelan oleh sistem dari organisasi tersebut. 5Thompson dalam Hamida (2022) menyatakan
terdapat dua hambatan kelembagaan dalam terciptanya etika administrasi, yaitu the ethics of
neutrality dan the ethics of structure. Menurut ethic of neutrality seorang pejabat publik dalam
melakukan suatu tindakan tidak mengatasnamakan dirinya melainkan atas nama instansi
sehingga pejabat publik disini netral secara etika. Sehingga ketika suatu pejabat publik
mengeluarkan suatu kebijakan yang dilihat adalah suatu instansi tersebut beserta jabatannya,
bukan kepada individunya. the Sedangkan ethics of structure menganggap bahwa birokrat bukan
merupakan objek moral, di mana mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya secara
moral. Hal ini dilandaskan oleh asumsi bahwa setiap keputusan birokrat dalam implementasi
kebijakan merupakan kebijakan daripada organisasinya, sehingga birokrat sebagai individu
dianggap hanya berperan sebagai agent dalam mengimplementasikan kebijakan organisasi
(principal) yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kemungkinan munculnya ethic of neutrality dan ethic of structure kerap kali
dimanfaatkan oleh pejabat publik, karena mereka tidak bisa disalahkan secara personal sehingga
para pejabat publik menjadi kebal terhadap kesalahan moral. Kekebalan terhadap kesalahan
moral bagi individu di organisasi publik ini yang sebenarnya memberikan ruang besar untuk
munculnya tindak korupsi di suatu birokrasi. Dalam kasus korupsi Mantan Ketua DPR-RI Setya
Noavnto tersebut, ethics of structure dan ethic of neutrality tetap tidak bisa dijadikan
perlindungan dari kesalahan moral untuk tindakan korupsinya, karena penyelahgunaan
wewenang merupakan kesalahan moral individu. Jadi etika yang digunakan adalah etika individu
dan yang harus bertanggung jawab adalah individu tersebut, yaitu Setya Novanto dan oknum-
oknum lain yang terlibat.

KESIMPULAN
Korupsi merupakan suatu bentuk ketidakjujuran atau tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang atau suatu organisasi yang memiliki wewenang dalam suatu jabatan kekuasaan, untuk
memperoleh keuntungan yang haram atau penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi
seseorang. Tindakan korupsi tidak hanya berdampak negatif pada keuangan atau perekonomian
sebuah negara, namun juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menghambat
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur.
Etika administrasi publik adalah sebagai acuan, arahan moral bagi administrator
publik dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam melayani masyarakat dan
apakah tindakan yang dilakukannya dinilai baik atau tidak. Salah satu nilai etika atau kode
etik yang harus dipatuhi oleh seorang pejabat publik yaitu anti korupsi. Korupsi merupakan
tindakan Mal-administrasi karena merupakan perbuatan ataupun perilaku yang tidak sesuai
dengan etika administrasi.

Kasus korupsi Pengadaan E-KTP yang melibatkan Setya Novanto merupakan salah satu
bentuk tindakan mal-administrasi yang melanggar administrasi publik. Dalam kasus ini, Setya
Novanto melakukan tindakan mal-administrasi berbentuk ketidakjujuran dan perilaku yang baru.
Hal tersebut terbukti dengan sikap Setya Novanto dalam menjalani proses hukum atas kasus
tersebut. Dalam etika administrasi publik, terdapat dua hambatan kelembagaan dalam terciptanya
etika administrasi, yaitu the ethics of neutrality dan the ethics of structure. Keduanya kerapkali
dimanfaatkan oleh pejabat publik, karena mereka tidak bisa disalahkan secara personal sehingga
para pejabat publik menjadi kebal terhadap kesalahan moral. Namun demikian, ethics of
structure dan ethic of neutrality tetap tidak bisa dijadikan perlindungan dari kesalahan moral
untuk tindakan korupsinya, pelaku korupsi harus bertanggung jawab secara personal atas
tindakan pelanggaran etika moral yang mereka lakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alam, S. TINJAUAN YURIDIS ATAS TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM
PRAKTEK DI INDONESIA. J. Huk. Replik 5, 172–183 (2017).
2. Suraji. Sejarah Panjang Korupsi Di Indonesia & Upaya Pemberantasannya. Jurnal
kebijakan dan Administrasi Publik (JKAP) vol. 12 135–148 at (2008).
3. Kusumawati, H. S., Rahayu, N. T. & Handayani, R. Analisis Framing Berita Korupsi e-
KTP Setya Novanto Pada Media Online. Annu. Conf. Commun. Media Cult. 2, 52–59
(2020).

4. Yogi Apriansya, M. T. & Meiwanda, G. Korupsi Birokrasi Dalam Etika Administrasi


Publik Dan Strategi Pencegahan Korupsi. J. Adm. Publik dan Bisnis 3, 1–7 (2021).
5. Shifa Hamida, A. KEBIJAKAN TES KEPERAWANAN PADA TENTARA NASIONAL
INDONESIA DARI PERSPEKTIF NILAI PUBLIK DAN KONTROL ATAS DISKRESI
BIROKRASI The Policy of Virginity Testing in the Indonesian Military from the
Perspectives of Public Values and Control toward Bureaucratic Discretion. 19, 78–94
(2022).

Anda mungkin juga menyukai