Abstrak
Etika merupakan sesuatu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta mengenai hak
dan kewajiban moral. Pemilihan Kepala Daerah harus mencerminkan nilai-nilai etika
dan moralitas dalam mencapai kepercayaan publik dalam proses Pilkada. Tujuan dari
adanya penegakan etika yakni untuk melindungi masyarakat dari perilaku korup para
pemangku kekuasaan. Akan tetapi praktik di tahun 2018, terdapat calon Kepala Daerah
yang menang, dan dilantik menjadi Kepala Daerah yang notabenenya merupakan
tersangka tindak pidana korupsi. Tulisan ini merupakan penelitian doktrinal atau juga
disebut sebagai penelitian normatif. Rumusan masalah dalam tulisan ini adalah 1)
kontroversi antara etika dan hukum dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah?
dan 2) upaya pembaharuan hukum yang mengakomodir nilai-nilai etika penyelenggara
negara dalam pemilihan Kepala Daerah.
PENDAHULUAN
Nilai-nilai Pancasila, pada hakikatnya merupakan realitas objektif yang ada
pada bangsa Indonesia sebagai suatu aksedensia, yaitu suatu sifat, nilai-nilai, ciri
khas yang secara objektif ada pada bangsa Indonesia. Soekarno menegaskan bahwa
Pancasila adalah weltanschauung dari bangsa Indonesia, yang merupakan dasar
filsafat seluruh bangsa Indonesia. Atas dasar itu, Pancasila merupukan pedoman,
kaidah, asas, serta prinsip dasar yang bersumber dari moralitas, nilai, dan
pandangan hidup masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai Philosofische Grondslag
bukan merupakan suatu preferensi, melainkan sudah merupakan suatu realitas
objektif. Namun dalam rangka menghadapi tatanan dunia ketiga/globalisasi
prinsip-prinsip dasar yang merupakan paradigma kehidupan berbangsa dan
bernegara tersebut mendapat tantangan dan tekanan, bahkan tidak mengherankan
banyak elite politik atau masyarakat sekalipun, menyampingkan nilai-nilai yang
1
ada dapat dibaca indikasi korupsi terjadi karena relasi kolutif sektor birokrat dan
sektor swasta.5
5Denny Indrayana, 2016, Jangan bunuh KPK, Malang: Intrans Publishing. Hlm. 78
6Robert Cooter dan Thomas Ulen. 2000. Law and Economics: Edisi Ketiga. Amerika Serikat:
Addison Wesley Longman Inc.
7 Bo Rothstein & Nicholas Sorak (dalam Charron & Roth-stein, Regions of Trust and Distrust:
How Good Institutions Can Foster Social Cohesion), 2017, Ethical Codes for The Public Administration,
QoG Working Paper Series, University of Gothenburg. Hlm. 7
8 A. L. Goodhart. 1953. English Law and Moral Law. London: The Eastern Press Ltd. Hlm. 45
2
yang diperolehnya dari rakyat serta bertentangan dengan prinsip-prinsip yang
Pancasilais.
Selain dalam pusaran penyelenggara negara, permasalahan etik juga muncul
sejak pemilihan penyelenggara negara (Pilkada). Pada Pilkada 2018, tidak satu atau
dua, seorang calon Kepala Daerah, terjerat kasus/tindak pidana korupsi. Walaupun
statusnya masih menjadi tersangka, setidaknya indikasi yang mengarah pada terjadi
pelanggaran yang dilakukan oleh Kepala Daerah sudah terlihat, namun produk
hukum saat ini (yang mengatur Pilkada, yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah/UU Pilkada), memang membuka ruang
kesempatan bagi para tersangka ini, untuk ‘tetap’ dapat mengikuti proses pemilihan.
Bahkan dalam praktik di tahun 2018, terdapat calon Kepala Daerah yang menang,
dan dilantik menjadi Kepala Daerah, lalu berselang beberapa waktu kemudian, ia
mengundurkan diri dari Kepala Daerah karena terbukti melakukan tindak pidana
korupsi. Proses pelantikan tersebut, hanya sebatas formalitas belaka. Norma dan
Praktik Pilkada tentunya, harus terus dibenahi. Proses Pilkada merupakan salah
satu media, untuk menciptakan pemimpin yang berkualitas. Proses Pilkada yang
baik, akan menghasilkan pemimpin yang baik pula. Selain itu, perlu kiranya kita
mencermati ketentuan yang ada, mengapa? Karena saat ini, Indonesia dalam proses
menuju penyelenggara Pilkada serentak se-Indonesia. Tentuknya problem hukum,
etika, dan kompleksitas akan makin meningkat dalam penyelenggaraan yang
dilaksanakan secara serentak. Berikut tahapan menuju Pilkada Serentak di
Indonesia.
3
4 2020 Pemungutan suara serentak dalam Bupati/Walikota,
pemilihan kepala daerah hasil diangkat pejabat
pemilihan tahun 2015 Bupati/Walikota yang
5 2022 Pemungutan suara serentak dalam berasal dari jabatan
pemilihan kepala daerah hasil
pimpinan tinggi
pemilihan tahun 2017
6 2023 Pemungutan suara serentak dalam pratama sampai
pemilihan kepala daerah hasil dengan pelantikan
pemilihan tahun 2018 Bupati, dan Walikota
7 2027 Pemungutan suara serentak dalam sesuai dengan
pemilihan kepala daerah di seluruh ketentuan peraturan
wilayah Negara Kesatuan Republik perundang-undangan.
Indonesia
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut, rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimana kontroversi/pertentangan, antara etika dan hukum dalam
penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah?
2. Bagaimana upaya pembaharuan hukum yang mengakomodir nilai-nilai etika
penyelenggara negara dalam pemilihan Kepala Daerah?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan bahan hukum
primer dan sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-
undangan, sedangkan bahan hukum sekunder, buku, artikel jurnal ilmiah sebagai
bahan referensi. Pendekatan yang digunakan adalah konseptual (conceptual
approach) dan perundang-undangan (statute approach).10
9 Opinio Necessitatis adalah istilah yang digunakan oleh Edgar Bodenheimer, yang
menjelaskan tentang perlunya/kesadaran akan suatu aturan hukum untuk mengatur perilaku
kekuasaan dan masyarakat. Lihat dalam Peter Mahmud. Mazuki. 2013. Pengantar Ilmu Hukum.
Jakarta: Prenadamedia Group. Hlm. 53
10 Johny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
4
PEMBAHASAN
1. Kontoroversi Hukum dan Etika dalam Penyelenggara Pemilihan Kepala
Daerah Serentak.
a. Tindak Pidana Korupsi Sebagai Jenis Pelanggaran yang dilakukan oleh
Calon Kepala Daerah
Kajian sosio-kultural terhadap korupsi, akan dapat memperjelas
keterlibatan variabel budaya penyelenggara negara dalam korelasinya dengan
korupsi. Dalam hubungan ini pakar budaya Sjafri Sairin mengaitkan dengan
faktor sosio-kultural. Praktek korupsi juga didorong oleh berbagai faktor
sosio-kultural bangsa yang berada di luar diri pelaku itu sendiri, diantaranya
adalah faktor beban kultural (culture burden) yang membebani pundak
banyak orang, terutama para penyelenggara negara. Beban ini muncul sebagai
akibat dari kondisi tradisional yang sedang dihadapi para penyelenggara
negara dengan semakin banyaknya budaya konsumtif di tengah kehidupan
masyarakat. Konsep beban kultural berkaitan dengan beban yang harus
dipikul seseorang sebagai akibat dari tuntutan nilai yang datang dari
masyarakat sendiri. Faktor sosio-kultural yang dikemukakan Sjafri Sairin ini
tidak lepas dari nilai-nilai yang dianut dan berlaku di masyarakat Indonesia
dewasa ini yang diwarnai oleh budaya materialisme, hedonisme, dan
konsumerisme. Konsekuensi dari budaya yang demikian, masyarakat lebih
menghargai orang yang memiliki kekayaan materi yang banyak dibandingkan
dengan orang yang jujur berintegritas moral tinggi tetapi dia lebih miskin dari
bidang materi. Dengan iklim kebiasaan masyarakat yang demikian, maka
masyarakat berlomba untuk memiliki simbol status materi untuk mencapai
atau menunjukan citra dirinya di mata masyarakat.11
Selain melalui pendeketan kajian sosio-kultural, salah satu menjadi
pendorong maraknya tindak pidana korupsi, adalah politik Pemilihan
umum/Kepala Daerah yang berbiaya tinggi. Ongkos yang harus dikeluarkan
oleh para calon, merupakan suatu keharusan. Tidak salah jika calon tersebut
terpilih, ia akan mencari cara untuk mengembalikan ‘ongkos politik’ yang
sebelumnya dikeluarkan.
Sepanjang penyelenggaraan Pilkada tahun 2018, tindak pidana korupsi
telah mewarnai proses Pilkada. Para calon Kepala Daerah, yang menjadi
tersangka, bahwa telah mendapat putusan yang memiliki kekuatan hukum
tetap, seluruhnya adalah para pelaku tindak pidana korupsi, baik jenis suap
atau merugikan negara. Dalam hal ini, penulis menghimpun data, tentang
pelanggaran
11 Artidjo Alkostar. 2015. Korupsi Politik di Negara Modern, Cetakan Kedua. Yogyakarta: FH UII Press
5
Tabel 2: Tindak Pidana Oleh Calon Kepala Daerah12
Pemilihan Tindak
(Gubernur/ Daerah Pidana
No Hasil Pemilihan
Bupati/ Pemilihan yang
Walikota) Dilanggar
Calon Bupati: Kabupaten urutan KEDUA dengan
1 Suap
Nyono Suharli Jombang perolehan suara 34.34%
Calon Nusa memperoleh urutan KEDUA
2 Gubernur: Tenggara Suap dengan perolehan suara
Marianus Sae Timur 25.64%
Calon Bupati:
memperoleh urutan
Imas Kabupaten
3 Suap KETIGA dengan perolehan
Aryumningsih Subang
suara 29.83%
Calon memperoleh urutan
Sulawesi
4 Gubernur: Suap KETIGA dengan perolehan
Tenggara
Asrun suara 24.73%
Calon
memperoleh urutan
Gubernur: Maluku
5 Korupsi PERTAMA dengan
Ahmad Utara
perolehan suara 31.91%
Hidayat Mus
Calon
memperoleh urutan KEDUA
Walikota: Kota
6 Suap dengan perolehan suara
Mochamad Malang
36.59%
Anton
Calon
memperoleh urutan
Walikota: Kota
7 Suap KETIGA dengan perolehan
Yaqud Ananda Malang
suara 18.87%
Gudban
Calon memperoleh urutan
8 Gubernur: Lampung Suap KEEMPAT dengan
Mustafa perolehan suara 11.04%
Kabupaten memperoleh urutan
Calon: Bupati Penerima
9 Tulungagu PERTAMA dengan
Syahri Mulyo Suap
ng perolehan suara 59.97%
12Data diolah oleh Penulis dan dihimpun melalui infopemilu.KPU.go.id. Diakses pada 13 Oktober
2018.
6
dengan baik. Visi-misi dan program kerja merupakan alat/tool setiap calon,
untuk menarik perhatian para pemilih. Secara bersamaan, di samping
Pilkada dijadikan sebagai ajang partisipasi warga negara dalam membangun
negeri, proses Pilkada juga sebagai tempat yang melahirkan dan menjadikan
cara berfikir pemilih menjadi irasional. Pasalnya integritas pemilih mulai
diberangus, dengan berkembangnya tindakan money politic dan banyaknya
calon Kepala Daerah yang menjadi tersangka. Hadirnya calon Kepala Daerah
yang menjadi tersangka, ‘seolah’ menjadi hal yang lumrah bagi warga negara.
Inilah yang sebenernya, yang penulis sebut, proses Pilkada juga melahirkan
‘pemilih yang irasional’. Walaupun mencalonkan adalah hak politik setiap
warga negara, namun perlu diingat, masyarakat secara kolektif tentunya juga
memiliki hak untuk mendapatkan calon-calon pemimpin yang memiliki
integritas tinggi.
Proses Pilkada yang melahirkan pemilih irasional, dijustifikasi oleh
aturan-aturan hukum dalam Undang-Undang, yang merupakan produk
politik, dan lahir dari mekanisme politik, yang syarat akan politisasi
kepentingan. UU Pilkada telah mengatur, mengenai calon yang berstatus
tersangka. Untuk calon Gubernur atau Wakil Gubernur yang berstatus
tersangka/terdakwa/terpidana diatur dalam pasal 163 UU Pilkada, yang
mengatur:
Ayat 6: Dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur
terpilih ditetapkan menjadi tersangka pada saat pelantikan, yang
bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil
Gubernur.
Ayat 7: Dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur
terpilih ditetapkan menjadi terdakwa pada saat pelantikan, yang
bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil
Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sementara sebagai
Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
Ayat 8: Dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur
terpilih ditetapkan menjadi terpidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat
pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur
dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sebagai
Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
Untuk calon Walikota/Bupati beserta wakilnya, yang menjadi
tersangka/terdakwa/terpidana, diatur dalam Pasal 164 UU Pilkada:
Ayat 6: Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil
Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi tersangka pada
saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi
Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota.
Ayat 7: Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil
Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi terdakwa pada
7
saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi
Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota, kemudian
saat itu juga diberhentikan sementara sebagai Bupati/Walikota
dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota.
Ayat 8: Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil
Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik
menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota,
kemudian saat itu juga diberhentikan sebagai Bupati/Walikota
dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota.
Perumusan norma dimaksud adalah guna memberikan jaminan bahwa
Gubernur/Wakil Gubernur dan/atau Bupati/Walikota dan/atau Wakil
Bupati/Wakil Walikota tidak sebagai terdakwa atau terpidana. Dengan kata
lain, seseorang yang menyandang status terdakwa berada di antara
kemungkinan tidak bersalah dan bersalah, sehingga terdapat kebutuhan
hukum untuk memberikan kesempatan kepada orang yang bersangkutan
untuk membela diri di hadapan hakim atau pengadilan. Oleh karena itu, jalan
keluar yang ditempuh oleh pembentuk Undang-Undang dalam mengatasi
suasana dilematis itu adalah dengan tetap melantik orang yang bersangkutan
sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur dan pada saat yang sama
diberhentikan sementara.13
c. Kontroversi Hukum dan Etika oleh Calon Kepala Daerah
Tiga menit setelah dilantik, Syahri Mulyo, Bupati terpilih Kabupaten
Tulungagung periode 2018-2023 dinonaktifkan. Pada saat yang sama juga,
Wakil Bupati terpilih, Maryoto Wibowo, diangkat menjadi pelaksana tugas
atau PLT Bupati. Penonaktifan tersebut dilatarbelakangi status Syahri
sebagai tersangka kasus suap proyek infrastruktur jalan di Tulunggagung,
dan tengah menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Keunikan ini tidak hanya sekali terjadi dalam pemerintahan daerah. Pada
2017, Plt Gubernur Sulawesi Tenggara Saleh Lasata melantik Bupati terpilih
Buton Samsu Umar Abdul Samiun yang tersangkut kasus suap Hakim
Konstitusi Akil Mochtar dalam perkara perselisihan hasil Pilkada.
Setelahnya, Samsu Umar langsung dinonaktifkan dan Wakil Bupati Buton La
Bakry diangkat menjadi Plt. Bupati Buton. 14
Pelantikan dan pemberhentian sementara tersebut memang telah
memenuhi persyaratan yuridis. Meskipun secara normatif diatur dalam
8
undang-undang, suatu ketentuan belum tentu luput dari kritik dalam
kacamata prosedural, substansial, dan moralitas. Pelantikan terhadap calon
bupati dan wakil bupati terpilih harus tetap dilaksanakan, kendati yang
bersangkutan menghadapai halangan sedemikian rupa. Dalil yang
disampaikan untuk menjustifikasikan pengaturan itu adalah menghindari
kekosongan jabatan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Alasan
pengisian kekosongan jabatan tersebut sesungguhnya tidak dapat diterima
logika. Penyelenggaraan pemerintahan daerah saja belum berjalan pada saat
pelantikan. Apabila memaknai perspektif yang sama, seharusnya
pengangkatan wakil Kepala Daerah sudah dilakukan sejak awal tanpa perlu
memerlukan pelantikan terlebih dahulu. Perlu diingat, pelantikan sejatinya
tidak dapat dipandang semata-mata sebagai ketentuan prosedural
pengangkatan kepala daerah, dalam arti hanya bersifat formalitas
pengesahan legitimasi keputusan rakyat. Terdapat hal esensial yang
mengikatkan Kepala Daerah dengan tuhan sebagai perwujudan sila pertama
Pancasila dengan bangsa, dan negara. Pada saat pelantikan, Kepala Daerah,
sebelum memangku jabatannya, mengucapkan sumpah/janji. 15
Dalam teks sumpah/janji, kepala daerah menyatakan bahwa yang
bersangkutan bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajibannya sebagai
Kepala Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
UUD 1945, dan menjalani segala undang-undang dan peraturannya dengan
selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa.
Pengucapan sumpah tersebut tidak dapat dipandang sebagai pembacaan
teks saja. Dengan mengucapkan sumpah, kepala daerah yang bersangkutan
berarti telah secara khidmat mengikrarkan diri dan kesetiannya untuk
memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan trek
peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya. Sumpah juga mengandung unsur religius, yaitu ikatan batin
antara manusia dan tuhan, bahwa yang bersangkutan meyakini tindakannya
dikemudian hari tidak akan melenceng dari nilai-nilai religiusitas. Apabila
sedari awal telah diketahui secara pasti bahwa yang bersangkutan tidaklah
mungkin melaksanakan janji, lalu untuk apa memaksakan pemenuhan
prosedur tersebut?16
Syahri yang merupakan petahana di Kabupaten Tulungagung telah
lama terjerat KPK, tidak lama dari hari pemungutan suara dalam pemilihan
Bupati Kabupaten Tulungagung 2018. Sang petahana tertangkap tangan oleh
KPK dalam kasus suap pembangunan infrastruktur peningkatan jalan di
Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Tulungagung.
Sebelum yang bersangkutan disumpah untuk kembali menduduki jabatan
9
yang sama, sumpah tersebut telah dilanggar. Apabila pelantikan tetap
dilakukan, hal tersebut sesungguhnya tidak mencerminkan etika
penyelenggara negara dan supremasi moralitas terhadap pemberantasan
korupsi. Publik sudah mahfum bahwa korupsi ialah penyakit kronis yang
menyerang moral bangsa. 17
Refly Harun berpendapat, ia mengamini adanya asas presumtion of
innocence atau praduga tak bersalah dalam penegakan hukum pidana, yaitu
seserang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan
demikian. Namun asas ini tidak dapat diartikan secara letterlijk sebab secara
terang yang bersangkutan telah terjaring dalam operasi tangkap tangan
(OTT) dan menjadi tahanan KPK. Mengucap janji/sumpah jabatan berarti
yang bersangkutan bersedia pula menerima konsekuensi atas pelanggaran
tersebut. Konsekuensi tersebut dapat berupa sanksi moral, agama dan
hukum. Maka dari itu, pelantikan calon Kepala Daerah yang telah ditetapkan
sebagai tersangka dalam kasus korupsi bukan hanya tidak memberikan
manfaat apapun, melainkan juga menciderai etika dan moral bangsa serta
tidak menganggap serius pengucapan janji/sumpah yang khidmat.
Itulah yang kemudian menjadi dilema dan kontroversial. Di satu sisi,
hukum hanya berdiam diri, menjadi sarana formalitas, dan menjadi tempat
pelanggengan kekuasaan, tetapi di sisi lain juga harus diingat, hukum harus
mampu mencerminkan, etika dan moralitas masyarakat. Kontroversi hukum
dan etika, tentu harus disudahi. Harus disadari, problem moralitas dan etika
pejabat publik sudah mencapai taraf ‘membahayakan’, jangan sampai
masyarakat dibuat ‘lelah’ dan menganggap tindak pidana oleh calon atau
Kepala Daerah adalah hal yang wajar. Hukum yang dibentuk harus sesuai
dengan kebutuhan sosial, dan menjawab keresahan sosial. Nonet dan
Selznick mengatakan, in the ideal of responsive law, law is faciliator of
response of social needs and aspirations. Dalam pembangunan hukum, tentu
dibutuhkan tatanan hukum baru, yang lebih substantif dan berpihak pada
kebutuhan sosial, etika, dan moralitas yang baik. Tatanan hukum baru
tersebut (responsive law requires the development of new legal instituions)
harus mendelegitimasi tatanan hukum lama, yang hanya bersifat prosedural
semata.18
2. Pembaharuan Hukum yang Mengakomodir Nilai-Nilai Etika Penyelenggara
Negara Dalam Pemilihan Kepala Daerah
a. Etika bagi Calon Pemangku Kekuasaan dan Penyelenggara Negara
Perlu kiranya untuk kembali mengulas, urgensi, tujuan dan Bagaimana
meningkatkan etika elite politik (baik sebagai calon Kepala Daerah, maupun
10
yang sudah menjadi Kepala Daerah). Hal ini tentunya akan menjadi basis
argument dalam merumuskan politik hukum dalam mengevaluasi undang-
undang, apakah sudah mencapai titik kebenaran dalam perumusannya.
Urgensi etika bagi elite politik, setidaknya memiliki 3 hal: pertama
yakni sebagai the limit of laws (pembatasan dalam hukum), The rule-of-law
has been held forth as one of the main features of what has been conceptualized
as “good governance, for this, discretion is necessary and this is where the
importance of professional ethics and norms have a large role to play. (Aturan
hukum telah ditetapkan sebagai salah satu fitur utama dari apa yang telah
dikonseptualisasikan sebagai pemerintahan yang baik, kebijaksanaan
diperlukan dan di sinilah pentingnya etika dan norma profesional memiliki
peran besar untuk dimainkan). Kedua, the limits that can maybe be
understood as a result of “human nature. That if we for whatever reason come
into a position of power in public life, our “natural inclination” is to use this
power to promote our self-interest, our family, kin and clan – and one could add
religious faction, business interest, or political party. Fukuyama emphasizes the
strong inclinations people in power have for nepotism. (bahwa jika kita untuk
alasan apa pun datang ke posisi kekuasaan dalam kehidupan publik,
“kecenderungan alami” kita adalah menggunakan kekuatan ini untuk
mempromosikan kepentingan pribadi kita, keluarga, kerabat dan klan kita
dan kita dapat menambahkan faksi agama, kepentingan bisnis, atau partai
politik).
Ketiga, etika sebagai pancaran nilai ketuhanan, agar elit politik
bertindak tetap dalam rambu-rambu nilai ketuhanan dan kepercayaannya.
Sebagai negara berketuhanan, Indonesia dihuni oleh beragam agama dan
keyakinan, walaupun keberagaman itu ada, namun seluruh agama dan
kepercayaan memiliki kesatuan pendapat, dalam hal menghendaki adanya
keadilan dan kejujuran yang dijunjung tinggi. Mengenai sistem norma etika,
maka semua agama mengandung ajaran tentang perilaku hidup yang dinilai
ideal dalam kehidupan bersama. Yang berbeda dalam agama-agama tersebut
hanya mengenai formulasi dan penggunaan bahasa simbolik. Tetapi isi sistem
nilai dan kaidah perilaku yang diidealkan rata-rata memuat hal yang serupa,
yang setidak-tidaknya dapat dibagikan antar sesama penganut agama lain,
tanpa harus merasa bersalah jika kemuliaan nilai yang dianjukan oleh agama
lain diikuti menggunakan bahasa yang inklusif dan universal.19
Tentunya urgensi tersebut, juga akan mendorong dan membantu
dalam mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Tujuan dari adanya
penegakan etika yakni untuk melindungi masyarakat dari perilaku korup
para pemangku kekuasaan, ethical causes in the public administration, that
19 Sukarno Aburaera. Muhadar. Maskun. 2012. Filsafat Hukum Teori dan Praktik. Jakarta:
11
aim the avoidance of negative phenomenon’s as theft, corruption.20 Selain itu,
etika bertujuan sebagai pedoman moral untuk pemangku kekuasaan, Ethics
in public service is about the practical application of the moral standards in
governance. Chapman mengatakan, hal tersebut dikarenakan etika mengacu
pada seseorang agar berperilaku secara baik dan benar dalam penerapannya,
‘ethics refers to how an individual feel about behaving properly. It is about
values and their application in a given context’.21
Urgensi dan tujuan etika tersebut, tentunya dalam rangka sebagai
pedoman dan rambu-rambu dalam mendapatkan kekuasaan serta
menjalankan kekuasaan. Mengapa demikian? Proses mendapatkan
kekuasaan, haruslah dilalui dengan jalur-jalur, perilaku dan cara yang suci.
Hal tersebut, amat dibutuhkan sebagai cerminan demokrasi yang
berintegritas. Dengan jalur, perilaku dan cara yang suci, tentunya calon
terpilih akan mendapatkan legitimasi dan dukungan penuh dari masyarakat.
Indonesia, yang disebut oleh Satjipto Rahardjo memiliki corak ‘kosmologi
timur’, tentu mengedepankan nilai dan moralitas yang bersumber local
wisdom (tentang kepribadian yang luhur) dalam proses pemilihan. Jangan
sampai moralitas publik sudah diciderai sejak proses pemilihan berlangsung,
karena masyarakat dipertontonkan dengan banyaknya calon yang telah
menjadi tersangka/terdakwa/terpidana ketika akan mencalonkan menjadi
Kepala Daerah.
20 M.Sc Arjeta Hallunovi, Dr.sc Elez Osmani, Dr.sc Elidiana Bashi, 2014, Ethics in Public
Administration, Volume 4 Number 1, Published by Iliria College, Germany, Page 201
21 M.Sc Arjeta Hallunovi, dkk (dalam Chapman, R. A., (2002), Ethics in public service for the
new millennium, Durham University Business School), Ethics in Public Administration, Volume 4
Number 1, Published by Iliria College, Germany, Page 204
22 Jimly Asshiddiqie. 2015. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi: Prespektif Baru tentang Rul
of Law and Rule of Ethics & Constitutional Law and Constituional Ethics. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm.
119-120
12
Melalui prespektif sosiologi, pembuatan undang-undang tidak dilihat
sebagai kegiatan yang steril dan mutlak otonom. Pekerjaan pembentukan
undang-undang, memiliki asal-usul sosial, tujuan sosial, mengalami
intervensi sosial, mempunyai dampak sosial dan sebagainya. Dalam kata-
kata Bentham pembuatan undang-undang adalah seni, yaitu seni untuk
menemukan cara-cara untuk mewujudkan the true good of the community.23
Permasalahan yang telah diuraikan penulis, dari maraknya tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh calon Kepala Daerah, ketidak manfaatan dari
pelantikan Kepala Daerah yang tersandung tindak pidana, hingga
pelanggaran sumpah jabatan yang dilakukan oleh Kepala Daerah terpilih,
merupakan problem etis yang melanda bangsa ini. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis
merekomendasikan pembaharuan hukum melalui 3 alternatif berikut.
Pertama membentuk Undang-Undang Etika Penyelenggara Negara
yang merupakan amanat dari Tap MPR VI/2001. Jika kita merujuk pada
klasifikasi TAP MPR I/2003, maka TAP MPR VI/2001 masuk dalam golongan
keempat, yang masih berlaku hingga dibentuk dalam suatu Undang-Undang.
Hendaknya, dalam UU Etika Penyelenggara Negara di masa mendatang,
mengatur ketentuan bahwa setiap penyelenggara negara yang menjadi
tersangka tindak pidana korupsi, maka ia wajib mundur dari
jabatannya/atau secara otomoatis legalitasnya sebagai penyelenggara
negara tidak memiliki kekuatan hukum. Isinya tidak hanya mencakup
penyelenggara negara, melainkan juga ‘calon’ penyelenggara negara yang
dipilih melalui proses Politik (Pemilu dan Pilkada)
Kedua, Pasal 160 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Pertama Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota memberikan pengaturan tentang pengesahan pengangkatan
pasangan calon Kepala Daerah terpilih. Pengesahan pengangkatan pasangan
calon gubernur dan wakil gubernur terpilih dilakukan berdasarkan
penetapan pasangan calon terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Provinsi yang disampaikan DPRD provinsi kepada Presiden melalu Menteri
Dalam Negeri. Sementara itu, pengesahan pengangkatan pasangan calon
Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilakukan
berdasarkan penetapan pasangan calon oleh KPU Kab/Kota yang
disampaikan DPRD kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui
gubernur. Dalam pengesahan tersebut DPRD provinsi dan kabupaten/kota
seyogyanya tidak hanya bertindak sebagai tukang stempel saja dalam arti
hanya memberikan cap pengesahan semata dan langsung menyampaikan
hasil pengesahan tersebut kepada mendagri melalui gubernur. DPRD
13
Provinsi dan Kabupaten/kota semestinya diberikan wewenang untuk
memberikan rekomendasi dan opsi apakah pengangkatan terhadap para
pasangan calon tersebut dapat dilakukan dengan segera atau dapat menunda
pengangkatan dan pelantikan, sebagai cerminan checks and balances di
ranah pemerintah daerah. Hal ini sangat perlu untuk diatur demi
mengantisipasi apabila berhadapan dengan kasus-kasus seperti ini
dikemudian hari agar selanjutnya hal ini dapat diselaraskan dengan
pengangkatan PLT Kepala Daerah. sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sehingga kemungkinan-
kemungkinan seperti kekosongan penyelenggara pemerintahan daerah
dapat dihindari sejak awal.24
Ketiga, alternatif selanjutnya yang juga sebagai jalan akhir adalah
pembukaaan akses terhadap masyarakat untuk mengetahui calon Kepala
Daerah yang sedang dalam status tersangka/terdakwa/ terpidana. Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 42 /PUU-XII/2015 menyatakan bahwa calon
Kepala Daerah mantan narapidana diperbolehkan mencalonkan, asal ia
terbuka secara jujur mengakuinya pada publik. Penulis berpendapat,
putusan tersebut dapat menjadi dasar, bahwa tidak hanya mantan
narapidana, tetapi calon yang juga dalam keadaan tersangka atau terdakwa,
dikarenakan antara mantan narapidana dan tersangka/terdakwa, sama-
sama orang yang sudah terindikasi melakukan perbuatan melawan hukum,
walaupun secara hukum tersangka/terdakwa belum terbukti, tetapi secara
etik, ia sudah melakukan hal yang menyimpang dari nilai-nilai kebaikan.
Pilihan alternatif pembaharuan tersebut, adalah upaya untuk
merespon berbagai tantangan yang hadir dalam proses demokratisasi di
Indonesia. Toynbee dalam karyanya A Study of History menjelaskan,
perubahan suatu bangsa itu akan tercapai dengan baik, manakala ada suatu
keseimbangan antara challenge dan respon. Dalam hubungan ini, Indonesia
paska reformasi terhempas dengan challenge yang begitu besar, sedangkan
respon lemah, sehingga mengakibatkan nilai-nilai Pancasila terpinggirkan.25
Hukum harus senantiasa melakukan penyesuaian terhadap tujuan-
tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakatnya. Dengan demikian, hukum
mempunyai dinamika. Politik hukum merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya dinamika yang demikian itu, karena ia diarahkan
pada ius constitutum/hukum yang seharusnya berlaku.26 Dalam pembahasan
politik hukum, penulis mengemukakan lima tujuan yang hendak dicapai dari
Pembaharuan tersebut. Pertama, mencegah terjadinya pergeseran nilai.
Hadirnya UU Etika Penyelenggara negara sebagai upaya untuk mencegah
14
perubahan nilai yang sebelumnya menjadikan korupsi sebagai pelanggaran
moral, menjadi suatu perilaku yang wajar dilakukan oleh penyelenggara
negara. Kedua, Menjaga public trust. Tidak dipungkiri, tingkat kepercayaan
publik terhadap Pemerintah banyak mengalami penurunan. Turunnya
kepercayaan publik tersebut akan menghambat laju pembangunan. Ketiga,
Menjaga citra institusi publik. Pada saat penetapan penyelenggara negara
menjadi tersangka tindak pidana korupsi, maka detik itu pula citra instansi
yang didudukinya hancur di mata publik. Adanya ketentuan yang
mewajibkan penyelenggara negara mundur dari jabatannya pada tahap
penuntutan, adalah untuk menyelamatkan citra instansi yang di dudukinya.
Karena pada saat itu, ia tidak lagi menjabat pada instansi terkait. Hal ini juga
memberi manfaat pada internal instansi terkait, agar lebih stabil ketika ada
oknum penyelenggara negara melakukan tindak pidana korupsi. Keempat,
Sistem ini akan mampu meningkatkan integritas seorang calon Kepala
Daerah. Kelima, Meningkatkan kehati-hatian penyelenggara negara dalam
menjalankan setiap aktivitasnya, terlebih lagi, sistem ini sebagai upaya
preventif agar penyelenggara negara tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kontroversi/pertentangan antara hukum dan etika dalam proses Pilkada,
terdapat pada Pelantikan calon Kepala Daerah yang telah ditetapkan sebagai
tersangka dalam kasus korupsi. Pelantikan tersebut tidak memberikan
manfaat apapun, melainkan juga menciderai etika dan moral bangsa serta
tidak menganggap serius pengucapan janji/sumpah yang khidmat. Di satu
sisi, hukum hanya berdiam diri, menjadi sarana formalitas, dan menjadi
tempat pelanggengan kekuasaan, tetapi di sisi lain juga harus diingat, hukum
harus mampu mencerminkan, etika dan moralitas masyarakat. Sehingga
dalam pembangunan hukum, dibutuhkan tatanan hukum baru, yang lebih
substantif dan berpihak pada kebutuhan sosial, etika, dan moralitas yang
baik.
2. Upaya pembaharuan hukum dalam menyelesaikan kontroversi hukum dan
etika, dapat dilakukan melalui alternatif (pilihan) berikut: Pertama
membentuk Undang-Undang Etika Penyelenggara Negara, yang
mengharuskan para calon kepala daerah mundur dari pencalonannya.;
Kedua DPRD Prov dan Kab/Kota diberi wewenang untuk memberikan
rekomendasi dan opsi apakah pengangkatan terhadap para pasangan calon
tersebut dapat dilakukan dengan segera atau dapat menunda pengangkatan
dan pelantikan; Ketiga pembukaaan akses terhadap masyarakat untuk
mengetahui calon Kepala Daerah yang sedang dalam status
tersangka/terdakwa/ terpidana berupa, pemasangan informasi dalam setiap
Tempat Pemungutan Suara.
15
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Aburaera, Sukarno dan Muhadar dan Maskun. 2012. Filsafat Hukum Teori dan
Praktik. Jakarta: Kharisma Putra Utama.
Asshiddiqie, Jimly. 2015. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi: Perspektif Baru Tentang
Rule of Law and Rule of Ethics and Constitutional, Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar
Grafika
Cooter, Robert dan Thomas Ulen. 2000. Law and Economics Edisi Ketiga. Amerika
Serikat: Addison Wesley Longman Inc.
Goodhart, Arthur Lehman. 1953. English Law and Moral Law. London: The Eastern
Press Ltd
Isra, Saldi. 2016. Hukum yang Terabaikan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara
Mahfud, Moh. 2014. Politik Hukum di Indonesia Edisi Revisi, Cetakan Keenam.
Jakarta: Rajawali Press
Marzuki, Peter Mahmud. 2008. Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi. Jakarta:
Prenadamedia Group
Rahardjo, Satjipto. 2014. Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan. Bandung: Citra Aditya
Bakti
Rosidi, Ajib. 2006. Korupsi dan Kebudayaan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya
16
Samekerto, FX. Adji. 2012. Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju
Post Modernisme. Bandar Lampung: Indepth Publishing
Suseno, Magnis, Frans, 2016, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Yudi Latf. 2015. Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas. Jakarta:
Gramedia Pustaka.
Bo Rothstein & Nicholas Sorak (dalam Charron & Roth-stein, Regions of Trust and
Distrust: How Good Institutions Can Foster Social Cohesion), 2017, Ethical Codes
for The Public Administration, QoG Working Paper Series, University of
Gothenburg
M.Sc Arjeta Hallunovi, Dr.sc Elez Osmani, Dr.sc Elidiana Bashi, 2014, Ethics in Public
Administration, Volume 4 Number 1, Published by Iliria College, Germany
Refly Harun. Melantik Calon Kepala Daerah Terpilih Yang Tersangkut Korupsi. Media
cetak Media Indonesia (MI), Edisi 26 September 2018
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
PUTUSAN PENGADILAN:
17
INTERNET:
Komisi Pemilihan Umum. Daftar Hasil Penetapan Suara Pilkada 2018. Diakses dari
https://infopemilu.kpu.go.id/pilkada2018/hasil2/penetapan/list/nasional
18
DAFTAR RIWAYAT PENULIS I
Data Pribadi
a. Nama : Febriansyah Ramadhan
b. Tempat, Tanggal Lahir : Surabaya, 17 Februari 1994
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Agama : Islam
e. Kewarganegaraan : Indonesia
f. Alamat : Jalan Margobasuki No. 45, Mulyoagung,
Kecamatan Dau, Malang, Jawa Timur.
g. Nomor HP : 082231241826
h. Sosial media :
0. WhatsApp : 082231241826
1. Line : febri172
Pendidikan
a. Sekolah Dasar Swasta Bhakti Ibu, Desa Bakauheni, Kecamatan Penengahan,
Kabupaten Lampung Selatan, Lampung;
b. SMP - Pondok Modern Darussalam Gontor;
c. SMA - Pondok Modern Darussalam Gontor;
d. Srata 1 (S-1) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.
Penelitian
a. LKTI: LAW’S HOME; Wisata Ilmu Hukum dan Perundang-Undangan Sebagai
Sarana Pendidikan dan Akses Hukum Bagi Masyarakat
b. PAPER: Presidnetial Threshold dalam Pemilu Serentak 2019
c. Rekonstruksi Pengaturan Ritel Tradisional dalam Menghadapi Pesatnya
Perkembangan Ritel Modern di Indonesia
d. LEGAL OPINION:" Perlindungan Hukum dalam Dunia Perbankan sebagai
Tonggak Dasar Kemajuan Bangsa”
e. Paper: Konvergensi Karang Taruna Dan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme Dalam Merespon Radikalisme Pada Level Grassroot
f. Legal Opinion: Reorientasi Nilai Ham Anak Korban dan Anak Pelaku Tindak
Pidana dalam Prespektif Hukum Pidana Pembaharuan.
g. LKTI: Menggagas Limited Judicial Preview Sebagai Upaya Harmonisasi
Undang-Undang Dan Putusan Mahkamah Konstitusi
h. Legal Opinion: Pendapat Hukum Terhadap Perkara Fiera Lovita Ditinjau
Melalui Prinsip Kebebasan Berpendapat dan Hukum Positif Indonesia
i. Legal Opinion: Pendapat Hukum atas Konflik Sosial yang bersumber Pada
Sengeketa Pertambangan di Wilayah Adat Mepago Provinsi Papua.
j. Paper: Opinio Necessitatis Tentang Etika Penyelenggara Negara yang
Melakukan Tindak Pidana Korupsi.
19
c. Artikel : Supremasi Hukum, Menggali Kisah Teladan Roeslan Abdul Ghani
d. Artikel : Mengharap Asa RUU Etika Penyelenggara Negara. (Opini Media
Cetak SINDO)
e. Artikel : RUU Pemilu Deadlock, kewajaran atau keegoisan ?
f. Artikel : Meneropong Pembentukan UKP-PIP
g. Artikel : Ramadhan dan Tafakur Kebangsaan.
h. Artikel : Kriminalisasi LGBT, Memaknai Putusan Yang Mulia
i. Artikel: Perlukan Constitusional Question diterapkan di Indonesia?
j. Jurnal Procceding Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas
Muhammadiyah Malang Tahun 2017, dengan judul : Opinio Necessitatis
tentang Etika Penyelenggara Negara yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi.
k. Paper: Presidential Threshold dalam Prespektif Konstitusional dan
Demokratisasi. Lulus dalam Konfrensi Hukum Tata Negara ke-5 di
Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat
Pengalaman Organisasi
a. Andalan Koordinator Urusan Latihan (ANKULAT) Koordinator Gerakan
Pramuka Gugus Depan 651001, Pondok Modern Darussalam Gontor 5;
b. Ketua Panitia Siswa Akhir 2013 Pondok Modern Darussalam Gontor 5;
c. Anggota Bidang Hubungan Masyarakat (HUMAS) dan Harmonisasi Antar
Lembaga Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum 2015-2016;
d. Ketua Komunitas Riset dan Debat Fakultas Hukum UMM 2016-2017.
e. Ketua Divisi Advokasi dan Penelitian Lembaga Semi Otonom Judicial Watch
(JW), Fakultas Hukum UMM.
f. Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Malang, Komisariat Hukum
UMM;
g. Anggota Departemen Pengembangan Profesi Himpunan Mahasiswa Islam
Komisariat Hukum UMM 2017-2018;
h. Wakil Sekretasris Umum (Wasekum) Bidang Kewirausahaan dan
Pengembangan Profesi Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Hukum
UMM;
i. Pimpinan Badan Pengawas Pemilihan Umum Raya Universitas
Muhammadiyah Malang 2017-2018;
j. Tim Riset and Development (RND) Batch 5 di Calon.SH.com 2017
k. Tim Konstultasi Hukum di Calon.SH.com tahun 2017.
l. Manager Departemen Hukum Tata Negara Calon.SH.com tahun 2018.
Pengalaman Kerja
20
Prestasi
21
x. Pembimbing Delegasi Debat Konstitusi tingkat regional Jawa Timur,
diselenggarakan oleh MPR-RI, dan mendapatkan Juara 1, tahun 2018.
y. Pembimbing Delegasi Debat Konstitusi tingkat regional Jawa Timur,
diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi, dan mendapatkan Juara 1
Regiona; Timur, tahun 2018.
z. Pembimbing Delegasi Debat Konstitusi tingkat Nasional, diselenggarakan
oleh Mahkamah Konstitusi, dan mendapatkan Juara 3 Nasional, tahun 2018.
22
DAFTAR RIWAYAT PENULIS II
Pendidikan:
SD Negeri 1 Sekeloa Kota 2009
Bandung
SMP Negeri 19 Kota Palu 2012
SMA Labschool Untad Kota Palu 2015
Universitas Muhammadiyah -
Malang
(Sedang Menempuh)
Pengalaman Organisasi:
Lembaga Seni Otonom Pusat Kepala Divisi Pendidikan
2016
Kajian Keilmuan dan Hukum
1
Keislaman Fakultas Hukum Kepala Departemen
2017
UMM Keilmuan
Komisi Pemilu Raya Fakultas
2 Komisi C dan Advokasi 2016
Hukum
Komisi Pemilu Raya
3 Komisi C 2017
Universitas
Komunitas Riset dan Debat
4 Ketua Umum 2017
Fakultas Hukum
Ikatan Pemuda Pelajar dan
Kepala Departemen
5 Mahasiswa Sulawesi Tengah 2018
External
Cabang Kota Malang
Seminar/Workshop/Pelatihan/Magang:
Pelatihan Aplikasi Teknologi Informasi yang
diselenggarakan oleh Lembaga Informasi dan
1 Peserta 2015
Komunikasi Divisi Pendidikan dan Pelatihan
UMM
23
Pelatihan Legal Drafting yang diselenggarakan
2 oleh Senat Mahasiswa Universitas Peserta 2016
Muhammadiyah Malang (SEM-U)
Pelatihan Pembentukan Kepribadian dan
3 Kepemimpinan yang diselenggarakan oleh UPT. Peserta 2016
P2KK UMM
Seminar Nasional dengan tema “Menggagas
Paradigma Pengelolaan Sumber Daya Alam yang
Ideal dalam Upaya Mewujudkan Kesejahteraan”
4 Peserta 2017
Rakyat yang diselenggarakan oleh Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya
24
Investment In Land-Law Perspectives In
Indonesia” yang diselenggarakan oleh Fakultas
Hukum Universitas Jendral Soedirman pada
tanggal 25-26 September
25
Karya Ilmiah : Rekonstruksi Penanggulangan Tindak Pidana
1 2017
Terorisme Melalui Pelibatan Tni Dalam Penindakan Awal
26