Anda di halaman 1dari 121

Jalan Sunyi

Pemberantas
Korupsi
ii
Jalan Sunyi
Pemberantas Korupsi
Cerita di balik kinerja tim korsupgah KPK

Penulis
Kuswandi, et al

Pengantar
Nanang Farid Syam

Penyelaras Bahasa
Uksu Suhardi

Kulit Muka dan Tata Letak


Agus Suyanto S.IKom, Rudy Asrori

Produksi
Tim Korsupgah KPK

Penerbit

GEDUNG KPK 
Jln. Kuningan Persada Kav. 4, Jakarta Selatan 12950
Telp : (021) 2557 8300
Faks : (021) 2557 8333
Call Center: 198
Email : informasi@kpk.go.id

Cetakan Pertama, 2019

Kuswandi, et al
Jalan Sunyi Pemberantas Korupsi

Cerita di balik kinerja tim korsupgah KPK

Tempo Publishing, 2019


x + 220 hlm.; 14,5 x 21 cm

ISBN:

"Keseluruhan isi menjadi tanggung jawab kpk."

iii
Kata pengantar

Cerita
Tukang Kompor
“Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan
peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pasti­lah
bangsa itu akan musnah.”
—Milan Kundera

B
agaimana cara agar bangsa dan peradaban kita tidak musnah?
Mudah, buat buku. Saya percaya bahwa peradaban sebuah
bangsa itu bisa lahir dari berbagai gagasan dan kisah-kisah yang
dituliskan. Indonesia adalah bangsa yang kaya. Ini terus kita dengar dan
disebut di berbagai forum. Namun, di saat yang sama pemiskinan dan
pemusnahan bangsa melalui korupsi juga terus terjadi.
Kita tidak boleh menyerah pada keadaan, segala daya dan upaya
harus kita lakukan. Masyarakat juga harus tahu apa yang kita kerjakan.
Selama ini pemberitaan tentang kerja-kerja KPK didominasi oleh berita-
berita penindakan, seperti operasi tangkap tangan (OTT), yang didasari
perkara suap-menyuap antara penyelenggara negara dan pengusaha.
Agar ada keseimbangan antara informasi kinerja penindakan dan
pencegahan, tak ada cara selain menuliskan apa saja yang telah kita
kerjakan. Siapa dan bagaimana kita mengerjakannya? Pemikiran saya
ini saya sampaikan kepada Deputi Pencegahan Pak Pahala Nainggolan.
Dalam perjalanan menuju Istana Bogor saat akan rapat koordinasi
Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi pada Desember 2018,
saya memprovokasi Pak Pahala betapa buku akan menjadi abadi, dan
masyarakat perlu tahu cerita selain Laporan Tahunan yang berisi data
dan angka. Masyarakat perlu tahu sisi lain pegawai KPK. Pak Pahala

iv
kemudian bertanya siapa yang akan menuliskannya. Supaya kisahnya
objektif, saya menawarkan ke Pak Pahala bahwa yang akan menulis
buku tersebut adalah para jurnalis. Buku ini akan menjadi laporan
jurnalistik yang ringan dan enak dibaca. Untuk meyakinkan Pak Pahala,
saya ceritakan bahwa saya telah menghasilkan buku bersama para
jurnalis yang bertugas di KPK.
Singkat cerita, Pak Pahala setuju. Tak lama setelah pembicaraan kami
dalam mobil menuju Istana Bogor itu, Pak Pahala kembali memanggil
saya ke ruangannya dan meminta saya membawa jurnalis yang akan
menulis kisah-kisah kerja KPK di daerah. Saya hubungi lagi Kuswandi,
sahabat saya, yang juga menjadi inisiator buku sebelumnya. Saya minta
Wandi panggilan akrabnya, mengajak beberapa kawan yang bersedia
menjalani “proyek” prestisius ini. Lalu terkumpul lima orang jurnalis
yang dengan sukarela bersedia menjadi penulisnya. Mereka berasal dari
berbagai media yang pernah dan sedang bertugas di KPK. Kemudian
Pak Pahala memerintahkan Pak Budi Waluya, selaku Fungsional Senior
Pencegahan untuk memfasilitasi dan mengoordinasi gagasan ini.
Alhamdulillah, akhirnya kisah-kisah ringan dan humanis dari
pegawai KPK yang bekerja di ranah pencegahan ini tersaji di hadapan
Anda sebagai bentuk pertanggungjawaban kerja KPK kepada publik.
Selamat membaca, dan jangan pernah lelah mengkritik KPK.

#TerusBergerak
nanang.syam@kpk.go.id
Spesialis Kerja Sama Direktorat Pembinaan Jaringan dan Kerja Sama
Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK

v
daftar isi

Kata Pengantar............................................................................................. ii

BAB 1
sejarah korsupgah kpk
Hikayat Tim Pencegah Korupsi..............................................................4

BAB 2
CERITA Di BALIK KINERJA TIM PENCEGAH RASUAH
Loyalitas tanpa Batas Penggawa kpk.............................................20
Antara Cinta dan Dilema........................................................................ 26
Teror Berpadu Mistis................................................................................ 29
Geng Pecandu Kopi..................................................................................39
Manusia Setengah Dewa........................................................................43
“Kebakar”...................................................................................................... 53
Tertipu Komitmen Gubernur................................................................59
Kepergok Tim Ott...................................................................................64
Hujan Batu di Kota Minahasa Utara................................................... 67
Di Bawah Bayang-Bayang Erupsi Gunung Agung...................... 71
Bersatu dan Menjaga Keluarga Kedua............................................. 77

BAB 3
MENJAGA ASA TERUS MENYALA
Berbenah Menutup Lubang Rasuah..................................................84
Jalan Terjal di Bumi Cenderawasih....................................................96
Memupuk Semangat Antikorupsi di Kota Bahari....................... 101
Mengatasi Kebocoran Emas Hitam................................................. 105
Menagih Komitmen Papua Barat.........................................................111

vi
Permainan Keras Sabuk Hitam Makassar.......................................116
Menghapus Kehilangan Pendapatan Daerah...............................122
Andalkan Audit Sosial............................................................................128
Senyap di Kota Injil..................................................................................132
Tax Clearance Obat Penunggak Pajak............................................136
Hasil Tidak Menghianati Proses...........................................................141
Integrasi Pencegahan Korupsi di Nyiur Melambai.................... 169
Kami Tidak Happy Tangkap (Terus) Kepala Daerah................173
Lidah Penyambung Daerah dalam Penangkalan Rasuah.......177
Merajut Asa dari Minahasa.....................................................................181
Pantang Kendur Memperbaiki Manajemen Aparatur...............185
Pencegahan dan Penindakan Kpk, antara Dilema
dan sinergi ................................................................................................. 190

BAB 4
WAWANCARA DEPUTI PENCEGAHAN KPK
Kami Bukan Ahli, Setidaknya Menangkal Intervensi...............204

vii
2
bab 1

SEJARAH
KORSUPGAH
KPK

3
Hikayat
Tim Pencegah
Korupsi
P
“ encegahan itu sulit,” kata Tri Budi Rochmanto, menghela
napas. Ingatan anggota Kedeputian Bidang Pencegahan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini kembali ke tahun-
tahun ia mulai aktif dalam Tim Koordinasi, Supervisi, dan Pencegahan
(Korsupgah). Banyak masukan dari Tim yang ia berikan ke sejumlah
pejabat/penyelenggara negara, tapi praktik lancung masih berulang.
Kenangan Tri menuju pada awal pembentukan Korsupgah. Kala itu,
tahun 2012, program pencegahan korupsi dilakukan oleh Fungsional
di Kedeputian Bidang Pencegahan dikoordinasikan oleh Direktorat
Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas). Sebanyak
sembilan orang dari tiga direktorat, yakni Dikyanmas, Gratifikasi,
dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), terpilih
untuk mengawasi 34 provinsi yang dibagi ke dalam lima wilayah.
Tri, yang berada di Direktorat Gratifikasi, masuk tim bersama Guntur
Kusmeiyano (Dikyanmas), Nurul Ichsan Al Huda (LHKPN), Herry
Nurudin (LHKPN), Nexio Helmus (LKHPN), Arief Nugrahadi Kuncoro
(Gratifikasi), Nur Arif Patrantoro (Gratifikasi), Diaz Adiasma (LHKPN),
dan M. Rofie Haryanto (Dikyanmas). Kelompok gabungan yang disebut
Tim 9 itu bertugas melakukan koordinasi dalam mengawasi pelayanan
publik di daerah.
Nexio mengatakan, cikal bakal lahirnya Tim Korsupgah terbentuk
usai setelah Aceh diterjang tsunami yang merenggut ratusan ribu
nyawa. Untuk mengawasi kinerja Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
(BRR) Aceh, lembaga antirasuah membentuk sebuah tim kecil
beranggotakan beberapa orang. “Itu sebenarnya titik awal perdana
kegiatan koordinasi dan supervisi, agar bantuan tepat sasaran,
pemulihan cepat,” ujar Nexio.
Setelah program tersebut rampung, demi melanjutkan upaya
pencegahan korupsi, program tetap dilanjutkan dengan dibentuknya
Tim 9 tadi.

4
H i k ayat T i m P e n c e g a h K o r u p s i

Selama bertugas, Tim 9 menggandeng Badan Pengawasan Keuangan


dan Pembangunan (BPKP) untuk mengawal pengelolaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), hibah dan bantuan sosial,
serta pelayanan terpadu satu pintu. Tri Budi mengatakan, kerja sama
itu diperlukan karena BPKP memiliki perwakilan di daerah. “Kalau
untuk pelayanan publik, dulu kami lakukan pengamatan seperti
Ombudsman saat ini. Jadi kami ambil foto, ambil rekaman suara, kami
wawancara, datang langsung ke pelayanan publik,” ujar Tri Budi.
Dari pengawasan itu, KPK mulai mencium bau-bau amis dari
pengelolaan APBD. Di laporan anggaran DKI Jakarta, misalnya, pernah
ditemukan anggaran siluman hingga miliaran. Tim juga menemukan
banyaknya calo di Badan Pertanahan Nasional. Pungutan liar pun
terungkap di kantor-kantor imigrasi. “Nomor urut saja diperjualbelikan.
Jadi, kalau kita enggak beli itu kita enggak akan dapat nomor urut
ngurusin itu,” katanya.
Setahun berjalan, kerja sama dengan BPKP cukup baik, namun
dengan beberapa catatan. Menurut Tri, BPKP kurang tegas dalam
memberikan rekomendasi atas temuan-temuan Tim 9. Beberapa
temuan tim soal pungutan liar di instansi daerah bahkan tak masuk
rekomendasi. Tri menduga BPKP sungkan lantaran Kepala Perwakilan
BPKP dilantik oleh Gubernur. “Mereka (BPKP) kan agak sungkan
kalau memberikan temuan. Apalagi akan ketemu lagi sama kepala
daerahnya. Kalau KPK kan balik lagi ke Jakarta,” ujarnya.
Pada 2014, Tim 9 menambah armada. Saat dipimpin Johan Budi,
Kedeputian Bidang Pencegahan KPK mengusulkan adanya unit
tersendiri yang menangani korsupgah. Namun, rencana keberadaan
unit ini menuai pertentangan di internal. Sebab, ada asumsi tugas
pokok dan fungsi unit ini bakal bertabrakan dengan direktorat-
direktorat yang sudah ada.
Tri berpandangan unit korsupgah ini perlu agar pekerjaan
pencegahan lebih fleksibel. Sebab, pekerjaan masing-masing direktorat
di KPK dibatasi oleh Undang-Undang KPK. Misalnya, Direktorat
Gratifikasi tidak bisa cawe-cawe ikut mensosialisasikan LHKPN. Begitu
pun LHKPN tak bisa bebas membicarakan kajian tata kelola. Padahal,
seluruh unit itu diperlukan dalam upaya koordinasi dan supervisi.
Unit Korsupgah akhirnya resmi dibentuk pada 2015. Ada delapan
orang yang menggawangi unit ini saat pertama beroperasi. Tri kembali
dipercaya menjadi anggota tim. Setahun kemudian, Korsupgah
membuat program pengawasan prioritas di enam provinsi, yakni tiga

5
daerah dengan tingkat kerawanan korupsi yang berulang: Sumatera
Utara, Riau, dan Banten; serta tiga daerah otonomi khusus: Aceh,
Papua, dan Papua Barat.
Dalam perjalanannya, ada tiga daerah yang meminta KPK
mendampingi agar proses perbaikan di daerahnya juga berjalan
dengan baik. Tiga daerah itu adalah Bengkulu, Jawa Tengah, dan Nusa
Tenggara Timur. “Saat itu orangnya sudah lebih dari delapan orang, dan
jumlah satgasnya ada empat. Kami langsung melaksanakan koordinasi
dan supervisi pencegahan kepada pemda, tidak menggandeng BPKP
lagi,” kata Tri.
Pada 2018, wilayah pengawasan Korsupgah meluas jadi 22 provinsi.
Di tahun ini, KPK juga meluncurkan aplikasi Monitoring Centre
for Prevention (MCP) untuk memonitor seluruh area. Aplikasi ini
memungkinkan KPK melakukan pengawasan tanpa perlu terjun ke
lapangan. Saat ini, area pengawasan KPK sudah mencakup 34 provinsi
yang ditangani 9 satuan tugas.
Awal 2019 menjadi kolaborasi pertama satuan tugas korsup
pencegahan dan satuan tugas korsup penindakan terjun ke lapangan.
Dengan tambahan satgas korsup penindakan, nama pun berubah
menjadi koordinasi wilayah. Bersama-sama, tim ini digadang-gadang
bisa mencegah sekaligus memberantas rasuah dengan lebih efektif.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan, pencegahan
dan penindakan terintegrasi merupakan upaya dan tindakan yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Menurut dia, upaya pencegahan oleh Tim
Korsupgah di 9 korwil harus terus dilakukan tanpa berhenti, ada atau
tidak operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK. Seandainya
ada OTT di sebuah daerah atau kementerian/lembaga/instansi serta
terjadi praktik korupsi yang berulang, Tim Korsupgah harus sesegera
mungkin melakukan perbaikan secara menyeluruh.
“Ini yang sedang kami galakkan sekarang, penindakan dan
pencegahan harus terintegrasi,” ucap Syarif.
Dia menjelaskan, saat Tim Korsupgah melakukan langkah-langkah
pencegahan korupsi yang dihadiri Deputi Pencegahan Pahala
Nainggolan maupun pimpinan KPK, acap kali memang ada kepala
daerah atau pejabat daerah yang ternyata masih tidak menggubris.
Karenanya, pilihan terakhir adalah penindakan. Syarif mengibaratkan
hal ini seperti ketika Nabi Muhammad SAW mengingatkan umatnya
agar tidak melakukan perbuatan tercela, seperti jangan mencuri atau
jangan membunuh.

6
H i k ayat T i m P e n c e g a h K o r u p s i

Ramdhani

Peninjauan lalu lintas barang di Bea Cukai di Pos Lintas Batas Negara
(PLBN) Entikong, Kalimantan Barat, 9 Maret 2018.

Ada beberapa kisah menarik ihwal pencegahan dan penindakan


yang masih diingat Syarif. Satu yang cukup berkesan di Provinsi
Jambi. Kala itu, Syarif hadir pada 21 November 2017 saat pelaksanaan
Rapat Koordinasi dan Supervisi Pencegahan dan Penindakan Korupsi
Terintegrasi dilakukan KPK bersama Polda Jambi, Pemprov Jambi,
Kejaksaan Tinggi Jambi, dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) Kantor Perwakilan Provinsi Jambi. Seingat
Syarif, kegiatan itu berlangsung di Auditorium Rumah Dinas Gubernur
Jambi. Kala itu yang menjabat sebagai gubernur adalah Zumi Zola
Zulkifli. Ketika itu Syarif sempat berbincang dan bertanya pada Zola
tentang dugaan perbuatan sejumlah anggota dan pimpinan DPRD
Provinsi Jambi.
“Jambi ini menarik, menurut saya menarik secara pribadi karena
pada waktu itu saya tanya Pak Gubernur masalahnya apa. Dia bilang
salah satunya ini DPRD suka menyandera, tidak akan mengetuk APBD
kalau tidak diberi. Jadi, pada saat saya pidato, kebetulan (ada) dia dari
DPRD, saya nyatakan terbuka bahwa tolong dana-dana pokok pikiran
itu enggak perlu, jangan bikin susah gubernur. Kalau ada pokok

7
pikiran sebagai lembaga politik tentunya ya masukkan ke APBD itu,
apa prioritas bahwa Bapak konstituen Anda sebagai ini. Jadi itu mereka
tepuk tangan,” ujarnya.
Setelah Syarif memberikan sambutan dan turun dari podium,
Zola menyampaikan ucapan terima kasih ke Syarif karena telah
mengingatkan secara terbuka dan semoga perwakilan DPRD yang hadir
bisa mendengarkan. Syarif hanya mengiyakan. Tapi ternyata, tutur
Syarif, beberapa hari setelah Syarif pulang ke Jakarta masih tetap ada
anggota dan pimpinan DPRD yang meminta “uang pokok pikiran” atau
“uang ketok palu” ke Zola. Permintaan dan penerimaan uang akhirnya
diketahui tim penindakan KPK dan kemudian dilakukan OTT.
“Bahkan, ketika masih ada tim pencegahan di sana, anggota DPRD
itu sudah mulai kasak-kusuk lagi. Ketika Gubernur bilang, Zumi Zola
bilang, ‘Wah ini sudah ada di KPK’ mereka (DPRD) bilang ah kan Pak
Syarif sudah balik ke Jakarta’. Ya seperti itu jadi memang kadang enggak
terlalu diperhatikan. Makanya ke tim, ya saya bilang ini kurang ajar
juga kan. Sudah dikasih tahu jangan ini (meminta uang pokok pikiran),
ya yang kembali tim penindakan akhirnya, bukan tim pencegahan
lagi,” paparnya.
Lantas bagaimana jika semua upaya pencegahan masih terus
dilakukan dan dijalankan KPK, termasuk lewat 9 korwil, tetapi korupsi
masih terjadi, masih ada pejabat yang ditetapkan sebagai tersangka
atau ditangkap saat OTT? Siapa dan apa yang harus disalahkan?
Seluruh pimpinan KPK periode sekarang maupun periode
sebelumnya dalam berbagai kesempatan menegaskan, ketika
semua upaya pencegahan sudah dilakukan secara maksimal dan
berkesinambungan tetapi masih ada korupsi dan pelaku korupsi
ditersangkakan, ada beberapa hal yang harus dilihat kembali.
Pertama, integritas dan keteladanan dari para pelakunya baik
penyelenggara negara maupun pihak swasta yang kurang. Kedua,
ketidakpatuhan atas pakta integritas yang ditandatangani oleh para
penyelenggara negara hingga ketidakpatuhan atas sumpah/janji
jabatan dan ketidaktaatan para pelakunya atas ajaran agama. Ketiga,
belum maksimal pengawasan dan pencegahan korupsi yang harus
dilakukan secara sadar dan menyeluruh baik oleh kementerian,
lembaga, instansi, pemerintah daerah, maupun sektor swasta.
“Jika ada daerah yang kami datangi untuk kerja sama bidang
pencegahan namun tidak memiliki komitmen utuh, pencegahan hanya
berhenti pada seremonial dan lisan, maka jika tetap terjadi korupsi,

8
H i k ayat T i m P e n c e g a h K o r u p s i

bidang penindakan KPK akan tetap masuk dan menangani kasus di


sana,” ujar Ketua KPK Agus Rahardjo.
Dia membeberkan, dari sisi latar belakang pendidikan, jajaran
Kedeputian Pencegahan sangat variatif guna menunjang langkah
pencegahan korupsi. Secara komposisi pendidikan, Syarif
menggariskan, jajaran Kedeputian Pencegahan tidak perlu semua
berlatar belakang sarjana hukum. Bahkan, tutur dia, tim di Kedeputian
Penindakan tidak semuanya sarjana hukum. Secara umum di
Kedeputian Pencegahan maupun Kedeputian Penindakan ada yang
berlatar belakang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP), auditor, investigator, hingga aparat penegak hukum (APH)
lainnya.
“Jadi sama. Jadi lengkap kan. Karena pencegahan itu ada yang
memahami tata kelola perizinan, pertanian, atau kehutanan. Untuk
aspek kehutanan mungkin orang-orang kehutanan lebih tahu, sarjana
hukum mungkin lebih tahu kalau melihat fraud yang ada di dalam
konstruksi jembatan atau waduk. Seperti itu. Jadi semua disiplin kita
masukkan,” tuturnya.
Syarif menilai, kerja bidang pencegahan yang dilakukan KPK
termasuk oleh Tim Korsupgah pada korwil semakin mendapatkan
tempat setelah adanya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018
tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Di dalam PP
tersebut, KPK diamanahi sebagai pimpinan Tim Nasional PK. Bahkan
kantor Tim Nasional PK berada di KPK dan sudah diputuskan berada di
lantai 16 Gedung Dwi Warna KPK. Selain itu, rencana aksi yang disusun
Tim Nasional PK berbasis pada hasil kajian, penelitian, dan survei yang
selama ini dilakukan KPK.
“Dulu KPK tidak merupakan bagian dari Stranas PK. Stranas PK
sekarang kita masuk. Bahkan (hasil kajian, penelitian, dan survei KPK
selama ini) sebagai bahan kita (Tim Nasional PK). Karena memang
salah satu tugas KPK itu dalam undang-undang tentang koordinasi,
supervisi, dan monitoring tentang pencegahan dan pemberantasan
korupsi. Di stranas, kita (KPK) bukan di bawah Presiden, tetapi upaya
untuk itu kita dudukkan diri sebagai yang selevel untuk itu,” ucap
Syarif.
Kadang kala langkah pencegahan korupsi dicibir hingga tidak diakui
dari luar maupun dalam KPK sendiri. Jalan itu harus terus terpatri jejak
kaki. Meski teror, intimidasi, dan ancaman pernah ada dan bisa kembali
muncul, semua upaya harus dilakukan untuk menyibak korupsi, juga

9
pencegahan korupsi. Sebab, kita semua berharap Indonesia jaya juga
Tanah Air bisa terbebas dari korupsi.

Island of Integrity, SIN, hingga Tim Korsupgah


Membincangkan langkah pencegahan korupsi yang dilakukan KPK
sudah semestinya kita lacak sejak KPK periode pertama. Musababnya
pencegahan yang dilakukan tentu tidak hadir dan berlangsung tanpa
jejak. Jika kita kembali ke era pimpinan pertama, periode 2003-2007,
ada satu nama pimpinan yang patut disodorkan. Orang itu adalah
Sjahruddin Rasul, pria yang lahir di Padang 17 Agustus 1945 dan wafat
di Jakarta 23 Desember 2017.
Cerita tentang Sjahruddin Rasul dan pencegahan korupsi yang
dilakukan KPK dituturkan sedikitnya empat orang. Cerita dari dua
orang pertama disampaikan saat prosesi pemakaman Sjahruddin
di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan pada Sabtu, 23
Desember 2017. Dua orang tersebut adalah Wakil Ketua KPK Laode
Muhamad Syarif dan mantan juru bicara KPK sekaligus mantan Deputi
Bidang Pencegahan dan mantan Plt Wakil Ketua KPK, Johan Budi Sapto
Pribowo.
Saat menyampaikan sambutan dalam pemakaman Sjahruddin,
Laode Muhamad Syarif mengungkapkan, ada banyak cerita tentang
Sjahruddin yang diperoleh pimpinan KPK periode 2015-2019. Satu di
antaranya, Sjahruddin adalah sosok pimpinan KPK yang memiliki
konsentrasi khusus dalam bidang pencegahan. Bahkan Sjahruddin
menemani para pegawai Bidang Pencegahan sampai larut malam untuk
mempersiapkan materi dan strategi kampanye dan/atau pendidikan
antikorupsi di masyarakat. Pamungkasnya, tutur Syarif, Sjahruddin
adalah peletak dasar langkah Bidang Pencegahan KPK dengan konsep
Island of Integrity.
“Kenapa KPK sangat kehilangan beliau (Sjahruddin)? Karena beliau
peletak dasar Island of Integrity. Beliaulah yang meletakkan fondasi-
fondasi KPK pada awalnya sampai sekarang, khususnya di bidang
pencegahan. Di bidang pencegahan beliau sangat concern,” ungkap
Syarif.
Dia mengungkapkan, sebagai mantan auditor Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan, Sjahruddin paham betul pencegahan
merupakan salah satu kunci mengurangi dan meminimalkan korupsi
di Indonesia. Konsep Island of Integrity mulai diterapkan di beberapa
provinsi. Dalam bidang pencegahan, KPK sejak periode pertama

10
H i k ayat T i m P e n c e g a h K o r u p s i

dengan perhatian khusus dari Sjahruddin menyasar transparansi,


akuntabilitas, dan integritas di setiap lembaga pemerintahan hingga
tingkat daerah.
Johan menuturkan, konsep Island of Integrity memang digagas
oleh Sjahruddin. Konsep itu menjadi pijakan KPK dalam melakukan
pencegahan korupsi. Inti dari konsep tersebut di antaranya akuntabilitas
dan transparansi kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah;
reformasi birokrasi dan pelayanan publik; pendidikan antikorupsi;
hingga sistem antikorupsi. Konsep Island of Integrity kemudian makin
dikembangkan hingga berbagai aspek di setiap periode pimpinan
KPK.
“Makanya beliau menyebut (dengan konsep) Island of Integrity. Pak
Sjahruddin itu penggagas utama (langkah bidang) pencegahan di KPK.
Beliau yang meletakkan dasar pencegahan,” kata Johan.
Dua pegawai KPK yang juga masuk pada 2005 lewat jalur IM 1,
yakni Dian Patria dan Nanang Farid Syam, menyampaikan cerita yang
hampir sama.
Dian dan Nanang mengaku masih ingat konsep Island of Integrity dan
sebagian materi yang dulu disampaikan Sjahruddin. Apalagi keduanya
sering kali juga ikut mendampingi Sjahruddin saat kegiatan di luar
KPK.
“Konsep Island of Integrity di kementerian, lembaga, dan pemerintah
daerah menjelma menjadi WBK, wilayah bebas (dari) korupsi,” ungkap
Dian.
Nanang menuturkan, konsep Island of Integrity yang digagas
Sjahruddin semacam pembangunan wilayah antikorupsi yang
kemudian banyak melahirkan bentuk turunannya seperti WBK, Pakta
Integritas, hingga pembangunan Tunas Integritas. Semasa menjadi
pimpinan KPK, Sjahruddin menekankan lebih pada bagaimana daerah
dan instansi pemerintah mampu menjaga dan menerapkan nilai-nilai
integritas.
“Sekaligus penerapan dan mengaktivasi pengawasan internal
mereka. Pak Rasul (Sjahruddin Rasul) juga getol membangun kerja
sama atau MOU dengan kampus-kampus seluruh Indonesia dalam
rangka Island of Integrity itu. Pokok pikiran beliau, jika pulau-pulau
integritas itu bisa KPK bangun di daerah, sebagian tugas pencegahan
dapat diselesaikan,” ujar Nanang.
Dengan background auditor BPKP, Sjahruddin juga menekankan
pada pengawasan di lingkungan pemerintah yang dilakukan Aparat

11
Awal 2019 menjadi
kolaborasi pertama satuan tugas
korsup pencegahan dan satuan tugas
korsup penindakan terjun
ke lapangan. Dengan tambahan
satgas korsup penindakan, nama pun
berubah menjadi koordinasi wilayah.
Bersama-sama, tim ini
digadang-gadang bisa mencegah
sekaligus memberantas rasuah
dengan lebih efektif.

Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Pengaktifan dan peningkatan


kinerja APIP menjadi kunci guna mewujudkan Island of Integrity.
“Pak Rasul (Sjahruddin Rasul) percaya jika APIP diaktifkan dan
birokrasinya diedukasi, Island of Integrity itu bisa diwujudkan,” ucap
pria asal Minang ini.
Syarif membeberkan, saat ini untuk koordinasi dan supervisi bidang
pencegahan dan penindakan memang dibuatkan tim unit kerja
koordinasi wilayah (korwil). Jumlahnya ada 9 korwil. Masing-masing
korwil dipimpin satu ketua. Masing-masing korwil terbagi dua bidang
satuan tugas, yakni penindakan dengan satu ketua tim dan pencegahan
dengan satu ketua tim.
Keberadaan korwil, Syarif berujar, dibentuk dengan struktur
yang utuh guna melaksanakan kegiatan-kegiatan pencegahan dan
penindakan secara terintegrasi, terkoordinasi, dan berkolaborasi
menjalankan fungsi strategis di setiap wilayah yang menjadi tanggung
jawab masing-masing korwil. Ibaratnya, tutur Syarif, menu di korwil
merupakan menu lengkap mencakup seluruh aspek korsup pencegahan
dan penindakan.
“Sebenarnya yang signifikan itu, yang beda itu, adalah bahwa
orang-orang yang ditugasi pada Korwil itu bertanggung jawab untuk
korwilnya, pada wilayah yang menjadi tanggung jawab dia. Kalau dulu

12
H i k ayat T i m P e n c e g a h K o r u p s i

itu (periode pimpinan sebelumnya) enggak ada, kan. Dengan korwil ini
karena kita siapkan orangnya, lho bertanggung jawab ya! Kamu semua
wilayah Kalimantan semua kamu bertanggung jawab, dari A sampai
Z-nya seperti itu,” tutur Syarif.
Perbedaan kedua, Syarif menjelaskan, keberadaan korwil
khususnya pencegahan berbeda jauh dengan satuan tugas (satgas)
pencegahan yang ada di periode pimpinan KPK sebelumnya tentang
keberadaan ketua korwil untuk masing-masing korwil. Sebelumnya
satgas pencegahan cenderung bekerja sporadis dengan agenda kerja
yang agak sulit dievaluasi pelaksanaan, hambatan, dan keberhasilan
kinerja.
“Kalau enggak ada koordinatornya, kalau enggak ada program
kerjanya, ya itu kan susah dievaluasi kalau hanya satgas biasa dan
sporadis. Misalnya satgas A, dia bekerja untuk Kalimantan, untuk
Sulawesi, untuk Papua, di samping hampir tidak mungkin karena
memang sangat luas. Tapi juga akhirnya dia tanggung jawabnya enggak
jelas,” paparnya.
Perbedaan ketiga, di periode sebelumnya unit kerja korwil tidak
masuk dan tidak dicantumkan dalam bagan struktur organisasi KPK.
Sedangkan di periode 2015-2019 berdasarkan Peraturan KPK Nomor 03
Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK, korwil dimasukkan
dan ada dalam struktur. Hanya, posisi korwil masih dikategorikan
sebagai pejabat nonstruktural. Dalam perkembangannya, KPK akan
menjadikan korwil sejajar dengan level direktur.
“Sekarang ini masih nonstruktural, tetapi kita akan mengubah dari
Ortaka (Organisasi dan Tata Kerja) KPK itu kita akan jadikan struktural.
Oleh karena itu, korwil ini pun kita ingin sejajarkan sekurang-kurangnya
sama dengan direktur di KPK,” katanya.
Berdasarkan salinan Peraturan KPK Nomor 03 Tahun 2018 tentang
Organisasi dan Tata Kerja KPK, tertuang bahwa unit kerja korwil adalah
organisasi virtual yang dibentuk berdasarkan keputusan pimpinan
untuk melaksanakan koordinasi dan supervisi bidang pencegahan dan
bidang penindakan, serta menyiapkan dan melaksanakan kegiatan
yang membutuhkan integrasi serta kolaborasi antara upaya pencegahan
dan penindakan. Yang dapat menjadi koordinator wilayah atau ketua
korwil adalah pegawai yang memiliki tingkat jabatan spesialis utama.
Dalam menjalankan tugas tersebut, korwil memiliki 26 fungsi yang
dijabarkan secara detil dan rinci dalam peraturan tersebut.
Perbedaan terakhir sebagaimana disebutkan di atas, Syarif

13
menegaskan, keberadaan 9 korwil sebagai cikal bakal kantor
perwakilan KPK di daerah. Bagi KPK khususnya pimpinan periode
2015-2019, pendirian kantor perwakilan KPK ini adalah kebutuhan
yang mendesak. Memang, tutur Syarif, kalau bicara pendirian kantor
perwakilan KPK di daerah sebelumnya, sudah ada banyak penolakan,
baik dari internal maupun eksternal KPK.
“Sebenarnya sih banyak pimpinan yang sebelumnya enggak setuju
untuk membuat kantor cabang. Tapi, setelah kita pikir-pikir, itu perlu.
Pemerintah mempunyai pemikiran lain. Presiden dengan Menteri
Keuangan misalnya mengatakan bahwa ‘gimana untuk menjaga
integritas orang-orang KPK yang ada di wilayah? Jangan sampai
integritas mereka berbeda (dengan KPK di pusat)’. Saya bilang, dengan
yang ada di sini, saya bilang, ‘enggaklah!’,” ujarnya.
Syarif menggariskan, KPK telah menyiapkan langkah antisipasi sejak
awal. Pertama, membuat korwil dengan kantor bersifat virtual supaya
seluruh jajaran korwil tidak terkontaminasi dengan dugaan perilaku
menyimpang yang ada di daerah. Kedua, kontrol dan keputusan atas
aspek pencegahan dan penindakan yang dilakukan 9 korwil tetap
berada di Jakarta alias Gedung Merah Putih KPK. Karena itu pula KPK
telah membuat ruang kerja seluruh korwil yang berada di lantai 16
Gedung Merah Putih KPK.
“Harus di sini semuanya, penindakan masih berpusat di Jakarta.
Semuanya, termasuk pencegahan yang akan dikerjakan di kantor
wilayah, mengacu ke sini. Makanya di sini mereka punya kantor di
lantai 16. Jadi kakorwil dia membawahkan semua yang berhubungan
dengan pencegahan dan penindakan di situ. Tetapi apakah dia
mengeluarkan sprindik? Sprinlid? Tidak! Semuanya masih di tangan
komisioner,” ujarnya.
Syarif mengungkapkan, keberadaan tim korwil pencegahan dan
penindakan di masing-masing wilayahnya juga menjadi langkah
dan keputusan penting yang diambil pimpinan KPK. Musababnya,
para personel setiap korwil bisa mengetahui secara langsung dan
real time tentang proyek-proyek apa saja, termasuk proyek-proyek
baru, indikasi penyimpangan, hingga siapa terduga pelaku. Selain
itu, tim mampu mengetahui siapa saja atau daerah mana saja yang
banyak dilaporkan oleh masyarakat ke KPK dan penegak hukum lain,
melakukan pengecekan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi,
hingga menyampaikan temuannya ke bidang penindakan, baik untuk
penyelidikan maupun penyidikan.

14
H i k ayat T i m P e n c e g a h K o r u p s i

“Kalau tim pencegahan melihat ada kemungkinan misalnya ‘wah,


ini kayaknya ketika saya melakukan pencegahan di bidang A, B, C, D,
banyak kebocoran ini-nya’, dia harus lapor segera di penindakan. Itu
gunanya korwil sebenarnya. Itu yang paling penting, sinergi informasi.
Sinergi informasinya bisa dibagi,” ucapnya.

Jalan Sunyi demi Negeri


Langkah pencegahan dan penindakan korupsi yang dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) ibarat dua sisi mata uang. Keduanya tidak
bisa dipisahkan, berjalan beriringan tanpa penghalang. Perdebatan
mana yang lebih dulu antara keduanya pun seperti perdebatan mana
yang lebih dulu antara telur atau ayam. Membincangkan keduanya
tidak akan berujung kalam. Musababnya, pada keduanya tugas KPK
bersemayam.
Meski begitu, membandingkan pencegahan dan penindakan korupsi
yang dilakukan KPK bisa saja melalui pemberitaan media massa selama
ini. Jika kita ingin fair, harus diakui penindakan yang dilakukan KPK
pasti sangat menghiasi pemberitaan media massa. Lihat saja berita
di media massa dalam satu hari. Secara sepintas 99 persen berisikan
tentang penindakan, dari tahap penyelidikan, penyidikan, hingga
penuntutan dan persidangan perkara.
Andaipun dibandingkan pemberitaan tentang pencegahan
dan penindakan dalam satu bulan atau satu tahun, mungkin
persentasenya sekitar 90 persen untuk penindakan dengan 10 persen
untuk pencegahan. Kalangan internal KPK termasuk lima pimpinan
KPK dalam berbagai kesempatan bahkan mengeluhkan kurangnya
pemberitaan media massa atas langkah atau bidang pencegahan KPK.
Sampai-sampai pimpinan KPK pernah beberapa kali menggelar
editors meeting dengan pimpinan media massa. Dalam acara tersebut,
pimpinan KPK menyampaikan permintaan khusus, agar para
pengambil keputusan di media massa dapat memperhatikan dan
memberikan porsi lebih untuk pemberitaan pencegahan.
“Terus terang saya agak menyesalkan kalau berita KPK itu
hanya berhubungan dengan penetapan tersangka dan hal-hal yang
berhubungan dengan penindakan. Padahal hal yang kita kerjakan
kan jauh lebih banyak, bahkan uang yang kita pakai untuk fungsi
yang lain itu jauh lebih banyak daripada upaya penindakan sendiri.
Misalnya penindakan. Setelah penindakan itu, kita banyak melakukan
hal untuk memperbaiki hal itu agar tidak terjadi lagi ke depan. Ada

15
Ashani Saroso

Konferensi pers seusai Rakor dan Penandatanganan Komitmen


Bersama Pemberantasan Korupsi Terintegrasi Pemerintah Daerah
Se-DIY, 28 Februari 2018.

yang berhasil, ada yang tidak berhasil, karena karakter individu dari
pemimpin daerah. Tetapi ini kita upayakan,” ujar Wakil Ketua KPK
Laode Muhamad Syarif.
Hakikatnya tidak ada yang salah dengan pemberitaan media massa
selama ini maupun pernyataan dan permintaan KPK. Hanya, ada dua
aspek berbeda yang perlu diperhatikan oleh kalangan media massa
beserta para jurnalis dan jajaran KPK. Satu, untuk kalangan media
massa dan para jurnalis, perlu diasah dan ditingkatkan sensitivitas
dalam menjadikan kegiatan pencegahan korupsi oleh KPK sebagai
fokus pemberitaan. Dua, bagi kalangan KPK, lebih khusus juru bicara
dan pimpinan KPK, setiap menyampaikan pernyataan atas kegiatan
penindakan KPK pun harus diselipkan aktivitas pencegahan sesuai
dengan materi penindakan, begitu pun sebaliknya.
Bicara tentang pencegahan dan penindakan pun, kalau dilihat di
kalangan masyarakat, sepertinya lebih banyak yang berfokus dan
membicarakan penindakan yang dilakukan KPK. Ada satu contoh

16
H i k ayat T i m P e n c e g a h K o r u p s i

sederhana yang mungkin bisa dikedepankan, yakni demonstrasi yang


acap kali dilakukan masyarakat atau mahasiswa di depan Gedung KPK.
Keseluruhan materi demonstrasi adalah tentang penindakan. Misalnya
meminta KPK mengusut kasus a atau b atau c, hingga menetapkan si
y atau x atau z sebagai tersangka dan menangkapnya. Jarang sekali
atau bahkan tidak pernah ada materi demonstrasi yang meminta KPK
turun melakukan pencegahan korupsi secara utuh dan menyeluruh ke
daerah a atau b hingga kementerian/lembaga x atau z.
Meski agak sepi dalam pemberitaan media massa, sebenarnya
seluruh tim di Deputi Pencegahan termasuk Tim Koordinasi dan
Supervisi Bidang Pencegahan (Korsupgah) Wilayah I hingga IX, tentu
tidak perlu berkecil hati. Bertindak dan terus berbuat saja. Berketetapan
hatilah bahwa tujuan berbuat adalah bukan untuk diberitakan, tapi
untuk melaksanakan amanah yang telah diberikan rakyat Indonesia.
Bertindak untuk para pewaris negeri ini.
Sinergi pencegahan dan penindakan harus dan perlu terus dilakukan
dan ditingkatkan. Atau, dengan bahasa lain, pencegahan dan
penindakan terintegrasi adalah roh yang harus tetap dijaga. Dari sisi
bidang pencegahan, pencegahan yang ofensif terhadap sektor-sektor
strategis nasional merupakan langkah pokok dan pilihan utama. Dari
sektor sumber daya alam dan energi seperti air, minyak, dan gas bumi
(migas), mineral dan batu bara (minerba), dan listrik, sektor kesehatan,
sektor pangan, sektor infrastruktur, sektor reformasi birokrasi, sektor
penegakan hukum, hingga sektor pendidikan.
Tentu semuanya itu dengan tetap berpijak pada komitmen KPK untuk
menaikkan pendapatan negara, mencegah potensi kerugian negara,
meminalkan celah dan perbuatan korupsi, meningkatkan pelayanan
publik nirkorupsi, hingga memberikan pendidikan antikorupsi di
berbagai jenjang pendidikan. l

Matahari Prajnaparamita, Sabir Laluhu

17
18
bab 2

CERITA
Di BALIK
KINERJA TIM
PENCEGAH
RASUAH

19
Loyalitas
tanpa batas
penggawa kpk

B
agi Suyadi, bertugas di Papua seperti obsesi yang tertunda.
Semasa masih aktif sebagai auditor Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan, dia selalu berharap
ditempatkan di provinsi yang dahulu bernama Irian Jaya tersebut.
Sayangnya keinginan Suyadi tak kunjung terkabul. Sampai akhirnya
dia memutuskan ikut seleksi pegawai negeri yang dipekerjakan
(PNYD) tahun 2006, dan diterima di Direktorat Pengaduan Masyarakat
(Dumas) KPK.
Setelah 11 tahun bergelut dengan bermacam laporan pengaduan
korupsi dan terkadang membantu bagian penyelidikan/penyidikan,
obsesi bertugas di Papua akhirnya terwujud juga. Pada 2018, pimpinan
KPK menunjuk Suyadi dan rekannya, Maruli Tua, untuk melakukan
koordinasi, supervisi, dan pencegahan korupsi (korsupgah) di Papua
dan Papua Barat. Mereka diminta agar all out memberikan bimbingan
sekaligus mengawasi pengelolaan pemerintahan di kedua provinsi
itu. “Saya sangat suka alam. Tiap daerah memang punya ciri khasnya
masing-masing, tapi Papua beda,” kata Suyadi mengungkapkan alasan
kecintaannya terhadap Bumi Cenderawasih.
Semenjak obsesi itu muncul, Suyadi sadar benar berbagai tantangan
yang akan dihadapinya. Dari tantangan kerasnya alam Papua ditambah
minimnya infrastruktur, perbedaan sosial-budaya Papua dibanding
tempat asalnya Yogyakarta, sampai ancaman keselamatan jiwa yang
tiap saat selalu mengintai. “Kuncinya sabar,” katanya.
Sabar dalam artian menjelaskan ke aparat dan masyarakat di
Papua bahwa kerja KPK bukan cuma menangkapi orang-orang yang
korupsi, tapi juga punya fungsi pencegahan. Konsekuensi dari itu,
tiap melakukan kegiatan lapangan, tak peduli siang ataupun malam,
Suyadi harus siap menerima segala aduan, atau laporan masyarakat
yang datang ke tempatnya menginap.

20
L o ya l i ta s ta n p a b ata s p e n g g a w a k p k

Keterbatasan fasilitas di bumi Papua tidak menjadi halangan tim


Korsupgah dalam menciptakan budaya antikorupsi.

Bicara soal tempat menginap, Suyadi maupun Bob, panggilan akrab


Maruli Tua, mengaku punya cerita menarik. Suatu waktu mereka
ditugaskan melakukan monitoring dan evaluasi (monev) di Kabupaten
Pegunungan Arfak, Papua Barat. Begitu tiba di Anggi, ibu kota
Pegunungan Arfak, awalnya mereka berharap bisa tinggal sementara
di penginapan atau paling tidak mes milik pemerintah daerah
setempat. Nyatanya jauh dari harapan. Di kabupaten hasil pemekaran
kabupaten Manokwari tersebut tak ada penginapan maupun hotel.
“Kami akhirnya diinapkan di ruang serba guna milik pemkab,” ucap
Bob. Karena darurat alas tidurnya pun ala kadarnya. Selama beberapa
hari, mereka tidur di atas tumpukan karpet yang dilapisi seprai. Tak
hanya itu, cuaca Anggi yang sangat dingin ditambah tak ada air panas,
memaksa Bob tidak mandi selama beberapa hari.
Urusan tidur lagi-lagi jadi masalah kala keduanya bertugas di
Kabupaten Tolikara, Papua. Memang ada penginapan, hanya saja
tarifnya membuat terkaget-kaget. Bagaimana tidak, tarif per malamnya
dipatok Rp 1,7 juta. Bandingkan dengan tarif penginapan di ibu kota

21
Papua, Jayapura yang harganya paling tinggi Rp 900 ribu per malam.
“Kalau di Jakarta, tarif hotel bintang lima itu,” ucap Suyadi seraya
tertawa.
Dari warga yang mendatangi mereka ke penginapan, Suyadi jadi
tahu bahwa selama ini ada cara sederhana yang biasa digunakan
sebagian warga Papua untuk menyampaikan persoalan mereka
kepada pemimpin daerah. Bila ada masalah mereka tak mendatangi
kantor pemerintahan, tapi cukup dengan mencegat sang bupati di
jalan. “Mereka nunggu di jalan karena bupati tiap hari ke kantor naik
motor. Itu terjadi di Kabupaten Asmat,” ungkap Suyadi.
Saat Suyadi menunaikan tugas, tak semua berjalan seperti yang
diharapkan. Suyadi menyebut, ada satu peristiwa saat dia nyaris tak
mampu mengendalikan kesabaran. Gara-garanya, undangan rapat
monev yang sudah disiapkan sejak lama, dianggap angin lalu oleh
petinggi sebuah kabupaten di Papua serta belasan bawahannya. “Sekitar
20 orang kami undang, tak satu pun datang. Padahal undangannya
sudah kami kirim sebulan sebelum acara, alasan mereka suratnya
nggak sampai,” ungkapnya tanpa menyebut daerah yang dimaksud.
Suyadi tentu tak bisa menerima alasan pemimpin daerah tadi. Tapi
perasaan itu tak boleh terus ada dalam pikirannya. Sebab tak semua
pihak di Papua bertindak begitu. Dengan segala keterbatasan yang
ada, ternyata masih banyak Pemda yang mau memenuhi undangan tim
korsupgah. “Mereka hadir aja sudah syukur. Setelah hadir, tantangan
berikutnya bagaimana mereka komitmen melaksanakan apa yang
kami paparkan,” ucapnya.
Bukan soal kesabaran saja, tim korsupgah juga harus siap berkorban
materi. Ini dialami sendiri oleh Suyadi yang hingga kini tercatat sebagai
“pemegang rekor” pegawai KPK yang paling banyak menalangi biaya
kegiatan workshop. Uang sejumlah Rp 166 juta sempat dikeluarkan
dari kocek pribadinya agar program kerja korsupgah Papua dan Papua
Barat terlaksana.
Menurut Suyadi, kejadian yang berlangsung pada pertengahan 2018
ini karena tim harus menggelar beberapa workshop dalam waktu
berdekatan. Di pihak lain biro keuangan tak bisa langsung mencairkan
dana kegiatan. Kala itu, cerita Suyadi, paling tidak lima monev yakni
bidang kehutanan, energi, tambang, kelautan sampai PTSP (Pelayanan
Terpadu Satu Pintu) harus dilaksanakan bergiliran.
Jika tempat pelaksanaannya di Jakarta atau kota besar lain di Pulau
Jawa, pasti takkan jadi masalah. Tapi ini Papua Barat yang fasilitasnya

22
L o ya l i ta s ta n p a b ata s p e n g g a w a k p k

serba terbatas. Sebagai gambaran, meski statusnya ibu kota provinsi,


Manokwari hanya memiliki 2 hotel yang representatif digunakan
sebagai tempat workshop. Swiss-Belhotel Papua dan Hotel Aston.
Karena terbatas itulah, dia harus pandai-pandai mengatur jadwal
pelaksanaan workshop dengan dana yang tersedia.
Bukan hanya soal hotel bagi peserta, permasalahan tempat
menginap narasumber dari kementerian atau lembaga, terkadang
menyita perhatiannya. “Biasanya kami talangi dulu biaya akomodasi
dan transportasi, sebab kalau nunggu dana dari kantor agak lama,”
ungkap Suyadi.
Untungnya, istri Suyadi bisa memahami kondisi pekerjaan sang
suami. Dia justru mendukung tindakan Suyadi sekaligus merelakan
uangnya baru kembali sebulan setelah kegiatan dilaksanakan. “Saya
nggak masalah sih, itu gambaran bahwa kita harus bekerja total,”
katanya. Membuat program kerja sendiri, menyusun berkas dan
dokumen sendiri, diajukan ke pimpinan juga sendiri.
Kerja di korsupgah, menurut Suyadi, bisa diibaratkan seorang
pemilik rumah yang bekerja dari mulai hal paling remeh seperti
menyapu, berbenah sampai mengeluarkan uang agar rumah tetap
nyaman dihuni. Khusus anggota yang ditugaskan di Papua dan Papua
Barat, menurut dia, perlu memiliki jiwa petualang. Mereka harus
terbiasa hidup serba terbatas, jauh dari fasilitas yang lazim didapat
orang kota pada umumnya.
Bila bertugas di daerah pegunungan harus tahan berhari-hari tak
mandi karena suhunya di bawah 15 derajat celcius. Listrik pun dijatah
hanya sampai jam 10 malam, kemudian padam hingga esok hari.
Belum lagi jalan ke mana-mana serasa ada yang mengawasi. Soal yang
terakhir ini, Suyadi mengaku mengalami sendiri kala bertugas ke
Lanny Jaya, Papua.
Suatu waktu, Suyadi penasaran ingin mendatangi sebuah puskesmas.
Untuk menuju bangunan yang ada di perbukitan itu, ternyata ada
prosedur khusus terutama bagi mereka yang bukan penduduk asli.
Mereka harus minta pengawalan TNI. Sebab daerah yang dituju
merupakan perlintasan kelompok Organisasi Papua Merdeka atau
OPM.
Pengalaman lain yang berkesan bagi Suyadi adalah masih sedikitnya
fasilitas ibadah kaum muslim di Tanah Papua. Untuk menuju masjid
sering kali dia harus berjalan kaki 2 sampai 3 km. Cobaan lain, dia
mengaku sempat beberapakali dihadang pemabuk selepas menunaikan

23
salat isya atau subuh. “Kalau mereka berjalan di sebelah kiri, saya
jalannya di kanan. Begitu papasan supaya kelihatannya akrab saya sapa
mereka, baru kemudian saya jalan cepat,” katanya sambil tertawa.
Bob maupun Suyadi sepakat bahwa menanamkan nilai-nilai
antikorupsi di Papua atau Papua Barat bukan perkara mudah. Perlu
perjuangan ekstra keras dari tim korsupgah didukung biaya yang besar,
agar semua elemen masyarakat dan aparat di Papua dan Papua Barat
melek pencegahan korupsi. “Untuk sementara kami masih berusaha
menumbuhkan komitmen (antikorupsi),” tambah Bob.
Langkah konkretnya, tiap mendatangi daerah, tim meminta kepala
daerah agar membuat aturan yang mendorong terciptanya kedisiplinan.
Semisal dari mulai aturan tentang kewajiban menghadiri apel pagi-
sore. Aturan ini pastinya harus dijalankan oleh para pejabat atau

Bukan soal kesabaran saja,


tim korsupgah juga harus siap
berkorban materi. Ini dialami sendiri
oleh Suyadi yang hingga kini tercatat
sebagai “pemegang rekor” pegawai
KPK yang paling banyak menalangi
biaya kegiatan workshop.

kepala daerah sendiri. “Dia (pimpinan) harus kasih contoh,” tambah


Bob. Sayangnya, begitu dilakukan cek lapangan si kepala daerah
entah berada di mana. Mirisnya hal serupa dilakukan bawahannya.
Misalnya dari 25 pegawai di suatu kantor yang masuk kerja hanya 4
atau 5 orang. Kondisi ini biasanya terjadi di daerah hasil pemekaran,
di mana dengan alasan jauh dari keluarga, mereka memilih tidak tiap
hari masuk kerja.
Selain soal rendahnya tingkat kedisiplinan, tim juga mendapati
paradoks kemakmuran, berlangsung cukup lama di Kabupaten
Timika. Sebagai tempat Freeport beroperasi, Timika tercatat sebagai
salah satu daerah paling makmur. Anehnya, komitmen kepala daerah
untuk membenahi tata kelola pemerintahan tak jelas. Timika justru

24
L o ya l i ta s ta n p a b ata s p e n g g a w a k p k

jadi salah satu kota terjorok di Papua. “Kantor bupatinya aja bau. Bau
wc-nya menyeruak ke mana-mana,” kata Bob.
Ini jadi sorotan tim korsupgah sebab secara kualitas, sang bupati
didukung pejabat dan staf ahli berpendidikan tinggi. Sayangnya
karena komitmen, keteladanan serta visi kerjanya tak jelas, kondisi
kota jadi tak terurus. “Dugaan saya karena kepala daerahnya lebih
sering berada di Jakarta daripada di Timika,” ungkap Bob. l

Susanto Pram

25
Antara Cinta
dan Dilema

A
nggota Tim Koordinasi, Supervisi, Pencegahan KPK III, Dwi
Yanti, bersemangat ketika menceritakan pengalamannya ber­
tu­­gas di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia memulai
kisahnya sejak awal bergabung dalam tim tersebut pada akhir 2017.
“Kaget,” ka­ta Yanti yang sebelumnya bertugas di Pengaduan Masyarakat
KPK itu.
Atas keputusan tersebut, sarjana akutansi ini pun mengalami
dilema, mengingat tugas yang selama ini diembannya berbeda dengan
tugas baru yang akan dijalaninya. Di mana sebelumnya banyak
melakukan tugas klarifikasi pengaduan yang biasanya tertutup atau
terbuka secara terbatas. Sementara sekarang harus terbuka. Bahkan
akan sering bertemu dengan berbagai orang di kementerian, lembaga,
serta instansi pusat dan daerah. Sehingga tugas barunya jelas berubah
180 derajat dari tugas yang dijalani sebelumnya. “Mau tidak mau harus
siap. Karena sudah ditugaskan ya harus terjung langsung,” ujar Yanti.
Dan benar saja, selama menjalani penugasan di unit korsupgah,
Yanti pun mendapat pengalaman yang tak terlupakan saat bertugas
di wilayah Jateng dan Jatim. Saat menjalankan tugas monitoring dan
evaluasi rencana aksi Korsupgah, Yanti bertemu dengan beberapa
pihak yang sebelumnya pernah ia klarifikasi ketika bertugas di
Direktorat Pengaduan Masyarakat. “Dulu orang yang saya klarifikasi
itu masih jadi pejabat pembuat komitmen. Tiba-tiba dia dipindah
menjadi kepala inspektorat. Ini terjadi di Jawa Timur. Di Jawa Tengah
juga pernah seperti itu,” kata Yanti.
Karena sudah terlanjur basah ketahuan identitasnya sekarang,
perempuan yang hobi traveling ini pun akhirnya langsung ngobrol
ringan ngalor-ngidul, kemudian dilanjutkan obrolan ihwal pekerjaannya
sekarang di Unit Korsupgah. “Terus kami basa basi. Terus saya bilang
saya di Korsupgah,” katanya. Selanjutnya, karena punya tugas mencegah
korupsi, Yanti pun langsung memaparkan program-program Korsupgah
dan upaya-upaya perbaikan sistem dalam rangka pencegahan korupsi.
Ternyata tugas pencegahan korupsi tidak semudah yang

26
a n ta r a c i n ta D a n D i L e m a

dibayangkan Yanti. Pandangan Yanti, awalnya ketika bekerja di sektor


pencegahan, dirinya cuma bertugas melakukan sosialisasi saja soal
bahaya laten korupsi. Namun, ketika Yanti terjun langsung ke sektor
pencegahan, apa yang dibayangkan berbanding terbalik. Ternyata
sama beratnya, antara bekerja di sektor penindakan dan pencegahan.
Yang membedakan, kata Yanti, barangkali mengenai besarnya risiko
ancaman dari pihak-pihak yang terlibat korupsi. “Saya harus benar-
benar belajar. Semua aturan pemerintah daerah harus kami kuasai,”
ujar Perempuan keturunan Jawa ini.
Ketika dulu masih di Pengaduan Masyarakat, Yanti
selalu menghabiskan waktu akhir pekannya
untuk mengurusi kebutuhan rumah tangganya.
Namun, kini setelah masuk tim korsupgah, hal
itu jarang sekali bisa dilakukannya, mengingat
padatnya jadwal kerjanya keliling kota di
seluruh pelosok Indonesia. “Sekarang Sabtu-
Minggu saya belajar saya harus mengejar. Kan
(atasan) nggak mau tahu. Kita sudah 10 tahun di
KPK tapi kan banyak aturan yang saya nggak update di
pencegahan. Belum lagi regulasi tumpang tindih, update
itu ada pembaruannya,” katanya.
Untung menurutnya, sejumlah koleganya banyak
yang membantunya. Sehingga Yanti tak terlalu kesu-
litan beradaptasi mengejar ketertinggalannya. “Kami
nggak ada pelatihan karena programnya ke-39 daerah di
Jatim, 36 daerah di Jateng, per minggu ada planning. Saya
belajar di sela-sela itu,” jelasnya.
Dan hasilnya, dia pun mengaku banyak mendapatkan ilmu yang
belum pernah didapatkannya selama 10 tahun bekerja di kedeputian
penindakan. “Bersyukurnya, ilmu banyak banget di korsupgah. Saya
jadi mikir, dulu yang kami cari (ketika verifikasi data tim dumas),
adanya malah di sini (korsupgah),” ujar perempuan yang bekerja di
KPK sejak 2005 itu.
Kini, atas ilmu yang sudah banyak didapatkannya, Yanti pun
dengan mudah bisa mendeteksi jika adanya pihak pemda yang hendak
memainkan anggaran sebuah proyek. Jika sudah begini, maka Yanti
tak secara langsung menuding oknum tersebut hendak memainkan
proyek. Namun, dia akan menyampaikannya dengan cara yang halus,
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya untuk mencegah kebocoran

27
anggaran. “Mereka itu celahnya ada saja,” ujar Yanti.
Dalam perjalanannya, Yanti bersama-sama koleganya, dituntut harus
bisa menguasai semua bidang tugas pokok dan fungsi KPK. Pasalnya,
tim korsupgah menjadi garda terdepan KPK untuk mendengar aspirasi
masyarakat atau pun tempat menampung laporan kasus korupsi yang
hendak dilaporkan ke lembaga antirasuah. Meskipun sebenarnya itu
bukan merupakan tugas utama tim korsupgah. Berbekal ilmu yang
sudah didapatkannya sewaktu di bidang Dumas, Yanti pun dengan
mudah meladeni berbagai pertanyaan atau laporan adanya dugaan
tindak pidana korupsi oleh aparat maupun masyarakat. “Kebetulan
kalau di korsupgah itu ke pakai semua (ilmunya). Begitu kita ke dinas
pendidikan, kita tahu masalah apa yang ada di dinas pendidikan, terus
masuk ke dinas kesehatan apa. Yang penting kita selalu update,” papar
perempuan yang bercita-cita sebagai arkeolog tersebut.
Namun biasanya, sebelum ada laporan, Yanti akan menggali
informasi terlebih dahulu terkait masalah di daerah yang akan
dituju. Hal ini dia lakukan untuk mempermudah treatment yang akan
diberikan terhadap daerah tersebut. “Kami membangun sistemnya,
mengarahkan untuk perbaikan di bidang-bidang yang menjadi titik
berat daerah itu,” kata Yanti.
Namun, yang menjadi dilematis, terkadang meski sudah diperbaiki,
wilayah tersebut masih bisa terkena OTT (operasi tangkap tangan)
kepala daerahnya. Hal ini biasanya karena kepala daerah tersebut
tidak menjalankan secara serius pembenahan yang dilakukan tim
korsupgah. “Tapi ada juga pengalaman saya pada kenyataannya
beberapa lama kemudian ke OTT lagi daerah itu. Padahal sebelumnya
sudah kami sampaikan,” ungkapnya.
Yang menjadi dilema, meski sistem di daerah tersebut sudah
diperbaiki, kepala daerahnya masih terjaring operasi tangkap tangan.
“Teman-teman di sini masih menyangka korsupgah kerjanya apa sih,
nggak terlihat kan?, padahal ya memang kami tak terlihat, lambat, tapi
harus ada kemajuan,” jelas Yanti.
Yanti pun memberikan garansi. Berkat tim korsupgah, di daerah-
daerah sudah meningkatkan sumber pajak dan ada peningkatan
optimalisasi pendapatan daerah (OPD). “Itu kan salah satu tematik
juga. Kami bantu dorong daerah untuk menggali sumber pendapatan
daerah dan cara mengelolanya,” ujar Yanti. l

Kuswandi

28
a n ta r a c i n ta D a n D i L e m a

teror
berPaDu miStiS
Petugas berjalan di lahan tepi Sungai Musi, Provinsi Sumatera Selatan,
pasca-kebakaran hutan.

u
paya Komisi Pemberantasan Korupsi dalam aspek pencegahan
tidak boleh berhenti. Hal itu harus terus dilakukan walau ada
aral yang menghadang dan datang bertubui-tubi.
Situasi, kejadian, dan peristiwa yang dialami Kedeputian Pencegahan
termasuk Tim Koordinasi Supervisi Pencegahan (Korsupgah) pada 9
Koordinasi Wilayah (Korwil) tentu tidak boleh dilupakan. Musababnya,
Tim Korsupgah yang turun ke daerah kadang kala mendapatkan teror
yang tak diduga. Bahkan hal mistis pun kerap dialami.
Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif menuturkan, langkah
pencegahan korupsi yang dilakukan KPK termasuk lewat Tim Korsupgah
pada 9 Korwil bukan tanpa aral. Menurut Syarif, sebenarnya bukan
sekadar tim di Kedeputian Penindakan yang mendapatkan teror. Tim
Korsupgah pun pernah mendapatkan hal demikian.
Sebagai contoh, kata Syarif, di sebuah daerah yang didampingi dan

29
diberikan sejumlah pencegahan korupsi oleh Tim Korsupgah, rupanya
pernah ada penindakan yang terjadi, kemudian oknum pejabat daerah
tersebut tidak terima. Karena merasa terdesak, oknum pejabat tersebut
kemudian menyampaikan semacam intimidasi menjurus teror. “Mereka
ada yang bilang bahwa tim pencegahan ini bunglon. Tim Pencegahan
sudah datang baik-baik, ternyata tim penindakan masih menangkap
juga. Mereka tetap berbuat, ya tentu kami tangkap, lah,” kata Syarif.
Dikonfirmasi ulang di daerah mana Tim Korsupgah mendapatkan
teror atau intimidasi tersebut, Syarif tersenyum dan tertawa. Dia
menolak dengan halus untuk mengungkapkannya. “Ada pokoknya,”
ujarnya sembari tertawa.
Kepala Satgas Korwil III Tim Korsupgah Dian Patria memiliki banyak
cerita menarik sejak masuk di KPK melalui jalur ‘Indonesia Memanggil
Satu’ (IM 1). Cerita tersebut misalnya terkait teror atau intimidasi hingga
penyakit misterius. “Kalau diikuti orang beberapa kali. Di Kalimantan,
(saat turun) di Kalimantan Tengah saya antara ngeh dan nggak ngeh,
di hotel diikutin, terus dia nongkrong seharian gitu. Yang Kalimantan
Tengah, itu tahun 2015,” ungkap pria yang mulai bekerja di lembaga
antirasuah pada 16 Desember 2005.
Dian mengingat, sedikitnya ada tiga kejadian lain pada tahun 2015
dan 2018. Suatu saat di tahun 2015, Dian menerima telepon dari nomor
yang tidak dikenal dan belum ada namanya di phonebook telepon seluler
miliknya. Dari ujung sambungan telepon, orang tersebut mengaku-
ngaku berasal dari Mabes Polri. Orang itu seperti berusaha memancing-
mancing Dian ihwal pertambangan dan menagih kewajiban tambang
di Sulawesi. “Dia (mengaku) lagi menyelidiki salah satu, dua, tiga bupati
di Sulawesi. Nah ini terkait menagih kewajiban tambang. Dia bilang,
‘Bang Dian, KPK punya data?’ Saya bilang, saya punya data lengkap
Pak tentang tambang. Kami memang yang meminta bupati untuk
menegakkan aturan. Dia bilang, ‘oh gitu ya bang, makasih’. Tutup
(teleponnya langsung ditutup). Itu tahun 2015 kayaknya,” tuturnya.
Setelah hal itu berlalu, tiga tahun kemudian, yakni 2018, lagi-lagi
teror pun kembali terjadi. Teror ini masih berhubungan dengan kasus
tambang dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tambang
yang bermasalah. Awalnya, KPK menerima undangan dari Kementerian
Koordinator (Kemenko) Kemaritiman untuk rapat dengan Satuan Tugas
(Satgas) Percepatan dan Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi
Kelompok Kerja (Pokja) IV Penanganan dan Penyelesaian Kasus.
Menindaklanjuti hal itu, Dian bersama anggota tim lantas memenuhi

30
undangan sang sohibul bait. Seingat Dian, rapat berlangsung pada
Senin, 15 Januari 2018 di kantor Kemenko Kemaritiman dan dihadiri
beberapa pihak dari sejumlah lembaga. Di antaranya dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP). Ada beberapa pembahasan dalam
rapat, satu di antaranya izin tambang PT. Mikgro Metal Perdana (MMP)
yang sebelumnya dicabut pemerintah ingin diaktifkan kembali.
PT. MMP, tutur Dian, merupakan perusahaan asal Tiongkok (Cina).
Lokasi pertambangan perusahaan tersebut berada di Pulau Bangka,
Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Perusahaan ini melakukan
penambangan bijih besi dengan sebelumnya mengantongi Izin Usaha
Pertambangan (IUP) Operasi Produksi dan Eksplorasi untuk bijih besi.
Dian kaget rupanya hadir satu orang pejabat Kemenko Kemaritiman
berinisial ‘P’ yang sedang maju sebagai calon deputi di Kemenko
Kemaritiman. Si pejabat kemudian menyinggung dan bertanya ke
Dian tentang PT. MMP dan konteks penertiban izinnya dengan iklim
investasi di Indonesia. Dian merasa pertanyaan tersebut semacam
intimidasi. “Saya ditanya sama inisial P calon deputi itu, ‘Mas Dian
ini mihak (berpihak ke) siapa?’. Saya bilang kita ikuti aturan hukum
saja lah. Katanya (P calon deputi), ‘KPK mendorong penertiban izin
sehingga membuat buruk iklim investasi di Indonesia. Jangan sampai
nanti kita di arbitrase, buruk iklim investasi’. Dan bapak itu bilang,
‘saya lakukan ini karena perintah dari menteri’,” ungkap Dian.
Mendapat pertanyaan tersebut, Dian pun kaget. Musababnya IUP PT.
MMP telah dicabut pemerintah melalui Kementerian ESDM. Apalagi
sebelumnya telah ada putusan pengadilan hingga tingkat Mahkamah
Agung (MA) yang telah berkekuatan hukum tetap ihwal pencabutan
tersebut. Dian membenarkan saat disinggung menteri yang dimaksud
dalam pernyataan tadi adalah Menko Kemaritiman. “Iya (Menko
Kemaritiman). Padahal izinnya (PT. MMP) udah dicabut. Tapi mereka
(Kemenko Kemaritiman) mau membantu izinnya bisa diaktifkan
kembali. Ya nggak tahu saya kenapa sampai segitunya disampaikan
oleh (P, pejabat Kemenko Kemaritiman yang calon deputi), nggak
tahu,” paparnya.
Permasalahan izin dan pertambangan PT. MMP tidak sampai di situ
saja. Dian mengungkapkan, perusahaan tersebut ternyata beberapa
kali mengirimkan surat ke KPK. Intinya, perusahaan ingin bertemu
dan berdialog dengan KPK lebih khusus yang menangani bidang
pertambangan atau sumber daya alam. Dian menolak. Dia bahkan
menyampaikan ke beberapa atasannya tidak perlu ditanggapi. Kalau
PT. MMP masih keberatan dengan pencabutan izinnya maka silakan

31
saja digugat lagi di Pengadilan Tata Usaha Negara. “Saya bilang sama
bos-bos di sini, saya nggak mau ketemu. Istilahnya ngapain kita ketemu
pelaku usaha, kalau izinnya dicabut ya gugat saja, kan udah sepakat 6
Desember 2017. Ya kalau mau ke pengadilan aja PTUN, ngapain urusan
sama KPK. Saya nggak mau ketemu,” tegas Dian.
Sebenarnya, tutur Dian, ada banyak pelaku usaha atau perusahaan
yang beririsan dengan sumber daya alam termasuk pertambangan
yang meminta bertemu dengan KPK. Artinya tidak hanya PT. MMP.
Karenanya Dian juga menyarankan ke atasannya termasuk pimpinan
KPK agar surat tersebut termasuk dari PT. MMP tidak perlu dibalas.
Tidak disangka belakangan dia mengetahui, ada sedikitnya dua pejabat
KPK yang meneken surat balasan. “Bahkan dibalas suratnya sama KPK.
Padahal saya bilang suratnya jangan dibalas,” imbuhnya.
Sehubungan dengan pernyataan Dian tentang kesepakatan 6
Desember 2017, adalah terkait dengan rapat koordinasi tindak lanjut
penyelesaian penataan IUP yang digelar KPK bersama sejumlah
kementerian/lembaga dan perwakilan masyarakat sipil. Rapat dihadiri
Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan; Direktur Jenderal
Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani; Direktur Jenderal Mineral
dan Batu Bara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono; Direktur
Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM,
Fredi Haris; Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan,
Heru Pambudi; Komisioner Ombudsman, Alamsyah Saragih;
perwakilan lembaga swadaya masyarakat; dan perwakilan masyarakat
sipil.
Para pihak menyepakati beberapa hal. Satu, penataan IUP akan
diselesaikan berbasis provinsi. Dua, IUP yang telah habis dan non
clean and clear per 31 Desember 2018 secara serentak akan dihentikan
pelayanan ekspor-impornya oleh Direktorat Jenderal Perdagangan
Luar Negeri Kementerian Perdagangan dan Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai Kementerian Keuangan.
Tiga, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berkoordinasi dengan
Direktorat Jenderal Pajak atas perusahaan yang bermasalah atau ada
kewajiban pajak termasuk royalti yang belum dibayarkan. Empat, KLHK
turun ke provinsi untuk menyelesaikan IUP non CnC, tumpang tindih
atau sengketa. Lima, dilakukan klarifikasi untuk tagihan Pendapatan
Negara Bukan Pajak (PNPB) sebesar Rp 4,3 triliun yang masih belum
dibayar. Enam, KPK akan melakukan koordinasi, pendampingan,
hingga pengawasan, atas seluruh aspek yang disepakati.

32
TEROR BER P A D U MISTIS

Dian melanjutkan, setelah tahun berganti, ada informasi terbaru


yang dia peroleh sehubungan dengan pertambangan di Sulawesi
Utara. Sekitar Maret atau April 2019, Dian mendapat kiriman informasi
dan berita dari pejabat KKP. Dian lantas membaca berita tersebut
dan berita terkait lainnya. Dari berita yang dibaca Dian, ada rapat
pemerintah di Bali. Rapat tersebut berisi tentang adanya beberapa
koridor pemerintah akan dijual ke China sebagai wujud pelaksanaan
proyek One Belt One Road (OBOR). Masih berdasarkan berita tersebut,
ada sekitar 28 koridor yang dijual pemerintah ke Tiongkok dalam skema
proyek OBOR. “Rupanya salah satunya yang Pelabuhan Likupang itu.
Pelabuhan Likupang itu pelabuhan yang ke Pulau Bangka tadi, dekat
cuman dua jam,” ungkap Dian.
Dari berita yang dibaca tersebut, Dian langsung menarik hipotesis
tentang kenapa pihak Kemenko Kemaritiman mau mengaktifkan
kembali izin PT. MMP yang sudah dicabut dan PT. MMP ngotot mau
bertemu dengan KPK. Apalagi proyek OBOR itu digadang-gadang
sebagai ‘Jalur Sultra’ baru. “Ya mungkin itu kenapa mereka ngotot.
Karena bagi orang pertambangan kenapa ngotot bijih-bijih (bijih besi)
saja di pulau kecil kayaknya nggak ekonomis. Rupanya Pelabuhan
Likupang itu, saya nggak tahu apakah ada hubungannya atau tidak,
tetapi Pelabuhan Likupang salah satu koridor dijual untuk One Belt One
Road. Proyek itu (OBOR) iya ‘Jalur Sutra’ (baru),” terangnya.
Berdasarkan catatan pemberitaan berbagai media massa, kurun 20-
21 Maret 2019 di Bali ada rapat First Joint Steering Committee Meeting
for the Development of Regional Comprehensive Economic Corridors
Indonesia’s Global Maritim Fulcrum & Global Maritime Fulcrum Belt And
Road Initiatives. Rapat diselenggarakan Kemenko Kemaritiman dengan
dipimpin Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan.
Rapat di antaranya dihadiri juga oleh Wakil Ketua Komisi
Pembangunan dan Reformasi Nasional Republik Rakyat China, Duta
Besar China untuk Indonesia, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Deputi Bidang Sarana
dan Prasarana Kementerian PPN/Bappenas, Wakil Duta Besar Republik
Indonesia untuk Beijing, Direktur Utama Kerjasama Global Departemen
Asia Pasifik.
Selain itu dari pemberitaan media massa juga diketahui, Pelabuhan
Likupang merupakan salah satu penunjang bagi Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) Likupang, Tanjung Pulisan, dan Bitung di Provinsi
Sulawesi Utara.

33
Cerita teror atau intimidasi yang dialami Tim Korsupgah juga datang
dari anggota tim yang pada tahun 2018 menangani wilayah Jawa
Tengah dan Jawa Timur, Dwi Yanti. Yanti mengungkapkan, sebenarnya
untuk teror atau kejadian aneh ke tim Korsupgah mungkin agak jarang.
Karena mungkin para pihak mengetahui bahwa tim yang turun adalah
dari pencegahan. Awal pertama kali turun ke lapangan khususnya di
Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah, mobil yang dikendarai Yanti
dan tim dibuntuti. “Di awal sih pernah, biasa kan saya merasa ada
orang yang ngikutin, sampai kami ke restoran. Biasanya kalau makan
siang kan disupirin kami juga nggak mau, cari sendiri. Itu kami diikuti.
Di daerah Cilacap,” ujar mantan pegawai fungsional pada Direktorat
Pengaduan Masyarakat (Dumas).
Yanti melanjutkan, orang tadi mengendari mobil dan membuntuti
sejak dari kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cilacap. Ke mana
pun mobil dan tim Korsupgah bergerak, orang itu terus mengikuti
tanpa henti. Bahkan orang itu sempat mendekatkan mobilnya ke mobil
Tim Korsupgah. Orang itu juga sempat memotret Tim Korsupgah. “Dia
sempat moto kami. Kalau saya sekalian aja saya bergaya pas difoto. Dia
tahu akhirnya malu. Terus mereka kabur, dikira kami nggak perhatian.
Tapi habis itu sudah nggak ada lagi, karena mungkin dia tahu,” beber
perempuan yang kini bertugas di Direktorat LHKPN tersebut.
Kalau bicara intimidasi atau teror, kata Yanti, banyak dialami tim di
Direktorat Dumas. Sering kali tim Dumas didatangi preman. Salah satu
kejadiannya, saat Yanti sedang menerima tamu yang menyampaikan
laporan. Tiba-tiba ada preman yang masuk ke ruangan. Selain itu saat
turun ke lapangan untuk pengecekan lanjutan atas laporan masyarakat,
tim Dumas juga dibuntuti. “Pakai mobil-mobil terbuka buat off road,
pakai baju sepotong, kan niat buat nakut-nakutin,” papar Yanti.

Gajah Bicara, Penyakit, dan Bayangan


Kebakaran hutan yang terjadi di pulau Sumatera pada Juni hingga
Oktober 2015 memberi kesan sendiri di benak Dian Patria. Saat itu,
Dian dan tim mewakili KPK bersama KLHK dan instansi terkait turun
ke Provinsi Sumatera Selatan pada September 2015. Tujuannya melihat
kawasan-kawasan hutan yang terbakar dan dampaknya.
Pada 18 September 2015, Dian ikut menyusuri Sungai Musi yang
di sisinya merupakan kawasan hutan yang terbakar. Kepulan asap
tebal akibat kebakaran hutan membuat mata perih dan sesak nafas.
Termasuk yang dialami Dian. Di tepi Sungai Musi, Dian melihat seekor

34
TEROR BER P A D U MISTIS

Kondisi lahan hutan dan gajah di tepi Sungai Musi, Provinsi Sumatera
Selatan, pasca-kebakaran hutan.

gajah yang sedang berjalan kemudian berhenti. “Saya pernah merasa


pada saat kami menyusuri Sungai Musi pas kebakaran hutan, ada gajah.
Ada gajah di pinggir Sungai Musi itu. Itu gajah itu seakan-akan berkata-
kata sama saya, bahwa intinya adalah, ‘tolong selamatkan kami’, lah.
Dia menangis, mata gajah itu merah, mungkin karena kena asap juga
ya,” ungkapnya.
Saat mengisahkan cerita ini, Dian lama menutup mata, menarik nafas
panjang, dan mengelus dada. Mata Dian tampak sedikit berkaca-kaca.
“Saya ditanya nggak pernah saya ngomong nih. Tapi karena ditanya
sekarang, jadi tiba-tiba ingat aja,” imbuhnya.
Dian melihat hutan di sekeliling Sungai Musi habis karena kebakaran.
Termasuk tanah hutan ditapaki gajah tersebut. Seingat Dian ketika itu
si gajah ingin menyebrangi sungai. Tapi tetap tidak bisa. Dian lantas
mengambil telepon selulernya dan mengabadikan sosok gajah itu dan
kondisi hutan. Ada empat foto yang berhasil diabadikan. “Jadi kira-
kira dia apa namanya minta bantuan, minta ini ‘tolong selamatkan

35
kami. Mau kemana lagi kami’. Jadi gajah itu menangis, saya betul-betul
nggak nyangka. Ada foto-fotonya. Itu yang tiba-tiba saya terbesit kayak
ngomong sama gajah itu,” imbuhnya.
Usai bercerita, Dian pun menunjukkan empat foto di ponselnya yang
diabadikan lewat kamera. Tertera waktu pengambilan gambar yakni
18 September 2015. Dua foto gajah dan dua foto kondisi lahan hutan
yang kebakaran.
Dulu memang Dian pernah mengalami kejadian berbau mistis. Dia
sempat ke ‘orang pintar’ untuk mengatasinya. Tapi karena saking intens
memperhatikan kejadian itu, akhirnya malah kemana-mana dan tugas
Dian selama di KPK terbengkalai. Beberapa tahun belakangan, Dian
memutuskan tidak mau dan tidak terlalu memperhatikan kejadian atau
peristiwa mistis yang terjadi, baik selama berada di daerah ataupun
sekembalinya ke kediaman. “Kalau mistis-mistis saya mungkin nggak
terlalu perhatiin, nggak pernah lagi. Ya tahu-tahu saya sakit. Yang jelas
2017 bulan Mei saya masuk rumah sakit,” ungkap Dian dengan mata
berkaca-kaca dan raut wajah sedih.
Ihwal adanya kejadian mistis yang menimpanya, awalnya sekitar
tahun 2017, Dian sempat turun melakukan pemantauan di Bendungan
Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Sepulang dari
situ, Dian sudah tidak bisa bernafas panjang, sering ngos-ngosan, dan
dadanya sesak (sesak nafas).
Kendati mengalami hal itu, Dian tetap melanjutkan tugas dengan
turun ke wilayah Kalimantan di antaranya Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Timur. Kegiatannya sehubungan dengan koordinasi dan
supervisi serta serta pengecekan dan peninjauan ke sejumlah area
pertambangan yang memiliki IUP non CnC dan habis masa berlakunya.
Di sela tugas, Dian lantas bertandang ke Rumah Sakit Pertamina
Balikpapan (RSPB) untuk melakukan pemeriksaan, sebab kondisinya
bertambah parah. “Jadi intinya, ada cairan di jantung dan paru-paru
saya, saya ke dokter periksa mungkin ada infeksi atau apa. Dicek darah
segala macam, terus karena saya harus pulang ke Jakarta. Hasilnya di-
WA. Suruh dibawa ke rumah sakit yang di Jakarta,” ungkapnya sembari
sesekali menarik nafas panjang sambil meminum air putih.
Seingat Dian, waktu tiba di Jakarta saat itu sekitar pukul 21.00 WIB.
Dian lantas menelepon ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta
dan menanyakan apakah bisa datang ke RSPP dan mengecek hasil
pemeriksaannya sebelumnya di RSPB. Pihak RSPP mengatakan bisa.
Sekitar pukul 21.30 WIB malam itu juga Dian langsung ke RSPP. “Saya

36
TEROR BER P A D U MISTIS

datang, terus disuruh rawat inap selama hampir sebulan. Dulu waktu
saya sakit itu, saya dua minggu di ICU, saya sudah pakai ventilator, saya
operasi, kalau ciri-ciri penyakit saya dokternya bilang kalau nggak paru-
paru basah, apa beri-beri, apa HIV. Disebutnya (hasil pemeriksaannya)
negatif,” paparnya.
Dian mengungkapkan, selama dirawat di RSPP ada sejumlah dokter
yang menanganinya. Di antaranya dokter jantung dan dokter paru.
Setelah kondisinya dinyatakan sehat Dian akhirnya keluar. Tetapi
dia mesti menjalani kontrol rutin. Juni 2018, Dian kontrol setelah
keluar setahun lebih. Dian sempat menanyakan ke dokter tentang
apa sebenarnya penyakit yang dialaminya. “Saya kontrol sampai Juni
tahun lalu (2018), setelah saya keluar setahun lebih, dokternya bilang,
‘saya nggak tahu mas Dian ini sakit apa’,” ungkapnya.
Dian mengaku tidak mau mengira-ngira apakah sakit dan penyakit
yang dia deritanya kala itu karena ada atau tidak orang yang mengirim
santet atau guna-guna, dan kaitannya dengan daerah mana. Yang jelas
dan pasti, dokter yang menangani Dian telah menyampaikan dokter
tidak mengetahui sakit atau penyakit apa dan apa penyebabnya. Di sisi
lain, Dian mengatakan, mungkin saja atau bisa saja ada yang mengirim
santet atau guna-guna. “Saya nggak bisa ngomong saya. Nggak ngerti.
Bisa jadi, bisa jadi (karena dikirimi santet atau guna-guna). Yang
jelas saya hanya bisa bilang, dokter nggak tahu apa penyebab, kalau
dikatakan sakit apa, dia nggak tahu sakit apa. Penyebabnya dia nggak
tahu kenapa. Itu dokter yang ngomong,” ucap Dian.
Ada satu cerita unik berbau mistis dan dialami oleh Dwi Yanti bersama
tim di Korsupgah saat turun di Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa
Timur. Saat itu tim turut mendatangi kantor Pelayanan Terpadu Satu
Pintu (PTSP). Di lokasi Tim Korsupgah memperhatikan dan melihat-
lihat apakah ada pemasangan kamera-kamera Closed-circuit television
(CCTV). Tim juga masuk dan berdiskusi dengan kepala PTSP sembari
memantau layar monitor atas CCTV yang terpasang. “Tiba-tiba muncul
ada yang bergerak, padahal nggak ada orangnya, dimana sih kamera
yang nangkep itu. Tadinya kegiatan mondar-mandir, tiba-tiba ada
bayangan awan oranye kok tiba-tiba begini. Langsung akhirnya kami
cari, di atas, ada yang lewat ternyata nggak ada. Diganggu juga, padahal
siang. Nggak bisa dibuka ruangan itu, di-reply juga nggak bisa rekaman
yang tadi,” bebernya.
Yang melihat kejadian tidak hanya Yanti tapi seluruh tim yang ada.
Kemudian kepala PTSP saat itu pun bercerita bahwa di kantor PTSP dia

37
pernah dicolek-colek perempuan yang bukan manusia. Cerita mistis ini
kian mendapatkan tempat karena kantor PTPS Kabupaten Bojonegoro
terletak di pelosok. “Depannya yang ada yang melambai itu pohon
Sawo kecik gitu. Kantornya agak pelosok gitu, kantornya agak mojok.
... Kami cariin, penasaran. Terus berubah awan gelap oranye gitu,”
ucap Yanti.
Ada banyak situasi, kejadian, dan peristiwa yang pasti terukir dalam
perjalanan pemberantasan korupsi termasuk pada aspek bidang
pencegahan. Teror, intimidasi, ataupun ancaman yang berpadu mistis
telah dan mungkin akan terjadi. Ia tidak perlu sekadar dirasakan
dan dialami, tapi disadari untuk diantisipasi. Dengan tetap teguh
berpendirian dan tetap meyakini Tuhan Yang Maha Kuasa selalu
menyertai. l

Sabir Laluhu

38
Geng
Pecandu Kopi

M
“ ama gila ngopinya,” kata Tri Gamavera (55) menirukan
ucapan Ardi (27), anak pertamanya, saat berbincang, Jumat
siang, 18 Januari 2019. Ungkapan anaknya ini bukan hanya
sindiran. Namun inilah kenyataan yang terjadi pada Eva saat ini. Dia
mengaku menjadi seorang pecandu kopi berat semenjak bergabung
bersama tim Korsupgah pada tahun 2018, khususnya ketika menangani
wilayah Sulawesi.
Padahal dulu, kata Eva, belum tentu dalam satu bulan dirinya
mengonsumsi kopi. Itu pun hanya sebatas kopi original kalau di
rumah. Sementara jika sedang di luar rumah seperti saat kongkow di
Starbucks, paling hanya pesan Latte Hazelnut. “Sekarang kalau Nescafe
udah nggak mempan sama aku. Udah nggak berasa, rasanya manis
tok. Karena di Sulawesi kan kopinya enak-enak,” tutur perempuan
yang menjadi Kasatgas Korsupgah wilayah Sulawesi tersebut (kini di
Direktorat LHKPN).
Ternyata bukan hanya Eva yang kini menjadi penggila berat kopi.
Lima anggota timnya seperti Nexio Helmus, Sugiharto, M. Indra Furqon,
Dwi Aprilia Linda, dan Hery Nurudin juga ikut menjadi pecandu kopi
berat, semenjak bergabung dengan tim korsupgah. “Sejak tugas di
Kendari, Sulawesi Tenggara, kalau saya menjadi pecandu kopinya,”
jelas Indra. Hal senada juga diungkapkan Hery Nurudin. ”Sejak masuk
Korsupgah yang sering ke daerah Sulawesi awal tahun 2018,” imbuh
Hery. “Kalau saya 3 gelas sehari pada saat kegiatan di luar kantor, jenis
kopinya Arabica,” tambah Nexio menjelaskan konsumsi kopinya .
Biasanya, kata Eva, untuk menjalin kekompakan, ketika sedang
dinas di luar kota, dirinya bersama anggota timnya akan menikmati
secangkir kopi terlebih dahulu sebelum berangkat melakukan program
monitoring dan evaluasi (Monev) ke pemda yang akan dituju. ”Biasanya
minum kopinya pagi bareng-bareng, waktu sarapan di hotel,” ucap
perempuan yang masuk ke KPK sejak tahun 2005 tersebut. Hal
senada juga dikatakan Linda.” Sebelum ke Pemda biasanya ngopinya,”
jelasnya.

39
Setelah kegiatan monitoring dan evaluasi (mMonev), sore harinya,
biasanya sebagian anggota timnya juga masih banyak yang doyan ngopi.
”Biasanya sore atau malam kita juga masih ngopi untuk melepas penat,”
ungkap Indra. “Ini untuk menguatkan paradigma, kopi itu digiling bukan
digunting. Gara-gara Korsupgah, kopi sachet jadi cemplang alias nggak
nendang,” sahut Sugiharto. Sontak atas komentar Ketua BAIK (Badan
Amal Islam) KPK ini, seisi ruangan berukuran kurang lebih 3x5 meter di
lantai dasar gedung Merah Putih KPK ini, tertawa terbahak-bahak.
Eva mengatakan, usai ritual ngopi bersama saat sarapan, sebelum
berangkat ke daerah sasaran korsupgah, biasanya timnya akan
berbondong-bondong mencari warung kopi untuk mengisi tumbler-
nya dengan kopi sesuai selera masing-masing.
Selain sebagai stamina, ini juga dilakukan sebagai amunisi agar tak
mengantuk saat bertugas. “Biasanya kami mampir ke warung dulu
tumbler nya kami kasih ke abang-abang tukang kopi untuk di isi,
kemudian kami bawa,” ungkap Indra. “Kadang kita berangkat dulu terus
nitip supir beliin. Nanti supirnya antar lagi ke Pemda,” imbuh Linda.
Setelah tumbler terisi, saat monev biasanya ada yang minumnya
sembari ngumpet, karena peserta/hadirin nggak minum kopi. Ada
juga anggota tim cuek aja minum kopi, karena kepepet nahan kantuk.
Sebagai bentuk kekompakan sesama Pecandu kopi, dia mengusulkan
agar semua anggota timnya membeli tumbler dengan model yang sama
tapi beda warna. Ini dilakukan agar anggota timnya terus kompak, baik
dalam menjalankan rutinitas pekerjaan, ataupun di luar pekerjaan.
“Kami dari nggak doyan kopi, beberapa jadi doyan kopi. Sampai beli
tumbler barengan. Kebayang nggak sih kami pagi-pagi sudah harus
on stage, terus habis itu kalau kami round trip pukul 17.00 sore harus
berakhir. Sementara perjalanan ada yang 2-5 jam. Jadi kami bisa masuk
hotel pukul 02.00 dini hari, pagi harus on lagi. Nggak ada kata tidak,
karena kami yang mandu (acara),” papar perempuan berkerudung
tersebut, menjelaskan dengan penuh semangat. “Jadi kalau nggak
ngopi pasti sering nguap. Malu sama orang Pemda-nya,” imbuh Linda.
Sementara itu, untuk memenuhi hasratnya menikmati kopi yang
enak, Eva bahkan kerap meminta tolong kepada sejumlah koleganya
yang bertugas ke beberapa daerah yang tak disinggahinya, untuk
membeli kopi khas daerah tersebut. “Jadi kalau ada teman-teman
ke manapun kami nitip kopi. Di rumahku ada banyak. Ada kopi
Kalimantan, Aceh, Sulawesi, Papua. Sampai dilarang sama anakku
‘mama jangan nitip kopi dulu ya’,” kata Eva saat menceritakan berbagai

40
geng PecanDu koPi

jenis kopi yang dimilikinya.


Nantinya, biasanya dia akan meminta Ardi
yang bertugas sebagai barista pribadinya, untuk
membuat seduhan kopi yang enak untuk dijadikan
bekal ke kantor atau ke luar kota. “Jadi biasanya Ardi
buatin aku coldbrew sekalian satu liter disimpan di kulkas. Jadi
setiap pagi tinggal tuang ke tumbler. Kalau ingin agak manis
tinggal tambahin gula. Kalau persediaan habis dia buat lagi,”
ucap ibu dua anak ini, sembari tertawa.
Menurut Eva, rata-rata timnya menyukai kopi jenis Arabica.
Kopi jenis ini biasanya akan tumbuh dengan baik bila
ditanam di dataran tinggi, antara 1.000 meter hingga
2.000 meter di atas permukaan laut. Suhu di lokasi
penanaman pun sebaiknya berkisar antara 14-24 derajat
Celsius, agar menghasilkan biji kopi yang unggul.
Kopi jenis ini sendiri memang tidak terlalu pahit dibanding jenis
robusta, karena kandungan kafeinnya juga lebih rendah, yakni 08 - 1,4
%. Namun, kopi jenis ini memiliki tingkat keasaman yang lebih tinggi.
Kendati kandungan asamnya tinggi, Eva mengaku belum ada
dampak negatif bagi kesehatannya hingga saat ini. ”Alhamdulillah
sampai saat ini baik-baik aja. Tapi beberapa orang, aku Nexio dan Pak
Sugiharto harus berhenti minum kopi ketika penyakit magh kami
kumat,” jelasnya.
Sama dengan Eva, Indra dan Linda juga tak ada persoalan apapun
dengan lambungnya kendati kerap mengonsumsi kopi. “Nggak ada
dampak apa-apa,” kata Indra.
Linda mengatakan kebiasaan minum kopi ini akhirnya berlanjut
ketika mereka di kantor. “Pagi di kantor, saya bikin kopi 800 mililiter,
siang jam 14.00 bikin kopi lagi,” kata ibu satu anak ini.
Kebiasaan ini juga berlanjut di rumah. Dia pun sampai membeli

41
penggiling kopi untuk meracik kopi agar enak dinikmati berdua dengan
suami tercintanya. ”Enaknya kalau dulu istri yang nyiapin, sekarang
bisa suami yang buatin. Karena ada asyiknya, dari giling kopi sampai
nyeduh, “ tandasnya.
Kendati semua anggotanya doyan ngopi, Eva tegas menolak kopi
pemberian dari pihak-pihak yang berpotensi menyebabkan konflik
kepentingan. Terkadang ada Pegawai pemerintah daerah yang mereka
kunjungi memberikan kopi. Eva dan timnya tanpa ragu menolak
pemberian itu. “Kalau kami tegas (nolak), sampai sopir kami marahin.
Kami bilang, bapak ibu, kalau undang KPK itu enak. Pokoknya perlu
surat habis itu tinggal konfirmasi kapan datangnya, nggak usah antar-
jemput, nggak usah siapin hotelnya, kecuali terpaksa. Maksudnya,
kadang-kadang di sana ada event kami nggak dapat hotel, nah kami
hubungi orang humasnya supaya dapet hotel. Cuman itu aja (tapi bayar
sendiri),” tegas Eva.
Meski kerap menolak pernah sesekali timnya kecolongan. ”Jadi dia
tahu kami mau tahu kopi enak. Kami kan maksudnya mau cari sendiri
cuman nanya. Dia ini ngobrol dengan sopir bupati. Tiba-tiba di mobil
dibawain, kami marah sama sopirnya. Kami dapat kopi sama bebek,”
urainya.
Karena sudah terlanjur basah seperti ini, kata Linda, pihaknya
memberi tahu sopirnya agar tak mengulangi lagi. Pihaknya pun
langsung memberitahukan kepada pihak pemberi, di grup whatsapp
masing-masing Pemda yang diikuti Tim Korsupgah.
Pemberitahuan ini, kata Eva, agar para pegawai pemerintah daerah
lain tak melakukan hal yang sama. “Kami bilang ke orang pemda-nya
begini, Bapak/Ibu, kalau maksa begini yang susah bukan cuma kami,
Bapak/Ibu juga susah karena harus membuat laporan dan segala
macam,” kata Eva.
Hal senada juga disampaikan Linda. “Kami sampaikan ke unit
gratifikasi internal juga. Ini jadi pembelajaran buat mereka, ketika
mereka menerima sesuatu supaya dilaporkan ke unit gratifikasi,” kata
Linda. l

Kuswandi

42
Manusia
Setengah Dewa

M
endung menggelayut menyelimuti Gedung Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jl. H.R. Rasuna Said Kav. C1,
Jakarta Selatan, 2008. Saat itu, waktu sudah menunjukkan
pukul 12.15 WIB. Ratusan pegawai lembaga antirasuah pun terlihat
berhamburan mencari makan siang di kantin sederhana yang berjejer
di belakang dan samping C1 (gedung KPK lama). Tak terkecuali Ketua
Komite Etik KPK saat itu, Abdullah Hehamahua.
Meski mempunyai jabatan yang tinggi di lembaga antikorupsi,
pria yang sehari-harinya memakai peci hitam dan berjenggot ini
tak canggung untuk makan siang di luar kantornya. Dia terlihat tak
canggung makan siang di kantin, duduk berderet di kursi panjang,
berbaur dengan banyak pegawai dari beberapa kantor yang berlokasi
di kawasan tersebut. Tepatnya di sebuah kantin yang terletak di
belakang kantornya.
Bagi sebagian kalangan yang belum mengenalnya, mungkin Abdullah
dikira orang yang aneh dan pendiam. Karena perilakunya beda dengan
orang kebanyakan. Sampai-sampai, dalam setiap acara apapun, dia
enggan meminum segelas air yang telah disediakan panitia, atau hanya
sekadar mencicipi kudapan makanan. Semuanya dia tolak dengan cara
halus demi menjaga ‘Marwah KPK’.
Namun, bagi yang sudah mengenalnya tentu tak heran dengan
perilaku yang dilakukan Abdullah. Sebab, sejak awal bergabung di
KPK, dia sudah dikenal getol mencontohkan bagaimana hidup menjadi
insan KPK. “Banyak kasus korupsi yang terjadi karena pembiaran
terhadap pemberian hal-hal kecil seperti jamuan, imbalan, atau
fasilitas antar jemput saat bertugas.” ucap Abdullah saat berbincang
santai, usai menyantap makan siang kala itu.
Sekilas, ucapan Abdullah mungkin akan dianggap hal yang biasa
saja. Ini karena sudah sering terucap, terdengar, dan bahkan sudah
tercantum dalam kode etik KPK. Namun, hal ini akan berbeda bagi
pegawai KPK yang bertugas di lapangan, di daerah terpencil yang
minim sarana dan prasarana.

43
Bahkan, sebagaian pihak menyebut, itu sebagai tantangan dan ujian
integritas yang luar biasa. Sampai-sampai masyarakat mengistilahkan,
pegawai KPK itu ibarat ‘Manusia Setengah Dewa’.
Abdullah pun menekankan kode etik tersebut sebagai poin krusial.
Karena menyangkut integritas pegawai lembaga antirasuah dalam
komitmen pemberantasan korupsi, dari mulai level bawah hingga
pimpinan. Jangan sampai, praktik-praktik jamuan, imbalan, dan antar
jemput yang masih marak terjadi di kementerian atau instansi tertentu
mewabah ke pegawai dan pimpinan KPK.
Cerita di atas barangkali relevan jika disandingkan dengan kisah
perjalanan Kasatgas wilayah VI Unit Koordinasi Supervisi dan
Pencegahan (Korsupgah) KPK Nana Mulyana dan Penanggungjawab
Unit Korsupgah Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) Alfi Rachman
Waluyo, saat mengemban tugas pencegahan korupsi di NTT.
Sepenggal kisah ini sengaja diungkap Nana Mulyana dan tim
untuk memberikan gambaran dan pemahaman kepada masyarakat,
menyangkut perjuangan, tantangan, dan lika-liku pencegahan korupsi
di sejumlah daerah, khususnya di daerah yang minim sarana dan
prasarana yang selama ini dijalaninya.
Pria yang sudah 14 tahun bergabung dan mengabdi di lembaga
antirasuah ini, sebelum ditugaskan memperkuat unit korsupgah,
sudah bertahun-tahun bertugas di Direktorat Pengaduan Masyarakat
(Dumas) KPK. Sebelumnya, Nana juga salah satu orang yang terlibat
dalam penyusunan kode etik pegawai pada awal berdirinya KPK.
Berbekal pengalamannya itulah, saat dirinya dipindahtugaskan ke
Unit Korsupgah KPK setahun terakhir ini, dia mengaku sangat paham
dengan kode etik KPK. Yakni tidak boleh menerima jamuan, imbalan,
dan antar jemput saat bertugas. Menurut dia, semua anggota tim satgas
sudah paham peraturan dan kode etik tersebut.
Terkait pengalamannya, Nana pun berkisah peristiwa Rote Ndao
yang sempat heboh. Dia disebut-sebut terindikasi melanggar kode
etik saat bertugas di Kabupaten Rote Ndao, NTT. Saat itu, Nana dan
Alfi memang terlihat satu mobil dengan Kepala Inspektorat Kabupaten
Rote Ndao saat memasuki kantor DPRD Rote Ndao. Kasus ini pun
merebak dan sempat dilaporkan ke KPK. Akibatnya, Nana diperiksa
Tim Pengawas Internal KPK.
Dari hasil pemeriksaan tersebut, tindakan Nana dalam manajemen
risiko KPK dinilai masuk kategori reputasi. Namun, disposisi pimpinan
tidak masuk kategori pelanggaran kode etik, karena harus diatur

44
M a nusi a Se tenga h De wa

terlebih dahulu apakah dalam bermitra dengan pemerintah daerah,


tim korsupgah tidak boleh menaiki mobil dinas pemerintah daerah,
saat menjalankan tugas dari satu kantor pemda ke kantor pemda lain.
Ada dilema etik dalam pelaksanaan tugas tim Korsupgah di lapangan,
di satu sisi diminta bermitra dan membangun komunikasi dengan baik,
di sisi lain harus menjaga jarak dengan mitra tim korsupgah dalam hal
ini aparat Pemda. Menurut dia harus diatur secara jelas dan rinci hal-
hal yang terkait dilema etis di lapangan.
Ada perbedaan tugas antara unit pencegahan dan penindakan,
sehingga keputusan terkait pelanggaran etik dilematis. Sebenarnya,
keputusannya bisa menjadi pegangan di lapangan supaya terhindar
dari pelanggaran kode etik. Sesuai petunjuk Deputi Pencegahan, tidak
ada pelanggaran bagi tim satgas korsupgah menggunakan kendaraan
pemda demi menunjang kelancaran tugas, sepanjang tim satgas juga
menyewa kendaraan. “Di daerah kadang kala dari kantor pemda
satu ke kantor pemda lainnya sering kali berjauhan dan sopir rental
kendaraan yang kami pakai kadang tidak paham wilayah itu, dan
sering tertinggal oleh mobil pemda,” terangnya.
Nana menyebut, peristiwa yang terjadi di Kabupaten Rote Ndao
adalah serangkaian kegiatan monitor dan evaluasi yang dilakukan di
seluruh Kabupaten/kota di seluruh Provinsi NTT. Ini satu kesatuan
yang saling terbubung. Nana pun menceritakan kronologis sampai ada
pengaduan “peristiwa Rote Ndao” ke KPK.
Awalnya, tim menginformasikan jadwal agenda kunjungan
monitoring dan evaluasi (monev) ke seluruh Kabupaten/Kota/Provinsi
NTT ke pejabat terkait melalui grup whatsapp. Ternyata, informasi
tersebut bocor ke wartawan dan sejumlah Lembaga Swadaya
Masyarakat. Agenda kunjungan tim satgas ke Kabupaten Rote Ndao
sudah diketahui jadwalnya.
Saat itu, tim tak mengetahui jika agenda kunjungannya bocor.
Perhatian tim muncul saat Nana dan Alfi transit di Bandar Udara
Internasional El Tari Kupang, NTT, untuk meneruskan perjalanan
menuju Bandar Udara David Constantia (DC) Saudale, Rote, NTT.
Saat di Bandara El Tari, sambil menunggu pesawat, Nana dan Alfi
menyempatkan merokok di ruang khusus.
Di sela-sela itu, Alfi sempat curiga dengan gelagat beberapa orang
yang mirip wartawan. Alfi pun sempat bertanya berbisik ke Nana,
kenapa banyak wartawan dan LSM di bandara? ”Ada acara apa, kok
banyak wartawan?” bisik Alfi kepada Nana.

45
Perhatian Nana dan Alfi pun berlanjut. Sebab, saat memasuki
pesawat, wartawan dan LSM yang berjumlah sekitar 5 orang itu juga
turut masuk dan ikut penerbangan menuju Bandara DC Saudale, Rote.
Dalam penerbangan selama 25 menit tersebut, Nana mengaku kenal
dengan salah satu anggota LSM yang mengikutinya.
Nana dan Alfi pun terus memonitor mereka. Saat mendarat di
Bandara DC Saudale, Rote, sejumlah wartawan dan LSM ini terlihat
canggung karena sadar, keberadaanya sudah diketahui oleh tim
korsupgah. Saat Nana dan Alfi tengah menunggu mobil jemputan
dari hotel, mereka terlihat menghindar meskipun tetap memantau
pergerakan tim. “Belakangan diketahui, keberadaan mereka di Kupang
hingga Rote memang dalam rangka mengikuti agenda tim korsupgah
dan berencana menggelar acara demonstrasi di Gedung DPRD Rote
Ndao,” jelas Nana seraya mengenang saat itu.
Tepatnya pada Senin, 3 Agustus 2018, Nana dan Alfi bertemu jajaran

Pemkab dan DPRD Rote Ndao untuk berdialog terkait pencegahan


tindak pidana korupsi di kantor Pemda Rote Ndao. Pertemuan pagi
hari sekitar pukul 08.00 Wita. Saat itu, pertemuan dikuti langsung
oleh Bupati Rote, Leonard Haning, pimpinan Organisasi Pemerintah
Daerah, dan beberapa kepala dinas, di ruang kerja Bupati Rote Ndao.
Selesai membahas pencegahan pemberantasan korupsi bersama
rekan SKPD Kabupaten Rote Ndao, sekitar pukul 13.00 Wita, keduanya
berpindah dari Pemda ke DPRD Rote Ndao untuk membahas tindak
pecegahan korupsi bersama para anggota dewan. Sebelum beranjak,
Nana sempat meminta tolong koleganya, Alfi untuk mengontak sopir
mobil sewaan untuk stanby di lobby dan siap-siap menuju kantor
‘wakil rakyat’ setempat. Namun, sebelum Nana dan Alfi beranjak naik

46
M a nusi a Se tenga h De wa

kendaraan, Inspektur Kabupaten Rote Ndao mengusulkan untuk jalan


kaki menuju Gedung DPRD. “Karena lokasi gedungnya berhadap-
hadapan dan gedungnya hanya dibatasi taman. Anggap saja olahraga
sambil menikmati pemandangan kota,” terang Nana.
Nana dan Alfi pun mengangguk, tanda sepakat untuk jalan kaki
menuju Gedung DPRD. Begitu sampai di depan Gedung DPRD, ternyata
pintu masuk utama gedung ditutup. Nana pun sempat meminta izin
kepada satpam yang berjaga untuk membukakan pintu utama, tapi
tidak diperkenankan. Tim satgas justru disarankan masuk lewat pintu
lain.
Saat Nana dan Alfi berbalik arah, ternyata ada mobil yang sudah
menunggu dan membukakan pintu. Warna dan jenisnya tidak
diperhatikan dan tidak dicocokan dengan mobil yang disewa
sebelumnya. Nana pun mengira kalau mobil tersebut adalah mobil
yang disewa pihaknya dan mengikuti dari belakang saat mereka jalan.
Tanpa pikir panjang, Nana dan Alfi pun langsung masuk ke dalam
mobil. Saat di dalam mobil, keduanya kanget, ternyata di dalam sudah
ada Kepala Inspektorat Kabupaten Rote Ndao, Akhilaus Lenggu. Belum
sempat berfikir, mobil yang dinaiki milik siapa, mobil pun langsung
melaju dan memasuki halaman depan Gedung DPRD. Belakangan baru
diketahui, ternyata mobil yang dinaiki saat itu, adalah mobil dinas
milik Pemkab Rote Ndao.
Sesampainya di Gedung DPRD, tim sempat diberitahu anggota
DPRD dan kepolisian bahwa akan ada unjuk rasa, bertepatan dengan
kehadiran tim satgas Korsupgah di Kabupaten Rote Ndao. Saat itu,
Nana menyanggupi untuk menerima utusan pengunjuk rasa setelah
acara dengan pimpinan dan anggota DPRD selesai.
Saat berlangsungnya pertemuan dengan pimpinan DPRD, terdengar
teriakan-teriakan di ruang sebelah lokasi rapat. Seusai pertemuan, Nana
pun sempat diminta untuk menemui pengunjuk rasa yang tanpa henti
meneriakkan tuntutannya. Nana pun beranjak dari tempat duduknya.
Saat melihat sang orator unjuk rasa, Nana dan Alfi baru sadar, mereka
yang mengikutinya dari Bandar Udara Internasional El Tari Kupang,
NTT. “Saya mengenal salah satu anggota LSM ini,” bisiknya.
Puluhan massa yang hadir di Gedung DPRD menyampaikan aspira­
si­­­nya menyangkut persoalan tanah ke DPRD. “Pengunjuk rasa mena­
nyakan tindak lanjut informasi tentang permasalah tanah yang mereka
adukan ke KPK beberapa waktu sebelumnya,” lanjut Nana. Sementara,
anggota LSM yang Nana kenal justru mempermasalahkan kenapa tim

47
korsupgah menggunakan mobil dinas berpelat merah saat hadir ke
Gedung DPRD.
Pengunjuk rasa ditemui oleh Nana dan anggota DPRD di ruang
rapat DPRD. Sementara Inspektur Kabupaten Rote Ndao duduk di
kursi peserta. Massa sudah terlihat emosi. Dalam ruangan sidang,
pengunjuk rasa sudah merusak mikrofon sidang, meja, kursi, dan
sejumlah properti ruang sidang lainnya.
Menanggapi keinginan pengunjuk rasa, Nana pun sempat mencari
tahu akar permasalahan kasus tanah pemda yang digugat ahli waris
yang disampaikan pengunjuk rasa. Setelah ditelusuri, ternyata tanah
untuk pembangunan kantor Bupati Rote Ndao adalah pemberian
keluarga Boik. Saat akan menyerahkan tanah, pihak keluarga Boik dan
Pemkab Rote Ndao ada klausul, intinya akan mempermudah keluarga
ahli waris menjadi PNS.
“Tapi karena rezim telah berganti, pemerintah daerah telah berganti
dan ahli waris tidak bisa menjadi PNS, akhirnya menyampaikan
tuntukan kepada Pemda dan meminta Tim Korsupgah memberikan
perhatian terhadap permasalahan tersebut.” kata Nana. Di samping
itu, perwakilan pengunjuk rasa menyampaikan dugaan korupsi, tapi
tidak terdengar karena riuh rendahnya suara pengunjuk rasa.
Tak hanya itu, dalam tuntutannya, massa aksi juga mempertanyakan
alasan tim KPK menggunakan fasilitas mobil dinas milik Pemkab Rote
Ndao saat datang ke Gedung DPRD. Bahkan, koordinator aksi Yunus
Panie, dengan lantang mengaku sangat kecewa dan menyayangkan KPK
mengunakan fasilitas mobil milik Pemda. Sampai-sampai koordinator
aksi berseloroh, “Setahu saya jangankan difasilitasi mobil, makan dan
minum saja, pegawai KPK selalu membawa sendiri,” tegas Yunus.
Menanggapi hal itu, Nana pun langsung memanggil Inspektorat
Kabupaten Rote Ndao yang tak jauh darinya dan memastikan mobil
yang dinaiki kendaraan dinas atau sewaan. “Saya panggil inspektorat,
lalu saya tanya, itu tadi mobil sewaan kan yang kita pakai? Ternyata
inspektorat menjawab kalau itu mobil pemda. Mati saya!” ucap
Nana seraya menepuk jidadnya. Perasaan bersalah pun langsung
menyelimuti pikirannya. Meskipun kesalahannya dilakukan secara
tidak sengaja, karena ketidaktahuannya.
Atas hal yang menimpanya, Nana pun sempat kecewa dengan sikap
LSM yang langsung menyerang dirinya terkait penggunaan mobil
Pemda. Nana sudah mengenal Yunus Panie dan seorang lainnya sejak
dirinya masih di Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK.

48
M a nusi a Se tenga h De wa

Nana merasa, kehadiran KPK di DPRD Rote Ndao sengaja


dimanfaatkan oleh LSM ini yang sebelumnya pernah mengadukan
beberapa kasus dugaan korupsi oknum pejabat Pemda ke KPK. “Dia itu
informan saya, agen saya yang selalu saya jaga. Sudah 10-an tahun kita
berhubungan, tapi karena masalah kepentingan dia menyerang saya,”
ungkapnya. “Nasi sudah menjadi bubur. Ya sudahlah nggak apa-apa.
Nanti saya yang tanggung jawab ke kantor,” imbuhnya.
Nana mengaku, tidak berniat mengunakan mobil pelat merah
tersebut. Namun ketika hendak masuk gerbang DPRD, ternyata dalam
keadaan terkunci. Nana dan Alfi pun terpaksa harus berjalan kaki lagi.
Tepat di saat itulah, ada mobil yang tiba-tiba berhenti dan dikira mobil
yang sebelumnya disewa. “Tapi perlu ditegaskan itu hanya kebetulan

Nana melihat di KPK terjadi


dilema etis terkait penerapan
kode etik. Artinya, dalam
implementasinya di lapangan,
tim korsupgah tidak bisa
menerapkan kode etik tertentu
secara kaku, karena tim korsupgah
diminta untuk bermitra dengan
pemerintah daerah, berbeda
dengan rekan di penindakan.

saja, tak sengaja. Kami juga meminta maaf dan siap bertangung jawab
kepada atasan langsung. Sesungguhnya bukan karena kelalaian juga,
tetapi sama sekali tidak ada maksud, karena mengira mobil sewaan,”
kilah Nana.
Selang beberapa hari kemudian, ternyata informasi penggunaan
mobil pemda sampai ke telinga pengawas internal KPK. Termasuk
Juru Bicara KPK Febri Diansyah juga konfirmasi terkait berita miring
tersebut. Awalnya, tim satgas tidak ingin memperpanjang masalah
penggunaan mobil dinas. Ternyata masalahnya menjadi serius, bahkan

49
sampai ada aksi demo susulan dari LSM ke Gedung KPK.
Sesampainya di Jakarta, Nana pun diperiksa Pengawas Internal KPK.
“Saya jelaskan kembali bahwa saya merasa itu mobil sewaan. Jadi saya
berkeyakinan jika mobil itu yang kita sewa. Saya konfirmasi ke deputi
dan melaporan ke atasan saya langsung. Atasan juga meneruskan
informasi tersebut ke deputi,” jelasnya.
Berdasar penjelasan Nana dan timnya, Deputi Pencegahan KPK
Pahala Nainggolan berkesimpulan jika dugaan pelanggaran kode etik
yang ditudingkan tidak masalah sepanjang tim korsupgah benar-benar
menyewa mobil saat bertugas. Namun, Pengawas Internal KPK ternyata
berpandangan lain. Mereka tetap kekeh tidak mau tahu dengan
penjelasan Nana. Alasannya, dari sisi manajemen risiko, penggunaan
mobil dinas pemda oleh pegawai KPK, terpapar risiko reputasi.
Pengawas Internal pun menyerahkan kasus ini ke deputi pencegahan
agar dilakukan coaching, mentoring, counseling (CMC).
Terkait kasus ini, Nana melihat di KPK terjadi dilema etis terkait
penerapan kode etik. Artinya, dalam implementasinya di lapangan,
tim korsupgah tidak bisa menerapkan kode etik tertentu secara kaku,
karena tim korsupgah diminta untuk bermitra dengan pemerintah
daerah, berbeda dengan rekan di penindakan. Makanya, pimpinan
mengusulkan agar diatur kembali mana yang boleh dan mana yang
tidak boleh dilakukan oleh pegawai KPK saat berinteraksi dengan
aparat pemerintah daerah.
Sementara, tim satgas di daerah yang memiliki peran signifikan
dalam upaya pencegahan korupsi melalui perbaikan tata kelola dan
pelayanan publik, harus bermitra dan tidak bersikap yang tidak bisa
diterima oleh aparat pemda. Artinya, tidak memperlakukan aparat
pemerintah daerah sebagai pihak yang berseberangan dengan KPK.
Penerapan kode etik yang kaku akan menimbulkan dilema etik, dan
menimbulkan antipati dan penolakan dalam bermitra. “Ini gimana
sih, kami bermitra dengan pemda tapi perlakuan dengan mitra kami
seperti ada jarak yang tidak bisa ditoleransi sedikit pun,” keluhnya.
Menurut Nana, kalau dijamu dalam satu kegiatan yang sifatnya
umum, ada makanan dan minuman boleh saja dimakan asal tidak
spesial. Misalkan hanya snack, air mineral, nasi kotak biasa, itu tidak
masalah. Ini hanya sekadar untuk menghormati sohibul bait. Namun,
jika sudah jamuan khusus seperti di restoran, itu tidak boleh.
Penerapan jamuan umum seperti ini saja masih banyak yang
menafsirkan. “Ini masih ada judgement masing-masing. Termasuk

50
M a nusi a Se tenga h De wa

masyarakat, kadang kan nggak paham, sampai bilang ‘kok orang KPK
ikut makan juga’ orang KPK kan seharusnya tidak boleh dijamu, wong
diberikan aqua aja tidak boleh, itu yang saya jaga,” terangnya.
Termasuk kalau ada penjemputan dari bandara ke kantor pemkab
atau pemda atau sebaliknya, Nana sependapat jika hal itu tidak boleh
diterima. Semua tim satgas mengetahui, tidak akan berani karena
melanggar kode etik. Namun, Nana mengusulkan ada pengecualian.
Misalnya dalam rangka menjaga kemitraan dengan aparat pemda
melalui inspektorat sebagai pejabat penghubung dan PIC, bersama-
sama dari kantor dinas satu ke kantor dinas lain yang jaraknya cukup
dekat. Kadang hal seperti ini tidak bisa dihindarkan, sejauh tim KPK
juga menyewa mobil.
Menurut Nana, terkadang ada informasi penting yang harus
disampaikan Inspektorat kepada tim Korsupgah. Inspektorat banyak
memiliki informasi penting karena tahu seluk belum birokrasi
dan perilaku pejabat pemda. Sementara, inspektorat tidak bisa
menyampaikan ke publik atau di forum terbuka. Nah, di situlah
moment yang tepat untuk bisa mendengar informasi penting tersebut
dari aparat pengawasan.
Nana juga menjelaskan, setiap menjalankan pengawasan dan
monitoring ke daerah, tim satgas menghabiskan waktu antara 5
sampai 7 hari. Selama sepekan, tim satgas selalu menyewa kendaraan
untuk mobilisasi dari satu kabupaten ke kabupaten lainnya. Nah, sopir
mobil rental yang disewa belum tentu paham lokasi kantor-kantor
dinas terkait jika sudah pindah dari kabupaten satu ke kabupaten lain.
“Karena memang dari jauh hari sudah dibilangin. Sejauh kami sewa,
boleh pakai mobil pemda. Tapi kan masyarakat nggak mau mengerti,
tahunya ini ada orang KPK gunakan fasilitas pemda,” jelasnya.
Atas kejadian ini, awalnya Nana mengaku sangat malu. Dia merasa
sebagai pegawai KPK paling senior, tapi mendapatkan pemberitaan di
media, seolah-olah melakukan pelanggaran kode etik saat bertugas
di lapangan. Namun, di sisi lain ada keuntungan juga, rekan-rekan
pegawai KPK lain bisa belajar dari kasusnya, dan berhati-hati saat
bertugas. Masyarakat, kata Nana, ternyata mengamati semua langkah
dan gerak-gerik pegawai KPK, seolah pegawai KPK itu seperti ‘manusia
setengah dewa’.
Di lain pihak, karena masifnya pemberitaan di media online, tv, dan
cetak, Nana pun tak bisa menyembunyikan informasi tersebut dari
keluarga, teman, dan kolega. Dia pun mengklarifikasi peristiwa tersebut

51
ke keluarga kalau pemberitaan yang tersiar adalah kesalahpahaman
saja. Dia berharap, peristiwa yang dialaminya bisa menjadi perhatian
semua pihak.
Bahwa kode etik itu harus diturunkan dalam banyak hal, dilema
etik harus dipecahkan dan dicarikan solusinya, serta disosialisasikan,
misalnya ini boleh, ini tidak boleh, dan harus rinci. Forum semacam
jawaban atas pertanyaan yang sering dikemukakan (Frequently Asked
Question/FAQ) harus dibuat oleh Pengawasan Internal, agar menjadi
panduan. Jangan sampai pegawai KPK ditunggu di ujung setelah
melakukan pelanggaran.
Selama ini, masyarakat tahunya orang KPK itu suci dan tidak boleh
dilayani. Bahkan, yang paling ekstrim menerima aqua saja tidak boleh,
apalagi jamuan dan antar jemput. Namun, berkat adanya masukan,
akhirnya ada beberapa perubahan dalam kode etik KPK. Misalnya,
kode etik yang awalnya tidak boleh membawa istri saat bertugas,
sekarang bisa, misalnya, sedang program kehamilan, istri sakit harus
selalu ada pendampingan. l

M. Purwadi

52
M a nusi a Se tenga h De wa

“Kebakar”

B
“ ergabung ke Unit Korsupgah istilah orang lapangan adalah
‘kebakar’ dan malah bisa dibilang ‘kebakaran’. Bisa
dibayangkan betapa kikuk dan canggungnya saya ketika
itu,” kata M. Indra Furqon, anggota Satgas 8 Tim Korsupgah KPK, saat
menceritakan awal bergabungnya di kedeputian pencegahan.
Namun, atas pemindahtugasan dirinya ke tim korsupgah, dia
menikmati saja jalan takdirnya, karena menurut dia masing-masing
tugas ada kelebihan dan kekurangannya. “Saya senang, karena
memang saya sudah 10 tahun bekerja di lapangan. Butuh penyegaran
dan alarm pribadi saya untuk menghindari experience trap,” katanya.
Saat menjadi ketua tim surveillance, Indra mengatakan banyak
sekali pengalaman dan ilmu yang didapatkannya. “Di tim lapangan
saya merasakan langsung atau melihat langsung OTT (operasi tangkap
tangan) dan proses-proses sebelum OTT. Setiap selesai OTT ada
perasaan sudah ikut andil langsung dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia, meski tidak diliput dan dikenal orang,” ungkapnya.
Sedangkan ketika di tim korsupgah, dirinya merasa ikut andil juga
dalam hal pencegahan korupsi di daerah dengan masuk langsung ke
‘jantung’ pertahanan ‘lawan’ secara terbuka. “Kelebihan saya dan
kawan-kawan ketika di lapangan ketimbang mereka yang murni di
pencegahan, saya bisa bacakan kelakuan oknum-oknum di daerah,”
kata Indra.
Bagi ASN di daerah yang selama ini ingin berubah dan sebetulnya
jujur, kata Indra, biasanya mereka tepuk tangan dan senyum-senyum.
Selain itu, biasanya habis acara selesai langsung whatsapp atau
nyamperin ke Tim Satgas ngasih dukungan. “Karena dengan adanya
korsupgah masuk di tiap kabupaten atau kota, sudah lebih mudah
mereka lapor. Tinggal lapor saya,” tandasnya.
Menurut Indra, bagi sejumlah tim korsupgah yang awalnya berasal
dari kedeputian pencegahan, mungkin tidak menemui kendala yang
berarti ketika ditempatkan di Unit Korupgah. “Tinggal poles sedikit
langsung mengkilat,” ucapnya.
Sementara dirinya, sebagai orang yang selama sepuluh tahun bekerja
di ‘dunia ghaib’ lembaga antirasuah, butuh ekstra polesan dan bahkan

53
Kegiatan Pemberantasan Korupsi Terintegrasi di Sulawesi Utara.

mungkin perlu getok sana-sini supaya bisa setidaknya tidak karatan.


“Bayangkan saja, kami orang lapangan nggak pernah berurusan
dengan surat menyurat. Jangankan mengkonsep surat, ngetiknya
saja bisa dibilang nggak pernah. Belum lagi bicara pasal-pasal dalam
Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah, Undang-Undang sampai ke
hubungan antar-lembaga dan instansi baik pusat dan daerah,” ucap
pria yang pernah bekerja di bidang perbankan ini. 
Dengan segala kekurangan tersebut, praktis dalam jangka waktu 1
tahun, Indra mengaku hanya bisa mendengar, menyimak, mencatat,
setiap kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan tim satgasnya.
“Selama 1 tahun saya hanya menerima arahan dan menjadi tim
supporting dalam kegiatan-kegiatan di daerah. Baik rakor, monitoring
dan evaluasi rencana aksi maupun pembahasan sektor strategis,”
terang pria berkacamata tersebut.
Adapun tugasnya, pertama mempersiapkan rakor pencegahan
dan penindakan terintegrasi yang akan dihadiri oleh pimpinan KPK,
Kepala Kepolisian Daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi, Gubernur, DPRD,
dan seluruh kepala daerah. “Saya diminta Kasatgas untuk memastikan
seluruh kepala daerah dan Ketua DPRD hadir dalam acara,” jelasnya.

54
“Kebak ar”

Atas perintah tersebut, Indra pun langsung berkoordinasi mendata


nomor kontak para pihak yang akan diundang dan mulai menghubungi
satu persatu. “Sungguh pengalaman awal yang sangat menantang.
Dihubungi secara personal merupakan kunci kehadiran para pejabat
daerah tersebut. Karena jika hanya mengandalkan surat undangan
kurang ada respon dan kurang dapat atensi,” ungkapnya.
Waktu pun berlalu, pelan-pelan, akhirnya Indra mulai bisa
mengidentifikasi dan menganalisa permasalahan tata kelola
pemerintahan daerah, mengkonsep surat. Baik surat undangan, surat
monev maupun surat tindak lanjut pasca monev. “Dengan bimbingan
para senior perlahan saya mulai bisa mengimbangi dan tiba saatnya di
tahun 2017 mulai beraksi,” ucapnya semringah.
Belajar dan terus belajar. Begitulah prinsip hidup yang dipegang oleh
Indra. Setelah berbulan-bulan lamanya seperti terseok-seok, karena
belum memahami seluk beluk cara kerja di tim korsupgah. Kini dia
mulai bangkit dan memahaminya. “Tahun 2017 terjadi perombakan
personil di Unit Korsupgah. Saya ditempatkan di Satgas Wilayah 8 yang
meliputi seluruh Sulawesi, dan saya dipercayakan sebagai koordinator
untuk wilayah Sulawesi Utara,” papar Indra.
Wilayah Sulawesi Utara, menurut Indra, termasuk satu dari 10
wilayah yang belum disentuh oleh Korsupgah. “Artinya buka baru,
dan bagi saya ini tantangan. Inilah yang saya inginkan. Karena pos
baru, artinya dari nol dan dari mulai buka jalan mencari jaringan
kontak awal, mempersiapkan rakor, menghubungi kepala daerah dan
DPRD, berkoordinasi awal dengan Polda, Kejati, Perwakilan BPKP, BPK
Perwakilan dan serangkaian kegiatan awal lainnya,” bebernya.
Atas pos baru ini, Indra pun mengaku lebih menyukainya dibanding
meneruskan hasil pendampingan orang lain. “Dengan pos baru akan
terlihat progress pekerjaan kita,” katanya.
Indra mengatakan, di Satgas 8 ini, dirinya diberikan kepercayaan
penuh untuk mendampingi wilayah Sulawesi Utara dengan 16 Pemda
yang ada di dalamnya. “Tentunya melalui arahan dan persetujuan
Kasatgas dan kesepakatan dalam rapat internal Satgas 8. Mulai dari
kegiatan rakor, identifikasi awal, monev rencana aksi, workshop
peningkatan kapabilitas apip dan verifikasi progress MCP. Semua
merupakan tanggung jawab saya sebagai koordinator Sulawesi Utara
dengan dibantu rekan-rekan koordinator wilayah lain di dalam Satgas
8,” jelas pria yang hobi jalan-jalan ini.
Dalam kegiatan monitoring dan evaluasi, menurut dia ada kalanya

55
seluruh personil Satgas 8 turun gunung. Tapi, seringnya hanya
berdua saja untuk memenuhi SOP KPK dalam penugasan ke daerah.
“Kenapa minimal berdua ? Jawabnya, “Agar tiada dusta di antara kita”,
tuturnya.
Berbekal pengalaman yang kini dimilikinya dan kepercayaan yang
diberikan kasatgas terhadapnya, Indra mengaku sudah percaya diri
untuk memimpin tim. “Sebagai ketua tim yang ada kalanya membuka
dan menutup acara, memberikan sambutan dan pengarahan,
memimpin jalannya rapat Monev dan memberikan masukan dan
tanggapan atas kondisi masing-masing Pemda dalam program
pencegahan dan penindakan terintegrasi korsupgah KPK,” tandasnya.
Indra menjelaskan, dalam situasi monitoring dan evaluasi rencana
aksi pemda, tidak jarang dirinya bersama koleganya mengkonfrontasi
para kepala organisasi perangkat daerah dan para pejabat lainnya.
Biasanya, hal yang dia tanyakan terkait ada tidaknya tekanan atau
intervensi dari sekretaris daerah atau kepala daerah dalam hal
pengaturan pemenang lelang, perencanaan kegiatan, ataupun
rekomendasi penerbitan perizinan.
Dari hal yang dia tanyakan kepada para pejabat eselon tiga tersebut,
responnya para kepala OPD akan bertatap mata terlebih dahulu
dengan sekda atau kepala daerah sebelum berkata, “tidak ada pak,”
jelasnya. Atas penjelasan pihak OPD tersebut, dirinya tidak langsung
percaya. Biasanya Indra dan koleganya akan merespon balik dengan
mengatakan, “Nggak mungkin nggak ada, jujur aja lah,” kata Indra.
Atas pertanyaan balik tersebut, sejumlah OPD kemudian ada yang
tetap bergeming, namun banyak juga yang akhirnya mengaku di
intervensi oleh bosnya.
Indra menjelaskan, kehadiran timnya ke berbagai pelosok daerah di
Indonesia, merupakan berkah bagi mereka yang merindukan adanya
tempat untuk mengadu. Bahkan curhat terkait kelakuan para kepala
daerah yang terindikasi melakukan penyimpangan dalam tata kelola
pemerintahan daerah.
“Biasanya setiap selesai monev, banyak pesan yang masuk ke
whatsapp kami. Dari sekadar berterima kasih karena telah datang,
atau merasa senang karena sudah menegur atau memperingatkan
kepala daerah agar tidak korupsi, hingga mengadukan permasalahan
yang ada di daerahnya,” urainya.
Menurut Indra, hal ini terjadi karena timnya tiap kali ke daerah
selalu berpesan ke seluruh peseta agar tetap menjaga integritas serta

56
“Kebak ar”

Salah seorang anggota Tim Korsupgah KPK, Muhammad Indra Furqon,


saat sedang melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi di Sulawesi.

tidak takut menyampaikan kebenaran. “Karena KPK sangat dekat,”


ucapnya.
Sementara itu, dalam rangka mendongkrak nilai MCP pemda yang
diampunya, dirinya secara berkala, hampir setiap hari mengirim
pesan secara jamak data posisi progress MCP seluruh pemda. “Setiap
perubahan pasca verifikasi yang merubah posisi atau ranking pemda
pasti saya update di group-group WAG pemda. Hasilnya sungguh di luar
dugaan saya. Pemda yang menempati rangking 1 se - Sulut langsung
menghubungi wartawan agar dapat diliput dan dijadikan berita. Ketika
posisi rangking 1 bergeser ke pemda lain, maka pemda yang berhasil
menggeser posisi 1 langsung menghubungi wartawan juga agar prestasi
mereka diliput,” ucapnya semringah.
Di lain pihak, dari hasil kerja kerasnya melakukan korsupgah,
menurutnya ada 2 pemda yang menjadi atensi dirinya dalam persaingan
merebut posisi rangking 1. Adapun pemda tersebut yakni Bolaang
Mongondow sebagai kabupaten induk dan Bolaang Mongondow Selatan
sebagai daerah hasil pemekaran. “Bolsel yang diawal identifikasi
baseline awal hanya memperoleh nilai 19 % dan Bolmong hanya 21,7 %,
yang sudah barang tentu hanya berada di deretan rangking terendah
nasional. Kini menempati posisi 3 dan 4 nasional di mana posisi 1

57
ditempati Boyolali,” jelasnya.
Kedua daerah tersebut, kata Indra, merupakan pemda yang paling
aktif di WAG dibanding 14 WAG lainnya. Mereka tidak segan-segan
berdiskusi di WAG hingga malam dan bahkan di hari libur. “Target
mereka 5 besar di akhir Desember, dan tercapai. Meski akhirnya
dibalap pemda-pemda lainnya, khususnya pemda-pemda di Pulau
Jawa,” tandasnya.
Indra menjelaskan, selama hampir satu tahun berkunjung ke seluruh
pemda di Sulawesi Utara, hal ini merupakan pengalaman yang sangat
berkesan bagi dirinya. “Tidak jarang kami yang menempuh perjalanan
darat tertidur di mobil karena jauhnya jarak tempuh, tidur, bangun,
tidur lagi,” tuturnya.
Namun, dari kunjungan kerjanya ke seantero wilayah Sulawesi Utara
tersebut, dirinya belum pernah menjejakkan kaki ke Bunaken. Destinasi
wisata nan indah, yang menjadi salah satu primadona wisatawan lokal
dan mancanegara. “Kalau ada yang bertanya ke saya tentang keindahan
Bunaken, maka saya tidak bisa menjawabnya, karena berkali-kali
mondar mandir Manado,­Bunaken bukan merupakan destinasi dalam
rundown penugasan saya,” ucapnya lirih.
Hal senada juga diungkapkan Nexio, koleganya di Tim 8. “Kami
dikiranya jalan-jalan, padahal saya aja nggak pernah ke Bunaken, ya
tahunya pemdanya. Polda,” ucapnya Nexio tertawa.
“Kami hanya mengenal kantor gubernur, kantor bupati, kantor wali
kota, kantor perwakilan BPKP, kantor BPK perwakilan, kantor polda,
kantor kejati, dan hotel,” ujar Indra. l

Kuswandi

58
A
dlinsyah M. Nasution, biasa disapa Coki, menerawang
jauh ke tiga tahun lalu saat ditemui pada Selasa, 15 Januari
2019. Sekitar Maret 2016, Provinsi Bengkulu di bawah
kepemimpinan Ridwan Mukti menabuh genderang perang terhadap
korupsi dan narkotika. Maret itu dihelat penandatanganan pakta
integritas lebih dari 1.000 pejabat struktural Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Bengkulu. Hadir dalam acara, Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Agus Rahardjo, Ketua Ombudsman RI (ORI) Amzulian
Rifai, dan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) saat itu Komisaris
Jenderal Polisi Budi Waseso.
Seingat Coki, kala itu Gubernur Bengkulu 2016-2021 tersebut
menyampaikan alasan kenapa mengundang tiga pimpinan lembaga
negara. Ketua ORI diundang karena tidak boleh para pejabat Provinsi
menjalankan bisnis karena melanggar administrasi atau terjadi
maladministrasi. Ketua KPK diundang agar pejabat tidak melakukan
korupsi. Kepala BNN diundang agar tidak terjadi penggunaan dan
penyalahgunaan narkoba.
Di sela acara, Ridwan lantas menyampaikan ke Agus Rahardjo agar
KPK membantu dan melakukan pendampingan terhadap wilayah yang
dipimpinnya untuk pencegahan korupsi. Belakangan Ridwan selaku
Gubernur Bengkulu mengirimkan surat ke KPK tentang permintaan
tersebut. Bahkan hingga tiga kali. Atas surat ketiga inilah KPK akhirnya
merespon. “Nah dia (Ridwan Mukti selaku Gubernur Bengkulu) kirim
surat pertama ke kami, dicuekin. Surat kedua dicuekin. Surat ketiga
baru direspons. Nah kira-kira begitu,” ujar Coki.
Sepanjang 2016 hingga 2017, Coki merupakan Ketua Tim Koordinasi
Supervisi Pencegahan (Korsupgah) Wilayah I yang membawahi
Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Bangka
Belitung. Kurun 2017 hingga 2018, Coki menjadi Ketua Tim Korsupgah
Wilayah II yang meliputi Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan

59
Kepulauan Riau. Pada 2019, Coki berpindah menjabat Ketua Tim
Korsupgah Wilayah VIII yang mencakup Provinsi Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Papua, dan Papua Barat.
Coki melanjutkan, kurun 2016 hingga 2017, Tim Korsupgah diundang
Pemprov Bengkulu dan turun ke provinsi tersebut. Tim Korsupgah
lantas melakukan pemetaan korupsi, sistem, tata kelola pemerintahan
daerah hingga menggulirkan program e-planning, e-budgeting,
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), dan lain sebagainya. Tapi Tim
Korsupgah menangkap gelagat lain dari gestur tubuh Ridwan yang
janggal. “Agak aneh gestur tubuhnya, kayak gagap, tidak tulus gitu
gestur tubuhnya. Kayaknya memang dia sengaja dalam tanda kutip
pencitraan, kayak gitu,” beber Coki.
Meski ada kesan demikian, Tim Korsupgah tetap bekerja melakukan
pendampingan. Sejumlah kegiatan bahkan acap kali dihadiri Deputi
Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan.
Upaya pencegahan tidak hanya di lingkungan pemerintah provinsi,
tapi juga di tingkat pemerintah kabupaten/kota hingga DPRD seluruh
tingkatan. Tim KPK juga memandukan kegiatan dengan sosialisasi
pencegahan dan pengendalian gratifikasi.
Selain itu di Provinsi Bengkulu, sejumlah rencana aksi disusun dan
dijalankan mulai dari perencanaan, penyusunan, dan penganggaran
keuangan daerah; kepatuhan penyampaian Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN); pelaporan dan pengendalian
gratifikasi; penerapan perbaikan tunjungan perbaikan penghasilan
pejabat/PNS/ASN; hingga penguatan peran dan fungsi inspektorat
pemerintah daerah. “Bengkulu ini bukan kita (KPK) yang minta masuk
untuk pencegahan. Mereka, Ridwan Mukti sendiri yang minta,” ungkap
Coki.
Seperjalanan tugas, Tim Korsupgah menerima informasi ihwal istri
Ridwan, Lily Martiani Maddari. Lily memiliki kuasa hampir serupa
dengan dengan seorang gubernur. Lily juga merupakan pengusaha
sekaligus kontraktor jalan dengan Asphalt Mixing Plant (AMP). Pada
2002 untuk wilayah Provinsi Sumatera Selatan, hanya sekitar empat
perusahaan yang memiliki AMP. Satu di antaranya adalah Lily.
Perusahaan yang dikendalikan Lily kerap kali memenangkan proyek
pekerjaan jalan aspal hotmix. Perusahaan milik Lily juga ada di Provinsi
Bengkulu. Ketika Ridwan menjabat sebagai gubernur, perusahaan yang
dikendalikan Lily juga memenangkan proyek pekerjaan jalan.
“Dari awal saya bilang kalau gubernur tidak bisa independen

60
Tertipu Komitmen Gubernur

memainkan peran dalam pembagian anggaran, dengan isu yang


notabenenya adalah pemilik perusahaan besar ya nggak bisa menggu­
nakan fungsi itulah,” kata Coki.

Gubernur Ditangkap setelah Bertemu Korsupgah


Hakikatnya Coki memiliki prinsip bahwa saat bertemu pejabat maka
Coki tidak percaya 100 persen. Apalagi dia sudah belajar banyak dari
upaya pencegahan dan penindakan yang dilakukan KPK di sejumlah
daerah. Prinsip itu yang tetap dijaga Coki saat turun bersama Tim
Korsupgah di Provinsi Bengkulu.
Dalam satu kegiatan rapat koordinasi bidang pencegahan yang
dilakukan KPK sekitar September 2016 di Bengkulu. Saat itu hadir Wakil
Ketua KPK Thony Saut Situmorang. Kepada Coki, Saut membisikkan
sesuatu, yakni saat Coki bersalaman dengan Ridwan Mukti agar dia
menyampaikan ke Ridwan bahwa dirinya titip salam ke istri Ridwan.
Ternyata menurut Coki, Saut telah menerima informasi tentang istri
Ridwan, Lily. “Pas aku minta tanda tangannya, aku bilang ‘terima kasih
ya, salam buat ibu ya, salam buat istri ya’. Ya mungkin saat itu saya lihat
Ridwan Mukti bingung kan. Kok, apa urusannya nih langsung nanya
istri saya. Begitulah kira-kira,” ungkap Coki.
Rupanya saat hari dan bulan berganti, tim penindakan KPK yang
terdiri atas penyelidik dan penyidik menggelar operasi tangkap tangan
(OTT) pada Selasa, 20 Juni 2017 pagi hingga siang. Saat OTT, tim KPK
lebih dulu menciduk Lily Martiani Maddari, Direktur PT Rico Putra
Selatan sekaligus Bendahara DPD Partai Golkar Provinsi Bengkulu saat
itu Rico Diansari, dan Direktur Utama PT Statika Mitra Sarana sekaligus
Direktur Utama PT Statika Karya Bengkulu Jhoni Wijaya.
Penangkapan terjadi setelah terjadi serah-terima Rp 1 miliar dari
Jhoni yang diantarkan Rico ke rumah Ridwan Mukti. Ridwan baru
menyerahkan diri ke KPK sekitar pukul 11.00 WIB dengan mendatangi
Mapolda Bengkulu.
Sehari berselang, KPK resmi mengumumkan Ridwan, Lily, dan
Rico sebagai tersangka penerima suap Rp1 miliar dari Jhoni. Suap
tersebut adalah hasil komitmen fee 10 % per proyek. Ridwan, Lily, dan
Rico dijanjikan mendapat fee Rp 4,7 miliar. Suap tersebut terkait dua
proyek jalan di Kabupaten Rejang Lebong. Keduanya adalah proyek
pembangunan Peningkatan Jalan Tes-Muara Aman, Kabupaten Rejang
Lebong dengan nilai sekitar Rp 37 miliar dan proyek pembangunan
Peningkatan Jalan Curug Air Dingin, Kabupaten Rejang Lebong dengan

61
nilai sekitar Rp16 miliar. 
Coki menceritakan, bila masih mengingat penyampaian saat
konferensi pers disebutkan Lily hanya sekadar istri Ridwan dan ibu
rumah tangga. Padahal Lily juga kontraktor. Lily yang berperan
mengatur proyek dan jumlah fee yang mesti diterima Ridwan.
Bagi Coki, OTT yang dilakukan KPK saat itu pun bukan sembarang.
Tim Korsupgah ikut memberikan laporan ke tim penindakan. “Kami
lapor sekitar bulan September 2016, OTT-nya (Juni) 2017. Padahal
pembenahan itu sudah dilakukan lho. Belum sampai setahun, baru
September. Itu kami baru mulai pembenahan dan enam bulan
pertama,” kata Coki.
Kini Ridwan, Lily, Rico, dan Jhoni telah menjadi terpidana dan
mengisi jeruji di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

“Agak aneh gestur tubuhnya,


kayak gagap, tidak tulus gitu
gestur tubuhnya. Kayaknya memang
dia sengaja dalam tanda kutip
pencitraan, kayak gitu,”
beber Coki.

Apa yang disampaikan Coki memang bukan isapan jempol.


Wakil Ketua KPK Thony Saut Situmorang dan Alexander Marwata
mengamini pernyataan Coki. Saut menuturkan, dirinya sempat hadir
saat pelantikan Ridwan Mukti dan penandatanganan pakta integritas
para pejabat di lingkungan pemerintah Bengkulu. Belakangan
KPK memang menemukan terjadinya dugaan transaksional untuk
pengurusan anggaran dan proyek. “Dari awal, indikasi transaksional
sudah ada. Jadi, apa pun yang dilakukan KPK kalau cuma seremonial
tetapi mereka tidak memiliki integritas yang tidak kuat, tetap saja
terjadi (korupsi),” ujar Saut saat konferensi pers penetapan Ridwan
dkk, di Gedung Merah Putih KPK Jakarta, Rabu, 21 Juni 2017.
Alexander menuturkan, KPK sangat menyayangkan perbuatan yang

62
Tertipu Komitmen Gubernur

dilakukan Ridwan, Lily, Rico, dan Jhoni. Musababnya Ridwan adalah


orang yang mencanangkan Provinsi Bengkulu bebas korupsi dan
meminta KPK masuk melakukan pencegahan.

Capaian Pencegahan di Bengkulu


Bicara capaian pencegahan korupsi di Pemprov Bengkulu, maka
bisa dipotret dari beberapa aspek. Pertama, dari hasil Survei Penilaian
Integritas (SPI) 2017 yang dilakukan KPK. Saat konferensi pers KPK
pada Rabu, 21 November 2018, SPI 2017 untuk Provinsi Bengkulu
berada di urutan lima paling buncit dari total 35 kementerian/lembaga/
pemerintah daerah yang disurvei KPK. Pemprov Bengkulu ‘hanya’
mendapat skor indeks 58,58.
Kedua, berdasarkan progres atau perkembangan pelaksanaan
rencana aksi (renaksi) pencegahan. Hingga Maret 2019, implementasi
renaksi di wilayah Provinsi Bengkulu mencapai 61 persen. Provinsi
Bengkulu menempati posisi ke-18 dari seluruh provinsi yang telah
melaksanakan renaksi. Sejumlah perbaikan dan peningkatan juga
perlu dilakukan khususnya e-planning, e-Budjeting, kinjer Aparatur
pengawas internal pemerintah (APIP), hingga sistem pelaporan
elektronik.
Ketiga, berdasarkan data e-LHKP tertuang tingkat kepatuhan
penyampaian LHKPN ke KPK. Dari 22 instansi yang berada di wilayah
Provinsi Bengkulu, saat ini tingkat kepatuhan penyampaian LHKPN
sebesar 40,37 persen. Untuk Pemprov Bengkulu, ada 420 wajib lapor
LHKPN dan hanya baru 2 yang melaporkan. l

Sabir Laluhu

63
Kepergok
Tim OTT

D
ingin udara pagi masih menyelimuti Kota Kendari, Sulawesi
Tenggara, di pengujung bulan Februari 2018. Dinginnya
menusuk tulang sum-sum. Kendati demikian, sebanyak lima
anggota beserta kasatgas tim korsupgah yang dikomandoi Tri Gamafera
tak menghiraukannya.
Mereka satu persatu bergegas pergi ke kamar mandi. Mengguyur
seluruh tubuhnya untuk menghilangkan rasa lelah dan kantuk, usai
tiba di daerah yang mempunyai julukan ‘Kota Tolaki’ tersebut.
Usai mandi dan sarapan pagi mengisi perut yang keroncongan, Eva
dan timnya langsung bergegas ke kantor Pemrov Sulawesi Tenggara
untuk melakukan monitoring dan evaluasi. “Jadi kami full team Satgas
8 dalam proses identifikasi awal di Sultra mengundang seluruh pemda
se-Sultra bertempat di pemprov,” kata Muhammad Indra Furqon,
anggota Satgas 8, Minggu malam, 16 Februari 2019. Namun, atas
undangan tersebut, pihak Wali Kota Kendari Andriatma Dwi Putra
(kini terpidana) tak hadir.
Dalam kegiatan monitoring dan evaluasi tersebut, kata Indra, tim
dibagi dalam 2 ruangan yang berbeda. “Di cluster dua atau tiga pemda
dalam satu ruangan,” jelasnya.
Dalam identifikasi awal itu, kata Indra, timnya menanyakan ihwal
baseline tata kelola masing-masing pemda seperti kondisi PTSP,
ULP, perencanaan penganggaran, dan beberapa hal lainnya. Selain
menanyakan perihal tata kelola, dalam rapat identifikasi itu, pihaknya
katanya juga menyampaikan bahwa korsupgah itu pencegahan dan
penindakan yang terintegrasi. “Jadi bukan berarti tidak ada kegiatan
penindakan,” tegasnya.
Rampung melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi, malam
harinya, tim pun kembali ke hotel. “Di situlah papasan dengan Tim
OTT, kalau nggak salah mau naik lift lihat 1 orang yang biasa turun
kalau ada OTT,” papar Indra.
Karena hanya melihat 1 orang, Indra pun tak menghiraukannya.
”Malam itu sih belum terlalu surprise. Karena untuk OTT itu biasanya

64
K e p e r g o k T i m OTT

prosesnya panjang nggak sehari dua hari. Jadi kami berfikir paling
baru kegiatan awal-awal pulbaket (pengumpulan bahan keterangan),”
ucapnya. Indra pun bersama koleganya bergegas ke kamar untuk
istirahat.
Anggota Satgas 8 lainnya, Hery Nurudin, mengatakan bersama
lima koleganya melihat tim penindakan. Mereka katanya berasal dari
tim gabungan yang terdiri dari tim surveillance, tim penyelidik, tim
penyidik, dan pengaduan masyarakat. “Ketemu pas breakfast di hotel
yang sama tempat kami menginap,” kata Hery. “Begitu sarapan baru
surprise. Satu dua tiga empat lima.....Kelihatan satu persatu tim ott..
lengkap !,” ungkap Indra. “Bahkan saya lihat mantan anggota saya
dulu,” imbuh mantan Kasatgas Tim Surveillance tersebut.
Karena melihat kelengkapan tim penindakan, Indra bersama kolega­
nya menduga akan ada penyelenggara negara yang ditangkap tim KPK
lain yang berasal dari kedeputian penindakan. “Kalau sudah begitu,
biasanya sudah tinggal ‘bungkus’ saja,” urai Indra.
Indra dan koleganya di tim korsupgah cuek saja meskipun secara
personal kenal dengan beberapa tim yang dijumpainya saat sarapan
pagi, di hotel tempat timnya menginap. Ini karena kode etik di KPK
melarangnya. “Kami saling pandang-pandangan. Biasa kan kami kalau
ketemu mereka (Tim OTT) ya kami belaga nggak kenal aja atau paling
pake kode aja,” ungkapnya.
“Sesuai SOP, ya kami pura-pura nggak kenal, cuma kedipin mata
saja,” imbuh Hery tertawa. Reaksi Tim OTT kata Hery, mereka juga
pura-pura nggak kenal.
Menurut Indra, meskipun tak ada kerja sama sama sekali antara tim
korsupgah dengan tim OTT dalam bekerja. Namun, tim OTT katanya
mendapat keuntungan secara tidak langsung dengan kehadiran tim
korsupgah di Sultra. “Keuntungan buat tim OTT dengan adanya kami
di Kendari, kami Korsupgah diliput terus oleh media lokal. Kegiatan
kami dan jadwal kami ketika bertemu pelaksana tugas gubernur dan
lain-lain ‘dipantau’ oleh orang-orang Sultra,” kata Indra.
Tak hanya itu, menurut dia, dengan kehadiran timnya di Kendari,
Indra juga menilai timnya seperti decoy (umpan) buat tim OTT. “Jadi
ketika kami masuk hotel dan tidur mungkin saja bagi mereka yang
mau ‘transaksi’ sudah dianggap ‘aman’. Padahal tim lain bekerja dan
transaksi dilakukan dini hari menjelang subuh,” urainya.
Dan benar saja, ternyata usai pertemuan tak sengaja dengan tim
KPK pada Selasa (27/2/2018), malam harinya, Tim Satgas Penindakan

65
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menciduk Wali Kota Kendari
Andriatma Dwi Putra dan Asrun, ayahnya. Selain itu, turut juga
diamankan beberapa pihak lain, yang diduga turut serta dalam kasus
dugaan suap menyuap tersebut.
Atas perbuatannya, Adriatma sendiri telah ditetapkan sebagai
tersangka. Selain Adriatma, penyidik KPK juga menetapkan beberapa
pihak lain antara lain ayah Andriatma, Asrun, Direktur PT. Sarana
Bangun Nusantara Hasmun Hamzah, dan Mantan Kepala BPKAD Kota
Kendari Fatmawati Faqih sebagai tersangka.
Adriatma diduga menerima duit suap menerima hadiah senilai Rp
2,8 miliar dari pihak swasta/pengusaha terkait pengadaan barang dan
jasa di Pemkot Kendari yang diajukan PT Sarana Bangun Nusantara.
Anggota Tim Korsupgah lain, Nexio mengatakan, selain bisa
membantu kelancaran tugas Tim OTT. Kehadiran tim pencegahan
yang kebetulan bertemu tak secara sengaja tersebut juga kerap dinilai
sebagai ‘biang kerok’ kegagalan OTT. “Kalau kita datang di lokasi
yang sama operasinya berhasil kita dipuji, tapi kalau gagal ya kita
disalahkan,” keluhnya.
Meskipun OTT telah dilakukan koleganya, tim korsupgah, kata
Hery, tetap bekerja melakukan rencana aksi sesuai dengan yang telah
direncanakan. “Awalnya Pemkot Kendari masih takut-takut dengan
Tim Korsupgah, tapi setelah dilakukan pendekatan dan memberikan
keyakinan kepada Wakil Wali Kota dan jajarannya, mereka malah lebih
serius untuk melakukan kegiatan korsupah. Sehingga dampak di tata
kelola pemerintahan Pemkot Kendari makin bagus,” ujar pria asal
Pemalang, Jateng, tersebut. l

Kuswandi

66
Hujan Batu
di Tanah
MInahasa Utara

J
ika saat bertugas di Jakarta yang dihadapi para pemain
ulung penyeleweng uang negara, kondisi berbeda ditemui
tim korsupgah Satgas 3 ketika di Sulawesi Utara. Satgas
beranggotakan Dian Patria,  Fries Mount, dan Tomi Murtomo
yang diembani tugas membenahi tata kelola sumber daya alam (SDA)
ini harus berhadapan langsung dengan masyarakat yang diduga telah
diperalat oleh sebuah perusahaan tambang asing. Bukan lagi sebatas
adu debat, tapi sampai harus menghadapi hujan batu!
Insiden tersebut terjadi pada 26 April 2018 kala tim meninjau
lokasi tambang PT Mikgro Metal Perdana (MMP) di Pulau Bangka,
Minahasa Utara (Minut). Mundur beberapa tahun sebelumnya. Sejak
awal beroperasi masyarakat di sekitar tambang bijih besi itu sudah
tak suka dengan aktivitas perusahaan asal Cina tersebut. Selain
wilayah konsesinya yang mencaplok hampir setengah dari luas pulau
yang hanya 4.778 hektare. Perusahaan juga dinilai telah merusak
lingkungan dan ekosistem darat dan laut Pulau Bangka.
Ujungnya, mata pencaharian masyarakat sekitar pulau ikut
terganggu. Tak heran sejak tahun 2014 mulai muncul gugatan perdata
maupun tata usaha negara yang pada intinya meminta pengadilan
agar menghentikan kegiatan pertambangan. Hingga akhirnya di
tingkat kasasi, penolakan masyarakat tadi dikabulkan Mahkamah
Agung lewat putusan tertanggal 11 Agustus 2016.
Namun untuk mengeksekusinya ternyata bukan perkara mudah.
Surat pembatalan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi
MMP yang diterbitkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Ignatius Jonan tanggal 23 Maret 2017 sempat tak bertaji.
Sadar tak ada lagi cantolan hukum yang bisa dijadikan pegangan,
MMP terus mendekati masyarakat yang diuntungkan dari aktivitas
perusahaan atau pro-tambang, agar mendukung kegiatan usaha
mereka. Sekaligus bertindak tegas menentang siapa saja yang berniat

67
Tim KPK saat diundang dalam sosialisasi pencegahan korupsi oleh
Pemerintah Kabupaten Minahasa, April 2019.

menghentikan kerja MMP.


Sudah tak terhitung berapa banyak surat keberatan mereka
layangkan di tingkat daerah sampai petinggi negeri di Jakarta. Tak
lupa mereka juga mencari dukungan politik termasuk menggelar
demonstrasi di Sulut maupun Jakarta.
Untuk menyelesaikannya, pimpinan KPK meminta Dian Patria
berkoordinasi dengan pihak terkait, dari mulai Kementerian
Kelautaan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK), Kementerian Koordinator Maritim, Kementerian

68
H u j a n B at u d i Ta n a h MI n a h a s a U ta r a

ESDM, dan aparat pemda setempat.


Menurut Dian, di tahap koordinasi lintas kementerian inilah dia
mulai merasakan tekanan yang diduga merupakan hasil lobi tingkat
tinggi MMP. Sempat dalam suatu rapat, seorang pejabat Kemenko
Maritim meminta Dian agar meninjau ulang rencana penutupan
tambang MMP. Alasan pejabat berinisial P itu, citra Indonesia akan
tercoreng di mata internasional karena MMP mengancam akan
membawa permasalahan Pulau Bangka ke arbitrase.
“Ngomongnya mungkin ada sepuluh kali,” ungkapnya. Oleh Dian
permintaan tersebut ditolak mentah-mentah sebab menurut dia,
sudah tak ada lagi alasan hukum yang bisa mendukung permintaan
MMP. Langkah terakhir yakni meminta fatwa pembatalan pencabutan
berkas perkara dengan alasan masyarakat sudah berdamai, ditolak
MA sebab tak dikenal dalam praktik hukum positif Indonesia.
Tak disangka, tantangan lain datang dari internal KPK. Izin
peninjauan lapangan ke Pulau Bangka tak kunjung terbit dengan
dalih ada satgas lain yang sudah ditugasi men-supervisi Sulut. Setelah
diping-pong beberapa hari dan mengajukan alasan bahwa Satgas 3
lebih tahu permasalahan di Pulau Bangka, izin akhirnya turun.
Sementara soal insiden hujan batu, belakangan diketahui terjadi
karena warga Pulau Bangka menolak didatangi LSM apalagi diliput
wartawan. Mereka mengira, meski datang tak satu kapal dengan KPK
dan pejabat pusat lain, wartawan serta LSM tetap satu rombongan.
Padahal terpisah, dengan tujuan berbeda. “Wartawan ditolak,
diteriaki. Dilempari batulah, kena juga ke kami,” tambah Dian. Dari
peninjauan disimpulkan warga pulau terpecah dua kubu karena MMP
lahannya diambil kembali.
Reda urusan dengan warga, permasalahan dengan MMP muncul
lagi. Lewat pengacaranya, mereka puluhan kali melaporkan Dian
dan rekannya sesama anggota Satgas 3, Fries Mount ke Mabes Polri
dan pengawas internal KPK. Keduanya dituding telah melakukan
intimidasi sebab mendatangi pulau menggunakan kapal perang.
“Padahal kita pakai sea rider sama kapal bea cukai. Saya dan pengawas
internal ketawa saja sih,” ungkap Dian.
Pertanyaan besarnya kenapa MMP begitu kekeh mempertahankan
Pulau Bangka agar tetap dalam penguasaan mereka. Apalagi menurut
Dinas ESDM Sulut, kandungan mineral yang ada di dalamnya tak
terlalu menjanjikan secara komersil? Dian, Fries, serta Tomi, mengaku
tak punya jawaban pasti.

69
Versi Fries, bisa saja MMP menyasar mineral bawaan seperti
thorium yang merupakan bahan bakar nuklir yang harganya sangat
mahal. Sementara menurut Dian dan Tomi, apa yang terjadi di Pulau
Bangka merupakan bukti konkret bahwa proses perizinan sektor SDA
merupakan lahan sangat basah bagi mafia politik untuk menangguk
rente.
Teori lain yang muncul, Pulau Bangka memiliki posisi strategis
menyusul disepakatinya proyek One Belt One Road (OBOR) antara
pemerintah Cina dengan Indonesia. Seperti diketahui, Cina bersedia
menggelontorkan dana miliaran dolar AS untuk mengembangkan 28
proyek, dimana salah satunya adalah kawasan pariwisata Likupang,
Tanjung Pulisan, yang jaraknya dengan Pulau Bangka tak sampai 12
km.
OBOR yang kini telah berganti nama menjadi proyek Belt Road
Initiative (BRI) kerap dituding sebagai cara Cina mengekspansi negara
lain lewat bantuan ekonomi. l

Susanto Pram

70
Di Bawah
Bayang-Bayang
Erupsi Gunung
Agung

A
BU vulkanis Gunung Agung Bali kala itu mulai bertebaran
menutupi jalan di seantero Kabupatan Karangasem. Guyuran
abu vulkanis ini bertebaran seiring dengan dinaikkannya
level status Gunug Agung dari waspada menjadi awas. Hal ini berkaitan
dengan aktivitas magma yang terus meningkat dan dikhawatirkan
akan berujung pada erupsi gunung yang berbahaya. Semua warga
Bali yang tinggal dalam radius 3 kilometer pun diperintahkan segera
mengungsi ke lokasi yang aman.
Namun, kendati sudah ada peringatan dini terkait bahaya erupsi
Gunung Agung, tim Satgas VI yang membawahi wilayah Nusa Tenggara
Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Bali tak mempedulikannya. Tim
yang terdiri atas Nana Mulyana selaku Kasatgas dan anggota Alfi
Rachman Waluyo dan Arief Nurcahyo, nekat menembus guyuran abu
vulkanik jelang erupsi Gunung Agung di Bali. Segala risiko ditempuh
demi menjalankan tugas negara, yakni pencegahan korupsi di Pulau
Dewata.
Gunung Agung, salah satu gunung tertinggi di pulau Bali, diketahui
sudah ratusan kali bergemuruh dan mengepulkan asap tebal pekat ke
angkasa. Bertepatan dengan maraknya pemberitaan Gunung Agung,
Nana memerintahkan anggota Satgas Alfi Rachman Waluyo dan Arief
Nurcahyo ke Karangasem, Bali, untuk berkoordinasi dengan sejumlah
pejabat daerah dan stakeholder terkait pencegahan korupsi yang
kebetulan sudah diagendakan jauh-jauh hari.
Meskipun tahu jika kondisi Gunung Agung di Bali sedang tidak
bersahabat, namun rencana pertemuan tidak bisa dibatalkan selama
masih memungkinkan untuk digelar. Selama di pesawat, tim satgas dan
ratusan penumpang lainnya tak henti-hentinya mengamati fenomena

71
alam berupa kepulan asap tebal yang membumbung tinggi menembus
awan hingga ketinggian puluhan kilometer. Tak bisa membayangkan
jika gunung tertinggi di pulau Bali dengan ketinggian 3.031 mdpl
tersebut tiba-tiba meletus dan mengalirkan lahar ke lereng-lereng
gunung dan menerjang perkampungan warga.
Sesampainya di Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar Bali,
ada informasi jika bandara segera ditutup selama tiga hari ke depan,
dan itu bisa diperpanjang tergantung kondisi Gunung Agung. Jika
kondisinya memburuk, terjadi erupsi dan meletus, maka Bandara
akan ditutup sampai kondisi benar-benar kondusif. “Kami sampai
kebingungan untuk pulang ke Jakarta kalau sampai bandara terus
ditutup. Parahnya lagi, Bandara Banyuwangi, Jawa Timur, full booked
dan Surabaya juga habis. Sampai kepikiran mau lewat jalur darat ke
Jakarta,” kenang Alfi Rachman.
Bahayanya lagi, hampir setiap jam terjadi gempa di Bali. Awalnya tim
satgas panik dan mencoba lari untuk menyelamatkan diri. Ternyata,
warga Bali justru santai karena sudah terbiasa gempa.
Saat itu, lanjut Alfi, jarak antara lokasi pertemuan, yakni
kantor Pemda Karangasem dengan puncak Gunung Agung hanya
10 KM. Sampai-sampai, sopir rental yang membawa tim satgas
merasa khawatir dengan aksi nekat timnya. “Bapak yakin mau ke
Karangasem, lokasinya itu dekat loh pak dengan Gunung Agung,”
kata sang supir khawatir. Namun, karena sudah kepalang tanggung,
aksi nekat ini pun terus ditempuh. Dalam perjalanan menuju lokasi
Gedung Pemda Karangasem, asap tebal Gunung Agung sudah
terlihat jelas, suara dentuman pun semakin membesar. Sepanjang
perjalanan, taburan abu vulkanik yang pekat berserakan menutupi
aspal dan genteng-genteng perumahan warga. Pandangan mata pun
mulai terbatas.
ilustrasi: djunaedi

72
D i B a w a h B aya n g - B aya n g E r u p s i G u n u n g A g u n g

Di tengah perasaan khawatir, Alfi pun mencoba menanyakan kepada


sang sopir mengenai jalur alternatif tercepat menuju gedung Pemda.
Menanggapi pertanyaan tersebut, sang sopir yang merupakan warga
asli Bali pun spontan menjawab ‘tahu pak’ seraya mengangguk. Sang
sopir lalu tancap gas menyusuri jalur alternatif tercepat menuju lokasi.
Meskipun risikonya berat, tim satgas tetap memutuskan untuk pergi ke
lokasi pertemuan. Bahkan, di tengah perjalanan, kendaraan tim satgas
sempat dihadang beberapa aparat kepolisian. Polisi meminta agar tim
satgas tidak melanjutkan perjalanan, mengingat, jalur alternatif yang
dipilih sopir merupakan jalur aliran larva. Setelah bernegosiasi dan
melihat tanda-tanda alam yang masih memungkinkan, akhirnya polisi
mempersilakan tim satgas melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di Gedung Pemda sekitar pukul 08.00 WITA, tim
satgas langsung diterima oleh Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas
Sumantri dan sejumlah pejabat pemda. Mengingat kondisi Gunung
Agung yang tidak bersahabat, pertemuan tim satgas dengan Bupati
Karangasem dan sejumlah kepala dinas pun tidak bisa lama. Saat itu,
bupati akan mengungsi dan kepala dinas harus standby di pos masing-
masing. Kondisi Gunung Agung yang terus bergemuruh membuat
tim satgas pun harus bergerak cepat. “Kami sempat diskusi dengan
Bupati Karangasem, para kepala dinas, dan anggota DPRD setempat
meskipun dengan perasaan deg-degan. Setelah diskusi singkat dan
sedikit pengarahan, pertemuan diakhiri,” terangnya.
Bahkan, saat tim satgas akan meninggalkan lokasi pertemuan,
terdengar suara dentuman yang sangat keras dari puncak Gunung
Agung. Suasana pun tambah panik dan tim langsung bergerak cepat
meninggalkan lokasi menuju Denpasar. Di tengah perjalanan, saat tim
satgas tengah makan siang, tiba-tiba terdengar informasi jika Gunung
Agung erupsi. Ratusan warga terlihat panik dan berlarian menuju
lokasi yang sudah dipersiapkan pemerintah daerah. Tim yang tengah
makan siang pun langsung tancap gas melanjutkan perjalanan menuju
Denpasar.
Tim Satgas sudah pasrah, jika erupsi terus terjadi dan disusul
letusan, dipastikan tim tidak akan bisa pulang ke Jakarta sesuai
rencana karena semua bandara di sekitar wilayah Gunung Agung akan
ditutup. Namun, Alfi mengaku sangat bersyukur, erupsi Gunung Agung
tidak berkepanjangan. Bertepatan dengan jadwal pulang pada Jumat
malam, Bandara Ngurah Rai dibuka dan tim bisa langsung terbang
menuju Jakarta. Sesampainnya di Jakarta, ternyata Bandara Ngurah

73
Rai Denpasar Bali kembali ditutup karena Gunung Agung meletus.
“Untungnya sudah sampai Jakarta,” kenang Alfi.

Kisah Pohon Sinyal dan Gagap Teknologi


Tim Satgas Korsupgah dalam upaya pencegahan korupsi di sejumlah
daerah terkadang masih dihadapkan dengan sejumlah persoalan yang
mendasar, seperti minimnya infrastruktur, sarana-prasarana yang
kurang memadai, dan keterbatasan kemampuan SDM para pejabat
daerahnya. Kondisi tersebut menuntut tim satgas yang bertugas di
wilayah tersebut melakukan pendekatan yang berbeda, termasuk
membuat terobosan baru tergantung kondisi dan situasi daerahnya.
Kasatgas Nana Mulyana memiliki cerita unik saat bertugas di Nusa
Tenggara Barat (NTB). Sejak awal, tim satgas Korsupgah mendorong
pemerintah daerah supaya menerapkan teknologi berbasis aplikasi.
Tujuannya agar pengawasan dan pencegahan korupsi di sejumlah
daerah bisa lebih efektif dan efisien. Namun, apa jadinya jika di beberapa
kabupaten di Indonesia masih terkendala infrastruktur, khususnya
jaringan telekomunikasi. Jangankan didorong untuk berbasis aplikasi,
untuk berkomunikasi atau mengirimkan pesan Whatsapp (WA) aja
masih kesulitan.
Nana mencontohkan pengalaman unik saat bertugas di salah satu
kabupaten di NTB. Masyarakat setempat jika ingin berkomunikasi,
mengirim pesan atau membaca dan membalas pesan Whatsapp, mereka
harus mendatangi pohon tertentu atau yang disebut ‘pohon sinyal’.
“Jadi kami berhenti dulu di bawah pohon itu baru WA masuk, kan kami
ada WA grup, nggak ada sinyal. Ada satu pohon yang bisa sinyal, jadi
kita di situ, jawabin segala macam pesan masuk,” kata Nana.
Nana juga menceritakan pengalaman menarik lainnya. Saat timnya
berkunjung ke Kabupaten Dompu, NTB, mereka juga mengalami hal
serupa. Bahkan, Nana sempat mengeluhkan langsung kondisi tersebut
ke Bupatinya, Bambang M Yasin, saat bertugas ke kabupaten tersebut.
Nana menceritakan kepada bupati kalau tim satgas sudah membuat
WA grup untuk mempermudah komunikasi dan koordinasi dengan
pejabat pemda. Anehnya, dari sekian kepala dinas dan stake holder
lain yang terdaftar di grup, tidak pernah ada yang merespons.
Mendengar keluhan itu, pak bupati sempat tersenyum simpul.
Bupati menjelaskan, sebenarnya para kepala dinas dan pejabat pemda
lainnya memiliki WA dan bisa baca, tapi mereka tidak bisa membalas
pesan masuk. Bahkan, bupati mengakui jika dirinya sendiri mengalami

74
D i B a w a h B aya n g - B aya n g E r u p s i G u n u n g A g u n g

kesulitan untuk berkoordinasi dengan bawahannya.


Anggota tim lain Alfi juga menceritakan Kondisi serupa saat bertugas
di Kabupaten Bima, NTB. Awalnya, dirinya sempat kesal karena hampir
semua kepala dinas dan jajarannya tidak pernah merespons WA Group
yang dikirimkan tim satgas, tapi mereka membaca pesan masuk yang
diterima. Untuk mengklarifikasi masalah tersebut, tim satgas pun
menyempatkan datang ke Bima dan mengumpulkan sejumlah kepada
dinas setempat.
Dalam pertemuan tersebut, tim satgas mempertanyakan kenapa
para kepala dinas tidak pernah merespons pesan yang dikirimkan
tim satgas melalui WA grup. Ternyata, pertanyaan tim satgas justru
membuat mereka kompak tertawa. Akhirnya, salah satu dari mereka
terus terang jika sejumlah pejabat daerah mayoritas tidak bisa
mengoperasikan WA. Artinya, mereka hanya bisa sebatas membaca
pesan, tapi tidak bisa menjawab pesan masuk.
Tim satgas yang hadir dalam pertemuan tersebut hanya bisa saling
tatap dan geleng-geleng kepala. Tim satgas baru mengetahui jika
pejabat pemda yang tergabung dalam WA grup ternyata tidak bisa
membalas pesan masuk. “Saya nggak tahu pola rekrutmen seperti apa
yang dilakukan kepala daerah untuk merekrut temen-teman kepala
dinas, cuman emang kondisi Indonesia seperti itu,” terang Alfi.
Ternyata, pemerataan pembangunan yang digembor-gemborkan
sejumlah daerah, termasuk pemenuhan kebutuhan jaringan
komunikasi yang baik sekalipun, tidak bisa menjadi jaminan, jika
daerah tersebut otomatis bisa mengikuti perkembangan informasi.
Buktinya, meskipun ada jaringan internet dan komunikasi yang baik,
tapi jika pengampu kebijakan isinya orang-orang tua yang gaptek
teknologi, sulit juga untuk maju. “Gimana coba, kita bilangin tentang
WA saja sudah puyeng, sudah males belajar,” ungkapnya.
Bupati Bima NTB, Indah Damayanti Putri pun mengakui jika sekda
dan sejumlah kepala dinasnya tidak bisa menggunakan WA. Itulah
alasan kenapa para pejabat daerah di kabupaten Bima banyak yang
lebih memilih menggunakan HP konvensional dari pada smartphone.
Kalaupun memakai smartphone, tidak bisa mengoperasikan WA dan
aplikasi media sosial seperti Facebook, Twitter, atapun Instagram.
Sampai-sampai, ibu bupati menginstruksikan kepada seluruh pejabat
pemda agar mengikuti short course mengenai operasional WA dan
media sosial. Hal ini menunjukkan jika kepala daerah juga kesulitan
untuk berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pejabat daerah.

75
“Sampai segitunya di Bima. Ini serius! Mereka benar-benar gaptek
teknologi makanya kita kesulitan untuk koordinasi,” ujarnya.
Sempat timbul pertanyaan, kenapa pejabat daerah ini tidak diganti
saja dengan orang yang lebih kompeten? barangkali ini juga menjadi
pertanyaan banyak pihak, kenapa kepala daerah tetap mempertahankan
posisi pejabat ini. Padahal, banyak pihak mengetahui jika pejabat ini
gaptek teknologi dan sulit diajak koordinasi.
Idealnya, pejabat daerah minimal harus memiliki empat faktor
utama, kompetensi, kualifikasi, kinerja, dan rekam jejak, bukan
melihat dari sisi kedekatan kepala daerah dengan seseorang yang
akan diangkat. Namun, lagi-lagi, mengganti pejabat daerah bukan
perkara yang mudah. Pergantian jabatan diduga kental dengan nuansa
politis karena terafiliasi dengan partai pengusung, disamping faktor
kedekatan dan kekeluargaan yang kental.
Terlepas dari sengkarut tersebut, sebenarnya tim satgas hanya ingin
direspons cepat jika ada informasi yang disampaikan. Minimal, dengan
masuknya tim satgas ke kabupaten tersebut, kebutuhan jaringan
telekomunikasi dan internet segera direalisasikan. Tentu saja, hal ini
guna menunjang komunikasi dan koordinasi antar pejabat daerah dan
stakeholder terkait. “Dengan masuknya kami, kebutuhan jaringan itu
menjadi sangat penting. Mereka akan mikir juga bagaimana biar ada
jaringan telekomunikasi dan internet. Kalau tidak digituin sama pusat,
mereka akan jadi nyaman-nyaman saja karena tanpa teknologi, mereka
bisa dengan tidak dipasangkannya sistem aplikasi yang baik,” kata Nana.
Sampai saat ini masih banyak daerah, khususnya di kabupaten/
kota yang belum menerapkan sistem aplikasi yang memadai. Kondisi
tersebut menjadi hambatan tim satgas saat koordinasi dengan
pemda, DPRD, dan stakeholder terkait di daerah tersebut. Sementara,
pemerintah pusat mendorong tim satgas untuk menerapkan sistem
aplikasi, sementara dari sisi infrastruktur belum merata, dari sisi SDM
pejabat daerah juga banyak yang tidak mau belajar.
Sehingga, jika bicara pencapaian dalam hal pencegahan korupsi di
wilayah tim satgas VI, khususnya di NTT dan NTB, agak berat karena
penerapan aplikasi berbasis elektronik di dua wilayah tersebut masih
tertinggal dari daerah-daerah lain. “Kalau untuk Bali lebih cepat
perkembangannya karena lebih maju penerapan aplikasi berbasis
elektroniknya,” ungkapnya. l

M. Purwadi

76
BERSATU
DAN MENJAGA
KELUARGA KEDUA

B
ekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan sekadar
bekerja. Ini karena menunaikan amanah dari negara-bangsa
Indonesia. Untuk melakukan pemberantasan korupsi,
dibutuhkan dedikasi, determinasi, integritas, dan tanggung jawab di
atas rata-rata. Menjadi insan KPK bukan untuk gagah-gagahan. Bukan
juga untuk mengincar posisi bagus dan lebih tinggi setelah keluar dari
KPK atau pensiun.
Bekerja di KPK merupakan perjuangan. Dalam perjalanannya,
sering kali tidak terikat waktu seperti di kementerian atau lembaga
kebanyakan. Karenanya berjuang melalui KPK membutuhkan ekstra
waktu, ekstra tenaga, juga ekstra perasaan. Betapa tidak, dalam satu
pekan bisa dihitung waktu yang bisa diberikan dan dibagi untuk
keluarga di kediaman. Menginap di kantor KPK juga sudah biasa.
Demikian juga yang dirasakan dan dilakukan tim satuan tugas atau
Tim Koordinasi Supervisi Pencegahan (Korsupgah) untuk 9 Koordinasi
Wilayah (Korwil). Tim Korsupgah sering kali dalam satu pekan sekitar
99 persen hari ada di daerah. Saat pulang Sabtu atau Minggu misalnya,
sehari setelahnya sudah harus terjun lagi ke lapangan. Senyampang
dengan itu, bekerja di KPK ditambah tempat tugas di daerah, ibarat
rumah kedua dan personel Tim Korsupgah laksana keluarga baru yang
tidak terpisah.

Waktu untuk Keluarga


Ketua Tim Korsupgah pada Korwil III, Dian Patria mengungkapkan,
dalam satu pekan memang waktu bekerja di KPK hingga saat bertugas
di wilayah atau daerah sangat penuh. Sejak pertama kali masuk di KPK
melalui jalur ‘Indonesia Memanggil Satu’ (IM 1) dan mulai bekerja pada 16
Desember 2005, sudah diberitahukan dan berkomitmen bahwa ketika
masuk KPK berarti waktu akan banyak tersita, hingga kemungkinan
adanya teror dan ancaman. “Saya masuk ‘Indonesia Memanggil Satu’

77
angkatan pertama itu masih 120 orang, dengan yang sudah lebih dulu
ada di dalam mungkin sekitar 170. Saya milih langsung di Direktorat
Litbang dan sampai sekarang juga di Litbang. Sejak awal masuk kami
sudah berkomitmen waktu termasuk kemungkinan-kemungkinan
ancaman, dan segala macam,” tutur Dian.
Sebagai informasi, Korwil III membawahi wilayah DKI Jakarta,
Lampung, Gorontalo, Kementerian, dan Lembaga. Di tahun 2018, Dian
juga merupakan Ketua Tim Korsupgah Wilayah III.
Selain itu, Dian menjadi Ketua Tim Kajian Sumber Daya Alam
pada Bidang Kehutanan (2009), Koordinator Tim Sumber Daya
Alam Direktorat Litbang KPK (2013 hingga kini), anggota Tim Satuan
Tugas Monitoring dan Evaluasi Nota Kesepahaman Bersama (NKB)
13 Kementerian dan Lembaga tentang Kawasan Hutan (2013), Ketua
Tim Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA)
Kedeputian Pencegahan KPK (Maret 2015-hingga kini), dan Ketua Tim
Optimalisasi Penerimaan Daerah pada Kedeputian Pencegahan KPK
(2017).
Dian melanjutkan, saat bertugas terutama berada daerah acap kali
dan selalu ada rasa kangen anak. Untuk mengakalinya, Dian berusaha
menelepon melalui aplikasi Skype atau WhatsApp. Saat waktu liburan
atau ketika akhir pekan saat berada di rumah, Dian mengajak anak dan
istrinya untuk liburan dan wisata. “Jadi kami keluar bepergian dengan
keluarga ya bepergian kita ramai-ramai. Untuk ajak keluarga bepergian
saya kadang ambil cuti, ambil cuti setahun bisa tiga kali. Kan istri dan
anak saya tidak bisa ikut kalau saya lagi bertugas, karena aturan KPK
yang melarang. Kalau (misalnya) istri saya ikut itu melanggar SOP
(Standar Operasional Prosedur) di sini (KPK),” ungkapnya.
Dia menuturkan, sang istri yang bekerja di bidang sosial entrepreneur
juga sering bertugas ke luar daerah dan luar negeri. Hanya untuk sang
istri ketika ke luar negeri bisa mengajak anak-anak sambil kerja. Dian
membeberkan, sang istri sebenarnya sudah sejak awal memahami
pekerjaan dan tugas yang diemban Dian di KPK. “Istri saya kan bekerja
di bidang sosial entrepreneur, sehingga sudah saling tahu sama tahu
lah bahwa apa yang kita perbuat untuk kebaikan. Istri saya kan juga ke
pelosok-pelosok, ke petani, ke pedesaan,” ujarnya.
Senada dengan Dian, anggota tim korsupgah yang menangani
wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun 2018, Dwi Yanti
mengungkapkan, saat ditugaskan di pencegahan dia secara otomatis
harus benar-benar belajar semua aspek. Hal ini berbeda semasa

78
BERSATU D AN MENJAGA KE L UARGA KE D UA

Yanti sebelumnya di Direktorat Pengaduan Masyarakat yang hanya


mempelajari kasus.
Sebelum, saat, dan setelah turun ke lapangan sebagai anggota
Tim Korsupgah, Yanti harus mempelajari di antaranya proses
hingga ketimpangan penyusunan anggaran, aspek tata kelola dan
pelaksanaan, hingga berbagai peraturan tingkat pusat, kementerian,
lembaga, hingga pemerintah daerah.
Tim Korsupgah pada 9 Korwil pun memiliki grup media sosial
yang di sini bisa selalu saling berbagi tentang berbagai hal termasuk
misalnya aturan baru yang sehubungan dengan langkah pencegahan
yang dilakukan. Selama bertugas sebagai anggota Tim Korsupgah,
maka Yanti ternyata harus mencuri-curi waktu guna menyusun
perkembangan dan laporan tugasnya. Dia bersama Tim Korsupgah
melihat dan menemukan ada banyak regulasi yang ternyata tumpang
tindih.
Yanti mengungkapkan, saat ini dia bertugas di Direktorat LHKPN.
Semasa bertugas sebagai anggota Tim Korsupgah, Yanti berujar, waktu
dan ritme kerjanya sangat padat. Bahkan waktu yang diluangkan untuk
keluarga pun acap kali sangat sedikit. Ini berbeda dengan saat Yanti
bertugas di Direktorat Pengaduan Masyarakat maupun di Direktorat
LHKPN. “Saya di sini (Direktorat LHKPN) Sabtu dan Minggu masih bisa
urusan rumah tangga dan keluarga. Di Korsupgah Sabtu dan Minggu
saya belajar, saya harus mengejar. Sampai-sampai adik saya protes
karena gak bisa jalan-jalan. Bersyukurnya, ilmu banyak banget di
Korsupgah, saya bisa belajar. Dapat banyak ilmu yang kami bisa share
sama (ke) masyarakat,” ungkap Yanti.

Dekat dan Keluarga Kedua


Wakil Ketua KPK, Laode Muhamad Syarif menuturkan, suasana
kerja di KPK memang diciptakan egaliter. Pimpinan KPK periode
2015-2019 juga membangun komunikasi personal dan antar-personal
dengan seluruh insan di KPK termasuk di dalamnya jajaran Kedeputian
Pencegahan, wabil khusus Tim Korsupgah pada 9 Korwil. Satu contoh
utama yakni dari sisi lima pimpinan KPK. Di era pimpinan KPK periode
2015-2019 tidak ada pembagian tugas untuk wakil ketua fokus bidang
pencegahan dan penindakan sebagai pimpinan KPK periode-periode
sebelumnya.
Dengan tidak adanya pembagian seperti itu, semua pimpinan
bertanggungjawab penuh serta termasuk harus siap turun ke daerah,

79
kementerian, lembaga, dan instansi bersama Tim Korsupgah. Bahkan
Syarif sering kali turun ke wilayah atau daerah saat pelaksanaan
berbagai kegiatan korsup penindakan dan pencegahan terintegrasi.
“Lebih bagus begitu. Jadi semuanya turun. Dan, saya suka turun ke
daerah (untuk kegiatan korsupgah) “ ucap Syarif.
Syarif mengungkapkan, selama berada di KPK, memang dia dekat
dengan para personel di Kedeputian Penindakan dan Pencegahan
termasuk jajaran 9 Korwil. Kedekatan tersebut, menurut dia, sebenar­
nya tidak datang tiba-tiba khususnya dengan jajaran Kedeputian
Pencegahan. Sebelum di KPK, Syarif merupakan mantan Senior Adviser
on Justice and Environmental Governance di Partnership for Governance
Reform (Kemitraan), serta sering menggalang dukungan dari sektor
civitas akademika perguruan tinggi/universitas untuk KPK.

KPK dan kantornya bukan


sekadar tempat bekerja. Para insan
di dalamnya pun bukan semata
kolega dan teman kerja.
Suasana kekeluargaan yang ada
menciptakan keluarga kedua.
Karenanya, KPK adalah rumah yang
harus terus dijaga bersama.

Mengenal lama dan kedekatan disertai suasana kerja yang egaliter


kemudian tercipta suasana laksana sebuah keluarga. Meski begitu,
sebagai pimpinan KPK, dirinya tetap memberikan kritik kepada para
personel Kedeputian Pencegahan termasuk untuk Tim Korsupgah
pada 9 Korwil. “Saya kenal dari dulu. Jadi kan jauh sebelum di KPK
saya sudah main sama mereka. Jadi ya saya agak dekat. Saya ya dekat
dengan mereka bahwa saya saat di KPK juga menyampaikan kritik
terhadap mereka,” tutur Syarif.
Dian Patria tersenyum dan memutar kembali ingatannya saat
disinggung tentang ritme kerja dan suasana kerja kekeluargaan yang
ada dan dibangun di KPK, terutama di Kedeputian Pencegahan.

80
BERSATU D AN MENJAGA KE L UARGA KE D UA

Beberapa detik Dian menarik nafas.


Dian bertanya kembali maksud kekeluargaan tersebut. Saat
dijelaskan konteks suasana kekeluargaan tersebut, juga terkait
kedekatan hingga saling menjaga dan mengingatkan, khususnya di
lingkungan Kedeputian Pencegahan dan Tim Korsupgah. “Secara
umum kami suasana di KPK kan memang saling menjaga. Kami juga
kan saling mengingatkan. Makanya kalau mau pergi kan nggak boleh
sendiri kan harus ada yang dampingi, apalagi bertemu pihak ketiga
dan sebagainya. Jadi saling mengingatkan,” tutur Dian.
Dia mengungkapkan, dengan banyaknya waktu yang dihabiskan
di kantor KPK maupun wilayah/daerah tugas oleh para personel KPK
termasuk Kedeputian Pencegahan, khususnya Tim Korsupgah, maka
tentu berimbas pada intensitas pertemuan antara tim di setiap Korwil.
Dengan sendiri para personel akan mampu menyatu dan bersatu.
Bahkan Dian mengakui jika diibaratkan para personelnya menjadi
satu keluarga. “Jadi otomatis menjadi bagian dari satu keluarga.
Kalau bukan jadi bagian dari keluarga kan kami agak sulit ya. Tetapi
kalau kami bicara keluarga, komunitas, KPK kan tidak hanya kami
sebenarnya (menjaga hubungan baik) tapi mitra-mitra kami kan.
Mitra-mitra kan yang penting juga sebenarnya (untuk dijaga hubungan
baik),” tegasnya.
Meski suasana kerja dibangun dengan suasana kekeluargaan,
menurut Dian, khusus di Kedeputian Pencegahan harus dilihat
kembali kompetensi di masing-masing direktorat mulai dari Direktorat
Litbang, Direktorat Dikyanmas, hingga Direktorat Pendaftaran dan
Pemeriksaan LHKPN. Jangan sampai setiap direktorat dilemahkan
dengan cara menggeser orang dari direktorat satu ke direktorat lain
tanpa memperhatikan kompetensi dan kesinambungan kinerja setiap
direktorat.
Febri Diansyah juga punya cerita tentang suasana kerja dan
kekeluargaan di Kedeputian Pencegahan termasuk yang dibangun
Tim Satgas Pencegahan atau Tim Korsupgah. Semasa menjadi pegawai
fungsional pada Direktorat Gratifikasi KPK kurun tahun 2013-2016,
Febri menuturkan, sistem kerja di KPK memang sejak awal dibuat,
diciptakan, dan dijalankan secara egaliter dan dengan suasana
kekeluargaan. Bahkan para insan di KPK ibarat sebuah keluarga.
“Kalau di KPK memang begitu hubungan personalnya, terutama di
(Kedeputian) Pencegahan,” ujar Febri.
Saat pertama kali masuk di Kedeputian Pencegahan, Febri

81
mengungkapkan, sebagai ‘anak baru’ maka diajari dan dibimbing serta
diberikan materi-materi tentang pencegahan hingga tugas, fungsi,
tanggung jawab, dan kerja di Kedeputian Pencegahan dan direktorat.
Bahkan khusus di Direktorat Gratifikasi diberikan pembekalan
atas gratifikasi ‘hijau’ dan ‘merah’. Hijau bermakna masuk aspek
pencegahan dan merah berarti masuk kategori penindakan.
Soal penciptaan suasana kerja kekeluargaan, Febri mengungkapkan,
ada satu cerita lain. Yang paling Febri rasakan semasa di Direktorat
Gratifikasi yakni ada sebuah meja yang diletakkan snack atau makanan-
makanan kecil yang dibawa dari penugasan di daerah-daerah.
Makanan seperti itu bagi jajaran Direktorat Gratifikasi bukanlah bagian
dari gratifikasi. “Itu bisa dinikmati bersama. Meja itu adalah meja yang
clear dan bisa digunakan bersama-sama,” tuturnya.
Sejak 6 Desember 2016 hingga kini, Febri memegang amanah sebagai
Kepala Biro Humas ex-officio Juru Bicara KPK.
Dia mengakui, kalau bicara tentang ekstra waktu, ekstra tenaga,
ekstra perasaan hingga menginap di KPK ataupun berada di daerah
dalam jangka waktu yang lama dan terpisah dari keluarga memang
selalu dialami dan dirasakan para personel Kedeputian Pencegahan,
terutama Tim Korsupgah di 9 Korwil. Sebenarnya untuk mengantisipasi
kekurangan waktu personel Tim Korsupgah dengan keluarga, maka
sebaiknya dipikirkan ulang dan segera dibentuk kantor-kantor
perwakilan KPK secara defenitif dengan menjadikan 9 Korwil sebagai
pijakan. “Itu memang harus dipikirkan ke depan, dengan melihat
banyaknya waktu Tim Korsupgah di wilayah masing-masing,” ucap
Febri.
KPK dan kantornya bukan sekadar tempat bekerja. Para insan
di dalamnya pun bukan semata kolega dan teman kerja. Suasana
kekeluargaan yang ada menciptakan keluarga kedua. Karenanya, KPK
adalah rumah yang harus terus dijaga bersama. Sebagai satu keluarga,
maka tidak perlu merasa siapa paling unggul, tapi berbagi dan saling
menjaga. Dengan tetap mengingat di kediaman masih ada keluarga
yang perlu dan mesti dibagi waktu, kesempatan, jiwa, raga, dan rasa. l

Sabir Laluhu

82
bab 3

MENJAGA
ASA TERUS
MENYALA

83
Berbenah
Menutup
Lubang Rasuah
Ke Labuhanbatu naik Sribilah
Makan ikan baung dengan kolat
Korupsi harus kita cegah
Jika badung akan kita sikat

I
TULAH sebait pantun Juliawan Superani saat memberi sambutan
dalam acara monitoring dan evaluasi di Kabupaten Labuhanbatu,
Sumatera Utara, sekitar Juni 2018. Saban bertugas di Sumatera
Utara, mengucap pantun dalam setiap pidato menjadi suatu keharusan
bagi Ketua Satuan Tugas 1 Koordinasi Supervisi Pencegahan Komisi
Pemberantasan Korupsi tersebut karena para kepala daerah di sana
juga selalu membuka sambutan dengan sanjak. “Kalimat terakhir
tidak begitu nyambung, tapi nadanya agak mengancam,” ujar Juliawan
sembari tertawa pada pertengahan Januari 2019.
Mendengar pantun Juliawan, semua hadirin termasuk Bupati
Labuhanbatu Pangonal Harahap tertawa dan riuh tepuk tangan.
“Katanya, wah bagus, cocok.” Namun, tak sampai sebulan pasca-
kunjungan tim Koordinasi Supervisi Bidang Pencegahan tersebut,
pantun impromptu sebagai bahan canda-tawa para hadirin itu
benar-benar terjadi. Tim penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi
menangkap Bupati Pangonal serta beberapa orang lain karena terlibat
kasus penyuapan sejumlah Rp 3 miliar terkait proyek-proyek di
Labuhanbatu pada Juli 2018 lalu.
Sesungguhnya, Juliawan saat itu tidak tahu jika tim penindakan KPK
sedang memantau Bupati Pangonal. “Pantun saya itu hanya wanti-wanti
saja,” ujarnya. Tiap ke daerah, Juliawan selalu menegaskan, meski tim
pecegahan KPK sedang mendampingi suatu kabupaten/kota/provinsi,
hal itu tak menjamin bagian penindakan tidak memantau di sana.
Juliawan dan timnya yang terdiri atas Azriel Syah, Ardiansyah,

84
Berben a h Menutup Luba ng R a sua h

Tim Pencegahan KPK saat monitoring dan evaluasi di Kabupaten


Labuhanbatu.

Harun Hidayat, Tri Haryati, memang kerap bersirobok dengan tim


penindakan saat di lapangan. Sebab, Sumatera Utara merupakan salah
satu daerah yang rawan korupsi. Sumatera Utara bersama Banten dan
Riau termasuk tiga provinsi prioritas yang mendapat pendampingan
dari tim Korsupgah sejak 2016 lalu. Kala itu, KPK meringkus Gubernur
Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho yang terlibat perkara suap
untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam pengesahan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta korupsi dana bantuan
sosial.
Selain Gubernur Gatot, rombongan 38 anggota legislatif turut
menjadi pesakitan di KPK. Sebelum era Gatot, tim KPK juga menangkap
Gubernur Sumatera Utara periode 2009-2014 Syamsul Arifin, Wali Kota
Medan 2002-2006 Abdillah dan wakilnya Ramli Lubis, Bupati Nias
2006-2011 Binahati Benedictus Baeha, Bupati Nias Selatan 2006-2011
Fahuwusa Laia, Wali Kota Siantar 2005-2010 Robert Edison Siahaan,

85
dan lainnya.
Masifnya penindakan terhadap pejabat di wilayah Provinsi Sumatera
Utara membuat KPK turut membenahi seluruh sistem di provinsi
dengan penduduk terbanyak ke empat se-Indonesia itu (Badan Pusat
Statistik 2016). Kementerian Dalam Negeri juga mendampingi mereka.
Saat pertama kali masuk, KPK yang terdiri atas tim penindakan dan
pencegahan itu tercengang karena buruknya sistem manajemen
pemerintahan di sana.
Ada sekitar 10 penyidik dan tim pencegahan yang ditugaskan. Mereka
awalnya gelar perkara untuk membedah persoalan yang terjadi di sana,
mulai dari mengecek profil daerah, mencari titik kelemahan sistem
yang menjadi celah korupsi, serta lainnya. Tim lembaga antirasuah
menemukan banyaknya penyimpangan dana bantuan sosial untuk
organisasi kepemudaan. Mereka juga membedah penggelembungan
pendapatan yang muskil direalisasikan. “Pendapatan di mark-up besar
sekali supaya penyusunan APBD bisa gede,” kata Azriel.
Setelah menemukan beberapa persoalan itu, KPK didampingi
tim Kementerian Dalam Negeri, Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, serta Badan Pemeriksa Keuangan mengumpulkan
seluruh jajaran pejabat di wilayah Sumatera Utara. Dalam pertemuan
itu, tim penyidik KPK yang dipimpin Ambarita Damanik memberikan
peringatan keras. “Kalau kalian tidak mau berubah, kami tangkap!”
kata pria yang lahir di Sumatera Utara itu.
Damanik juga menyampaikan sejak ia lahir hingga sekarang, Sumatera
Utara tidak pernah menjadi baik. “Semenjak menjadi manusia di sini,
Sumut tidak ada yang beres. Harus kita bereskan bersama-sama,” ujar
Damanik. Mendengar pernyataan keras Damanik itu, para pejabat
di sana yang mayoritas sudah pernah diperiksa sebagai saksi dalam
kasus Gubernur Gatot pun pasrah. “Bapak kan sudah tahu apa masalah
di sini. Apa yang Bapak mau, kami ikut saja,” kata Azriel menirukan
ucapan para pejabat Sumatera Utara.
Tim KPK berkantor di Sumatera Utara selama dua pekan. Mereka
rapat secara marathon bersama gubernur, sekretaris daerah, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dan para kepala dinas
beserta jajarannya. “Dulu gak ada sistem satu pun di sana, semuanya
manual,” ujar Azriel. Rencana yang disusun Bappeda di-print manual
dan banyak rincian APBD yang di-stabilo. “Kami bilang ini harus
berubah pakai sistem,” kata Juliawan.
KPK pun mencontohkan kesuksesan Pemerintah Kota Surabaya, Jawa

86
Berben a h Menutup Luba ng R a sua h

Timur, yang telah menerapkan e-Government. Sistem ini dibangun


Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sejak 2002 silam kala dia masih
menjabat sebagai Kepala Bagian Bina Pembangunan. Sistem yang
dimiliki Surabaya awalnya berupa e-Procurement dan e-Budgeting.
E-Procurement adalah aplikasi untuk memudahkan kinerja monitoring
pelaksanaan kegiatan pembangunan melalui proyek-proyek yang
ada. Sedangkan e-Budgeting merupakan sistem untuk penyusunan
anggaran.
Ada juga e-Planning untuk menyusun perencanaan dan pengelolaan
keuangan daerah. “Kami bertemu Bu Risma, meminta izin untuk meng-
copy sistemnya untuk dibawa ke Sumatera Utara,” ucap Juliawan.
Komisi antikorupsi mendorong Pemerintah Provinsi Sumatera Utara
mengimplementasikan aplikasi tersebut. Pada akhir 2016, pemerintah
Sumatera Utara bisa menyusun perencanaan melalui aplikasi
e-Planning itu dengan meniru Surabaya.
Pelan tapi pasti. KPK juga membenahi sistem perizinan. Awalnya
pengurusan perizinan harus melalui persetujuan gubernur. Seluruh
dokumen juga masih menggunakan fotokopian. Pemerintah provinsi
sempat menolak saat kewenangan perizinan ini diminta untuk
dilimpahkan ke Kepala Unit Pelayanan Daerah. Pergerakan pemerintah
provinsi lamban. Dengan pendekatan persuasif ke gubernur yang
baru, akhirnya sistem perizinan Sumatera Utara bisa diubah. Kali ini,
KPK mengadopsi sistem perizinan milik pemerintah Kota Bandung,
Jawa Barat.
Mereka juga mendorong eksekutif maupun legislatif Provinsi
Sumatera Utara untuk membuat Peraturan Daerah tentang Rancangan
Tata Ruang Wilayah. Sebab, isu pencaplokan lahan di Sumatera Utara
sangat marak. “Akhirnya RTRW selesai 2017,” kata Azriel. Sektor
lain yang membetot perhatian tim KPK adalah pembenahan sistem
kepegawaian. Dulu di setiap acara ada kepanitian sehingga Pegawai
Negeri Sipil yang terlibat selalu menerima honor tambahan. Bahkan,
Sekretaris Daerah dalam setahun bisa mengantongi honor tambahan
sekitar Rp 200 juta.
Mulanya, honor tambahan ini sebagai stimulus supaya para amtenar
ini bersemangat. Namun honor tambahan ini justru menggerogoti
APBD. Karena itu, sistem honor ini dihapus. KPK bersama Kementerian
Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi kemudian
merumuskan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) berdasarkan
kinerja. “Jadi kami tidak hanya maksa-maksa mereka, tapi juga ada

87
reward-nya,” ujar Juliawan.
Meski banyak yang sudah berhasil diubah, namun ada juga sistem
yang perlu dibenahi lagi seperti sektor pengadaan. Tim KPK masih
banyak mendapat laporan mengenai permasalahan pengadaan di
sana. Dengan segala pembenahan serta beberapa kekurangan itu,
pencapaian Provinsi Sumatera Utara dalam progres Rencana Aksi
Korsupgah yang dilakukan di delapan area intervensi (Monitoring
Centre for Prevention) hanya 59 persen. Angka ini terpaut 1 persen di
atas pencapaian nasional. Sistem Monitoring Centre for Prevention
ini memberikan informasi capaian kinerja program koordinasi dan
supervisi pencegahan korupsi yang dilaksanakan seluruh pemerintah
daerah di Indonesia.

ProGreS
59% renaKSi KorSuPGaH
Sumatera utara
2018
Sebaran wilayaH KorSuPGaH

0%-25% >25%-50% >50%-75% >75%-100%

88
berben a H menutuP Luba ng r a sua H

ProGreS renaKSi
58% KorSuPGaH naSional
2018
Sebaran wilayaH KorSuPGaH

0%-25% >25%-50% >50%-75% >75%-100%

ProGreS area interVenSi


perenCanaan dan pelaYanan manajemen optimalisasi
penganggaran terpadu asn pendapatan
apbd satu pintu daerah

PROgRES 62% 66% 45% 38%


BOBOT 20% 15% 15% 11%

pengadaan kapabilitas dana desa manajemen


barang dan jasa apip aset daerah

51% 60% 69% 71%


15% 15% 5% 5%

89
progres manajemen asn
kepatuhan lhkpn tersedianya regulasi lhkpn

87
kepatuhan lhkpn terbentuknya unit lhkpn

85
kepatuhan gratifikasi tersedianya regulasi pengendalian gratifikasi

84
kepatuhan gratifikasi terbentuknya unit pengendali gratifikasi

78
kepatuhan lhkpn kepatuhan pelaporan lhkpn

60
implementasi tpp terselesaikannya seluruh hasil skor evaluasi jabatan

49
impementasi tpp disahkannya peraturan tpp sesuai permenpan 34 tahun 2011

34
implementasi tpp skor evaluasi jabatan telah selesai divalidasi kemenpan

33
implementasi tpp tersedianya aplikasi penilaian kinerja pegawai

29
kepatuhan gratifikasi kepatuhan pelaporan gratifikasi

26

90
berben a H menutuP Luba ng r a sua H

ProGreS renaKSi
35% KorSuPGaH naSional
2019
Sebaran wilayaH KorSuPGaH

0%-25% >25%-50% >50%-75% >75%-100%

ProGreS area interVenSi


perenCanaan dan pelaYanan manajemen optimalisasi
penganggaran terpadu asn pendapatan
apbd satu pintu daerah

44% 47% 29% 40%

pengadaan kapabilitas dana desa manajemen


barang dan jasa apip aset daerah

22% 23% 26% 14%

91
progres pelayanan terpadu
satu pintu

pendelegasian kewenangan (100% dilimpahkan ke dpmptsp)

46
transparansi informasi

70
pelaksanaan rekomendasi teknis

56
tracking system

60
penanganan pengaduan

60
lokasi dan tempat layanan

79
ketersediaan aturan

73
penerapan e-signature

17
pemenuhan kewajiban pemohon perizinan

19
sistem perizinan online

32
pengendalian dan pengawasan

22

92
Berben a h Menutup Luba ng R a sua h

Gubernur Sumatera Utara yang baru terpilih purnawirawan Letnan


Jenderal Edy Rahmayadi sigap mengundang tim Korsupgah KPK.
Dia meminta lembaga antirasuah menjelaskan persoalan yang ada
di sana mulai dari cara pencegahan korupsi, mekanisme pengadaan,
hingga laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). “Pak
Gubernur ingin KPK mendampingi pemerintah yang baru ini. Dia ingin
tahu situasi di sana dan memperbaikinya,” kata Azriel.

Gandrung Seremonial
Bertugas di wilayah Sumatera Utara harus siap-siap dengan
banyaknya acara selebrasi. Juliawan Superani agak kaget saat pertama
kali pada awal 2017 bertugas di tim koordinasi dan pencegahan supervisi
ini karena banyaknya undangan menghadiri acara peluncuran aplikasi
seperti e-planning, perizinan, dan lainnya. Ketua Tim Satuan Tugas 1
yang membawahi wilayah Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan
Bangka Belitung itu awalnya bertugas di Pengaduan Masyarakat tim
tertutup pengumpulan bahan keterangan untuk memantau operasi
tangkap tangan.
Jika biasanya dia harus menjaga jarak dengan para pejabat daerah
dan bahkan menyamar, kali ini Juliawan malah harus akrab dan
bersinggungan dengan para pegawai pemerintah yang dulu pernah
menjadi target operasinya itu. Dia juga harus menghadiri seremonial
dari satu kabupaten berganti kabupaten lainnya. “Kami tidak yakin
mereka akan mengimplementasikan aplikasi itu. Asal lauching saja,”
ujarnya.
Banyaknya undangan perayaan itu membuat Deputi Pencegahan
Pahala Nainggolan membuat ketentuan baru agar tim Korupgah tak
perlu mengadiri acara seremonial. Sebagai orang yang lahir di Sumatera
Utara, Pahala mahfum warga sana memang gandrung seremonial.
“Akhirnya kami mengurangi yang berbau seremonial,” kata Juliawan.

Banyak Aduan di Sektor Pengadaan


Selain Sumatera Utara, tim Satuan Tugas 1 bertugas di wilayah
Sumatera Barat, Aceh, dan Bangka Belitung. Lima orang tim Satgas 1
ini membawahi 78 pemerintah kabupaten/kota/provinsi. Salah satu
anggota tim satgas, Azriel Syah mengatakan karakter korupsi di daerah-
daerah tersebut hampir sama, yakni marak di sektor pengadaan dan
jual-beli jabatan.
Dia bersama tim kerap mendapat aduan. Jika datanya lengkap, tim

93
pencegahan pasti meneruskan ke Pengaduan dan Masyarakat (Dumas).
Sayangnya, acapkali info-info tersebut cekak bukti. Untuk meredam
tingginya korupsi di sektor tersebut, tim pencegahan berusaha untuk
terus mengingatkan para pejabat daerah. “Kami ingatkan saja, kami
tahu masalahnya ini semua. Bapak/Ibu dapat jabatan itu bayarnya
berapa, kami tahu,” kata Azriel menirukan kembali ucapannya saat
mengisi acara monitoring dan evaluasi di beberapa wilayah.
Jika informasi jual-beli jabatan itu tak ditindaklanjuti, ia khawatir
nantinya para pegawai daerah bisa apatis. “Jadi semua informasi kami
trigger,” ujarnya. Pengaduan mengenai jual-beli jabatan ini paling
banyak terjadi di wilayah Sumatera Barat.
Adapun di Aceh, tim Satgas 1 mempunyai tugas tambahan
memelototi Dana Otonomi Khusus. Azriel mengatakan tim KPK masuk
ke Aceh sejak pertengahan 2016. Kendala utama program pencegahan
di Serambi Mekah itu yakni personil daerah yang kerap berganti. “Ini
berpengaruh terhadap program,” ujarnya. Tim KPK pun menggandeng
sejumlah lembaga swadaya masyarakat sana untuk berbagi info/data
mengenai segala persoalan pemerintah. “MCP Aceh paling rendah
pencapaiannya karena seringnya perubahan personil itu. Pejabat yang
baru tidak tahu program yang telah kami susun sebelumnya, harus
mengulang lagi,” kata Azriel. Penjelasan mengenai MCP Aceh dan
disandingkan dengan MCP Sumatera Barat. Masuk juga MCP Bangka
Belitung, provinsi terakhir yang gabung korsupgah.
Isu yang kerap menjadi perbincangan di Bangka Belitung mengenai
perizinan tambang timah. Menurut Juliawan, masyarakat di sana
berfokus pada peraturan daerah mengenai rencana zonasi wilayah
pantai dan pesisir. Mereka berharap Belitung yang sudah terkenal
sebagai kawasan pariwisata itu tidak dibuka perizinan untuk
pertambangan. “Aspirasi masyarakat, di situ harus tetap pantai,” ujar
Juliawan. Sedangkan wilayah Bangka sudah terlanjur basah banyak
lubang galian tambang.
Berbagai karakter korupsi di masing-masing daerah tersebut,
menurut Juliawan, tim pencegahan ibarat tukang kunci. Dia menukil
cerita berbahasa Inggris yang barangkali cocok dengan peran tim
pencegahan dan KPK saat ini. Cuplikan ini juga pernah dimuat di buku
Jurnalis Tiang Bendera. Inti dari cerita itu adalah, seorang tukang
kunci bercerita ke salah satu pelanggannya bahwa kunci yang ada di
pintu hanya untuk menjaga orang jujur tetap jujur. Hanya 1 persen
orang yang tetap jujur dan tidak mencuri. Satu persen lainnya akan

94
Berben a h Menutup Luba ng R a sua h

selalu tidak jujur dan berupaya terus mencuri. Sedangkan 98 persen


orang lainnya akan menjadi tidak jujur jika ada kesempatan. “Saya
berpikir, pencegahan ke situ juga larinya. Sebenarnya orangnya baik,
tapi karena ada kesempatan, dia melakukan korupsi. Nah, ini tugas
pencegahan, kami harus menutup celah itu,” kata Juliawan. l

Rajapatni Merakesumba

95
Jalan Terjal
di Bumi
Cenderawasih

M
eja anggota Koordinator Wilayah 8 Satuan Tugas Pencegahan
Komisi Pemberantasan Korupsi, Rendra Aji Risakson, dikeru­
bungi dua pria paruh baya. Mereka bersawala soal data aset
bermasalah milik daerah.
“Pak, kan kemarin saya bilang, tolong diperbaiki datanya. Ini masih
enggak detail,” kata Rendra.
“Haduh, salah lagi..” kata pria berkemeja putih. Mukanya tersenyum.
Namun rautnya kebingungan.
Seorang pria berkemeja biru motif kotak-kotak menghampiri meja
Rendra. “Pak, sepertinya flasdisknya salah,” ujarnya kepada Rendra.
“Iya, saya kan kemarin minta detail. Data ini mestinya diperbaiki.
Tapi ini yang dikasih ke saya datanya sama cuma ditambah tiga slide,”
Rendra mengeluh.
“Iya Pak,” ujar pria berkemeja putih lagi. “Haduh.. Pagi-pagi sudah
pusing.” Pria itu berlalu.
Rendra hanya geleng-geleng kepala. “Susah banget koordinasi di
sini,” katanya. Lirih. Sesungguhnya ia agak jengkel karena harus
berulang kali menjelaskan.
Pagi itu, 12 April 2019, Rendra bertugas sebagai operator rapat
koordinasi evaluasi monitoring pencegahan korupsi di kantor Gubernur
Papua Barat. Ada 58 pejabat pemerintah daerah yang sudah duduk
membentuk formasi U di tengah ruang rapat. Selain mengevaluasi
capaian pemerintah daerah, rapat hari itu juga membahas optimalisasi
pendapatan daerah melalui rencana penertiban aset milik daerah.
Karena ada agenda pembahasan soal aset itu, Rendra meminta
kepada perwakilan pemda untuk disiapkan data mengenai aset yang
masih bermasalah. Namun, hingga rapat dimulai, data yang diminta
tak sesuai harapan. Alih-alih memberikan rincian data aset milik
daerah, petugas daerah hanya memberikan data umum jumlah aset

96
Ja l a n Ter ja l di Bumi Cender awa sih

Koordinator Tim Korsupgah KPK, Marulitua, saat melakukan peninjauan


ke salah satu sekolah di Provinsi Papua Barat.

tetap Provinsi Papua Barat.


Data di tangan Rendra itu menunjukkan aset milik pemerintah
daerah Papua Barat adalah sebesar Rp 13,25 triliun per akhir tahun
2018. Aset itu terdiri dari: tanah; peralatan dan mesin; gedung dan
bangunan; jalan; irigasi dan jaringan; konstruksi dalam pengerjaan;
serta aset lainnya. Meski begitu, tak semua aset memiliki sertifikat.
Dari 344 tanah yang terdaftar, hanya 22 tanah yang memiliki
sertifikat. Sebanyak 3 aset sedang dalam proses pembuatan sertifikat,
dan 1 tanah berupa timbunan. Sementara itu, dari 3.415 kendaraan yang
terdaftar, hanya ada 2.605 yang sudah dilengkapi nama kepemilikan.
Sisanya belum jelas kepemilikannya. Data itu juga menyebut ada 30
kendaraan yang dikuasai pihak ketiga.
Hari sebelumnya, penanggung jawab Tim Korsupgah Wilayah 8
Maruli Tua bercerita bahwa penataan aset milik daerah Papua Barat
semrawut. Menurut pria yang akrab disapa Bob ini, pemerintah daerah
Papua Barat di masa lalu malas menerbitkan surat keputusan pinjam
pakai, sehingga administrasi berantakan.
Pemerintah tak memiliki bukti kuat untuk mengambil kembali aset

97
tersebut. Banyak pejabat yang menguasai lebih dari satu kendaraan
dinas. Bahkan, ada yang menjual aset negara yang dipinjamkan
kepadanya ke pihak lain. Tak heran Papua Barat mendapat nilai nol
pada indikator manajemen aset di Monitoring Centre of Prevention
(MCP).
Tak adanya pencatatan yang rinci mengakibatkan aset-aset itu rawan
disengketakan. Banyak aparatur sipil negara yang mengklaim aset itu
miliknya karena sudah berkontribusi dalam pemeliharaan. “Mereka
marasa sudah ganti ban, ganti spare part. Kalau mau ditarik pemda
harus ganti dulu. Padahal biaya perawatan kan ada di organisasi
perangkat daerah. Mestinya tidak ada pembenaran kalau mereka pakai
uang pribadi,” kata Bob.
Selain tanah dan kendaraan, banyak rumah dinas anggota dewan
dan kepala daerah yang hingga kini masih ditempati meski sudah
pensiun. Beberapa rumah dinas bahkan ditinggali oleh keluarganya.
“Ada rumah negara untuk jabatan bupati. Saat bupatinya meninggal,
dikubur di rumah dinas itu. Jadi bupati yang sekarang enggak berani
mindah kuburan karena kuburan sakral. Akhirnya rumah tersebut
ditinggali keluarga bupati yang lama,” ujar Bob, tertawa. Ia geli dengan
kelakuan para pejabat daerah itu sekaligus prihatin.
Di Raja Ampat, ada aset-aset milik pemerintah daerah yang digunakan
untuk cottage wisata. Dalam mengelolanya, pemerintah bekerja sama
dengan pihak ketiga. Di Pulau Waigeo misalnya, bupati sebelumnya
membangun kerja sama dengan pihak swasta untuk membangun
cottage sejak 2005. Namun, hingga kini, pihak ketiga itu belum setor Rp
1 pun kewajibannya untuk membayar pajak. Akibat lemahnya klausul
perjanjian, status kepemilikan aset tersebut hampir lepas.
Ada pula cerita soal cottage di Raja Ampat yang dibangun di lahan
mantan bupati. Karena tanah pribadi, cottage itu diklaim oleh keluarga
bupati. “Meski ini kan bukan tanah pemda, tapi kan yang bangun
cottage itu pemda,” ujar Bob.
Masih belum cukup, banyak anggota masyarakat yang menempati
rumah dinas pejabat berdalih mendapatkan izin. Saat pemerintah
meminta kembali, mereka ramai menolak dan berunjuk rasa. “Mereka
bilang, kami kan pejuang demokrasi. Ada lembaga swadaya masyarakat
yang berafiliasi dengan badan intelijen negara (BIN) daerah,” kata
Bob.
Untuk masalah penguasaan aset tidak sah semacam itu, Bob
mendorong pemerintah daerah untuk secara persuasif meminta pihak-

98
Ja l a n Ter ja l di Bumi Cender awa sih

pihak ketiga yang menempati rumah dinas segera pindah. Selanjutnya,


KPK meminta pemerintah daerah untuk membenahi tata kelola,
sehingga rumah tersebut bisa dirawat untuk kepentingan pemerintah.
Banyak masalah yang tak bisa diselesaikan dengan cara biasa di
Papua Barat. Tim KPK menyadari itu. Soal tanah masyarakat yang
belum dilunasi pemerintah misalnya. Meski pemerintah sudah
mengeluarkan uang untuk mencicil tanah tersebut, ada kalanya mereka
bisa kehilangan kepemilikan. Di Papua, tanah seperti ini rawan direbut
kembali oleh masyarakat. “Karena di sini penyelesaiannya secara adat.
Kalau lama enggak diselesaikan, masyarakat adat bisa klaim tanah itu
lagi,” kata Bob.
Sekretaris Daerah Papua Barat Nataniel Dominggus Mandacan
tertawa mendengar cerita-cerita sengketa aset di wilayahnya. Bukannya
tak berusaha menyelesaikan, tapi penyelesaian sengketa aset di Papua
Barat tidak sesederhana di tempat lain.
Nataniel mengakui bahwa persoalan aset di Papua Barat merupakan
warisan dari pemerintahan terdahulu. Masalahnya pun saling
berkaitan. Soal aset yang belum bersertifikat misalnya, itu disebabkan
karena beberapa aset belum balik nama. Kenapa belum balik nama?
Karena pembelian aset belum lunas.
Pemerintah Papua Barat, kata Nataniel, memang selalu membeli
aset dengan cara mencicil. Alasannya, jika uang anggaran dihabiskan
untuk melunasi aset, maka pembangunan tak akan jalan. Masalahnya,
pemerintah tak memiliki kesepakatan bersama rakyat yang menjual
aset akan berapa lama aset itu dilunasi. “Akhirnya mereka minta-minta.
Gugat. Tapi kan sejak awal tidak ada kesepakatan bersama harus bayar
1 kali, 2 kali. Tidak ada. Jadi sepunyanya, kami punya uang Rp1 M, Rp 2
M, kami bayar,” tutur dia.
Ihwal rumah dinas yang ditempati masyarakat atau keluarga
kepala daerah dan anggota Dewan, Inspektur Sugiyono mengatakan
bakal melakukan pembenahan. Masalah ini, menurut dia, lebih
pelik ketimbang menyelesaikan aset yang belum lunas. “Kami tidak
serta merta bisa mengusir,” katanya. Apa akibatnya kalau langsung
mengusir? Dia menjawab, “Waaah..”
Sugiyono menjelaskan, menghadapi masyarakat Papua Barat tak bisa
disamakan dengan masyarakat di provinsi lain. Di Papua Barat, jika
hendak meminta orang untuk angkat kaki, mereka harus mencarikan
rumah baru untuk mereka tinggal. Untuk itu, tak mudah mengatasi
masalah di wilayah yang masih kental budaya kekeluargaan ini.

99
“Misal kalau mereka setelah diusir lalu mereka penyakitan. Itu
pasti mereka kait-kaitkan. Kita bisa dituntut untuk bayar karena
menyebabkan mereka penyakitan. Pelik. Jadi kami harus siapkan
tempat baru usir orang. Itu lah baiknya orang Papua. Kami enggak
sampai hati, kami masih pakai hati.”
Terjalnya jalan untuk menertibkan kembali barang-barang milik
daerah Papua Barat itu lantas melahirkan kerja sama antara pemerintah
daerah dengan Kejaksaan Tinggi Papua dan Papua Barat. Pada 11 April
2019, Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan menandatangani
nota kesepahaman yang berisi pemberian bantuan hukum dari
Kejaksaan Tinggi untuk menghadapi gugatan-gugatan perdata yang
menyangkut aset milik daerah.
Dari kerja sama itu, pemerintah daerah tak perlu khawatir untuk
mencari pengacara setiap ada sengketa perdata yang dilayangkan
masyarakat terhadap aset-aset yang mestinya jadi milik pemerintah.
Untuk mendapat bantuan, pemerintah Provinsi Papua Barat cukup
mengajukan permohonan tertulis kepada Kejaksaan Tinggi Papua dan
Papua Barat yang akan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat kuasa
khusus.
Dominggus menyadari bahwa penertiban aset daerah diperlukan
untuk mengoptimalkan pendapatan daerah. Ia meminta seluruh
jajaran pemerintah menjalankan sesuai arahan KPK. “Sehingga ke
depan tidak ada kebocoran pendapatan untuk kepentingan orang-
perorang, tapi untuk kepentingan daerah, negara, dan masyarakat
umum,” katanya.
Kepala Kejaksaan Tinggi Papua dan Papua Barat Heffinur berharap,
ke depan kejaksaan bisa mewakili pemerintah dalam menyelesaikan
masalah pengadilan, baik litigasi maupun nonlitigasi. “Ini merupakan
perpanjangan kedua kalinya dengan harapan kejaksaan tetap
membantu dan mengantisipasi semua permasalahan hukum yang
membutuhkan bantuan hukum di bidang perdata dan tata usaha
negara,” ujarnya. l

Matahari Prajnaparamitha

100
Memupuk
Semangat
Antikorupsi
di Kota Bahari

S
iang itu, tepatnya di awal bulan Oktober 2018, matahari begitu
terik di Kota Tegal. Kendati cuaca begitu panas, dan keringat
bercucuran membasahi tubuhnya, Dwi Yanti dan sejumlah
koleganya tak mempedulikannya. Dia tetap menembus kerumunan
ratusan pasien dan keluarganya yang tengah antre berobat di RS
Kardinah.
Anggota Tim Korsupgah yang membawahkan wilayah Jawa Tengah
dan Jawa Timur (kini di Direktorat LHKPN) bersama timnya berupaya
mengamati beberapa ruang rumah sakit dan menanyai beberapa
pasien dan keluarganya ihwal pelayanan rumah sakit yang terletak
di jantung ‘Kota Bahari’ tersebut. Tujuan kehadiran tim Korsupgah,
ingin memastikan apakah pembenahan sistem yang dilakukan tim
pencegahan KPK berjalan efektif, setelah Wakil Direktur RSUD
Kardinah, Cahyo Supardi, bersama Wali Kota Tegal Siti Masitha
terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Satgas Penindakan KPK, 29
Agustus 2017.
“Tim sampai masuk ke proses pelayanannya, terus pengambilan
obatnya, mengamati dan mendokumentasikan, serta bertanya ke
beberapa pasien, bagaimana pengurusan dan pelayanannya,” kata
Yanti saat menceritakan ihwal pembenahan Kota Tegal.
Sebelum mengendus berbagai pelayanan di rumah sakit ‘pelat
merah’ tersebut, perempuan yang bergabung bersama KPK sejak 2005
ini mengaku sempat bertemu dengan jajaran pimpinan rumah sakit
seperti direktur yang baru menjabat. “Saya tanya pejabat lamanya
masih ada nggak, bagaimana proses pengadaan saat ini dilakukan
apakah telah ada perbaikan dari proses sebelumnya, komitmen
pimpinannya bagaimana, untuk perbaikan pada proses pemilihan

101
calon pemenang lelang apakah masih ada intervensi dari atasan atau
pejabat terkait,” ungkap Yanti.
Usai bertemu pucuk pimpinannya, Yanti baru menemui staf-staf
rumah sakit yang mempunyai tugas vital di bagian pengadaan, seperti
staf bagian keuangan pengadaan di rumah sakit tersebut. Di situ,
Yanti dan timnya menanyakan ihwal bagaimana proses pengadaan di
rumah sakit, usai tahun lalu jajaran petingginya diringkus tim lembaga
antirasuah. “Di situ barulah diberikan masukan dan saran perbaikan
sistem pengadaan dan proses lelang, jangan sampai kejadian lama
terulang kembali,” ucap wanita yang hobi jalan-jalan ini.
Tak hanya itu, Yanti juga meminta kontak sejumlah staf rumah sakit
tersebut dan meminta mereka agar pro aktif apabila ada tekanan dari
atasannya untuk diminta berbuat yang melanggar hukum.
“Saya minta kontak mereka kalau ada intervensi. Harusnya ada
transparansi, berapa pendapatan dan pengeluaran yang didapat
RSUD dari pasien yang dijamin BPJS, berapa yang pribadi, kemudian
bagaimana proses penyaluran dan pengeluaran dananya. Semua harus
tercatat transparan. Proses pengadaan juga harus jelas, apakah sudah
dianggarkan dalam APBD, siapa yang mengusulkan, dan dipastikan
benar digunakan serta berdasarkan kebutuhan,” jelas sarjana akuntasi
ini.
Hasilnya, kata Yanti, sudah ada perbaikan dari pihak internal rumah
sakit, pasca jajaran pimpinannya diciduk KPK. “Ada perbaikan, dulu
belum ada transparansi. Terus proses pengadaannya itu masih kita
pantau,” urai Yanti.
Tak hanya Tim Korsupgah yang bergerak membenahi kota-kota yang
wilayahnya di OTT KPK seperti Kota Tegal dan Kabupaten Kebumen,
Jateng. Direktorat lain juga ikut bergerak melakukan pencegahan
korupsi di beberapa kota yang pimpinannya pernah diringkus. Pada
2-3 Okotber 2018 silam, atau tepatanya 14 bulan selepas wali kota nya
diciduk KPK, Tim Dikyanmas KPK, lewat program ‘Road Show Bus KPK:
Jelajah Negeri Bangun Antikorupsi’, bersama Unit LHKPN, Gratifikasi,
dan Korsupgah bergabung bersama-sama melakukan pencegahan
korupsi ke masyarakat di kota yang juga mempunyai julukan ‘Tegal
Laka-laka’ ini.
“Kami datangi, pimpinan memberikan ceramah singkat, terus
kunjungan ke samsat, meskipun di bus itu kami meminta pemda
menyiapkan counter-counter lain, misalnya ada dukcapil, PTSP,
supaya area ini ramai bisa dikunjungi masyarakat. Di situ juga kami

102
M e m u p u k S e m a n g at A n t i k o r u p s i d i K o ta B a h a r i

bekerja sama dengan pengaduan masyarakat. Jadi brosur-brosur


kami bagikan, gratifikasi ada yang sosialisasi, bisa hari sebelumnya
sosialisasi LHKPN. Jadi data juga kami kumpulkan, kami menjembatani
juga ke DPRD, inisiatif LHKPN nya kurang atau nggak,” papar wanita
berkerudung ini.
Terkait kehadiran tim nya ke Tegal, Penasihat KPK Budi Santoso
kepada awak media mengatakan, pihaknya ingin warga Jateng pada
umumnya dan warga Tegal pada khususnya agar mengenal korupsi
kemudian mengindarinya jauh-jauh. “Tujuan hadirnya roadshow
ini, kami ingin membumikan isu pemberantasan korupsi di tengah
masyarakat. Bagaimana mencegah dan melaporkan apabila menemui
indikasi tindakan korupsi,” kata Budi yang ikut dalam rombongan tim
pencegahan korupsi.
Selain itu, mantan Komisioner Ombudsman Republik Indonesia ini
juga mengatakan, kehadirannya timnya dalam rangka mempererat
hubungan lembaganya dengan masyarakat dan mengumpulkan
masukan apapun dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
korupsi. Ini karena menurutnya, lembaganya tidak bisa bekerja
sendirian.
Atas kehadiran lembaga antirasuah ke kotanya, Wali Kota Tegal M.
Nursholeh berharap, di daerah yang kini dipimpinnya tidak ada lagi
kepala daerah yang diringkus seperti yang dialami Siti Masitho. Untuk
mewujudkan hal tersebut, dia pun berkomitmen menjadikan korupsi
sebagai musuh bersama.
Kini, usai dibenahi, untuk Kota Tegal, masih belum ada progres yang
siginifikan dari berbagai komponen area intervensi yang dilakukan
Tim Korsupgah. Berdasarkan data MCP, untuk perencanaan dan
penganggaran APBD nilainya hanya sebesar 28 %. Untuk Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP) nilainya 29 %. Untuk kapabilitas APIP,
nilainya hanya 9 %. Untuk manajeman ASN, progressnya juga kecil
sekitar 14 %. Untuk Optimalisasi Pendapatan Daerah (OPD) tidak ada
progres sama sekali alias 0%. Sementara untuk manajeman aset daerah
32 %.
Kondisi ini tentunya berbeda jauh dengan Kabupaten Boyolali,
Jateng. Boyolali menurut Yanti, menjadi salah satu pemda yang berhasil
melakukan pembenahan sistem sesuai dengan instruksi yang diminta
Tim Korsupgah KPK.
Berdasarkan data MCP untuk capaian berbagai komponen area
intervensi tahun 2018, Boyolali mendapat nilai fantastis, yakni 92 %.

103
Adapun rincian nilainya, untuk perencanaan dan penganggaran APBD
nilainya hanya sebesar 93 %. Untuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PTSP) nilainya 93 %. Untuk pengadaan barang dan jasa nilainya 85 %.
Untuk kapabilitas APIP, nilainya hanya 95 %. Untuk manajeman ASN,
nilainya 89 %. Untuk Optimalisasi Pendapatan Daerah (OPD) nilainya
97 %. Sementara untuk manajeman aset daerah nilainya 89%
“Kalau berhasil kami lihat Boyolali. Bupatinya incharge. Mereka
kumpulkan (ASN) ini bupatinya yang memaparkan. Bagitu kami bilang
kekurangannya ini, dia (bupati) langsung panggil kepala dinasnya,
besok beres ya. Kami lihat perkembangannya semakin meningkat,”
terang Yanti.
Senada dengan Yanti, keberhasilan tentang Boyolali juga pernah
diungkapan Presiden Joko Widodo. “Ranking-nya tadi saya lihat, kalau
provinsi peringkat pertama ada DKI Jakarta dan Jawa Tengah dan di
tingkat kabupaten ada Boyolali. Ini satu-satu kami jadikan contoh, yang
lain suruh copy untuk mendampingi KPK,” kata Jokowi, saat membuka
acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2018 di Hotel
Bidakara, Jakarta, Selasa (4/12/2018).
Atas keberhasilan tersebut, Jokowi pun meminta agar daerah lain
mencontoh keberhasilan ‘Kota Susu’ tersebut dalam melakukan
pencegahan korupsi. “Kita ini kan paling mudah mencontoh, mem-foto
copy, kalau sudah ada contohnya akan cepat sekali ditiru yang lain,
saya dan Ketua KPK sedang coba atur masalah itu,” ucap Jokowi.
Diharapkan, dengan adanya pembenahan tersebut, KPK bisa lebih
berhasil melakukan pencegahan korupsi di berbagai daerah lain di
seantero Nusantara. l

104
Mengatasi
Kebocoran
Emas Hitam
Sektor pertambangan menjadi program tematik pencegahan korupsi.
Berfokus di Kalimantan karena ini daerah dengan izin penambangan
batu bara terbesar.

T
AMBANG mineral batu bara menjadi primadona di wilayah
Kalimantan. Pemerintah daerah telah mengeluarkan puluhan
ribu izin usaha pertambangan di Pulau Borneo itu. Meski
bergelimang cadangan isi perut bumi, toh, para pejabatnya kerap
mengeluhkan anggaran daerah yang cekak.
Budi Waluya, Ketua Koordinasi Supervisi Pencegahan Komisi
Pemberantasan Korupsi Wilayah VII yang meliputi seluruh pemerintah
daerah di Kalimantan, acap mendengar keluh kesah pejabat daerah
di sana. Bersama empat anggota timnya, yakni Chandra Sulistio
Reksoprodjo, Sugeng Basuki, Rusfiyan, dan Wuri Nurhayati, mereka
berbagi tugas menangani 61 pemerintah daerah di Kalimantan pada
2018.
Mereka membawa misi delapan area intervensi yang harus dijalankan
pemerintah daerah untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
baik dan bersih. Namun, rekomendasi-rekomendasi dari tim Budi kerap
diabaikan dengan alasan keterbatasan anggaran. “Kalau di hadapan
kami, mereka iya-iya saja. Setelah dievaluasi dan ditanya mengapa
rekomendasi ini tidak jalan, mereka bilangnya ada keterbatasan
anggaran,” kata Budi pertengahan Februari lalu.
Sesungguhnya, target Budi dan tim di Kalimantan tak muluk-muluk.
Ia ingin pencapaian kinerja atas rekomendasi-rekomendasi itu sesuai
target nasional sekitar 60 persen. Namun realitanya, mayoritas daerah
di Borneo tersebut hanya mampu menggapai 50 persen saja.
Infrastruktur di Kalimantan, menurut Budi, juga masih kurang.

105
“Kalimantan dibilang kaya ya tidak begitu kaya,” ujarnya. Musababnya,
Hasil sumber daya alam itu mayoritas disedot untuk pemerintah pusat.
Nilai anggaran pendapatan dan belanja daerah di sana lebih kecil
ketimbang Jawa.
Agar tak seperti tikus yang mati di lumbung padi, tim Korsupgah
bekerja sama dengan tim Penelitian dan Pengembangan KPK berupaya
membenahi sistem pertambangan di sana. “Kalimantan Timur
kebetulan menjadi fokus teman-teman Litbang. Kami membantu
mereka,” ujar Budi. Tim Penelitian dan Pengembangan melalui
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral merekomendasikan ke setiap provinsi untuk
mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tidak clean & clear. Tim
Korsupgah memantau sejauh mana rekomendasi itu dilaksanakan.
Selain memantau pelaksanaan rekomendasi, KPK juga membentuk
pos pemantau terpadu untuk menghindari pengangkutan “emas
hitam” yang berlebihan dari yang seharusnya. Dalam pembentukan
pos pemantauan ini, KPK melibatkan instansi lain seperti pemerintah
daerah, Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan,
Kementerian Perdagangan, dan lainnya. Pos pemantauan ini
rencannaya dibangun di bebrapa pelabuhan yang menjadi gerbang
keluarnya batu bara dari Kalimantan Timur. “Disurvei dulu, di titik
mana nih yang cocok. Tim kami berhubungan dengan pemerintah
daerah,” ujar Budi.
Pada November 2018, Ketua KPK Agus Rahardjo bersama tim sempat
menyusuri Sungai Mahakam. Sungai ini menjadi arus lalu lintas utama
transportasi perdagangan batu bara di Kalimantan Timur. Kapal
pengangkut batu bara, ponton, hilir mudik menuju Pelabuhan Muara
Pegah. Di tengah perjalanan, rombongan KPK menjumpai beberapa
ponton yang menepi dan bersembunyi di balik pepohonan. Tak jauh
dari ponton yang terparkir, terdapat gundukan menjulang batu bara.
Mereka menduga batu bara di ponton tersebut ilegal.
Perjalanan Agus dan timnya itu menguak potensi kebocoran
perdagangan batu bara di Kalimantan Timur. “Kami lakukan
penelusuran di lapangan untuk melihat kenapa perbedaan itu terjadi,”
kata Agus. KPK mengamati ketidaksinkronan data dari Kementerian
Perdagangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian
Perdagangan, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Laporan yang diterima KPK, ekspor batu bara di Bea Cukai tercatat
367 juta ton pada 2016, Kementerian Perdagangan 366 juta ton, dan

106
M e n g ata s i K e b o c o r a n E m a s H i ta m

Kementerian Energi 331 juta ton. Mengutip Katadata, selisih data


Perdagangan Bea Cukai dan Kementerian Energi US$ 1,4 juta atau Rp 21
miliar. Selisih data tersebut menunjukkan adanya potensi kebocoran
pajak.
Kalimantan Timur menjadi perhatian utama di sektor pertambangan
karena pemeirntah daerahnya masif menerbitkan IUP. Berdasarkan
data Desember 2017, Pemerintah Kalimantan Timur menerbitkan
hampir separuh dari total izin batu bara nasional, yakni 1.143 IUP. Izin
Nasional sebanyak 2.870.
Jika di Kalimantan Timur persoalan utamanya mengenai tambang,
berbeda lagi dengan wilayah di Kalimantan Tengah. “Di sana isu

Ada satu persoalan utama yang


hampir mirip di beberapa wilayah itu:
perizinan. Menurut Buya,
hampir seluruh perizinan melibatkan
kepala daerah. Alhasil, kepala daerah
yang mempunyai utang politik itu
memanfaatkan kekuasaannya.
“Kalau mau punya izin, harus ada
harganya,” kata dia.

Kebakaran hutan. Rekomendasi dari kita juga,” kata Budi Waluya.


Kendala tim Budi ketika di Kalimantan adalah bentang wilayah yang
sangat luas. Mereka kerap menyusuri sungai menggunakan perahu dan
meneroboh hutan. “Perjalanan harus sebaik-baiknya di atur,” ujarnya.
Ada satu persoalan utama yang hampir mirip di beberapa wilayah
itu: perizinan. Menurut Budi, hampir seluruh perizinan melibatkan
kepala daerah. Alhasil, kepala daerah yang mempunyai utang politik
itu memanfaatkan kekuasaannya. “Kalau mau Punya izin, harus
ada harganya,” kata dia. Itulah yang membuat para pengusaha
menyediakan upeti dan prosedur perizinannya juga lama. Karena
itu, Tim Pencegahan merekomendasikan pelimpahan wewenang dari

107
kepala daerah kepada kepala badan, misalnya pelayanan terpadu
satu pintu, agar birokrasinya lebih pendek. “Kami mencoba membuat
sistem seperti itu.” Atas dorongan KPK, Kementerian Dalam Negeri
menerbitkan Peraturan mengenai delegasi kewenangan perizinan ini
pada 2016 lalu.
Budi mengatakan timnya terus mendorong semua daerah
menerapkan perizinan satu pintu ini ke semua daerah, meski ada
beberapa yang belum bisa mengimplementasikannya. “Lagi-lagi
alasannya soal anggaran,” ujarnya. Dengan alasan yang berulang itu,
Budi sempat mengecek komposisi anggaran daerah tersebut. Budi
menemukan kejanggalan karena tak ada biaya perawatan server serta
sama sekali tidak ada alokasi untuk perjalanan dinas. “Ini aneh.”
Dia memperkirakan selama ini daerah-daerah tersebut mengandalkan
dana bagi hasil dari pemerintah pusat. Ketika dana dari pusat tidak
turun, para pemerintah daerah itu kelabakan. “Mereka belum ada
inovasi untuk mencari pemasukan lain,” ucapnya.
Meski program pemerintah daerah masih banyak yang amburadul,
Budi ingin membangun kepercayaan dulu dengan mereka. Sebab,
rencana aksi perbaikan yang digalakkan KPK ini semata-mata juga
demi mewujudkan tata kelola pemerintahan daerah yang lebih baik
dan trasnparan. “Jadi harus mereka sendiri yang harus tahu soal
perbaikan ini. Mereka juga harus berkomitmen,” kata dia.

Tidak Paham Bahaya Korupsi


KORUPSI yang menjadi masalah utama Indonesia di masa reformasi
ini merupakan warisan kolonial yang diperparah orde baru. Di era
Soeharto, perilaku koruptif tak hanya di lingkup birokrat, namun juga
presiden, keluarga, dan kroni-kroninya. Perilaku koruptif yang sistemik
ini terus bertumbuh meski rezim Soeharto telah runtuh.
Meski korupsi telah merajalela sejak dahulu kala, masih banyak
pejabat di daerah yang tidak paham dampaknya. Anggota Koordinasi
Supervisi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi Sugeng Basuki
mengatakan tiap mengumpulkan seluruh kepala dinas, camat, dan
amtenar wilayah Kalimantan sepanjang 2018 ini, ia selalu menjelaskan
mengenai bahaya korupsi.
Dalam dialog itu terungkap anggapan para pejabat bahwa orang
melakukan korupsi masih bisa untung meski harus menanggung
ancaman bui. Dalam setiap kunjungan ke daerah, Sugeng selalu
menyampaikan kini perilaku rasuah malah berujung buntung. Hitung-

108
M e n g ata s i K e b o c o r a n E m a s H i ta m

hitungan Sugeng, misalnya, seseorang menggarong duit negara Rp


100 miliar dan nantinya hanya kena hukuman 5-10 tahun penjara.
Kerugian atau ongkos mendekam di balik jeruji besi, misalnya, per
tahun Rp 5 miliar. Sehingga koruptor itu masih untung Rp 50 miliar.
“Saya beri pemahaman ke mereka kalau teori itu tidak benar. Artinya
orang yang sekarang masih korupsi itu rugi,” kata Sugeng pertengahan
Februari lalu.
Sejak adanya Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang yang terbit pada 2010 lalu, Sugeng turut andil mendorong Komisi
Pemberantasan Korupsi menerapkannya. Dia ingin seluruh pejabat
koruptif dimiskinkan. Sikap Sugeng ini berbekal dari latar belakangnya
saat bertugas di Detasemen Khusus maupun Direktorat Narkoba di
Kepolisian Republik Indonesia. Sugeng banyak berkawan dengan para
mafia.
Dalam sebuah percakapan, salah satu mafia bercerita ke Sugeng
bahwa dia tak takut jika harus dibui dan dihukum mati. Alasannya,
si mafia itu masih dianggap pahlawan oleh keluarganya karena
meninggalkan kekayaan yang banyak. Sugeng bertanya balik ke mafia
itu, “lantas apa yang kamu takutkan?” Penjahat itu mengatakan ia
takut jika keluar bui hanya mengenakan kolor dan hartanya ludes.
“Sejak ada Undang-Undang TPPU, saya mulai menyasar harta-harta
para penjahat ini. Ayolah sikat, hartanya diambil,” kata Sugeng yang
pernah menjadi penyidik itu.
Bukan jalan mulus yang dihadapi Sugeng saat ingin menghabisi
harta para penjahat. Sempat ada pertentangan dengan jaksa yang
menganggap penerapan pasal pencucian uang menyalahi aturan
karena tindak pidana umum. Ia menjelaskan bahwa pasal tindak pidana
pencucian uang bisa diterapkan asal ada kejahatan awalnya. RIntangan
juga kembali muncul saat pelaku korupsi merupakan pejabat tinggi
selevel kolonel dan jenderal. Namun ia tetap saja menggasak para
koruptor itu tanpa pandang bulu.
Sugeng sempat menjadi tim penyidik dalam penanganan perkara
korupsi Pengadaan simulator Surat Izin Mengemudi yang menjerat
Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo pada 2011
lalu. Dia mendorong agar diterapkan pasal pencucian uang terhadap
Djoko karena nilai proyek yang dikorupsi cukup fantastis yakni Rp
196,87 miliar.
Berbekal pengalaman yang panjang itulah, Sugeng selalu menekankan
ke seluruh pejabat di area yang menjadi tanggung jawabnya mengenai

109
kerugian korupsi. “Jika dulunya pernah, sekarang jangan diulangi lagi,
pasti akan ketahuan. Ingat harga diri dan keluarga,” kata Sugeng. Dia
juga mengingatkan para pejabat di Kalimantan mengenai teknologi
canggih yang dimiliki KPK untuk membongkar korupsi di seluruh
penjuru negeri.
Dalam ranah pencegahan, Sugeng mengajak para kepala daerah
itu berkomitmen sedari awal untuk melakukan perbaikan di sektor
perizinan, pengadaan barang dan jasa, inspektorat, dan lainnya. Jika
para kepala daerah sudah setuju, dibentuklah tim dari masing-masing
perwakilan satuan kerja perangkat daerah itu. “Kami pandu untuk
menggunakan aplikasi-aplikasi,” ujarnya.
Dalam suatu forum dengan seluruh jajaran satuan kerja perangkat
daerah di salah satu wilayah Kalimantan, Sugeng sempat diteriaki
kepala desa. “Saya tidak takut. Kita tidak perlu takut KPK,” kata Sugeng
menirukan ucapan kepala desa itu. Mendengar ucapan salah satu
peserta forum, Sugeng sempat bingung. Namun tak berapa lama dia
bisa mengambil alih suasana.
Dia menyampaikan kedatangannya ke daerah itu bukan untuk
mengganggu. “Justru karena kami sayang kalian semua,” ucapnya.
Dia mewanti-wanti agar pejabat di daerah tersebut tidak ditangkap
Tim Penindakan KPK lagi seperti halnya bupati mereka yang terjaring
dalam operasi tangkap tangan karena kasus suap.
Begitu tensi turun, ada kepada desa lain yang mendatangi Sugeng.
Sembari menangis sesenggukan, kepala desa itu memohon ke KPK agar
tidak ada yang disakiti lagi para pemimpin daerahnya. “Saya mohon
kepada KPK, jangan ada yang disakiti lagi-lah, Bapak kami, Ibu kami,”
kata Sugeng menirukan ucapan kepala desa yang lain.
Sugeng menilai kejadian di suatu daerah di Kalimantan itu
menunjukkan kecerdikan para koruptor memperdayai rakyatnya.
“Mereka maling duit negara, tapi di mata rakyat, mereka itu kayak
pahlawan. Memang itu prinsip mafia,” ujarmya. l

Rajapatni Merakesumba

110
Menagih
Komitmen
Papua Barat

J
ari-jari Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat Nataniel
Domingus Mandacan sibuk dengan telepon genggamnya.
Berulang kali ia terlihat mencoba menelepon seseorang.
Berulang kali pula ia geleng-geleng kepala lantaran tak mendengar
jawaban dari orang di seberang telepon.
Di sampingnya, suara Coki mulai meninggi. Kepala Koordinator
Wilayah 8 Korsupgah KPK itu gemas karena orang-orang yang ia sebut
namanya tak terlihat batang hidungnya. “Mana orang unit layanan
pengadaan? Enggak datang juga?” kata pria yang memiliki nama asli
Adlinsyah Nasution ini. Matanya mencari di antara 58 peserta rapat
evaluasi monitoring pencegahan korupsi di kantor Gubernur Papua
Barat, 12 April 2019.
Kursi-kursi peserta rapat dibentuk dengan formasi U. Bersama
rekannya, Maruli Tua, Nataniel, dan Inspektur Papua Barat Sugiono,
Coki duduk di baris tengah sehingga ia bisa melihat seluruh wajah
peserta yang terdiri atas perwakilan satuan perangkat daerah Papua
Barat, di baris kiri dan kanan. 
“Masih di jalan,” kata seorang peserta yang duduk di paling ujung
barisan kiri. Nataniel masih sibuk menelepon. Alis Sugiono tampak
berkerut-kerut.
Rapat evaluasi monitoring pencegahan korupsi di kantor Gubernur
Provinsi Papua Barat pagi itu berlangsung tegang. Tak ada senda gurau
yang terlontar selama lebih dari lima jam. Seluruh penghuni ruangan
segi enam itu hening mendengarkan Coki dan timnya melontarkan
kekecewaan.
Jumat pagi itu menjadi hari kelima Tim Korsupgah berada di Papua
Barat. Sebagai penanggung jawab wilayah Papua Barat, Maruli sudah
berada di sana sejak Senin bersama anggotanya, Rendra Aji Risakson.
Selama empat hari, seluruh rangkaian agenda pendampingan
pencegahan korupsi di Manokwari, Papua Barat, hanya dipegang dua

111
Penyelenggaraan Workshop Peningkatan Kapabilitas APIP di Provinsi
Papua Barat.

orang ini.
Di saat yang bersamaan, tiga anggota satgas 8 lainnya, yakni Coki,
Dwi Aprillia Linda, dan Agung Sasongko, melakukan pendampingan di
Makassar, Sulawesi Selatan. Baru di hari keempat, Coki bersama Dwi
Aprillia Linda, menyusul ke Manokwari. Agung pulang ke Jakarta.
Penulis mengikuti kegiatan tim sejak berada di Makassar dan lanjut di
Manokwari, Papua Barat. Terlihat jelas bagaimana kontrasnya suasana
rapat di dua provinsi Indonesia bagian timur ini. Jika di Makassar kita
sudah bicara soal implementasi, di sini kami masih menagih janji
komitmen.
“Rapat koordinasi pertama di Papua Barat ini sudah mulai pada
September 2016. Saya yang inisiasi. Tapi sampai sekarang, posisi kita
paling rendah. Nilainya merah semua,” kata Coki, mengawali. “Bapak
ibu harus mulai dari sini karena posisi ini kita enggak bisa diakali.”
Rendra bertugas sebagai operator di sudut sisi kanan. Ia lalu
menampilkan presentase timnya di layar menggunakan proyektor.
Saat itu, Rendra membuka presentase
Coki menunjuk layar proyektor di hadapannya yang menampilkan

112
M e n a g i h K o m i t m e n P a p u a B a r at

perolehan nilai MCP Papua Barat sepanjang 2018. Dengan lantang


ia membaca angka-angka indikator MCP yang diraih Papua Barat:
Perencanaan penganggaran Papua Barat nilainya 19; pengadaan
barang dan jasa 25; pelayanan terpadu satu pintu 38; audit aparat
pengawasan intern pemerintah 46; manajemen aparatur sipil negara
33; dan manajemen aset 0. Di antara 34 provinsi di seluruh Indonesia,
Papua Barat ada di peringkat paling bontot dalam hal pencegahan
korupsi.
Tak satupun indikator yang mencapai nilai 50 itu menjadi pukulan
bagi Coki dan timnya. Selama tiga tahun, Tim KPK rutin berkunjung ke
Papua Barat untuk mendorong perbaikan. Selama itu pula, tim hanya
mendengar curhatan para pejabat daerah tanpa mendengar progres
perbaikan. Sejak KPK masuk, Papua Barat tak pernah keluar dari zona
merah. “Saya harap hari ini kita enggak usah bicara kendala karena
sejak September 2016 kita sudah bicara soal itu. Jadi hari ini kita enggak
usah curhat. Kita bicara besok mau ngapain,” kata Coki dengan nada
tinggi.
Melihat angka MCP Papua Barat, agaknya kegusaran Coki tidak
berlebihan. Rendahnya angka-angka pada indikator MCP menunjukkan
bahwa pemerintah daerah tidak menjalankan rencana aksi yang
ditawarkan KPK. Contoh kecil adalah soal e-planning dan e-budgeting.
Hingga kini, dua sistem berbasis elektronik ini belum dibangun di
Papua Barat.
E-planning adalah sebuah alat penyusunan Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan
Priorotas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), KUA/PPAS Perubahan,
RKPD Perubahan Kabupaten/Provinsi agar dapat terselesaikan dengan
mudah, cepat, tepat dan sesuai dengan arahan yang terkandung
dalam Permendagri Nomor 54 Tahun 2010. Dengan adanya alat bantu
e-planning, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
dapat memaksimalkan sistem dan sistem juga mampu menyajikan
analisa yang sangat informatif bagi para pemangku kepentingan.
E-budgeting adalah sistem penyusunan anggaran yang di dalamnya
termasuk aplikasi program komputer berbasis web untuk memfasilitasi
proses penyusunan anggaran belanja daerah. Dengan penerapan
teknologi informasi seperti sistem informasi penyusunan anggaran
ini, pemerintah daerah akan lebih mudah dalam menentukan arah
kebijakan berkaitan dengan penganggaran pemerintah daerah.
“Pelajarilah MCP itu. Kerjakan rencana aksi. Kalau enggak jalan ini

113
kenapa? Kita tidak bisa atau tidak mau? Tolong hari ini kita komitmen.
Sepakat ke depan harus ada perubahan terkait proses,” kata Coki.
“Kita bicara e-budgeting, e-planning, maunya seperti apa? Di beberapa
daerah semua sudah lari. Enggak lama kok bangun sistemnya. Tiga
bulan jalan barang itu. Enggak usah lah kita ribut-ribut masalah
peraturan dan proses. Saya sudah berapa kali ke Papua Barat dan
hasilnya sangat kurang memuaskan. Saya harap hari ini kita bicara dan
ada output yang kita sepakati.”
Mikrofon berpindah ke tangan Maruli. Pria yang akrab dipanggil Bob
ini juga mengutarakan kekecewaannya. Namun, tak seperti Coki yang
meledak-ledak, pria yang akrab disapa Bob ini lebih tenang. Ia tampak
berhati-hati memilih kata agar tak begitu terdengar kasar. “Saya mau
pakai diksi-diksi yang gitu, tapi enggak enak saya bilangnya,” kata
Bob.
Duduk di bangku yang mepet dinding sisi kanan, Rendra turut
mendengarkan penjelasan Coki dan Bob sambil mengawasi laptop
yang tersambung ke proyektor. Saat Bob berdiri dan mulai berjalan
ke tengah formasi peserta rapat, Rendra berbisik kepada penulis,
“Kemarin ada peserta yang bilang kalau Pak Bob ini seperti pembunuh
berdarah dingin. Ekspresinya enggak pernah marah, tapi kata-katanya
tajam menusuk.”
Ia melanjutkan, “Lalu Pak Bob bilang, ‘Saya bukan pembunuh karena
membunuh itu dosa’, ngomongnya pakai muka datar.”
Benar saja, tak lama setelah itu Bob mulai merapal rasa kecewanya
dengan nada yang tenang. “Sekda dengan segala hormat, enggak tahu
nih kayaknya perlu punya imajinasi melakukan perubahan perbaikan
di Papua Barat. Apa kalian masih menanggap karena jauh dari Jakarta
jadi enggak akan diapa-apain?”
“Gubernur di sini orangnya terlalu baik ya? Kalau saya jadi gubernur,
selesai sudah yang lambat-lambat gitu,” kata Bob, masih tanpa
ekspresi.
“Tolong dibantu lah Pak Gubernurnya. Ada tanggung jawab moral
dan profesional untuk membantu beliau. Karena bagaimana pun beliau
penanggung jawab akhir. Kalau kita biarkan itu tanda tanya besar.”
“Sekda sudah berulang kami sampaikan, kami malu ajari ikan
berenang atau burung terbang. Bapak ibu ini sudah puluhan tahun di
birokrasi. Artinya sudah paham. Dimulai dari perencanaan, ini yang
paling dasar itu pun juga belum selesai. Ini kan terlalu.”
“E-planning dan e-budgeting juga belum ada progresnya. Kalau

114
M e n a g i h K o m i t m e n P a p u a B a r at

sampai pertengahan tahun enggak jalan, kami rekomendasikan ke Pak


Gubernur, udahlah suruh minggir aja. Enggak sanggup itu. Kami bayar
mahal, kasih kendaraan dinas, fasilitas ini, fasilitas itu. Tapi luar biasa
enggak gerak sama sekali.”
Di tengah omelan Bob dan Coki, peserta rapat lebih banyak diam.
Duduk paling belakang di baris kanan, seorang pria berkemeja hijau
tak henti merekam Coki dan Bob secara bergantian dengan telepon
genggamnya. Tiga orang lain di kanan kirinya sibuk memotret slide
presentasi KPK yang ditayangkan proyektor.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Papua Barat
akhirnya buka suara. Ia berusaha menjelaskan bahwa selama ini
pihaknya sudah mulai bekerja sama dengan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan sejak Desember 2018. Namun, kerja sama
itu untuk pembuatan sistem informasi manajemen daerah (SIMDA).
Itupun hingga kini belum berjalan.
Penjelasan itu agaknya tidak memuaskan tim. Coki mengatakan
tak ada aplikasi sistem informasi yang paling minim celah ketimbang
e-budgeting dan e-planning. “Saya berkali-kali bilang yang kita
harapkan adalah e-budgeting. Enggak ada kita suruh gunakan SIMDA,”
ujarnya.
Tak ada lagi yang beralasan setelah itu. Beberapa orang di sisi kiri
bertopang dagu. Seorang pria berbaju hijau masih merekam suasana
dengan telepon genggamnya. Di tengah barisan belakang, peserta
berkemeja putih tidur lelap. l

Matahari Prajnaparamitha

115

Anda mungkin juga menyukai