Anda di halaman 1dari 3

Entas dari Labirin Korupsi

Oleh Achmad Fauzi


Wakil Ketua Pengadilan Agama Penajam, Kalimantan Timur
Artikel ini dimuat di Harian Umum Media Indonesia tanggal 10 Desember 2019
Epidemi korupsi kita sudah stadium akut. Menjalar ke berbagai lapisan sosial. Tak
terkecuali kaum muda. Dari tahun 2003 hingga akhir 2016, KPK mencatat 71 anak muda
dengan rentang usia 31 hingga 40 tahun diproses hukum karena korupsi. Data tersebut
menjadi alarm keras bahwa masa depan bangsa ini cukup mengkhawatirkan. Anak muda
yang seharusnya menjadi aktor perubahan justru terpapar perilaku koruptif. Perlu langkah
penyelamatan yang melibatkan berbagai komponen bangsa. Sehingga, perahu bernama
Indonesia tak oleng dihantam badai korupsi.
Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang diperingati setiap tanggal 9 Desember mengajak
masyarakat dunia untuk memerangi kejahatan luar biasa tersebut. Di Indonesia, di bawah
pelopor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), peringatan hari anti korupsi mengajak
bergerak dalam tema besar: “Bersama Melawan Korupsi Mewujudkan Indonesia Maju”.
Tema ini sekaligus menegaskan bahwa tugas pemberantasan korupsi bukan hanya
diemban KPK. Tapi menjadi tanggungjawab bersama seluruh lapisan masyarakat.
Potret korupsi
Silakan disimak sepak terjang elite kita yang kian hari makin kalap. Urusan berbau akhirat
saja nekat dijadikan bancakan. Proyek pengadaan kitab suci Alqur’an dan dana haji adalah
contohnya. Memang tak ada dikotomi wilayah korupsi. Mau korupsi urusan pemerintahan,
yudisial, politik, ataupun agama, semuanya dikualifikasikan perbuatan nista. Hanya saja,
melihat peta perkembangan korupsi yang menjebol wilayah akhirat, kita bisa beranggapan
betapa sifat rakus elite kita sudah melampaui batas.
Celakanya, sifat rakus kaum elite tersebut memperoleh dukungan dari sebagian
kalangan. Berbagai gempuran untuk melemahkan KPK tak pernah surut. Mulai dari
permainan politik legislasi memandulkan peran KPK, rekrutmen penyidik, pelucutan OTT
sebagai senjata pamungkas KPK, hingga politisasi kewenangan pengawasan. Artinya,
musuh kita bukan hanya memberantas perilaku koruptif itu sendiri. Tapi juga melawan
skenario serangan balik melumpuhkan semangat pemberantasan korupsi.
Para elite mestinya berfikir jernih atas nasib bangsa ini. Meski bangsa kita tak lagi dijajah
secara fisik, namun pembiakan korupsi sudah menjajah berbagai urusan
pemerintahan. Dalam satu adegan potret perilaku koruptif, masyarakat berkali-kali
mengernyitkan dahi pertanda rasa tak percaya dan sedih. Terkait kasus jual beli status
opini, misalnya, untuk memperoleh predikat wajar tanpa pengecualian (WTP),
Kementerian/Lembaga menyuap auditor BPK. Padahal, idealnya, untuk memperoleh
status wajar tanpa pengecualian harus memenuhi beberapa kriteria, yakni kesesuaian
dengan standar akuntansi pemerintah, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian internal.
Karena itu, menjadi ironis ketika urusan penting soal penetapan indikator kewajaran
pengelolaan keuangan negara yang seharusnya berpedoman pada kriteria tertentu justru
jadi ladang bisnis memperkaya diri. Padahal opini WTP menjadi pernyataan profesional
yang disematkan BPK dan muaranya dapat mempengaruhi performa keuangan. Hasil audit
dari BPK menjadi referensi utama bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan terkait
pengelolaan anggaran negara.
Secara umum potret pembiakan korupsi bisa dilihat dari sudut tiga dimensi, yakni
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sepanjang tahun 2018, misalnya, KPK mencatat rekor
penanganan korupsi berupa tindakan penyuapan sebanyak 152 perkara. Mirisnya, 91
perkara di antaranya melibatkan anggota legislatif di pusat maupun daerah. Di lingkungan
eksekutif, selama tahun 2018 KPK telah melakukan operasi tangkap tangan sebanyak 30
kepala daerah dengan beraneka modus. Seolah tak mau kalah di lembaga yudikatif juga
menyumbang noktah hitam memperkaya diri dengan menerima suap. Menurut catatan
ICW, dalam periode Maret 2012 hingga November 2018, terdapat 18 hakim dan 10 aparat
pengadilan yang dicokok KPK.
Menyaksikan kondisi tiga cabang kekuasaan negara yang belum bersih dari perilaku
koruptif tersebut, tentu memerlukan langkah bersama dari berbagai unsur. Memberantas
korupsi bukan hanya tugas KPK. Melainkan darma bagi semua elemen bangsa. Semua
harus melakukan taubat nasional dan menyadari bahwa korupsi adalah penjajahan yang
harus segera dihapuskan. Memeranginya adalah jihad di jalan Tuhan.
Persoalannya saat ini logika masyarakat tengah berupaya dijungkirbalikkan oleh sebagian
elite. Kerja KPK dalam urusan operasi tangkap tangan, misalnya, disebut tidak efektif dan
terkesan pencitraan. Padahal OTT oleh KPK terbukti berhasil menyelamatkan uang negara
dari garong berdasi. OTT secara psikologis juga memberikan efek rasa takut bagi pejabat
lain untuk korupsi. Namun, anehnya logika tersebut terus didengungkan ke masyarakat
dengan maksud agar KPK kendor dan kehabisan dukungan. Karena itu, upaya membangun
opini publik yang kontraproduktif dengan langkah pemberantasan korupsi tersebut jangan
sampai meracuni akal sehat kita.
Mengentaskan tiga cabang kekuasaan negara dari labirin korupsi harus dimulai dari proses
penegakan hukum yang serius dan menjerakan. Vonis rendah sah dan tidak melawan
hukum. Sepanjang penjatuhan vonis tersebut berpegang pada prinsip keadilan,
imparsialitas dan kejujuran dalam mengadili perkara. Karenanya semua pihak wajib
menghormati putusan hakim. Namun, pada saat bersamaan hakim tetap dituntut
membangun sensitivitas dalam melihat korupsi sebagai persoalan utama bangsa. Sehingga
putusan yang dijatuhkan mampu memenuhi dahaga keadilan masyarakat sebagai korban
utama korupsi. Artinya, keseriusan hakim melihat kegentingan korupsi sebagai penyakit
luar biasa yang harus diberantas, akan berbanding lurus dengan judicial activism yang
terpatri dalam setiap pertimbangan putusannya.
Selain melalui kanal penindakan, perang melawan korupsi juga harus dilakukan melalui
desain pencegahan. Salah satunya dengan mendesain kurikulum pendidikan antikorupsi.
Perilaku kemaruk adalah persoalan mental yang buruk dan pendidikan karakter yang gagal.
Akibatnya, anak muda yang seharusnya bangga diamanahi memegang obor idealisme, tapi
karena porsi pendidikan karakternya minim, akhirnya justru dia sendiri yang memadamkan
api antikorupsi.
Karena itu, semua Perguruan Tinggi (PT) harus menjadi pelopor lahirnya kaum terdidik
yang komitmen menjaga negara dari penyakit korupsi. Sebagai taggungjawab akademis,
PT harus ikut andil dengan memasukkan materi antikorupsi dalam materi ajar. Kaum
terdidik tidak hanya dibekali keahlian dan kognisi, tapi juga karakter kuat yang mampu
mewarnai sendi birokrasi pemerintahan menjadi lebih baik.
PENGALAMAN KEPENULISAN

 Aktif menulis di berbagai media nasional maupun lokal, seperti Harian Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo,
Majalah Gatra, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, Koran Jakarta, Republika, Koran
Kontan, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Suara Karya, Radar Surabaya, Sriwijaya Post, Banjarmasin Post,
Pontianak Post, Bangka Post, Tribun Kaltim, Kaltim Post, Balikpapan Pos, Lampung Post, Jurnal Millah,
Jurnal La Riba, Jurnal Al Mawarid, Mimbar Hukum, Varia Peradilan, Majalah Komisi Yudisial dan lain-
lain.

BUKU KARYA

 Buku Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro (LeutikaPrio, Yogyakarta, 2012)


 Anasir Kejahatan Peradilan (LeutikaPrio, Yogyakarta, 2013)
 Korupsi dan Pengauatan Daulat Hukum (UII Press, Yogyakarta, 2015)

Anda mungkin juga menyukai