Anda di halaman 1dari 51

BAB 3.

PENDIDIKAN EKONOMI FORMAL


KELOMPOK 3
1.Citra Nur Fadila (210904502008)
2. Besse Nabila (210904502023)
3.Azizah Nursyahbani Jufri (210904502014)
4.Nurfathya Aulia (210904502019)
KELAS C/03
PENDIDIKAN EKONOMI

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, diharapkan Anda dapat:
1. Menjelaskan konsep pembelajaran ekonomi berbasis ekonomi kreatif.
2. Menjelaskan tentang pengaruh literasi ekonomi terhadap moralitas ekonomi
melalui rasionalitas ekonomi mahasiswa.
3. Menjelaskan tentang pengembangan kurikulum pendidikan ekonomi untuk
meningkatkan literasi ekonomi siswa sekolah dasar.
4. Menjelaskan tentang pengaruh pendidikan, pekerjaan dan pendapatan orang
tua terhadap prestasi belajar ekonomi pada siswa SMA.
5. Menjelaskan tentang pengaruh pendidikan ekonomi keluarga, teman pergaulan
terhadap literasi ekonomi mahasiswa.
6. Menjelaskan tentang potensi wirausaha pada program pelatihan kewirausahaan
mahasiswa.
7. Menjelaskan tentang implementasi pendidikan ekonomi berbasis kearifan lokal
untuk mewujudkan lulusan berkarakter di universitas.
8. Menjelaskan tentang pengaruh pendidikan kewirausahaan terhadap minat
mahasiswa untuk berwirausaha.
9. Menjelaskan tentang pengaruh pendidikan ekonomi keluarga terhadap perilaku
konsumsi dimediasi literasi ekonomi dan gaya hidup pada mahasiswa.

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia dipengaruhi juga oleh pendidikan. Oleh karena


itu pentingnya arti pendidikan bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan
meningkatkan produktivitas belajar agar para penerus bangsa yang masih belajar bisa

1
lebih memahami ilmu ekonomi dan dapat meningkatkan perekonomian di Indonesia
yang sedang terpuruk. Dengan kebutuhan ekonomi yang semakin hari semakin
meningkat, faktor pendidikanlah yang akan membantu pertumbuhan ekonomi itu,
karena dengan pendidikan itulah akan menghasilkan kualitas-kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) yang lebih profesional baik untuk sektor industri maupun sektor
pertanian, dan dari situlah akan berdampak dan berpengaruh pada pertumbuhan
ekonomi bangsa Indonesia dimasa yang akan datang.
Masalah pendidikan sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari masalah ekonomi. Baik
secara langsung maupun tidak langsung, kontribusi pendidikan terhadap ekonomi
dan pembangunan harus diakui. Dengan demikian, tidak selamanya pendidikan
dianggap sebagai konsumsi atau pembiayaan. Sudah saatnya, pendidikan harus
dipandang sebagai investasi, yang secara jangka panjang kontribusinya dapat
dirasakan. Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investment)
telah berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa
pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan
sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya manusia
(human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic
growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776),
Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19
yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.
Perkembangan tersebut telah mempengaruhi stigma dan pola pemikiran berbagai
pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti
dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor
pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan selain
sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human
capital investement) dan menjadi “leading sektor” atau salah satu sektor utama. Oleh
karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh,
misalnya komitmen terhadap anggaran pada sektor pendidikan tidak kalah dengan
sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi dalam format intervensi ekonomi
(dukungan anggaran) dimaksud dalam pendidikan berkorelasi dengan kemajuan
pembangunan makronya termasuk pembangunan ekonomi itu sendiri.

2
Peran ekonomi dalam pendidikan cukup menentukan tetapi bukan sebagai pemegang
peranan penting. Sebab ada hal lain yang lebih menentukan hidup atau matinya dan
maju mundurnya suatu lembaga pendidikan dibandingkan dengan ekonomi, yaitu
dedikasi, keahlian dan ketrampilan pengelola guru-gurunya. Inilah yang merupakan
kunci keberhasilan suatu sekolah atau perguruan tinggi.
Artinya apabila pengelola dan guru-guru atau dosen-dosen memiliki dedikasi yang
memadai, ahli dalam bidangnya dan memiliki keterampilan yang cukup dalam
melaksanakan tugasnya, memberi kemungkinan lembaga pendidikan akan sukses
melaksanakan misinya walaupun dengan ekonomi yang tidak memadai. Fungsi
ekonomi dalam pendidikan adalah menunjang kelancaran proses pendidikan bukan
merupakan modal yang dikembangkan dan juga mendapatkan keuntungan yang
berlimpah. Disini peran ekonomi dalam sekolah juga merupakan salah satu bagian
dari sumber pendidikan yang membuat anak mampu mengembangkan kognisi,
afeksi, psikomotor untuk menjadi tenaga kerja yang handal dan mampu menciptakan
lapangan kerja sendiri, memiliki etos kerja dan bisa hidup hemat. Selain sebagai
penunjang proses pendidikan ekonomi pendidikan juga berfungsi sebagai materi
pelajaran dalam masalah ekonomi dalam kehidupan manusia.

PEMBELAJARAN EKONOMI BERBASIS EKONOMI KREATIF

Ekonomi kreatif di Indonesia dibentuk melalui program Indonesian Design Power


(IDP) oleh Departemen Perdagangan untuk membantu pengembangan ekonomi
kreatif di Indonesia, yang bertujuan untuk menempatkan produk Indonesia menjadi
produk yang dapat diterima di pasar Internasional. Berdasarkan sasaran, arah dan
strategi pengenbangan ekonomi kreatif tersebut salah satunya yaitu meningkatkan
sumber daya manusia (SDM) kreatif yang berkualitas secara berkesinambungan dan
tersebar merata di wilayah Indonesia. Hal ini tentu saja diperlukan peran dari jalur
pendidikan untuk membentuk insan-insan kreatif dan mencetak wirausaha dengan
memperkenalkan ekonomi kreatif di kalangan generasi muda sejak dini.
Pembelajaran ekonomi adalah pembelajaran yang dinamis serta dekat dengan
kehidupan sehari-hari peserta didik. Oleh karena itu pembelajaran ekonomi harus
dipersiapkan sesuai kebutuhan dari peserta didik untuk mengahadapi tantangan yang
akan mereka hadapi. Sebagaimana tujuan pelajaran ekonomi yaitu membentuk sikap

3
bijak, rasional, dan bertanggung jawab dengan memiliki pengetahuan dan
keterampilan ilmu ekonomi yang bermanfaat bagi diri sendiri, rumah tangga,
masyarakat, dan negara (Permen 22 Tahun 2006-Standar isi).

Tahun 2006 presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan untuk


mengembangkan ekonomi kreatif melalui pembentukan program Indonesian Design
Power (IDP) oleh Departemen Perdagangan untuk membantu pengembangan
ekonomi kreatif di Indonesia. Jhon Howkins (2002) menjelaskan bahwa ekonomi
kreatif ialah segala kegiatan ekonomi yang menjadikan kreatifitas (kekayaan
intelektual), budaya dan warisan budaya maupun lingkungan sebagai tumpuan masa
depan. Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
72 Tahun 2015 tentang perubahan atas Inpres Nomor 6 Tahun 2015 dengan
membentuk Badan Ekonomi Kreatif (BEK). Sasaran, arah dan strategi pengenbangan
ekonomi kreatif tersebut yaitu meningkatkan sumber daya manusia (SDM) kreatif
dan berkualitas secara berkesinambungan serta tersebar merata di wilayah Indonesia.
Peningkatan SDM dinilai penting untuk meningkatkan daya saing. (Asia Case
Research Centre University of Hong Kong:2007:2). Florida (2002) mengatakan
bahwa ekonomi kreatif digerakan oleh insan kreatif. Kenyataannya dalam
pembelajarn ekonomi Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah (SMA/MA) belum
memasukkan nilai-nilai ekonomi kreatif dalam pembelajaran ekonominya. (Ekonomi
Kreatif: kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025 Rencana Aksi Jangka Menengah
2015-2019: 2014:197). Terwujudnya pembelajarn ekonomi yang berorientasi
ekonomi kreatif dibutuhkan pendekatan pembelajaran kontekstual.

Dalam pembelajaran kontekstual, guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya


dengan situasi dunia nyata siswa serta mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, pendekatan kontekstual menekankan pada dua kemampuan yakni
kemampuan menghubungkan materi pelajaran dengan dunia nyata dan kemampuan
aplikatif dalam kehidupan siswa. Dengan demikian, mareka menyadari bahwa
kegiatan pembelajaran yang diikutinya berguna bagi kehidupannya. Apabila kondisi
tersebut telah terbentuk, maka siswa akan termotivasi mengikuti dan berpartisipasi
dalam kegiatan pembelajaran, sehingga tujuan akan tercapai secara optimal. Selain

4
itu, perlu ditanamkan nilai-nilai ekonomi kreatif. Penelitian ini bertujuan untuk
mengembangkan Konsep Pembelajaran Ekonomi Berbasis Ekonomi Kreatif. Mata
pelajaran ekonomi adalah bagian dari mata pelajaran di sekolah yang mempelajari
perilaku individu dan masyarakat dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya yang
tak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas jumlahnya. Pemahaman
mengenai karakteristik ilmu ekonomi bagi guru ekonomi akan membantu dalam
mengorganisasikan pengajarannya secara optimal. Pengorganisasian kemampuan
yang dimiliki memunculkan adanya kaitan dan identifikasi yang jelas antara materi
yang akan dikembangkan menjadi bahan ajar dengan rancangan proses belajar yang
akan dikembangkan agar materi tersebut menjadi sesuatu yang learnable dan efektif
untuk mencapai tujuan.

Ekonomi kreatif pada dasarnya adalah kegiatan ekonomi berbasis gagasan. Jadi
dengan modal gagasan atau ide yang tentu saja orisinal, seseorang bisa mendapatkan
keuntungan ekonomi yang signifikan. Istilah ekonomi kreatif dicetuskan oleh tokoh
bernama Jhon Howkins, penulis buku “Creative Economy, How People Make
Money from Ideas.” Jhon Howkins menyatakan bahwa ekonomi kreatif adalah
kegiatan ekonomi dimana input dan outpunya adalah gagasan, karena esensi dari
kreativitas adalah gagasan. Gagasan dimaksud adalah gagasan orisinil dan dapat
diproteksi oleh Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Dr. Richard Florida dalam buku
“The Rise of Creative Classs” dan “Cities and the Creative Class”. Menyatakan:

Seluruh umat manusia adalah kreatif. Perbedaannya adalah pada statusnya


(kelasnya), karena ada individu-individu secara khusus bergelut di bidang kreatif.
Tempat-tempat dan kota-kota yang mampu menciptakan produk-produk baru
inovatif tercepat akan menjadi pemenang kompetisi di era ekonomi.

Ekonomi kreatif merupakan era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan
kreativitas dengan mengandalkan pada ide dan stock of knowledge dari SDM sebagai
faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Diluncurkannya program dengan
tajuk “ekonomi kreatif” diharapkan dapat membantu mengurangi kesenjangan
perekonomian. Dengan ekonomi kreatif, rakyat menjadi mandiri, ketergantungan
rendah, mengikis mental buruh, menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi
pengangguran, menyemarakkan dunia pariwisata, dan dapat menggait devisa. Untuk

5
itu, pemerintah menggagas ekonomi kreatif di Indonesia dengan memasukkan
ekonomi kreatif dalam kurikulum pendidikan yang tertuang dalam. Hal ini
merupakan salah satu inovasi yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki sistem
pendidikan Indonesia. Penerapan ekonomi kreatif dapat diterapkan saat proses
pembelajaran, dimana guru memberikan contoh aplikasi materi tersebut dalam
kehidupan sehari-hari yang dapat memberikan nilai ekonomi dan sebaiknya guru
dapat memotivasi peserta didik agar dapat memunculkan kreatifitasnya, sehingga
peserta didik terpacu untuk mengeluarkan ide-idenya dan menciptakan suatu inovasi
baru yang mempunyai nilai ekonomi dan daya jual.

Berns and Ericson (2001:2) menjelaskan bahwa :

Contextual teaching and learning is a conception of teaching and learning that helps
teachers relate subject matter content to real world situations; and motivates students
to make connections between knowledge and its applications to their lives as family
members, citizens and workers and engage in the hard work that learning requires.

Artinya, pembelajaran kontekstual ialah konsep belajar-mengajar yang membantu


guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata anak didik
dan mendorong anak didik membuat hubungan antara pengetahuannya dengan
penerapannya dalam kehidupan. Pengembangan ekonomi kreatif Indonesia ini
merupakan wujud optimisme untuk mendukung visi Indonesia menjadi negara yang
maju dimana terdapat pemikiran-pemikiran, cita-cita, imajinasi dan menjadi
masyarakat dengan kualitas hidup yang tinggi, sejahtera dan kreatif. Adanya
dukungan dari pemerintah ini, seyogyanya ekonomi kreatif mampu memasuki
pendidikan formal dan terintegrasi di dalamnya. Salah satunya dengan
mengaplikasikan pada pembelajaran ekonomi konvensional. Pembelajaran ekonomi
berbasis ekonomi kreatif dapat dijadikan salah satu cara agar masyarakat Indonesia
menjadi insan kreatif. Seperti yang dikatakan oleh Florida (2002) bahwa ekonomi
kreatif digerakan oleh insan kreatif. Meski secara teori pendidikan ekonomi kreatif
masih belum memiliki landasan yang kuat, potensi ekonomi kreatif dapat menjadi
dasar untuk mengembangkan pendidikan ekonomi kreatif sebagai bidang kajian yang
prospektif. Karena itu, untuk mendukung landasan teori kajian dan pengujian yang

6
serius dan intensif diperlukan, sehingga kehadiran pendidikan ekonomi kreatif dalam
dunia pendidikan dapat kokoh.

PENGARUH LITERASI EKONOMI TERHADAP MORALITAS EKONOMI


MELALUI RASIONALITAS EKONOMI MAHASISWA

Dikalangan remaja masalah moral ekonomi masih sangat rendah karena para remaja
biasanya bersikap rasional dalam berekonomi. Masalah utama yang dikaji dalam
penenlitian ini adalah moralitas ekonomi. Berbicara tentang moralitas, menjelang
dekade 90an melalui berbagai penelitian dan kajian atas kehidupan sosial
kemasyarakatan Etzioni (1992) memaparkan berbagai bukti bahwa perilaku ekonomi
manusia semata-mata tidak hanya didominasi oleh rasionalitas, tetapi dipengaruhi
pula oleh pertimbangan-pertimbangan untuk memperhatikan, menghargai, dan
mempedulikan orang lain, yang disebut dengan moralitas. Adanya pertimbangan
moral dalam perilaku ekonomi pada dasarnya secara logika dianggap suatu yang
wajar, oleh karena dalam kehidupannya manusia senantiasa berinteraksi dengan
orang lain maupun kelompok sosial yang ada di lingkungannya. Pengalaman yang
diperoleh dari interaksi tersebut disadari atau tidak, akan menumbuhkan sikap positif
terhadap pihak lain dan termanifestasikan dalam perilaku yang mengacu pada
komitmen moral. Identik dengan kehidupan manusia yang memiliki dua sisi, yaitu
sebagai pribadi dan sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat, manusia dalam
menjamin tercapainya kepentingan ekonomi, juga memiliki dua dimensi yang
berpengaruh terhadap perilaku ekonominya, yaitu dimensi rasionalitas untuk
menjamin kepentingan pribadinya dan dimensi moralitas yang menjamin kehidupan
sosialnya. Meskipun dalam kondisi tertentu manusia sering dihadapkan pada
alternatif untuk lebih mengutamakan salah satunya tetapi keduanya tidak saling
meniadakan dan mengabaikan salah satunya.

Menurut Etzioni (1992) ada empat kriteria yang dapat dijadikan acuan untuk menilai
suatu tindakan moral, meliputi: (1) mencerminkan suatu imperatif, (2) mencerminkan
suatu generalisasi, (3) mencerminkan suatu simetri bila diterapkan kepada orang lain,
dan (4) dimotivasi secara intrinsik. Keempatnya merupakan suatu kesatuan yang
dapat dipergunakan untuk mendefinisi tindakan moral. Cerminan imperatif pada
tindakan moral, tampak dari adanya keharusan maupun ketertarikan pada kewajiban.

7
Dalam hal ini, tindakan yang dilakukan tidak memperhitungkan biaya dan
keuntungan, atau kemanfaatan bagi kepentingan pribadi. Tindakan dilakukan semata-
mata karena diyakini benar. Keyakinan atau kebenaran suatu tindakan moral, harus
dapat digeneralisasikan baik kepada pihak lain maupun diri sendiri dengan merujuk
kepada kaidah atau norma umum yang berlaku. Tenggang rasa dapat dijadikan
sebagai landasan untuk menilai kemampuan seseorang dalam menggeneralisasikan
tindakan moralnya. Disamping penggeneralisasian, diperlukan pula simetri untuk
menyeimbangkan tindakan agar sesuai dengan orang lain yang setara, sebanding
keadaanya, dan memiliki kedudukan maupun hak yang sama. Cerminan simetri
dalam tindakan moral, mendorong seseorang untuk tidak bertindak sewenang-
wenang terhadap pihak lain. Dalam konteks moralitas, manusia seharusnya memiliki
kesetaraan dalam penilaian baik dan buruk atau benar dan salah suatu tindakan.
Akhirnya, tindakan moral seharusnya memperkokoh suatu komitmen, dan hal itu
dapat dicapai bila ada motivasi dalam diri individu untuk bertindak secara moral.
Sebagai dimensi perilaku yang bersangkut paut dengan orang lain, pembentukan
komitmen moral dalam perilaku berlangsung sejalan dengan perkembangan kognitif,
perilaku belajar, dan pemahaman atas jalinan aturan yang menggariskan hubungan
antar individu yang terlibat dalam suatu sistem sosial. Dikaitkan dengan ciri
kepribadian yang telah dibawa oleh seseorang sejak lahir yang juga berpengaruh
terhadap pola perilaku, menjadikan masing-masing individu memiliki komitmen
moral yang berbeda. Dalam konteks perilaku ekonomi, ciri kepribadian yang
dimaksud adalah rasionalitas. Sejak pertama munculnya kajian ekonomi secara
ilmiah, diyakini bahwa rasionalitas merupakan satu-satunya faktor yang mendasari
perilaku ekonomi manusia. Berdasarkan keyakinan yang demikian maka berbagai
analisis yang melahirkan teori-teori ekonomi, dilandasi oleh asumsi bahwa manusia
selalu berperilaku rasional untuk memaksimalkan keuntungannya saat yang
bersangkutan bertindak sebagai produsen atau penjual, dan memaksimalkan
kepuasannya saat bertindak sebagai konsumen.

Dalam konteks yang demikian, rasionalitas dipergunakan untuk mencapai


pemenuhan keuntungan atau kepentingan pribadi. Secara sosial bila masing-masing
individu diberi keleluasaan untuk mengembangkan rasionalitasnya bagi kepentingan
pribadinya, akan tercapai harmonisasi dalam kehidupan ekonomi kemasyarakatan.

8
Dalam fenomena keseharian, tidak dapat dibantah kenyataannya individu yang
mampu menerapkan kemampuan rasionalitasnya dalam perilaku ekonomi, mampu
mencapai kesejahteraan ekonomi lebih baik dibandingkan dengan individu lain yang
kurang rasional dalam perilaku ekonominya. Contoh nyata dalam kehidupan kita
terlihat dari kemampuan orang-orang etnis Cina yang mampu mencapai kehidupan
ekonomi lebih baik, dibandingkan dengan kebanyakan pribumi yang kurang bisa
membedakan mana kepentingan ekonomi dan mana kepentingan sosial melalui
pemikiran yang masuk akal. Seseorang yang rasional dalam aktivitas ekonominya
memiliki kemampuan untuk mengakses informasi bagi pencapaian tujuan
ekonominya; mampu menentukan tujuan yang layak pencapaiannya; mampu
menyusun rencana untuk mencapai tujuan yang ditentukan; mampu menilai tujuan
perilaku ekonomi; mampu untuk menimbang logika dalam aktivitas ekonominya.
Pemanfaatan berbagai kemampuan tersebut pada akhirnya akan menghasilkan
efektivitas dan efisiensi dalam aktivitas ekonomi seseorang. Bila Etzioni
berkeyakinan bahwa antara rasionalitas dan moralitas saling mempengaruhi, sesuai
dengan proses pembentukan dan pengembangannya, lebih tepat bila dinyatakan
bahwa rasionalitas mempengaruhi moralitas dan/atau tidak sebaliknya. Dengan
menerima pembenaran bahwa pada prinsipnya motif yang mendasari perilaku
ekonomi adalah perolehan insentif bagi diri-sendiri termasuk motif dalam perilaku
yang bernuansa komitmen moral maka arah pengaruh rasionalitas terhadap moralitas
sebebnarnya bersifat positif, artinya makin tinggi tingkat rasionalitas seseorang akan
makin tinggi tingkat moralitasnya. Selain itu dengan tingkat rasionalitas yang tinggi,
akan memampukan seseorang untuk mengembangkan pemikiran yang logis akan
pentingnya penciptaan harmonisasi dalam kehidupan sosial, melalui cerminan
komitmen moral dalam perilakunya. Dari pemikiran yang demikian bisa
dimunculkan paradoks: lebih baik mana antara orang kaya yang memperoleh
kekayaan dengan cara tidak baik tetapi dengan kenyataannya dia berbuat banyak bagi
orang lain yang kekurangan, dibanding orang miskin yang karena kemiskinannya
tidak mampu membantu orang lain? Literasi ekonomi juga ikut mempengaruhi
moralitas ekonomi.

Di lingkungan kampus, pada dasarnya berlangsung proses pembelajaran dari dosen


terhadap mahasiswanya tentang berbagai hal terutama dalam aktivitas ekonomi.

9
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dosen melalui pembelajaran ekonomi
selain berperan sebagai pendidik untuk membelajarkan mahasiswanya dalam
aktivitas ekonomi, agar mereka menjadi pelaku ekonomi yang produktif dan mampu
mengatur kebutuhan konsumsinya dengan baik. Dosen juga berperan untuk mendidik
para mahasiswa agar mempunyai komitmen moral dan rasional dalam berperilaku
ekonomi. Efektif tidaknya proses pendidikan yang diarahkan untuk pembentukan
moralitas ekonomi sangat dipengaruhi oleh intensitas keterlibatan pembelajar dalam
kondisi yang memungkinkan terjadinya pembelajaran. Pendidikan ekonomi di
perguruan tinggi akan lebih efektif bila dilakukan berdasarkan prinsip learning by
doing atau belajar berdasarkan pembiasaan.

Pengaruh Literasi Ekonomi (X1) terhadap Moralitas Ekonomi (Y2)

Hipotesis yang akan dibuktikan yaitu “ada pengaruh literasi ekonomi terhadap
moralitas ekonomi”. Ringkasan hasil pengujian data SPSS dapat dilihat pada Tabel 1
di bawah ini:

Tabel 3.1 Hasil Analisis Pengaruh Literasi Ekonomi terhadap Moralitas Ekonomi

Variabel Standardized Sig Keterangan


Coefficient

Bebas Terikat Beta

Literasi Ekono Moralitas .165 .076 Tidak


mi Ekonomi Signifika n

Pengaruh Rasionalitas (Y1) terhadap Moralitas Ekonomi (Y2)

Hipotesis yang akan dibuktikan yaitu “ada pengaruh langsung rasionalitas terhadap
moralitas ekonomi”. Ringkasan hasil pengujian data SPSS dapat dililhat pada Tabel
2 di bawah ini:

Tabel 3.2 Hasil Analisis Pengaruh Rasionalitas terhadap Moralitas Ekonomi

Variabel Standardized Sig Keterangan

10
Coefficient

Bebas Terikat Beta

Rasionalitas Moralitas . 549 .000 Signifikan


Ekonomi

Berdasarkan hasil hipotesis dapat diketahui bahwa besarnya koefesien pengaruh


rasionalitas (Y1) terhadap moralitas ekonomi (Y2) yang ditunjukkan oleh nilai
Standardized Coefecient/Beta adalah .549. taraf signifikannya adalah 0.000 (pada
α=0.05). oleh karena taraf signifikansinya lebih kecil dari 0.05 dan nilai Standardized
Coefecient/Beta menunjukkan positif maka, H0 ditolak atau “ada pengaruh langsung
rasionalitas terhadap moralitas ekonomi” sehingga dapat disimpulkan bahwa
rasionalitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap moralitas ekonomi
mahasiswa.

Pengaruh Literasi Ekonomi (X1) terhadap Moralitas Ekonomi (Y2) Melalui


Rasionalitas Ekonomi (Y1)

Hipotesis yang akan dibuktikan yaitu “ada pengaruh tidak langsung literasi ekonomi
terhadap moralitas ekonomi melalui rasionalitas ekonomi”. Pengujian ini dilakukan
melalui dua blok jalur, yang menguji literasi ekonomi (X1) terhadap rasionalitas
ekonomi (Y1). Sedangkan blok jalur yang akan diuji selanjutnya adalah blok yang
menguji pengaruh rasionalitas (Y1) terhadap moralitas ekonomi (Y2) pengujian
masing-masing blok jalur tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini:

Tabel 3.3 Pengaruh Literasi Ekonomi Terhadap Moralitas Ekonomi Melalui


Rasionalitas Ekonomi

Variabel Standardized Sig Keterangan


Coefficient

Bebas Terikat Beta

Literasi Rasionalitas .336 .000 Signifikan

11
Ekonomi

Rasional itas Moralitas .549 .000 Signifikan


Ekonomi

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dapat diketahui bahwa besarnya koefisien


pengaruh literasi ekonomi (X1) terhadap rasionalitas (Y1) yang ditunjukkan oleh
Standardized Coefocient/Beta adalah 336. taraf signifikansinya adalah 0.000 (pada
α=0.05).Oleh karena taraf signifikan lebih kecil dari 0.05 maka H0 di tolak atau
“literasi ekonomi berpengaruh signifikan terhadap rasionalitas mahasiswa” Dari hasil
pengujian pada Tabel 3 terlihat bahwa ada pengaruh yang signifikan antara literasi
ekonomi (X1) terhadap rasionalitas Ekonomi (Y1) dan rasionalitas ekonomi (Y1)
terhadap moralitas ekonomi (Y2). Hasil pengujian ini memperlihatkan adanya
pengaruh tidak langsung literasi ekonomi (X1) terhadap moralitas ekonomi (Y2)
melalui rasionalitas ekonomi (Y1). Dimana besarnya pengaruh tidak langsung ini
dapat ditentukan dengan mengalikan koefisien jalurnya yaitu py1x1 X py1y2 = 336 x
549 = 184.464.

Pengaruh Literasi Ekonomi terhadap Moralitas Ekonomi

Temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa literasi ekonomi tidak berpengaruh


secara langsung terhadap moralitas karena pada sebagian indikator literasi ekonomi
pada dasarnya hanya untuk melihat pengetahuan bukan untuk melihat bagaimana
perilaku ekonomi mahasiswa dan indikatornya pun bernuansakan sikap rasionalitas
ekonomi. Disadari sepenuhnya bahwa pendidikan ekonomi perguruan tinggi, dilihat
dari sisi bahan ajarnya, strategi pembelajarannya maupun evaluasi pencapaian
tujuannya, mulai jenjang sekolah dasar hingga lanjutan tingkat atas dan perguruan
tinggi, lebih banyak memberikan pengetahuan dan keterampilan, serta sedikit sekali
yang mengarah pada pembentukan sikap untuk menjadikan peserta didik sebagai
pelaku ekonomi yang efektif dan efisien sekaligus bermoral. Di samping itu, khusus
untuk bahan ajar pendidikan ekonomi, sedikit sekali dibahas fenomena kehidupan
ekonomi yang biasa ditemui dan dialami oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-
hari. (Wahyono: 2001). Menurut Ki Buntarsono (dalam Zuriah: 2011), pendidikan

12
seharusnya diarahkan agar tidak hanya mengejar intelektual saja. Akan tetapi, moral
anak didiknya juga harus diperkuat. Jika yang dikejar hanya intelektualnya saja maka
itu dinamakan pengajaran, tetapi jika dikejar intelektual dan moralnya maka hal itu
bisa dikatakan sebagai pendidikan. Oleh karena itu, bila seseorang cerdas secara
akademik, namun rusak secara moral, maka hanyalah membangun sebuah tragedi
kemanusiaan yang terdahsyat yang dapat mempercepat kehancuran dunia seluruh
kehidupannya.

Theodore Rosevelt berpendapat: to educate a person in mind and not in morals is to


educate a menace to society (mendidik seseorang hanya dalam aspek kecerdasan otak
dan bukan pada aspek moral adalah mendidik marabahaya kepada masyarakat)
(Mursidin: 2011).Hasil penelitian yang membuktikan adanya pengaruh antara
rasionalitas ekonomi terhadap moralitas ekonomi mahasiswa, dapat dijelaskan
berdasarkan temuan dan interprestasi sebelumnya. Temuan ini sesuai dengan
prediksi hipotesis yang memprediksikan bahwa rasionalitas berpengaruh terhadap
moralitas ekonomi. Walaupun keduanya secara teoritis memang saling bertentangan,
oleh karena rasionalitas dalam konteks perilaku ekonomi lebih mengarahkan manusia
untuk mementingkan diri sendiri, sementara moralitas mengarahkan manusia untuk
memperhatikan, menghargai dan peduli terhadap orang lain. Tetapi hasil temuan
penelitian mengungkapkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara rasionalitas
ekonomi terhadap moralitas ekonomi. Hal ini sejalan dengan pendapat Etzioni (1992)
yang menyatakan moralitas dalam perilaku ekonomi tidak dimaknai sebagai ketaatan
mutlak terhadap pranata-pranata, maupun penghilangan sepenuhnya rasionalitas
untuk mencapai kepentingan pribadi, akan tetapi lebih dimaknai sebagai kesadaran
yang dimiliki oleh pelaku ekonomi untuk menghargai, memperhatikan dan peduli
terhadap pihak lain, tanpa harus menjadi taat sepenuhnya pada pranata ekonomi yang
berlaku dalam masyarakat, maupun hilangnya motif untuk mencapai kepentingan
pribadi. Temuan dalam penelitian ini memperkuat proposisi yang diajukan oleh
Etzioni, bahwa dengan memperhatikan dan mempertimbangkan dimensi moral,
seseorang tidak perlu kehilangan rasionalitasnya dalam perilaku ekonomi. Justru
seseorang yang memiliki tingkat rasionalitas tinggi akan memiliki komitmen moral
yang tinggi dalam perilaku ekonominya. Oleh karena dengan rasionalitas seseorang
makin mampu menyadari akan kepentingannya untuk menjaga keharmonisan

13
hidupnya dalam lingkungan sosial dimana mereka hidup dan menjalani kehidupan
ekonominya. Selain itu dimungkinkan pula dalam kondisi perekonomian yang
sedang terpuruk sekarang ini, dimana banyak anggota masyarakat mengalami
kesulitas ekonomi, menumbuhkan kepedulian terhadap sesama, sehingga pengukuran
tingkat moralitas yang notaben dalam penelitian ini dimaknai sebagai perhatian,
penghargaan dan kepedulian terhadap pihak lain, memberikan tingkatan yang
tinggi.Apapun penyebabnya yang jelas hasil penelitian membuktikan bahwa makin
tinggi tingkat rasionalitas, makin tinggi pula tingkat moralitas responden dan hal
tersebut memperkuat teori Etzioni dan ekonom lain yang peduli dengan masalah
moralitas dalam perilaku ekonomi.

Hasil penelitian yang membuktikan adanya pengaruh rasionalitas terhadap moralitas,


mengoreksi pandangan kaum Klasik maupun NeoKlasik yang meyakini bahwa setiap
aktivitas ekonomi hanya dilandasi oleh rasionalitas untuk mencapai kepentingan
pribadi. Dengan pandangan yang demikian memang diakui adanya perbedaan
preferensi antar individu dalam perilaku ekonominya, akan tetapi tidak pernah dapat
dilakukan penilaian preferensi yang lebih baik secara moral. Secara ekstrim Crouch
(dalam Wahyono: 2001) mengungkapkan bahwa tidak adanya penilaian terhadap
preferensi individu secara moral, mengharuskan kita untuk menerima banyak sumber
kejahatan di dunia. Menyertakan faktor moralitas dalam model-model analisis
perilaku ekonomi, khususnya dalam aktivitas ekonomi akan memberikan hasil kajian
yang lebih komprehensif dan lebih realistis sesuai dengan fenomena kehidupan
ekonomi masyarakat.

Hasil penelitian yang membuktikan adanya pengaruh literasi ekonomi terhadap


moralitas yang dimediasi oleh rasionalitas ekonomi mahasiswa, dapat dijelaskan
berdasarkan temuan dan interpretasi sebelumnya. Sikap moralitas ekonomi pada
dasarnya secara lebih intens tertanam pada diri masing-masing mahasiswa berbeda
dengan sikap rasionalitas ekonomi yang pada dasarnya tertanam melalui pengalaman
secara langsung untuk menjalani kehidupan ekonomi, dibandingkan melalui
pengetahuan yang diperoleh dari proses pembelajaran di perguruan tinggi. Sementara
itu literasi ekonomi diperkaya perolehannya melalui pembelajaran ekonomi di
perguruan tinggi. Oleh karenanya wajar apabila literasi ekonomi tidak memiliki

14
pengaruh yang signifikan terhadap moralitas secara langsung tetapi memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap rasionalitas ekonomi, karena pada sebagian
indikator literasi ekonomi pada dasarnya bernuansakan sikap rasionalitas ekonomi.

Apabila didalami lebih lanjut terkait dengan pelaksanaan pembelajaran ekonomi di


perguruan tinggi temuan seperti diungkapkan di atas, memberikan pemahaman
bahwa pelaksanaan pembelajaran ekonomi di perguruan tinggi, lebih menitik
beratkan pada penanaman pengetahuan, dan kurang memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk mempraktekkan pengetahuan ekonomi yang mereka pelajari.
Selain itu pembelajaran ekonomi yang lebih menitik beratkan pada pengetahuan saja
akan membuat mahasiswa tidak memahami apa itu nilai dari pengetahuan yang
mahasiswa dapatkan. Karena itu bukanlah termasuk belajar yang baik, bila seseorang
baru memperoleh informasi atau pengetahuan belaka. Belajar meniscayakan bagi
seseorang untuk memperoleh makna dari setiap informasi yang dipelajarinya.
Pemerolehan makna menjadi ukuran dari setiap proses pembelajaran. Tak ada proses
belajar bila belum menghasilkan rekonstruksi makna baru yang dapat memberikan
pencerahan bagi si pembelajar. (Mursidin: 2011). Manusia dalam perilaku
ekonominya senantiasa bertindak rasional, artinya tindakan-tindakan manusia yang
bersangkutpaut dengan masalah-masalah ekonomi, menurut pertimbangan akal sehat,
setiap manusia akan selalu berupaya untuk meraih keuntungan yang sebesar-
besarnya. Meskipun demikian dalam penelitian ini, hasil penelitian menyatakan
literasi ekonomi berpengaruh terhadap rasionalitas ekonomi, dari beberapa indikasi
yang dipergunakan untuk mengukur tingkat rasionalitas, ada beberapa indikasi yang
menampakkan masih lemahnya tingkat rasionalitas perilaku ekonomi responden.
Indikasi yang dimaksud meliputi: (1) kemampuan mengakses informasi bagi
pencapaian tujuan perilaku ekonomi. (2) kemampuan menyusun rencana untuk
mencapai tujuan perilaku ekonomi. Hal menonjol terkait dengan ketidaktertiban
sebagian besar responden untuk mencari informasi tentang harga barang, jenis dan
kualitas harga barang. Hal ini karena mahasiswa pada umumnya masih gengsi dan
malu-malu untuk sekedar mencari informasi tentang barang yang akan dibeli; Hal
lain yang terkait ketidaktertiban responden melakukan pencatatan pemasukan dan
pengeluaran uang dan masih tingginya kepercayaan pada nasib sebagai penentu kaya
atau miskinnya seseorang.

15
Dari berbagai hal menonjol yang masih mengindikasikan rendahnya tingkat
rasionalitas ekonomi mahasiswa, bila didalami akan memberikan kesimpulan bahwa
melihat rasionalitas ekonomi mahasiswa perlu ditafsirkan hati-hati. Seperti diketahui
dengan ketertiban untuk mencari informasi tentang harga barang, jenis dan kualitas
harga barang. Hal ini karena mahasiswa pada umumnya masih gengsi dan malu-malu
untuk sekedar mencari informasi tentang barang yang akan dibeli, apabila mahasiswa
terlebih dahulu mencari informasi tentang barang yang akan dibeli tentu mahasiswa
akan dapat membeli barang sesuai kebutuhan. Membuat catatan pemasukan dan
pengeluaran uang, seseorang akan mampu membuat rencana pemanfaatan kelebihan
uang, atau memikirkan kegiatan produktif alternatif, bila uang saku yang diberikan
orang tuanya defisit; hal lain yang menarik yaitu bila mahasiswa telah mampu
membebaskan diri dari kepercayaan bahwa nasib yang menentukan kehidupan
ekonomi, dimungkinkan mahasiswa akan lebih realistis dalam menghadapi kondisi
kehidupan ekonominya untuk masa yang akan datang, dan menyadari bahwa hanya
dengan kerja keraslah, akan dapat dicapai kesejahteraan ekonomi.

Mencermati berbagai kelemahan rasionalitas ekonomi mahasiswa memberikan


kesimpulan tentang pentingnya peningkatan rasionalitas ekonomi mahasiswa. Upaya
peningkatan rasionalitas ekonomi mahasiswa dapat dilakukan melalui pembelajaran
ekonomi, maupun penciptaan lingkungan ekonomi yang mendorong berlangsungnya
proses belajar ke arah yang dimaksud. Melalui jalur pendidikan diperlukan berbagai
perbaikan pendidikan formal khususnya pada pendidikan ekonomi, yang
memberikan tekanan pada penanaman sikap dan nilai rasionalitas ekonomi.Oleh
karena seperti diketahui, pendidikan ekonomi di perguruan tinggi yang ada saat ini,
lebih menekankan segi pengetahuan dan kurang memberikan tekanan pada
pemberian pengalaman praktis maupun hal-hal yang dibutuhkan anak bagi
kehidupannya untuk masa sekarang maupun mendatang.

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN EKONOMI

Literasi ekonomi telah menjadi bagian penting dalam hidup manusia. Setiap hari
semua orang membuat keputusan ekonomi atau keputusan lainnya yang memiliki
dampak secara ekonomi. Keputusan ekonomi yang dibuat oleh setiap orang idealnya
dilakukan secara rasional dan mempertimbangkan skala prioritas pemenuhan

16
kebutuhannya. Untuk mencapai hal itu sejak anak menempuh jenjang pendidikan
sekolah dasar (SD), mereka perlu mendapatkan pendidikan ekonomi yang cukup dan
tepat. Upaya tersebut telah lama dilakukan secara serius di banyak negara maju,
sedangkan di Indonesia tampak nyata bahwa pendidikan ekonomi di SD belum
mendapatkan perhatian yang baik. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya
pembenahan pendidikan ekonomi di SD yang setidaknya mencakup: peningkatan
kapasitas guru kelas tentang literasi ekonomi, pengembangan kurikulum dan sumber-
sumber belajar, peningkatan kapasitas siswa sebagai pembelajar ekonomi, dan
peninjauan kurikulum calon guru SD.

Pendidikan ekonomi telah mengalami kebangkitan (revival) sejak tahun 1960-an (Lo
et al., 2008). Para peneliti, praktisi, dan pembuat kebijakan mulai saat itu
memberikan perhatian terhadap berbagai permasalahan di bidang pendidikan
ekonomi. Setidaknya ada dua alasan mengapa mereka melakukannya: pertama,
pengetahuan ekonomi diperlukan oleh setiap orang untuk hidup dalam lingkungan
yang semakin kompleks. Pengetahuan ekonomi akan mendukung pengambilan
keputusan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Meskipun keputusan yang akan
dibuat mungkin tidak berhubungan dengan persoalan ekonomi, pengetahuan
ekonomi tetap diperlukan untuk memahami adanya kemungkinan dampak ekonomi
atas keputusan tersebut (Bethune, 2000; OECD, 2005; Jappelli, 2010); kedua, ada
peningkatan minat dari berbagai kalangan untuk memperbaiki kualitas pendidikan
ekonomi pada semua jenjang pendidikan (Varum et al., 2013).

Permasalahan dalam penyelenggaraan pendidikan ekonomi di atas tampak nyata juga


dirasakan di Indonesia. Struktur kurikulum SD saat ini, baik Kurikulum 2006
(KTSP) maupun Kurikulum 2013, menunjukkan bahwa pendidikan ekonomi masih
belum mendapatkan tempat yang layak dalam struktur kurikulum, seperti halnya
Matematika, Bahasa Indonesia, dan lainnya. Pendidikan ekonomi tidak hanya kurang
waktu karena diintegrasikan dalam pendidikan IPS, tetapi juga dari sisi muatan
pendidikan ekonomi tidak memberikan dasar bagi anak untuk melek ekonomi. Hal
ini diperparah oleh latar belakang pendidikan guru-guru SD yang umumnya memiliki
bekal pengetahuan yang minim tentang ekonomi. Dampaknya, para guru kesulitan

17
memahami ekonomi dan akhirnya mereka mengalami kesulitan memahamkan
pengetahuan ekonomi kepada para siswa.

Dalam Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013 tampak nyata bahwa pendidikan
ekonomi melalui jalur formal (persekolahan) belum diperhatikan oleh pemerintah.
Hingga saat ini mata pelajaran ekonomi tidak pernah berdiri sendiri dan diberikan
waktu yang cukup. Jikalaupun harus digabung dengan mata pelajaran IPS semestinya
mata pelajaran tersebut diberikan tambahan jumlah jam pertemuan dan koreksi atas
muatan pendidikan ekonomi. Hal ini mengingat pendidikan ekonomi pada tingkat
dasar harus memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang membuat
mereka mulai melek ekonomi. Tujuan akhir pendidikan ekonomi pada setiap jenjang
pendidikan haruslah jelas dan terukur. Selanjutnya SK dan KD pada setiap jenjang
kelas, perangkat pembelajaran, dan hal-hal lainnya dibuat dengan memperhatikan
tingkat relevansinya dengan tujuan ditetapkan. Kurikulum yang disusun lengkap oleh
Day dan Ballard (1996) dari Indiana Department of Education yang berjudul ”The
Classroom Mini Economy: In-tegrating Economics into Elementary and Middle
School Curriculum” dan National Council on Economic Education's (NCEE) adalah
dua dari banyak contoh yang mungkin dapat menjadi alternatif referensi untuk
dilakukannya perubahan kurikulum pendidikan ekonomi.

Menurut Stigler (1970), pendidikan ekonomi idealnya dimulai sejak anak masuk
sekolah. Guru pendidikan dasar, karenanya, harus mendampingi anak-anak belajar
secara benar tentang konsep-konsep dasar ekonomi. Jika anak-anak mampu
menguasainya, maka hal itu akan membantu mereka memahami tentang dunia
ekonomi yang ada di sekitarnya. Pada tahap selanjutnya materi pembelajaran
ekonomi dapat diperluas dan diperdalam secara bertahap sesuai dengan tahap
perkembangan peserta didik. Keluasan dan kedalaman materi yang diterima siswa
akan memberikan bekal kemampuan yang lebih besar bagi mereka untuk memahami
permasalahan ekonomi yang lebih kompleks dan kemampuan dalam mengambil
keputusan ekonomi baik sebagai pribadi maupun warga negara

Gagasan di atas disadari memang tidak mudah untuk direalisasi, mengingat literasi
ekonomi bagi pembelajar SD belum/tidak pernah menjadi gerakan bersama secara
nasional. Di samping itu, kebijakan pendidikan sangat tergantung pada kehendak

18
kementerian pendidikan. Namun demikian tidak ada salah dan kata terlambat untuk
mengusulkan perubahan kebijakan pendidikan yang memungkinkan ide-ide di atas
diakomodasi. Kemungkinan lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan literasi
ekonomi adalah melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat kokurikuler. Sekolah dapat
menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menyelenggarakan
kursus/pelatihan literasi ekonomi bagi siswa SD. Kursus/pelatihan ini dilakukan di
luar jam pelajaran. Seluruh siswa dapat diwajibkan untuk mengikuti pelatihan/kursus
tersebut sebagai salah satu persyaratan kelulusan mereka. Sekolah juga dapat
menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk kepentingan peningkatan literasi
ekonomi, seperti menghidupkan kembali usaha-usaha perekonomian di sekolah,
menumbuhkan spirit berkoperasi/berwirausaha, dan menginspirasi usaha-usaha
produktif di kalangan siswa dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di
sekitarnya.

PENGARUH PENDIDIKAN,PEKERJAAN DAN PENDAPATAN ORANG


TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR EKONOMI

Bertitik tolak pada undang-undang sistem pendidikan nasional diharapkan


memungkinkan setiap peserta didik mempertahankan hidupnya, mengembangkan
dirinya, dan secara bersama-sama membangun masyarakatnya. Setiap peserta didik
harus mampu menghayati nilai-nilai secara kreatif serta dapat meningkatkan
kemampuan memperoleh dan menciptakan prestasi melalui bermacam-macam
kemungkinan ditengah-tengah tuntutan masyarakat semakin kompleks dan
persaingan yang semakin ketat. Pendidikan merupakan salah satu faktor utama bagi
pengembangan sumber daya manusia karena pendidikan diyakini mampu
meningkatkan sumber daya manusia sehingga dapat menciptakan manusia produktif
yang mampu memajukan bangsanya.

Pendidikan dapat mengandung pengertian mendidik, membimbing, mengajar dan


melatih yang tertuang dalam proses pendidikan di sekolah. Sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan
melalui proses belajar mengajar. Dengan belajar peserta didik dapat menunjukkan
adanya perubahan yang sifatnya positif sehingga pada tahap akhir akan didapat
keterampilan, kecakapan dan pengetahuan baru.

19
Prestasi merupakan hasil yang dicapai seseorang ketika mengerjakan tugas atau
kegiatan tertentu. Sementara prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau
keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan
nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru (Tu’us, 2004). Adapun menurut
Azwar (2010) prestasi belajar merujuk pada apa yang mampu dilakukan olah
seseorang dan seberapa baik ia melakukannya dalam menguasai bahan-bahan dan
materi yang telah diajarkan. Sedangkan Gintings (2010) mengemukakan prestasi
belajar siswa adalah hasil dari berbagai upaya dan daya yang tercermin dari
partisipasi belajar yang dilakukan siswa dalam mempelajari materi pelajaran yang
diajarkan oleh guru. Poerwanto (2007) mengemukakan pengertian prestasi belajar
yaitu hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang
dinyatakan dalam raport. Keberhasilan prestasi belajar yang diperoleh siswa dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Menurut Dalyono (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah


tinggi rendahnya pendidikan orang tua dan besar kecilnya penghasilan orang tua.
Sedangkan menurut Suryabrata (2004), faktor-faktor dapat mempengaruhi prestasi
belajar yang akan diraih, antara lain adalah pendidikan orang tua dan sosial ekonomi
orang tua yang meliputi pekerjaan dan pendapatan orang tua. Berdasarkan beberapa
penelitian terdahulu, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi prestasi
belajar diantaranya pendidikan,pekerjaan dan pendapatan orang tua. Ketiga faktor ini
menjadi penting untuk diteliti kembali karena dalam penelitian terdahulu terbukti
ketiga faktor ini signifikan berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan tingkat pendidikan orang tua adalah
tingkat pendidikan menurut jenjang pendidikan yang telah ditempuh, melalui
pendidikan formal di sekolah berjenjang dari tingkat yang paling rendah sampai
tingkat yang paling tinggi, yaitu dari pendidikan dasar (SD & SMP sederajat),
pendidikan menengah (SMA, SMK, MA, MAK sederajat), sarjana dan pasca sarjana.
Orang tua yang memiliki pendidikan yang tinggi mempunyai dorongan yang besar
untuk menyekolahkan anak mereka. Bagaimana gambaran siswa dari keluarga yang
berpendidikan akan mempunyai kondisi belajar dan prestasi belajar yang berbeda

20
dengan siswa dari keluarga yang tidak berpendidikan. Hal ini memberikan pengaruh
dan dorongan positif maupun negatif yang akan mempengaruhi prestasi belajar anak.

Adapun jenjang pendidikan menurut Ihsan (2011) terdiri dari pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sedangkan menurut pasal 14 UURI No
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Jenjang
pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. (1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang
melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar
(SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah
menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang
sederajat; (2) Pendidikan Menegah terdiri atas pendidikan menengah umum dan
pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah
atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan
madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. (3) Pendidikan
tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup
program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang
diselenggarakan oleh pendidikan tinggi. Perguruan Tinggi dapat berbentuk akademi,
politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.

Berikutnya faktor pekerjaan orang tua, Sejak tahun 1976 hingga saat ini, konsep dan
definisi perihal ketenagakerjaan yang dipakai Badan Pusat Statistik adalah sama.
Konsep dan definisi tersebut sesuai dengan The Labour Force Concept yang
disarankan oleh International Labor Organization (ILO). Konsep dan definisi yang
digunakan oleh Badan Pusat Statistik dalam penelitian ketenagakerjaan sejak tahun
1976 adalah sebagai berikut: (1) Bekerja adalah mereka yang melakukan suatu
pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau
keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1 jam yang secara kontiniu dalam
seminggu yang lalu (seminggu sebelum pencacahan). Dengan demikian pekerjaan
keluarga tanpa upah yang membantu dalam satu usaha/kegiatan ekonomi,
dimasukkan sebagai pekerja. (2) Mengurus Rumah Tangga adalah mereka yang
mengurus rumah tangga tanpa mendapatkan upah, misalnya ibu-ibu rumah tangga
atau anaknya yang membantu mengurus rumah tangga. Sebaliknya pembantu rumah

21
tangga yang mendapatkan upah walaupun pekerjaannya mengurus rumah tangga
dianggap bekerja. (3) Kegiatan lainnya kegiatan seseorang selain disebutkan di atas,
yakni mereka yang sudah pensiun, penerima royalty, penerima deviden dan orang-
orang yang cacat jasmani (buta, bisu dan sebagainya) yang tidak mampu melakukan
pekerjaan. (4) Status pekerjaan adalah kedudukan seseorang dalam melakukan
pekerjaan di suatu unit usaha/kegiatan, meliputi: (a) Berusaha sendiri adalah bekerja
atau berusaha dengan menanggung resiko secara ekonomis, yaitu dengan tidak
kembalinya ongkos produksi yang telah dikeluarkan dalam rangka usahanya tersebut,
serta tidak menggunakan pekerja tak dibayar, termasuk yang sifat pekerjaannya
memerlukan teknologi atau keahlian khusus. (b) Buruh/karyawan/pegawai adalah
seseorang yang bekerja pada orang lain atau instansi/kantor/perusahaan secara tetap
dengan menerima upah/gaji baik berupa uang maupun barang. Pekerjaan orang tua
meliputi wiraswasta, swasta, PNS, pensiunan, dan ibu rumah tangga dianggap
memenuhi standar untuk dapat memenuhi kebutuhan atau layak yang berpengaruh
terhadap kegiatan belajar dan prestasi belajar siswa.

Selanjutnya faktor pendapatan orang tua diartikan setiap hasil jerih payah orang tua
yang dapat dinilai dengan tingkat atau nilai tertentu. Berdasarkan jenisnya dibedakan
pendapatan menjadi dua (BPS, 2004) yaitu: (a) pendapatan berupa barang, dan (b)
pendapatan berupa uang. Sedangkan bidang kegiatannya, pendapatan meliputi
pendapatan sektor formal dan pendapatan sektor informal. Pendapatan sektor formal
adalah segala penghasilan baik berupa barang atau uang yang bersifat regular dan
diterimakan biasanya balas jasa atau kontraprestasi di sektor formal yang terdiri dari
pendapatan berupa uang, meliputi: gaji, upah dan hasil investasi dan pendapatan
berupa barang-barang meliputi: beras, pengobatan, transportasi, perumahan, maupun
yang berupa rekreasi. Pendapatan sektor informal adalah segala penghasilan baik
berupa barang maupun uang yang diterima sebagai balas jasa atau kontraprestasi di
sektor informal yang terdiri dari pendapatan dari hasil investasi, pendapatan yang
diperoleh dari keuntungan sosial, dan pendapatan dari usaha sendiri, yaitu hasil
bersih usaha yang dilakukan sendiri, komisi dan penjualan dari hasil kerajinan
rumah. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pendapatan orang tua adalah
penghasilan berupa uang yang diterima sebagai balas jasa dari kegiatan baik dari
sektor formal dan informal selama satu bulan dalam satuan rupiah.Bagaimana pun

22
aktivitas yang dilakukan seorang anak membutuhkan finansial dari orang tuanya.
Contohnya: anak dalam belajar akan sangat memerlukan sarana penunjang
belajarnya, yang kadang-kadang yang harganya mahal tidak dapat terjangkau oleh
orang tua. Bila kebutuhannya tidak terpenuhi maka akan menjadi penghambat bagi
anak dalam pembelajaran.

PENGARUH PENDIDIKAN EKONOMI KELUARGA, TEMAN


PERGAULAN TERHADAP LITERASI EKONOMI

Saat ini jumlah pengangguran intelektual di Indonesia masih terbilang tinggi, yang
disebabkan kesempatan kerja yang terbatas untuk lulusan perguruan tinggi.
Berdasarkan data yang disampaikan Biro Pusat Statistik (BPS), tingkat
pengangguran terbuka lulusan universitas naik sebesar 1,13 persen dibandingkan
Februari 2017. Dari 5,18 persen menjadi 6,31 persen (Tirto.id., 2019). Kondisi saat
ini cenderung semakin memburuk dalam situasi persaingan global, karena lulusan
perguruan tinggi di Indonesia harus bersaing dengan lulusan dari universitas lain dari
seluruh dunia. Thurik dan Wennekers (2004) menyimpulkan bahwa kewirausahaan
adalah instrumen yang efektif untuk mengurangi masalah social (Thurik, R. and
Wennekers, S., 2004). Nawaser et al. (2011) menyatakan bahwa ada hubungan
positif antara kewirausahaan dan pengurangan kemiskinan. Demikian juga
dinyatakan Jones dan Colwill (2013) bahwa banyak literatur kewirausahaan telah
mengakui bahwa pendidikan kewirausahaan mampu mengatasi masalah
pengangguran lulusan. Penelitian ini tidak akan membahawan bagaimana pengaruh
pendidikan kewirausahaan terhadap pengembangan kewirausahaan, karena hal ini
telah banyak diteliti diantaranya Suratno dkk (2019), melainkan niat kewirausahaan
dalam hubungannya dengan pendidikan ekonomi yang diterima seorang mahasiswa
dalam keluarga, lingkungan pergaulan yang dialami, dan literasi ekonomi yang
dimiliki.

Pengetahuan ekonomi dasar yang telah dipelajari sejak dari Sekolah Menengah
Pertama (SMP) hingga Pergutuan Tinggi (PT) dirancang untuk memberikan
pengetahuan dasar bidang ekonomi yang seharusnya diterapkan dalam kehidupannya

23
(Salemi 2003). Pengetahuan ekonomi dasar menyediakan individu suatu dasar
bagaimana seharusnya soerang individu berperilaku dalam kehidupan ekeonomi.
Dengan pemahaman ekonomi atau letarasi ekonomi maka seseorang dalam
berperilaku ekonomi akan bertindak secara rasional.

Literasi ekonomi menurut National Council on Economic Education (NCEE), adalah


suatu kondisi yang menggambarkan seseorang dapat memahami permasalahan dasar
ekonomi secara baik, sehingga dapat melakukan kegiatan ekonomi dengan benar
(Murniatiningsih, 2017). Sedangkan Budiwati dan Rahayu (2018) menyatakan
bahwa setiap orang harus mampu mengambil keputusan dalam rangka mencapai
kemakmuran ekonomi dengan mengelola masalah-masalah ekonomi dasar, yang asal
mulanya dari masalah kelangkaan. Oleh sebab itu pengetahuan ekonomi dasar di
bidang ekonomi untuk menyediakan siswa dan mahasiswa yang menjadi dasar studi
lebih lanjut. Tujuan lain pembelajaran ekonomi dasar adalah untuk membekali
seseorang untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam dan pengetahuan kerja dari
daftar pendek konsep ekonomi. Pengetahuan ekonomi dasar karenanya, akan
membantu seseorang menjadi paham ekonomi dalam arti bahwa mereka dapat
menerapkan prinsip dasar ekonomi.

Dalam hubungannya dengan niat atau intensi mahasiswa untuk berwirausaha,


pengetahuan dasar ekonomi akan memberikan dasar perilaku ekonomi lebih lanjut
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara rasional untuk mencapai
kemakmurannya. Oleh sebab itu diduga ada keterkaitan yang kuat antara literasi
ekonomi seseorang mahasiswa dengan niatnya untuk berwirausaha. Literasi ekonomi
mesti dimiliki setiap indivindu sebagai upaya pendukung pengambilan keputusan
terkait ekonomi dengan tepat sehingga mampu dipraktekkan secara langsung pada
konteks kewirausahaan (Wulandari,2011).

Mahasiswa sebagai orang dewasa muda yang menjadi obyek penelitian ini berasal
dari keluarga dengan berbagai latar belakang yang tidak serupa.Keluarga juga
memiliki handil besar untuk pemberian pendidikan hidup bermasyarakat sehingga
mampu menerima, mengolah, serta mewarisi kebudayaan. Mahasiswa telah dianggap
sebagai orang dewasa muda yang berkembang kearah kesempurnaannya (Djauharah,
et al. 1994).

24
Pendidikan yang diberikan keluarga akan memberikan arah kepada kondisi
kemakmuran yang diharapkan anak di masa depan.Oleh karena itu sangat diperlukan
peran keluarga didalam pembinaan moral remaja terutama apalagi di era globalisasi
menjadikannya bukanlah yang peran singkat dan seadanya. Indivindu - indivindu
sebagai anggota keluarga mempunyai tangggung jawab untuk saling memberikan
perhatian kepada anggota keluarga lainnya. Dalam hubungan ini, kemakuran yang
dimaksudkan diukur secara ekonomi yaitu terciptanya individu yang makmur dan
sejatera. Hal ini sejalan dengan Wainwright and Marandet (2017) bahwa keluarga
adalah contoh dari inisiatif pendidikan, terutama ditujukan kepada mahasiswa
sebagai anak dan terkait dengan masalah kebijakan yang lebih luas. Lebih jauh
disampaikan bahwa pembelajaran keluarga,rumah, sekolah, pekerjaan, komunitas
dan bangsa memungkinkan kita untuk melihatnya bagaimana inisiatif
dikembangkan. Oleh sebab itu pendidikan ekonomi dalam keluarga akan
berkontribusi terhadap pemahaman literasi ekonomi sehingga menumbuhkan inisiatif
karier yang akan dipilihnya, dalam hal ini niat berwirausaha. Melalui keluarga orang
akan belajar literasi, bahasa dan angka (FLLN-Family Learning Literacy, Language
and Numeracy) dan pembelajaran keluarga yang lebih luas. Pendidikan keluarga
telah dikaitkan dengan 'keterampilan seumur hidup', ketenagakerjaan, strategi
investasi keterampilan dasar dan terkait dengan masalah kebijakan yang lebih luas
termasuk perluasan partisipasi, pengembangan kapasitas masyarakat, pembaruan
lingkungan dan regenerasi. Pembelajaran keluarga dengan demikian diposisikan
sebagai penghubung dari berbagai bidang kebijakan, dengan fokus di luar pendidikan
formal (Wainwright & Marandet, 2013). Bahkan Huges (2019) melalui penelitiannya
di Afrika berkesimpulan banyak perilaku transaksional yang dilakukan remaja
perempuan didorong dan didukung oleh anggota keluarganya. Ruang lingkup bergaul
anak sangat kuat eratannya terhadap tingkah laku anak (Suratno,2014). Lingkungan
pergaulan sosial dalam arti prersahabatan, dalam hal intensitas perjumpaan dan
kualitas kepuasan dengan hubungan pertemanan, secara positif terkait dengan
kepuasan hidup (Amati, et.all. 2018) banyak memberikan warna pada kehiduapnnya,
termasuk juga dalam pengambilan keputusan niat untuk melakukan kegiatan
wirausaha. Schute (2014) berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menggunakan
Data Longitudinal berkesimpulan dalam jangka panjang terbukti bahwa lingkungan

25
sosial berpengaruh terhadap terhadap kecerdasan emosi mahasiswa (Schutte, 2014)
termasuk juga dalam pengambilan keputusan untuk berwirausaha.

Potensi Wirausaha pada Program Pelatihan Kewirausahaan Mahasiswa

Memasuki abad 21 di era global ini, persaingan dan tantangan semakin kuat. Tidak
hanya persaingan tingat lokal, regional, dan nasional saja yang kita hadapi, tetapi
persaingan global dari berbagai negara. Globalisasi telah menuntut kita untuk
mengubah tatanan kehidupan dalam masyarakat dengan mempersiapkan dan
membenahi sumber daya manusia yang kita miliki agar mampu bersaing di pasar
global. Dunia disekeliling kita terus berubah. Kita tidak lagi dapat menganggap
kehidupan kita sebagai anugerah saja, tetapi harus berusaha memelihara dan
memperjuangkannya secara aktif dalam ekonomi global yang semakin kompetitif.
Oleh karena itu perekonomian dunia menawarkan tantangan dan kesempatan bagi
siapa saja.

Dalam rangka pengembangan ekonomi nasional, maka koperasi sebgai badan usaha
pada dasarnya yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana pemilihan sistem
kelembagaan yang tepat yang lebih mendukung pengembangan aktivitas ekonomi
dengan tujuan adanya keberpihakan kepada kesejahteraan masyarakat secara luas.
Dengan kata lain, penekanan akan memperjelas jutifikasi pentingnya keberadaan
bentuk badan usaha yang dikelola dari oleh dan untuk masyarakat. Hal ini sangat
relevan dengan keberadaan koperasi. Pengembangan aktivitas ekonomi yang sesuai
dengan konteks ini adalah aktivitas ekonomi yang juga bertujuan selain untuk
meningkatkan nilai tambah sumber daya yang tersedia yang dikembangkan dengan
pendekatan bisnis, juga aktivitas ekonomi yang berkembang ke arah terjaminnya
partisipasi yang tinggi dari masyarakat. Dalam hal ini, bukan saja partisipasi dalam
ikut serta menikmati hail pembangunan aktivitas ekonomi itu. Lebih jauh keberadaan
koperasi dipandang penting jika pengembangan aktivitas ekonomi tersebut juga
berwawasan ke arah untuk meningkatkan martabat dan harkat masyarakat baik
secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kaitan inilah pembahasan
pengembangan koperasi menjadi sangat relevan serta perlunya komitmen dan
dukungan yang kongkret dari berbagai pihak yang memiliki kompetensi, seperti dari
perguruan tinggi dalam turut serta secara nyata mendukung pengembangan koperasi.

26
Pemerintah Indonesia sangat berkepentingan dengan koperasi, karena koperasi di
dalam sistem perekonomian merupakan soko guru. Koperasi di Indonesia belum
memiliki kemampuan untuk menjalankan peranannya secara efektif dan kuat. Hal ini
disebabkan koperasi masih menghadapai hambatan struktural dalam penguasaan
faktor produksi khususnya permodalan. Dengan demikian masih perlu perhatian
yang lebih luas lagi oleh pemerintah agar keberadaan koperasi yang ada di Indonesia
bisa benar-benar sebagai soko guru perekonomian Indonesia yang merupakan sistem
perekonomian yang yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Cita-cita koperasi memang sesuai dengan susunan kehidupan rakyat Indonesia.


Meski selalu mendapat rintangan, namun koperasi tetap berkembang. Seiring dengan
perkembangan masyarakat, berkembang pula perundang-undangan yang digunakan.
Perkembangan dan perubahan perundang-undangan tersebut dimaksudkan agar dapat
selalu mengikuti perkembangan jaman.

Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa wirausaha di Indonesia, terutama


pengusaha kecil dan menengah tumbuh berkembang dengan jiwa wirausaha yang
diturunkan dari nenek moyang secara turun menurun, bukan melalui pendidikan
formal. Data yang dikemukakan DP3M, Dirjen Dikti (1998) menyebutkan sekitar 34
juta pengusaha kecil yang terbesar di seluruh Indonesia, hanya 3-5% berpendidikan
tinggi dengan kurang dari 2% diantaranya lulusan Diploma/Politeknik. Sekitar 75-
85% di antara pengusaha kecil tersebut paling tinggi adalah lulusan Sekolah Dasar.
Selanjutnya juga dinyatakan bahwa pendidikan lebih banyak menghasilkan lulusan
pekerja yang walaupun berpengetahuan tinggi, bukan wirausahawan yang dengan
penguasaan ilmu dan teknologinya berusaha secara mandiri dapat mensejahterakan
diri dan mensejahterakan masyarakat.

Berkaitan dengan pentingnya masalah kewriausahaan bagi perbaikan perekonomian


negara, pemerintah telah mengeluarkan intruksi Presiden RI Nomor 4, tahun 1995
tentang gerakan nasional memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan.
Kemudian inpres ini ditindaklanjuti oleh Depdiknas, dengan diluncurkannya program
pengembangan kewirausahaan ini dalam bentuk paket-paket pendidikan dan kegiatan
bagi mahasiswa. Program ini merupakan bentuk dari kepedulian pemerintah dan
Depdiknas terhadap masih tingginya tingakat pengangguran dikalangan terdidik

27
khususnya lulusan perguruan tinggi, serta dalam rangka menjawab tantangan global.
Pemerintah melalui Departemen Koperasi dan UKM juga telah mencanangkan
program gerakan tunas kewriausahan nasional (Getuk Nasional) untuk mahasiswa.
Seperti program pemerintah terdahulu, program ini merupakan gerakan penanaman
jiwa kewirausahaan secara dini kepada mahasiswa dan khausunya masyarakat
pemula yang akan melakukan kegiatan wirausaha.

Tingkat kemampuan berwirausaha di Indonesia masih rendah bila dibandingkan


dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Rasio antara jumlah wirausahawan
dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia hanya 1:83, sedangkan Filipina
1:66, Jepang 1:25, bahkan Korea kurang dari 20. Ditinjau berdasarkan rasio
wirausahawan secara International, rasio yang ideal 1:20 (Yuyus dan Bayu, 2010).
Untuk mengurangi angka pengangguran salah satu cara yang bisa dilakukan adalah
dikembangkannya semangat entrepreneurship sedini mungkin. Hal ini disebabkan
karena suatu bangsa akan maju apabila jumlah entrepreneur paling sedikit 2% dari
jumlah penduduk. Pada tahun 2010 Indonesia memiliki sekitar 400.000
wirausahawan 0,18% dari jumlah penduduk. Bila rumusan 2% dari jumlah penduduk
diperlukan untuk mencapai tingkat kemakmuran, maka Indonesia saat ini harus
memiliki sekitar 4.600.000 wirausaha (Frinces, 2010).

Kenyatakan kondisi objektif lulusan perguruan tinggi tersebut sungguh


memprihatinkan. Tuntutan golbalisasi dengan persaingan global dan pasar bebas,
lapangan kerja yang semakin kompetitif, sementara itu banyak lulusan perguruan
tinggi yang belum siap bekerja dan menunggu diberi pekerjaan. Kenyataan tersebut
menunjukkan semakin perlunya tuntutan untuk membentuk sumberdaya manusia
berkualitas, yang berjiwa wirausaha agar siap bersaing di pasar gelobal. Sumberdaya
manusia yang berkualitas mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif
(Weidy, 2009).

Dari kondisi objektif tersebut di atas semakin menunjukkan bahwa perguruan tinggi
sebagai penghasil sumberdaya manusia berkualitas, dituntut untuk ikut berperan
dalam pembangunan bangsa dan negara dengan membentuk manusia-manusia yang
cerdas dan jiwa entrepreneur, mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif,
sehingga bisa menang dalam persaingan global. Berdasarkan permasalahan di atas

28
maka strategi pengembangan koperasi sangat penting dalam rangka melatih
mahasiswa untuk lebih optimal dalam mengembangkan kemampuan untuk
berwirausaha.

Kewirausahaan merupakan suatu proses yang dinamika atau suatu rangkaian


kegiatan yang dilaksanakan oleh para entrepreneur di dalam usahanya untuk
menghasilkan dan member nilai tambah bagi produk atau jasa tertentu yang telah
diperjuangkannya dengan gigih sehingga berhasil mendapatkan keuntungan atau
keberhasilan secara komersial.

Menurut instruksi Presiden RI No. 4 Tahun 1995, bahwa kewirausahaan adalah


semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan seseorang dalam mengenai usaha dan
atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara
kerja, teknologi, dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka
memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih
besar.

Ronstad mengemukakan bahwa entrepreneurship merupakan sebuah proses dinamik


dimana orang menciptakan kekayaan incremental. Kekayaan tersebut diciptakan oleh
individu-individu yang menanggung risiko utama, dalam wujud risiko modal, waktu
dan atau komitmen karier dalam hal menyediakan nilai produk atau jasa tertentu.
Produk atau jasa tersebut mungkin tidak baru, atau bersifat unik, tetapi tetap nilai
harus diciptakan oleh sang entrepreneur melalui upaya mencapai dan mengalokasi
keterampilan-keterampilan serta sumber-sumber daya yang diperlukan.

(Winardi, 2003) Ciri-ciri seseorang yang memiliki jiwa wirausaha, yaitu(1) percaya
diri, (2) berorientasi pada tugas dan hasil, (3) pengambilan resiko, (4) kepemimpinan,
(5) keorisinilan dan (6) berorientasi ke masa depan (Alma, 2011). Manusia yang
berjiwa wirausaha setidaknya memiliki kepribadian yang kuat, yaitu (1) Kepercayaan
dan pengendalian diri pada saat mereka sedang melaksanakan pekerjaan, (2) selalu
mencari aktivitas, (3) mampu mengendalikan diri, (4) mengelola pekerjaan
berdasarkan tujuan, (5) penganalisisan kesempatan, (6) pemikiran yang kreatif dan
objektif, (7) mamapu memecahkan persoalan (Mas’ud dan Mahmud, 2011).

29
Tabel 3.4 Spirit Entrepreneur

Entrepreneu Spirit Entrepreneurial Keterangan


r

kemandirian Locos of Control Kemandiria Spirit entrepreneur dibentuk oleh sika


n p kemandirian dan kendali diri
(Locos ofcontrol) Internal yang
mantap

Sikap Kreativitas dan Inovasi Kreativitas dan inovasi merupakan


Inovatif faktor penentu keberhasilan dalam
dunia bisnis

Sikap Perencanaan Adanya perencanaan dan sikap


proaktif proaktif akan menjamin kesuksesan
dan keunggulan dalam banyak
aspeknya

Pengambila Pengambilan risiko Moderat Berani menghadapi risiko yang telah


n risiko diperhitungkan adalah sikap cermat
dan cerdas dalam bersaing

Sikap berani Pengejaran prestasi Pencapaian prestasi dalam persaingan


bersaing yang makin ketat menjadi tujuan
Agresif utama para entrepreneur

Program pelatihan wirausaha merupakan salah satu program dalam sistem


pembelajaran dan pendidikan yang ada di perguruan tinggi. Dengan demikian,
program pelatihan wirausaha harus terintegrasi dan disinergikan dengan program-
program kewirausahaan yang telah ada seperti: kuliah kewirausahan, program
kreativitas mahasiswa kewirausahaan, program magang, belajar bekerja terpadu,
kuliah kerja usaha dan program kewirausahaan lainnya.

30
Kewirausahaan dimaknai sebagai semangat, sikap dan perilaku atau kemampuan
seseorang dalam melihat peluang, menangani usaha dan atau kegiatan yang
mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan
produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan
yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Kewirausahaan
juga merupakan suatu proses kreativitas dan inovasi yang mempunyai risiko tinggi
untuk menghasilkan nilai tambah bagi produk yang bermanfaat bagi masyarakat dan
mendatangkan kemakmuran bagi wirausaha. Kewirausahaan itu dapat dipelajari
walaupun ada juga orang-orang tertentu yang mempunyai bakat dalam hal
berwirausaha. Program pelatihan wirausaha bertujuan untuk (1) membangun softskill
atau karakter wirausaha; (2) menumbuh kembangkan wirausaha baru yang
berpendidikan tinggi dan memiliki pola pikir pencipta lapangan kerja; (3) mendorong
pertumbuhan, perkembangan atau terbentuknya kelembagaan (unit) pengelola
program kewirausahaan di perguruan tinggi; dan (4) mendorong terbentuknya model
pembelajaran kewirausahaan di perguruan tinggi.

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN EKONOMI BERBASIS KEARIFAN


LOKAL UNTUK MEWUJUDKAN LULUSAN BERKARAKTER
Kendala yang dihadapi sekarang ini dan masa yang akan datang adalah membentuk
mahasiswa yang berkarakter dan dapat diterima dalam dunia kerja.Kearifan lokal
dibangun dari nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi dalam struktur sosial
masyarakat dan memiliki fungsi sebagai pedoman, pengontrol, dan rambu-rambu
untuk berperilaku dalam berbagai dimensi dalam kehidupan. Oleh karena itu, dosen
harus mampu merancang program pembelajaran dengan memperhatikan ranah
efektif sebagai salah satu karakteristik manusia. Pembentukan karakter merupakan
salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan pendidikan nasional. Pada
Pasal 1, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, dinyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah
mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan
akhlak mulia.
Secara umum, sekolah merupakan wahana utama seseorang untuk mendapatkan
pendidikan formal. Sekolah memberikan andil paling besar bagi orang yang ingin
mendapatkan pendidikan secara maksimal. Hasbullah (2008) mendefinisikan secara

31
sederhana bahwa pendidikan diartikan sebagai usaha manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Pendidikan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari nilai nilai kebudayaan.
UU no 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab 1 Ketentuan
Umum pasal 1 ayat 16 menyebutkan bahwa Pendidikan berbasis masyarakat adalah
penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi,
dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk
masyarakat. Selain itu pada Bab 3 termaktub tentang prinsip penyelenggaraan
pendidikan pasal 4 ayat 3 yang berbunyi bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai
suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat. Undang- undang tersebut mengisyaratkan makna bahwa pada
hakekatnya pendidikan di Indonesia bukan hanya sarana untuk mendapatkan ilmu,
mencetak manusia Indonesia yang cerdas, tetapi juga membentuk manusia Indonesia
yang berbudaya dan berkepribadian bersahaja.
Danim (2010) menyampaikan bahwa fungsi penyandaran atau disebut juga fungsi
konservatif bermakna bahwa sekolah bertanggung jawab untuk memperhatikan nilai-
nilai budaya masyarakat dan membentuk kesejatian diri sebagai manusia. Budaya
lahir karena kemampuan manusia mensiasati lingkungan hidupnya agar tetap layak
untuk ditinggali waktu demi waktu. Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi
kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu mengubah alam.
Kebudayaan merupakan usaha manusia, perjuangan setiap orang atau kelompok
dalam menentukan hari depannya.
Perubahan yang sangat mendasar terhadap semua aspek kehidupan Bangsa Indonesia
yang disebabkan oleh perubahan politik dan tata pemerintahan yang semula bersifat
sentralistik menjadi desentralistik. Fungsi dan wewenang pemerintah daerah lebih
besar dalam membuat kebijakan dan melaksanakannya sesuai dengan variasi potensi,
dan kepentingan pengembangan daerahnya masing- masing.
Pendidikan sebagai sebuah wahana pembaharuan dalam rangka mencetak generasi
bangsa yang berkualitas. Adanya masalah pembangunan karakter bangsa yang terjadi
saat ini, maka akhir-akhir ini pendidikan di negara kita mulai menyelenggarakan
konsep pendidikan karakter, yaitu pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan
kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai

32
universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; mengembangkan kemampuan
peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang
aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang
tinggi dan penuh kekuatan (Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010).
Departemen Pendidikan Nasional memiliki tugas menentukan standar- standar
minimal yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan di tingkat daerah. Standar
minimal itu berupa standar kompetensi lulusan, standar isi, standar evaluasi, dan
standar sarana dan prasarana. Pengembangan lebih jauh terkait standar-standar
tersebut diserahkan dan disesuaikan dengan daerah masing- masing. Dengan
demikian daerah dapat mengembangkan potensi wilayahnya sesuai dengan situasi
dan kondisi setempat. Salah satu kebijakan yang dapat dikembangkan adalah
membuat kurikulum sekolah yang berbasis keunggulan lokal atau kearifan lokal.
Masing-masing daerah mempunyai keunggulan potensi daerah yang perlu
dikembangkan yang lebih baik lagi. Keunggulan yang dimiliki oleh masing- masing
daerah sangat bervariasi. Dengan keberagaman potensi daerah ini perlu mendapat
perhatian khusus bagi pemerintah daerah sehingga anak-anak tidak asing dengan
daerahnya sendiri dan faham betul tentang potensi dan nilai-nilai serta budaya
daerahnya sendiri sesuai dengan tuntunan ekonomi global.
Pembelajaran Ekonomi hendaknya mampu memberikan pengetahuan, pemahaman,
pengalaman, dan dapat memecahkan permasalahan ekonomi yang dihadapi untuk
memenuhi kebutuhan individual maupun kelompoknya sesuai dengan kapasitas
jasmaninya sehingga tidak menimbulkan permasalahan bagi orang lain dan
masyarakat dalam arti yang luas. Di samping itu perlu adanya konseptualisasi
karakter sebagai warga negara dan bangsa yang dimasukkan dalam setiap butir-butir
pemahaman materi sehingga peserta didik dapat evaluasi diri, menggunakan akal
pikiran rasional, yuridis formal, procedural, moralitas, kesantunan dan kepatutan
terhadap setiap pemenuhan kebutuhan pribadi dan menghadapi fenomena/kasus di
lingkungannya maupun yang terjadi di masyarakat.
Kearifan lokal menurut Alfian (2013) diartikan sebagai pandangan hidup dan
pengetahuan serta sebagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang

33
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan mereka. Sementara itu
Setiyadi (2012) menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan adat dan kebiasan yang
telah mentradisi dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun yang
hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat
tertentu di daerah tertentu. Prasetyo (2013) mengatakan bahwa local wisdom
(kearifan lokal) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya. Selanjutnya Asriati (2012) berpandangan bahwa kearifan
lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh
dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat dari yang
sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai dengan yang profan (bagian
keseharian dari hidup dan sifatnya biasa-biasa saja).
Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang memanfaatkan
keunggulan lokal dan global dalam aspek ekonomi, seni budaya, SDM, bahasa,
teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain ke dalam kurikulum
sekolah yang akhirnya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik
yang dapat dimanfaatkan untuk persaingan global.
Sumber kearifan lokal dapat berasal dari manusia. Al-ghazali menyebut potensi
manusia ada empat komponen, yaitu: ruh, kalbu, akal dan nafsu. Selain manusia
agama juga merupakan sumber kearifan lokal. Hampir tidak ada pendidikan
diberbagai belahan dunia ini yang lepas dari pengaruh agama, baik itu pendidikan
formal maupun pendidikan non-formal. Sekolah, perguruan tinggi dan pesantren
bukan hanya benteng penjaga moral terakhir, tetapi juga diharapkan dapat
melahirkan manusia-manusia yang bijak dan bermoral. Potensi Budaya juga
merupakan sumber dari kearifan lokal. Budaya adalah nilai, proses dan hasil dari
cipta, rasa dan karsa manusia. Budaya atau kebudayaan nasional memiliki
kedudukan sangat penting dalam program pengembangan pendidikan nasional suatu
bangsa atau muatan lokal suatu daerah. Melalui kekayaan budaya yang dimiliki, kita
bisa menyusun berbagai model dan program pendidikan dan pembelajaran, bisa
dalam bentuk program studi, intrakurikuler, ekstrakurikuler maupun dalam bentuk
budaya sekolah.

34
Dalam rangka menumbuhkan moralitas khususnya dalam pembelajaran ekonomi
dapat diberikan melalui local wisdom. Kearifan lokal yang dimaksud bersifat
universal, dinamis, lentur dan terbuka serta teruji dalam pengalaman hidup yang
panjang dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Dalam pembelajaran
ekonomi kita dapat berpijak pada pandangan Dr. Mohammad Hatta yaitu azas
kekeluargaan dalam perekonomian. Dari sini perlu adanya revisi kurikulum ekonomi
karena pembelajaran ekonomi dinilai berorientasi pada nilai individualisme semata.
Dalam pandangan ekonomi neoklasik, manusia itu homo economicus yang berarti
rakus. Pandangan Hatta dimana kekeluargaan yang seharusnya melandasi
perekonomian Indonesia jelas bertolak belakang dengan Adam Smith dalam bukunya
The Wealth of the Nations yang menganggap manusia pada dasarnya egois. Hatta
menganggap setiap hak milik pribadi mempunyai fungsi sosial, karena manusia
hanya memiliki hak guna pakai bukan hak milik untuk mendayagunakan bumi dan
isinya. Jadi untuk mencapai tujuan kemakmuran bersama dengan azas kekeluargaan,
manusia harus saling bekerja sama dan tolong-menolong.
Teori ekonomi neoklasik adalah pengembangan berdasarkan teori klasik yang dirintis
oleh Adam Smith yang memiliki orientasi dalam kebebasan berusaha (Laissez Faire)
dan membiarkan segala sesuatu berjalan dengan sendirinya (The Invisible Hand)
tanpa campur tangan dari pemerintah. Dapat disimpulkan bahwa teori ekonomi
neoklasik lebih menekankan pada mekanisme pasar persaingan bebas dengan
asumsi-asumsi tertentu, selalu menuju keseimbangan dan efesiensi yang optimal bagi
semua orang untuk mencapai kesejaterahan. Sayangnya penerapan teori ekonomi
neoklasik seringkali menimbulkan dampak negatif, misalnya demi melakukan
efektifitas dan efesiensi dalam berproduksi, perusahaan seringkali mengabaikan
lingkungan sekitarnya sehingga menimbulkan berbagai kerusakan alam dan
pencemaran lingkungan menimbulkan penyakit, bencana alam, ketimpangan
distribusi pendapatan, matinya usaha-usaha kecil, dan dalam jangka panjang dapat
menimbulkan krisis ekonomi secara global.
Dari penjabaran tersebut dapat disimpulkan bahwa teori ekonomi neoklasik kurang
memperhatikan dimensi moralitas ekonomi dan lebih memfokuskan kajiannya pada
rasionalitas ekonomi (efektifitas dan efesiensi dalam aktivitas produksi, distribusi
dan konsumsi).

35
Pembelajaran ekonomi di tingkat dasar, menengah dan pendidikan tinggi pada jalur
pendidikan formal sejauh ini masih dominan menggunakan teori neoklasik yang
berkiblat pada neoliberalime. Secara otomatis hal ini membentuk generasi-generasi
muda Indonesia berperilaku tidak bermoral karena hanya berorientasi bagaimana
mendapatkan keuntungan yang sebesar- besarnya tanpa memperhatikan lingkungan
sekitar. Kita sebagai penerus bangsa diharapkan mampu memperkaya pembelajaran
ekonomi dengan nilai- nilai etika moral ekonomi yang bersifat universal yang
diwariskan oleh leluhur (local wisdom).
Pendidikan karakter bertujuan untuk menghadapi era globalisasi, melahirkan SDM
yang mempunyai karakter yang mampu menyelesaikan segala persoalan yang
berhubungan dengan pembelajaran Ekonomi dan mampu merealisasikan
pembelajaran ekonomi yang telah dipelajari ke dalam dunia kerja nantinya.
Pendidikan Karakter dapat diterapkan dalam pembelajaran pada setiap mata
pelajaran pendidikan ekonomi dan pendidikan akuntansi. Materi pembelajaran yang
berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu
diimplementasikan dengan kehidupan sehari-hari. Diharapkan dengan
pengembangan Pendidikan karakter di Universitas PGRI Madiun terutama
pendidikan ekonomi dan pendidikan akuntansi dapat dengan lulusan.Pengelolaan
yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan,
dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai.
Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan
kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan
komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah
satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah. Keberhasilan program
pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik
sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan pendidikan ekonomi dan
akuntansi, yang antara lain meliputi sebagai berikut: Dapat menjadi lulusan yang
mampu bersaing, dan dapat menjadi pekerja teknologi tingkat menengah, Memiliki
jiwa kewirausahaan, bahkan dapat melakukan wirausaha, Mengamalkan ajaran
agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja, Memahami
kekurangan dan kelebihan diri sendiri, Menunjukkan sikap percaya diri, Mematuhi
aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas.

36
Implementasi yang dapat direalisasikan dengan mengadakan kegiatan- kegiatan
kemahasiswaan yang menekankan pada pengenalan budaya lokal yang isi dan media
penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan sosial dan lingkungan budaya serta
kebutuhan pembangunan daerah setempat yang perlu diajarkan kepada para
mahasiswa. Pengadaan sanggar seni budaya di pendidikan ekonomi sebagai sarana
merealisasikan bakat juga sebagai hiburan para mahasiswa, juga dipandang perlu
untuk meningkatkan pengetahuan dan kecintaan para mahasiswa pada kebudayaan
lokal di daerahnya sendiri. Selain itu, penggunaan bahasa lokal dipandang perlu
diaplikasikan paling tidak satu hari dalam enam hari proses pembelajaran di
pendidikan ekonomi. Disamping itu, diharapkan kegiatan-kegiatan UKM berbasis
kebudayaan lokal mulai diadakan di pendidikan ekonomi. Kegiatan seperti
perlombaan majalah dinding, dengan isi yang menekankan pada pengenalan budaya
lokal, lomba cerdas cermat antar mahasiswa (LKTI) mengenai lingkungan sosial dan
lingkungan budaya serta kebutuhan pembangunan daerah setempat, dan sebagainya.
Dalam pembelajaran, dosen dihimbau untuk senantiasa menyelipkan nilai- nilai
karakter yang berkaitan dengan perekonomian Indonesia dimana Dr. H. M. Hatta
sejak lama telah menyampaiakn bahwasanya perekonomian Indonesia memiliki azas
kekeluargaan yang bisa diterapkan dan ditanamkan sejak dini kepada mahasiswa. Hal
ini diharapkan mampu menumbuhkan sikap peduli terhadap lingkungan,
pemberdayaan lingkungan, penciptaan lingkungan yang nyaman ketika melakukan
kegiatan usaha, sehingga mahasiswa tidak hanya berorientasi untuk mendapatkan
keuntungan dalam kegiatan usaha. Sebagai contoh aplikasi yang telah ada dalam
mata kuliah kewirausahaan yang ditempuh oleh mahasiswa, selain mahasiswa
diberikan tugas untuk merencanakan dan menjalankan sebuah usaha selalu disertai
dengan bagaimana mahasiswa mengolah limbah usaha tersebut dengan tetap
memperhatikan lingkungan sekitar. Selain itu mahasiswa diarahkan untuk dapat
merancang dan melaksanakan kegiatan usaha dengan mengolah limbah yang
awalnya meresahkan dan menyebabkan pencemaran lingkungan menjadi berbagai
komoditas yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Implementasi lainnya yang diterapkan di luar kampus adalah dengan aktif
mengadakan dan mengikuti seminar (workshop) tentang pendidikan karakter dan

37
kearifan budaya lokal kepada para mahasiswa dalam menjamin keberlangsungan
hidup bangsa Indonesia.
Pendirian komunitas mahasiswa peduli budaya juga dapat menjadi inovasi dan
memberikan motivasi bagi para mahasiswa dalam menerapkan pendidikan karakter
berbasis kearifan lokal. Disamping itu, tradisi-tradisi yang menekankan pada
kegotong royongan dianggap perlu diaplikasikan dan disisipkan pada kegiatan-
kegiatan kemahasiswaan di Pendidikan Ekonomi. Untuk memperkenalkan
kebudayaan lokal terhadap mahasiswa, pendidikan karakter berbasis kearifan lokal
juga memiliki tujuan mengubah sikap dan juga perilaku sumber daya manusia yang
ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja, sehingga mampu mencetak lulusan
yang siap menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang.
Manfaat dari penerapan kearifan lokal dapat meningkatkan jiwa gotong royong,
kebersamaan, saling terbuka satu sama lain, menumbuh kembangkan jiwa
kekeluargaan, membangun komunikasi yang lebih baik, serta tanggap dengan
perkembangan dunia luar. Selain itu, apabila negara menginginkan profit jangka
panjang, alternatif jawabannya adalah lestarikan kearifan lokal dengan menggunakan
potensi yang dimiliki mahasiswa.

PENGARUH PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN TERHADAP MINAT


MAHASISWA UNTUK BERWIRAUSAHA

Tingkat pengangguran di Indonesia masih tinggi, hal ini disebabkan oleh kualitas
sumber daya manusia yang rendah, selain itu sarjana yang berminat menjadi Pegawai
Negeri Sipil (PNS) lebih banyak dibandingkan membuat usaha atau bisnis dan
membuka lapangan pekerjaan. Hal ini karena minat dan motivasi menjadi wirausaha
rendah, fenomena rendahnya minat dan motivasi pemuda Indonesia untuk
berwirausaha menjadi pemikiran serius berbagai pihak, baik pemerintah, dunia
pendidikan, dunia industri, maupun masyarakat. Berbagai upaya dilakukan untuk
menumbuhkan jiwa kewirausahaan terutama merubah mindset para pemuda yang
hanya berminat menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan sebagai pencari kerja (job
seeker).

Sebagai upaya meningkatkan minat wirausaha masyarakat khususnya mahasiswa,


perguruan tinggi memberikan mata kuliah pendidikan kewirausahaan. Pendidikan

38
kewirausahaan tidak hanya memberikan landasan teoritis mengenai konsep
kewirausahaan tetapi membentuk sikap, perilaku, dan pola pikir (mindset) seorang
wirausahawan (entrepreneur). Hal ini merupakan investasi modal manusia untuk
mempersiapkan para mahasiswa dalam memulai bisnis baru melalui integrasi
pengalaman, keterampilan, dan pengetahuan penting untuk mengembangkan dan
memperluas sebuah bisnis.

Pendidikan kewirausahaan adalah pertolongan untuk membelajarkan manusia


Indonesia sehingga mereka memiliki kekuatan pribadi yang dinamis dan kreatif
untuk menjalankan usahanya sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang
berdasarkan Pancasila (Wasty Soemanto, 2006;87). Pendidikan kewirausahaan
bertujuan untuk membentuk manusia secara utuh, sebagai insan yang memiliki
karakter, pemahaman dan keterampilan sebagai wirausaha. Buchari Alma (2003:16)
menyatakan bahwa keahlian dan keterampilan wirausaha banyak didapatkan dari
pendidikan kewirausahaan. Sikap, perilaku, dan minat ke arah kewirausahaan
seorang mahasiswa dipengaruhi oleh pertimbangan atas berbagai aspek mengenai
pilihan karir sebagai wirausahawan. Pertimbangan atas pilihan karir tersebut dapat
berbeda-beda tergantung preferensi terhadap risiko yang akan mereka tanggung
kemudian. Mahasiswa yang takut untuk mengambil risiko (risk averter) cenderung
untuk memilih menjadi seorang pegawai swasta, atau PNS, sebagai pilihan karir
sedangkan bagi mahasiswa yang berani mengambil risiko (risk taker) untuk
meninggalkan comfort zone cenderung akan memilih menjadi seorang wirausahawan
sebagai pilihan karirnya. Pilihan karir seseorang dipengaruhi beberapa faktor salah
satunya adalah Faktor demografis (gender, latar belakang pendidikan orang tua, dan
pengalaman bekerja) yang dapat mempengaruhi pilihan karir seseorang untuk
menjadi wirausahawan. Pendidikan kewirausahaan dapat membentuk pola pikir,
sikap, dan perilaku pada mahasiswa menjadi seorang wirausahawan (entrepreneur)
sejati sehingga mengarahkan mereka untuk memilih berwirausaha sebagai pilihan
karir.

Mengingat pentingnya pendidikan kewirausahaan bagi masyarakat, khususnya


mahasiswa maka Dirjen Pendidikan Perguruan Tinggi (DIKTI) sebagai lembaga
yang menaungi pendidikan tingkat universitas memberlakukan program mata kuliah

39
kewirausahaan yang harus diikuti oleh mahasiswa di semua jurusan bidang studi.
Pendidikan kewirausahaan diharapkan bukan hanya sebagai kewajiban
penyelenggaraan perkuliahan saja, melainkan diperlukan pendekatan sosial dan
ekonomi. Pendekatan sosial adalah di mana mahasiswa setelah lulus dari perkuliahan
dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya. Sedangkan
pendekatan ekonomi adalah dengan berwirausaha individu tersebut mampu
menghasilkan pendapatan untuk dirinya, orang lain, maupun pemerintah
(Murdjianto, 2006).

Pendidikan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat.
Pendidikan merupakan kegiatan yang sangat kompleks, hampir seluruh aspek
kehidupan manusia berhubungan dengan proses pendidikan. Melalui pendidikan,
karakter dan sifat manusia dapat dibentuk agar menjadi manusia yang mempunyai
keterampilan dan kecerdasan. Pendidikan dapat dimulai dari lingkungan keluarga,
masyarakat dan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Redja Mudyaharjo
(2012), pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga,
masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan
yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat, untuk
mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai
lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang. Menurut Sugihartono dkk.
(2007:3), pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar untuk
mengubah tingkah laku manusia baik secara individu maupun kelompok untuk
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan sehingga
mempunyai kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya.
Pendidikan bisa ditempuh dengan jalur formal dan informal, pendidikan formal
merupakan pendidikan di sekolah maupun di perguruan tinggi yang di peroleh secara
teratur, sistematis, bertingkat, dan dengan mengikuti syarat-syarat yang jelas.
Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah yang lahir dan berkembang secara
efektif dan efisien dari dan oleh serta untuk masyarakat, merupakan perangkat yang
berkewajiban memberikan pelayanan kepada generasi muda dalam mendidik warga
negara.

40
Menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2003 pendidikan formal didefinisikan
sebagai jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan
dasar, penddikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pada umumnya lembaga formal
adalah tempat yang paling memungkinkan seseorang meningkatkan pengetahuan,
dan paling mudah untuk mengubah generasi muda yang dilaksanakan oleh
pemerintah dan masyarakat (Ahmadi dan Uhbiyati 2007 :162). Pendidikan informal
menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2003 adalah jalur pendidikan keluarga dan
lingkungan yang yang berbentuk kegiatan secara mandiri (Suprijanto, 2005: 6-8).
Dalam lembaga pendidikan informal kegiatan pendidikan tanpa organisasi yang ketat
tanpa adanya program waktu, (tak terbatas), dan tanpa adanya evaluasi. Adapun
alasanya di atas pendidikan informal ini tetap memberikan pengaruh kuat terhadap
pembentukan pribadi seseorang/peserta didik.

Pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1995 tentang


Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan. Instruksi
ini mengamanatkan kepada seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia untuk
mengembangkan program-program kewirausahaan. Pemerintah menyadari betul
bahwa dunia usaha merupakan tulang punggung perekonomian nasional, sehingga
harus diupayakan untuk ditingkatkan secara terus menerus. Melalui gerakan ini
diharapkan karakter kewirausahaan akan menjadi bagian dari etos kerja masyarakat
dan bangsa Indonesia, sehingga dapat melahirkan wirausahawan-wirausahawan baru
yang handal, tangguh, dan mandiri. Menurut pendapat Suherman (2008), hal itu
sangat penting mengingat bahwa sebenarnya aktivitas kewirausahaan tidak hanya
berada dalam tataran microeconomy.

Kewirausahaan adalah suatu kemampuan menciptakan kegiatan usaha. Kemampuan


menciptakan dan memerlukan adanya kreativitas dan inovasi dari yang sudah ada
sebelumnya.Kemampuan berwirausaha yang kreatif dan inovatif dapat dijadikan
dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses (Suryana, 2006:
2). Peluang sukses di masa depan dapat diraih apabila seorang wirausaha benar-benar
memanfaatkan peluang dengan baik dan mempunyai disiplin diri. Sedangkan
menurut Zimmerer dalam Suryana (2006: 14) Kewirausahaan merupakan penerapan

41
kreativitas dan inovasi untuk memecahkan masalah dan memanfaatkan peluang yang
dihadapi.

Kreativitas diartikan sebagai kemampuan mengembangkan ide-ide dan menemukan


cara-cara baru dalam memecahkan masalah, sedangkan inovasi diartikan sebagai
kemampuan menerapkan kreativitas untuk memecahkan masalah dan peluang untuk
meningkatkan kekayaan hidup. Stoner dalam Jamal Ma’mur Asmani (2011)
menyatakan bahwa pada dasarnya kewirausahaan bergerak dari kebutuhan dasar
manusia untuk berprestasi. Kewirausahaan dibentuk pada diri seseorang melalui
pendidikan atau pelatihan. Pendidikan atau pelatihan kewirausahaan merupakan
proses pembelajaran konsep dan skill untuk mengenali peluang-peluang yang orang
lain tidak mampu melihatnya.

Pendidikan kewirausahaan dapat didefinisikan sebagai usaha yang dilakukan


lembaga pendidikan untuk menanamkan pengetahuan, nilai, jiwa dan sikap
kewirausahaan kepada mahasiswa dan peserta didik guna membekali diri menjadi
manusia yang mandiri, kreatif dan inovatif. Hal ini juga bertujuan untuk menciptkan
wirausaha-wirausaha baru yang handal dan berkarakter dan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pendidikan kewirausahaan adalah senjata penghancur
pengangguran dan kemiskinan, dan menjadi tangga menuju impian setiap masyarakat
untuk mandiri secara finansial, memiliki kemampuan membangun kemakmuran
individu, sekaligus ikut membangun kesejahteraan masyarakat (Jamal Ma’mur
Asmani: 2011). Menurut Agus Wibowo (2011: 76), terdapat dua cara untuk
menanamkan mental kewirausahaan kepada para mahasiswa di kampus. Pertama,
mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan ke dalam kurikulum. Kedua, aktivitas
ekstrakurikuler mahasiswa perlu dikemas sistemik dan diarahkan untuk membangun
motivasi dan sikap mental wirausaha.

Pendidikan kewirausahaan secara umum adalah proses pendidikan yang menerapkan


prinsip-prinsip dan metodologi ke arah pembentukan kecakapan hidup (life skill)
pada peserta didiknya melalui kurikulum terintegrasi yang dikembangkan di sekolah
maupun diperguruan tinggi. Minat adalah kecenderungan yang menetap dalam
subyek untuk merasa tertarik pada bidang tertentu dan merasa senang berkecimpung
dalam hal itu (Winkel. Widiyatnoto, 2013:5). Menurut Suhartini (2011:44), minat

42
adalah seperangkat mental yang terdiri dari suatu campuran perasaan, harapan,
pendirian, kecenderungan yang mengarahkan individu kepada suatu pilihan tertentu.
Sedangkan menurut Hurlock (1993:144), minat merupakan suatu dorongan yang
timbul dari dalam diri seseorang untuk melakukan apa yang mereka inginkan dan
mereka bebas memilih.

Sedangkan berwirausaha seperti yang dikemukakan oleh Coulter (Suryana dan Bayu,
2011:24) dan Sethi (Bilic at al., 2011:116), yaitu melakukan kegiatan pembentukan,
atau menumbuhkan suatu bisnis yang menyediakan barang dan jasa baru yang unik
dan inovatif, serta menciptakan lapangan kerja yang berorientasi pada perolehan
keuntungan dan memberi kontribusi pada pendapatan nasional dan pembangunan
ekonomi secara keseluruhan. Minat wirausaha adalah kemampuan untuk
memberanikan diri dalam memenuhi kebutuhan hidup serta memecahkan
permasalahan hidup, memajukan usaha atau menciptakan usaha baru dengan
kekuatan yang ada pada diri sendiri (Yanto dalam Hermina, dkk. 2011:140).

Minat berwirausaha adalah keinginan, ketertarikan serta kesediaan untuk bekerja


keras atau berkemauan keras untuk berdikari atau berusaha untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya tanpa merasa takut dengan risiko yang akan terjadi, serta
berkemauan keras untuk belajar dari kegagalan(Fu’adi, dkk., (2009:92), Sedangkan
menurut Santoso (Fu’adi, dkk., 2009:92), minat wirausaha adalah gejala psikis untuk
memusatkan perhatian dan berbuat sesuatu terhadap wirausaha itu dengan perasaan
senang karena membawa manfaat bagi dirinya maupun orang lain. Minat
berwirausaha dapat dilihat sebagai niat untuk menciptakan suatu organisasi atau
usaha baru atau sebagai prilaku yang berani mengambil risiko untuk memulai bisnis
baru (Edy Dwi Kurnianti, 2015). Minat berwirausaha adalah pilihan aktivitas
seseorang karena merasa tertarik, senang dan berkeinginan untuk berwirausaha serta
berani mengambil risiko untuk meraih kesuksesan (Suryana,2011).

Menurut Santoso dalam Maman Suryaman (2006: 22) minat wirausaha adalah gejala
psikis untuk memusatkan perhatian dan berbuat sesuatu terhadap wirausaha itu
dengan perasaan senang karena membawa manfaat bagi dirinya. Inti dari pendapat
tersebut adalah pemusatan perhatian yang disertai rasa senang. Menurut Aris
Subandono, minat wirausaha adalah kecenderungan hati dalam diri subjek untuk

43
tertarik menciptakan suatu usaha yang kemudian mengorganisir, mengatur,
menanggung risiko dan mengembangkan usaha yang diciptakannya tersebut.
Menurut Edy Dwi Kurniati (2015: 71-72) yang memepengaruhi minat berwirausaha
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu: pertama faktor
Intrinsik adalah faktor-faktor yang timbul karena penagruh rangsangan dari dalam
individu itu sendiri yaitu pendapatan, Harga diri, perasaaan senang. Faktor Ekstrinsik
adalah faktor-faktor yang mempengaruhi individu karena pengaruh rangsangan dari
luar. Faktor-faktor yang mempengaruhi individu karenan pengaruh rangsangan dari
luar yaitu lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, peluang, dan pendidikan.

Minat berwirausaha tidak dibawa sejak lahir tapi tumbuh dan berkembang sesuai
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi. Faktor yang mempengaruhi tumbuhnya
keputusan untuk berwirausaha merupakan hasil interaksi dari beberapa faktor yaitu
karakter kepribadian seseorang dan lingkungannya. Menurut Lambing dan Kuehl
(2007), hasil penelitian terbaru menunjukkan ada empat hal yang mempengaruhi
keputusan berwirausaha, yaitu diri pribadi, lingkungan budaya, kondisi sosial, dan
kombinasi dari ketiganya. Sedangkan menurut Hisrich, et al. (2005: 18) dan Alma
(2010: 12), faktor yang mempengaruhi minat wirausaha adalah lingkungan
pendidikan, kepribadian seseorang dan lingkungan keluarga.

PENGARUH PENDIDIKAN EKONOMI KELUARGA TERHADAP


PERILAKU KONSUMSI DIMEDIASI LITERASI EKONOMI DAN GAYA
HIDUP PADA MAHASISWA

Perubahan gaya hidup yang mengarah kepada perilaku konsumtif cenderung terjadi
dikalangan remaja saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dari fenomena perubahan gaya
hidup, sosial budaya dan jenis kebutuhan manusia yang semakin beragam. Perubahan
ini akan menimbulkan perilaku dalam hal membeli sesuatu tidak berdasarkan
kebutuhan dan kemampuan yang dimilikinya, tetapi membeli dilakukan karena
alasan lain seperti sekedar mengikuti mode, hanya ingin mencoba produk baru, ingin
memperoleh pengakuan sosial dan sebagainya.

Tinjauan mengenai perilaku konsumsi erat kaitannya perilaku konsumen. Perilaku


konsumen dalam membeli dipengaruhi beberapa faktor antara lain; faktor budaya,

44
sosial, pribadi dan psikologis. Faktor pribadi meliputi umur dan tahapan siklus,
pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, keyakinan, dan sikap. Gaya hidup
didefinisikan sebagai pola dimana orang hidup dan menghabiskan waktu serta uang
mereka(Engel dkk, 1994; Kotler, 2002; Setiadi, 2008).

Perilaku konsumsi yang terjadi dikalangan remaja dipengaruhi oleh pendidikan di


keluarga. Keluarga melalui pembiasaan, keteladanan dan penjelasan akan
membentuk sebuah pola pikir. Dengan pola pikir yang baik akan membentuk sebuah
pola sikap dan pola tindak yang diwujudkan dalam perilaku (Siswoyo, 2005).
Pendidikan yang diberikan orang tua memberikan dasar bagi pengetahuan anak.
Orang tua mempunyai tugas sebagai pendidik, sebagai tempat belajar seseorang
paling dini sehingga pendidikan di keluarga merupakan wadah yang paling mendasar
dalam membentuk sikap dan nilai-nilai baik itu dimulai dari perilaku ekonomi yang
paling kecil. Pola sikap, perilaku, dan nilai-nilai yang ditanamkan orang tua pada
anak, merupakan landasan bagi perkembangan tingkah laku anak selanjutnya.

Fungsi lain keluarga dalam perilaku individu adalah membangun gaya hidup yang
cocok untuk keluarga. Pendidikan, pengalaman, dan kepribadian menentukan tujuan-
tujuan gabungan yang penting dari pasangan terhadap pendidikan atau karir, pada
bacaan, tayangan televisi, belajar keahlian komputer, frekuensi dan kualitas makan di
luar dan memilih hiburan serta perilaku rekreasi lainnya (Schiffman & Kanuk, 2008).
Selain fungsi membangun gaya hidup, pendidikan di keluarga juga membentuk
literasi ekonomi yang dimiliki seseorang. Melalui pembiasaan, keteladanan dan
penjelasan akan memunculkan pola pikir yang baik. Pola pikir ini terwujud dalam
literasi ekonomi yang dimiliki.

Terkait perubahan perilaku konsumsi yang terjadi, literasi ekonomi anggap sangat
penting dalam meningkatkan kompetensi setiap individu untuk membuat keputusan
pribadi dan sosial tentang banyak isu-isu ekonomi yang akan dihadapi semur hidup-
nya (Walstad, 1998). Hal ini dilatarbelakangi dimana aspek kehidupan selalu
berkaitan dengan masalah ekonomi. Literasi ekonomi yang telah didapat sejak dari
pendidikan di keluarga sampai perguruan tinggi, diharapkan dapat membentuk sikap
yang rasional mahasiswa dalam berkonsumsi.

45
Bentuk dari pendidikan ekonomi keluarga meliputi pembiasaan, keteladanan, dan
penjelasan pada setiap aktivitas ekonomi. Pendidikan ekonomi di lingkungan
keluarga lebih bersifat pembiasaan, maka prosesnya lebih banyak menuntut
keteladanan dan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari (Wahyono, 2001).
Dengan pembiasaan, keteladanan, dan penjelasan akan membentuk pola sikap dan
pola tindak sebagai wujud dari perilaku dalam hal berkonsumsi (Siswoyo, 2005).

Pembiasaan, keteladanan, dan penjelasan berdasarkan hasil analisis menunjukkan


bahwa pendidikan ekonomi keluarga yang mampu diserap mahasiswa tergolong
dalam kategori baik sebanyak 93%.Dari ketiga indikator di atas, variabel pembiasaan
menyumbangkan average tertinggi. Dengan pendidikan ekonomi keluarga yang
bersifat informal tersebut tentu berpengaruh terhadap pola pikir ekonominya.
Sebagai contoh pemberian uang saku yang tidak berlebih akan membuat anak lebih
selektif dalam menggunakan uangnya. Pembiasaan membeli barang yang sesuai
kebutuhan kepada anak akan mewujudkan pola pikir yang baik.

Sependapat dengan Suryani (2008) Peran dan fungsi keluarga erat kaitannya dengan
sosialisasi anak sebagai konsumen. Sosialisasi yang diberikan kepada anak sebagai
konsumen diartikan sebagai proses dimana seorang anak memperoleh pengetahuan,
ketrampilan dan sikap yang relevan dengan fungsinya sebagai konsumen dipasar.
Proses sosialisasi tersebut juga diartikan sebagai proses bagaimana seorang anak
memperoleh pengetahuan tentang barang dan jasa serta pengetahuan konsumsi,
pencarian informasi dan ketrampilan untuk menawar barang dan jasa (Schiffman &
Kanuk, 2008).

Disisi lain perilaku konsumsi diindikasi- kan dari pola pemenuhan kebutuhan,
strategi dalam berkonsumsi dan motif perilaku konsumsi. Berdasarkan analisis,
perilaku konsumsi yang dimiliki mahasiswa Ekonomi Pembangunan FE UM
tergolong dalam kategori rasional yaitu sebanyak 57% dari keseluruhan. Dari ketiga
indikator di atas, indikator pola pemenuhan kebutuhan memperoleh nilai tertinggi.
Dengan demikian, pola sikap yang positif ini akan berlanjut pada pola tindak yang
positif pula. Pola tindak yang positif diwujudkan dalam bentuk perilaku konsumsi
yang rasional (Siswoyo, 2005).

46
Dengan penanaman nilai-nilai dalam keluarga yang baik maka akan terbentuk
perilaku konsumsi yang rasional pula. Berdasarkan uraian diatas maka telah terbukti
secara signifikan pendidikan ekonomi keluarga berpengaruh terhadap perilaku
konsumsinya.Dengan demikian untuk meningkatkan perilaku konsumsi mahasiswa
dapat dilakukan dengan meningkatkan pendidikan ekonomi keluarga dengan mem-
perhatikan variabel pembiasaan karena variabel tersebut memberikan sumbangan
yang tertinggi.

Pendidikan yang pertama dan utama diperoleh seorang anak adalah di keluarga.
Pendidikan ekonomi dalam keluarga yang diberikan orang tua adalah berupa
pembiasaan-pembiasaan seperti pembiasaan menabung, berhemat, serta selektif
dalam pembelian barang dan jasa. Pembiasaan tersebut akan membentuk pola pikir
yang terwujud dalam literasi ekonomi. Dengan bekal pola pikir yang dimiliki akan
ber- dampak pada pola tindak yang terwujud dengan perilaku termasuk perilaku
dalam berkonsumsi.

Secara signifikan memang literasi ekonomi berpengaruh terhadap perilaku konsumsi.


Pengaruh ini ditunjukkan dengan nilai standardized beta 0,182 dan signifikansi
sebesar 0,017. Nilai koefisien regresi yang diperoleh nilai literasi ekonomi (X2)
sebesar 0,300 yang dapat diartikan jika literasi ekonomi mengalami kenaikan satu
satuan skala maka perilaku konsumsi (Y) akan mengalami kenaikan sebesar 30%.
Hal ini menunjukkan bahwa literasi ekonomi yang baik dapat meningkatkan perilaku
konsumsi mahasiswa. Begitu pula sebaliknya, literasi ekonomi yang kurang baik
dapat menurunkan perilaku konsumsi mahasiswa.

Dengan demikian untuk meningkatkan perilaku konsumsi, selain dengan


meningkatkan pendidikan ekonomi keluarga yang telah dijelaskan di atas dapat
dilakukan dengan meningkatkan literasi ekonomi mahasiswa. Upaya untuk
meningkatkan literasi ekonomi dapat dilakukan dengan cara; a) menerapkan teori
yang diperoleh di sekolah dalam kehidupan seharihari, b) merancang pembelajaran
yang berkaitan dengan afektif peserta didik dapat memberikan pola pikir, pola sikap
dan pola tindak yang terwujuddalam perilaku yang rasional, c) menambah wawasan
ekonomi dalam perilaku seminar dan workshop. Untuk itulah variabel literasi

47
ekonomi perlu dipertimbangkan sebagai faktor yang diperlukan sebagai upaya untuk
meningkatkan perilaku konsumsi yang rasional pada mahasiswa.

Pendidikan yang diberikan orang tua tidak hanya memengaruhi perilaku konsumsi
tetapi memberikan pengalaman pertama dalam pembentukan sikap, maupun nilai-
nilai kepada individu. Melalui pembiasaan, keteladanan, dan penjelasan yang
diberikan orang tua akan membentuk sebuah pola pikir. Pola pikir ini nantinya akan
berdampak pada pola sikap, dimana pola sikap ini diwujudkan dalam gaya hidup
masing-masing orang (Siswoyo, 2005). Selain itu Suryani (2008) berpendapat bahwa
fungsi lain keluarga dalam perilaku konsumen adalah membangun gaya hidup yang
sesuai untuk keluarga.

Berdasarkan uraian di atas telah terbukti secara signifikan pendidikan ekonomi


keluarga berpengaruh positif terhadap gaya hidup. Kesimpulan yang dapat diambil
memang keluarga memberikan sumbangan yang penting dalam pembentukan gaya
hidup seseorang. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan gaya hidup dapat
dilakukan dengan meningkatkan pendidikan ekonomi keluarga. Hal ini karena
memang pola asuh akan membentuk perilaku anak yang secara tidak langsung
memengaruhi pola hidupnya.

Setiap orang yang berasal dari latar belakang pendidikan di keluarga, kelas sosial,
dan pekerjaan yang sama dapat memiliki gaya hidup yang berbeda. konsepsi gaya
hidup dalam ekonomi lebih diarahkan untuk memahami manusia sebagai pelaku
ekonomi dan peranannya sebagai konsumen. Sebagaimana telah dijelaskan di atas,
gaya hidup yang diindikasikan oleh aktivitas, minat dan opini memperoleh kategori
gaya hidup mahasiswa FE UM yang rasional,dimana aktivitas merupakan indikator
yang paling menonjol. Sedangkan perilaku konsumsi juga tergolong rasional.
Dengan demikian memang pola sikap yang terwujud dalam gaya hidup akan
membentuk sebuah pola tindak yang positif juga (Siswoyo, 2005).

Gaya hidup yang dialami mahasiswa dan remaja saat ini didukung dengan pesatnya
perkembangan teknologi dan modernisasi. Pada kenyataannya, hal ini merupakan
fenomena yang sulit dipisahkan dari kehidupan remaja saat sekarang, mengingat
banyaknya akses yang memudahkan mereka untuk mengetahui segala hal. Penjelasan

48
ini memberikan arti bahwa perubahan perilaku dalam hal berkonsumsi mahasiswa
dipengaruhi gaya hidup yang dianutnya, menjadikan gaya hidup sebagai pedoman
dalam perilaku konsumsinya.

Dengan demikian memang secara signifikan gaya hidup berpengaruh positif terhadap
perilaku konsumsi. Sependapat dengan pendapat Engel, Blackwell, Miniard
(1994);Kotler (2002) menyatakan bahwa gaya hidup merupakan salah satu faktor
yang memengaruhi perilaku konsumsi seseorang, dimana gaya hidup memengaruhi
kebutuhan, keinginan serta perilaku konsumsinya. langsung pendidikan ekonomi
keluarga terhadap perilaku konsumsi.Upaya untuk meningkatkan gaya hidup
mahasiswa dapat dilakukan dengan penghidupan Unit Perilaku Mahasiswa (UKM)
yang semakin bervariatif sehingga mampu untuk menyerap waktu luang dan
penyaluran hobi dalam perilaku positif dan ekonomis.

Penjelasan lain mengenai model penelitian ini diketahui bahwa pengaruh total dari
semua variasi perubahan pendidikan ekonomi keluarga, literasi ekonomi dan gaya
hidup dapat menjelaskan variasi perubahan perilaku konsumsi sebesar 73,5%. Hal ini
dimungkinkan karena faktor-faktor yang dapat memengaruhi perilaku konsumsi
mahasiswa bukan hanya pendidikan ekonomi keluarga, literasi ekonomi dan gaya
hidup saja tetapi masih banyak faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini
seperti kelompok referensi, teman, modernitas, kepribadian, dan lain-lain.
Pertanyaan untuk Diskusi
1. Apakah menurut anda pendidikan ekonomi itu penting di dalam pendidikan?
Jelaskan alasan anda!
2. Jelaskan mengapa pendidikan ekonomi perlu diajarkan sejak dini!Jelaskan!
3. Pendidikan,pekerjaan,dan pendapatan orang tua berpengaruh terhadap prestasi
belajar siswa,Mengapa demikian?
4. Mengapa mahasiswa harus memiliki jiwa wirausaha dan memiliki minat untuk
berkarier kedepannya?
5. Mengapa pengangguran saat ini meningkat dan mengapa banyak orang yang
setelah lulus lebih memilih menganggur dari pada mencari pekerjaan?

DAFTAR PUSTAKA

49
Afrianti, A. (2020). PENGARUH PENDIDIKAN EKONOMI KELUARGA,
TEMAN PERGAULAN TERHADAP LITERASI EKONOMI
MAHASISWA UNIVERSITAS JAMBI. JURNAL MANAJEMEN
PENDIDIKAN DAN ILMU SOSIAL, 1(2), 388-400.
Hadiyanto, H. (2014). Pengaruh pendidikan, pekerjaan dan pendapatan orang tua
terhadap prestasi belajar ekonomi pada siswa SMA. Jurnal Ekonomi
Pendidikan Dan Kewirausahaan, 2(2), 171-185.
Narmaditya, B. S. (2013). Pengaruh pendidikan ekonomi keluarga terhadap perilaku
konsumsi dimediasi literasi ekonomi dan gaya hidup pada mahasiswa fakultas
ekonomi Universitas negeri malang angkatan 2011. Ekuitas: Jurnal
Pendidikan Ekonomi, 1(1).
Prahara, R. S., & Jamil, A. S. (2018). Konsep Pembelajaran Ekonomi Berbasis
Ekonomi Kreatif. Indonesian Interdisciplinary Journal of Sharia Economics
(IIJSE), 1(1), 7-18.
Putri, N. L. W. W. (2017). Pengaruh Pendidikan Kewirausahaan Terhadap Minat
Mahasiswa Untuk Berwirausaha Pada Mahasiswa Pendidikan Ekonomi
Universitas Pendidikan Ganesha. Jurnal Pendidikan Ekonomi Undiksha, 9(1),
137-147.
Rapii, M. (2019). Mengukur Potensi Wirausaha pada Program Pelatihan
Kewirausahaan Mahasiswa Pendidikan Ekonomi. (JMK) Jurnal Manajemen
dan Kewirausahaan, 4(2), 126-135.
Riyadi, R. (2020). PENGARUH LITERASI EKONOMI TERHADAP
MORALITAS EKONOMI MELALUI RASIONALITAS EKONOMI
MAHASISWA PENDIDIKAN EKONOMI UNMUL. Jurnal Edueco, 3(1),
33-42.
Saptono, L., Djatmika, E. T., Wahyono, H., & Mintarti, S. U. (2016, December).
PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN EKONOMI UNTUK
MENINGKATKAN LITERASI EKONOMI SISWA SEKOLAH DASAR.
In National Conference on Economic Education.
Widiansyah, A. (2017). Peran ekonomi dalam pendidikan dan pendidikan dalam
pembangunan ekonomi. Cakrawala-Jurnal Humaniora, 17(2), 207-215.

50
Wihartanti, L. V., Andriani, D. N., & Sari, N. E. (2017). Implementasi Pendidikan
Ekonomi Berbasis Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Lulusan Berkarakter di
Universitas PGRI Madiun.

51

Anda mungkin juga menyukai